Isu-Isu Kontemporer Dalam Kebijakan Pendidikan (UTS)
Isu-Isu Kontemporer Dalam Kebijakan Pendidikan (UTS)
ABSTRACT
PENDAHULUAN
Aktor dan pelaku pembuat kebijakan publik dan pendidikan merupakan orang /
kelompok orang yang bertugas menganalisis/merumuskan/menyusun
kebijakan. Pejabat pembuat kebijakan adalah orang yang mempunyai wewenang yang
sah untuk ikut serta dalam formulasi hingga penetapan kebijakan publik, walau dalam
kenyataannya beberapa orang yang mempunyai wewenang sah untuk bertindak
dikendalikan oleh orang lain. Kebijakan pendidikan adalah kebijakan publik di bidang
Pendidikan. Salah satu argument utamanya adalah bahwa globalisasi membawa nilai
demokrasi. Demokrasi yang memberikan hasil adalah demokrasi yang didukung oleh
pendidikan. Pejabat pembuat kebijakan terbagi menjadi dua, yaitu pembuat kebijakan
primer dan pembuat kebijakan suplementer/sekunder/pendukung. Pembuat kebijakan
primer adalah aktor-aktor atau stakeholder yang mempunyai wewenng konstitusional
langsung untuk bertindak , misalnya wewenang bertindak di parlemen yang tidak harus
tergantung pada unit pemerintah lainnya. Sedangkan pembuat kebijakan suplementer/
sekunder/pendukung (tak resmi), seperti instansi administrasi, harus mendapat
wewenang untuk bertindak dari lembaga yang lainnya(pembuat kebijakan primer) dan
karena itu, paling tidak secara potensial, ia tergantung atau dapat dikendalikan oleh
pembuat kebijakan primer2
1
Sedya santoso, rosnaen “isu-isu kontemporer dalam Pendidikan islam di madrasah ibtidaiyah bellu
kebupaten bone” JURNAL BASICEDU: vol 5 no 5 2021. 51.
2 2
https://silvanadewi09.blogspot.com/2017/01/aktor-dan-pelaku-pembuat-kebijakan.html. accessed
at 04:09 15/10/2023
pendidikan dapat menggunakan kewenangan yang mereka miliki. Berkaitan dengan
wewenang tersebut, Weber (dalam Imron, 2012:72) menggolongkannya menjadi tiga
bagian. Pertama, kewenangan tradisional, yaitu kewenangan yang didasarkan atas
tradisi atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Kedua, kewenangan legal-
rasional atau birokratis ialah kewenangan yang didasarkan atas peraturan-peraturan
yang berlaku. Ketiga, kewenangan karismatis adalah kewenangan yang didasarkan
atas adanya jalinan emosional para pengikut terhadap para pemimpinnya.
METODE
Kajian terhadap aktor perumus kebijakan merupakan hal yang penting. Para
aktor merupakan penentu isi kebijakan dan pemberi warna dinamika tahapan-
3 3
Prasetyo, Orientasi Aktor dalam Perumusan Kebijakan Publik, Jurnal Masyarakat
Kebudayaan dan Politik (Volume 21, Nomor 2 2011) 115-130
tahapan proses kebijakan. Jika tipe kebijakan berpengaruh terhadap tingkat
kesulitan yang dapat terjadi dalam proses formulasi kebijakan, maka aktor-aktor
pelaksana dan hubungan antar aktor berpengaruh langsung terhadap keberhasilan
proses formulasi kebijakan.Para aktor tersebut masing-masing mempunyai
karakteristik yang menunjukkan kekuatannya mempengaruhi proses kebijakan.4
Aktor-aktor yang terlibat dalam formulasi pun memiliki peran yang berbeda
dengan evaluasi rancangan kebijakan. Aktor-aktor dalam formulasi adalah individu
atau kelompok yang memiliki kepentingan dengan kebijakan yang dibuat dan
berasal dari berbagai kalangan. Dalam formulasi paling tidak, stakeholders bisa
berasal dari legislatif, eksekutif maupun kelompok kepentingan. Ketiganya berada
dalam kepentingan yang sama dalam pengambilan keputusan sedangkan dalam
evaluasi rancangan kebijakan,aktor-aktor yang terlibat dalam eksekutif tetapi
berasal dari tingkat pemerintahan yang berbeda.
