Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH KULTUR JARINGAN

TRANSFORMASI GENETIK PADI (Oryza sativa L.) DENGAN


GEN PENYANDI METALLOTHIONEIN TIPE II DARI
Melastoma malabathricum L. (MaMt2) MENGGUNAKAN
PERANTARA Agrobacterium tumefaciens

DOSEN PENGAMPU :
SAIPUL SIHOTANG S.Si,.M.Biotek

KELOMPOK PLANLET :
RYAN FILL 218700003
MARETHA SARAGIH 218700008
ZAHIRA FADILLAH 218700010

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MEDAN AREA
MEDAN
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis
dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul "Transformasi Genetik Padi (Oryza sativa
L.) Dengan Gen Penyandi Metallothionein Tipe II dari Melastoma malabathricum L.
(MaMt2) Menggunakan Perantara Agrobacterium tumefaciens" dengan tepat waktu.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini, terutama Bapak Saipul Sihotang S.Si,.M.Biotek selaku Dosen
Pembimbing yang telah memberikan tugas dan penulis telah menyelesaikan makalah ini
dengan baik.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih terdapat kekurangan atau belum
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis
harapkan guna penyempurnaan makalah ini

Medan, 21 Oktober 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................................ii
BAB I...................................................................................................................................1
PENDAHULUAN...............................................................................................................1
1.1 Latar Belakang...........................................................................................................1
BAB II.................................................................................................................................2
TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................................................2
2.1 ....................................................................................................................................2
2.2 ....................................................................................................................................2
2.3 ....................................................................................................................................3
BAB III................................................................................................................................6
METODE PRAKTIKUM..................................................................................................6
3.1. ...................................................................................................................................6
3.2 ....................................................................................................................................6
3.3 ....................................................................................................................................6
3.3.1 .............................................................................................................................6
3.3.2 .............................................................................................................................8
BAB IV................................................................................................................................9
HASIL DAN PEMBAHASAN..........................................................................................9
4.1 ....................................................................................................................................9
4.2 ..................................................................................................................................10
1. ................................................................................................................................10
4.3...................................................................................................................................11
BAB V................................................................................................................................12
PENUTUP.........................................................................................................................12
5.1 Kesimpulan..............................................................................................................12
5.2 Saran.........................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................13
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada periode 10 tahun terakhir jumlah penduduk Indonesia meningkat dengan laju
pertumbuhan per tahun sekitar 1,49 persen. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010,
penduduk Indonesia mencapai 237.641.326 jiwa (BPS 2011), ini mengakibatkan
meningkatnya permintaan pangan. Padi merupakan salah satu tanaman pangan sangat
penting, yang dikonsumsi oleh hampir 80% penduduk dunia terutama di Asia. Indonesia
memiliki konsumsi beras yang mencapai 139 kg per orang per tahun, di atas rata-rata
konsumsi beras dunia yaitu sebesar 60 kg per orang per tahun (FAO 2009). Sementara itu,
produksi padi Indonesia tahun 2011 mengalami penurunan sebesar 65,39 juta ton Gabah
Kering Giling (GKG), atau turun sebanyak 1,08 juta ton beras (1,63 persen) dibandingkan
tahun 2010. Penurunan produksi diperkirakan terjadi karena penurunan luas panen yaitu
29,07 ribu hektar (0,22 %) (BPS 2011). Menurut Grover et al. (2009), beberapa faktor yang
menyebabkan penurunan produksi padi di Indonesia adalah periode musim kemarau yang
panjang dan terendamnya 10% lahan pertanian pada musim penghujan. Cekaman abiotik
merupakan salah satu penyebab penurunan produksi padi, karena tanaman padi sangat peka
terhadap cekaman abiotik. Beberapa cekaman abiotik antara lain adalah kekeringan, salinitas,
suhu yang ekstrim, ion-ion toksik, kelebihan air, polusi udara, angin, pasir dan tanah padat
(Harjadi dan Yahya 1988). Cekaman abiotik ini menyebabkan timbulnya cekaman oksidatif
pada tanaman yang berakibat produksi berlebih dari spesies oksigen radikal (ROS), yang
dapat menyebabkan kerusakan sel dan kematian pada tanaman.

Untuk meningkatkan produksi nasional, perakitan varietas padi yang dapat beradaptasi
pada lingkungan yang kurang menguntungkan seperti cekaman abiotik sangat diperlukan.
Varietas yang toleran terhadap cekaman abiotik dapat digunakan untuk memperluas areal
tanam. Upaya pengembangan varietas-varietas yang mempunyai daya adaptasi tinggi
terhadap lingkungan, dapat dilakukan dengan pemuliaan tanaman yang salah satunya adalah
dengan bioteknologi. Penggunaan bioteknologi melalui introduksi gen-gen yang berperan
dalam ketahanan terhadap cekaman lingkungan (abiotic stress) diharapkan akan diperoleh
varietas-varietas yang toleran, terutama toleransi terhadap cekaman abiotik sehingga dapat
mempertinggi produksi tanaman budidaya di lahan marginal.

Untuk merakit varietas yang baru dengan mengintroduksikan gen diperlukan sumber gen,
salah satu sumber gen untuk toleransi terhadap cekaman lingkungan adalah Melastoma
malabathricum L. atau Melastoma affine L. Tanaman Melastoma malabathricum L.
merupakan tanaman semak (gulma) tidak bernilai ekonomi, asli Asia Tenggara yang toleran
terhadap cekaman aluminium (Al) pada tanah masam. Gen-gen yang ekspresinya diinduksi
oleh aluminium, pada tanaman ini diduga terlibat dalam sistem toleransi terhadap Al.
Ekspresi gen MaMt2 diakar meningkat pada Melastoma malabathricum L. yang mendapat
cekaman 3.2 mM Al pada pH 4 dibandingkan dengan tanaman yang tidak mendapat cekaman
Al (Trisnaningrum 2009). Gen MaMt2 adalah gen penyandi 2 metallothionein tipe II yang
telah diisolasi dari tanaman Melastoma affine L. (Suharsono et al. 2009). Gen MaMt2 ini
telah difusikan dengan promoter ubiquitin di dalam plasmid pIG6 dan telah diintroduksi ke
dalam tanaman kedelai (Anggraito et al. 2012).
Gen Metallothionein telah diisolasi dari berbagai spesies tanaman seperti Arabidopsis
(Zhou dan Goldsbrough 1994), jagung (Framond de 1991), padi (Fukuzawa et al. 2004; Jin et
al. 2006; Zhou et al. 2006), dan Melastoma affine L. (Suharsono et al. 2009). Metallothionein
adalah salah satu protein yang berperan dalam toleransi terhadap logam-logam berbahaya,
homeostatis logam, detokfikasi logam berat. Pada kondisi lingkungan normal MT berperan
dalam penyimpanan dan mobilisasi logam esensial seperti Cu dan Zn (Hall 2001).
Metallothionein (MT) adalah protein yang banyak mengandung sistein yang berfungsi
mengikat logam (metal binding peptides). Klasifikasi metallothionein pertama kali
diperkenalkan oleh Robinson et al. (1993) yang membagi metallothionein ke dalam dua
kategori yaitu tipe 1 dan 2, selanjutnya klasifikasi ini diperbarui oleh Cobbett dan
Goldbrough (2002), menjadi empat kategori yaitu tipe 1, 2, 3, dan 4. Klasifikasi ini disusun
berdasarkan sekuen asam aminonya, Menurut Duncan et al. (2006), motif dan susunan residu
sistein (Cys) yang dimiliki oleh metallothionein (MT) diduga berkaitan dengan kemampuan
MT mengikat logam dan kestabilan protein.

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menganalisis ekspresi Metallothionein (MT)


yaitu pada tanaman Silene vulgaris (Hoof van et al. 2001), Arabidopsis (Zhou dan
Goldsbrough 1994; Guo et al. 2003), padi (Zhou et al. 2005; Hsieh et al. 1996) dan
Melastoma affine L. (Trisnaningrum 2009). Ekspresi Metallothionein (MT) pada tanaman
sebagian besar diinduksi oleh logam berat seperti tembaga (Cu), seng (Zn), cadmium (Cd),
dan aluminium (Al) (Cousins et al. 1983; Hall 2001). Introduksi gen penyandi metallotionein
tipe II dari Melastoma malabathricum L. (MaMt2) melalui transformasi genetik ke dalam
tanaman pertanian seperti padi diharapkan dapat menghasilkan tanaman yang memiliki
ketahanan terhadap ion-ion logam toksik.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Padi (Oryza sativa L.)


