Anda di halaman 1dari 15

TUGAS BELAJAR MATA KULIAH TEOLOGI MORAL KELUARGA

(DR. ALBERTUS SUJOKO, S.S., LIC. TH.)

Nama : Johanes Feygthi Sandehang

Prodi/Semester : Teologi/III

PERTANYAAN

1. Apakah orang yang menikah itu untuk mencari kebahagiaan? Apakah kebahagiaan dalam
perkawinan itu? Apakah yang dimaksud dengan kebahagiaan manusia yang didambakan
oleh setiap orang?
2. Apakah yang dimaksud dengan hak asasi manusia untuk memilih status hidup? Apakah
anak laki-laki dan perempuan yang sudah usia menikah harus menikah? Bagaimana
dengan status jomblo seumur hidup? Ia tidak menikah dan tidak hidup dalam panggilan
sebagai imam, bruder atau suster? Apakah menjadi selibater itu adalah hak asasi?
3. Jelaskanlah apa yang dimaksudnya bahwa seseorang berhak untuk menikah dengan orang
yang dikasihinya. Bagaimana kalau gadis cantik dicintai oleh tiga pria, dan dia harus
memilih salah satu? Bagaimana kalau pria-pria yang tidak terpilih itu marah dan
merencanakan kejahatan untuk gadis itu dan lelaki yang dipilihnya?
4. Bagaimana jika seorang gadis katolik mempunyai pacar islam? Mereka saling mencintai,
namun orangtua kedua pihak tidak setuju? Kalau mereka datang kepada pastor dan ingin
menikah beda agama, bagaimana pastor mengurusnya?
5. Jelaskan mengapa perkawinan katolik harus bersifat monogami?
6. Jelaskan mengapa perkawinan katolik harus bersifat tidak terceraikan?

1|TUGAS MATA KULIAH TEOLOGI MORAL KELUARGA


JAWABAN

1. Kebahagiaan Merupakan Tujuan Perkawinan.

Keluarga lahir dari persatuan antara pria dan wanita dalam ikatan suci perkawinan atau
yang lain menyebutnya menikah. Orang yang menikah secara otomatis telah berada pada
kondisi yang berbeda dengan waktu dia belum menikah. Menikah dengan pasangannya
membawa suatu hal yang baru dan mengubah tatanan hidupnya. Menikah menjadi satu hal
pilihan yang harus dipilih dengan kemauan dan kehendak bebas, bukan karena paksaan.
Dengan kata lain, menikah adalah satu bentuk perwujudan cinta antara pria dan wanita yang
berkomitmen untuk setia dalam untung dan malang, sehat maupun sakit, suka maupun duka 1.
Maka, apa yang tertulis dan diucapkan itu bukan hanya sebuah janji tetapi sungguh menjadi
tanggungjawab yang diemban dan harus dilaksanakan oleh pasangan yang menikah.

Pasangan yang menikah atas dasar dan konsep berpikir „janji suci sakramen perkawinan‟
mampu membawa mereka pada kepenuhan cinta yang sejati. Cinta inilah yang sesungguhnya
merupakan dasar atau fondasi bagi pertahanan keluarga maupun pasangan suami istri itu
sendiri. Dapat dilihat bahwa pasangan yang selalu ingat dan melaksankan janji suci
pernikahan, memiliki indikator pasangan yang hanya menikah untuk hal lain. Indikator
tersebut secara jelas terlihat dalam relasi kehidupan harian mereka. salah satu indikatornya
adalah keluarga itu bahagia. Namun, apakah sesungguhnya seorang yang menikah itu
tujuannya adalah kebahagiaan? Pertama, apa itu kebahagiaan dalam perspektif sakramen
perkawinan? Pada ummnya setiap orang yang hidup di dunia mencari kebahagiaan. Keluarga
maupun pasangan suami isteri adalah wajar jika mereka mengharapkan kebahagiaan dalam
hidup mereka. keluargalah yang merupakan tempat di mana kebahagiaan seharusnya
ditemukan dan dirasakan. Namun jika sebaliknya dalam keluarga tidak diperoleh
kebahagiaan, di mana tempat yang dapat ditemukanyan kebahagiaan itu? sesungguhnya
dalam realitanya kebahagiaan bukanlah suatu hal yang hanya dapat diperoleh secara instan
dan otomatis namun, perlu ada perjuangan. Perjuangan inilah yang harus dilakukan oleh
kelaurga dalam mewujudkan kebahagiaan yang diharapkan. Kebahagiaan dalam perspektif
pernikahan mengarah kata lain dari kebahagiaan yakni kesejahteraan. Kesejahteraan itu
meliputi kesejahteraan suami isteri (bonum coniugum), kesejahteraan anak: kelahiran anak

