Anda di halaman 1dari 24

TUGAS 12

PSIKOLOGI PENDIDIKAN
‘’ KECERDASAN INTELEKTUAL DAN
KECERDASAN EMOSIONAL ‘’

OLEH:
MAGFIRAH (517023)

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BONE

2021
A. Pengertian Kecerdasan
Kecerdasan berasal dari kata cerdas yang berarti pintar dan cerdik, cepat
tanggap dalam menghadapi masalah dan cepat mengerti jika mendengar
keterangan (Batennie, 2019:18). Kecerdasan adalah kesempurnaan perkembangan
akal budi. Kecerdasan adalah kemampuan seseorang untuk memecahkan masalah
yang dihadapi, dalam hal ini adalah masalah yang menuntut kemampuan fikiran.
Kecerdasan atau yang biasa disebut dengan inteligensi berasal dari bahasa Latin
“intelligence” yang berarti menghubungkan atau menyatukan satu sama lain (to
organize, torelate, to bind together) (Ashuri, 2020:42). Kecerdasan adalah
kapasitas seseorang untuk memperoleh pengetahuan (yakni belajar dan
memahami), mengaplikasikan pengetahuan (memecahkan masalah) dan
melakukan penalaran abstrak. Kecerdasan adalah kekuatan akal seseorang dan
jelas-jelas sangat penting bagi kehidupan manusia karena merupakan aspek dari
keseluruhan kesejahteraan manusia. Bagi para ahli yang meneliti, istilah
inteligensi memberikan bermacam-macam arti. Menurut mereka, kecerdasan
merupakan sebuah konsep yang bisa diamati tetapi menjadi hal yang paling sulit
untuk didefinisikan. Hal ini terjadi karena inteligensi tergantung pada konteks
atau lingkungannya (Citra, 2019:94).
Menurut Dusekke dalam Syamsudin, (2020:93) kecerdasan dapat
didefinisikan melalui dua jalan yaitu secara kuantitatif dan kualitatif. Secara
kuantitatif, kecerdasan adalah proses belajar untuk memecahkan masalah yang
dapat diukur dengan tes inteligensi, sedangkan secara kualitatif kecerdasan
merupakansuatu cara berpikir dalam membentuk konstruk bagaimana
menghubungkan dan mengelola informasi dari luar yang disesuaikan dengan
dirinya. Menurut Claparade dan Stern dalam Elihami, (2019:43) kecerdasan
merupakan penyesuaian diri secara mental terhadap situasi atau kondisi baru.
Howard Gardner dalam Samosir, (2019:3-5) berpendapat kecerdasan adalah
kemampuan untuk memecahkan atau menciptakan sesuatu yang bernilai bagi
budaya tertentu.
Alfred Binet merupakan seorang tokoh perintis pengukuran inteligensi,
menjelaskan bahwa inteligensi merupakan kemampuan individu mencangkup tiga
hal yaitu (Mawarni, Syahbana & Septiati, 2019:174) :

1
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BONE
1. Kemampuan mengarahkan pikiran atau mengarahkan tindakan, artinya
individu mampu menetapkan tujuan untuk dicapainya (goal setting);
2. Kemampuan untuk mengubah arah tindakan bila dituntut demikian,
artinya individu mampu melakukan penyesuaian diri dalam lingkungan
tertentu; dan
3. Kemampuan untuk mengkritik diri sendiri atau melakukan auto kritik,
artinya individu mampu melakukan perubahan atas kesalahan-kesalahan.
Raymond Bernard Cattel dalam Asran & Nadiro, (2019:253)
mengklasifikasikan kemampuan mental menjadi dua macam, yaitu inteligensi
fluid (gf) dan inteligensi crystallized (gc). Inteligensi fluid merupakan kemampuan
yang berasal dari faktor bawaan biologis yang diperoleh sejak kelahirannya dan
lepas dari pengaruh pendidikan dan pengalaman. Sedangkan inteligensi
crystallized merupakan kemampuan yang merefleksikan adanya pengaruh
pengalaman, pendidikan dan kebudayaan dalam diri seseorang, inteligensi ini
akan meningkat kadarnya dalam diri seseorang seiring dengan bertambahnya
pengetahuan, pengalaman dan keterampilan-keterampilan yang dimiliki oleh
individu. Karakteristik dari inteligensi fluid cenderung tidak berubah setelah usia
14 atau 15 tahun, sedangkan inteligensi crystallized masih dapat terus berkembang
sampai usia 30-40 tahun bahkan lebih.
Berdasarkan pengertian kecerdasan di atas, dapat disimpulkan bahwa
kecerdasan adalah kemampuan seseorang untuk memecahkan masalah yang
dihadapi, dalam hal ini adalah masalah yang menuntut kemampuan fikiran serta
dapat diukur secara kuantitatif dan kualitatif. Macam-macam kecerdasan menurut
para ahli psikologi di dunia menyimpulkan terkait dengan pemetaan kecerdasan
(quotient mapping) seseorang, dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu kecerdasan
intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Ketiga kecerdasan ini
merupakan kecerdasan personal yang melekat pada pribadi seseorang.
B. Kecerdasan Intelektual/Intelligence Quotient (IQ)
Kecerdasan intelektual adalah kecerdasan yang menuntut pemberdayaan
otak, hati, jasmani dan pengaktifan manusia untuk berinteraksi secara fungsional
dengan yang lain (Fanani, 2020:115). Intelectual Quotient atau yang biasa disebut
dengan IQ merupakan istilah dari pengelompokan kecerdasan manusia yang

2
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BONE
pertama kali diperkenalkan oleh Alferd Binet, ahli psikologi dari perancis pada
awal abad ke 20. Kemudian Lewis Ternman dari Universitas Stanford berusaha
membakukan test IQ yang dikembangkan oleh Binet dengan mengembangkan
norma populasi, sehingga selanjutnya test IQ tersebut dikenal dengan test
Stanford-Binet. Pada saat itu, IQ dipahami sebagai pokok dari sebuah kecerdasan
seseorang sehingga IQ dianggap menjadi tolak ukur keberhasilan dan prestasi
hidup seseorang (Hasnan, Rusdinal & Fitria, 2020:241).
Kecerdasan ini adalah sebuah kecerdasan yang memberikan orang tersebut
kemampuan untuk berhitung, beranalogi, berimajinasi dan memiliki daya kreasi
serta inovasi. Kecerdasan intelektual merupkan kecerdasan tunggal dari setiap
individu yang pada dasarnya hanya bertautan dengan aspek kognitif dari setiap
masing-masing individu tersebut (Subekti & Ariswan, 2016:253). Prakarsa kedua
orang di atas menghasilkan test Stanford-Binet, yang digunakan untuk mengukur
kecerdasan anak yang boleh masuk sekolah biasa atau sekolah luar biasa. Sudut
pandang Stanford-Binet IQ dipandang sebagai berikut (Santi & Khan, 2019:192) :
1. Kecenderungan untuk menetapkan dan mempertahankan tujuan tertentu,
semakin cerdas seseorang, semakin cakap menentukan tujuan tersebut,
dengan tidak mudah membelokkan tujuan tersebut;
2. Kemampuan untuk menyelesaikan dengan tujuan yang telah ditetapkan
tersebut; dan
3. Kemampuan untuk melakukan otokritik, yang terwujud dalam kemampuan
untuk mencari kesalahan yang telah diperbuatnya dan memperbaiki
kesalahan tersebut.
IQ (Intelligence Quotient) adalah kemampuan atau kecerdasan yang
didapat dari hasil pengerjaan soal-soal atau kemampuan untuk memecahkan
sebuah pertanyaan dan selalu dikaitkan dengan hal akademik seseorang.
Orang yang kecerdasan intelektualnya baik, baginya tidak akan ada informasi
yang sulit, semuanya dapat disimpan, diolah dan diinformasikan kembali pada
saat dibutuhkan. Proses dalam menerima, menyimpan dan mengolah kembali
informasi biasa disebut “berfikir”. Berfikir adalah media untuk menambah
perbendaharaan otak manusia (Nerawati, Dalifa & Yusuf, 2017:2).

