Anda di halaman 1dari 10

PENERAPAN SCAFFOLDING PADA ‘ZONE OF PROXIMAL

DEVELOPMENT (ZPD)’ SEBAGAI UPAYA MENCAPAI TUJUAN


PEMBELAJARAN SEJARAH DI KELAS X IKM 4 SMAN 1 MEDAN

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata


kuliah Perspektif Sosiokultural sebagai syarat
untuk memperoleh gelar profesional

Oleh: Farida Julinda


NIM: 71230591090

JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH (PPG)


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS ISLAM SUMATERA UTARA
2023
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mata pelajaran Sejarah memiliki arti strategis dalam pembentukan watak dan
peradaban bangsa yang bermartabat serta dalam pembentukan manusia Indonesia yang
memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Melalui pelajaran sejarah peserta didik
dapat melakukan kajian mengenai apa dan bila, mengapa, bagaimana, serta akibat apa
yang timbul dari jawaban masyarakat bangsa di masa lampau tersebut terhadap tantangan
yang mereka hadapi serta dampaknya bagi kehidupan pada masa sesudah peristiwa itu
dan masa kini. Materi pendidikan sejarah mampu mengembangkan potensi peserta didik
untuk mengenal nilai-nilai bangsa yang diperjuangkan pada masa lalu, dipertahankan dan
disesuaikan untuk kehidupan masa kini, dan dikembangkan lebih lanjut untuk kehidupan
masa depan. Bangsa Indonesia masa kini beserta seluruh nilai dan kehidupan yang terjadi
adalah hasil perjuangan bangsa pada masa lalu dan akan menjadi modal untuk perjuangan
kehidupan pada masa menatang (Hasan, 2012).
Tugas utama guru adalah menciptakan suasana dalam kelas agar terjadi interaksi
belajar mengajar yang dapat memotivasi siswa untuk belajar dengan baik dan sungguh-
sungguh. Untuk itu guru seyogyanya memiliki kemampuan untuk melakukan interaksi
belajar mengajar yang baik. Salah satu kemampuan yang sangat penting adalah
kemampuan dalam mengelola kelas. Dalam kegiatan belajar mengajar terdapat dua hal
yang turut menentukan berhasil tidaknya suatu proses belajar mengajar, yaitu pengelolaan
kelas dan pengajaran itu sendiri. Kedua hal itu saling tergantung. Keberhasilan
pengajaran, dalam arti tercapainya tujuan-tujuan intruksional sangat bergantung pada
kemampuan mengelola kelas. Kelas yang baik dapat menciptakan situasi yang
memungkinkan siswa belajar sehingga merupakan titik awal keberhasilan pengajaran.
Siswa dapat belajar dengan baik, dalam suasana yang wajar tanpa tekanan dan dalam
kondisi yang merangsang untuk belajar. Mereka memerlukan bimbingan dan bantuan
untuk mamahami bahan pengajaran dalam berbagai kegiatan belajar. Untuk menciptakan
suasana yang menumbuhkan gairah belajar, meningkatkan prestasi belajar siswa, dan
lebih memungkinkan guru memberikan bimbingan terhadap siswa dalam belajar,
diperlukan pengorganisasian atau pengelolaan kelas yang memadai. Pengorganisasian
kelas adalah suatu rentetan kegiatan guru untuk menumbuhkan dan mempertahankan
organisasi yang efektif, yang meliputi: tujuan pengajaran, pengaturan penggunaan waktu
yang tersedia, pengaturan ruangan dan perabotan pelajaran, serta pengelompokan siswa
dalam belajar (Faruqi, 2018).
Penting bagi seorang guru mengetahui kesalahan yang dilakukan oleh siswa.
Kesalahan tersebut perlu dianalisis untuk mengetahui kesalahan-kesalahan yang
dilakukan siswa, sehingga diharapkan siswa tidak melakukan kesalahan yang sama (Putri,
2016). Menurut Suhertin dalam Grahita (2014) penyebab kesalahan-kesalahan yang
dilakukan siswa dalam mengerjakan soal cerita matematika dikarenakan siswa kurang
menguasai bahasa, contohnya siswa tidak paham dengan pertanyaan, tidak memahami arti
kata, tidak memahami konsep, dan kurang memahami teknik berhitung. Pemberian
bantuan kepada siswa yang mengalami kesulitan dalam menyelesaikan masalah
berdasarkan konsep Vygotsky tentang assisted-learning, merupakan teknik pemberian
bantuan pada tahap awal yang diberikan secara terstruktur, bantuan tersebut disebut
dengan scaffolding. Vygotsky menyatakan siswa akan dapat menyelesaikan masalah jika
mendapat bantuan dari orang yang lebih mampu. Felayani (2013) menyatakan bahwa
scaffolding adalah suatu proses yang digunakan orang dewasa untuk menuntun anak-anak
melalui Zone of proximal development-nya. Scaffolding berasal dari kata scaffold yang
berarti tangga untuk pijakan tukang batu ketika membangun tembok. Sehingga
scaffolding dapat diartikan sebagai bantuan yang disediakan teman yang lebih kompeten
atau orang dewasa (Susilowati & Ratu, 2018).
Berdasarkan uraian tersebut maka penulis tertarik untuk menelaah secara lebih
mendalam mengenai “Penerapan scaffolding pada ‘zone of proximal development
(zpd)’ sebagai upaya mencapai tujuan pembelajaran Sejarah di kelas X IKM 4 sman
1 Medan”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan yang telah tertuang dalam latar belakang, maka dapat
ditarik beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
Bagaimana langkah-langkah metode pembelajaran Scaffolding yang sudah
diterapkan di kelas PLP? Dan Bagaimanakah penerapan scaffolding pada ‘zone of
proximal development (zpd)’ sebagai upaya mencapai tujuan pembelajaran Sejarah di
kelas X IKM 4 sman 1 Medan pada mata pelajaran peninggalan-peninggalan nenek
moyang bangsa Indonesia?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah di susun, maka dapat ditarik beberapa
tujuan masalah antara lain:
Mengetahui dan memahami langkah-langkah metode pembelajaran Scaffolding
pada ruang kelas PLP dan Menegetahui penerapan scaffolding pada ‘zone of proximal
development (zpd)’ sebagai upaya mencapai tujuan pembelajaran Sejarah di kelas X IKM
4 sman 1 Medan pada mata pelajaran peninggalan-peninggalan nenek moyang bangsa
Indonesia
PEMBAHASAN