1
Bdk. Perjanjian Perkawinan: “… saya berjanji akan tetap setia kepadanya dalam untung dan malang, dan saya
mau mencintai dan menghormatinya seumur hidup. Demikianlah janji saya demi Allah dan Injil Suci ini.”
2|TUGAS MATA KULIAH TEOLOGI MORAL KELUARGA
(bonum prolis),2 kesejateraan anak: pendidikan anak (education prolis), kesetiaan relasi suami
isteri dan tak terputuskannya pernikahan (bonum fidei et sacramenti),3 dan demi masyarakat
(bonum societas). Dengan demikian dapat diketahui bahwa kebahagiaan maupun
kesejahteraan sesungguhnya lahir dari perjuangan keluarga maupun pasangan yang menikah
itu dalam mewujudkannya. Ini sesungguhnya yang memang menjadi tujuan pernikahan yakni
kebahagiaan yang di dalamnya ada kesejahteraan secara merata terhadap semua aspek yang
terdapat dalam setiap anggotanya. Jadi untuk menjawab pertanyaan mengenai orang yang
menikah itu untuk kebahagian sesungguhnya itu benar dan sah-sah saja, tetapi bukan seperti
sulap langsung jadi, namun lebih dari itu yakni satu kata yakni perjuangan. Terlepas dari itu
kita mesti melihat dalam perspektif manusianya sendiri. Apa sebenarnya maksud dari
kebahagiaan dalam perspektif manusia secara umum? Kebahagiaan pasti jawabannya. Namun
ada pandangan bahwa kebahagiaan yang diharapkan dan diidam-idamka oleh setiap
sesungguhnya hanya bersifat kebutuhan yang berkaitan dengan hal duniawi tidak melampui
hal itu. ini tidaklah salah namun, perlu diperhatikan dengan seksama bahwa kebahagiaan
sesungguhnya bukan hanya bersifat materil (duniawi) tetapi juga bersifat non-materil yang
mana menyangkut aspek spiritual atau kerohanian. Spiritual yang dimaksud adalah
kebahagiaan dan kesejahteraan dalam cinta yang mesra antara sesame anggota keluarga dan
Tuhan, sang Pencipta. Kebahagiaan maupun kesejateraan sejatinya lahir dan hadir dari setiap
orang yang mau untuk memperjuangkan kesejahteraan itu agar terwujudnyatakan. Apakah
kebahagiaan yang demikian menjadi dambaan setiap orang?

Setiap orang memiliki jawabannya masing-masing mengenai kebahagiaan, cita-citanya


maupun apa yang diekspektasikannya. Maka, saya membaginya menjadi tiga jenis
kebahagiaan secara umum yakni kebahagiaan berupa material atau fisik (physical), intelektual
(intellectual) dan spiritual (spirituality). Pertama, kebahagiaan yang berkaitan dengan material
dan fisik. Material berhubungan dengan kepuasaan dan kenikmatan serta kesejahteraan
maupun kebahagiaan karena terpenuhnya kebutuhan pangan, sandang, dan papan. Secara
positif ini menyangkut kebutuhan primer yang mana berhubungan dengan pemenuhan
kebutuhan dan kelangsungan hidup. Namun, jika sebaliknya ditanggapi secara negatif
kebutuhan tersebut akan mengarah kepada matrealisme, konsumerisme, fisikalisme,
kapitalisme, egoime, individualism, dan berbagai paham yang mengarahkan pada
kesejahteraan yang sifatnya tak memberi keuntungan secara positif dengan kata lain
pemenuhan kebutuhan tidak melampaui dosis atau kadar pemakaian atau konsumsi yang

2
Aloysisu Lerebulan, Keluarga Kristiani antara Idealism dan Tantangan, Kanisius, Yogyakarta 2016, hal. 20.
3
Alf. Catur Raharso, Paham Perkawinan dalam Gereja Katolik, Dioma, Malang 2006, hal. 44
3|TUGAS MATA KULIAH TEOLOGI MORAL KELUARGA
berlebihan. Kedua, intelektual behubungan dengan akal budi dan hidup akademik atau
pemakaian akal budi untuk menunjang pemenuhan kebutuhan akan ilmu pengetahuan dan
demi kemajuan peradaban manusia. Secara positif dapat dilihat jika, setiap orang yang haus
akan pengetahuan dan kemudian telah memperolehnya maka, pengetahuan akan menjadi daya
pembangun dan penata serta motor penggerak kemajuan peradaban manusia dan juga menjadi
penolong untuk sesama dalam mengembangkan pengetahuan dan mengajari pelajaran yang
benar, seperti halnya dalam sekolah. Namun, jika secara negatif digunakan maka, hanya akan
menghasilakan pemahaman yang hanya diperuntukan bagi kepentingan pribadi atau menjadi
egoistis, egosentris, dan ambitu. Bahkan, Akal budi dan pengetahuan yang dimilikinya
menjadi dinamit penghancur bagi kehidupan sesamanya. Ketiga, kebahagiaan spiritual
berhubungan dengan hidup keagaamaan dan kepercayaan orang. Mereka yang hidup dalam
doa dan setia menjalankan kewajiban agamanya dengan benar akan membawa dampak yang
baik bagi kehidupan rohani dan spiritual banyak orang, namun, jika hidup doanya semakin
tinggi, tapi hanya untuk dipamerkan dan menjadi satu daya untuk menjatuhkan orang lain
yang sementara berproses maka, hanya akan menjadi kesombongan rohani dan penafsiran
hidup doa yang keliru. Karena, sesungguhnya hidup doa atau hidup spiritual yang benar
adalah hidup doa yang benar-benar hidup dan mewarnai hidup orang lain yang berjiwa
kebenaran di dalamnya.

Kebahagiaan dalam perkawinan pun berbeda. Kebahagiaan yang mana juga disebut
kesejahteraan yang meliputi banyak hal itu menjadi warna tersendiri dalam perkawinan.
Namun dapat dilihat bahwa sebenarnya kebahagiaan perkawinan itu adalah saat di mana
kesejahteraan antara setiap orang terpenuhi dan itu merupakan hasil dari perjuangan bersama
dalam cinta yang mesra dalam tuntunan Allah sang sumber cinta itu sendiri. Maka, pertanyaan
yang mana orang menikah demi kebahagiaan sebenarnya adalah benar. Mereka mencari
kebahagiaan adalah benar jika keduanya mencari kebahagiaan yang sejati itu yakni cinta yang
mesra antara suami istri, anak-anak dan terutama dengan Tuhan. Dan jika itu merupakan
kebahagiaan pasangan yang menikah, walau hidup dalam taraf ekonomi di bawah standar
ekonomi menengah tapi hidup dengan kasih sayang, masih bisa makan, pendidikan anak
terpenuhi, suami istri saling menyayangi dan tidaka ada permasalahan dengan masyarakat dan
terutama hidup takwa pada Tuhan serta terus mengusahakan perjuangan bersama, maka ini
sesungguhnya merupakan kebahagiaan yang sebenarnya yang harus dimiliki oleh keluarga.
Berdasar pada kebahagiaan dalam persepsi keluarga dan perkawinan, kebahagiaan setiap
orang adalah kesejahteraan diri, sesama, terpenuhinya kebutuhan hidup, dan merasakan cinta

4|TUGAS MATA KULIAH TEOLOGI MORAL KELUARGA


dari sesama maupun seluruh dunia dan terutama mampu untuk berjuang hingga pada akhirnya
mencapai apa yang diinginkan dan didambakan.

