Anda di halaman 1dari 7

Tema yang akan kita bahas pada hari ini adalah ‘Mindset Kenabian dan Kerja Rosul dalam

Dakwah”. Sebelum membahas mendalam tentang mindset kenabian itu sendiri, kita perlu
mengetahui apa itu definisi mindset dan bagaimana mindset bekerja.

Lantas, apa itu mindset?

Mindset :

1. kepercayaan-kepercayaan yang mempengaruhi sikap seseorang; sekumpulan kepercayaan


atau suatu cara berpikir yang menentukan perilaku dan pandangan, sikap, dan masa depan.

2. Sikap mental tertentu atau watak yang menentukan respons dan pemaknaan seseorang
terhadap situasi.

Jadi, mindset sebenarnya adalah kepercayaan (belief), atau sekumpulan kepercayaan (set of
beliefs), atau cara berfikir yangmempengaruhi perilaku dan sikap seseorang. Pemikiran yang
mendalam sehingga mencapai level yang di sebut dengan keyakinan. Mindset ini di bentuk dari
apa yang masuk ke dalam diri kita selama bertahun-tahun.

Kekuatan pola pikir dapat mengubah aspek psikologis, dan akhirnya mengubah hidup
seseorang. Hal tersebut diungkapkan Dr Carol S Dweck, profesor di bidang psikologi dari
Stanford University. Ia menyatakan bahwa kesuksesan tidak hanya dipengaruhi oleh
kemampuan dan bakat, tetapi juga oleh pola pikir kita.

Dalam bukunya yang berjudul Mindset: Changing the Way You Think to Fulfil Your Potential,
Dweck menyatakan bahwa ada dua jenis mindset, yaitu: fixed mindset dan growth mindset.
Lalu, bagaimana kedua jenis pola pikir tersebut memengaruhi cara seseorang menjalani hidup?

Fixed mindset adalah pola pikir yang meyakini bahwa kualitas dasar diri, seperti intelegensi atau
bakat, bersifat menetap. Seseorang dengan fixed mindset percaya bahwa kemampuan untuk
melakukan sesuatu dipengaruhi oleh faktor genetis atau bawaan. Mereka meyakini bahwa
keterampilan dan keahlian bersifat terberi (given). Mereka juga menghargai hasil akhir yang
bagus.

Sementara growth mindset adalah pola pikir yang meyakini bahwa kemampuan dasar dapat
dikembangkan melalui kerja keras dan dedikasi, intelegensi, dan bakat hanya merupakan modal
awal saja.

Seseorang dengan pola pikir ini meyakini bahwa keterampilan dan keahlian merupakan sesuatu
yang bisa dibangun dan dikembangkan. Mereka sangat menghargai perbaikan proses. Alhasil,
akan ada perbedaan reaksi antara orang dengan fixed mindset dan growth mindset ketika
menghadapi tantangan dan kegagalan dalam situasi tertentu. Namun, fixed mindset dan
growth mindset bukanlah suatu kondisi yang bersifat dikotomi, dan tidak dapat
digeneralisasikan untuk semua situasi.

Seperti apa gambaran orang yang memiliki fixed mindset?

“Pintar!”

Kata diatas adalah pujian yang sering kita dengar saat seorang anak mendapatkan nilai sekolah
yang bagus. Niat baik memberikan penghargaan belum tentu memberikan dampak positif bagi
perkembangan pola pikir seseorang. Apalagi bila pujian terus menerus diberikan untuk
menghargai hasil akhir, dan bukan proses belajar atau kerja keras si anak.

Seseorang dengan fixed mindset menjadikan hasil akhir yang bagus sebagai ukuran
keberhasilan yang menggambarkan identitas dirinya. Mereka memiliki keyakinan bahwa
keterampilan dan keahlian bersifat bawaan serta bersifat menetap atau tidak bisa diubah.

Oleh sebab itu, orang dengan fixed mindset tidak suka mengalami kegagalan. Kegagalan dalam
mencapai hasil yang bagus dianggap sebagai konfirmasi atas kapabilitasnya. Kesalahan dan
kegagalan, menurut mereka, menunjukkan ketidakmampuan mereka.