Hubungan antar aktor ini bisa bersifat horizontal (layers), vertikal (levels),
maupun antar lembaga (locus-loci). Secara umum dapat dikatakan bahwa semakin
banyak aktor (layers, levels, loci) yang terlibat dalam formulasi sebuah kebijakan,
maka akan semakin sulit pula kebijakan tersebut diimplementasikan dan mencapai
tujuan yang diharapkan. Hal ini mudah dipahami karena semakin banyak aktor yang
terlibat, maka akan semakin banyak pula biaya koordinasi yang dibutuhkan,
semakin banyak pula kepentingan yang bersaing untuk didahulukan, belum lagi
masalah kewenangan dan tanggung jawab antar aktor yang mesti diperjelas terlebih
dahulu.
4
Winarno, Budi. Teori dan Proses Kebijakan Publik.Yogyakarta (Media Pressindo.
2005) 31
5
Jones, Ricky Ismanto, Charles. Pengantar Kebijakan Pubik, (PT. Raja Grafindo4
Persada. 2007) 43
merupakan jabatan politis; b) Anggota-anggota dari badan perwakilan rakyat
(Lembaga Legislatif); c) Badan dan orang-orang Yudikatif secara parsial; dan
d) Birokrasi
6
M. Indris, Pendanaan Pendidikan Islam: Sebuah Tinjauan Historis, Lentera Pendidikan, Jurnal Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan, Vol. 11, No. 2, 152-166.
7 6
Syamsudin, pendanaan pendidikan islam, jurnal pendidikan islam STAI YASTIS Padang, Vol. 1, No.
14, 1-13.
Pertama, sosial demand, permintaan masyarakat Indonesia yang sedang dalam
“menghadapi krisis”. Kedua, man power (ketenagakerjaan), output pendidikan
belum dapat diserap oleh peluang kerja yang tersedia. Ketiga, pamantapan
ideologi, bagaimana membangun bangsa Indonesia yang religius, toleran dan
fungsional. Agar supaya Pendidikan Islam di Indonesia dapat menyelam dalam
tantangan globalisasi, maka sistem Pendidikan Islam di Indonesia perlu
dirumuskan kembali (rekonstruksi) berdasarkan tantangan kecenderungan global;
tantangan kecenderungan regional (nasional); tantangan internal sistem
pendidikan nasional, meliputi: Kurikulum dan program pendidikan, Guru dan
tenaga kependidikan, Persoalan pendidikan hubungannya dengan pendidikan
tinggi.8
3. Pengaruh atau hubungan Lembaga Pendidikan terhadap Sistem
Pendidikan Islam
Lembaga pendidikan sebagai bentuk institusi yang memadukan semua
kepentingan melalui penetapan konsensus tentang tujuan utama organisasi maka
selayaknyaseorang pimpinan menerapkan tipe-tipe atau gaya kepemimpinan yang
disesuaikan dengan situasi kondisi ; demikian pula dalam mengaplikasikan model
manajemennya. Namun tentunya lebih mengutamakan sistem manajerial yang
bersifat manusiawi.Karena dalam lembaga pendidikan, manusia adalah objek
kajian utama.Eksistensi manusia bukan hanya ikut serta membangun sistem
pendidikan yang baik, tetapi lebih dari itu, manusia menciptakan dan menentukan
sistem pendidikan yang terpadu.