3
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BONE
Terdapat lima dimensi kemampuan intelektual (Fauziah, Rosnaningsih &
Azhar, 2017:48) yaitu :
1. Kognisi, yang merupakan operasi pokok intelektual dalam proses belajar;
2. Mengingat merupakan proses mental primer untuk retensi atau menyimpan
dan reproduksi segala sesuatu yang diketahui intelektual;
3. Berfikir divirgen, yaitu operasinya jelas mencakup potensi bakat kreatif,
yang bertugas mencoba sesuatu;
4. Berfikir konvergen, yaitu berfikir yang menghasilkan informasi dari
informasi yang sudah ada, yang hasilnya ditentukan oleh respon yang
diberikan; dan
5. Evaluasi, yaitu kemampuan mencari keputusan atau mencari informasi
dari kriteria yang memuaskan
Tingkat kecerdasan seorang anak yang ditentukan secara metodik oleh IQ
(Intelligence Quotient) memegang peranan penting untuk suksesnya anak dalam
belajar. Menurut penyelidikan, IQ atau daya tangkap seseorang dapat ditentukan
seorang tersebut umur 3 tahun. Daya tangkap sangat dipengaruhi oleh garis
keturunan genetik yang dibawanya dari keluarga ayah dan ibu disamping faktor
gizi makan yang cukup. IQ atau daya tangkap ini dianggap takkan berubah sampai
orang dewasa, kecuali bila ada sebab kemunduran fungsi otak seperti penuaan dan
kecelakaan.
IQ yang tinggi memudahkan seorang murid belajar dan memahami
berbagai ilmu. Daya tangkap yang kurang merupakan penyebab kesulitan belajar
pada seorang murid, disamping faktor lain, seperti gangguan fisik (demam, lemah,
sakit) dan gangguan emosional. Awal untuk melihat IQ seorang anak adalah pada
saat mulai berkata-kata, terdapat hubungan langsung antara kemampuan bahasa
anak dengan IQ-nya. Apabila seorang anak dengan IQ tinggi maasuk sekolah,
penguasaan bahasanya akan cepat dan banyak. Interpretasi dari IQ adalah sebagai
berikut (Desiani, 2020:53):

4
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BONE
TINGKAT KECERDASAN IQ

Genius di atas 140


Sangat super 120 – 140
Super 110 – 120
Normal 90 – 110
Bodoh 80 – 90
Perbatasan 70 – 80
Dungu 50 – 70
Inbecile 25 – 50
Idiot 0 – 25
Kematangan intelektual menjadi perasyarat pelajar yang baik bagi siswa.
Demikian juga kematangan psikologis dan kepribadian. Kematangan intelektual
bisa menjadi prakondisi atau kondisi, diperlukan proses belajar yang lama dan
intensif bagi terwujudnya intelektual siswa. Kematangan intektual yang dicapai
melalui sebuah proses merupakan “kondisi”. Intelektual siswa yang sudah matang
menjadi prakondisi baik kematangan intelektualisasi lanjutan (Narindrani, 2018:
242).
Salah satu ciri kematangan intelektual siswa adalah kemampuannya
mentoleransi ketidakpastian, menahan persetujuan, kemampuan untuk
kontradiksi, serta mengakui manfaat atas konsep dan pendapat yang berlawanan
tanpa skeptisme dan rivalitas. Orang yang sudah matang intelektualnya tidak akan
mengembangkan sikap antagonistik ketika terjadi perbedaan pendapat, mengkaji
ulang simpulan yang meragukan dan mencoba mengambil manfaat atas konsep
atau teori yang berbeda dari perspektif lain. Baginya, sikap skeptis menjadi
penting tetapi tidak berlebihan, apalagi selalu skeptis dengan perilaku, tindakan
atau pemikiran orang lain (Narindrani, 2018: 242).
C. Cara Menigkatkan Kecerdasan Intelektual / Intelligence Quotient (IQ)
1. Membuat Dialog Internal Pemberdayaan
Dialog sangat memiliki pengaruh terhadap kemampuan anak. Dialog yang
negatif dapat mendorong anak mengalami kegagalan. Anak yang merasa rendah
diri, akan mengalami pemiskinan intelektualitas. Sedangkan sebaliknya, dialog
positif dapat meningkatkan keberhasilan anak meraih masa depan. Para ilmuwan
percaya, ada hubungan signifikan antara pikiran dan tubuh anak. Pikiran depresi

5
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BONE
akan menekan energi dan motivasi. Selain itu, juga mengurangi kemampuan anak
berfikir jernih dan melakukan tindakan tepat. Anak-anak yang depresi cenderung
mengalami keraguan dan sulit berpikir jernih. Depresi dapat mengguncang
keteguhan sehingga anak-anak tidak dapat mengenali apa yang benar-benar dapat
dicapai. Ciptakan sebuah dialog internal positif yang dapat meningkatkan kinerja
intelektual anak. Yakni sebuah cara menghilangkan pemikiran subyektif dan
membangun kepercayaan diri, mengajarkan anak bagaimana mempraktekkan
tanggapan positif (Asmara, Irnad, & Hartono, 2018: 56).
2. Tanamkan kata-kata
Memberikan kata-kata yang bisa memotivasi anak untuk meningkatkan
tingkat belajar anak dan membuat anak semangat dalam belajar. Contoh: Saya
akan melakukan yang terbaik yang saya bisa (Indah, 2019:495).
3. Latihan Pengendalian Pernapasan Anak
Salah satu metode efektif dan efisien merangsang proses mental anak
adalah pengendalian bernafas. Penelitian menunjukkan, anak-anak memiliki
performa akademis yang lebih baik ketika mereka melakukan latihan pernafasan
sebelum tes atau tugas. Latihan pernafasan ini terbukti dapat mengurangi rasa
cemas ketika menghadapi ujian. Selain itu, pernafasan yang meningkatkan aliran
oksigen ke otak dapat meningkatkan daya ingat, konsentrasi dan kemampuan
pemecahan masalah. Caranya cukup mudah, ajarkan anak menghitung sampai
lima saat bernafas kemudian sampai lima lagi saat nafas keluar. Ulangi cara
bernafas ini sekitar 6 kali atau kurang lebih satu menit. Instruksikan anak untuk
mengulang latihan pernafasan setiap kali akan mengerjakan tugas, menghadapi
ujian maupun situasi pemecahan masalah yang lain. Latihan ini perlu diulang
berkali-kali agar anak terbiasa. Hal yang patut digaris bawahi mengenai latihan
pernafasan, perhatikan cara menarik dan membuang nafas yang lebih cocok untuk
dilakukan (Rosidah, Hidayah & Astuti, 2019:16).
4. Lakukan Olah Raga Mental
Beberapa hal dapat dilakukan untuk mengasah kemampuan anak.
Bermain mampu merangsang pikiran, terutama permainan berbasis strategi.
Selain itu, game juga mengasah kemampuan verbal, daya konsentrasi, persepsi
dan penalaran. Berikut beberapa permainan yang direkomendasi untuk

