Terlebih dahulu penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang
Maha Kuasa. Atas rahmat dan karunia-Nya penulis telah dapat menyelesaikan sebuah
makalah dengan judul “Siyasah Maliyah”. Adapun makalah ini disusun untuk
memenuhi tugas.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Hal ini tidak
terlepas dari keterbatasan penulis sebagai manusia biasa yang tidak lepas dari
kesalahan dan kekhilafan. Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran
yang sifatnya membangun demi kesempurnaan untuk masa yang akan datang.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seperti di dalam fiqh siyasah dusturiyah dan fiqh siyasah dauliyah, di dalam
fiqh siyasah maliyah pun pengaturannya diorientasikan untuk kemaslahaan rakyat.
Oleh karena itu, di dalam siyasah maliyah ada huubungan diantara tiga factor, yaitu:
rakyat, harta, dan pemerintah atau kekuasaan.
Dikalangan rakyat ada dua kelompok besar dalam suatu atau beberapa Negara
yang harus bekerjasama dan saling membantu antar orang-orang kaya dan orang
miskin. Di dalam siyasah maliyah dibicarakan bagaimana cara-cara kebijakan yang
harus diambil untuk mengharmonisasikan dua kelompok ini, agar kesenjangan antara
orang kaya dan miskin tidak semakin lebar.
Oleh karena itu, di dalam fiqh siyasah orang-orang kaya disentuh hatinya
untuk mampu bersikap selalu sabar (ulet), berusaha, dan berdoa mengharap karunia
Allah. Kemudian, sebagai wujud dari kebijakan, di atur di dalam bentuk, zakat, dan
infak, yang hukumnya wajib atau juga di dalam bentuk-bentuk lain seperti wakaf,
sedekah, dan penetapan ulil amri yang tidak bertentangan dengan nash syari’ah,
seperti bea cukai (usyur) dan kharaj.
Dalam tata negara harus ada pengaturan keluar masuknya keuangan yang
ditangani oleh lembaga-lembaga tertentu. Tentunya hal itu bukan sesuatu yang
mudah, karena tidak sedikit pejabat yang berada dalam lembaga ini sering terjerat
oleh hukum seperti Gayus Tambunan. Perlu ada pembenahan kembali dalam menata
keuangan negara. Karena hal ini penting maka penulis akan memaparkan sedikit
penjelasan yang berkaitan dengan keuangan negara dalam bidang fiqih siyasah
maliyah.
Seperti di dalam fiqh Siyasah Dusturiyah dan fiqh Siyasah Dauliyah, di dalam
fiqh Siyasah Maliyah pun pengaturannya diorientasikan untuk kemaslahatan rakyat.
Oleh karena itu, di dalam Siyasah Maliyah ada hubungan diantara tiga faktor, yaitu:
rakyat, harta, dan pemerintah atau kekuasaan.
Di kalangan rakyat ada dua kelompok besar dalam suatu atau beberapa
Negara yang harus bekerjasama dan saling membantu antar orang kaya dan orang
miskin. Di dalam siyasah maliyah dibicarakan bagaimana cara-cara kebijakan yang
harus diambil untuk mengharmonisasikan dua kelompok ini, agar kesenjangan antara
orang kaya dan miskin tidak semakin lebar.
B. Rumusan masalah
1. Pengertian Siyasah Maliyah
2. Sumber Keuangan Negara
3. Pengeluaran da Belanja Negara
BAB II
PEMBAHASAN
Jadi, pendapatan negara dan pengeluarannya harus diatur dengan baik. Karena
keuangan negara termasuk pilar yang sangat berperan penting dalam kemaslahatan
masyarakat. Ketika keuangan diatur sedemikian, maka dampaknya terhadap ekonomi,
1
Abdul Wahhab Kahallaf. 1994. Politik Hukum Islam. PT. Tiara Wacana Yogya. hlm 79.
2
Abdullah Muhammad Muhammad al-Qadhi. 1990. Siyasah As-Syar’iyah baina Al-Nadariyah wa al-
Tadbiq. Dar al-Kutub al-Jam’iyah al-hadits. hlm 881
kemiliteran, dan hal-hal yang lainnya; yaitu kesejahteraan bagi penduduk negara
tersebut.
3
Abdul Qadir Djaelani. 1995. Negara Ideal: Menurut Konsep Islam. Surabaya: PT. Bina Ilmu. hlm
382.
B. Baitul Mal
Ketentuan syariat, baik Al-Quran maupun hadis Nabi saw, yang mengatur
secara langsung masalah baitul mal ini, memang tidak ada ketentuan syar’i yang kita
peroleh hanya dari atsar para khulafaur Rasyidin yang dilakukan dalam praktek
penyelenggaraan negara. Meski demikian, posisi baitul mal begitu penting bagi
kehidupan negara islam sebagai lembaga penyimpanan harta kekayaan negara, yang
bertanggung jawab atas harta kekayaan negara, baik dalam pemasukanya,
penyimpanan dan pengeluaranya, sudah menjadi keharusan di dalam sistem negara
islam.
