Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

KONSTUTUSI NEGARA VIS A VIS AL-QURAN


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok
Mata Kuliah : Civic Education

Dosen Pembimbing :
Ust. Amiril, M.Pd.I.

Disusun Oleh :

Aji Kurniawan (2376231017)


Muhammad Akmal Al Fikri (2376231032)
Rafnas Abdul Fathah (23762310471)
Ahmad Arham Azhar (2376231061)
Ahmad Furhan Habib Maulana (2376231080)

Kelas : Ushuluddin A Semester 1

PROGRAM STUDI ILMU ALQURAN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS PTIQ JAKARTA
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya. Sehingga kami dapat menyelesaikan
makalaj yang berjudul “Konstitusi Negara Vis A Vis Al Qur’an”. Sholawat
beriring salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah
membawa kita dari zaman kegelapan menuju jalan yang terang benderang dengan
ilmu pengetahuan.
Dalam penyusunan tugas makalah ini, tidak sedikit hambatan yang penulis
hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini
tidak lain berkat arahan dan bimbingan dosen pembimbing Mata Kuliah Ilmu
Sosial Dasar yakni Ustadz Amiril, M.Pd.I. Sehingga kendala yang penulis hadapi
bisa teratasi
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang sebuah
konsep maqamat dan ahwal. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata
Kuliah Ilmu Sosial Dasar. Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang
lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya para
mahasiswa Universitas PTIQ Jakarta. Kami sadara makalah ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami
harapkan

Jakarta, 8 Oktober 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
1) Latar belakang .............................................................................................. 1
2) Rumusan Masalah ........................................................................................ 2
3) Tujuan dan Manfaat Penulisan ..................................................................... 2
BAB II ..................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN ..................................................................................................... 3
1) Perspektif Umum Tentang Konstitusi Negara ............................................. 3
2) Tafsir Ayat Alqur’an Tentang Konstitusi Negara ........................................ 4
3) Pro Kontra Seputar Konstitusi Negara ......................................................... 7
A. Sejarah Singkat Kontroversi Seputar Konstitusi Negara.......................... 7
B. Sekilas tentang Khilafah ........................................................................... 8
C. Hukum Mendirikan Negara Islam ............................................................ 9
D. Kritik Atas Ayat-Ayat Khilafah ............................................................. 12
E. Alasan Tidak diberlakukannya Syari’at Islam Secara Kaffah di Indonesia
14
4) Piagam Madinah......................................................................................... 17
PENUTUP ............................................................................................................. 19
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 20

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1) Latar belakang
Persoalan Konstitusi Negara dapat dikatagorikan dalam kebutuhan
primer (dharūriyah) untuk mewujudkan kemashlahatan manusia di kehidupan
ini yang bertujuan memelihara lima perkara; agama, jiwa, akal, keturunan dan
harta. Hal ini dikarenakan Konstitusi maupun Undang- Undang Dasar sebuah
negara merupakan landasan utama bagi penyelenggara negara dalam
menerbitkan berbagai perundang-undangan dan aturan lainnya yang mengikat
bagi seluruh warga negara dan anak bangsa dalam menjalani kehidupan
mereka di negara tersebut.
Begitu pula di Indonesia, negara dengan jumlah penduduk yang telah
mencapai 270 juta jiwa yang memiliki keragaman dalam berbagai hal,
keragaman suku budaya, adat istiadat, Bahasa, dan agama. Setidaknya ada
lima agama yang diakui oleh pemerintah sebagai agama resmi. Dari ke-lima
agama tersebut, Islam menjadi agama dengan penganut terbanyak.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa di Negara Indonesia ini,
sangatlah berpotensi bagi kemunculan perbedaan pendapat dikalangan
penduduknya. Termasuk perbedaan pendapat dalam penentuan konstitusi
negara.
Umat muslim sebagai pemegang suara terbanyak di negeri ini,
memiliki peranan penting dalam proses pembentukan konstitusi negara dari
masa ke masa. Tidak sedikit dari mereka yang pada akhirnya terpapar paham
radikalisme, yang sarat akan fanatisme berlebihan dalam beragama. Yang
dikemudian hari, paham tersebut menjelma menjadi sekelompok orang yang
mempunyai visi misi mengganti NKRI dengan Khilafah atau negara Islam.
Sekaligus menerapkan syari’at Islam sebagai konstitusi negara.

1
2) Rumusan Masalah
Untuk mencapai dan menjadikan penulisan ini terarah dan lebih
sistematis, maka dirumuskan permasalahan yang akan dikaji berdasarkan
rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah konstitusi negara, bila ditinjau dari perspektif alqur’an?
2. Bagaimanakah kontroversi antara konstitusi negara dan syari’at islam?
3. Apa hubungan antara konstitusi negara dan piagam Madinah?

3) Tujuan dan Manfaat Penulisan


1. Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui konstitusi negara dalam perspektif Alqur’an
b. Untuk menemukan solusi terhadap kontroversi antara konstitusi negara
dengan Syari’at Islam

2. Manfaat Penulisan
a. Penulisan ini ditulis dengan harapan pembaca mampu mengetahui
ayat-ayat alqur’an yang berhubungan dengan konstitusi negara beserta
penafsirannya.
b. Pembaca menemukan solusi terhadap kontroversi antara konstitusi
negara dan syari’at islam