6
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BONE
membangun otak yang dapat dilakukan bersama keluarga yaitu : catur, tebak kata,
puzzle matematika (Rosyid & Baroroh, 2019:93).
5. Meningkatkan Intelektual dengan Interaksi Verbal Keluarga
Jangan menjauhkan anak-anak dari percakapan keluarga hanya ketidak
mengertiannya. Libatkan anak-anak dalam percakapan karena ini juga membantu
mengembangkan keterampilan bahasa dan kosa kata. Tak hanya anak-anak usia
sekolah, justru terutama anak berusia 16 hingga 26 bulan dimana kemampuan
bahasanya sedang berkembang pesat. Tak peduli usia anak, bicarakan topik yang
menarik minat mereka seperti sekolah, teman, hobi, aktivitas, beberapa proyek
kreativitas, perjalanan dan hal-hal menarik lainnya. Apapun yang muncul dari
interaksi ini akan membuat anak merasa dihargai serta berkembang lebih cerdas
(Randa, Lumbantoruan, & Putra, 2018:49).
6. Dorong Anak untuk Membaca Repetitif
Membaca membantu anak mengoptimalkan potensi intelektualnya. Selain
itu, aktivitas membaca bersama dapat memelihara bahasa cinta dan memperkuat
ikatan orang tua dan anak.
D. Pengertian Kecerdasan Emosional
Kehidupan sehari-hari, emosi sering diistilahkan juga dengan perasaan.
Misalnya, seorang siswa mengatakan hari ini merasa senang karena dapat
mengerjakan semua pekerjaan rumah (PR) dengan baik. Siswa dan siswi lain
mengatakan bahwa takut menghadapi ujian. Senang dan takut berkenaan dengan
perasaan, kendati dengan makna yang berbeda. Senang termasuk perasaan
sedangkan takut termasuk emosi. Perasaan menunjukkan suasana batin yang lebih
tenang dan tertutup karena tidak banyak melibatkan aspek fisik, sedangkan emosi
menggambarkan suasana batin yang dinamis dan terbuka karena melibatkan
ekspresi fisik (Danis, 2020:4).
Emosi dan perasaan adalah dua hal yang berbeda. Tetapi perbedaan antara
keduanya tidak dapat dinyatakan dengan logis. Emosi dan perasaan merupakan
gejala emosional yang secara kualitatif berkelanjutan, akan tetapi tidak jelas
batasannya. Pada suatu saat suatu warna afektif dapat dikatakan sebagai perasaan
tetapi juga dapat dikatakan sebagai emosi. Contohnya marah yang ditunjukkan
dalam bentuk diam. Jadi sukar sekali kita mendefinisikan emosi. Menurut Crow &

7
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BONE
Crow pengertian emosi itu adalah “An emotion is affective experience that
accimpanies generalized inner adjusment and mental and physiological stirred-up
states inthe individual, and that shows it sel in his overt behavior”. Jadi emosi
adalah pengalaman afektif yang disertai penyesuaian diri dari dalam individu
tentang keadaan mental dan fisik berwujud suatu tingkah laku yang tampak
(Limay, Putra & Dwidayati, 2018:486).
Emosi adalah perasaan atau afeksi yang timbul ketika seseorang sedang
berada dalam suatu keadaan atau suatu interaksi yang dianggap penting olehnya,
terutama well-being dirinya. Pada saat emosi, sering terjadi perubahan-perubahan
pada fisik sesorang, (Ramadhan, Dwijananti, & Wahyuni, 2018:86) seperti :
1. Reaksi elektris pada kulit meningkat bila terpesona;
2. Peredaran darah bertambah cepat bila marah;
3. Denyut jantung bertambah cepat bila terkejut;
4. Bernafas panjang bila kecewa;
5. Pupil mata membesar bila marah;
6. Air liur mengering bila takut atau tegang;
7. Bulu roma berdiri kalau takut;
8. Pencernaan menjadi sakit atau mencret-mencret kalu tegang;
9. Otot menjadi tegang atau bergetar (tremor); dan
10. Komposisi darah berubah dan kelenjar-kelenjar lebih aktif.

Emosi adalah “A complex feeling state accompained by characteristic


motor and glandular activies” suatu keadaan atau perasaan yang kompleks yang
disertai karakteristik kegiatan kelenjar dan motoris. Sedangkan Sarlito wirawan
sarwono berpendapat bahwa emosi merupakan setiap keadaan pada diri seseorang
yang disertai warna afektif baik pada tingkat lemah (dangkal) maupun pada
tingkat yang luas (mendalam). Emosi merupakan warna afektif yang menyertai
setiap keadaan atau perilaku individu. Maksud warna afektif adalah perasaan-
perasaan tertentu yang dialami pada saat menghadapi (menghayati) suatu sitasai
tertentu. Contohnya gembira, bahagia, putus asa, terkejut, benci (tidak senang)
dan sebagainya (Fitri, Dasna, & Suharjo, 2018:202). Terdapat beberapa contoh

8
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BONE
tentang pengaruh emosi terhadap prilaku individu diantaranya sebagai berikut
(Fitri, Dasna, & Suharjo, 2018:202):
1. Memperkuat semangat, apabila orang merasa senang atau puas atas hasil
yang telah dicapai;
2. Melemahkan semangat, apabila timbul rasa kecewa karena kegagalan dan
sebagai puncak dari keadaan ini adalah timbulnya rasa putus asa (frustasi);
3. Menghambat atau mengganggu kosentrasi belajar, apabila mengalami
ketegangan emosi dan dapat menimbulkan sikap gugup (nervous) dan
gagap dalam berbicara;
4. Terganggu penyesuaian sosial, apabila terjadi rasa cemburu dan iri hati;
dan
5. Suasana emosional yang diterima dan dialami individu sesama kecilnya
akan mempengaruhi sikap dikemudian hari, baik terhadap dirinya sendiri
maupun terhadap orang lain.

Emosi sebagai suatu peristiwa psikologis mengandung ciri-ciri sebagai


berikut (Magelo, Hulukati, & Djakaria, 2019:16):
1. Lebih bersikap subjektif dari pada peristiwa psikologis lainnya, seperti
pengamatan dan berfikir;
2. Bersifat fluktuatif (tidak tetap); dan
3. Banyak bersangkut paut peristiwa pengenalan panca indra.
Dalam khazanah disiplin ilmu pengetahuan, terutama psikologi, istilah
“kecerdasan emosional” (Emotional Intelligence), merupakan sebuah istilah yang
relatif baru. Istilah ini dipopulerkan oleh Daniel Goleman berdasarkan hasil
penelitian tentang neurolog dan psikolog yang menunjukkan bahwa kecerdasan
emosional sama pentingnya dengan kecerdasan intelektual. Berdasarkan hasil
penelitian neurolog dan psikolog tersebut, maka Goleman berkesimpulan bahwa
setiap manusia memiliki dua potensi pikiran, yaitu pikiran rasional dan pikiran
emosional. Pikiran rasional digerakkan oleh kemampuan intelektual atau yang
popular dengan sebutan “Intelligence Quotient” (IQ), sedangkan pikiran
emosional digerakkan oleh emosi (Amirullah et al., 2019:17).