Hal tersebut menyebabkan orang dengan fixed mindset cenderung menghindari tantangan
yang menurut mereka memberi peluang terjadinya kegagalan. Oleh sebab itu, mereka lebih
suka bermain di area zona nyaman - area yang mereka kuasai - sehingga dapat memberikan
probabilitas keberhasilan yang lebih besar.

Mereka juga memandang upaya pengembangan diri adalah hal yang sia-sia, dan cenderung
menganggap kritik atau masukan sebagai sebuah cara untuk menyerang pribadi mereka.
Seperti anak yang dipuji “pintar” saat nilai akademisnya bagus, lama-kelamaan akan
membangun persepsi diri bahwa nilai bagus tersebut bisa diperoleh karena kecerdasannya
semata. Bila pada suatu ketika ia memperoleh nilai buruk , persepsi dirinya bisa berubah. Ia
akan merasa tidak pintar atau tidak cerdas. Dalam upaya agar tetap dianggap pintar, oleh
dirinya dan lingkungannya, ia sangat mungkin untuk melakukan kecurangan seperti tidak
melaporkan nilai buruk ke orangtua, berupaya menyontek, atau menyalahkan guru yang tidak
jelas dalam menyampaikan materi.

Mereka akan berupaya keras untuk tampak pintar. Mereka cenderung akan menutupi
kegagalan mereka dan menghindari diskusi tentang kesalahan yang mereka lakukan. Mereka
menghindari tantangan, bersikap defensif, dan mudah menyerah saat menghadapi kesulitan.
Pada saat mereka menghadapi kegagalan, biasanya mereka akan menyalahkan orang lain,
memanipulasi prestasi, atau cenderung bertindak curang. Mereka tidak mampu mengatasi
kegagalan dengan baik karena kegagalan membuat mereka mempertanyakan kapabilitas diri
mereka sendiri.

Seperti apa gambaran orang yang memiliki growth mindset?

Seseorang dengan growth mindset percaya bahwa kemampuan mereka dapat dikembangkan
melalui dedikasi, kerja keras, dan umpan balik dari orang lain. Mereka juga lebih menghargai
perbaikan proses daripada semata-mata hasil akhir yang baik. Pola pikir ini membuat seseorang
yang memiliki growth mindset lebih terbuka dengan tantangan. Mereka tidak melihat
tantangan sebagai sesuatu yang mengancam, tetapi mereka justru melihat tantangan sebagai
kesempatan untuk berkembang.

Oleh sebab itu mereka lebih berani mencoba hal-hal baru di luar zona nyaman mereka. Tentu
saja setiap tantangan mengandung risiko untuk gagal, namun orang dengan growth mindset
tidak takut mengalami kegagalan atau membuat kesalahan karena mereka merasa
mendapatkan kesempatan belajar dari kesalahan dan kegagalan tersebut.

Dari pembelajaran tersebut mereka tidak segan untuk berupaya keras, mencari strategi yang
tepat, mencari umpan balik dari orang lain, serta belajar dari keberhasilan orang lain untuk
memperbaiki dan meningkatkan kapabilitas mereka.

Anak yang terbiasa dihargai upaya belajarnya – bukan hanya hasil akhirnya - akan lebih mampu
menikmati proses pembelajaran. Baginya, nilai akhir bukan yang utama. Terpenting,
kesenangan saat ia dapat menyelesaikan masalah atau menemukan pembelajaran baru.

Jika mendapatkan nilai buruk, perhatian utamanya bukan pada nilai akhirnya, tetapi justru pada
rasa ingin tahu bagaimana caranya dapat menjawab soal-soal tersebut dengan tepat. Oleh
sebab itu ia tak akan segan untuk mencari umpan balik dari gurunya atau belajar dari teman
lainnya yang lebih tahu.