2
BAB II
PEMBAHASAN

1) Perspektif Umum Tentang Konstitusi Negara


Konstitusi dalam Kamus Besar bahasa Indonesia diartikan dengan : 1.
Segala ketentuan dan aturan tentang ketatanegaraan (undang-undang dasar
dsb); 2 Undang-Undang Dasar suatu negara. Dengan demikian yang kita
maksud dengan Konstitusi dalam makalah ini adalah sekumpulan aturan dasar
dalam bernegara yang menjadi landasan bagi aturan perundang- undangan
lainnya.
Kajian tentang prinsip-prinsip dasar konstitusi negara dalam Alquran
dapat dilakukan setelah kita mengakaji secara komprehensif berbagai teori
tentang Konstitusi dan Tata Negara yang berkembang di dunia.
Konstitusi menurut bahasa berarti “Dasar susunan badan politik” yang
bernama Negara. Konstitusi menggambarkan keseluruhan sistem
ketatanegaraan suatu Negara, yaitu berupa kumpulan peraturan yang
membentuk, mengatur atau memerintah Negara.
Dalam kajian teori konstitusi maupun tata negara, kata kedaulatan
merupakan satu kata kunci yang selalu muncul dan menjadi perdebatan
sepanjang sejarah. Kedaulatan dalam pandangan klasik tidak dapat dipisahkan
dari konsep negara. Tanpa kedaulatan apa yang dinamakan negara itu tidak
ada, karena tidak berjiwa.
Secara umum sebuah konstitusi memiliki sifat-sifat antara lain formal
dan materil, tertulis dan tidak tertulis, serta flexsible (luwes/supel) dan rigid
(kaku). Konstitusi dikatakan fleksibel apabila konstitusi itu mudah mengikuti
perkembangan zaman. Untuk itu ia hanya memuat hal- hal yang pokok dan
penting saja. Oleh karenanya Al Quran sebagai pedoman hidup umat manusia
berisikan undang-undang yang terdiri dari hal-hal pokok dan prinsipil yang
diatur oleh Allah swt agar manusia mampu menyelesaikan permasalahan
kehidupan mereka. Atas dasar itu Al Quran dapat diklaim memiliki nilai-nilai
dasar bagi pembentukan sebuah konstitusi Negara sepanjang masa.

3
Apapun bentuknya, sebuah konstitusi sejatinya mencantumkan
keterangan jelas mengenai hal-hal sebagai berikut:
1. Cara pengaturan berbagai jenis institusi
2. Jenis kekuasaan yang dipercayakan kepada institusi tersebut
3. Cara bagaimana kekuasaan tersebut dilaksanakan
Singkatnya tujuan suatu konstitusi adalah membatasi tindakan
kesewenang-wenangan pemerintah, menjamin hak-hak rakyat yang diperintah
dan menetapkan pelaksanaan kekuasaan yang berdaulat.1
2) Tafsir Ayat Alqur’an Tentang Konstitusi Negara
Salah satu diantara fungsi konstitusi adalah mengatur segala urusan
rakyat dengan menyeluruh dan tuntas. Untuk mencapai itu semua, berbagai
penjelasan di dalam Al-Qur’an telah mengarahkan para politikus agar fungsi
konstitusi dapat maksimal. Penjelasan-penjelasan tersebut dapat dilihat dari
poin-poin berikut ini:

A. Keadilan
Prinsip al-Quran tentang konstitusi yang pertama berkaitan dengan
persoalan keadilan. Hal ini tersurat dalam Surat An- Nisa’ ayat 58-59 yang
dinilai oleh para ulama sebagai prinsip-prinsip pokok yang menghimpun
ajaran Islam tentang kekuasaan atau pemerintahan. Bahkan Rasyid Ridha,
seorang pakar tafsir, berpendapat bahwa, "Seandainya tidak ada ayat lain yang
berbicara tentang hal permerintahan, maka ayat itu telah amat memadai."

Selain keadilan, juga ada prinsip amanah ini tercantum dalam surat
An-Nisa ayat 58:

‫اْلمٰ ٰنت ا ٰلٰٓى ا َ ْهل َه ۙا َواذَا َحك َْمت ُ ْم بَيْنَ النَّاس ا َ ْن تَحْ ُك ُم ْوا ب ْال َعدْل ۗ ا َّن ه‬
َ‫ّٰللا‬ َ ْ ‫ّٰللا يَأ ْ ُم ُر ُك ْم ا َ ْن ت ُ َؤدُّوا‬
َ ‫ا َّن ه‬
۞‫سم ْي ًع ۢا َبصي ًْرا‬ َ ‫ظ ُك ْم ب ٖه ۗ ا َّن ه‬
َ َ‫ّٰللا َكان‬ ُ ‫نع َّما َيع‬
Terjemahnya: ‚Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan

1
Mutiara Fahmi, “Prinsip Dasar Konstitusi Negara Dalam Perspektif Al Quran”, hal 478-481

4
adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha
melihat‛ (An-Nisa: 58).
Al-Qurthubiy, dalam Tafsir Al-qurthubi, menyatakan bahwa seorang
pemimpin harus menjalankan amanat yang telah dibebankan kepadanya, ayat
ini secara khusus ditunjukan untuk Nabi Saw. Perihal kunci Ka’bah, yaitu
ketika beliau mengambilnya dari Utsman bin Abu Talhah, keduanya masih
kafir ketika fathul Makkah, lalu Al Abbas bin Abdul Muthlaib memintanya
dari Rasulullah untuk melayani pembagian air Zam-zam, kemudian Rasulullah
masuk ke ka’bah dan menghancurkan patung-patung dan mengeluarkan
maqam Ibrahim dan datanglah Jibril dengan ayat ini. Yang jelas ayat ini
bersifat umum untuk setiap orang yaitu ditunjukan untuk wali agar berlaku
amanah dalam pembagian harta dan melawan kezhaliman serta berlaku adil
dalam perkara hukum.

