Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH BAHTSUL KUTUB

ALLAH MAHA NYATA

Di Buat Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Bahtsul Kutub

Dosen Pengampu : Dr. Akla, M.Pd.

Disusun Oleh:

Nur Azizah 2201010085

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI METRO
TAHUN AKADEMIK 2023/2024
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum. Wr. Wb.

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT tuhan alam semesta.


Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada nabi kita, Nabi
Muhammad SAW. Serta kepada teman -teman yang sudah menjadi inspirasi saya
sejak awal pembuatan makalah. Di dalam pembuatan makalah ini tentu masih
banyak sekali kekurangannya. Saran dan kritik dari pembaca masih sangat
diperlukan untuk penyempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca. Sekian kata pengantar dari saya, kurang lebihnya saya
mohon maaf. Wassalamu’alaikum. Wr. Wb

Metro, 15 November 2023

Nur Azizah
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................ii

DAFTAR ISI ...............................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang Masalah……………………………………….........4


B. Rumusan Masalah .............................................................................5
C. Tujuan Masalah .................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN

A. Dzat Allah SWT.................................................................................6


B. Keberadaan Atau Ada nya Allah SWT..............................................7

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan........................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada dasarnya keyakinan akan keberadaan Allah Ta’ala merupakan hal


yang bersifat naluri atau fitrah. Seseorang tidak perlu berfikir atau belajar untuk
menunjukan keberadaan Allah Ta’ala. Karena pengetahuan tersebut sudah ada
sejak dia diciptakan. Sama hal nya dengan pengetahuan seseorang bahwa kue
yang telah di potong lebih sedikit dari kue yang masih utuh. Atau pengetahuan
bahwasanya suatu perbuatan pasti ada pelakunya.

Seorang anak kecil pun ketika dia dipukul dari belakang misalnya, dengan
nalurinya dia akan menengok, dan mencari siapa pelakunya. Kalau kemudian
dikatakan kepadanya bahwa tidak ada seorang pun yang memukulnya, dia tidak
akan percaya. Bahkan mungkin dia akan menangis hingga mengetahui siapa yang
memukulnya untuk kemudian bisa membalasnya.

Begitu juga tentang pengetahuan seseorang adanya Allah sebagai Tuhan


pencipta. Tanpa berpikir dan belajar pun hal tersebut sudah ada, tertanam dalam
setiap jiwa manusia. Karena hal ini lah para Nabi pun heran ketika musuh-musuh
Allah menolak risalah yang dibawa oleh para Nabi dan mengatakan,
“Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu disuruh menyampaikannya
(kepada kami), dan sesungguhnya kami benar-benar dalam keragu-raguan yang
menggelisahkan terhadap apa yang kamu ajak kami kepadanya” [QS. Ibrahim : 9].

B. Rumusan
1. Apa maksud dari dzat nya Allah SWT?
2. Bagaimana maksud dari keberadaan Allah SWT?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui maksud dari dzatnya Allah SWT
2. Untuk mengetahui keabsahan dari keberadaan Allah SWT
BAB II

PEMBAHASAN

1. Dzat Allah SWT

Allah Ta’ala menampakkan segala sesuatu dengan cahaya wujud dari


gelapnya ketiadaan. Dengan kemunculan cahaya-Nya dalam segala sesuatu,
semuanya menjadi tampak. Jika wujud segala sesuatu bergantung pada cahaya-
Nya, mustahil sesuatu itu menutupi-Nya sehingga membuat-Nya terselubung dan
tidak tampak. Tindakan “menampakkan” meniscayakan penampakan Dzat yg
melakukannya. Allah Ta’ala lah yg menampakkan segala sesuatu agar orang-
orang yg berakal menjadikannya sebagai bukti keberadaan-Nya.

Allah Ta’ala berfirman:

‫َس ُنِرْيِه ْم ٰا ٰي ِتَنا ِفى اٰاْل َفاِق َوِفْٓي َاْنُفِس ِه ْم َح ّٰت ى َيَتَبَّيَن َلُهْم َاَّنُه اْلَح ُّۗق َاَو َلْم َيْك ِف ِبَر ِّبَك َاَّنٗه َع ٰل ى ُك ِّل َش ْي ٍء َش ِهْيٌد‬

Artinya: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda² (kekuasaan) Kami


di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri sehingga jelaslah bagi mereka
bahwa Al-Qur‘an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi
kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?” (QS. Fushshilat
[41]: 53).