Padi merupakan tanaman yang paling luas dibudidayakan di dunia dan dikonsumsi oleh
hampir 80% penduduk dunia terutama di kawasan Asia. Terdapat sekitar 20 spesies padi yang
tersebar pada daerah kelembabpan tropis seperti Afrika, Asia Selatan dan Tenggara, China
bagian Tenggara, Amerika Tengah dan Selatan, dan Australia (Chang 2003). Luas areal padi
pada setiap negara sangat tergantung pada kebijakan masing-masing pemerintah.
Dibandingkan tanaman pangan lainnya padi mempunyai spektrum penyebaran lebih luas
karena dapat dibudidayakan dalam berbagai agroekosistem. Negara-negara beriklim tropis
dan subtropis dikenal sebagai negara penghasil padi utama. Padi adalah tanaman serealia,
termasuk dalam genus Oryza, famili poaceae dan tribus oryzeae (Vaughan dan Morishima
2003).

Padi yang dibudidayakan saat ini ada dua jenis yaitu Oryza sativa L. (padi Asia) dan
Oryza glaberrima (padi Afrika), namun hanya Oryza sativa L. yang dibudidayakan secara
luas terutama di Asia (Datta 1981). Oryza sativa berdasarkan ekogeografi terbagi kedalam
tiga klasifikasi yaitu: indica, javanica dan japonica dimana ketiganya memiliki perbedaan
secara ekogenetik. Padi indica adalah subspesies indigenus Asia dengan iklim tropis dan
subtropis sedangkan, padi japonica (disebut sinicas atau keng di China) terbatas pada wilayah
subtropis dan zona temperatur (Chang 2003).

Untuk Indonesia padi yang paling banyak ditanam adalah subspesies javanica.
Berdasarkan zona air dan daratan, budidaya tanaman padi diklasifikasikan, menjadi tiga yaitu
: (1) lahan kering (upland), tanpa air sedikit pun yang tergenang atau tanpa pengairan, (2)
lahan basah (lowland) dengan ketinggian air sekitar 5-50 cm, dan (3) tergenang (deepwater)
dengan ketinggian air > 51 cm (Datta, 1981). Secara umum padi adalah tanaman semusim
yang berumpun kuat dengan tinggi batang yang beragam sekitar ± 1-1.8 m, helai daun
berbentuk garis, sebagian besar bertepi kasar dengan panjang 50-100 cm dan lebar daun 2-2.5
cm serta memiliki malai dengan panjang 15-40 cm yang tumbuh keatas. Malai merupakan
bulir padi yang memiliki ukuran/bentuk yang beraneka ragam antara lain kadang berjarum
pendek atau panjang atau tidak sama sekali, licin atau kasar, berwarna hijau atau coklat, dan
gundul atau berambut (IRRI 2008). Pertumbuhan tanaman padi dibedakan dalam tiga fase,
yaitu fase vegetatif, generatif dan pematangan. Fase vegetatif terjadi di awal pertumbuhan
sampai pembentukan malai, sedangkan fase reproduktif dimulai dari pembentukan malai
sampai pembungaan, dan fase pematangan dimulai dari pembungaan sampai gabah matang.
Di daerah tropis, fase generatif berlangsung 35 hari dan fase pematangan 30 hari. Perbedaan
masa pertumbuhan dibedakan berdasar lamanya fase vegetatif (IRRI 2008). Morfologi padi
disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1.Morfologi tanaman padi. A. Struktur biji padi, B. Bagian dari
anakan/batang primer dan sekunder, C. Komponen malai, D. Bagian-
bagian dari bunga padi (spikelet), dan E. Perkecambahan biji padi
(Datta 1981).

2.2 Pengaruh Lingkungan Terhadap Pertumbuhan Padi


Adanya fenomena alam yang ekstrim, seperti periode musim kemarau dan musim
penghujan yang bertambah panjang, tanah masam, salinitas yang tinggi dan temperatur
ekstrim akibat pemanasan global secara tidak langsung menyebabkan penurunan produksi
padi dunia. Cekaman lingkungan (abiotic stress) yang terus meningkat sangat berpengaruh
terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman padi (Grover et al. 2009). Cekaman air seperti
kekeringan merupakan faktor pembatas pertumbuhan dan produktivitas padi. Cekaman air
pada fase vegetatif menyebabkan berkurangnya lebar daun, dan asimilasi CO2, tinggi
tanaman, jumlah anakan dan 7 area daun. Faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan dan
produksi padi adalah tanah masam, sehingga upaya pemanfaatan lahan-lahan marginal seperti
lahan kering dan rawa menjadi kurang berkembang dikarenakan kondisi tanah yang masam
dengan pH 3.5-5.5 (Noor 1996). Toksisitas aluminium merupakan salah satu cekaman abiotik
yang biasanya ditemukan pada lahan masam. Aluminium adalah salah satu diantara unsur
yang memiliki kelimpahan paling banyak di bumi, mewakili sekitar 8% berat lapisan bumi
(Asher 1991).

Keracunan Al merupakan salah satu faktor pembatas pertumbuhan yang penting bagi
tanaman pada berbagai tanah masam dunia, yang meliputi 50% lebih dari lahan pertanian
didunia adalah tanah asam (Bot et al. 2000). Tanah masam adalah tanah yang memiliki pH
yang rendah, tanah ini terbentuk karena dekomposisi bahan organik dan curah hujan yang
tinggi (Salisbury dan Ross 1995). Pengaruh cekaman Al tidak sama pada semua tanaman,
bahkan dalam spesies yang sama. Akar merupakan bagian tanaman yang paling sensitif
terhadap keracunan Al. Gejala awal yang tampak pada tanaman yang keracunan Al, yaitu
tidak berkembangnya sistem perakaran sebagai akibat penghambatan perpanjangan sel
(Purnamaningsih dan Mariska 2008). Keracunan Al yang berat terutama pada pH tanah
dibawah 5, Al menjadi terionisasi dengan bentuk ion trivalent (Al3+) bersifat toksik bagi
tanaman dan merusak sistem perakaran tanaman (Kochian et al. 2004).

Namun tidak semua Al bersifat toksik, Al yang membentuk ikatan dengan ligand seperti
aluminium silikat tidak beracun bagi tanaman. Rout et al. (2001), mengemukakan bahwa
kelarutan Al yang tinggi di dalam tanah sangat merugikan tanaman karena menghambat
pertumbuhan akar. Namun terdapat beberapa spesies tanaman yang memiliki toleransi
terhadap konsentrasi Al yang tinggi (Bell dan Edwards 1987). Akar dari tanaman yang toleran
Al akan sedikit atau sama sekali tidak mengalami kerusakan ketika tercekaman Al
dibandingkan akar dari tanaman yang sensitif Al (Delhaize et al. 2004), sehingga akar dari
tanaman yang toleran Al akan memiliki kemampuan pertumbuhan akar kembali yang lebih
tinggi dibanding akar dari tanaman yang sensitif Al. Kemampuan toleransi ini dikontrol
secara genetik.

Menurut Taylor (1991) mekanisme toleransi tanaman terhadap Al terbagi menjadi dua
kelompok, yaitu: 1) dengan mencegah Al masuk ke dalam simplas dan sampai daerah
metabolik yang peka di dalam sel tanaman (mekanisme ekslusi), dan 2) dengan detoksikasi,
imobilisasi atau pengubahan dalam metabolisme saat Al telah masuk ke dalam simplas
sehingga memungkinkan tanaman melanjutkan proses tumbuhnya (mekanisme internal).
Mekanisme (eksklusi) berhubungan dengan: imobilisasi Al dalam dinding sel, sifat selektif
permeabel membran plasma, meningkatkan pH di sekitar perakaran, dan kelatisasi Al oleh
asam organik. Mekanisme internal berhubungan dengan: kelatisasi Al dalam sitosol oleh
asam organik atau protein, kompartementasi Al dalam vakuola, evolusi enzim pada tanaman
toleransi Al (Anggraito 2012).