Dari peristiwa yang pernah terjadi pada masa khulafaur Rasyidin ini, di samping
mengingat pentingnya posisi lembaga baitul mal di dalam sistem negara islam, kami
mengajukan beberara usul sebagai berikut:
1. Lembaga baitul mal adalah badan otonom yang berdiri bebas sebagai salah
satu lembaga tinggi negara.
3. Lembaga ini secara horizontal sejajar dengan lembaga eksekutif dan yudikatif,
dan secara vertikal mempunyai wakilnya di tiap daerah, baik di provinsi
maupun kabupaten atau walikota.
8. Lembaga baitul mal berhak untuk mengambil tindakan hukum atas segala
penyelewengan yang dilakukan oleh semua aparat negara dengan alasan
mengajukanya kepada mahkamah agung, agar diproses di depan pengadilan.
Adapun Ibnu Humam, pengarang kitab” Al Bada’i” berkata bahwa: harta yang
dimasukan pada kas negara (baitul mal) ada empat macam (konsep Baitul Mal):
Pertama: harta zakat binatang ternak dan pertanian dan harta yang di pungut dari para
pedagang muslim.
Kedua: harta dari pajak tanah, upeti dari setiap pembayar pajak, harta shadaqoh
karena terjadi perdamaian antara bani hijran dan bani hilal dan bani taghlin
Ketiga, harta yang di pungut dari para pedagang non muslim (seperti orang-orang
kafir zimmi, musta’min dan orang-orang kafir yang memerangi umat islam).
Keempat: harta pusaka milik orang yang meninggal dunia, tetapi dia tidak
meninggalkan ahli waris, atau meninggal suami atau istri.
C. Jizyah
Jizyah adalah pungutan harta yang dikenakan atas setiap kepala. Kata jizyah
itu diambil dari kata al-jaza yang artinya balasan. Sehingga dapat bermakna iuran
Negara (dharibah) yang diwajibkan atas orang-orang ahli kitab sebagai imbangan
bagi usaha membela mereka dan melindungi mereka atau sebagai imbangan bahwa
mereka memperoleh apa yang diperoleh orang-orang Islam sendiri, baik dalam
kemerdekaan diri, pemeliharaan harta, kehormatan dan agama.
َقاِتُلوا اَّلِذ يَن ال ُيْؤ ِم ُنوَن ِباِهَّلل َو ال ِباْلَيْو ِم اآلِخ ِر َو ال ُيَح ِّر ُم وَن َم ا َح َّر َم ُهَّللا َو َر ُس وُلُه َو ال َي ِد يُنوَن ِد يَن اْلَح ِّق ِم َن اَّل ِذ يَن
ُأوُتوا اْلِكَتاَب َح َّتى ُيْع ُطوا اْلِج ْز َيَة َع ْن َيٍد َو ُهْم َص اِغ ُروَن
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada
hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah
dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu
orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar
jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.(At-Taubah; 29)
Dari penjelasan ayat di atas menurut sebagian ahli tafsir mendefinisikan
Jizyah ialah pajak per kepala yang dipungut oleh pemerintah Islam dari orang-orang
yang bukan Islam, sebagai imbangan keamanan bagi diri mereka.
1. Orang-orang Arab Musyrik. Dalam hal ini ulama sepakat untuk tidak
mengambil atau menerima jizyah dari mereka, sebab bagi mereka hanya ada
dua pilihan yaitu masuk Islam atau diperangi.
1. Jizyah Shulhiyah
Jizyah ghair shulhiyah dalam hal ini membagi golongan dzimmi menjadi tiga
kreteria, yaitu:
3. Golongan fakir yang masih dapat bekerja, bagi mereka dikenakan 12 dirham.
(Menurut pendapat Imam Hanafi)
D. Fai
Harta Fai’ adalah segala sesuatu yang dikuasai kaum Muslim dari harta orang
kafir dengan tanpa pengerahan pasukan berkuda maupun unta, juga tanpa kesulitan
serta tanpa melakukan peperangan.
