Disususn Oleh:
2020/2021
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis sampaikan atas kehadirat Allah SWT,
shalawat dan salam juga disampaikan kepada Nabi kita Muhammad SAW. Serta
sahabat dan keluarganya, seayun langkah dan seiring bahu dalam menegakkan
agama Allah. Dengan kebaikan beliau telah membawa kita dari alam kebodohan
ke alam yang berilmu pengetahuan.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan, baik dari cara penulisan maupun isinya.Oleh karena itu,
penulis memohon maaf atas segala kekurangannya dan tentunya penulis juga
sangat mengharapkan kritikan dan saran-saran yang dapat membangun demi
kesempurnaan makalah ini. Terimakasih
Penulis
Kelompok 1
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.........................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
1.1. LatarBelakang...........................................................................................1
1.2. RumusanMasalah.....................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................3
3.1. Kesimpulan...............................................................................................11
3.2.Saran..........................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................13
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah melalui Rasulullah SAW.
Sebagai agama Allah SWT, Islam telah begitu sempurna dalam mengatur
segala urusan manusia. Agama Islam menjadi sebuah jalan hidup (way of life)
bagi para umat Islam. Agama Islam tidak hanya berbicara tentang moralitas,
tetapi juga semua aspek kehidupan mulai dari urusan ke kamar mandi hingga
hukum kenegaraan. Islam memiliki banyak konsep didalamnya yang dapat
kita cari tahu makna serta ajarannya, yang diantaranya ialah bekerja dan
mencari nafkah . Hidup seseorang menjadi lebih baik jika setiap orang mau
bekerja dan mencari nafkah. Baik itu untuk kepentingan individu, kepentingan
sosial, kepentingan keberlangsungan negara, dan sebagainya.
Tujuan utama penciptaan manusia di dunia selain untuk beribadah hanya
kepada Allah SWT, memang untuk memakmurkan bumi (QS. Hud[11]:61).
Perintah bekerja atau mencari nafkah terdapat dalam sejumlah ayat. Misalnya
QS. Al-Jum’ah[62]:9-10, yang memerintahkan untuk menyegerakan shalat
lalu mencari penghidupan di muka bumi.
Al qur’an adalah dasar hukum islam yang pertama. Sedangkan as-sunnah
(hadist) merupakan dasar hukum islam yang kedua. Keduanya merupakan
sumber ajaran islam. Hadist atau as-sunnah menempati posisi yang penting
dalam kehidupan umat islam. Karena didalamnya terdapat aturan-aturan yang
tidak terdapat dalam Al qur’an, sebab Al qur’an yang masih bersifat global.
Maka penjelas dari Al-qur’an adalah hadist.
1
1.2 RUMUSAN MASALAH
2
BAB II
PEMBAHASAN
Kata bekerja berasal dari bahasa arab " "َكْس ِبyaitu dari derivasi isim
masdar yakni َك ْسبًا– ُيْك ِس ُب –َك َسَبyang berarti berusaha, bekerja, mencari nafkah,
memperoleh dan lain sebagainya1. Dalam KBBI bekerja secara etimologi ialah
melakukan suatu pekerjaan (perbuatan). Dan secara terminologi, arti bekerja
adalah suatu perbuatan, usaha, tindakan, atau aktivitas manusia yang
dilakukan dengan sengaja untuk memenuhi kebutuhan hidup atau mencapai
suatu tujuan tertentu.
Disisi lain, nafkah ( )النفقةberasal dari bahasa Arab yakni dari suku kata
anfaqa – yunfiqu- infaqan (نفقا- ينفق- )انفاقyang dalam kamus Arab-Indonesia
diartikan dengan “ pembelanjaan”2. Dalam tata bahasa Indonesia kata nafkah
secara resmi sudah dipakai dengan arti pengeluaran. Berdasarakn pengertian
ini, maka seorang perempuan yang sudah dinikahi secara sah oleh seorang
laki-laki berhak untuk mendapatkan nafkah dari suaminya. Hal itu karena
memang nafkah adalah kewajiban suami terhadap istri yang wajib ditunaikan
dan jika dialnggar akan mendapatkan balasan dosa dari Allah SWT.
Salah satu perbuatan yang sangat mulia dalam ajaran Islam adalah bekerja.
Rasulullah saw memberikan pelajaran menarik tentang pentingnya bekerja.
Dalam Islam bekerja bukan sekadar memenuhi kebutuhan perut, tapi juga
untuk memelihara harga diri dan martabat kemanusiaan yang seharusnya
dijunjung tinggi. Karenanya, bekerja dalam Islam menempati posisi yang
teramat mulia. Selain itu, bekerja merupakan wujud pemenuhan perintah
Allah SWT. Ia memerintahkan hambaNya untuk memakmurkan bumi.