Dari sini kita mulai berfikir, apabila mindset adalah salah satu tools seseorang untuk menetukan
sesuatu, lantas bagaimanakah bentuk mindset dari para manusia mulia seperti para nabi dan
rosul? Fixed Mindset kah atau Growth Mindset? Pola piker yang sudah set atau yang terus
berkembang?
Hal ini menjadi menarik diperbincangkan. Karena dalam sepak terjangnya, para nabi dan rosul
tidak pernah menemui jalan yang lurus dan mudah ketika melakukan aktifitas dakwah. Setiap
langkah menreka selalu dihalangi dengan berbagai masalah. Nabi Musa AS yang terkendala
lisan yang kurang fasih, Nabi Yusuf dan dibenci oleh saudara2nya sehingga terbuang dari
keluargnya, juga Nabi Ibrahim yang hendak dibakar hidup-hidup karena dakwah. Lantas
bagaimana para Nabi dan Rosul ini mengahdapi berbagai persoalan ini?

SIFAT PARA NABI DAN ROSUL

Ketika kita masih kecil, kita diperkenalkan bahwa para nabi dan rosul memiliki sifat-sifat utama
yang wajib dimiliki bagi seorang nabi dan rosul. Tanpa sifat-sifat ini, mereka tidak dapat
dikatakan sebagai nabi dan rosul. Diantara sifat wajib nabi dan rosul yang dahulu diajarkan
kepada kita adalah: Shiddiq, Fathonah, Amanah, Tabligh (SIFAT).

Lantas apa hubungan antara sifat nabi dan rosul dengan mindset nabi dan rosul?

Ternyata apabila kita telusuri lebih mandalam dari siroh dan kisah-kisah para nabi dan rosul,
dapat kita simpulkan bahwa sifat-sifat ini lah yang menuntun dan menjadikan para nabi dan
rosul ini sukses dalam menjalani tugas dakwahnya. Sifat-sifat yang awalnya hanya sebuah
gambaran karakter seseorang ini, telah melebur menjadi dasar-dasar pemikiran bagaimana
seorang nabi bergerak dan bekerja.

Lihatlah bagaimana Nabi Yusuf AS yang dengan sifat Shiddiq dan Amanahnya, menjadikan ia
ditunjuk menjadi bendaharawan negara Mesir pada masa itu. Atau bagaimana sifat Fathonah
Nabi Ibrohim AS dalam mematahkan argument kaumnya tentang berhala yang mereka percaya
adalah tuhan meraka, ternyata tiada lain tiada bukan tidak dapat memberikan manfaat atau
mudhorot bagi mereka. Atau bagaimana nabi Musa AS yang memegang teguh sifat Tabligh
sehingga tetap percaya diri menantang penguasa Mesir Firaun pada masa itu. Sifat-sifat
kenabian ini telah berubah menjadi mindset pegangan para nabi dan rosul ini dalam bergerak
dan memutuskan langkah dakwah selanjutnya.

Tentu dari penjelasan diatas, kita sudah dapat menebak bahwa nabi dan rosul tentu memiliki
‘Growth Mindset’ dalam menjalankan tugas kenabian mereka. Namun, sebagai muslim abad ini,
kita perlu mendalami sifat-sifat ini agar dapat meneladani sifat-sifat kenabian ini secara up to
date sesuai dengan zaman kita hidup saat ini. Kita perlu perluasan makna agar masalah-
masalah peradaban hari ini dapat kita pecahkan dengan mindset sifat kenabian masa kini.
Apabila kita mendalami sifat-sifat ini lebih jauh, kita mendapat makna baru dari sifat-sifat ini
yang dapat kita ambil sebagai mindset kita sebagai muslim di zaman now. Kita akan bahas satu
persatu sifat diatas agar dapat kita maknai dengan baik dan dapat kita resapi mindset sesuai
dengan kebutuhan zaman kita:

A. Shiddiq

Shiddiq secara Bahasa bermakna benar atau jujur. Ia merupakan salahs atu sifat wajib yang
harus dimiliki seorang nabi dan rosul. Allah Berfirman:

‫َو َو َهْبَنا َلُهْم ِم ْن َر ْح َم ِتَنا َو َج َع ْلَنا َلُهْم ِلَس اَن ِص ْد ٍق َع ِلًّيا‬

Artinya: "Dan Kami anugerahkan kepada mereka sebagian dari rahmat Kami dan Kami jadikan
mereka buah tutur yang baik (siddiq) dan mulia."