Selain itu beberapa peneliti melaporkan bahwa toleransi terhadap Al juga dipengaruhi
oleh mucilage pada tanaman. Mucilage adalah bahan seperti gel yang dihasilkan pada bagian
ujung akar yang sedang berkembang. Mucilage merupakan partikel penting pada tanah
mineral asam untuk melindungi meristem akar, Watanabe et al. (2008) menyebutkan bahwa
mucilage akar berperan dalam imobilisasi kation-kation logam misalnya Al pada rizofer. Pada
tanaman Vigna unguiculata dan M. Malabathricum memiliki toleransi terhadap Al karena
dapat 8 menghasilkan sejumlah besar mucilage jika dibandingkan dengan yang sensitif
(Suthipradit et al. 1990; Watanabe et al. 2008). Pada tanaman padi keracunan Al,
menyebabkan kerusakan sistem akar, dimana tanaman padi yang sensitif Al yaitu IR64 dan
Krowal, mengalami pertumbuhan akar terhambat dibandingkan tanaman padi yang toleran Al
yaitu Grogol dan Hawara Bunar. Akumulasi Al yang tinggi pada tanaman padi yang sensitif
Al menyebabkan kerusakan akar, dan ini tidak terjadi pada tanaman padi yang toleran Al
(Roslim 2011).

2.3 Metallothionein
Metallothionein adalah molekul metalloprotein dengan berat molekul rendah yang
memiliki kemampuan untuk mengikat sejumlah unsur transisi. Seng (Zn), tembaga (Cu) dan
air raksa (Hg) merupakan logam yang paling sering berasosiasi dengan protein ini. Protein ini
pertamakali di isolasi pada tahun 1957 dari kortek ginjal yang mengandung sejumlah besar
sulfur dan kadmium oleh Margoshes dan Vallee, dan protein ini selanjutnya dikarakteristik
oleh Kagi dan Vallee pada tahun 1960 (Cousins 1983). Ciri-ciri yang menonjol dari protein
ini adalah: 1) berupa rantai tunggal polipeptida tersusun dari 61 asam amino, 2) protein yang
memiliki kemampuan mengikat logam antara 5 dan 7 gram atom per mol, 3) 25-35% dari
residu asam aminonya adalah sistein dan tidak memiliki ikatan disulfida seperti umumnya
pada protein, 4) tidak memiliki asam amino aromatik yang terdapat pada polipetida dan 5)
polymorphis ditunjukkan dengan sedikitnya dua mayor dan sejumlah minor
isometallothionein di setiap ekstrak jaringan (Cousins 1983).

Metallothionein merupakan protein unik berukuran kecil yang berada pada posisi antara
hormon-hormon polipetida dari protein globular intrasellular. Ukuran metallothionein pada
kondisi denaturasi diperkirakan sekitar 6600 dalton, sedangkan ketika penyesuaian dengan
muatan logam, polipetida bebas-logam (misalnya thionein) sekitar 6000 dalton. Tembaga dan
seng merupakan logam utama yang berikatan dengan metallothionein (Cousins 1983). Level
metallothionen yang mengikat logam seperti seng pada individu yang sehat terjaga pada
kondisi tetap rendah, level ini akan meningkat disebabkan penyakit, stres, atau berubah
mencolok akibat penggunaan tembaga atau seng. Ekspos kadmium dan air raksa
menghasilkan pengikatan metallothionein dengan sejumlah logam dalam jaringan.
Berdasarkan struktur primer dari metallothionein ginjal, terdapat tiga residu sistein utama
yang berperan dalam pengikatan ligan dengan logam (Cousins 1983).

Korelasi yang tinggi antara kenaikan tingkat metallothionein dan logam dalam jaringan
seringkali ditemukan, protein metallothionein ini bersifat induce. Logam kadmium, seng dan
tembaga dapat menginduksi metallothionein, selain itu dexamethasone dan steroid dengan
aktivitas glukokortikoid juga dapat merubah ekspresi gen metallothionein dan meningkatkan
akumulasi seng dan kadmium dalam kultur sel parenchymal hati (Cousins 1983). Literatur
degradasi metallothionein masih sangat terbatas dibandingkan sintesis metallothionein.
Investigasi degradasi metallothionein liver yang diinduksi seng secara in vivo menggunakan
pelabelan 65Zn dan 35S-sistein. Hasil 9 yang diperoleh menunjukkan bahwa degradasi
metallothionein dipengaruhi ikatan logam. Konsep ini juga diperkuat melalui eksperimen
degradasi secara in vitro, yaitu pelabelan seng dan kadmium yang menginduksi
metallothionein, selanjutnya metallothionein diisolasi dan diinkubasi dengan protease.
Protease mendegradasi protein metallothionein. Protein metallothionein kadmium lebih
resisten dibandingkan protein metallothionein seng (Cousins 1983). Degradasi
metallothionein tembaga berlangsung dengan cepat pada kondisi in vivo.

Fungsi dari metallothionein menurut Cousins (1983) adalah sebagai berikut: 1)


metallothionein memiliki peranan yang penting dalam metabolisme sellular, 2)
metallothionein merupakan suatu ligan penyangga untuk menetralkan atau menghilangkan
pengaruh logam-logam toksik dan 3) metallothionein merupakan kelompok sulfur yang
terlibat dalam oksidasi-reduksi dan terkait erat dengan pengikatan logam. Metallothionein
juga memiliki kemampuan sebagai antioksidan (Robinson et al. 1993). Kerusakan DNA yang
diakibatkan oleh cekaman oksidatif mengalami penurunan dengan meningkatnya level
metallothionein. Selama tiga dekade berikutnya, protein metallothionein telah berhasil
diidentifikasi pada semua makhluk hidup, termasuk hewan, cyanobacteria, fungi, dan
tanaman tingkat tinggi (Cobbett dan Goldsbrough 2002). Struktur yang mirip metallothionein
pada protein tanaman pertama kali diidentifikasi pada protein Ec gandum dan gen yang
menyandi protein mirip 10 metallothionein ini berhasil diisolasi oleh Kawashima pada tahun
1992, gen ini terletak dikromosom gandum hexaploid 1A, 1B dan 1D (Robinson et al. 1993).
Protein metallothionein dari beberapa spesies tanaman ditunjukkan pada Gambar 3. Posisi
residu sistein dengan motif khusus Cys-Xaa-Cys menunjukkan bahwa protein ini memiliki
kemampuan mengikat ion logam, sehingga protein ini memiliki peranan dalam metabolisme
logam (Robinson et al. 1993

2.4 Transformasi Genetik Padi


Transformasi genetik adalah proses introduksi gen dari satu organisme ke organisme lain
yang memungkinkan untuk memunculkan sifat harapan tanpa mengubah sifat lain.
Transformasi pertama kali ditemukan oleh Frederick Griffith pada tahun 1928, sedangkan
transformasi genetik tanaman adalah pengubahan genetik tanaman melalui transfer DNA
eksogen yang berasal dari spesies yang berbeda yang disertai ekspresi DNA tersebut ke
dalam genom tanaman target (Skerritt 2000). Menurut Birch (1997) transformasi genetik
pada tanaman dilakukan sebagai alat eksperimen untuk mempelajari fisiologi tanaman, dan
untuk pemuliaan tanaman. Pemuliaan tanaman umumnya ditentukan oleh sistem reproduksi
tanaman, apakah menyerbuk sendiri atau silang. Tanaman menyerbuk sendiri cenderung
melakukan peristiwa silang dalam (inbreeding) yang menghasilkan homozigositas dan
stabilitas genetik, dari segi kepentingan tanaman menyerbuk sendiri dipertahankan sebagai
populasi homozigot dan menghasilkan keturunannya yang sama atau mendekati tetuanya.
Sebaliknya tanaman menyerbuk silang merupakan pelaku silang luar (outbreeding) dan
dipertahankan dalam populasi heterozigot dan heterogen, dimana setiap tanaman dapat saling
berbeda satu sama lain dalam satu populasi, keturunannya cenderung berbeda dengan
tetuanya.

Pemuliaan tanaman secara konvensional memiliki beberapa kendala, antara lain: 1)


terbatasnya persediaan sumber gen baru, karena harus bersumber dari spesies atau genus
yang sama, 2) sulitnya melakukan persilangan antara dua genera yang berbeda, karena
adanya faktor sterilitas dan inkompatibilitas, dan 3) biasanya memerlukan waktu, biaya dan
tenaga yang relatif sangat besar (Nasir 2002). Alternatif untuk mengatasi kendala ini adalah
dengan menggunakan rekayasa genetik melalui transformasi genetik. Pemuliaan tanaman
melalui transformasi genetik memiliki keunggulan antara lain : 1) dengan transformasi
genetik memungkinkan gen penyandi sifat tertentu dipilih secara spesifik dan ditransfer ke
tanaman target, 2) memungkinkan introduksi gen dari tanaman atau organisme lain yang
tidak berkerabat tanpa terkendala oleh kompatibilitas seksual dalam persilangan, sehingga
menghemat waktu dan mengurangi peluang ikutnya sifat-sifat yang tak diinginkan pada
tanaman yang ditransformasi (Jauhar 2006; Wieczorek dan Wright 2012).