Lahirnya reformasi mengandaikan sebuah perubahan mendasar di semua
bidang, termasuk dalam bidang pendidikan. Namun demikian, dikarenakan
kondisi sosial-politik dan keamanan di awal-awal masa reformasi yang tidak stabil
sebagai buntut dari prosesi penurunan Soeharto dari kekuasaannya, bidang
pendidikan belum mampu dilakukan pembaruan ke arah yang lebih baik. Masa
kepemimpinan Habibie dan awal kepemimpinan Abdurrahman Wahid lebih
banyak digunakan untuk menciptakan stabilitas negara dan membangun bangunan
8
A. tidjani, manajemen lembaga pendidikan islam menghadapi tantangan globalisasi, jurnal 7
reflektika, vol. 13, no. 1, 96-126.
dasar pelaksanaan dan arah reformasi. Baru pada akhir periode kepemimpinan
Abdurrahman Wahid dan kepemimpinan Megawati, bidang pendidikan mendapat
giliran reformasi/pembaruan. Hal ini dapat dilihat dari produk kebijakan yang
lahir, yaitu Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003. Meski begitu,
kerangka kebijakan ini sudah ada sejak masa-masa sebelum pemerintahan
Megawati, yang salah satunya dapat dilihat bahwa UU ini dipengaruhi juga oleh
kebijakan yang ditandatangani Presiden Habibie tentang pemerintahan daerah dan
perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah.
Munculnya UU Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 ini merupakan jawaban atas
tuntutan reformasi. Sistem pendidikan yang diatur dalam UU Nomor 2 tahun 1989
dirasa masih belum mewakili amanat kemerdekaan yang tertuang dalam UUD
1945. Masalah pemerataan, sentralisasi, kurikulum, pendanaan dan lain-lain
dirasa masih menjadi persoalan dalam dunia pendidikan di Indoneisa. Itulah
sebabnya diperlukan payung hukum kebijakan untuk mengatasi persoalan-
persoalan tersebut, dan UU Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 ini dirasa menjadi
payung hukum yang paling lengkap dan merupakan upaya untuk merealisasikan
amanat yang ada dalam UUD 1945. Sebagai negara dengan mayoritas
penduduknya beragama Islam, UU Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 ini juga
merupakan angin segar bagai keberlangsungan pendidikan Islam di Indonesia.
Setidaknya ada tiga hal yang termuat dalam UU Sisdiknas Sisdiknas tahun 2003
yang berkaitan dengan pendidikan Islam, yaitu diakuinya kelembagaan
pendidikan Islam seperti madrasah dan pesantren, diakuinya pendidikan Islam
sebagai mata pelajaran baik di sekolah atau madrasah, dan diakuinya Islam
sebagai seperangkat nilai-nilai dalam Sistem Pendidikan Nasional.9
C. IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
PENGERTIAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN
Istilah implementasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti
pelaksanaan atau penerapan.10 Istilah implementasi biasanya dikaitkan dengan
9
Maghfuri, analisis kebijakan pendidikan islam pada awal era reformasi, jurnal manajemen
pendidikan islam, vol. 8, no. 1, 14-26. 8
10
KBBI
suatu kegiatan yang dilaksanakan untuk mencapai tujuan tertentu. Kamus Webster
merumuskan secara pendek bahwa to implement (mengimplementasikan) berarti to
provide the means for carryingout(menyediakan sarana untuk melaksanakan
sesuatu), to give practical effect (menimbulkan dampak atau akibat terhadap
sesuatu).
Menurut Nurdin Usman Implementasi adalah “bermuara pada aktivitas, aksi,
tindakan atau adanya mekanisme suatu sistem, implemantasi bukan sekedar
aktivitas, tapi suatu kegiatan yang terencana dan untuk mencapai tujuan
kegiatan”.11
Sedangkan Menurut Hanifah yang telah dikutip oleh Harsono telah
mengemukakan pendapatnya implementasi adalah “suatu proses untuk
melaksanakan kegiatan menjadi tindakan kebijakan dari politik kedalam
administrasi”.12
Implementasi kebijakan adalah suatu proses dinamis, dimana pelaksana
kebijakan melakukan suatu aktivitas atau kegiatan sehingga pada akhirnya akan
mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu
sendiri. Implementasi kebijakan publik terjadi karena tindakan-tindakan
pemerintahan dalam mengatasi masalah yang timbul dalam masyarakat sehingga
melahirkan keputusan-keputusan tersebut. Kebijakan ini dipandang sebagai proses
perumusan kebijakan yang diterapkan, dilaksanakan dan dievaluasi melalui
tahapan-tahapan.13
Dari pengertian-pengertian di atas memperlihatkan bahwa kata implementasi
bermuara pada mekanisme suatu sistem. Ungkapan mekanisme mengandung arti
bahwa implementasi bukan sekadar aktivitas, tetapi suatu kegiatan yang terencana
dan dilakukan secara sungguh-sungguh berdasarkan acuan norma tertentu untuk
mencapai tujuan kegiatan. Oleh karena itu, implementasi tidak berdiri sendiri tetapi
dipengaruhi oleh obyek berikutnya yaitu kurikulum.