2. Hak Asasi Manusia Untuk Memilih Status Hidup

Setiap orang yang hidup memiliki hak asasi atau hak yang mendasar. Namun, apakah
yang dimaksud dengan hak asasi manusia? Hak asasi manusia berarti hak yang telah melekat
dalam hidup. Hak ini secara kodrati telah melekat pada dirinya dan bersifat universal dan
langgeng. Hak ini merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. Maka, sudah sepatutlah
hak ini harus dihormati, dilindungi dan dipertahankan dan tidak boleh dirampas, diabaikan,
dikurangi, oleh siapa pun 4Hak asasi berlaku untuk siapa pun, kapan pun dan di mana pun.
Penjelasan ini pun sejalan dengan pendapat John Locke mengenai Hak Asasi Manusia adalah
adalah hak yang langsung diberikan Tuhan kepada manusia, sifatnya fundamental dan pada
hakikatnya adalah sangat suci. Romo Magnis juga menjelaskan bahwa Hak Asasi Manusia
merupakan hak yang sudah dimiliki oleh setiap manusia bukan diperoleh dari masyarakat
dalam artian manusia yang lain, bukan karena hukum positif yang berlaku, tapi atas
marabatnya sebagai seorang manusia, manusia mempunyai Hak Asasi Manusia karena ia
adalah manusia. Dalam pengertian itu maka, dapat pula dijawab mengenai hak asasi manusia
untuk memilih status hidup. Namun, dalam uraian mengenai jenis-jenis hak tidak secara
eksplisit disebutkan mengenai hak tersebut tetapi, hal ini berkaitan dengan hak untuk hidup
dan hak untuk membangun keluarga dalam pernikahan yang sah. Kebebasan memilih dan
menentukan status hidup pasti juga merupakan hak yang dimiliki oleh setiap orang. Dalam
pengertian ini, berkaitan dengan menikah yang mana ditegaskan dalam Kanon 1058 bahwa
semua orang yang tidak dilarang oleh hukum dapat menikah. Tetapi, bagi orang yang tidak
mau menikah, biarpun ia tidak dilarang dalam hukum, tidak boleh dipaksa untuk menikah.
Maka, setiap orang mempunyai hak untuk menentukan pilihan hidupnya. Dengan demikian,
pernikahan atau perkawinan merupakan pilihan pribadi seseorang dan bukan pilihan orang
banyak bagi dirinya, karena sesungguhnya haknya adalah hal yang melekat dan tak bisa
dirampas darinya. Hak untuk memilih status hidup tidak boleh diganggugugat oleh paham
pribadi, kepentingan pribadi maupun kelompok terterntu, kepentingan komersial, atau bahkan
karena dibatasi oleh orangtua atau desakan bahkan ancaman dari orang lain. Dia memilih
karena itu adalah haknya. Maka, melalui penjelasan tersebut dapat dijawab pertanyaan

4
Bdk. UU NO. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
5|TUGAS MATA KULIAH TEOLOGI MORAL KELUARGA
mengenai problematika pria dan wanita yang sudah usia menikah harus menikah.
Sesungguhnya itu menyangkut apakah mereka mau atau tidak mau menikah, siap atau tidak
siap untuk menikah atau layak dan sah untuk menikah atau tidak. Sesungguhnya hal ini
merupakan hak seseorang untuk memilih status hidupnya. Bukan karena paksaan namun
karena kehendak bebas, yang mana seperti dalam perkawinan bahwa perkawinan itu adalah
tindakan kehendak dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan saling menyerahkan
diri dan saling menerima untuk membentuk perkawinan.5 Maka, dapat disimpulkan bahwa
mengenai usia menikah harus menikah bukanlah suatu keharusan namun itu merupakan hak
asasi dari setiap orang untuk memilih status hidupnya; menikah atau tidak. Dalam ketentuan
kanonik pun ditegaskan mengenai usia untuk pria dan wanita agr dapat menikah yakni pria
berumur 16 tahun dan wanita 14 dapat menikah, jika belum genap berumur demikian maka,
pernikahan tidak boleh dilangsungkan . Dengan demikian ini berkaitan dengan jomblo seumur
hidup yang mana ia memilih untuk tidak menikah seumur hidup. Pertama, tidak menikah
yang berkaitan dengan pilihan hidupnya di luar hidup membiara ataupun selibat. Orang yang
memilih untuk hidup menjomblo seumur hidup jelas merupakan pilahan hidupnya dan itu
merupakan haknya. Maka, setiap orang harus menghormati hak dan pilihannya. Hal semacam
ini juga mungkin disebabkan karena trauma pada keluarganya ataupun karena kehidupan
sosial dalam masyarakat di lingkungannya ataupun itu murni karena pilihan hidupnya, tetapi
hal tersebut perlu diperhatikan. Namun, disamping itu, ada orang yang memang totalitas
mengabdikan dirinya bagi kehidupan sosial, seperti memberi sumbangan, ikut baksos, dan
sebagainya (ini di luar hidup selibat dan biara). Kedua, jomblo seumur hidup dalam kaitan
dengan hidup selibat atau hidup membiara yang menjujung kemurnian atau keperawanan. Hal
ini jauh berbeda dengan hidup jomblo tanpa hidup membiara atau selibat karena pilihan
hidupnya. Hidup selibat yang mana tidak kawin seumur hidup, hidup dalam kemurnian
seumur hidup merupakan satu hak dalam kaitan dengan pilihah hidupnya berkaitan dengan
Tuhan. Hal ini harus dijalankan yang mana semua bersumber dari kehendak dan kemauan
pribadi dengan kata lain yakni memberikan dirinya secara total atau full kepada Tuhan
melalui pengabdian dan pelayan kepada Gereja. Pilihan demikian merupakan pilihan yang
berat dan harus dijalani untuk seumur hidup. Pilihan hidup demikian dapat dilihat pada
biarawan-biarawati, para imam, uskup, kardinal, dan paus. Namun memang ada pula yang
imam yang menikah yang terdapat dalam Gereja lain. Dengan demikian, jomblo seumur
hidup itu selalu menyangkut haknya dan pilihannya untuk hidup demikian, tanpa ada paksaan
dan desakan bahkan ancaman dari pihak manapun. Dengan demikian menjadi seliabater