Ekspresi gen yang akan ditransfer ke tanaman target dapat dimodifikasi melalui perakitan
gen dengan komponen promotor dan elemen pemacu (enhancer) tertentu. Fukuzawa et al.
(2004) menggunakan promotor kuat untuk ekspresi gen Metallothionein pada tanaman
tembakau dan padi, dimana gen Metallothionein terekspresi kuat pada batang dan akar tetapi
tidak pada endosperma. Komponen dasar dan penting untuk menghasilkan tanaman
transgenik antara lain: 1) ketersediaan jaringan target meliputi sel-sel yang kompeten untuk
transformasi dan beregenerasi, 2) metode introduksi DNA ke dalam sel-sel akan beregenerasi,
dan 3) prosedur seleksi dan regenerasi tanaman transforman (Birch 1997). Transformasi
genetik pada padi dapat dilakukan dengan berbagai metode, diantaranya elektroporasi,
perlakukan PEG, bombardemen proyektil mikro dan Agrobacterium tumifaciens (Ashikari et
al. 2004). Transformasi genetik tanaman yang dimediasi oleh Agrobacterium tumefaciens
telah menjadi metode yang 15 paling popular untuk mengintroduksi gen asing ke dalam sel
tanaman padi dan regenerasi dari tanaman transgenik.

Transfer gen dengan perantara Agrobacterium tumefaciens adalah metode yang paling
efektif, karena memberikan efisiensi transformasi yang tinggi, dapat digunakan untuk
transgen berukuran besar dan cenderung menghasilkan integrasi salinan tunggal transgen
pada genom tanaman padi (Hiei dan Komari 2008). Secara alami Agrobacterium tumefaciens
hanya menginfeksi tanaman dikotil dan menunjukkan efisiensi transformasi yang rendah pada
tanaman monokotil seperti padi, namun seiring berjalan waktu dan banyaknya penelitian
yang dilakukan untuk meningkatkan efisiensi transformasi pada tanaman monokotil. Saat ini,
transformasi genetik menggunakan perantara Agrobacterium tumefaciens menjadi sangat
popular dibandingkan teknik yang lain, terutama pada tanaman padi. Berdasarkan penelitian
singkat, dari ± 300 paper jurnal yang dipilih secara acak menunjukkan 80% lebih
menggunakan Agrobacterium tumefaciens sebagai alat untuk transfer gen. Hiei et al. (1994)
menjadi pelopor teknik transformasi genetik padi yang menggunakan perantara bakteri
Agrobacterium tumefaciens. Sejumlah besar tanaman padi transgenik telah dihasilkan dengan
menggunakan perantara Agrobacterium tumefaciens sebagai vektor untuk mentransfer gen
(Hiei et al. 1994; Rashid et al. 1995; Kumar et al. 2005; Toki et al. 2006; Nandakumar et al.
2007; Hiei dan Komari 2008; Saika dan Toki 2010).

Agrobacterium tumefaciens adalah bakteri tanah golongan gram negatif, dengan suhu
optimal pertumbuhan bakteri adalah 28-30oC. Bakteri ini bersifat fitopatogen karena dapat
membentuk tumor (crown gall) pada sel tanaman, mampu menginfeksi sejumlah besar
tanaman dikotil dan sejumlah kecil tanaman monokotil. Pembentukan tumor adalah hasil
transfer, integrasi dan ekspresi gen dari segmen spesifik yang disebut T-DNA (transfered-
DNA), terdapat pada plasmid Ti (tumor inducing). Mekanisme transfer gen oleh
Agrobacterium tumefaciens ke sel inang (host) dengan jalan memindahkan segmen T-DNA
dari plasmid Ti ke dalam genom tanaman inang. Proses transformasi genetik tanaman dengan
perantara bakteri Agrobacterium tumefaciens, terdiri dari 10 tahap utama yaitu: 1) pengenalan
dan perlekatan Agrobacterium tumefaciens pada sel inang, yang diikuti dengan 2)
penginderaan sinyal tanaman yang spesifik oleh dua komponen sistem tranduksi signal pada
Agrobacterium tumefaciens yaitu VirA atau VirG, 3) ekspresi daerah vir yang menghasilkan
protein-protein vir yang memulai proses transfer T-DNA, 4) salinan T-DNA yang akan
ditransfer ke tanaman diproduksi oleh kerja protein VirD1/VirD2, bersama-sama dengan
beberapa protein Vir lainnya kedalam sitoplasma sel inang, 6) Vir E2 berasosiasi dengan utas
T-DNA dan bergerak menuju sitoplasma sel inang, 7) kompleks T-DNA masuk ke dalam inti
sel inang melalui proses impor aktif, 8) setelah berada dalam inti sel, T-DNA menuju tempat
integrasi DNA pada kromosom, 9) protein-protein pengawal DNA terlepas dan 10) DNA
terintegrasi ke dalam genom sel inang (Tzfira dan Citovsky 2006.

Kemampuan alami Agrobacterium tumefaciens dalam mentransformasi, dapat digunakan


sebagai alat untuk mengintoduksi gen-gen asing ke dalam tanaman dan untuk memproduksi
tanaman transgenik. Perangkat molekular yang dibutuhkan untuk produksi T-DNA dan
transpornya ke dalam sel inang terdiri dari protein-protein yang dikode oleh gen-gen virulensi
pada kromosom atau chv (chromosomal virulence) dan gen-gen virulensi (vir) yang terdapat
pada plasmid Ti, selain itu berbagai protein pada inang juga terlibat dalam tahap transport
interselular, proses masuk dan integrasi T-DNA dalam inti sel (Tzfira dan Citovsky 2006).
Daerah T-DNA dan daerah vir pada Agrobacterium tumefaciens tipe liar berada dalam satu
vektor plasmid Ti, sedangkan untuk tujuan rekayasa genetika tanaman, sistem vektor pada
Agrobacterium tumefaciens dimodifikasi. Sistem biner merupakan sistem vektor yang
popular pada Agrobacterium tumefaciens untuk transformasi genetik tanaman, dimana pada
sistem ini terjadi pemisahan vektor berdasarkan fungsinya, yaitu untuk plasmid vektor
pembawa daerah vir terpisah dari plasmid vektor pembawa T-DNA. Plasmid yang berfungsi
sebagai vektor vir disebut juga plasmid Ti lumpuh (disarmed Ti plasmid) dikarenakan gen-
gen patogen yang terdapat di T-DNAnya dihilangkan, sedangkan plasmid lainnya dirancang
untuk membawa T-DNA rekombinan yang mengandung gen marka seleksi dan gen target
eksogen yang diinginkan (Tzfira dan Citovsky 2006).
BAB III
METODE KERJA
3.1 Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji padi kultivar Kasalath dan
Nipponbare. Kasalath adalah padi subspesies indica dan Nipponbare adalah padi subspesies
japonica. Bakteri Agrobacterium tumefaciens LBA4404 yang mengandung vektor biner pIG6
rekombinan yang membawa sisipan gen MaMt2 dibawah kendali promoter ubiquitin di
dalam daerah T-DNA, digunakan untuk melakukan transformasi padi. Peta daerah T-DNA
disajikan pada Gambar 6 (Anggraito 2012).

Gambar 6 Peta daerah T-DNA plasmid


pIG6-SMt2. RB = right border; TNos = terminator nopaline sythase untuk gen target; MaMt2
= gen target; Pubiquitin = promotor konstitutif untuk gen target; P35S = promotor konstitutif
35S CaMV untuk gen marka seleksi hygromycin phosphotransferase II; 35S polyA =
signal/terminator transkripsi; LB = left border; kanamisin (R) = gen marka seleksi neomycin
phosphortransferase II di luar T-DNA.