11
Nurdin Usman, Konteks Implementasi Berbasis Kurikulum, (Yogyakarta: Insan Media, 2002), 70.
12
Harsono, Implementasi Kebijakan dan Politik, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2002), 67
13 9
Elih Yuliah, Implementasi Kebijakan Pendidikan, Jurnal at-Tadbir: Media Hukum dan Pendidikan
Volume 30 Nomor 2 Tahun 2020. 135
Sedangkan Implementasi kebijakan pendidikan merupakan bagian proses
untuk pembuatan kebijakan, yang ada seperti dinyatakan oleh (Hasbuallah,2015)
bahwasanya di dalam proses pembuatan kebijakan yang berlangsung dalam
beberapa tahap pembuatan kebijakan politik dimana aktivitas politik yang sedang
berlangsung dalam tahapan membuat kebijakan dan di visualkan sebagai
serangkaian dari tahap yang saling mempunyai keterkaitan satu dengan yang lain
yang dapat di atur berdasarkan urutan waktu dan seperti penyusunan agenda,
formulasi,adoptasi dan implementasi kebijakan pendidikan mengilustrasikan secara
rinci pada fase dan karakter pembuat kebijakan itu dan dimana implementasi adalah
bagian yang ada di dalamnya.14
Fatih Azza N, Implementasi Kebijakan Pendidikan, Jurnal Review Pendidikan dan Pengajaran,10
14
D. KONDISI FINANSIAL
Terdapat beberapa prosedur pemecahan masalah dalam memastikan kondisi
finansial agar tetap dalam kondisi baik dan stabil, antara lain; memahami secara
konsep dan teori yang terkait dengan implementasi kebijakan pendidikan dan
financial resources. Menganalisis mekanisme dan kaitan financial resources
dalam menentukan implementasi kebijakan pendidikan.
1. Analisis Financial Resources sebagai Faktor Penentu dalam Implementasi
Kebijakan Pendidikan
Analisis financial resources sebagai faktor penentu dalam implementasi
kebijakan pendidikan dilakukan berdasarkan teori Carl V. Patton & David
S. Sawicki (1986:25) terdiri dari enam langkah. Analisis ini dimulai dari
verifikasi, perumusan dan perincian masalah financial resources
sebagai faktor penentu dalam implementasi kebijakan pendidikan.
Perumusan masalah dapat memasok pengetahuan yang relevan dengan
kebijakan yang memeprsoalkan asumsi-asumsi yang mendasari definisis
masalah dan memasuki proses pembautan kebijakan melalui penyusunan
agenda. Perumusan masalah dapat membantu menemukan asumsi-asumsi
yang tersembunyi, mendiagnosis penyebab-penyebabnya, memetakan
tujuan-tujuan yang memungkinkan, memadukan pandangan-pandangan
yang bertentanagan dan merancang peluang-peluang kebijakan yang baru
15 11 2,
Elisa Putri Kholifah, Implementasi Kebijakan Pendidikan , Jurnal Al-Muaddib, Volume 4 Nomor
Oktober 2022, 168.
sebelum implementasikebijakan pendidikan dilaksanakan. Masalah sumber
daya finansial dalam implementasi kebijakan pendidikan meliputi (1) dana
pemerintah, orang tua dan masyarakat, (2) SDM seperti guru, siswa, komite,
dan lain-lain, (3) sarana dan prasarana sekolah, (4) stakeholders.