9
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BONE
Salovey dan Mayer dalam Ramadhan et al., (2018:86), mendefinisikan
kecerdasan emosional sebagai suatu jenis kecerdasan sosial yang melibatkan
kemampuan memantau perasaan sosial pada diri sendiri dan orang lain, memilah-
milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan
tindakan. Menurut Dwi Sunar P. dalam Alfitriani, (2016:131), kecerdasan
emosional adalah kemampuan seseorang untuk menerima, menilai, mengelola,
serta mengontrol emosi dirinya dan orang lain disekitarnya. Menurut Goleman,
dalam Riadi, (2017:3) kecerdasan emosional merujuk kepada kemampuan
mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi
diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan
dalam hubungan dengan orang lain.
Kecerdasan emosi mencakup kemampuan-kemampuan yang berbeda
tetapi saling melengkapi dengan kecerdasan akademik (academic intelligence),
yaitu kemampuan-kemampuan kognitif murni yang diukur dengan IQ. Banyak
orang yang cerdas, dalam arti terpelajar, tetapi tidak mempunyai kecerdasan
emosi, sehingga dalam bekerja menjadi bawahan orang ber-IQ lebih rendah tetapi
unggul dalam keterampilan kecerdasan emosi. Daniel Goleman
mengklasifikasikan kecerdasan emosional atas lima komponen penting, (Hermana
& Rusmayadia, 2018:36) yaitu:
1. Mengenali emosi;
2. Mengelola emosi;
3. Motivasi diri sendiri;
4. Mengenali emosi orang lain; dan
5. Membina hubungan.
Mengenali emosi diri atau kesadaran diri (knowing one’s emotions self-
awareness), yaitu mengetahui apa yang dirasakan seseorang pada suatu saat dan
menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri, memiliki
tolak ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat.
Mengelola emosi (managing emotions), yaitu menangani emosi sendiri agar
berdampak positif bagi pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati dan sanggup
menunda kenikmatan sebelum tercapainya satu tujuan, serta mampu menetralisir
tekanan emosi (Palittin, Wolo, & Purwanty, 2019:103).

10
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BONE
Motivasi diri (motivating oneself), yaitu menggunakan hasrat paling dalam
untuk menggerakkan dan menuntun manusia menuju sasaran, membantu
mengambil inisiatif dan bertindak sangat efektif serta bertahan menghadapi
kegagalan dan frustasi. Kunci motivasi adalah memanfaatkan emosi, sehingga
dapat mendukung kesuksesan hidup seseorang. Mengenali emosi orang lain
(recognizing emotions in other) empati, yaitu kemampuan untuk merasakan apa
yang dirasakan orang lain, mampu memahami perspektif mereka, menumbuhkan
hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan orang banyak atau
masyarakat (Pradilasari, Gani, & Khaldun, 2019:10).
Membina hubungan (handling relationship), yaitu kemampuan
mengendalikan dan menangani emosi dengan baik ketika behubungan orang lain,
cermat membaca situasi dan jaringan sosial, berinteraksi dengan lancar,
memahami dan bertindak bijaksana dalam hubungan antar manusia.
Memperhatikan kelima komponen kecerdasan emosi di atas, dapat dipahami
bahwa kecerdasan emosi sangat dibutuhkan oleh manusia dalam rangka mencapai
kesuksesan, baik di bidang akademis, karir maupun dalam kehidupan sosial
(Sahertia, 2020:10).
Berdasarkan definisi kecerdasan emosional menurut para ahli di atas dapat
disimpulkan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk memotivasi
diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan
dalam hubungannya dengan orang lain.
E. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional
Goleman menjelaskan ada beberapa faktor kecerdasan emosional individu
(Hamzah & Setiawati, 2020:304), yaitu :
1. Lingkungan Keluarga
Kehidupan keluarga merupakan sekolah pertama dalam mempelajari
emosi. Kecerdasan emosi dapat diajarkan pada saat masih bayi melalui ekspresi.
Peristiwa emosional yang terjadi pada masa anak-anak akan melekat dan menetap
secara permanen hingga dewasa. Kehidupan emosional yang dipupuk dalam
keluarga sangat berguna bagi anak kelak di kemudian hari.

11
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BONE
2. Lingkungan Non Keluarga
Hal ini yang terkait adalah lingkungan masyarakat dan pendidikan.
Kecerdasan emosi ini berkembang sejalan dengan perkembangan fisik dan mental
anak. Pembelajaran ini biasanya ditujukan dalm suatu aktivita bermain sebagai
seseorang diluar dirinya dengan emosi yang menyertai keadaan orang lain.
Menurut Le Dove dalam Utami, (2018:43) bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi kecerdasan emosi antara lain :
1. Fisik
Secara fisik bagian yang paling menentukan atau paling berpengaruh
terhadap kecerdasan emosi seseorang adalah anatomi saraf emosinya. Bagian otak
yang digunakan untuk berfikir yaitu konteks (kadang kadang disebut juga neo
konteks). Sebagai bagian yang berada dibagian otak yang mengurusi emosi yaitu
system limbic, tetapi sesungguhnya antara kedua bagian inilah yang menentukan
kecerdasan emosi seseorang.
a. Konteks
Bagian ini berupa bagian berlipat-lipat kira-kira 3 milimeter yang
membungkus hemisfer serebral dalam otak. Konteks berperan penting
dalam memahami sesuatu secara mendalam, menganalisis mengapa
mengalami perasaan tertentu dan selanjutnya berbuat sesuatu untuk
mengatasinya. Konteks khusus lobus prefrontal, dapat bertindak sebagai
saklar peredam yang memberi arti terhadap situasi emosi sebelum berbuat
sesuatu.
b. System limbic.
Bagian ini sering disebut sebagai emosi otak yang letaknya jauh
didalam hemisfer otak besar dan terutama bertanggung jawab atas
pengaturan emosi dan implus. Sistem limbic meliputi hippocampus,
tempat berlangsungnya proses pembelajaran emosi dan tempat
disimpannya emosi. Selain itu, amygdala yang dipandang sebagai pusat
pengendalian emosi pada otak.
2. Psikis
Kecerdasan emosi selain dipengaruhi oleh kepribadian individu, juga
dapat dipupuk dan diperkuat dalam diri individu. Berdasarkan uraian tersebut