5
Kan. 1057 §2.
6|TUGAS MATA KULIAH TEOLOGI MORAL KELUARGA
bukanlah suatu tuntutan walau memang terkadang ada memilih itu karena desakan orangtua
atau karena tidak ada pilihan yang lain. Tetapi, menurut hukum yang berlaku bahwa pilihan
menjadi selibater harus berasal dari akal budi dan hati nurani yang mana brkaitan dengan
kehendak bebas, tahu dan mau untuk mengikuti Tuhan secara konsekuen, tanpa ada paksaan
dari manapun yang mana semuanya keluar dari ekspresi hati yang diterangi oleh teran iman.
menjadi selibat bukanlah suatu perkara mudah tetapi memerlukan perjuangan untuk memilih,
menentukan dan menjalankan hal tersebut. selibater bukan sekadar profesi tetapi lebih dari
pada itu yakni, menjadi penyalur rahmat dan cinta Allah bagi banyak orang.

3. Memilih Pasangan Hidup

Pilihan selalu menyangkut hak seseorang untuk menenukan dan memilih pilihan itu. orang
yang telah memilih status hidupnya untuk menikah mempunyai hak yang sama untuk memilih
pasangan yang tepat bagi dirinya tanpa ada halangan dari siapa pun, kapan pun dan di mana
pun. Dengan kata lain, orang bebas untuk memilih dan menentukan pasagan hidupnya yang
akan disatukan bersamanya dalam ikatan suci sakramen perkawinan. Sebagai contoh, Lonica
ingin menikah dengan Bastian. Bastian adalah pria yang telah lama dicintainya. Ia tidak boleh
diganggu oleh siapapun. Ini merupakan haknya untuk memilih dan menentukan pilihan
hidupnya. Pilihan ini tidak bisa diganggu walau ada orangtua maupun orang lain yang
menghalangi hububungan ini. Orangtuanya harus mampun untuk menerima keputusan
anaknya dan menghormati haknya untuk memilih dan menentukan pasangannya. Walau
terkadang ada orangtuayang suka menjodohkan anaknya dengan pilihan mereka. tetap tidak
bisa. Namun, jika itu merupakan keputusan darinya untuk memilih orangtuanya maka, itu
dibenrkan dan dibolehkan karena itu berasal dari kehendak dan termasuk itu merupakan
haknya untuk memilih. Hal ini dapat terjadi karena, mungkin orangtuanya tidak mengetahui
bahwa anaknya telah memiliki pasangan dan pilihan hidupnya, mungkin orangtuanya tahu
bahwa anaknya telah memiliki pilihan pasangan bagi hidupnya dan mereka mengharapkan
anaknya untuk mengikuti pilihan mereka atau mungkin mereka tahu anaknya sudah memiliki
pilihan untuk menjadi pasangan hidupnya namun tetap memaksakan kehendak mereka untuk
menjodohkan anaknya dengan pilihan mereka. Kasus ini tidak sering lagi terjadi sekarang,
namun masih tetap ada pada kebudayaan dan kebiasaan dalam masyarakat tertentu.

Kasus yang berbeda ketika seorang gadis diperhadapkan dengan pilihan bahwa ada tiga
pria yang mencintainya dan ia harus memilih siapa yang harus menjadi pasangan hidupnya.