B. Musyawarah

Prinsip ini sangat erat sekali dengan konstitusi. Hal itu dapat terlihat
dari pengangkatan Abu Bakar Ash-Shiddiq menjadi khalifah setelah
Rasulullah Saw wafat. Itu pula yang dilakukan ketika pengangkatan Umar bin
Khattab menjadi khalifah setelah Abu bakar, begitu pula khalifah-khalifah
setelahnya. Melalui musyawarah ini, potensi hegemoni dari pihak kuat
terhadap pihak yang lemah menjadi tereliminir.
Prinsip musyawarah sendiri dalam Al-Qur’an tercantum jelas dalam
surat Ali Imran ayat 159:
‫ع ْن ُه ْم‬ ُ ‫ُّوا م ْن َح ْولكَ ۖ فَٱع‬
َ ‫ْف‬ ۟ ‫ظ ْٱلقَ ْلب َلَنفَض‬ َ ‫ظا غَلي‬ًّ َ‫ٱَّلل لنتَ لَ ُه ْم ۖ َولَ ْو ُكنتَ ف‬
َّ َ‫فَب َما َر ْح َم ٍة من‬
َ‫ٱَّلل يُحبُّ ْٱل ُمت ََوكلين‬ َّ ‫علَى‬
َ َّ ‫ٱَّلل ۚ إ َّن‬ َ ‫عزَ مْتَ فَت ََو َّك ْل‬ َ ‫َوٱ ْست َ ْغف ْر لَ ُه ْم َوشَاو ْرهُ ْم فى ْٱْل َ ْمر ۖ فَإذَا‬
Terjemahnya: ‚Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah
lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka,
mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam
urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah

5
kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-
Nya.‛ (Ali Imran: 159)
Dalam ayat ini, Al-Qurthbiy, menukil perkataan Ibnu Kwarizi mandad
Mandad, mengatakan bahwa para pemimpin wajib bermusyawarah dengan
para ulama dalam perkara-perkara agama yang tidak mereka ketahui dan
terasa sulit bagi mereka, bermusyawarah dengan para komandan perang dalam
peerkara yang berhubungan dengan perang, bermusyawarah dengan para
tokoh masyarakat yang berhubungan dengan kemaslahatan umum dan
bermusyawarah dengan para tokoh notaris, para menteri dan para pekerja
dalam perkara yang berhubungan dengan kemaslahatan negri juga untuk
kemakmuranya.

C. Keadilan Sosial
Salah satu prinsip konstitusi yang tak kalah pentingnya ialah
tercapainya keadilan sosial. Keadilan sosial merupakan keadilan yang harus
diterapkan kepada siapa saja, tak mengenal ras, suku, maupun agama untuk
menegakkan keadilan tersebut.
Di dalam Al-Qur’an, konsep keadilan ini dijelaskan dalam surat Al-
Maidah ayat 8

‫شن َٰا ُن قَ ْو ٍم‬ ۖ ‫ش َهدَ ۤا َء ب ْالقس‬


َ ‫ْط َو َْل يَجْ ر َمنَّ ُك ْم‬ ُ ‫ٰيٰٓاَيُّ َها الَّذيْنَ ٰا َمنُ ْوا ُك ْونُ ْوا قَ َّواميْنَ هَّلل‬
‫ّٰللاَ خَبي ْۢر ب َما‬ ‫ب للت َّ ْق ٰو ۖى َواتَّقُوا ه‬
‫ّٰللاَ ۗا َّن ه‬ ُ ‫ع ٰلٰٓى ا َ َّْل ت َ ْعدلُ ْوا ۗاعْدلُ ْو ۗا ُه َو ا َ ْق َر‬
َ
َ‫ت َ ْع َملُ ْون‬
Artinya : Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan
karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu
terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah.
Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh,
Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.

Ibnu Katsir mengatakan bahwa untuk berbuat adil tidak hanya ditujukan
kepada teman saja, tetapi untuk musuh sekalipun harus diperlakukan dengan adil.
Hal ini dikarenakan perbuatan yang adil merupakan jalan untuk mencapai
ketaqwaan di sisi Allah Swt.

6
Perbuatan adil yang tidak memihak kepada siapa pun memang perbuatan
yang sangat sulit dilakukan. Untuk itu ganjaran bagi siapa yang dapat berbuat adil
adalah mendapatkan pangkat ketaqwaan di sisi Allah Swt. Begitu pula dalam
berpolitik, politik yang adil adalah politik yang tidak memihak kepada satu
golongan tertentu, baik ras, warna kulit, maupun agama.
Politik merupakan jalan untuk mencapai kesejahteraan, dan kesejahteraan
tersebut merupakan seuatu hal yang harus dicapai oleh visi dan misi politik.
Kesejahteraan dalam Islam adalah kesejahteraanyang tidak hanya mencakup
kesejahteraan lahir saja, tetapi juga batin untuk mencapai ridha Allah Swt. Agama
tidak hanya mementingkan sisi spiritual, seperti halnya ajaran Islam yang
berusaha untuk memerangi kemiskinan. Untuk itu, politik sebagai salah satu
prasarana untuk mencapai kesejahteraan tersebut harus bergandengan dengan
aspek spritiual dan peduli akan persoalan ketimpangan sosial2

3) Pro Kontra Seputar Konstitusi Negara

A. Sejarah Singkat Kontroversi Seputar Konstitusi Negara


Kontroversi mengenai penentuan konstitusi negara ini telah
muncul sejak negara ini belum merdeka. Diawali dengan komite persiapan
kemerdekaan bentukan Jepang (PPKI). Persoalan awal pada term ini
adalah kontroversi dasar negara untuk Indonesia. Saat itu ada golongan
Islam, ada golongn nasionalis, golongan Kresten dan golongan sosialis
yang berdebat.Golongan Islam menghendaki Islam sebagai asas negara
dengan berbagai alasan, misalnya kuantitas umat Islam, tuntutan kepada
seorang muslim untuk melaksanakan Islam secara kaffah, dan lain-lain.
Golongan Kresten pun angkat bicara dan mempertanyakan nasib mereka
seandainya Islam yang ditetapkan sebagai asas negara. Hal ini juga
mendapat tantangan dari golongan komunis yang memang anti Tuhan.
Selanjutnya kaum nasionalis mengajukan Pancasila sebagai dasar negara.3