Menurut ahli syuhud, Allah Ta’ala tampak pada segala sesuatu dengan
penampakan Dzat-Nya. Sementara itu, menurut ahli hijab, Dia tampak pada segala
sesuatu dengan penampakan sifat dan asma-Nya. Segala sesuatu hanyalah objek
penampakan dari makna-makna asma‘ dan sifat-Nya. Pada benda atau orang yg
mulia, tampaklah sifat Maha Mulia (‘Aziz) milik-Nya dan pada benda atau orang
yg hina, terlihatlah sifat Maha Menghinakan (Mudzill) milik-Nya.

Pada setiap makhluk hidup tampak jelas sifat Maha Menghidupkan


(Muhyi) milik-Nya. Saat Allah Ta’ala mencabut nyawa, tampaklah sifat Maha
Mematikan (Mumit). Saat memberi, terlihatlah sifat Maha Memberi (Mu‘thi).
Saat menahan pemberian, terlihat sifat Maha Menahan (Mani). Saat memberi
karunia, tampak sifat Maha Memberi Karunia (Karim). Saat mengabulkan doa,
tampak sifat Maha Pengabul Doa (Mujib). Saat menimpakan bahaya atau
mendatangkan manfaat, tampaklah sifat Maha Pemberi Bahaya (Dharr) dan Maha
Pemberi Manfaat (Nafi’), dan sebagainya.

Bagaimana bisa Allah Ta’ala terhalangi sesuatu, padahal Dia lebih tampak
daripada segala sesuatu? Karena dalam setiap kondisi, wujud (keberadaan) lebih
tampak daripada ‘adam (ketiadaan), juga karena kemunculan substansial lebih
kuat daripada kemunculan aksidental. Kemunculan yg bersumber dari diri sendiri
lebih kuat daripada kemunculan yg di akibatkan faktor luar. Kemunculan mutlak
lebih kuat daripada kemunculan relatif. Kemunculan yg abadi lebih kuat daripada
kemunculan yg fana.

Wujud Tuhan tidak diketahui akal karena kemunculan-Nya amat dahsyat.


Kemunculan dahsyat itu tak akan bisa diketahui oleh orang² lemah. Seperti halnya
seekor kelelawar yg hanya mampu melihat di kegelapan malam, sedangkan di
siang hari ia tidak mampu melihat apa². Hal itu dikarenakan kuatnya kemunculan
siang. Sementara itu, penglihatan mata kelelawar amat lemah. Ia tak sanggup
melawan pancaran cahaya matahari. Kuatnya kemunculan siang dan lemahnya
penglihatan itulah yg menjadi sebab kelelawar tak mampu melihat di siang hari.

Seperti itulah akal, ia amat lemah di hadapan kemunculan Ilahi yg sinar


dan cahaya-Nya menyilaukan. Kuatnya kemunculan Ilahi inilah yg menjadi sebab
ketersembunyian-Nya dari segala sesuatu. Bagaimana mungkin sesuatu akan
menghalangi Allah Ta’ala, padahal Dia Yang Esa dan tak ada sesuatu pun yg
bersama-Nya? Karena segala sesuatu selain Allah Ta’ala tidak ada dan tidak
berwujud. Dengan demikian, tak ada sesuatu pun yg dapat menghalangi-Nya
karena semua wujud hakiki hanya milik Allah Ta’ala, bukan milik selain-Nya.