Plasmid ini memiliki T-DNA yang mengandung gen hptII (hygromycin phosphotransferase)
dan situs pengklonan ganda (multiple cloning sites) yang diapit oleh promoter Ubiquitin dari
jagung dan terminator Nos (nopaline synthase), selain itu plasmid ini mempunyai gen nptII
(neomycin phosphor-transferase) di luar T- DNA. Primer UbiQF (5’-
TGATGATGTGGTCTGGGT TGG-3’) dan SMt2R (5‟-
GTCAACTAGTTCACTTGCAGGTGCAAG-3‟) untuk mendeteksi integrasi transgen
MaMt2 di dalam genom padi transgenik. Primer 3UTRactinF (5’-
TCGGACCCAAGAATGCTAAG-3’) dan 3UTRactinR (5’-GCC GGTTGA
AAACTTTGTCC-3’) digunakan untuk kontrol internal PCR.
3.2 Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan melalui dua tahap, yaitu : a) perakitan tanaman transgenik Oryza
sativa kultivar Kasalath dan Nipponbare menggunakan kalus dari biji padi matang (mature
seed), b) analisis tanaman Oryza sativa kultivar Kasalath dan Nipponbare (Gambar 7,
Lampiran 1).

Gambar 7 Skema kerja perakitan tanaman transgenik Oryza sativa L.

3.2.1 Persiapan Eksplan

Biji padi dikupas kulitnya kemudian dicelupkan kedalam etanol 70% selama 1 menit, tahap
selanjutnya perendaman padi dengan larutan sodium hipoklorit (NaOCl) 2% yang
mengandung 1 tetes tween 20 per 25 ml NaOCl selama 60 menit dengan pengocokan. Biji
padi dibilas dengan akuades steril sebanyak 5 kali. Selanjutnya biji ditumbuhkan pada media
induksi kalus, media 2N6 (Hiei dan Komari 2008, Lampiran 2) selama 7 hari pada suhu 25 C
dalam kondisi gelap. Kalus yang diperoleh dipisahkan dari endosperm dan tunas yang
terbentuk, selanjutnya kalus ditumbuhkan pada media yang sama dengan media induksi
kalus, selama 3 hari pada suhu 25 C dalam kondisi terang. Kalus ini selanjutnya siap untuk
ditransformasi.

3.2.2 Ko-Kultivasi
Inokulum Agrobacterium tumefaciens strain LBA4404 yang mengandung plasmid pIG6-
SMt2 yang membawa gen MaMt2 ditumbuhkan pada media AB (Hiei dan Komari 2008,
Lampiran 3) yang mengandung antibiotik kanamisin (50 mg L-1 ) higromisin (50 mg L-1)
dan streptomycin (100 mg L-1) selama 3 hari. Koloni bakteri yang terbentuk disuspensikan
dalam media AAM (Hiei dan Komari 2008, Lampiran 4) dengan densitas sel 1 x 108 CFU
(OD = 0,01 pada λ 600 nm). Kalus-kalus yang siap ditransformasikan dipindahkan dari media
induksi kalus ke cawan petri steril yang berisi 5 ml air steril (dilakukan perendaman). Setelah
itu, air steril yang digunakan untuk proses perendaman dibuang, kemudian 1 ml inokulum
bakteri ditambahkan ke kalus dan dibiarkan selama 2-5 menit. Kalus dipindahkan ke media
kokultivasi 2N6-As yang mengandung 100 mg L-1 asetosiringon (Hiei dan Komari 2008,
Lampiran 5). Ko-kultivasi ini dilakukan selama 3 hari pada suhu 28 C pada kondisi gelap.

3.2.3 Seleksi

Setelah diinkubasi selama 3 hari pada media kokultivasi, kalus dipindahkan ke media seleksi.
Seleksi dilakukan dua tahap. Seleksi I dilakukan pada media 2NBKCH20 (Hiei dan Komari
2008, Lampiran 6) dan diinkubasi pada suhu 28 C dalam kondisi terang selama dua puluh
hari. Kalus yang hidup dari seleksi I dengan kondisi kalus berwarna putih kekuningan yang
berproliferasi dipindahkan ke media seleksi II yaitu nN6CH30 (Hiei dan Komari 2008,
Lampiran 7) dan diinkubasi selama 10 hari pada kondisi terang dan suhu 28 C.

3.2.4 Regenerasi Dan Pengakaran

Kalus-kalus yang berdiameter 0.5 – 1.0 mm dipindahkan ke media regenerasi 2N6R (Hiei
dan Komari 2008, Lampiran 8). Inkubasi dilakukan selama ± 8 minggu dalam kondisi terang
pada suhu 28 C. Tunas yang tumbuh dipindahkan ke media induksi akar 2N6F (Hiei dan
Komari 2008, Lampiran 9) dan diinkubasi selama 1- 2 minggu dalam kondisi terang pada
suhu 28 C.

3.2.5 Aklimatisasi

Tanaman transgenik putatif yang diperoleh kemudian dipindahkan ke pot berisi campuran
tanah dan kompos, selanjutnya ditumbuhkan di rumah kaca.

3.2.6 Isolasi DNA Genom


Daun tanaman padi yang masih muda ditimbang sebanyak 0,1 gram dan dimasukkan ke
dalam mortar dan digerus hingga halus dengan bantuan nitrogen cair. Hasil gerusan
dimasukkan ke dalam tabung mikrotube eppendorf ukuran 1.5 ml dan ditambahi dengan
buffer 2 x CTAB(1 M Tris pH 7.5, 5 M NaCl, 0.5 M EDTA pH 8.0), dan β-merkaptoetanol
(0.2%). Tabung dibolak-balik beberapa kali dan diinkubasikan pada suhu 65 C selama 30
menit. Tabung disimpan di dalam es, kemudian, ditambahi kloroform-isoamil alkohol
(24:1(v/v)) sebanyak 1 kali volume larutan, dan disentrifugasi dengan kecepatan 10000 rpm
(Jouan BR 4i) selama 10 menit. Supernatan yang diperoleh, dipindahkan ke dalam tabung
mikrotube 1.5 ml, dan ditambahi PCI (phenol-choroform-isoamil alkohol 25:24:21 (v/v/v))
sebanyak 1 kali volume larutan, dibolak-balik dan disentrifugasi kembali dengan kecepatan
10000 rpm selama 15 menit. Supernatan yang terbentuk dipindahkan ke tabung mikrotube
baru, dan ditambahi sodium asetat 0.2 M sebanyak 0.1 kali volume larutan dan etanol absolut
sebanyak 2 kali volume larutan, tabung dibolak-balik beberapa kali, kemudian disimpan
dalam es/freezer (-20 C) selama semalam. Kemudian, tabung disentrifugasi lagi pada
kecepatan 10000 rpm selama 20 menit, supernatan dibuang dan endapan yang terbentuk
ditambahi dengan 1 ml etanol 70% (v/v) dan disentrifugasi dengan kecepatan 10000 rpm
selama 10 menit, kemudian endapan DNA dikeringkan dan diberi ddH2O dan RNAse (1
mg/ml).

3.2.7 Deteksi Dengan PCR

DNA yang telah diisolasi kemudian digunakan untuk analisis DNA dengan PCR dengan
menggunakan primer 3UTRact, hpt, Ubiquitin-Nos, dan SMt2. Volume satu campuran reaksi
PCR berjumlah 10 μl terdiri dari 1 μl template DNA yang telah diencerkan (1:10), 5 μl
Dream TaqTM Green PCR Master Mix (2x), 0.25 μl primer forward (10 pmol/μl), 0.25 μl
primer reverse (10 pmol/μl), dan 3.5 μl akuabides. Amplifikasi dilakukan menggunakan
mesin PCR Applied Biosystem dengan kondisi PCR terdiri dari pra PCR 94 C selama 5
menit,dilanjutkan dengan denaturasi pada suhu 94 C selama 2 menit, annealing pada suhu 60
C selama 1 menit 20 detik, extension pada suhu 72 selama 1 menit dan keseluruhan rangkaian
dilakukan sebanyak 30 siklus, dan diakhiri dengan pasca PCR pada suhu 72οselama 5 menit.
Hasil PCR dielektroforesis pada gel agarosa 1% (b/v) pada voltase 100 volt selama 30 menit.
Selanjutnya gel direndam dalam larutan etidium bromide (0.5 mg L-1). Visualisasi pita
amplikon diamati pada UV transilluminator setelah gel diwarnai dengan etidium bromide.
Hasil foto elektroforesis didokumentasikan dengan gel-doc.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Transformasi genetik Oryza sativa L. dengan gen MaMt2