12
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BONE
dapat disimpulkan bahwa terdapat dua faktor yang dapat mempengaruhi
kecerdasan emosi seseorang yaitu secara fisik dan psikis. Secara fisik terletak di
bagian otak yaitu konteks dan sistem limbic, secara psikis meliputi lingkungan
keluarga dan lingkungan non keluarga.
Menurut Dinkmeyer dalam Di, Ponorogo & Alviyan, (2020:46) faktor-
faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi anak adalah faktor kondisi fisik dan
kesehatan, tingkat intelegensi, lingkungan sosial dan keluarga. Anak yang
memiliki kesehatan yang kurang baik dan sering lelah cenderung menunjukkan
reaksi emosional yang berlebihan. Anak yang dibesarkan dalam keluarga yang
menerapkan disiplin yang berlebihan cenderung lebih emosional. Pola asuh orang
tua berpengaruh terhadap kecerdasan emosi anak dimana anak yang dimanja,
diabaikan atau dikontrol dengan ketat (overprotective) dalam keluarga cenderung
menunjukkan reaksi emosional yang negatif.
Menurut Agustian (2007) faktor-faktor yang berpengaruh dalam
peningkatan kecerdasan emosi (Suryani, 2017:117), yaitu :
1. Faktor Psikologis
Faktor psikologis merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu.
Faktor internal ini akan membantu individu dalam mengelola, mengontrol,
mengendalikan dan mengkoordinasikan keadaan emosi agar termanifestasi dalam
perilaku secara efektif. Menurut Goleman (2007) kecerdasan emosi erat kaitannya
dengan keadaan otak emosional. Bagian otak yang mengurusi emosi adalah sistem
limbik. Sistem limbik terletak jauh dalam hemisfer otak besar dan terutama
bertanggung jawab atas pengaturan emosi dan impuls. Peningkatan kecerdasan
emosi secara fisiologis dapat dilakukan dengan puasa. Puasa tidak hanya
mengendalikan dorongan fisiologis manusia, namun juga mampu mengendalikan
kekuasaan impuls emosi. Puasa yang dimaksud salah satunya yaitu puasa
sunah Senin Kamis.
2. Faktor Pelatihan Emosi
Kegiatan yang dilakukan secara berulang-ulang akan menciptakan
kebiasaan dan kebiasaan rutin tersebut akan menghasilkan pengalaman yang
berujung pada pembentukan nilai (value). Reaksi emosional apabila diulang-ulang
pun akan berkembang menjadi suatu kebiasaan. Pengendalian diri tidak muncul

13
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BONE
begitu saja tanpa dilatih. Melalui puasa sunah Senin Kamis, dorongan, keinginan,
maupun reaksi emosional yang negatif dilatih agar tidak dilampiaskan begitu saja
sehingga mampu menjaga tujuan dari puasa itu sendiri. Kejernihan hati yang
terbentuk melalui puasa sunah Senin Kamis akan menghadirkan suara hati yang
jernih sebagai landasan penting bagi pembangunan kecerdasan emosi.
3. Faktor Pendidikan
Pendidikan dapat menjadi salah satu sarana belajar individu untuk
mengembangkan kecerdasan emosi. Individu mulai dikenalkan dengan berbagai
bentuk emosi dan bagaimana mengelolanya melalui pendidikan. Pendidikan tidak
hanya berlangsung di sekolah, tetapi juga di lingkungan keluarga dan
masyarakat. Sistem pendidikan di sekolah tidak boleh hanya menekankan pada
kecerdasan akademik saja, memisahkan kehidupan dunia dan akhirat, serta
menjadikan ajaran agama sebagai ritual saja. Pelaksanaan puasa sunah Senin
Kamis yang berulang-ulang dapat membentuk pengalaman keagamaan yang
memunculkan kecerdasan emosi. Puasa sunah Senin Kamis mampu mendidik
individu untuk memiliki kejujuran, komitmen, visi, kreativitas, ketahanan mental,
kebijaksanaan, keadilan, kepercayaan, peguasaan diri atau sinergi, sebagai bagian
dari pondasi kecerdasan emosi.
F. Langkah-Langkah Pengembangan Kecerdasan Emosional dalam
Pembelajaran di Kelas
Keluarga merupakan hal yang pertama kali diamati ketika anak baru
berusia lima tahun, dan sekali lagi diamati saat anak itu sudah mencapai usia
sembilan tahun (Sarmin, 2017:109). Oleh karena itu, orang tua dalam hal ini harus
menjadi pelatih yang efektif bagi anak untuk meningkatkan kecerdasan emosional
anak yang dapat membantu mengembangkan kecerdasan emosional. Proses
tersebut terjadi dalam lima langkah (Ernayanti & Marheni, 2019:230) yaitu :
1. Menyadari emosi anaknya, yaitu orang tua merasakan apa yang dirasakan oleh
anak-anak mereka. Agar bisa melakukannya, orang tua harus menyadari
emosi-emosi, pertama dalam diri mereka sendiri kemudian dalam diri anak-
anak mereka. Orang tua yang awas dapat mengenali isyarat-isyarat malapetaka
emosional pada anak-anak mereka, isyarat-isyarat itu muncul dalam tingkah

14
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BONE
laku seperti makan terlalu banyak, hilangnya nafsu makan, mimpi buruk dan
keluhan pusing-pusing atau sakit perut;
2. Mengakui emosi itu sebagai peluang untuk kedekatan dan mengajar, yaitu
mengakui emosi anak dan menolong mereka mempelajari keterampilan-
keterampilan untuk menghibur diri mereka sendiri;
3. Mendengarkan dengan penuh empati dan meneguhkan perasaan anak tersebut,
yaitu mendengarkan dan mengamati petunjuk-petunjuk fisik emosi pada anak.
Orang tua menggunakan imajinasi mereka untuk melihat situasi tersebut dari
titik pandang anak kemudian menggunakan kata-kata mereka untuk
merumuskan kembali dengan cara yang menenangkan dan tidak mengecam
untuk menolong anak-anak mereka memberi nama emosi-emosi mereka itu;
4. Menolong anaknya menemukan kata-kata untuk memberi nama emosi yang
sedang dialaminya, langkah ini merupakan langkah yang gampang dan sangat
penting dalam pelatihan emosi, misalnya tegang, cemas, sakit hati, marah,
sedih dan takut. Menyediakan kata-kata dengan cara ini dapat menolong anak-
anak mengubah suatu perasaan yang tidak jelas, menakutkan, dan tidak
nyaman menjadi sesuatu yang dapat dirumuskan, sesuatu yang mempunyai
batas-batas dan merupakan bagian wajar dari kehidupan sehari-hari. Studi-
studi memperlihatkan bahwa tindakan memberi nama emosi itu dapat berefek
menentramkan terhadap sistem saraf, dengan membantu anak-anak untuk
pulih kembali lebih cepat dari peristiwa-peristiwa yang merisaukan; dan
5. Menentukan batas-batas sambil membantu anak memecahkan masalah yang
dihadapi, proses ini memiliki beberapa tahap (Nurlizawati, 2019:36) yaitu:
a. Menentukan batas-batas terhadap tingkah laku yang tidak pada tempatnya;
b. Menentukan sasaran;
c. Memikirkan pemecahan yang mungkin;
d. Mengevaluasi pemecahan yang disarankan berdasarkan nilai-nilai
keluarga; dan
e. Menolong anak memilih satu pemecahan.
Selain terjadi dalam lingkungan keluarga, pendidikan emosi bisa
diupayakan di lingkungan sekolah. Sekolah harus menyertakan keterampilan
emosional di dalam kurikulumnya, misalnya pelajaran untuk bekerja sama, di