Bagaimana mungkin Allah Ta’ala terhalangi sesuatu, padahal Dia lebih


dekat kepadamu dari segala sesuatu? Karena Dia mampu meliputi dan
mengaturmu. Allah Ta’ala berfirman:

‫َو َلَقْد َخ َلْقَنا اِاْل ْنَس اَن َو َنْع َلُم َم ا ُتَو ْس ِو ُس ِبٖه َنْفُسٗه ۖ َو َنْح ُن َاْقَر ُب ِاَلْيِه ِم ْن َح ْبِل اْلَو ِرْيِد‬
Artinya: “Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dan
mengetahui apa yg dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya
daripada urat lehernya.” (QS. Qaf [50]: 16). Menurut ahli syuhud, Dzat Allah
Ta’ala amat dekat kepada kita. Adapun menurut ahli hijab, Tuhan dekat kepada
kita dalam pengertian dekat ilmu, kekuasaan, dan sifat-sifat Nya yg lain.

Bagaimana bisa Allah Ta’ala terhalangi sesuatu, padahal tanpa Dia, segala
sesuatu tidak akan ada? Sampai² para musyahidun (yg merasa menyaksikan Allah
Ta’ala) menjadikan Allah Ta’ala sebagai dalil untuk membuktikan keberadaan
segala sesuatu. Allah Ta’ala berfirman:
‫ُّۗق‬
‫َس ُنِرْيِه ْم ٰا ٰي ِتَنا ِفى اٰاْل َفاِق َوِفْٓي َاْنُفِس ِه ْم َح ّٰت ى َيَتَبَّيَن َلُهْم َاَّنُه اْلَح َاَو َلْم َيْك ِف ِبَر ِّبَك َاَّنٗه َع ٰل ى ُك ِّل َش ْي ٍء‬
‫َش ِهْيٌد‬

Artinya: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda² (kebesaran)


Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi
mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar. Tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa
Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (QS. Fushshilat [41]: 53).

Bagaimana bisa sesuatu yg baru (hadits) bersanding dengan Yang Maha


Dahulu (qadim)? Bagaimana mungkin sesuatu yg baru muncul bersamaan dengan
yg memiliki sifat qidam. Yg baru itu bathil, sedangkan Allah Ta’ala itu Haq
(Maha Benar). Kebathilan akan sirna dengan adanya kebenaran. Allah Ta’ala
berfirman:

‫َو ُقْل َج ۤا َء اْلَح ُّق َو َز َهَق اْلَباِط ُلۖ ِاَّن اْلَباِطَل َك اَن َزُهْو ًقا‬

Artinya: “Dan katakanlah, “Kebenaran telah datang dan yg bathil telah


lenyap.” Sungguh, yg batil itu pasti lenyap.” (QS. Al-Isra [17]: 81)

Sosok yg lahir (tampak) dan tsabit (tetap) itulah Tuhan Yang Maha Haq,
Allah Ta’ala, bukan alam semesta. Tak ada yg berwujud, kecuali Allah Ta’ala
karena Dia yg tampak dan menampakkan, yg mawjud dan berbeda dari segala
penampakan lainnya.
B. Keberadaan Allah SWT

Konsep keberadaan Allah dan argumen-argumen tentang keberadaannya telah


menjadi perdebatan filosofis dan teologis selama berabad-abad. Banyak argumen
telah diajukan oleh para filosof, teolog, dan pemikir agama untuk mendukung
keberadaan Allah. Di antara argumen-argumen tersebut, ada yang menekankan
ketidakmungkinan keberadaan alam semesta ini tanpa adanya Tuhan.

Ketika keterbatasan pengamatan atas sebuah gejala yang terjadi pada yang tidak bisa
dijelaskan melalui hukum kausalitas, maka terciptalah berbagai persepsi tentang
keberadaan dan keterlibatan sang penggerak terhadap keberlangsungan realitas dalam diri
individu dan keteraturan alam. Karena secara prinsipil, semua objek dapat menjadi
hierofani, sebab di dunia ini semuanya dilatar belakangi oleh objek yang suci. 1

Konsesus Ulama Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah menetapkan bahwa dzat Allah ada
tanpa tempat dan tidak berlaku waktu bagiNya, sebagaimana dikutip oleh Abu Manshur
al-Baghdadi (w. 429 H), ia mengatakan:

‫وأجمعوا على أنه ال يحويه فكان وال يجرى َع َلْيِه زمان‬

Artinya: “Mereka semua (Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah) sepakat bahwa Allah


tidak diliputi oleh tempat dan waktu tidak berlaku bagiNya”.2

Semakna dengan Abd al-Hasan al-Asy'ari (w. 324 H), ia berpendapat:

‫َك اَن َو اَل َم َك ان َفَخ َلَق اْلَع ْر ِش والكرسي ولم يْح َتج إلى َم كان َو ُهَو َبعِد َخ لَق اْلَم َك ان َك َم ا كان قبل خلقه‬

Artinya: "Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Kemudian Allah
menciptakan Arsy dan tidak membutuhkan kepada tempat. Setelah Allah
menciptakan tempat, Allah ada seperti sedia kala sebelum menciptakannya"

Keterangan-keterangan di atas lahir dari pemahaman hadis riwayat al-


Bukhari (w. 256 H), sebagai berikut:

1
Nico Syukur Dister, Nico syukur Dister Ofm, Pengalaman dan Motivasi Beragama, (Yogyakarta,
Kanisius, 1982), hal. 27 (Yogyakarta: Kanisius, 1982), 27.
2
Abu Mansur Al-Baghdadi, al-Farqu baina al-Firaq wa bayaanu al-Firqah al-Najiyah (Beirut:
Dar al-Aafaq al-Jadidah, 1977), 321. 2, 1997), 321.
‫َك اَن ُهَّللا َو َلْم َيُك ْن َش ْي ٌء َغْيُر ُه‬

Artinya: "Allah ada tanpa permulaan dan tidak ada sesuatu apapun selainnya".3

Hadis tersebut menunjukan bahwa Allah bersifat azali (tanpa ada


permulaan); tanpa ada sesuatu apapun bersama Allah, tidak ada air, tidak ada arsy,
tidak ada langit, tidak ada bumi, tidak ada waktu, tidak ada tempat, dan lain
sebagainya. Allah ada sebelum menciptakan tempat dan arah. Allah yang telah
menciptakan arah dan tempat, maka Allah tidak membutuhkan keduanya.

BAB III

PENUTUP

3
Al-Bukhari, Muhammad ibn Ismail, S}ah}i>h} al-Bukhari, Hadis No. 3191, 4, 105.
A. Kesimpulan

Menurut para syuhada, Allah Ta'ala dimanifestasikan dalam segala sesuatu


dalam hakikat-Nya. Di sisi lain, para ahli hijab mengatakan bahwa Tuhan muncul
dalam segala sesuatu sebagai perwujudan sifat dan nama-Nya. Dari arti nama dan
sifatnya, semuanya hanya soal tampilan saja. Sifat-sifatnya yang paling mulia
(aziz) terlihat pada benda-benda dan manusia yang mulia, dan sifat-sifatnya yang
paling hina (muzil) terlihat pada benda-benda dan manusia-manusia yang rendah
hati.

Allah Ta'ala menyingkapkan segala sesuatu dengan cahaya wujud yang keluar
dari kegelapan ketiadaan. Ketika cahaya Allah muncul dalam segala sesuatu,
segala sesuatu menjadi terlihat..

Banyak argumen telah diajukan oleh para filosof, teolog, dan pemikir
agama untuk mendukung keberadaan Allah. Konsesus Ulama Ahl al-Sunnah wa al-
Jamaah menetapkan bahwa dzat Allah ada tanpa tempat dan tidak berlaku waktu
bagiNya, sebagaimana dikutip oleh Abu Manshur al-Baghdadi (w. 429 H), ia
mengatakan:

‫وأجمعوا على أنه ال يحويه فكان وال يجرى َع َلْيِه زمان‬

Artinya: “Mereka semua (Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah) sepakat bahwa Allah


tidak diliputi oleh tempat dan waktu tidak berlaku bagiNya”

DAFTAR PUSTAKA
Abu Mansur Al-Baghdadi. al-Farqu baina al-Firaq wa bayaanu al-Firqah al-
Najiyah. Beirut: Dar al-Aafaq al-Jadidah, 1997.
Al-Bukhari, Muhammad ibn Ismail, S}ah}i>h} al-Bukhari, Hadis No. 3191

Nico Syukur Dister. Pengalaman dan Motivasi Beragama. Yogyakarta: Kanisius,


1982.

Anda mungkin juga menyukai