7|TUGAS MATA KULIAH TEOLOGI MORAL KELUARGA


Pertama, harus diperhatikan bahwa di anatara ketiganya, siapa yang ia cintai lebih dari pada
yang lain. Kedua, pilihan ini harus berasal dari kehendak bebasnya bahwa ia mencintai pria
pilihannya dan tanpa ada paksaan atau hasutan bahkan ancaman dari siapa pun. Pilihan ini
merupakan kehendak bebasnya dan berasal dari hati nuraninya. Pilihan ini akan menentukan
nasibnya. Di sini, gadis ini dihadapkan kepada dua pilihan yakni memilih mencintai yang
harus dicintai atau mempertimbangkannya atau bahkan tidak memilih. Namun di sini pilihan
ini akan sangat mennetukan bagi dia dan mereka bertiga juga berdampak bagi hidupnya untuk
waktu mendatang. Tak dapat dipungkiri pilihan ini merupakan pilihan yang cukup sulit dan
menimbulkan dilemma. Namun, ia harus memilih dan menentukan pilihan sesuai dengan hati
nuraninya. Setelah ia memilih pasti akan menimbulkan perdebatan bahkan pertengkaran
antara mereka. Tanpa disadari ketika emosi tak terkendali maka, akan berujung pada dendam
dan perumusan rencana yang tidak diinginkan dari pria yang tidak terpilih itu. seperti
perencanaan pembunuhan terhadap gadis yang memilih dan pria yang terpilih. Hal ini akan
sangat memngganggu hidup mereka. ini akan berlaku hak untuk hidup aman dan terhindar
dari tindakan diskriminitatif termasuk pembunuhan. Maka, jika hal ini telah diketahui harus
dilakukan pencegahan secara preventif karena, masalah ini menyangkutan hidup manusia.
Perlindungan hukum dan keamanan sangat diperlukan untuk masalah ini. Karena jika tidak
ditanggapi maka, akan membawa pada hal yang tidak diinginkan bersama. Mereka yang tidak
terpilih itu seharusnya harus sadar dan menerima serta menghormati hak untuk memilih dari
gadis tersebut. dan gadis itu juga harus memberitahukan mereka dengan baik dan penuh
dengan pendekatan yang berlandaskan cinta bahwa ia memilih untuk kebaikannya dan jika
mereka mencintainya pasti mereka mengerti dan menerima apa yang menjadi keputusan gadis
itu. karena cinta yang sesungguhnya itu lahir dari pengorbanan. Semua hal bahkan dapat
dikorbankan demi orang yang dicintainya 6.

Maka, dengan melihat kasus di atas, jika sebuah keputusan yang diambil oleh pria
maupun wanita karena dalam keadaan terpaksa, itu sesungguhnya menurut hukum adalah
tidak sah, karena menderita kekurangan hakiki pada perkawinan itu, karena perkawainan
adalah pilihan bebas dari pria dan wanita, baik untuk menikah maupun untuk memilih dan
menentukan pasangannya.

6
Bdk. Albertus Sujoko, Teologi Keluarga: Memahami Rencana Allah bagi Keluarga menurut Familiaris
Consortio, Kanisius, Yogyakarta 2011, hal. 77.
8|TUGAS MATA KULIAH TEOLOGI MORAL KELUARGA
4. Cinta Beda Agama

Cinta dapat tumbuh dan berkembang pada siapa pun dalam perkenalan dan perjumpaan
dengan siapa saja. ketertarikan yang menimbulkan cinta, jika itu berasal dari kedua belah
pihak maka, itu artinya mereka cocok. Namun, jika keduanya berbeda dalam agama dan
kepercayaan maka, itu akan menjadi permasalahan dalam hubungan keduanya. Permasalahan
ini merupakan permasalahan yang menyebabkan konflik antara hak untuk menikah dengan
orang tertentu dan hak untuk memeluk agama maupun kepercayaan. Misalnya Berta yang
beragama katolik ingin menikah dengan Nyoman yang beragama Hindu, atau Matthew yang
beragama katolik ingin menikah dengan Mira yang memeluk kepercayaan Shinto, dan
sebagainya.

Pertama, Hak untuk menikah dengan orang yang dicintainya lebih diprioritaskan. Sesuai
dengan prinsip hak asasi untuk menikah bahwa orang yang ingin menikah dengan yang satu
ini, tidak boleh dihalang-halangi. Konsekuensinya ialah hak untuk memeluk agama menjadi
nomor dua. Orang rela pindah agama untuk menikah.

Kedua, Hak untuk memeluk iman lebih diutamakan. Dalam kasus ini, contohnya Daniel
yang beragama protestan ingin menikah dengan Anastasia yang beragama katolik namun
tidak diizinkan oleh orangtuanya dan akhirnya keduanya sama-sama mempertahankan
agamanaya masing-masing, sehingga demi menjaga nama baik orangtua di masyarakat,
mereka tidak jadi menikah.

Ketiga, melangsungkan perkwinan Campur. Kemungkinan mencitai orang yang beda


agama. Walaupun sulit dan tidak ideal, namun kawin campur tetap menjadi solusi bagi kasus-
kasus di mana hak untuk menikah dan hak untuk memeluk agama keduanya harus dihargai.
Kedua hak tersebut adalah hak azasi sehingga hak yang satu tidak boleh dikorbankan demi
yang lain. Ada dua jenis kawin campur atau matrimonium mixtum yaitu matrimonia mixta
religio (antara Katolik dan Protestan (beda Gereja) dan matrimonia disparitas cultus (antara
Katolik dan orang Islam, Hindu, Buddha (beda kepercayaan atau beda iman).

Keempat, dalam Kanon 1125 menyatakan: Izin untuk kawin campur dapat diberikan oleh
Ordinaris Wilayah (Uskup) jika terdapat alasan yang wajar dan masuk akal. Alasan semacam
itu misalnya: calon nikah adalah pria dan wanita yang sudah dewasa, berpendidikan cukup
baik, matang dalam kepribadian, taat pada agama masing-masing yang dipeluk dari kecil
dalam keluarganya. Hubungan keduanya sudah cukup lama dan usinya juga sudah tua. Untuk

9|TUGAS MATA KULIAH TEOLOGI MORAL KELUARGA


perkawinan campur beda Gereja disebut izin sedangkan untuk beda agama disebut dispensasi.
Izin itu jangan diberikan jika belum terpenuhi syarat-syarat yakni:

Pertama, Pihak katolik menyatakan bersedia menjauhkan bahaya meninggalkan iman serta
memberikan janji dengan jujur bahwa ia akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga
agar semua anaknya dibaptis dan dididik dalam Gereja Katolik.

Kedua, Mengenai janji-janji yang harus dibuat oleh pihak katolik itu, pihak yang lain
hendaknya diberitahu dalam persiapan perkawinan, sehingga jelas ia sungguh sadar akan janji
dan kewajiban pihak katolik.