15
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BONE
Amerika, keterampilan emosional ini disebut “Self Science” (Nurlizawati,
2019:37). Self Science adalah perintis gagasan yang saat ini (pada tahun 1996,
yakni tahun penulisan buku Emotional Intellegence oleh Goleman) menyebar di
sekolah-sekolah dari pantai timur sampai pantai barat Amerika Serikat. Nama dari
pelajaran semacam ini beragam mulai dari social development (pengembangan
sosial), life skill (keterampilan hidup), sampai social and emotional learning
(pembelajaran sosial dan emosi). Benang merahnya adalah sasaran untuk
meningkatkan kadar keterampilan emosional dan sosial pada anak sebagai bagian
dari pendidikan regular. Meningkatkan kecerdasan emosional peserta didik, maka
dibutuhkan kiat-kiat sebagai berikut (Abidin, Upik Khoirul & Anam, 2017:111):
1. Mengenali Emosi Diri
Keterampilan ini meliputi kemampuan anda untuk mengidentifikasi apa
yang sesungguhnya anda rasakan. Setiap kali suatu emosi tertentu muncul dalam
pikiran, sehingga harus menangkap pesan apa yang ingin disampaikan. Berikut
adalah beberapa contoh pesan dari emosi: takut, sakit hati, marah, frustasi,
kecewa, rasa bersalah, kesepian.
2. Melepaskan Emosi Negatif
Keterampilan ini berkaitan dengan kemampuan anda untuk memahami
dampak dari emosi negatif terhadap diri sendiri. Sebagai contoh keinginan untuk
memperbaiki situasi ataupun memenuhi target pekerjaan yang mudah marah
ataupun frustasi seringkali justru merusak hubungan dengan bawahan maupun
atasan serta dapat menyebabkan stres. Jadi, selama dikendalikan oleh emosi
negatif justru tidak bisa mencapai potensi terbaik dari diri sendiri. Solusinya,
lepaskan emosi negatif melalui teknik pendayagunaan pikiran bawah sadar
sehingga orang-orang di sekitar tidak menerima dampak negatif dari emosi negatif
yang muncul (Purwati & Fakultas, 2018:29).
3. Mengelola Emosi Diri Sendiri
Jangan pernah menganggap emosi negatif atau positif itu baik atau buruk.
Emosi adalah sekedar sinyal untuk melakukan tindakan untuk mengatasi
penyebab munculnya perasaan itu. Jadi emosi adalah awal bukan hasil akhir dari
kejadian atau peristiwa. Kemampuan untuk mengendalikan dan mengelola emosi
dapat membantu mencapai kesuksesan. Ada beberapa langkah dalam mengelola

16
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BONE
emosi diri sendiri, yaitu menghargai emosi dan menyadari dukungannya kepada
diri sendiri, berusaha mengetahui pesan yang disampaikan emosi serta meyakini
bahwa mampu berhasil menangani emosi ini sebelumnya dan dengan bergembira
mengambil tindakan untuk menanganinya. Kemampuan mengelola emosi adalah
bentuk pengendalian diri yang paling penting dalam manajemen diri, karena
sesungguhnya yang mengendalikan emosi atau perasaan adalah diri sendiri, bukan
sebaliknya (Imansyah & Setyawan 2018:234).
4. Memotivasi Diri Sendiri
Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan merupakan hal yang
sangat penting dalam kaitan untuk memberi perhatian, untuk memotivasi diri
sendiri dan menguasai diri sendiri, dan untuk berkreasi. Kendali diri emosional
menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati adalah
landasan keberhasilan dalam berbagai bidang. Keterampilan memotivasi diri
memungkinkan terwujudnya kinerja yang tinggi dalam segala bidang. Orang-
orang yang memiliki keterampilan ini cenderung jauh lebih produktif dan efektif
dalam hal apapun yang dikerjakan (Aulia & Hasanah, 2020:24).
5. Mengenali Emosi Orang Lain
Mengenali emosi orang lain berarti memiliki empati terhadap apa yang
dirasakan orang lain. Penguasaan ketrampilan ini membuat lebih efektif dalam
berkomunikasi dengan orang lain. Inilah yang disebut sebagai komunikasi
empatik. Berusaha mengerti terlebih dahulu sebelum dimengerti. Keterampilan ini
merupakan dasar dalam berhubungan dengan manusia secara efektif (Sya'diyah &
Fachrurrozie 2020:605).
6. Mengelola Emosi Orang Lain
Keterampilan mengenali emosi orang lain merupakan dasar dalam
berhubungan antar pribadi, maka keterampilan mengelola emosi orang lain
merupakan pilar dalam membina hubungan dengan orang lain. Manusia adalah
makhluk emosional. Semua hubungan sebagian besar dibangun atas dasar emosi
yang muncul dari interaksi antar manusia. Keterampilan mengelola emosi orang
lain merupakan kemampuan yang dahsyat jika dapat mengoptimalkannya.
Sehingga mampu membangun hubungan antar pribadi yang kokoh dan
berkelanjutan, dalam dunia industri hubungan antar korporasi atau organisasi

17
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BONE
sebenarnya dibangun atas hubungan antar individu. Semakin tinggi kemampuan
individu dalam organisasi untuk mengelola emosi orang lain (Ulfah & Ariati,
2017:298-299).
7. Memotivasi Orang Lain
Keterampilan memotivasi orang lain adalah kelanjutan dari ketrampilan
mengenali dan mengelola emosi orang lain. Keterampilan ini adalah bentuk lain
dari kemampuan kepemimpinan, yaitu kemampuan menginspirasi, mempengaruhi
dan memotivasi orang lain untuk mencapai tujuan bersama. Hal ini erat kaitannya
dengan kemampuan membangun kerja sama tim yang tangguh dan handal.
G. Hubungan Antara Kecerdasan Intelektual / Intelligence Quotient (IQ)
dengan Kecerdasan Emosional / Emotional Quotient (EQ).
Perkembangan dalam pandangan terhadap kecerdasan ini mengarah pada
pemikiran bahwa terdapat hubungan secara fungsional antara kecerdasan
intelektual dengan emosi seseorang (Fauzyah, 2019:25). Orang tidak akan pernah
mencapai kesuksesan dalam bidang apapun kecuali mereka menyenangi bidang
itu. Jadi untuk mengoptimalkan kecerdasan intelektual yang biasa disebut dengan
accelereated learning, tidak dapat dicapai tanpa bantuan aktifitas emosional yang
positif (Didik et al., 2019:85). Mengarahkan emosi-emosi tersebut untuk menjadi
potensi yang positif, maka perlu adanya upaya ataupun langkah-langkah yang
dilaksanakan. Upaya tersebut akan mampu melahirkan kecerdasan emosional dari
diri seseorang dan akhirnya dapat mempengaruhi prestasi belajar siswa (Rahajeng,
Yogi & Wigati, 2018:129).
Kecerdasan emosional (Emotional Quatient) itu dalam wacana Al-Qur’an
dikenal dengan konsep akhlakul karimah. Kecerdasan intelektual (IQ) biasa
dipandang sebagai indikator utama kesuksesan seseorang, tetapi sekarang IQ
ternyata tidak satu-satunya alat dalam menentukan kesuksesan hidup seseorang,
orang-orang yang IQ-nya sedang-sedang saja sering mampu mencapai kesukses
yang luar biasa, disebabkan EQ-nya tinggi. Bagi mereka yang IQ dan EQ-nya
tinggi merupakan aset yang sangat berharga. Bila seseorang EQ-nya rendah, maka
kurang bisa mencapai kesuksesan pribadi (Ningrum, Matulessy & Rini,
2019:128).