Metode Pembelajaran Scaffolding dan Penerapannya dan Penerapan scaffolding pada


‘zone of proximal development (zpd)’ sebagai upaya mencapai tujuan pembelajaran
Sejarah di kelas X IKM 4 sman 1 Medan pada mata pelajaran peninggalan-
peninggalan nenek moyang bangsa Indonesia

Teori Vygotsky mengandung dua konsep penting yaitu zone of proximal development
(ZPD) dan scaffolding. Zone of proximal development (ZPD) oleh Vygotsky didefinisikan
sebagai “jarak antara tingkat perkembangan aktual dengan tingkat perkembangan potensial
sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau melalui
kerjasama dengan teman sejawat yang lebih mampu” (Debbie Silver, 2011).
Teori lainnya dari Vygotsky adalah scaffolding, yaitu pemberian sejumlah bantuan
kepada siswa yang mengalami kesulitan pada tahap awal pembelajaran dan secara bertahap
dikurangi (dihilangkan/dihapus) ketika mereka tidak lagi memerlukan, dan guru secara
bertahap menggeser lebih banyak tanggung jawab atas proses pembelajaran kepada siswa
(Debbie Silver, 2011). Bantuan bisa berupa saran, petunjuk, kata-kata kunci, peringatan,
ataupun dorongan sehingga memungkinkan siswa menjadi tumbuh mandiri. Scaffolding
diberikan, jika siswa berada dalam kondisi tertentu mengalami hambatan belajar.
Sebagaimana pernyataan para ahli bahwa bila siswa tetap berada pada tingkat kognisi
tertentu, guru atau rekan dapat memberikan bantuan scaffolding dengan cara membimbing
mereka atau memberikan instruksi kunci, isyarat, pertanyaan, dan pembenaran sehingga
siswa akan lebih mudah untuk berpindah atau berkembang ke proses berpikir yang lebih
tinggi (Mahmoud Z.A, 2015; Chang, Wang & Chao, 2009).
Scaffolding, atau memberikan dukungan, bisa menjadi metode pengajaran matematika
yang sangat efektif. Pikirkan perancah sebagai tangga. Anda memiliki banyak dukungan di
bagian bawah, tetapi saat Anda mendaki semakin tinggi, Anda mendapatkan lebih sedikit
dukungan. Saat memperkenalkan konsep baru, Anda perlu memberikan banyak dukungan
kepada siswa Anda. Saat mereka membangun pemahaman, mereka semakin sedikit
membutuhkan bantuan dari Anda. Istilah 'scaffolding' berasal dari karya Wood, Bruner dan
Ross (1976). Istilah ''scaffolding ' dikembangkan sebagai metafora untuk menggambarkan
jenis bantuan yang ditawarkan oleh seorang guru atau rekan untuk mendukung pembelajaran.
Dalam proses perancah, guru membantu siswa menguasai tugas atau konsep yang awalnya
tidak dapat dipahami siswa secara mandiri. Guru menawarkan bantuan hanya dengan
keterampilan yang berada di luar kemampuan siswa. Yang sangat penting adalah
memungkinkan siswa menyelesaikan tugas sebanyak mungkin, tanpa bantuan. Guru hanya
berusaha membantu siswa dengan tugas-tugas yang berada di luar kemampuannya saat ini.
Kesalahan siswa memang diharapkan, tetapi, dengan umpan balik dan dorongan guru, siswa
dapat mencapai tugas atau tujuan. Ketika siswa mengambil tanggung jawab atau menguasai
tugas, guru memulai proses "memudar", atau penghapusan perancah secara bertahap, yang
memungkinkan siswa untuk bekerja secara mandiri.
Pembelajaran dengan strategi scaffolding berbeda dari strategi dan alat pendukung
pengajaran lainnya dalam hal apa yang siswa maksudkan untuk keluar dari kesulitan, waktu
dukungan, dan bentuk dukungan. Pertama, scaffolding perlu mendukung kinerja saat ini
tetapi juga mengarah pada target kemampuan siswa untuk melakukan keterampilan belajar
secara mandiri di masa depan. Kedua, scaffolding digunakan saat siswa terlibat dengan
masalah otentik/tidak terstruktur.Ketiga, scaffolding perlu(a) membangun dari apa yang
sudah diketahui siswa dan (b) terikat dengan penilaian berkelanjutan terhadap kemampuan
siswa (Kim et al., 2018; van de Pol, Volman, Oort, & Beishuizen, 2015).
Jadi, hanya memberi tahu siswa apa yang harus dilakukan atau bagaimana
melakukannya, agar memenuhi syarat sebagai scaffolding, karena pendekatan sebelumnya