2
Edi Irwanto, “Tafsir Ayat Politik”, (Juli 2018), hal. 25
3
Tarsi, “Kontroversi Penerapan Syariat Islam Dalam Perundang - Undangan Di Indonesia”,
(November 2013), hal.2

7
Kenyataan sejarah selanjutnya menyatakan bahwa usulan golongan
Islam ditolak. Dan Pancasila yang menjadi dasar negara sampai sekarang
tanpa menghiraukan kegelisahan sebagian kaum muslimin. Demikian pula
7 kata yang berbunyi “dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi
pemeluknya” yang termuat dalam Piagam Jakarta harus ditinggal.
Perdebatan dan kontroversi mengenai konstitusi negara terus
berlanjut pada era kemunculan DI/TII. Dan yang muncul belakangan,
gerakan-gerakan neokhawarij radikalis HTI dkk (Dalam makalah ini
penulis lebih berfokus mengkritisi hujjah-hujjah dari Gerakan HTI)

B. Sekilas tentang Khilafah


Khilâfah sendiri merupakan kata yang diambil dari bahasa Arab kha-
la-fa, yang memiliki tiga pengertian dasar. Pertama, sesuatu yang datang
setelah sesuatu yang lain, sekaligus menggantikan posisinya. Kedua,
mengandung makna di belakang. Ketiga, pergantian. Kata kha-la-fa di dalam
Al-Qur’anbeserta derifasinya terulang sebanyak 127 kali.
Dalam kajian terminologi, definisi khilâfah telah didedikasikan oleh
banyak ulama. Terutama menjadi lebih subur setelah runtuhnya khilâfah
islâmiyyah Turki Ustmani yang tumbang oleh Kemal Attatrukh. Sedangkan
di Indonesia sendiri mencuat ketika masa reformasi yang digemakan oleh
berbagai kelompok yang mencita-citakan negara Islam yang sebelumnya
dibungkam untuk nampak di permukaan bangsa ini. Kelompok tersebut
secara umum merupakan orang-orang yang keagamaannya terpengaruh oleh
Timur Tengah.
Salah satu ulama terkemuka dalam bidang hukum ketatanegaraan,
Imam Al-Mawardi, menyebutkan bahwa khilâfah (imâmah) ialah mengambil
peran kenabian dalam menjaga atau melestarikan kepentingan agama dan
menyelenggarakan atau mengatur tatanan negara4. Definisi yang dibawa oleh
Al-Mawardi dimaksudkan bahwa khilâfah bukan menjadi pengganti Nabi

4
Imam Al-Mawardi. Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah wa al-Wilâyah ad-Dîniyyah, (Beirut: Dâr Kutub
al-Islâmî, t.th), h. 22-23.

8
yang dalam kapasitas menggantikan fungsi utusan Tuhan sebagai pembawa
risalah baru, tetapi sekadar menjadi pemimpin atau kepala suatu negara.
Sementara itu Wahbah az-Zuhailî dalam al-Fiqh al-Islâmî wa
Adillatuh, mendefinisakan bahwa khilâfah atau imâmah ialah kepemimpinan
tertinggi dalam suatu negara5. Begitu juga Quraish Shihab memaksudkan
imâmah adalah kepemimpinan yang menjaga umat dalam suatu negara. Ia
diberikan mandat oleh Allah untuk melestarikan dan menjaga negara6.
Sedangkan khalifah adalah subjek di dalam kepemerintahan (tidak harus
negara Islam)7.

C. Hukum Mendirikan Negara Islam


Dalam membahas pro kontra kontra seputar konstitusi negara, penulis
berasumsi bahwa perlu kiranya kita memahami terlebih dahulu perihal hukum
mendirikan negara islam menurut syari’at. Dengan alasan, bentuk suatu
negara akan sangat mempengaruhi konstitusi negara tersebut.
Menurut ‘Ali ‘Abdur Raziq (seorang cendekiawan Islam Mesir),
apabila diadakan suatu kajian terhadap surah-surah yang ada dalam Al-
Qur’an, dimulai dari surah al-Fatihah sampai surah an-Nas, maka akan
ditemukan didalamnya berbagai persoalan dan perincian-perincian masalah
agama, kerena memang Al-Qur’an menyebutkan: “Tidak kami alfakan
sesuatupun dalam Al-Qur’an ini”. (QS. 6:38).
Akan tetapi sejauh itu pula masalah imamah atau Khilafah tidak
ditemukan diseluruh surah-surah tersebut. Kerena Al-Qur’an tidak memuat
masalah imamah atau Khalifah, maka secara otomatis tidak satu ayat Al-
Qur’anpun yang dapat dijadikan sebagai argumentasi bagi wajibnya Khilafah
sebagaimana yang telah dikemukakan oleh para ‘Ulama. Kerena itu sepanjang
pengamatan Raziq, dalam mendukung pendapatannya para ‘Ulama senantiasa

5
Wahbah Zuhaili. Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh, (Syiria: Dār al-Fikr, 2007), jilid Viii, h. 6144.
6
Quraish, Tafsir, h. 234.
7
Lufaefi, “Kritik Atas Penafsiran Ayat-Ayat Khilâfah: Studi Tafsir Al-Wa’ie Karya Rokhmat S.
Labib”, Vol. 1 No. 1 (Juli 2018), hal.29