18
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BONE
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Upik Khoirul & Anam, S. (2017). Pengaruh Konformitas terhadap
Kecerdasan Intelektual di pondok Pesantren., Jurnal Studi Islam, 13(1),
Pp. 98–125.

Amirullah, G., Marlina, A., Pramita, A. Y., Suciati, R., & Astuti, Y. (2019).
Pengaruh Strategi Pembelajaran Active Knowledge Sharing terhadap
Kecerdasan Emosional. BIOEDUSCIENCE: Jurnal Pendidikan Biologi
dan Sains, 03(02), 66–72.
Aulia, R. & Hasanah, N. (2020). Hubungan antara Kecerdasan Intelektual dan
Kecerdasan Emosional., Jurnal Serunai Bimbingan dan Konseling, 9(1),
Pp. 22–26.
Asran, Nadiro, E. S. (2019). Pengaruh Model Pembelajaran dan Gaya Belajar
terhadap Kemampuan Berpikir Kritis., Jurnal Tunas Bangsa, 6(2), Pp.
251–265.
Alfitriani, A. (2016). Evaluasi Pembelajaran dan Implementasinya. Padang:
Sukabina Press.
Asmara, O., Irnad, & Hartono, D. (2018). Analisis Pengaruh Kecerdasan
Emosional., Jurnal Penelitian Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan, 7(2), 53–60.

Ashuri, M. A. (2020). Menerapkan Metode Pembelajaran Future Planning


(Pengembangan Konseling yang Berorientasi Pada Perencanaan Masa
Depan) Mampu Meningkatkan Kecerdasan Intelektual. Jurnal Kajian
Pendidikan Dan Pengajaran, 6(1), Pp. 41–48. Doi:
10.30653/003.202061.91.

Batennie, F. (2019). Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tife Course


Review Horay (CRH) dengan Model Pembelajaran Langsung Kecerdasan
Emosional. Jurnal Ilmiah Pendidikan, 7(1), Pp. 16–24. Doi:
10.33659/Cip.V7i1.118.

Citra, M., & Rusdial, M. Y. (2019). Penerapan Model Pembelajaran Problem


Solving untuk Meningkatkan Kemampuan Kecerdasan Intelektual. Journal
on Teacher Education, 1(1), Pp. 92–102.

Desiani, T. (2020). Pengaruh Pergaulan terhadap Kecerdasan Emosional Siswa


Kelas VIII MTS Negeri 3 Kabupaten Tangerang., Journal of Chemical
Information and Modeling, 1(1), Pp. 47–68.
Di, S., Ponorogo, K. & Alviyan, A. (2020). Peran Kelompok dalam Upaya
Pembentukan Moral dan Kecerdasan Emosional., Jurnal Ilmu Pendidikan
Pkn dan Sosial Budaya, 4(2), Pp. 40–50.
Didik, D. P. Et Al. (2019). Peran Teman Sebaya dalam Upaya Meningkatkan

19
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BONE
Kecerdasan Intelektual dan Kecerdasan Emosional., Indonesia Journal Of
Learning Education And Counseling, 2(1), Pp. 82–89.
Danis, A. (2020). Belajar terhadap Hasil Belajar untuk Meningkatkan Kecerdasan
Intelektual.,Jurnal Pendidikan, 7(1), Pp. 1–11.
Elihami, H. H. ; E. (2019). Pengaruh Pembelajaran Contextual Teaching Learning
terhadap Kecerdasan Emosional,. Jurnal Pendidikan Guru Sekolah Dasar,
2(3), Pp. 42–47.
Ernayanti, N. M. D. & Marheni, A. (2019). Peran Konformitas Self Monitoring
terhadap Kecerdasan Emosional pada Remaja Madya Putri di Denpasar.,
Jurnal Psikologi Udayana. Edisi Khusus Kesehatan Mental, 226-236
Program, 1(1), Pp. 226–236.
Fauzyah, R. (2019). Pengaruh Perhatian Orang Tua terhadap Motivasi Belajar
Peserta Didik untuk Meningkatkan Kecerdasan., Jurnal Informasi Dan
Komunikasi Administrasi Perkantoran, 3(1), Pp. 20–36.

Fitri, H., Dasna, I. W., & Suharjo. (2018). Pengaruh Model Project Based
Learning (PJBL) terhadap Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Ditinjau
dari Motivasi Berprestasi Siswa Kelas IV Sekolah Dasar Hikmatul utuk
Meningkatkan Kecerdasan Intelektual dan Kecerdasan Emosional.
BRILIANT: Jurnal Risetd dan Konseptual, 3(1), 201–212.

Fauziah, A., Rosnaningsih, A., & Azhar, S. (2017). Hubungan Antara Motivasi
Belajar dengan Minat Belajar Siswa Kelas IV SDN Poris Gaga 05 Kota
Tangerang. Jurnal JPSD (Jurnal Pendidikan Sekolah Dasar), 4(1), 47–53.
Https://Doi.Org/10.26555/Jpsd.V4i1.A9594
Fanani, Z. (2020). Kemampuan Siswa dalam Berpikir Tingkat Tinggi dan Faktor
Kecerdasan Emosional,. Jurnal Riset Dan Konseptual, 5(1), Pp. 113–127.
Hamzah, F. & Setiawati (2020). Hubungan Antara Pengaruh Teman terhadap
Kecerdasan Intelktual., SPEKTRUM: Jurnal Pendidikan Luar Sekolah
(PLS), 8(3), Pp. 301–308. Doi: 10.24036/Spektrumpls.V8i3.109568.

Hermana, & Rusmayadia. (2018). Pengaruh Metode Proyek terhadap Kemampuan


Kecerdasan Intelektual dan Kecerdasan Emosional. Jurnal Ilmu
Pendidikan, Keguruan, dan Pembelajaran, 2(1), 35–43.
Hasnan, S. M., Rusdinal, R. & Fitria, Y. (2020) .Pengaruh Penggunaan Model
Discovery Learning dan Motivasi terhadap Kemampuan Berpikir Kritis
Peserta Didik Sekolah Dasar untuk Meningkatkan Kecerdasan.,Jurnal
Basicedu, 4(2), Pp. 239–249. Doi: 10.31004/Basicedu.V4i2.318.
Indah, O. D. (2019) ‘Teachers Strategy In Facing Students ’ Disruptive Behavior
At SDN 33 Kalukulajuk’, In International Conference On Natural &
Social Sciences (ICONSS 2019), Pp. 494–498.

20
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BONE
Imansyah, Y.& Setyawan, I. (2018). Peran Konformitas Teman Sebaya terhadap
Kecerdasan Emosional Akademik pada Siswa Laki-Laki Ma Boarding
School Al-Irsyad., Jurnal Empati, 7(4), Pp. 233–237.
Limay, A., Putra, T. & Dwidayati, N. K. (2018). Kemampuan Pemecahan
Masalah Berdasarkan Implementasi Kecerdasan Intelektual dan
Kecerdasan Emosional Strategi Pembelajaran Aktif Firing Line
Berpendekatan Konstruktivisme., In Seminar Nasional Pendidikan
Matematika Ahmad Dahlan 2018, Pp. 482–492.
Mawarni, J., Syahbana, A. And Septiati, E. (2019). Pengaruh Strategi
Pembelajaran React terhadap Kecerdasan Emosional Ditinjau dari
Kemampuan Awal Siswa SMP., Indiktika : Jurnal Inovasi Pendidikan
Matematika, 1(2), P. 172. Doi: 10.31851/Indiktika.V1i2.3190.