2. Kriteria Evaluasi Financial Resources sebagai Faktor Penentu dalam
Implementasi Kebijakan Pendidikan.
Patton & Sawicki (1986:25) mengatakan bahwa penetapan kriteria
evaluasi dimaksudkan untuk melakukan perbandingan, pengukuran dan
pemilihan alternatif yang harus diputuskan diperlukan kriteria evaluasi yang
sesuai. Secara umum dipakai pengukuran atas biaya, keuntungan,
efektivitas, efesiensi, keadilan, legalitas dan akseptabilities secara politis.
Dalam pembahasan sumber daya finansial dalam implementasi kebijakan
pendidikan, maka ditetapkan evaluasi yang terkait dengan dana pemerintah,
orang tua dan masyarakat, (2) sumberdaya manusia (SDM) seperti pimpinan,
guru, siswa, komite, dan lain-lain, (3) sarana dan prasarana pendidikan, (4)
stakeholders.
3. Identifikasi Alternatif Financial Resources sebagai Faktor Penentu dalam
Implementasi Kebijakan Pendidikan.
Dalam tahapan ini dilakukan proses pengurutan sejumlah alternatif
yang cocok dengan rumusan permasalahan. Hal ini juga berkaitan dengan
keragaman dan berbagai kemungkinan dari alternatif yang
dipertimbangkan. Dalam kajian ini alternatif yang perlu dipertimbang adalah
besarnya dana yang ada baik dari pemerintah, orang tua dan masyarakat terkait
imlementasi kebijakan pendidikan karena tanpa dana implementasi
kebijakan pendidikan tidak dapat berjalan dengan baik. Selain itu,
kebutuhan guru, siswa dan stakeholders harus diperhatikan dalam
implementasi kebijakan pendidikan. Sarana dan prasarana pendidikan juga
harus menjadi pertimbangan dalam implementasi kebijakan pendidikan.
4. Evaluasi Alternatif Financial Resources sebagai Faktor Penentu dalam
Implementasi Kebijakan Pendidikan.
Berdasarkan kriteria-kriteria evaluasi yang di atas, maka evaluasi
12
financial resources sebagai faktor penentu implementasi kebijakan
pendidikan difokuskan pada faktor yang terkait dengan sumber dana, SDM
dan stakeholders. Sumber dana, kompetensi SDM dan stakeholders
merupakan tiga faktor utama dalam implementasi kebijakan pendidikan
sebab tanpa ketiga faktor tersebut implementasi kebijakan pendidikan tidak
jalan dengan lancar.
5. Memilih Alternatif Financial Resources sebagai Faktor Penentu dalam
Implementasi Kebijakan Pendidikan.
Alternatif financial resources sebagai faktor penentu dalam
implementasi kebijakan pendidikan harus mempertimbangkan faktor
sumber dana, SDM dan stakeholders. Implementasi kebijakan pendidikan
setidaknya akan tetap berjalan jika ada ketiga faktor tersebut, meskipun
untuk sempurnanya juga perlu faktor sarana dan prasarana pendidikan.
6. Monitoring dampak Financial Resources sebagai Faktor Penentu dalam
Implementasi Kebijakan Pendidikan.
Dampak yang dimaksud dalam kajian ini adalah dampak yang timbul
jika dalam implementasi kebijakan pendidikan tidak mempertimbangkan
faktor sumber dana, SDM dan stakeholders. Dampak jika ketiga faktor
tersebut tidak diperhatikan dalam implementasi kebijakan pendidikan adalah
implementasinya tidak jalan. Dampak lain jika salah satu faktor: stakeholders
yang diperhatikan, maka implementasi kebijakan pendidikan masih berjalan
namun tidak berjalan dengan lancar. Akan tetapi, jika faktor sumber dana
dan SDM atau salah satunya yang tidak diperhatikan, maka kebijakan
pendidikan tidak akan berjalan sama sekali.
16 14
Elih Yuliah, Implementasi Kebijakan Pendidikan, Jurnal at-Tadbir: Media Hukum dan Pendidikan
Volume 30 Nomor 2 Tahun 2020. 135
negara dalam menghadapi pasar global yang sangat dinamis. Kondisi ini dikaitkan
dengan maraknya laju perkembangan teknologi digiltal di berbagai bidang.