Transformasi genetik Oryza sativa L. kultivar Kasalath dan Nipponbare dilakukan


menggunakan eksplan yang berupa kalus skutella yang diperoleh dari biji padi (mature
seeds). Kalus ini diperoleh dari skutella yang ditumbuhkan pada media induksi kalus yaitu
2N6 yang mengandung zat pengatur tumbuh (ZPT) 2.4 D dengan konsentrasi 2.0 mg/L. 2,4 D
merupakan salah satu zat pengatur tumbuh yang digunakan secara luas untuk menginduksi
kalus (Toki et al. 2006; Hiei dan Komari 2008; Wanichanan et al. 2010). Kalus mulai
terbentuk pada hari ketiga untuk kultivar Kasalath dan Nipponbare, hal ini sesuai dengan
yang dilakukan oleh Toki et al. (2006), penggunaan 2,4 D konsentrasi 2.0 mg/L pada proses
induksi kalus dari biji padi Kasalath, menunjukkan diferensiasi sel (kalus) mulai terbentuk
pada hari ketiga. Kalus yang dapat ditransformasi minimal berumur 3 - 4 minggu, dengan
penampakan fisik kalus berbentuk butiran globular berwarna kuning muda cerah dengan
ukuran > 3 mm (Gambar 8).
Gambar 8 Tahapan induksi kalus dari biji Oryza sativa L. kultivar Kasalath pada media 2N6
yang diperkaya dengan zat pengatur tumbuh (ZPT) 2.4 D, A. biji Oryza sativa L. (gabah), B. biji
padi Kasalath. ditanam dalam media 2N6. C. kalus berumur ± 2 minggu dengan ukuran 3 mm,
D. kalus berumur 1 bulan dengan ukuran > 3 mm.

Penggunaan eksplan yang berupa kalus dari biji (mature seed) pada transformasi genetik Oryza
sativa L. dengan perantara A. tumefaciens, memiliki beberapa kelebihan yaitu lebih mudah
dilakukan karena dapat diproduksi dalam jumlah yang banyak dan selalu tersedia setiap waktu di
laboratorium (Hiei dan Komari 2008).Kalus-kalus yang akan ditransformasi sebelumnya
disubkultur pada media baru selama tiga hari dalam kondisi terang, yang bertujuan menyegarkan
kalus sehingga kualitas kalus tetap bagus untuk proses transformasi. Kualitas kalus merupakan
salah satu faktor yang menentukan keberhasilan transformasi dan regenerasi tanaman (Kyozuka
dan Shimamoto 1991).Transformasi genetik Oryza sativa L. kultivar Kasalath dan Nipponbare
dilakukan dengan perantara bakteri A. tumefaciens LB4404 yang mengandung plasmid pIG6-
SMt2 yang membawa gen MaMt2. Penggunaan bakteri A. tumefaciens sebagai perantara dalam
transformasi genetik dilakukan berdasarkan kemampuan bakteri ini dalam mentransfer T-
DNAnya. Selain itu, bakteri A. tumefaciens memiliki efisiensi transformasi yang tinggi. Bakteri
A. tumefaciens dapat mengintegrasikan sejumlah kecil dari copy T -DNA ke dalam kromosom,
dapat mentransfer segmen DNA yang relatif besar dan sedikit mengalami perubahan selama
proses transformasi (Hie dan Komari 2008). Kokultivasi dilakukan dengan perendaman eksplan
di dalam suspensi A. tumefaciens yang diperkaya dengan senyawa asetosiringon selama 2-5
menit, yang selanjutnya eksplan dikeringkan dan ditanam pada media kokultivasi padat selama 3
hari dalam kondisi gelap dengan suhu 28 C. Teknik perendaman merupakan teknik yang umum
digunakan untuk infeksi dalam proses transformasi genetik (Hong et al. 2007; Li et al. 2007; Hiei
dan Komari 2008; Sharma et al. 2009).Penambahan asetosiringon pada media kokultivasi padat
maupun cair berfungsi untuk menginduksi A. tumefaciens agar dapat menginfeksi kalus dan
mentransfer T-DNA A. tumefaciens ke kromosom tanaman padi. Senyawa ini meningkatkan
ekspresi gen vir sehingga dapat meningkatkan frekuensi transformasi. Gen virA dari A.
tumefaciens aktif menginfeksi pada kondisi pH asam, adanya senyawa fenolik seperti
asetosiringon serta golongan monosakarida yang memiliki efek sinergi dengan senyawa fenolik
(Ankenbauer et al. 1990; Winans 1992).

Salah satu faktor penentuan keberhasilan transformasi genetik padi menggunakan eksplan kalus
adalah mencegah terjadinya pertumbuhan berlebihan dari bakteri A. tumefaciens atau
overgrowth. Pertumbuhan berlebih dari A. tumefaciens menyebabkan persentase kalus
transforman menurun dratis, yang mana untuk mengatasi overgrowth bakteri A. tumefaciens
pada kalus dilakukan pencucian kalus dengan antibiotik cepotaxime. Antibiotik cepotaxime
berfungsi untuk membunuh bakteri A. tumefaciens, namun penggunaan cepotaxime dengan
konsentrasi tinggi dan dalam durasi yang lama bersifat toksik pada kalus padi. Kalus menjadi
mencoklat dan pada akhirnya mengalami kematian setelah dicuci dengan cepotaxime, pada
penelitian ini selain antibiotik cepotaxime juga digunakan antibiotik carbecillin yang memiliki
fungsi yang sama yaitu membunuh bakteri A. tumefaciens (Hie dan Komari 2008).Penggunaan
antibiotik cepotaxime dan carbecillin untuk membunuh bakteri A. tumefaciens pada saat
pencucian kalus setelah tahapan ko-kultivasi maupun pada media seleksi menurunkan persentase
kalus yang ditransformasi. Untuk mencegah terjadinya overgrowth bakteri A. tumefaciens, nilai
OD600 dari kultur bakteri A. tumefaciens yang digunakan harus kecil yaitu 0.01 dan perendaman
kalus dilakukan selama 2-5 menit. Teknik ini terbukti mencegah terjadinya overgrowth dari
bakteri A. tumefaciens, sehingga tidak diperlukan pencucian kalus setelah ko-kultivasi.Tahap
seleksi pada proses penelitian ini, dilakukan sebanyak dua tahapan dengan penggunaan
konsentrasi antibiotik higromisin secara bertingkat. Untuk seleksi tahap pertama, konsentrasi
antibiotik higromisin yang digunakan adalah sebesar 20 mg/L selama dua puluh hari, dimana
setiap sepuluh hari disubkultur di media baru yang mengandung antibiotik dengan konsentrasi
yang sama. Kalus yang dapat bertahan dan berproliferasi memiliki warna kuning cerah atau
pucat dan berbentuk seperti butiran pasir kering (Hiei dan Komari 2008). Pada seleksi kedua,
konsentrasi higromisin dinaikkan menjadi 30 mg/L selama lima-sepuluh hari. Hal ini, sama
dengan yang dilakukan oleh Lin dan Zhang (2005) menggunakan higromisin 30 mg/L untuk
seleksi kalus transforman pada padi indica. Kalus yang bertahan pada media seleksi ini
jumlahnya lebih sedikit dibandingkan pada seleksi pertama. Penggunaan konsentrasi antibiotik
higromisin yang bertingkat dilakukan untuk mendapatkan kalus-kalus transforman yang stabil
(Anggraito 2012).

Menurut Kyozuka dan Shimamoto (1991), seleksi higromisin dengan konsentrasi 30 mg/L
sebanyak dua kali yang terbagi atas seleksi pertama dan kedua menjamin bahwa tunas yang
diperoleh adalah transforman. Penggunaan antibiotik higromisin B (Hm) sebagai penanda seleksi
pada kalus-kalus transforman sangat efektif dan popular pada tanaman, terutama pada
transformasi padi dibandingkan dengan penanda seleksi Kmr (nptII) (Kyozuka dan Shimamoto
1991; Hiei dan Komari 2008). Higromisin berfungsi juga sebagai gen reporter, dimana
mekanisme higromisin adalah memblok translokasi dari asam amino menjadi peptida, yang
diinaktifkan oleh phosphotransferase. Proses kokultivasi dan seleksi kalus transforman pada
media higromisin dengan konsentrasi bertingkat 20 mg/L (Gambar 9b) dan 30 mg/L (Gambar
9c).