9
mendasarkan kewajiban Khilafah itu kepada ijma’ dan pemikiran. Tidak
seorang pun dari mereka yang berargumentasi dengan ayat-ayat Al-Qur’an8.
Tidak saja Al-Qur’an, bahkan Al-Hadis juga menurut Raziq tidak
pernah mengemukakan persoalan Khilafah tersebut. Sebagai berikut,
sepanjang kenyataan para ‘Ulama tidak mampu membuktikan dengan
mengemukakan satu dalilpun tentang Khilafah ini yang mengacu pada hadis
Rasul yang mendukung ijma’ yang mereka sebut. Dalam upaya mendukung
pendapatnya ini, sekali lagi Raziq mengemukakan ungkapan penulis
AlMuwaqif yang telah disebutkan dalam argumentasi “Al-Qur’an”. Menurut
Raziq, apabila hadis-hadis yang dijadikan oleh sementara ‘Ulama sebagai
rujukan teori Imamah ditelusuri, niscahya tidak akan ditemukan sesuatu yang
cukup berarti kecuali sekedar bahwa hadis-hadis itu menyebut tentang
Imamah, bai’at, jama,ah. Sebagai contoh Raziq mengutip hadis-hadis berikut
ini. “Imam-imam itu dari kalangan Quraisy”.11 “Tetaplah berada dalam
jama’ah kaum muslihin”.12 “Barang siapa mati tanpa pernah berbai’at, maka
ia mati dalam keadaan jahiliyah”.13
“Barang siapa memberikan bai’atnya kepada seorang imam dengan
sepenuh hati, maka hendaknya ia menanti orang itu bila ia mampu, dan bila
ada orang lain yang menentangnya maka bunuhlah ia”. “Ikutilah orang-orang
yang sesudahku, Abu Bakr dan ‘Umar”.
Menurut Raziq, semua hadis-hadis yang dikemukakan di atas, sama
sekali tidak mengandung petunjuk yang dapat dijadikan argumentasi bagi teori
mereka yang mengatakan bahwa Syari’at mengakui eksistensi Khilafah atau
al-Imamah al ‘Uzma itu dengan pengertian sebagai pengganti fungsi Nabi
SAW. dan menempati tempatnya ditengah-tengah kaum muslimin.9
Seperti yang telah kita ketahui Bersama, apabila tidak ditemukan dalil
untuk suatu permasalahan di Alqur’an dan Hadits, maka ijma’ menjadi jalan
pencarian berikutnya. ‘Ali ‘Abdur Raziq mengakui bahwa Ijma’ merupakan
salah satu landasan hukum syara’ (hujjah syar’iyah) dan juga mengakui bahwa

8
M. Jamil, “Hukum Mendirikan Negara Islam Kritik Terhadap Konsep Khilafah”, Medan:
Perdana Publishing, 2016, hal. 50
9
Ibid., hal. 55

10
ijma’ itu mungkin saja terjadi dan dapat ditetapkan. Hanya saja ia menolak
pandangan para ‘Ulama yang melandaskan kewajiban Khilafah itu kepada
ijma’ para sahabat dan tabi’in seperti yang dinyatakan oleh para ‘Ulama-
‘Ulama terdahulu. Menurut Raziq, dalam persoalan Khilafah ini
bagaimanapun juga tidak pernah ada ijma’,baik ijma’ yang dimaksudkan
sebagai kesepakatan para sahabat, para ummat Islam.25 untuk mendukung
pandangannya ini, Raziq menyatakan bahwa ummat Islam sama sekali tidak
pernah mencapai suatu kesepakatan dalam memilih Khalifah disepanjang
sejarah kekhalifahan, bahkan justru selalu ada tantangan-tantangan dari
berbagai pihak kepada Khalifah, baik secara terang-terangan maupun secara
tersembunyi. Dari kenyataan inilah Raziq menarik suatu kesimpulan bahwa
tidak pernah ada ijma’ dalam masalah Khilafah.10
Dari uraian-uraian yang telah lalu, menurut Raziq terbukti bahwa Al-
Qur’an, Al-Hadis dan ijma’ sama sekali tidak pernah mencantumkan dan
mengisyaratkan adanya kekhalifahan. Jika Al-Qur’an, Al-Hadis tidak
mencantumkan dan tidak mengisyaratkan adanya kekhalifahan, dan
kesepakatan (ijma’) tentang itupun belum pernah ada, lalu masih adakah
argumentasi lain yang mereka kemukakan? Raziq mengakuai ada argumentasi
lain yang dikemukan oleh para ‘Ulama untuk mempertahankan pandangannya.
Mereka mengatakan: “Syi’ar agama dan kemaslahatan rakyat hanyalah
mungkin ada manakala ada kekhalifahan. Suatu argumentasi yang didasarkan
kepada pemikiran.11
Lebih lanjut raziq menjelaskan “Bila yang dimaksudkan dengan
imamah dan Khilafah oleh para ‘Ulama itu adalah apa yang dimaksudkan oleh
para sarjana ilmu politik sebagai “pemerintahan”, maka apa yang mereka
katakan itu tidak salah sama sekali. Artinya, menegakan syi’ar agama dan
memelihara kepentingan rakyat itu merupakan tugas Khalifah, dan itu sama
artinya dengan pemerintahan dalam bentuk dan tipenya yang bagaimanapun:
apakah ia diktator atau terbatas kekuasaanya, otoriter atau republik,
konstitusional terbatas musyawarah maupun sewenang-wenang, demokrasi,

10
Ibid., hal. 60
11
Ibid., hal.63

11
sosialis atau bolsevijk”12 dalam bukunya yang telah diterjemahkan ke Bahasa
Indonesia yang berjudul Khilafah Dan Pemerintahan Dalam Islam (terjemahan
dari buku Al-Islam Wa Usul al-Hukm).