tidak mendatangkan dan membangun dari apa yang siswa sudah tahu. Keempat, scaffolding
tidak hanya menyederhanakan beberapa elemen tugas tetapi juga mempertahankan
danmenyoroti kompleksitas elemen tugas lain. Partisipasi yang bermakna dalam tugas
tersebut untuk memfokuskan perhatian siswa dari masalah dan mempromosikan jenis
aktivitas produktif yang merupakan puncak dari intervensi scaffolding yang efektif (Kim et
al., 2018; van de Pol et al., 2019).
Bentuk penerapan strategi scaffolding dalam pembelajaran dapat dilakukan secara
bertingkat sesuai dengan kebutuhan belajar dan tingkat perkembangan berpikir siswa melalui
pola (interaksi) pendekatan sebagai berikut (Belland & Evidence, 2016).
a. Scaffolding satu-ke-satu (one-to-one scaffolding) didefinisikan sebagai bantuan dari
satu guru yang bekerja satu lawan satu dengan satu siswauntuk memberikan sejumlah
dukungan yang tepatbagi siswa agar melakukan dan mendapatkan keterampilan sesuai
target tugas yang diinginkan dan menyesuaikan dukungan yang diperlukan sampai
scaffolding dapat sepenuhnya dihapus dan siswadapat mandiri.
b. Scaffolding sebaya (peer-scaffolding) yang mengacu pada penyediaan dukungan
scaffolding oleh teman-teman, dan itu memanfaatkan kekuatan dari teman sebaya
yang dianggap pandai atau lebih mampu di kelas. Tapi itu juga masih melibatkan
scaffoldingdari guru untuk memberikan dukungan scaffolding kepada siswa meskipun
peran guru lebih sedikit memonitor.
c. Scaffolding berbasis komputer (computer-based scaffolding) didefinisikan sebagai
dukungan berbasis komputer yang membantu siswa terlibat dan memperoleh
keterampilan pada tugas-tugas yang berada di luar kemampuan mereka yang tidak
dibantu. Sifat dukungan yang tepat dalam scaffolding berbasis komputer bervariasi
sesuai kerangka teoritis — misal, Adaptive Control of Thought - Rational (ACT-R).
Scaffolding berbasis komputer dibuat sesuai dengan kerangka kerja ACT-R yang
dirancang untuk membantu siswa menerapkan pengetahuan deklaratif dalam konteks
masalah dan membangun model mental terintegrasi ketika mereka terlibat dengan
masalah. Pada kelas PLP yaitu kelas X IKM 4 diterapkan metode scaffolding
disajikan pada tabel berikut:
Tabel Penerapan Metode Scaffolding
Mencapai persetujuan dan Materi yang disepakati sebagai fokus belajar
menetapkan fokus belajar adalah mengenai peninggalan-peninggalan nenek
moyang bangsa Indonesia
Mengecek hasil belajar Menerapkan zona of proximal development yang
sebelumnya (prior learning) akan dijelaskan pada bagian B
dalam hal ini kita menentukan
zona of proximal development
atau level perkembangan
berikut di atas level
perkembangan saat kini untuk
masing-masing siswa
Merancang tugas-tugas belajar a. Menjabarkan tugas-tugas dengan
(aktifitas belajar Scaffolding) memberikan pemecahan masalah ke
dalam tahap-tahap yang rinci sehingga
dapat membantu siswa melihat zona atau
sasaran tugas yang diharapkan akan
mereka lakukan.
b. Menyajikan tugas belajar secara
berjenjang sesuai taraf perkembangan
siswa. Ini dapat dilakukan dengan
berbagai cara seperti penjelasan,
peringatan, dorongan (motivasi),
penguraian masalah ke dalam langkah
pemecahan dan pemberian contoh
(modelling)
Memantau dan memediasi a. Mendorong siswa untuk bekerja dan
aktifitas belajar belajar diskusi dengan pemberian
dukungan sepenuhnya, kemudian secara
bertahap guru mengurangi dukungan
langsungnya dan membiarkan siswa
menyelesaikan tugas mandiri.
b. Memberikan dukungan dalam bentuk
pemberian isyarat, kata kunci, tanda mata
(reminders), dorongan, contoh atau hal
lain yang dapat memnacing siswa ke
arah kemandirian belajar dan pengarahan
diri.
Mengecek dan mengevaluasi a. Hasil belajar yang dicapai, bagaimana
belajar kemajuan belajar tiap siswa
b. Proses belajar yang digunakan, apakah
siswa tergerak ke arah kemandirian dan
pengaturan diri dalam belajar (Depdiknas,
2006).