Dengan kejujuran sebagai salah satu sifatnya, menjadikan nabi dan rosul tidak dapat diraguan
lagi kata-kata atau ajaran yang dibawanya. Kejujuran atau berkata benar merupakan point yang
amat penting dalam kehidupan manusia. Bahkan dikatakan apabila ada 100 faktor kesuksesan,
peringkat, privilege, atau harta benda hanyalah faktor puluhan dalam menunjang kesuksesan.
Justru kejujuran menjadi faktor pertama dan penjamin kesuksesan seseorang.

Dengan kalam yang benar dan jujur, ummat menjadi percaya dan tidak meragukan apapun
yang dikatakan ataupun dibawa oleh sang nabi. Karena mereka percaya apapun yang diucapkan
atau disampaikan oleh sang nabi, hal itu adalah kebenaran dan patut untuk didengarkan dan
dilaksanakan sebagai ajaran. Ketiadaraguan ummat dalam mendengarkan ajaran sang nabi
merupakan dampak dari kejujuran itu sendiri.

Nilai kejujuran ini, apabila kita Tarik makna nya menjadi luas, tidak hanya berpatok kepada
kebenaran lisan saja. Namun lebih jauh, kejujuran menjadi sebuah label kebenaran terhadap
sang pembawa berita. Tindak tanduk sikap sang nabi menjadi cerminan dari diri sang nabi
sendiri. Makna shiddiq yang tadinya hanya bermakna kejujuran tindak tanduk, berubah menjadi
lebih luas sehingga menjadi label baginya. Ya, sifat shiddiq telah berubah menjadi makna
integritas bagi seseorang.

Integritas adalah kesatuan, kejujuran, dan konsistensi antara nilai, keyakinan, perkataan, dan
perbuatan seseorang. Integritas juga mencerminkan keutuhan dan keefektifan seseorang
sebagai insan manusia yang memiliki harga diri, tanggung jawab, dan dedikasi. Dengan
demikian, dapat dimaknai bahwa integritas adalah keselarasan antara nilai, keyakinan,
perkataan, dan perbuatan yang jujur dan benar, sehingga seorang manusia dapat memiliki
harga diri, tanggung jawab, dan dedikasi dalam perbuatannya.

Dalam konsep mindset, seseorang yang berpikiran berintegritas, akan selalu memutuskan sikap
atau keputusan berdasarkan kebenaran atau nilai yang ia yakini. Hal ini serupa dengan sifat
shiddiq yang menjadi sifat wajib para nabi dan rosul dimana mereka selalu bersikap jujur dan
konsisten terhadap firman Allah yang mereka yakini dan mereka ajarkan. Karena, apabila sekali
saja mereka tidak berbuat jujur dalam sikapnya, maka harga diri dan nilai kebenaran yang
mereka yakini akan tercoreng, dan hal ini sangat bertolak belakang dengan apa yang Allah
perintahkan kepada nabi dan rosul.

Sebagai seorang muslim, tentu kita perlu menerapkan mindset integritas ini dalam keseharian
kita. Yaitu dengan cara memahami kebenaran sebagaimana yang diajarkan oleh para nabi dan
rosul kita, lalu bersikap sesuai dengan yang telah diajarkan, serta selalu berusaha konsisten
dalam bersikap dengan nilai kebenaran tersebut. Dengan demikian, kita telah mengambil
pelajaran pertama dari meneladani sifat kenabian yang berakhir menjadi mindset untuk kita.
Yaitu sifat shiddiq dengan makna integritas.

2. Fathonah

Fathanah dapat diartikan sebagai intelektual, ‘kecerdikan atau kebijaksanaan ‘. Tentu saja rasul
Allah memiliki sifat cerdas dan terhindar dari sifat bodoh.

Dalil tentang hal itu adalah jika sifat fathonah itu tidak ada pada diri Rasul maka mereka (para
Rasul tidak mampu berhujjah dalam berargumentasi, dan hal itu tidak mengkin terjadi. Karena
Al Qur'an menunjukkan mengenai kemampuan para Rasul berargumentasi itu banyak sekali.
Firman Allah Ta'ala :

‫َو ِتْلَك ُح َّج ُتَنٓا َء اَتْيٰن َهٓا ِإْبٰر ِهيَم َع ٰل ى َقْو ِم ِهۦ ۚ  َنْر َفُع َد َر ٰج ٍت َّم ْن َّنَشٓاُء ۗ  ِإَّن َرَّبَك َح ِكيٌم َع ِليٌم‬
"Dan itulah keterangan Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya.
Kami tinggikan derajat siapa yang Kami kehendaki. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana,
Maha Mengetahui."