Ketiga, Kedua belah pihak hatus diberikn penjelasan mengenai tujuan-tujuan serta sifat-
sifat hakiki perkawinan, yang tidak boleh dikecualikan oleh seorangpun dari keduanya.

Terlepas dari itu, tujuan pernikahan adalah kebahagiaan suami istri, untuk melahirkan dan
mendidika anak, membangun masyarakat. Dan juga demi kesejateraan bersama yang mana
tidak ada lagi kumpul kebo dan tidak hidup bersama secara benar. Maka, perkawinan campur
dengan mengikuti ketentuan dan syarat-syarat tersebut dapat menjadi solusi bagi pasangan
yang beda agama maupun kepercayaan, maka hak untuk membentuk keluarga melalui
pernikahan yang sah dan hak memeluk agamanya dapat terealisasikan secara seimbang.

5. Monogami

Gereja katolik sangat memberi perhatian terhadap perkawinan. Perkawinan merupakan hal
yang sakral atau suci dan wajib dihormati. Perkawinan dalam Gereja Katolik sangat berbeda
dengan agama lainnya. Sifat perkawinan dalam Gereja Katolik yakni monogami. Monogami
berasal dari bahasa Yunani; monos yang berarti satu dan gamos yang berarti pernikahan.
Dengan demikian, monogami berarti pernikahan yang hanya memiliki satu pasangan. Ini
berbeda dengan konsep pernikahan dari agama lain Alasan mengapa pernikahan gereja
Katolik adalah monogamy yakni

Pertama, Cinta sejati adalah sebuah keputusan kemauan berdasarkan pertimbangan yang
matang, dan bukan sekedar perasaan cinta yang menggebu. Cinta sejati adalah tidak bisa
dibagi. Sifat alamiah dan kodrati dari cinta sejati ialah penuh dan utuh. Orang yang sungguh
mencintai pasangannya tidak akan mungkin membagi cinta itu kepada orang lain. Hati
manusia tercipta dengan sifat yang tidak mungkin membagi cinta. Orang tidak mungkin

10 | T U G A S M A T A K U L I A H T E O L O G I M O R A L K E L U A R G A
mencintai lebih dari satu orang atas cara yang sama dan adil seperti dikatakan oleh pengajur
poligami. Sifat monogami bukan hanya peraturan Gereja, melainkan sesuai dengan hakekat
cinta sejati seorang manusia.

Kedua, Martabat manusia. Manusia zaman modern semakin menyadari martabat manusia
dan hak-hak azasi setiap orang. Manusia memiliki martabat yang sama tanpa membedakan
jenis kelamin pria atau wanita, umur, suku, ras, agama. Setiap pria dan wanita memiliki
martabat atau nilai yang sama. Perkawinan monogami menegaskan bahwa pria dan wanita
memiliki nilai dan martabat yang sama. Praktek poligami yang dilakukan di dalam
masyarakat baik karena diizinkan oleh agama, maupun sudah lama menjadi bagian dari adat-
istiadat suku tertentu secara etis harus berhadapan dengan kesadaran gender dewasa ini akan
kesamaan martabat manusia yang tidak membedakan jenis kelaminnya. Pola relasi antara
laki-laki dan perempuan sering diwarnai oleh dominasi laki-laki atas perempuan. Masyarakat
androsentris menghasilkan mentalitas patriarkal. Androsentrisme yang menghasilkan cara
berfikir patriarkal itu barangkali berasal dari sifat fisik laki-laki yang kuat dan kekar serta
perempuan yang halus dan lembut. Sifat fisik tersebut dengan sendirinya mengakibatkan
relasi yang bercorak dominasi dari yang kuat terhadap yang lemah. Paham feminisme
(emasipasi wanita) yang pada zaman ini menjadi gerakan kaum perempuan untuk
memperjuangkan kesamaan martabat dan hak antara pria dan wanita menjadi kritik tajam
terhadap Paham androsentrisme. Di Indonesia perjuangan kaum wanita itu mendapatkan
bentuknya yang khas dalam gerakan emansipasi wanita yang dipelopori oleh R.A. Kartini.
Namun gerakan emansipasi wanita itu lebih diartikan sebagai gerakan untuk memperjuangkan
kesamaan wanita dan pria di bidang pendidikan dan hak-hak mereka di dalam kehidupan
masyarakat. Gerakan emansipasi wanita kurang dimaknai dalam kerangkan kesamaan
martabat dan hak wanita dan pria di dalam perkawinan. Mungkin karena di Indonesia terdapat
pelbagai praktek poligami dari kebiasaan kerajaan, suku dan agama tertentu, maka relasi pria
dan wanita di dalam perkawinan dibedakan dari kesamaan hak pria dan wanita di dalam
pendidikan dan pekerjaan. Namun pendidikan dan pekerjaan itulah juga nantinya yang bisa
menjadi kendaraan untuk memperjuangankan kesamaan hak dan martabat wanita dan pria pun
di dalam perkawinan. Wanita yang berpendidikan tinggi dan memiliki pekerjaan yang baik
barangkali lebih memilih menikah secara monogami dengan pasangannya. Walaupun dalam
hal ini tidak ada paham yang mana secara otomatis, melainkan tergantung dari keputusan
bebas yang pribadi itu sendiri.