Teknologi Digital
Internet sendiri masuk ke Indonesia pada era tahun 1990-an. Saat itu, jaringan
internet di Indonesia lebih dikenal sebagai paguyuban network, di mana semangat
kerjasama dan gotong royong sangat hangat diantara para penggunanya. Setelah
beberapa tahun internet masuk dalam kehidupan masyarakat Indonesia, hingga saat ini
diperkirakan ada kurang lebih 143 juta pengguna internet di seluruh Indonesia,
menurut Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia. Nilai tersebut didapatkan
dari kontribusi penghasilan mitra pengemudi Go-Jek sebesar Rp 8,2 triliun dan melalui
mitra UMKM sebesar Rp 1,7 triliun setiap tahunnya. Tidak hanya itu, satu dari sekian
macam fitur online di Indonesia yang bisa memudahkan setiap aktivitas masyarakat di
Indonesia, fitur online ini secara tidak sengaja mengurangi tingkat pengangguran di
Indonesia dan memunculkan banyak UMKM yang secara perlahan akan membuat
yang tadinya hanya UMKM akan bisa jadi perusahaan besar bahkan membawa nama
Industri Indonesia semakin besar kearah Internasional.
Internet of Thing (IoT) adalah sebuah konsep dimana suatu objek yang
memiliki kemampuan untuk mentransfer data melalui jaringan tanpa memerlukan
interaksi manusia ke manusia atau manusia ke komputer. IoT telah berkembang dari
konvergensi teknologi nirkabel, micro-electromrchanical system (MEMS), dan
internet. Menurut Casagras (Coordinator and support action for global RFID – related
activities and standadisation) mendefinisikan IoT sebagai sebuah infrastruktur jaringan
global, yang menghubungkan benda-benda fisik dan virtual melalui eksploitasi15
data
capture dan kemampuan komunikasi. Infrastruktur terdiri atas jaringan yang telah ada
dan internet. Semua ini akan menawarkan identifikasi objek, sensor kemampuan
koneksi sebagai dasar untuk pengembangan layanan dan aplikasi k0-operatif yang
independen.
Agar Indonesia dapat bersaing dengan negara lain di bidang industri, Indonesia
juga harus mengikuti tren. Revolusi industri 4.0 merupakan upaya tranformasi menuju
perbaikan dengan mengintegrasikan dunia online dan lini produksi di industri, dimana
semua proses produksi berjalan dengan internet sebagai penopang utama (Airlangga
Hartanto).
KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan di atas ada 5 point penting dalam pembahasan kali ini.
Yang pertama adalah tentang aktor-aktor kebijakan public yang memiliki pengaruh
langsung terhadap keberhasilan proses formulasi, aktor-aktor Hubungan antar aktor ini
bisa bersifat horizontal (layers), vertikal (levels), maupun antar lembaga (locus-loci).
Secara umum dapat dikatakan bahwa semakin banyak aktor (layers, levels, loci) yang
terlibat dalam formulasi sebuah kebijakan, maka akan semakin sulit pula kebijakan
tersebut diimplementasikan dan mencapai tujuan yang diharapkan namun secara
umum aktor yang terlibat dalam proses formulasi kebijakan dibagi menjadi dua. (1)
aktor insiden government yang miluputi president, anggot dari dewan perwakilan
rakyat, yudikatif dan birokrasi. (2) aktor Ouside government yang meliputi interest
group, akademis, politisi, media, opini public, beneficiaries dan Lembaga honor.
DAFTAR PUSTAKA
Sedya santoso, rosnaen “isu-isu kontemporer dalam Pendidikan islam di madrasah
ibtidaiyah bellu kebupaten bone” JURNAL BASICEDU: vol 5 no 5 2021
https://silvanadewi09.blogspot.com/2017/01/aktor-dan-pelaku-pembuat-
kebijakan.html. accessed at 04:09 15/10/2023
18