Kondisi ini seperti yang terjadi pada Bani Nadhir, atau seperti kejadian
lainnya yaitu takutnya orang-orang kafir kepada umat Islam sehingga mereka
meninggalkan kampung halaman dan harta benda mereka. Kaum muslim menguasai
segala sesuatu yang mereka tinggalkan, atau bisa juga akibat ketakutan orang-orang
kafir sehingga mendorong mereka mengerahkan diri kepada kaum muslim dengan
harapan kaum muslim berbuat baik kepada mereka dan tidak memerangi mereka. Hal
ini dilakukan mereka disertai dengan penyerahan sebagian dari tanah dan harta benda
mereka – contohnya adalah peristiwa yang terjadi pada penduduk Fadak yang
beragama Yahudi. Inilah makna fai’ yang dimaksud oleh firman Allah swt. dalam
surat al Hasyr, yaitu:
َو َم ا َأَفاَء ُهَّللا َع َلى َر ُسوِلِه ِم ْنُهْم َفَم ا َأْو َج ْفُتْم َع َلْيِه ِم ْن َخْيٍل َو ال ِر َك اٍب َو َلِكَّن َهَّللا ُيَس ِّلُط ُرُس َلُه َع َلى َم ْن َيَش اُء َو ُهَّللا َع َلى
ُك ِّل َش ْي ٍء َقِد يٌر
“Dan apa saja harta rampasan (fai) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya
(dari harta benda) mereka, maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan
seekor kuda pun dan (tidak pula) seekor unta pun, tetapi Allah yang memberikan
kekuasaan kepada Rasul-Nya terhadap siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS. Al Hasyr: 6)
Harta Fai’ adalah salah satu pos pendapatan Baitul Mal dalam Daulah Khilafah. Harta
Fai’ sendiri bisa diperoleh ketika Daulah Khilafah telah ditegakkan. Sebelum
Khilafah ada, maka konsep fai’ belum bisa diterapkan. Karena itu termasuk kebijakan
negara. Diantara pembagian dan prosedur pembagian harta Fai’ antara lain:
1/5 (ditashorufkan)
E. Kharaj
Kharaj secara sederhana dapat diartikan sebagai pajak tanah. Pajak tanah ini
dibebankan atas tanah non-muslim dan dalam hal-hal tertentu juga dapat dibebankan
atas umat islam.
Kharaj pertama kali dikenal dalam umat islam setelah perang khaibar. Pada
saat itu rasulullah saw. memberikan dispensasi kepada penduduk yahudi khaibar
untuk tetap memiliki tanah mereka, dengan syrat mereka memberikan sebagian hasil
panennya kepada pemerintah islam. Dalam sejarah pemerintah islam kharaj
merupakan sumber keuangan Negara yang dikuasai oleh komunitas (pemerintah),
bukan oleh sekelompok orang.
Kharaj dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu kharaj sebanding (proporsional)
dan kharaj yang tetap. Jenis pertama dikenakan secara proporsional berdasarkan total
hasil pertanian, misalnya seperdua, sepertiga atau seperlima dari hasil yang diperoleh.
Sedangkan bentuk kedua dibebankan atas tanah tanpa membedakan status
pemiliknya, apakah anak-anak atau dewasa, merdeka atau budak, perempuan atau
laki-laki, muslim atau non-muslim. Kewajiban membayar kharaj hanya sekali
setahun, meskipun panen yang dihasilkannya bisa tiga atau empat kali setahun.
Jumlah pajak yang pernah dipraktikan dalam pemerintahan islam beragam, sesuai
dengan kondisi sosial masyarakat yang wajib membayarnya dan tanah pertaniaannya.
Khalifah umar, misalnya menetapkan jumlah kharaj sawad al-iraq dengan ketentuan
satu dirham untuk setiap jarib dan satu qafidz gandum untuk tanah yang terdiri dari
sejumlah sungai dan kanal. Untuk tanah sawad, komposisi jumlah pajak perjarib
adalah sebagai berikut:
1. Anggur, 10 dirham
2. Kurma, 8 dirham
3. Tebu, 6 dirham
4. Gandum, 4 dirham
5. Kapas, 5 dirham
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam pembahasan makalah kali ini, penulis menguraikan sistematika dalam
memproseduri dan mengatur keuangan Negara dimasa kejayaan Islam. Dimana
sistematika tersebut hingga saat ini pun digunakan dalam mengatur jalannya
keuangan suatu Negara, terkhusus bagi Negara Islam. Istilah yang biasa
digunakannya adalah Siyasah Maliah, yang dapat dipahami sebagai metode dalam
mengatur segala aspek pemasukan dan pengeluaran keuangan yang sesuai dengan
kemaslahatan umum tanpa menghilangkan hak induvidu dan menyia-nyiakannya.
Untuk itu para ulama membuat konsepsinya dan membagi sesuai dengan
kegunaan dan sumber keuangan Negara beragam macamnya;
1. Zakat
2. Jizyah
3. Fai
4. Kharaj, dst
Abdul Wahhab Kahallaf. 1994. Politik Hukum Islam. PT. Tiara Wacana Yogya. hlm
79.
Al-Haritsi, Jaribah bin Ahmad. 2003, Fikih Ekonomi Umar bin Al- Khathab, Jakarta:
khalifa (pustaka al-kautsar Group).
Djaelani, Abdul Qadir. 1995. Negara Ideal: menurut konsep Islam. Surabaya: PT.
Bina Ilmu.