Sumber: (Hasil Penerapan di kelas X IKM 4, 2023)


Tabel Aksi Nyata Penerapan Scaffolding
1. Kegiatan awal a. Guru menyapa siswa
b. Guru menetapkan fokus belajar
c. Guru mengecek hasil belajar
sebelumnya untuk menentukan
zona of proximal development.
Dengan memberikan prior-
learning mengenai perkembangan
kehidupan nenek moyang bangsa
Indonesia
d. Guru membagi kelompok
berdasarkan level perkembangan
awal yang dimiliki siswa yang
diketahui dari hasil pengecekan
sebelumnya.

2. Kegiatan Inti a. Guru menjabarkan tugas-tugas,


Dengan menjelaskan hubungan
Kedatangan nenek moyang
bangsa Indonesia dengan
peninggalan-peninggalan yang
masih ada
b. Guru menyajikan tugas belajar
secara berjenjang dengan tetap
memberikan penjelasan,
peringatan, dorongan serta
penguraian masalah ke dalam
langkah pemecahan. Dengan
guru menjelaskan mengenai
peninggalan-peninggalan nenek
moyang bangsa Indonesia
c. Guru mengurangi dukungan atau
bantuan tersebut dan membiarkan
siswa menyelesaikan tugas
tersebut secara mandiri.

3. Kegiatan Penutup a. Guru mengecek hasil belajar


yang
telah dicapai oleh siswa
b. Guru menutup pelajaran dan tetap
memberikan arahan kepada siswa
agar siswa tergerak ke arah
kemandirian dan pengaturan diri
dalam belajar

Sumber: (Hasil Penerapan di kelas X IKM 4, 2023)


Kim, N. J., Belland, B. R., & Walker, A. E. (2018). Effectiveness of
ComputerBased Scaffolding in the Context of Problem-Based Learning for Stem
Education: Bayesian Meta-analysis. Educational Psychology Review, 30(2), 397–
429. https://doi.org/10.1007/s10648-017-9419-1

Belland, B. R., & Evidence, E. (2016). Instructional Scaffolding in STEM


Education.
Switzerland: Springer International Publishing AG Switzerland.
https://doi.org/DOI 10.1007/978-3-319-02565-0

Grahita, A. (2014). Identifikasi Kesalahan


Siswa dan Pemberian Scaffolding
dalam Menyelesaikan Soal
Matematika pada Materi Operasi
Pecahan Bentuk Aljabar Kelas VII C
SMP Pangudi Luhur Salatiga .

Felayani, M. R. (2013). Pembentukan


Karakter dan Pemecahan Masalah
Melalui Model Probing Prompting
Berbantuan Scaffolding Materi
Barisan dan Deret Kelas XI SMK

Chang, J. Y. T., Wang, E. T. G., & Chao, R. (2009). Using Constructivism and
Scaffolding Theories to Explore Learning Style and Effect in Blog System
Environment. Journal MIS Review, 15(1), 29–61.

Debbie Silver. (2011). Using the “Zone”Help Reach Every Learner. Kappa Delta Pi
Record, 47(1), 28–31. https://doi.org/10.1080/00228958.2011.10516721

Anda mungkin juga menyukai