Dari pernyataan-pernyataan di atas, jelas dapat dilihat pikiran Raziq


yang sesungguhnya. Menurutnya, ummat Islam perlu pada adanya
pemerintahan, tapi bukan berdasarkan perintah agama, melainkan berdasarkan
akal dan pertimbangan kebutuhan, dan pemerintahan itu bukan kekhalifahan.
Kesimpulan seperti ini terhadap pikiran Raziq dapat dilihat dalam pengantar
buku Khilafah Dan Pemerintahan Dalam Islam.13

D. Kritik Atas Ayat-Ayat Khilafah


Al-Qur’an merupakan wahyu mati (tidak bisa berbicara). Pernyataan
demikian menjadikan Al-Qur’an mudah untuk ditafsiri oleh siapa saja. Wahyu
Tuhan tersebut memberi kesempatan kepada manusia siapa pun untuk
memikirkan apa maksud Al-Qur’an melalui penafsirannya. Di sini akan
dipaparkan sebagian ayat Al-Qur’an yang menyinggung tentang khilâfah
dalam tafsir al-Wa’ie (Kitab tafsir karya petinggi HTI Rokhmad S Labib), ayat
yang dimaksud ialah QS. Al-Baqarah [2]: 30

ُ‫اْل ْرض خَل ْيفَةً ۗ قَالُ ْٰٓوا اَت َ ْج َع ُل ف ْي َها َم ْن يُّ ْفسدُ ف ْي َها َو َيسْفك‬ َ ْ ‫َواذْ قَا َل َربُّكَ ل ْل َم ٰۤل ِٕىكَة ان ْي َجاعل فى‬
َ‫س لَكَ ۗ قَا َل ان ْٰٓي اَ ْعلَ ُم َما َْل تَ ْعلَ ُم ْون‬
ُ ‫سب ُح ب َح ْمدكَ َونُقَد‬َ ُ‫الد َم ۤا ۚ َء َونَحْ نُ ن‬
"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat:
«Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.»
Mereka berkata: «Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu
orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah,
padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan

12
Ibid., hal.65
13
Ibid., hal.66

12
Engkau?» Tuhan berfirman: «Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui" (QS. Al-Baqarah [2]: 30).
Ayat ini berkenaan dengan penciptaan Bapak Adam. Quraish Shihab
menyebutkan bahwa ayat di atas merupakan bentuk kemuliaan anak Adam
dengan ditugaskan untuk menjadi khalifah di muka bumi.58Akan tetapi,
Rokhmat S. Labib dalam tafsirnya menyebutkan bahwa penciptaan Adam
sebagai khalifah di muka bumi ialah memberi maksud bahwa Allah
mewajibkan umat memiliki seorang khalifah yang menerapkan syariat Islam
sebagai konstitusi negara, dan hukum-hukum tersebut tidak akan terlaksana
jika tidak adanya kepemerintaha Islam khilâfah islâmiyyah. 59 Oleh karena itu,
mengangkat khalifah dan mendirikan khilâfah islâmiyyah adalah kewajiban
syar’i yang harus dilaksanakan oleh siapapun yang beragama Islam.
Hemat penulis, kesimpulan Labib sampai pada kewajiban
mendirikan sistem khilâfah islâmiyyah dalam ayat di atas adalah sebuah
penafsiran yang jauh dari apa yang ingin dimaksudkan ayat. Ada transformasi
makna yang telah lepas dari substansi ayat, yaitu saat beliau menafsirkan ayat
yang esensinya kewajiban mengangkat seorang pemimpin (khalîfah) menjadi
kewajiban menegakkan sistem kepemerintahan Islam yaitu khilâfah
islâmiyyah. Tentu saja, ada perbedaan yang sangat mendasar diantara term
khilâfah dan khilâfah. Khilâfah ialah bentuk masdhar yang pada gilirannya
ditafsirkan dengan sistem kepemerintahan Islam, sedangkan khalifah adalah
subjek di dalam kepemerintahan (tidak harus negara Islam).
Pernyataan bahwa ayat tersebut di atas tidak dimaksudkan sebagai
kewajiban menegakkan sistem kepemerintahan Islam khilâfah juga didukung
oleh pendapat para Mufasir, seperti al-Alûsi di dalam kitabnya Rûh al-Ma’ânî,
62 al-Qinûji dalam tafsirnya Fath al-Bayân fî Maqâshid Al-Qur’an63 dan al-
Kalbi dengan kitabnya at-Tashîl li Ulûm at-Tanzîl. 64 Bagi Mufasir-mufasir
tersebut, QS. al-Baqarah di atas ialah menjelaskan akan kewajiban mengangkat
seorang pemimpin dalam sebuah komunitas atau negara, tetapi bukan
kewajiban mendirikan sistem khilâfah islâmiyyah. Penafsiran Labib yang tidak
umum dengan penafsiran ulama-ulama lainnya, dan juga terjadinya
transformasi makna yang sangat jauh, yaitu dari seorang pemimpin menjadi

13
sistem kepemerintahan, adalah sebuah penafsiran yang jauh dari esensi yang
ingin dimaksudkan Al-Qur’an.14