Gambar 9 Tahapan kokultivasi dan seleksi kalus transforman pada media seleksi higromisin
dengan konsentrasi bertingkat yaitu 20 – 30 mg/L. A. kalus ditumbuhkan pada media kokultivasi
2N6 yang diperkaya asetosiringon B. kalus-kalus yang ditumbuhkan pada media seleksi
higromisin dengan konsentrasi 20 mg/L. C. kalus-kalus yang dapat bertahan dan berproliferasi
selanjutnya ditumbuhkan pada media seleksi higromisin dengan konsentrasi 30 mg/L.

Kalus-kalus transforman yang diperoleh selanjutnya diregenerasi pada media regenerasi tanpa
higromisin, hal ini sesuai dengan Kyozuka dan Shimamoto (1991), karena penambahan
higromisin pada media regenerasi menyebabkan menurunnya kemampuan kalus untuk
beregenerasi. Di media regenerasi dengan higromisin bintik-bintik atau bercak hijau yang
muncul pada kalus mengalami perubahan warna menjadi coklat dan pembentukan tunas
terhambat yang akhirnya kalus mengalami kematian. Tunas-tunas transgenik putatif tumbuh dari
bercak-bercak hijau yang terdapat di kalus, setelah 3 - 4 minggu di media 2N6R. Tunas-tunas ini
selanjutnya dipindahkan pada media pengakaran (2N6F) tanpa higromisin sampai terbentuk akar
dan selanjutnya siap diaklimatisasi (Gambar 10). Faktor penentu keberhasilan regenerasi kalus
transforman adalah subkultur terjadwal setiap minggu dan penggunaan media yang segar, hal ini
sesuai dengan Kyozuka dan Shimamoto (1991).

Gambar 10 Proses regenerasi dari kalus-kalus transforman pada media regenerasi


(2N6R) dan pengakaran (2N6F) hingga terbentuk planlet dan siap untuk
diaklimatisasi. A. terbentuknya bercak hijau pada kalus transforman
setelah 1 -2 minggu disubkultur pada media regenerasi (2N6R ). B.
pembentukan tunas dari kalus transforman. C. plantlet cv Kasalath hasil
transformasi pada media pengakaran (2N6F). D. plantlet cv Nipponbare
hasil transformasi pada media pengakaran (2N6F). E. adaptasi planlet
(aklimatisasi). F. padi cv Nipponbare hasil transformasi berumur 6
bulan.

Berdasarkan hasil seleksi kalus, efisiensi transformasi Oryza sativa L. kultivar


Kasalath adalah sebesar 14.04%, sedangkan untuk Oryza sativa L. kultivar
Nipponbare adalah sebesar 19.39% (Lampiran 10). Efisiensi transformasi pada Oryza
sativa L. kultivar Nipponbare lebih tinggi dibandingkan pada kultivar Kasalath, yang
menunjukkan bahwa efisiensi transformasi sangat dipengaruhi oleh genotipe
tanaman. Kalus Nipponbare lebih mudah untuk ditransformasi dan menghasilkan
tunas yang lebih tinggi daripada kalus Kasalath (Hiei dan Komari 2008).

Umumnya transformasi genetik pada Oryza sativa L. kultivar japonica relatif


lebih mudah dibandingkan kultivar indica. Kalus dari kultivar indica sering menjadi
coklat dan mengalami kematian (Rashid et al. 1996; Nandakumar et al. 2007;
Karthikeyan et al. 2011). Untuk kultivar padi yang rekalsitran, seperti padi indica
beberapa modifikasi komposisi medium perlu dilakukan atau memerlukan kondisi
kultur tertentu (Kyozuka dan Shimamoto 1991). Selain itu, pertumbuhan A.
tumefaciens yang berlebihan pada kalus menyebabkan kematian, dan akhirnya ini
mempengaruhi efisiensi transformasi. Oleh sebab itu seleksi dilakukan secara
bertahap. Pada penelitian ini seleksi dilakukan dua tahap seperti yang dilakukan oleh
Hiei dan Komari (2008). Data jumlah eksplan Oryza sativa L. pada proses
transformasi dan seleksi, dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Perkembangan jumlah eksplan Oryza sativa L. selama proses transformasi


dan seleksi

Jumlah Seleksi I Seleksi II


Galur eksplan yang (2NBKC, 20 Mg/L) (nN6C, 30 Mg/L)
tanaman ditanam Kalus Kalus
Hidup Mati Hidup Mati
Kasalath 235 100 135 33 67
Nipponbare 165 75 90 32 43

Transformasi genetik pada Oryza sativa L. memiliki efisiensi transformasi yang


bervariasi yaitu padi japonica sebesar 23% (Chan et al. 1993), 27% (Aldemita dan
Hodges 1996), 3.8% - 38% (Nishizawa et al. 1999), sedangkan untuk padi indica
sebesar 22% (Rashid et al. 1996), 5.6 - 6.2% (Arockiasamy dan Ignacimuthu 2007),
2.0% - 7.6% (Nandakumar et al. 2007), dan 9.33% (Karthikeyan et al. 2011). Hasil
ini menunjukkan bahwa padi indica bersifat rekalsitran dan sulit untuk ditransformasi
(Zhang et al. 1998; Lin dan Zhang 2005). Efisiensi regenerasi dari kalus transforman
Oryza sativa L. kultivar Kasalath adalah sebesar 14.04%, dan untuk kultivar
Nipponbare sebesar 19.39% (Lampiran 11). Efisiensi regenerasi Oryza sativa L.
disajikan pada Tabel 7.

Kemampuan regenerasi dari kalus transforman sangat dipengaruhi oleh kondisi


kultur kalus, komposisi media regenerasi seperti zat pengatur tumbuh (ZPT) yang
digunakan, dan subkultur media secara rutin dan teratur hingga tunas terbentuk.
Komposisi media regenerasi yang tepat menjadi faktor utama dalam regenerasi
tanaman. Selain itu, kemampuan regenerasi juga dipengaruhi oleh genotipe tanaman,
padi subspesies japonica relatif lebih mudah beregenerasi dibandingkan padi indica
(Zhang et al. 1998; Lin dan Zhang 2005; Hiei dan Komari 2008).

Tabel 7 Regenerasi Oryza sativa L. dari kalus transgenik

Jumlah
Jumlah % eksplan
Galur tanaman eksplan Jumlah tunas
eksplan bertunas
bertunas
Kasalath 33 2 2 6.06%
Nipponbare 32 9 9 28.1%

4.2 Analisis Tanaman Transgenik

4.2.1 Uji integrasi transgen MaMt2 pada Oryza sativa L.

Transformasi genetik Oryza sativa L. kultivar Kasalath dan Nipponbare menghasilkan beberapa
tunas tanaman transgenik putatif dan berhasil diaklimatisasi sampai menghasilkan biji. Untuk
kultivar Kasalath menghasilkan 2 tanaman transgenik putatif dan untuk kultivar Nipponbare
menghasilkan 9 tanaman transgenik putatif. Analisis PCR dari 11 tanaman transgenik putatif
menunjukkan bahwa 2 dari 11 tanaman transgenik putatif tersebut adalah transgenik yang
dianalisis dengan primer UbiQF-SMt2R dan SMt2F-NosTR (Gambar 11). Tanaman transgenik
ini selanjutnya disebut TK01 (kultivar Kasalath transgenik generasi nol galur 1) dan TN01
(kultivar Nipponbare transgenik generasi nol galur 1).

PCR dengan menggunakan primer UbiQF-SMt2R terhadap tanaman P1 menghasilkan amplikon


berukuran 960 pb (Gambar 11a). Ukuran amplikon ini sesuai dengan ukuran DNA dari primer
UbiQF yang terdapat pada promoter Ubiquitin, dan primer SMt2R yang terdapat pada gen
MaMt2. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman TK01 adalah transgenik yang mengandung
transgen MaMt2 utuh dibawah kendali promoter pUbiquitin dan terminator NosT. Sedangkan
untuk tanaman Nipponbare transgenik TN0 1 dikonfirmasi dengan PCR yang menggunakan
primer SMt2F-NosTR. Hasil PCR adalah amplikon sebesar sekitar 526 pb yang sesuai dengan
ukuran daerah antara Mt2 dan terminator Nos (Gambar 11b), yang menunjukkan bahwa tanaman
TN01 mengandung transgen Mt2 dan terminator Nos.
Untuk dapat diekspresikan gen Mt2 harus dikendalikan oleh suatu promotor dan promotor
ubiquitin merupakan promotor yang mengendalikan ekspresi pada tingkat yang tinggi. Untuk
tanaman padi transgenik yang mengandung transgen MaMt2 dan Nos harus dikonfirmasi dengan
primer UbiQF-SMt2R yang mengamplifikasi dari daerah promotor sampai dengan akhir gen
MaMt2.