1
Johan Arifin, EtikaBisnisIslami, (Semarang: Walisongo Press, 2009), hlm. 19
2
Munawir, Ahmad Warson. Kamus Al Munawwir, (Yogyakarta:PondokPesantren al – Munawwir,
1984)
3
Sebagai khalifah di muka bumi, manusia juga diperintahkan untuk mengelola
seluruh potensi alam raya ini demi kemakmuran manusia dan dalam lingkup
beribadah kepada Allah SWT.
Bekerja di dunia merupakan salah satu jembatan menuju akhirat. Yaitu,
bekerja bukan semata-mata mencari penghidupan dunia. Cara kita bekerja
akan menentukan apakah kita akan mendapat kebahagiaan di akhirat atau
tidak, dan setiap langkah kita dalam bekerja akan dimintai pertanggung
jawabannya. Dalam bekerja terdapat keberkahan, seperti kisah yang dialami
Ali bin Abi Thalib: “Suatu pagi, Ali bin Abi Thalib meniggalkan madinah
untuk mencari pekerjaan demi menghidupi anak-anaknya. Ia menemui seorang
perempuan yang sedang mencari pekerja untuk mengusung air dari sebuah
sumur sebuah lubang tanah. Ali bin Abi Thalib bekerja pada perempuan itu.
Setiap bejana air yang dipindahkan, ia memperoleh upah satu kurma. Dari
pekerjaan tersebut, Ali mendapatkan 20 kurma dan ia pun membawa pulang
upahnya. Rasulullah SAW menyambut kedatangannya seraya menanyakan
apa yang dibawanya. Ali menjawab, ”Ini adalah kurma-kurma yang kuperoleh
sebagai upah kerja, aku bekerja hingga kedua tanganku memar karena
menimba air dari sumur dengan tali rami kering.” Kemudian Rasulullah saw
mengusap kedua tangan Ali, menepuknya, mengusapkan kewajahnya sembari
berkata, ”itulah tangan yang diberkahi Allah.” Demikianlah, bahwa dalam
setiap usaha yang dilakukan dengan cara halal untuk menafkahi anak istri akan
menjadikan hidup penuh berkah dari Allah SWT.3
Dalam kitab-kitab fiqih pembahasan nafkah selalu dikaitkan dengan
pembahasan nikah, karena nafkah merupakan konsekuensi terjadinya suatu
akad antara seorang pria dengan seorang wanita. Namun, nafkah sendiri
terbagi menjadi dua yaitu nafkah kepada diri sendiri dan orang lain. Sementara
itu, nafkah kepada orang lain bisa dikembangkan menjadi tiga, yakni kepada
istri, kerabat, dan benda milik.
Menurut mazhab Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanabilah, kewajiban nafkah
belum jatuh kepada suami hanya dengan akad nikah. Kewajiban nafkah itu
mulai berawal ketika sang istri telah menyerahkan dirinya kepada suaminya,
3
Abdul Rasyid. “KonsepEtosKerjamenurutHadits (StudiAnalisisSanad)”.
(SkripsiFakultasUshuludin, Jakarta: Perpustakaan UIN SyarifHidayatullah, 2014),T.d.
4
atau ketika sang suami telah mencampurinya, atau ketika sang suami menolak
membawa istrinya ke rumah sang suami walaupun sang istri telah meminta hal
itu darinya. Sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat bahwa kewajiban
memberi nafkah bermula setelah berlangsungnya akad nikah yang sah,
meskipun sang istri belum berpindah ke rumah suaminya. Namun, keempat
mazhab ini tetap berpendirian pada landasan yang sama, yaitu kewajiban
memberi nafkah terhadap istri adalah bentuk konsekuensi dari akad nikah
yang sah.4
4
Ubaidi, Muhammad Ya’qubThalib, NafkahIstri – HukumMenafkahiIstridalamPerspektif Islam,
(Surabaya :DarusSunnah, 2007), hal. 32
5
Sayyid AhmadAl Hasyimi, Syaarah MukhtarulHadits,hlm.846
5
Rasulullah SAW memuji orang yang makan dari hasil jerih
payahnya sendiri, lalu menghubungkan pujian ini dengan menceritakan
tentang Nabi Daud as. Sesuai hadis:
: َقاَل َو َس َّلَم َع َلْيِه الَّلهم َص َّلى ِهَّللا َر ُسوِل َع ْن َع ْنه الَّلهم َرِض ي اْلِم ْقَداِم َع ِن
) َك اَن الَّس اَل م َع َلْيِه َداُو َدالَّلِهَنِبَّي َوِإَّن َيِدِهَع َمِل ِم ْنَيْأُك َأَلْن ِم ْنَخ ْيًراَقُّطَطَع اًم ا َأَح ٌد َأَك َل َم ا
رواه ( َيِدِه َع َمِل ِم ْن َيْأُك ُل.البخاري
Terjemah : “Dari al-Miqdam r.a, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Tidaklah seorang (hamba) memakan makanan yang lebih sbaik dari hasil
usaha tangannya (sendiri), dan sungguh Nabi Daud a.s makan dari hasil
usaha tangannya (sendiri)” HR. Al-Bukhari
Dalam hadis tersebut terdapat " " َطَع اًم اَأَح ٌد َأَك َل ماyang artinya tidak
ada makanan yang di makan seseorang, " " َخْيًراyang artinya lebih baik, ”
"َيِدِهَع َمِلyang artinya hasil usaha tangannya, dan " " اَداُو َدلَّلِهَنِبَّيartinya Nabi
Allah Daud A.s.