Magelo, C., Hulukati, E., & Djakaria, I. (2019). Pengaruh Model Pembelajaran
Open-Ended terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif Matematik Ditinjau
dari Motivasi Belajar untuk Meningkatkan Kecerdasan Intelektual.
Jambura Journal Of Mathematics, 2(1), 15–21.
Https://Doi.Org/10.34312/Jjom.V2i1.2593

Nerawati, S., Dalifa, & Yusuf, S. (2017). Pengaruh Pendekatan CTL Melalui
Metode Eksperimen terhadap Hasil Belajar IPA Kelas V SDN 59
Bengkulu. Jurnal Riset Pendidikan Dasa, 2(1), 1–7.
Narindrani, F. (2018). Upaya Masyarakat dalam Pencegahan dan Pemberantasan
Pembalakan Liar di Indonesia. Jurnal Penelitian Hukum, 18(740), 241–
256. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.30641/dejure.2018.V18.241-256
Ningrum, R. E. C., Matulessy, A. & Rini, R. A. P. (2019). Hubungan Antara
Kecerdasan Intelektual dan Kecerdasan Emosional., Insight : Jurnal
Pemikiran dan Penelitian Psikologi, 15(1), Pp. 124–136. Doi:
10.32528/Ins.V15i1.1669.
Nurlizawati (2019). Penerapan Model Pembelajaran Tutor untuk Meningkatkan
Kecerdasan Intelektual., Jurnal Socius: Journal Of Sociology Research
And Education, 6(1), Pp. 33–41.
Purwati, M. & Fakultas, A. R. (2018). Hubungan Antara Kelekatan pada Teman
Sebaya dengan Stres Akademik pada Mahasiswa Teknik Perencanaan
Wilayah dan Kota Universitas Diponegoro Semarang., Jurnal Empati,
7(2), Pp. 28–39.

Palittin, I. D., Wolo, W., & Purwanty, R. (2019). Hubungan Motivasi Belajar
dengan Hasil Belajar Fisika. MAGISTRA: Jurnal Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, 6(2), 101–109. Https://Doi.Org/10.35724/Magistra.V6i2.1801

Pradilasari, L., Gani, A., & Khaldun, I. (2019). Pengembangan Media


Pembelajaran Berbasis Audio Visual pada Materi Koloid untuk

21
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BONE
Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar Siswa SMA. Jurnal Pendidikan
Sains Indonesia, 7(1), 9–15.
Rahajeng, U. W., Yogi, T. & Wigati, A. (2018). Perilaku Prososial Sebagai
Prediktor Status Teman Sebaya pada Remaja Prosocial Behaviour As
Predictor Of Adolescents’ Peer Status., Jurnal Psikologi Teori dan
Terapan, 8(2), Pp. 124–132.

Riadi, A. (2017). Problematika Sistem Evaluasi Pembelajaran. Ittihad Jurnal


Kopertais Wilayah XI Kalimantan, 15(27), 1–12.

Rosyid, M. F., & Baroroh, U. (2019). Teori Belajar Kognitif dan Implikasinya
dalam Pembelajaran Bahasa Arab. LISANUNA, 9(1), 92–110.

Ramadhan, G., Dwijananti, P., & Wahyuni, S. (2018). Analisis Kemampuan


Berpikir Tingkat Tinggi (High Order Thinking Skills) Menggunakan
Instrumen Two Tier Multiple Choice Materi Konsep dan Fenomena
Kuantum Siswa SMA di Kabupaten Cilacap. Unnes Physics Education
Journal, 7(3), 85–90.

Randa, S., Lumbantoruan, J., & Putra, I. E. D. (2018). Penggunaan Strategi


Ekspositori pada Pembelajaran Musik Tradisional Minangkabau di SMA
Negeri 3 Padang. E-Jurnal Sendratasik, 7(1 ), 48–53.
Rosidah, T., Hidayah, F. F. & Astuti, A. P. (2019). Efektivitas Model Problem
Based Instruction Berpendekatan Etnosains untuk Meningkatkan
Keterampilan Generik Sains.,Jurnal Pendidikan Sains, 7(1), Pp. 14–21.
Sahertia, T. & P. (2020). Lingkungan Keluarga, Lingkungan Sosial dan Pergaulan
terhadap Hasil Belajar., Jurnal Penelitian dan Pendidikan IPS, 14(1), Pp.
7–14.
Sarmin, S. (2017). Pemberdayaan Teman Sebaya dalam Sekolah Guna
Menanggulangi Pengaruh Negatif Lingkungan’, Briliant: Jurnal Riset dan
Konseptual, 2(1), Pp. 102–112. Doi: 10.28926/Briliant.V2i1.30.
Suryani, L. (2017). Upaya Meningkatkan Sopan Santun Berbicara Melalui
Bimbingan Kelompok., E-Journal Mitra Pendidikan, 01(1), Pp. 112–124.
Samosir, B. S., Agustina, L. & Hudyansah, T. (2019). Pengaruh Model
Pembelajaran Kontekstual terhadap Kemampuan Berfikir Kreatif dan
Hasil Belajar Siswa’, Jurnal Karya Pendidikan Matematika, 6(2), Pp. 1–7.
Syamsudin (2020). Penerapan Model Pembelajaran Kontekstual untuk
Meningkatkan Hasil Belajar Ipa Terpadu Siswa Kelas VIIA SMP Negeri 4
Jonggat Tahun Pelajaran 2019/2020’, Jurnal Ilmu Sosial Dan Pendidikan,
4(2), Pp. 92–96.

Subekti, Y., & Ariswan, A. (2016). Pembelajaran Fisika dengan Metode


Eksperimen untuk Meningkatkan Hasil Belajar Kognitif dan Keterampilan

22
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BONE
Proses Sains. Jurnal Inovasi Pendidikan IPA, 2(2), 252–261.

Santi, N. N., & Khan, R. I. (2019). Pengaruh Dukungan Teman Sebaya terhadap
Motivasi Belajar Siswa Kelas III Sekolah Dasar. JPDN: Jurnal
Pendidikan Dasar Nusantara, 4(2), 191–198.
Https://Doi.Org/10.29407/Jpdn.V4i2.13013
Sya'diyah, N., & Fachrurrozie, F. (2020). Pengaruh Lingkungan Teman Sebaya
dan Perencanaan Karir terhadap Minat Melanjutkan Pendidikan dengan
Motivasi Belajar sebagai Variabel Mediasi. Economic Education Analysis
Journal, 9(2), 601-614
Ulfah, A. N. & Ariati, J. (2017). Hubungan Dukungan Teman Sebaya dengan
Motivasi Berprestasi pada Santri Pesantren Islam Al-Irsyad , Kecamatan
Tengaran , Kabupaten Semarang., Jurnal Empati, 6(4), Pp. 297–301.
Utami, D. T. (2018). Pengaruh Lingkungan terhadap Perilaku Sosial Anak Usia 5-
6 Tahun., Jurnal Pendidikan Islam Anak Usia Dini, 1(1), Pp. 39–50. Doi:
10.25299/Ge.2018.Vol1(1).2258.

23
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BONE

Anda mungkin juga menyukai