Analisis terhadap tanaman padi non transgenik menunjukkan bahwa PCR dengan menggunakan
pasangan primer UbiQF-SMt2R dan SMt2F-NosTR tidak menghasilkan amplikon (Gambar 11 a
dan 11b). Hasil PCR terhadap tanaman non transgenik menunjukkan bahwa pasangan primer
UbiQF-SMt2R dan SMt2F-NosTR tidak dapat mengamplifikasi Mt2 endogen dari padi, sehingga
bersifat spesifik untuk mengamplifikasi transgen MaMt2. Kedua pasangan primer ini juga tidak
bisa mengamplifikasi Mt2 endogen dari kedelai, tembakau dan jatropa (Anggraito 2012; Siregar
2012).

PCR dengan primer Actin, baik tanaman transgenik TK01, TN01 dan non transgenik
menghasilkan amplikon sekitar 109 pb (Gambar 11c) yang menunjukkan bahwa DNA yang
diisolasi dari kedua tanaman tersebut, yaitu P1, P2 dan non transgenik mempunyai kualitas dan
kuantitas yang baik.

Gambar 11 Hasil analisis PCR DNA tanaman Oryza sativa L. (a) cv. Kasalath transgenik T0.
dengan primer gen spesifik yaitu UbiQF dan SMt2R. M = marker 1 Kb ladder; 1 = plasmid
pIG6-MaMt2; 2 = cv Kasalath tipe liar (WT); 3 = Kasalath transgenik T0 . (b) cv Nipponbare
transgenik T0. dengan primer gen spesifik yaitu SMt2F dan NosTR. M = Marker 1 Kb ladder; 1=
plasmid pIG6-MaMt2; 2 = Nipponbare tipe liar (WT); 3 = Nipponbare transgenik T0. (c) dengan
primer gen internal aktin padi (3’UTR Actin). M = marker 100 bp; 1 = Kasalath non transgenik
(WT); 2 = Nipponbare non transgenik (WT); 3 = Kasalath transgenik T0; 4 = Nipponbare
transgenik T0.

Pada penelitian ini, biji padi dari tanaman padi non transgenik yang ditanam pada media N6 yang
mengandung higromisin 30 mg/L, hanya berkecambah saja kemudian mati, sedangkan biji T1
dari tanaman transgenik putatif kultivar Kasalath dapat berkecambah dan tumbuh di media yang
mengandung higromisin (Gambar 12). Hasil menunjukkan bahwa tanaman padi non transgenik
tidak memiliki ketahanan terhadap antibiotik higromisin pada konsentrasi yang digunakan untuk
menyeleksi kalus transgenik.

Tanaman transgenik yang diperoleh yaitu TK01, dan TN01 dapat digunakan sebagai sumber
transgen MaMt2 untuk dipindahkan kedalam tanaman padi yang mempunyai sifat agronomis
yang baik. Proses pemindahan transgen MaMt2 dari tanaman transgenik ini dilakukan dengan
persilangan terhadap varietas sasaran yang diikuti dengan silang balik (Back Cross). Proses
pemindahan gen mudah dilakukan pada gen yang jumlah salinannya tunggal. Untuk itu tanaman
transgenik harus diseleksi sehingga tanaman transgenik yang mempunyai salinan tunggal dapat
diperoleh. Analisis jumlah salinan gen sasaran dapat dilakukan dengan hibridisasi southern.
Selain itu, agar semua keturunan adalah transgenik, maka tanaman ini harus dalam keadaan
homozigot. Untuk mendapatkan tanaman homozigot, tanaman ini dibiarkan menyerbuk sendiri.
Hasil silang sendiri diseleksi dengan higromisin, dan keturunan yang tidak bersegresi untuk sifat
toleransi terhadap higromisin adalah transgenik homozigot.
Gambar 12 Kontrol positif dan kontrol negatif biji Oryza sativa L. pada media seleksi dilakukan
selama 16 hari, A. biji padi cv Nipponbare ditumbuhkan pada media 2N6RH30, B. biji padi cv
Nipponbare ditumbuhkan pada media regenerasi (2N6R) tanpa higromisin, C. biji padi Kasalath
ditumbuhkan pada media 2N6RH30, D. biji padi Kasalath ditumbuhkan pada media (2N6R)
tanpa higromisin, E. biji T1 dari kultivar Kasalath transgenik T0 ditumbuhkan pada media
2N6RH30.
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Gen MaMt2 telah berhasil diintroduksikan ke dalam genom Oryza sativa L. kultivar Kasalath
dan kultivar Nipponbare dibawah kendali promoter Ubiquitin dan terminator Nos. Satu dari dua
tanaman transgenik putatif yang diperoleh telah menghasilkan biji T1. Efisiensi regenerasi tunas
dari kalus tahan higromisin dan efisiensi transformasi pada penelitian ini, untuk kultivar Kasalath
adalah sebesar 14.04% dan 6.06%, sedangkan untuk kultivar Nipponbare adalah sebesar 19.39%
dan 28.1%.

5.2 Saran

Efisiensi regenerasi tunas transgenik putatif yang rendah dapat ditingkatkan dengan melakukan
regenerasi kalus transgenik putatif di media regenerasi tanpa penambahan agen seleksi dan tunas
yang terbentuk dianalisis secara ketat.

Analisis Southern Blot perlu dilakukan terhadap galur-galur tanaman transgenik T0 untuk
mengetahui integrasi dan jumlah salinan transgen MaMt2. Seleksi galur tanaman transgenik
didasarkan pada tanaman yang mengandung satu salinan transgen. Tanaman transgenik dengan
salinan tunggal transgen dikembangkan menjadi tanaman transgenik homozigot. Selanjutnya,
fungsi gen MT dalam toleransi padi terhadap cekaman abiotik dapat dianalisis dengan uji tantang
pada galur- galur tanaman transgenik MaMt2 homozigot.

DAFTAR PUSTAKA

Ahn YO, Kim SH, Lee J, Kim HR, Lee HS, Kwak SS. 2011. Three Brassica rapa
metallothionein genes are differentially regulated under various stress
conditions. Mol Biol Rep. DOI 10.1007/s11033-011 -0953-5
Aldemita PR, Hodges TK. 1996. Agrobacterium tumefaciens-mediated
transformation of japonica and indica rice varieties. Planta 199:612-
617.doi:10.1007/BF00195194
Anggraito YU, Suharsono, Pardal SJ, Sopandie D. 2012. Konstruksi vektor ekspresi
gen MaMt2 penyandi metallothionein tipe II dan introduksinya ke dalam
Nicotiana nenthamiana. Forum Pasca Sarjana 35(3):179-188. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.ISSN 0126-1886
Anggraito YU. 2012. Transformasi genetik Nicotiana benthamiana L. dan kedelai
dengan gen MaMt2 penyandi metallothionein tipe II dari Melastoma
malabathrricum L. [Disertasi]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor.
Ankenbauer RG, Nester, EW. 1990. Sugar-mediated induction of Agrobacterium
tumefaciens virulence genes: structural specificity and activities of
monosaccharides. J Bacteriol 172: 6442-6446.
Arockiasamy S, Ignacimuthu S. 2007. Regeneration of transgenic plants from two
indica rice (Oryza sativa L.) cultivars using shoot apex explants. Plant Cell
Reports 26:1745-1753.doi:10.1007/s00299-007-0377-9
Asher CJ. 1991. Beneficial element functional nutrients and possible new essensial
element. Di dalam: Mortvedt JJ, Cox FR, Shuman LM, Welch RM, editor.
Micronutrients in agriculture. Ed ke-2. Winconsin (US): The Soil Science
Society of America Inc. hlm 703-731.
Ashikari M, Matsuoka M, Datta SK. 2004. Transgenic rice plants. Di dalam Curtis IS,
editor. Transgenic crops of the world: Essential Protocols. Dordrecht (NL):
Kluwer Academic Publishing.
Bell LC, Edwards DG. 1987. The role of aluminum in acid soil infertility. Di dalam
Latham M, editor. Soil management under humid condtion in Asia
(ASIALAND) Proc. 1 st Regional Seminar Soil Management under humid
condition in Asia and the Pasific Khon Kae; October 1986; Bangkok, Thailand
(TH): IBSRAM Inc.

Anda mungkin juga menyukai