11 | T U G A S M A T A K U L I A H T E O L O G I M O R A L K E L U A R G A
Ketiga, Konsekuensi pilihan bebas. Manusia adalah makluk yang terbatas. Ia harus
memilih satu kemungkinan dari banyak hal yang baik. Di dalam perkawinan, seseorang harus
memilih di antara banyak kemungkinan. Orang yang berpoligami pun harus memilih beberapa
saja dari begitu banyak wanita yang bisa dinikahinya. Dan di dalam perkawinan monogami,
maka sebelum seseorang menentukan pilihan, ia masih memiliki kebebasan untuk bergaul
dengan siapa saja dan memilih siapa saja. Namun begitu ia menjatuhkan pilihan, maka semua
yang lain harus dilepaskan. Kenyataan ini sering tidak mudah dalam hal perkawinan, sebab
sebelum pria dan wanita memutuskan untuk menikah dengan pilihan hatinya, mereka sudah
memiliki lebih banyak pacar sebelumnya. Kenangan masa lalu tidak mudah dihapus begitu
saja. Tidak jarang terjadi bahwa orang menikah dengan pasangannya dengan membawa
kenangan dari cinta pertamanya yang tidak bisa dihapus begitu saja. Namun mereka yang
sudah sepakat untuk menikah harus berani mengambil sikap jelas dan tegas tentang masa
lalunya sehingga perkawinannya sungguh kokoh. Mereka berdua harus sadar akan
konsekuensi dari pilihan bebas dan keputusan yang sudah diambilnya.

Keempat, Ajaran Yesus dalam Mat 19: 4-6, “… Ia yang menciptakan manusia sejak
semula menjadikan mereka lakilaki dan perempuan? Dan firman-Nya: sebab itu laki-laki akan
meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu
daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu”. Menurut Yesus, atau sekurang-
kurangnya menurut Penginjil Mateus yang mengingat dan mencatat Sabda Yesus, perkawinan
monogami itu dikehendaki oleh Sang Pencipta sejak awal mula. Laki-laki berani
meninggalkan rumah orangtuanya untuk bersatu dengan isterinya. Dan mereka bukan lagi
dua, melainkan satu. Mereka menjadi satu dalam banyak hal untuk membangun rumah
tangga. Mereka harus menyatukan irama hidup, kebiasaan-kebiasaan, perencanaan keuangan,
keputusan-keputusan penting yang menyangkut masa depan keluarga. Mereka harus sehati
dan sejiwa, sepikiran dan seperasaan serta menjadi tim yang kompak dan solid dengan gaya
permainan cinta dan karya untuk menopang bangunan rumah tangga menjadi kokoh dan kuat.
Bangunan itu menjadi tempat berlindung yang aman sentosa bagi anak-anak dan suami-isteri
sendiri. Oleh karena itu, sudah sepantasnyalah bahwa rumah tangga yang kokoh dan teduh itu
dibangun berdasarkan cinta eksklusif seorang isteri dan seorang suami dengan komitmen cinta
untuk seumur hidup.

12 | T U G A S M A T A K U L I A H T E O L O G I M O R A L K E L U A R G A
6. Indissolubilitas

Dalam kalangan Jemaat Pertama, ada kesadaran mendalam bahwa perkawinan antara para
murid Kristus tidak terceraikan secara mutlak. Kematian pun dianggap tidak menceraikan
perkawinan, sehingga bila salah satu dari suami atau isteri meninggal, maka yang masih hidup
tidak boleh menikah lagi. Perkawian yang tidak terceraikan menuntut kesetiaan mutlak dan
total. Penghayatan iman yang ketat tentang nikah yang tak terceraikan itu bersamaan dengan
pengharapan eskatologis akan datangnya Kerajaan Allah. Dalam konteks tersebu itu, mereka
memiliki kepercayaan sedemikian rupa sehingga kurang menganggap penting hidup
keduniaan ini dan lebih mengarahkan perhatian mereka pada kehidupan yang akan datang.
Mereka bahkan berani mengakui iman dengan menumpahkan darah atau mati sebagai martir.
Semangat hidup matiraga tersebut nampak pula dalam tradisi hidup selibat sebagai bentuk
mengikuti hidup Kristus secara lebih sempurna. Dalam semangat hidup seperti itulah dapat
dimengerti bahwa kesetiaan perkawinan dituntut secara mutlak dunia dan akherat. Namun
ada data lain juga yang mungkin merupakan variasi praktek dalam umat gereja bahari bahwa
sifat tidak terceraikan itu mulai diperlunak. Umat kristiani menganggap kalau kematian
menceraikan perkawinan secara alamiah, sehingga yang masih hidup tidak terikat lagi oleh
perkawinan itu dan dapat menikah lagi. Dalam 1 Kor 7: 39-40 St. Paulus menulis, “Isteri
terikat selama suaminya masih hidup. Kalau suaminya telah meninggal, ia bebas untuk kawin
dengan siapa saja yang dikehendakinya, asal orang itu adalah seorang yang percaya. Tetapi
menurut pendapatku, ia lebih bahagia, kalau ia tetap tinggal dalam keadaannya.” Dalam
prakteknya sifat tidak terceraikan itu ada yang menghayatinya sebagai ikatan yang tetap di
dunia dan surga; ada pula yang menikah lagi setelah pasangannya meninggal. Hal itu
dipengaruhi pula oleh faktor usia yang masih muda, dan kemungkinan untuk menikah juga
ada.

Pertama, Kesepakatan atau Persetujuan secara yag lahir dari hati nurani. Kesepakatan
tersebut diberikan oleh seorang pria dan wanita dewasa dengan sadar, tahu dan mau. Mereka
diandaikan memiliki akal sehat dan mengambil keputusan itu dengan pertimbangan secara
benar dan berani mengambil segala konsekuensinya. Dalam Kanon 1057 §2 dinyatakan,”
Kesepakatan nikah adalah perbuatan kemauan dengan mana pria dan wanita saling
menyerahkan diri dan saling menerima untuk membentuk perkawinan dengan perjanjian yang
tidak dapat ditarik kembali.” Perbuatan kemauan atau kehendak bebas adalah perbuatan
moral manusia yang mengandung konsekuensi moral pula. Dengan kata lain, manusia akan
dinilai sebagai orang yang baik atau tidak baik ditentukan oleh kesanggupannya bertindak

13 | T U G A S M A T A K U L I A H T E O L O G I M O R A L K E L U A R G A
sesuai dengan perbuatan yang lahir atau berasal dari kehendak bebas atau kemauannya, bukan
karena ada paksaan, desakan, tuntutan, bahkan ancaman dari orang lain.