E. Alasan Tidak diberlakukannya Syari’at Islam Secara Kaffah di


Indonesia
Penyebab dari ketidakmauan organisasi pengusung khilafah
mempercayakan kepentingan umat Islam kepada negara atau pemerintah
adalah anggapan bahwa negara tidak menerapkan syariat Islam sesuai fungsi
pemimpin negara seperti tertuang dalam karya al-Mawardi, al-Ahkam al-
Sultaniyah: hirasat al-din wa siyasat al-dawlah (menjaga agama dan
mengelola negara). Menjawab anggapan ini, sedari awal berdiri, negara
Indonesia dibangun di atas dasar kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan sila ini, agama adalah fondasi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Berbeda dengan negara sekuler yang jelas menolak keterlibatan agama
dalam urusan negara, Indonesia yang berasaskan Pancasila telah menyebutkan
posisi fundamental agama. Hal ini, untuk selanjutnya, meski apa yang
dihasilkan dalam perundang-undangan tidak mencantumkan dalil Al-Qur’an
atau hadits, ia dengan sendirinya diwarnai oleh nilai-nilai Islam sebagai agama
mayoritas rakyat Indonesia.
Seperti tentang 5 perlindungan (al-dlaruriyyat al-khamsu) yang harus
diberikan kepada setiap individu menurut asy-Syathibi dalam al-Muwafaqat,
yaitu perlindungan atas agama, jiwa, keturunan, harta dan akal. Sebagai
realisasinya, muncul aturan hukum terkait pelarangan penistaan agama,
pembunuhan, prostitusi/perzinaan, pencurian/korupsi, dan minuman
keras/narkoba. Semua ini merupakan tindak pidana yang dijatuhi hukuman
atas pelakunya. Meski hukuman yang diterapkan tidak seperti hudud atau
hukuman badan yang ditetapkan oleh Islam, tapi setidaknya ia telah menjadi
delik hukum yang bisa menyeret pelaku ke meja hijau. Mengenai kurang
maksimalnya negara dalam menjalankan aturan tersebut atau masih
banyaknya kebocoran di sana-sini, maka ia menjadi kepedulian bersama untuk

14
Lufaefi, “Kritik Atas Penafsiran Ayat-Ayat Khilâfah: Studi Tafsir Al-Wa’ie Karya Rokhmat S.
Labib”, Vol. 1 No. 1 (Juli 2018), hal.29

14
mengingatkan pemerintah agar menegakkan hukum setegak-tegaknya dan
bukan mendeligitimasi negara. Problem Pemahaman Tekstualis
Perkara tidak diterapkannya hukuman hudud atau hukuman badan
sesuai ketetapan Allah: seperti kisas bagi pembunuh, rajam dan cambuk bagi
pezina, potong tangan bagi pencuri, hal itu tidak menggugurkan praktik
penerapan syariat. Terkait hal ini, Gus Baha’ atau KH. Bahauddin Nursalim
mengatakan, bahwa dalam usul fiqh terdapat kaidah: ma la yudraku kulluhu la
yutraku julluhu (yang tidak bisa didapat semua tidak ditinggal semua). Artinya
bahwa penerapan hukum yang tidak sepenuhnya, menuntut penerapan
sebagian. Artinya, bahwa penerapan Lima Perlindungan (al-dlaruriyyat al-
khamsu) meski tanpa penerapan hudud, ia tetap bernilai penerapan. Razia
minuman keras menunjukkan pelaksanaan perlindungan akal. Penggerebekan
warung remang-remang dan tempat penginapan yang diduga menjadi tempat
mesum menunjukkan perlindungan terhadap keturunan dengan melarang
perzinaan. Berbeda dari negara barat yang membiarkan sama sekali atau
bahkan melegalkannya.
Terkait tidak diterapkannya hudud, dalam konteks Mesir, Syekh Ali
Jum’ah mantan mufti Mesir (2003-2013) mengatakan bahwa penerapan hudud
harus dalam kondisi yang sangat memungkinkan (fi itmi’nan tam). Jika
kondisi belum memungkinkan hal itu dihentikan sementara sesuai petunjuk
Rasulullah: “hindarilah penerapan hudud karena syubhat (keraguan)/idra’u al-
hudud bi al-shubhat”. Syarat penerapan hudud setidaknya adalah adanya saksi
yang jujur dan hakim yang mujtahid. Sekarang kejujuran saksi dipertanyakan
bahkan banyak saksi bikinan. Sementara hakim yang mujtahid tidak ada yang
sekelas Ali b. Abi Talib atau Suraih. Bahkan yang adil pun langka. Karenanya
semenjak abad kedua atau ketiga Hijriyah, hukuman hudud sudah dihentikan
hingga terpenuhi kualifikasi yang diharapkan. Dihentikan tidak untuk
dibatalkan, kata Syekh Ali Jum’ah.
Beliau lebih lanjut menjelaskan bahwa banyak hal yang harus
dipertimbangkan dalam penerapan hudud. Seperti jika pencuri akan dipotong
tangan, maka harus diperhitungkan bagaimana dengan nasib anak dan istrinya.
Juga jika memiliki penyakit yang membuatnya bisa mati padahal hukuman

15
potong tangan tidak boleh sampai membunuh. Khalifah Umar bin Khattab
dalam kepemimpinannya pernah menghentikan potong tangan di saat
paceklik.
Belum lagi faktor pelaku sebenarnya yang kadang ada di balik layar,
maka hal itu rawan menzalimi terhukum. Pelaku dihukum potong tangan
padahal dia tidak lebih hanyalah suruhan. Sementara pelaku sebenarnya tidak
terlacak. Jika ternyata terjadi kekeliruan, bagaimana mengembalikan tangan
yang sudah putus. Untuk itu Rasulullah melarang penerapan hudud jika
banyak ketidakpastian di sana. (Lihat kanal Youtube CBC Egypt).
TGB Zainul Majdi, gubernur Nusa Tenggara Barat, mengatakan dalam
stadium generalnya di UIN Sunan Ampel Surabaya pada Oktober 2017, bahwa
meski negara kita bukanlah negara Islam tetapi aspirasi Islam sudah banyak
diwujudkan. Seperti bank syariah di Indonesia yang meski hanya menghimpun
sedikit dana masyarakat jika dibandingkan dengan bank konvensional tetapi
nilai obligasi atau sukuknya terbesar di dunia.15