Rasulullah SAW mengkhususkan penyebutan Nabi Daud A.s
dalam hadits di atas, karena Daud A.s adalah seorang Nabi dan raja.
Biasanya, para raja tidak perlu bekerja untuk memenuhi kebutuhan
pangannya sehari-hari, karena telah dipenuhi oleh para pekerja dan
pelayannya. Namun tidak dengan Nabi Daud A.s, ia tetap bekerja
walaupun dirinya adalah seorang raja.
ُهَر ْيَر َة َأِبي َع ْن َر اِفٍع َأِبي َع ْن َثاِبٍت َع ْن َس َلَم َة ْبُن َحَّم اُد َح َّد َثَناَخ اِلٍد ْبُن َهَّد اُبَح َّد َثَنا: الَّلِه َر ُسوَأَلَّن
( َقاَل َو َس َّلَم َع َلْيِه الَّلُهَص َّلى)رواهاحمد: َنَّجاًرا َزَك ِرَّياُء َك اَن
Terjemah : " Telah menceritakan kepada kami Haddab bin Khalid, telah
menceritakan kepada kami, Hammad bin Salamah, dari Tsabit, dari Abu
Rafi’, dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW telah bersabda: “Nabi
Zakaria adalah seorang tukang kayu. (HR. Ahmad)6
6
https://rowahu.wordpress.com/2017/12/11/hadits-shahih-muslim-no-4384-keutamaan-zakaria-
alaihissalam/amp/#aoh=16030320891619&referrer=https%3A%2F
%2Fwww.google.com&_tf=From%20%251%24s
6
Didalam hadis tersebut terdapat kata " "َنَّجاًراyang artinya tukang
kayu.
Imam An Nawawi rahimahullah menjelaskan “Dalam hadis ini
terdapat dalil bolehnya berindustri. Dan pekerjaan tukang tidak
menjatuhkan kewibawaan (seseorang), bahkan termasuk pekerjaan mulia.
Dalam hadits ini (juga) terdapat (petunjuk tentang) keutamaan Zakariya
Alaihissallam, karena ia (bekerja) sebagai tukang dan makan dari hasil
jerih payahnya”.. Oleh karena itu, Imam Muslim membawakan hadis ini
dalam bab Min Fadhail Zakariya Alaihissallam.
7
Jabir r.a meriwayatkan, “Ada seorang lelaki dari Bani ‘Udzrah
yang memerdekakan budaknya. Lalu berita itu sampai kepada Rasulullah
SAW, kemudian beliau pun bertanya, “Apakah kamu masih punya harta
selain ini?” Lelaki tersebut menjawab, “Tidak ada”Lalu Rasulullah SAW
mengatakan, “Siapakah yang mau membeli budak ini?” Lalu Nu’aim bin
‘Abdullah Al-‘Adawi membelinya dengan harga 800 dirham. Kemudian
Rasulullah SAW membawa uang itu dan memberikannya kepada lelaki
tersebut sembari bersabda:
َع َلْيَهاَفَتَص َّدْق ِبَنْفِس َك ْأاْبَد، َش ْي ٌء َفَضَل َفِإْن، َفِلِذ ي َش ْي ٌء َأْهِلَك َع ْن َفَض َل َفِإْن َفَأِلْهِلَك،َفِإْن َقَر اَبِتَك
7
Muhammad Syaifudin Hakim, “Parenting Islami (51): Nafkah untuk Istri dan Anak-anak”
https://muslimah.or.id/11119-parenting-islami-51nafkah-untuk-istri-dan-anak-anak.html
8
maka pahalanya lebih besar (dari amalan kebaikan yang disebutkan tadi,
pen)” (HR. Muslim no. 995).8
Dalam hadis tersebut “ ”الَّلِه َس ِبيِلِفىartinya dijalan Allah, “ ”ِم ْس ِكيٍن
artinya orang-orang miskin, “ ”َأْهِلَكartinya keluargamu.