Kedua, Alasan copula (persetubuhan) yang mana ini adalah suatu perbuatan khusus
yang dilakukan oleh pria dan wanita dengan pelbagai ciri khas. Seperti hal mana perbuatan itu
hanya diizinkan untuk suami dan isteri yang telah menikah sah; perbuatan itu dapat
menyebabkan kehamilan dan pada akhirnaya berujung pada kelahiran anak yang mana
seorang anak berhak untuk dikandung dan dilahirkan dalam keluarga yang sah secara hukum
agama maupun negara. Oleh karena itu, perbuatan itu tidak bisa dilakukan dengan sembarang
orang; tidak bisa dengan orang bayaran yang biasa disebut dengan sebutan pelacur maka,
perbuatan itu hanya bisa dilakukan oleh pria dan wanita yang suka sama suka atau saling
mencintai. Namun akan berbeda pengertian jika, satu pihak tidak mau disebut pemerkosaan.
Mengingat bahwa persetubuhan adalah suatu perbuatan khas pria dan wanita dengan syarat-
syarat yang ketat, maka suami-isteri yang telah menikah dan diperkuat oleh persetubuhan
menjadikan relasi itu eksklusif dan tak dapat diceraikan. Kita akan menyadari keistimewaan
tindakan persetubuhan sebagai tindakan paling intim antara dua sijoli yang saling mencitai
apabila kita membandingkannya dengan perbuatan lain yang juga mengungkapkan relasi
antara dua orang seperti hal dengan surat-menyurat, WA, Messenger, SMS, DM, e-mail, VC,
telepon, Bertemu, Berjabatan dan berpegangan tangan, Ciuman, pelukan, makan bersama,
namun menyangkut persetubuhan akan berbeda dengan ungkapan cinta dalam bentuk-bentuk
tersebut. namun, ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang sah.

Ketiga, Kehadiran anak-anak dalam keluarga sungguh merupakan kekuatan kokohnya


relasi suami-isteri. Anak-anak adalah pembentuk dan gambaran hidup dari relasi mereka
karen anak-anak membawa darah orang tuanya. Anak-anak adalah tanda kebapak-ibuan yang
subur. Anak-anak adalah harapan dan gambaran serta tonggak penerus masa depan bagi orang
tua dan keluarganya. Apabila relasi suami-isteri menjadi renggang dan hidup menjadi tak
bergairah, maka anak-anak kekuatan untuk tetap mempertahankan dan memperjuangkan
keutuhan perkawinan.

Keempat, kebebasan dan tanggungjawab. Manusia bisa dipercaya apabila ia menepati


kata-katanya. sering kali ada yang mengatakan bahwa kata-kata yang diucapkan apalagi janji
maka, itu sama dengan utang yang mesti dibayar. Maka alasan tidak terceraikannya
perkawinan adalah janji kedua mempelai sendiri untuk selalu bersama dalam suka dan duka

14 | T U G A S M A T A K U L I A H T E O L O G I M O R A L K E L U A R G A
seumur hidup. Oleh sebab itu, hubungan antara keputusan bebas dan tanggungjawab yang
lahir dari keputusan itu.

Kelima, afeksi dan emosi yang semakin matang. Hubungan cinta antara pria dan
wanita yang sampai pada pernikahan adalah sebuah afeksi adalah suatu relasi yang penuh
dengan muatan afeksi dan emosi. Afeksi dan emosi adalah bagian vitalitas atau daya hidup
menusia yang mampu mendorong dan menggerakkan seluruh perbuatannya. Afeksi dan emosi
inilah yang mewarnai gerak dinamika hidup keluarga. Di sana ada perasaan rindu, mesra,
bahagia; namun ada pula cemburu, marah, salah paham, bertengkar. Afeksi dan emosi yang
semakin matang akan mengikat pernikahan untuk seumur hidup.

Keenam, adanya saling ketergantungan dalam hal perekonomi antara suami dan isteri
juga bisa menjadi pengikat perkawinan. Perjuangan bersama di bidang ekonomi untuk
menjadi semakin sejahtera juga bisa menjadi pengikat perkawinan. “ Di mana hartamu
berada, di situ hatimu berada.” Namun, ini bisa saja hanya akan menjadi dinamit penghacur
keluarga jika tidak diperhatikan dengan saksama. Karena, bisa saja ketika ekonomi semakin
tinggi maka, segala sesuatu mulai dikerjakan oleh orang lain dalam hal ini adalah pembantu,
bahkan pekerjaan wajib isteri, pada akhirnya aka berujung pada perceraian karena suami
mulai merasa diabaikan.

Mengenai perkawinan yang tak terceraikan atau tak dapat diputuskan yang mana
disebut indissolubilitas dan unitas atau kesatuan merupakan ciri-ciri hakiki esensial atau
proprietates essentials dari perkawinan itu sendiri yang mana dalam perkawinan kristiani
memperoleh kekukuhan khusus atas dasar sakramen7. Maka, perkawinan bukan sekadar suatu
acara seremonial semata tetapi merupakan rahmat suci sakramen yang mana kedua mempelai
ber-janji (sacramentum: perjanjian) kepada Tuhan untuk hidup bersama dalam keadaan
apapun seumur hidup.

7
Bdk. Kan. 1056.
15 | T U G A S M A T A K U L I A H T E O L O G I M O R A L K E L U A R G A

Anda mungkin juga menyukai