15
Ahmad Murtafi Haris (2022) Kontroversi Isu Khilafah (2): Penerapan Syariat. Diakses Pada 15
Oktober 2023 Sumber: https://www.nu.or.id/opini/kontroversi-isu-khilafah-2-penerapan-syariat-
GIXz3

16
4) Piagam Madinah
Piagam Madinah adalah sebuah ketetapan mengenai dasar-dasar negara
Madinah yang bekerja untuk mengatur suatu umat dan membentuk suatu
masyarakat serta menegakkan suatu pemerintahan.
Kesamaan konsep antara Piagam Madinah dengan Konstitusi Indonesia
diantaranya terletak pada adanya ikatan agama dengan negara. Nabi Muhammad
SAW mendirikan negara Madinah tidak melabelkan Negara Islam namun bersifat
umum dan berdasarkan atas kesepakatan masyarakat atau kontrak sosial,
Hubungan agama dan negara, diletakkan sebagai relasi yang kuat dan
resmi. Pluralisme keagamaan dilihat sebagai keniscayaan yang harus dilindungi
oleh negara. Konstitusi Indonesia meletakkan agama sebagai sumber nilai dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Meskipun negara tidak boleh mencampuri
urusan internal umat beragama.
Piagam Madinah berisi perjanjian yang benilai strategis bagi Nabi SAW
untuk mengembangkan risalahnya dalam menata hubungan manusia muslim
dengan Tuhan dan hubungan sesama umat Islam di satu sisi serta hubungan umat
Islam dengan non muslim di sisi lain, oleh sebab itu, kaum Yahudi dan
penyembah berhala tetap dalam agama dan keyakinan mereka, dan mereka boleh
tetap tinggal di tengah-tengah masyarakat Madinah. Piagam Madinah Nabi
Muhammad SAW tidak memaksa untuk mengubah agama dalam kapasitasnya
sebagai Nabi dan kepala negara. Ia hanya mendakwahkan Islam. Soal konversi ke
agama Islam tergantung kepada kesadaran mereka.
Nabi SAW menciptakan kerukunan antar komunitas agama dan keyakinan
yang ada. Dalam Piagam Madinah ada sebuah jaminan kebebasan beragama bagi
orang-orang Yahudi sebagai suatu komunitas dan mewujudkan kerjasama yang
erat dengan kaum muslimin.
Sementara dalam konstitusi Indonesia juga menerapkan hal serupa dengan
mengesakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara kesatuan yang berideologi
Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar struktur Negara.
Sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Bab XI UUD 1945
menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk

17
memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan
kepercayaannya16

16
Muhammad Fathoni (2016) Kesamaan Piagam Madinah dengan Konstitusi di Indonesia,
Diakses pada 15 Oktober 2023, Sumber: https://nu.or.id/nasional/kesamaan-piagam-madinah-
dengan-konstitusi-di-indonesia-pUg7Y

18
PENUTUP
Indonesia sebagai negara demokrasi berasaskan Pancasila bukanlah Negara
agama atau negara sekuler, dalam perjalanan sejarahnya Indonesia telah
melakukan formalisasi syariat Islam dengan berbagai dinamikanya. Formalisasi
syariat Islam terjadi cukup massif di akhir-akhir Orde Baru dan di era Reformasi
seiring dengan meningkatnya komunitas Islam kultural. Penerapan syariat Islam
menjadi hukum negara ternyata lebih dipengaruhi oleh hubungan Negara dan
Islam, formalisasi syari’at Islam sulit dilakukan karena pelembagaan syariat Islam
akan dianggap sebagai batu loncatan untuk membentuk negara Islam. Hal ini akan
mengingkari keutuhan Negara bangsa.
Bahwa karakter Negara bangsa di Indonesia, dibutuhkan revitalisasi Islam
kultural. Prinsip-prinsip konstitusi di atas tentu lebih sesuai dengan cita-cita Islam
sebagai rahmat bagi seluruh alam.

19
DAFTAR PUSTAKA
AL-Mawardi, I. (n.d.). Al-ahkam As Sulthaniyyah Wa AL Wilayah Ad-Diniyyah.
Beirut: Dar Kutub al Islami.
Fahmi, M. (n.d.). PRINSIP DASAR KONSTITUSI NEGARA DALAM
PERSPEKTIF AL QURAN. 478-481.
Fathoni, M. (2016). Kesamaan Piagam Madinah Dengan Konstitusi Di Indonesia.
Retrieved Oktober 15, 2023, from https://nu.or.id/nasional/kesamaan-
piagam-madinah-dengan-konstitusi-di-indonesia-pUg7Y
Haris, A. M. (2023). Kontroversi Isu Khilafah (2) : Penerapan Syariat. Retrieved
from https://www.nu.or.id/opini/kontroversi-isu-khilafah-2-penerapan-
syariat-GIXz3
Irwanto, E. (2018). Tafsir Ayat Politik. 25.
Kholdun, I. (n.d.). Muqoddimah.
Lufaefi. (2018). Kritik Atas Penafsiran Ayat-Ayat Khilâfah: Studi Tafsir Al-
Wa’ie Karya Rokhmat S. Labib. 1(1), 29.
M.Jamil. (2016). Hukum Mendirikan Negara Islam, Kritik Terhadap Konsep
Khilafah. Medan: Perdana Publishing.
Shihab, Q. (2002). Tafsir Al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati.
Tarsi. (2013, Novembeer). Kontroversi Penerapan Syariat Islam Dalam
Perundang-Undangan Di Indonesia. 2.
Zuhaili, W. (2007). Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuh (Vol. 8). Syiria: Dar al-FIkr.

20

Anda mungkin juga menyukai