Kecerdasan seorang nabi tidak hanya terbatas dari bagaimana para nabi berargumen saja. LEbih
luas dari itu, kecerdasan atau intelektual seorang nabi menjadikan iang memiliki kompetensi
dan bervisi besar untuk ummatnya.

Misi diutusnya nabi dan rosul salah satunya adalah untuk memimpin peradaban kearah
perubahan yang lebih baik. Tanpa adanya kecerdasan yang tidak tertuang dalam visi, tidak
mungkin rasanya dakwah dapat berhasil seperti saat ini. Setiap nabi dan rousl, atas kecerdasan
mereka, berkehendak untuk mewujudkan sebuah visi besar: mewujudkan sebuah peradaban
ideal. Dimana nilai-nilai kebenaran tertumpah ruah di tengah masyarakat. Dimana nilai
keadilan dan kesejahteraan mewarnai kehidupan ummat sehari-hari. Sebuah peradaban ideal
yang amat indah dibawah naungan syariat Allah yang mengutus mereka.

Berbicara soal visi, bukan berarti bicara soal angan-angan kosong. Tapi kecerdasan yang nyata
haruslah disadari dengan hal yang lainnya, yaitu berkemampuan. Seorang nabi yang bersifat
fathonah, tidak hanya cerdas dalam berargumen dan memiliki visi besar, namun ia juga
memiliki kemampuan yang terukur yang akan digunakannya untuk mewujudkank visi nya.

Sebuah kecerdasan yang meluas menjadi visi dan ditambah dengan kemampuan, menjadikan
fathonah memiliki makna yang baru, yaitu: kapabilitas.

Secara sederhana, kapabilitas adalah kemampuan atau kecakapan dalam melakukan sesuatu. Ia
mengacu pada kemampuan seseorang untuk memberdayakan sumber dayanya untuk
mencapai tujuan. Kapabilitas seseorang dapat dilihat dari bagaimana ia mengejar visi atau
tujuannya.

Dalam konteks mindset kenabian, kapabilitas berarti bagaimana caranya seorang nabi dapat
mewujudkan visi peradabannya dengan prinsip-prinsip kebenaran yang sesuai dengan yang
diwahyukan. Seperti ekspansi dakwah yang dilakukan Nabi Ibrohim AS dan Nabi Musa AS.
Menyebarkan dakwah tidak mungkin hanya dilakukan di satu tempat. Nabi Ibrohim perlu
menjelajah guna menyebarkan risalah langit kepada seluruh manusia. Strategi penjelajah inilah
salah satu bentuk kapabiltas Nabi Ibrohim dalam menggapai visi tersebarnya dakwah ke seluruh
dunia.

Dalam kontek kekinian, bagaimanakah seorang muslim dapat memiliki mindset kapabilitas?

Seorang muslim dapat dikatakan bermindset kapabel apabila ia memiliki kecerdasan yang
melahirkan sebuah misi dan dibarengi dengan kemampuan yang ia miliki. Maka dari sini
seorang muslim akan berputar mencari cara agar dapat mewujudkan visi kebaikannya. Mungkin
dengan cara mencari sumber daya yang dibutuhkan, mencari startegi yang tepat agar terhindar
dari kegagalan, dan tentunya selalu berkembang dengan setiap permasalahan yang ada.

Fathonah bagi seorang muslim tidak hanya sebatas cerdas dalam berfikir saja. Namun
kecerdasan itu telah berkembang menjadi visi dan menjadikan ia berusaha mencari
kemampuan demi mencapai visi yang lahir dari kecerdasannya itu. Ya, fathonah bagi seorang
muslim adalah berusaha menjadi manusia yang memiliki basis kapabilitas dalam sikapnya.

Anda mungkin juga menyukai