Beberapa faedah penting yang dapat kita petik dari hadits ini:
1. Amal perbuatan manusia tergantung niatnya, sehingga infak yang
dilakukan seorang hamba untuk orang yang dicintainya dengan niat
karena melaksanakan perintah Allah dan mencari keridhaannya bernilai
pahala di sisinya. (Tuhfatul ahwadzi, 5/398).
2. Amal perbuatan yang mubah asalnya (boleh dilakukan tanpa ada dosa
dan pahala) kalau diniatkan ikhlas karena mengharapkan wajah Allah
maka akan bernilai ibadah dan menjadi amal ketaatan yang mendapat
pahala di sisi Allah. (Syarh sahih Muslim, 6/16).
3. Imam Ibnu daqiq al-‘Id berkata: “Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa
pahala berinfak (didapatkan) dengan syarat niat yang benar (ikhlas)
mengharapkan wajah Allah. Dan ini adalah perkara yang sulit dan tidak
butuh perhatian serius, karena jika berlawanan dengan tuntutan syahwat
dan watak manusia maka akan menjadikannya tidak menghasilkan
pahala yang diharapkan, sampai (dijadikan niatnya ikhlas)
mengharapkan wajah Allah.” (Ihkaamul ahkam, 2/460).
4. Hadits ini tidaklah menunjukkan bahwa seorang muslim hanya
mencukupkan diri dengan menafkahkan hartanya bagi keluarganya dan
tidak bersedekah di jalan kebaikan lain yang disyariatkan Islam, bahkan
sebaliknya, Islam sangat menganjurkan menyedekahkan kelebihan
harta di jalan Allah , karena inilah yang menjadi sebab harta akan kekal
dan menjadi simpanan kebaikan yang berlipat ganda di sisi Allah
(Syarh sahih Muslim, 6/16). Sebagaimana sabda Rasulullah : “Sedekah
itu tidaklah mengurangi harta” (HR.Muslim 2588).9
8
Muhamad Abduh Tuasikal, “6 Keutamaan Mencari Nafkah”, https://rumaysho.com/2262-6-
keutamaan-mencari-nafkah-bagi-suami.html
9
Abdullah Taslim, “Menafkahi Keluarga Itu Berpahala”, https://konsultasisyariah.com/23815-
menafkahi-keluarga-itu-berpahala.html https://konsultasisyariah.com/23815-menafkahi-keluarga-
itu-berpahala.html
9
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
10
Islam adalah agama yang sangat sempurna. Agama Islam bukan
hanya memerintahkan untuk beribadah dalam artian sempit ritual, tetapi
juga memerintahkan untuk beribadah dalam artian yang lebih luas lagi,
salah satunya bekerja keras mencari nafkah yang halal yang di gunakan
untuk hal-hal yang halal pula, maka Allah akan memberi balasan yang
sangat luar biasa berupa ridho dariNya, diampuni dosanya, dihapus
dosanya, mendapatkan berkah, mendapatkan pahala jihad, dan semakin
dicintai oleh Allah SWT.
11
3.2 SARAN
Sebagai khalifah di bumi ini, kita sebagai manusia dituntut untuk mencari
karunia Allah, memanfaatkan semua yang ada di bumi demi kemakmuran dan
keberlangsungan hidup kita. begitu pula dengan mencari ilmu, juga bekerja.
Dengan bekerja, kita dapat menjadi muslim yang bermanfaat karena harta dan
tenaga kita bagikan kepada saudara lainnya.
Oleh karena itu, bekerja di bidang apapun, asalkan halal, patut kita
laksanakan dengan ikhlas, sepenuh hati, agar bisa menjadi wali Allah di dunia
yang berkontribusi aktif demi kemajuan hidup umat islam.
DAFTAR PUSTAKA
12
Arifin, Johan. 2009. Etika Bisnis Islami. Semarang: Walisongo Press.
Rasyid, Abdul. 2014. “Konsep Etos Kerja menurut Hadits (Studi Analisis
Sanad)”. Skripsi. Fakultas Ushuludin. Jakarta: Perpustakaan UIN Syarif
Hidayatullah.
Ubaidi dan Thalib, Muhammad Ya’qub. 2007. Nafkah Istri – Hukum Menafkahi
Istri dalam Perspektif Islam. Surabaya : Darus Sunnah.
Muhammad Syaifudin Hakim. “Parenting Islami (51): Nafkah untuk Istri dan
Anak-anak”.2019.https://muslimah.or.id/11119-parenting-islami-51nafkah-untuk-
istri-dan-anak-anak.html (dilihat 18 oktober 2020)
13