Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

HAKIKAT BIMBINGAN KONSELING DI DUNIA PENDIDIKAN


Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Bimbingan Konseling
Dosen Pengampu : Wati Karmila, S.Ag.M.Pd.I

Di susun oleh :

Delis Rahayu Suciani

NIM : P.2.20.0047

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH (PGMI)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM DARUL ARQAM GARUT

2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Swt. Yang telah melimpahkan rahmat
dan pertolongan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat
waktu. Shalawat dan salam semoga tetap terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Saw. Beserta
keluarga, sahabat serta pengikutnya sampai akhir zaman. Tak lupa pula saya ucapkan terima
kasih kepada ibu dosen Wati Karmila, S.Ag.M.Pd.I sebagai dosen pengampu mata kuliah
Bimbingan dan konseling yang telah membantu membimbing hingga makalah ini dapat di
selesaikan.

Namun saya menyadari bahwa makalah ini masih sangat terbatas, baik dari segi
metedologi penulisan isi dan literatur penulisan makalah ini oleh karena itu saya mengharapkan
saran dan kritik yang membangun untuk penyempurnaan makalah ini dan untuk penulisan
makalah berikutnya.

Garut, 08 April 2022

Delis Rahayu Suciani

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................................ii

DAFTAR ISI..................................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................1

1. Latar Belakang......................................................................................................................1

2. Rumusan Masalah.................................................................................................................2

3. Tujuan...................................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................................3

BAB III PENUTUP.......................................................................................................................13

A. Kesimpulan.........................................................................................................................13

Daftar Pustaka................................................................................................................................15

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Bimbingan konseling merupakan salah satu komponen yang penting dalam proses
pendidikan sebagai suatu sistem. Sebagai sebuah sistem, kehadirannya diperlukan dalam upaya
pembimbingan sikap perilaku siswa terutama dalam menghadapi perubahan-perubahan dirinya
menuju jenjang usia yang lebih lanjut. Permasalahan yang dialami oleh para siswa di sekolah
sering kali tidak dapat di hindari meski dengan proses belajar dan pembelajaran yang sangat
baik.Dalam hal ini permasalahan siswa tidak boleh dibiarkan begitu saja, termasuk perilaku
siswa yang tidak dapat mengatur waktu untuk mengikuti proses belajar dan pembelajaran
sesuai apa yang dibutuhkan, diatur, atau diharapkan. Layanan bimbingan dan konseling
sendiri harus terkonsep secara baik sebagaimana halnya layanan tersebut dapat membantu
meningkatkan perkembangan siswa dan membantu membuat pilihan yang berarti bagi setiap fase
pendidikan yang dialami siswa.

Potensi pesertadidikyangharus dikembangkan bukan hanya menyangkutmasalah


kecerdasan dan keterampilan, melainkan menyangkut seluruh aspek kepribadian.Sehubungan
dengan hal tersebut, guru tidak hanya dituntut untuk memiliki pemahaman atau kemampuan
dalam bidang belajar dan pembelajaran tetapi juga dalam bidang bimbingan dan konseling.
Dalam UU No. 14 tahun 2015 pasal 1 yang menyatakan bahwa “guru adalah pendidik
profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih,
menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada anak usia dini jalur pendidikan formal,
pendidikan dasar, dan pendidikan menengah”. Dengan memahami konsep-konsep bimbingan

iv
dan konseling, guru diharapkan mampu berfungsi sebagai fasilitator perkembangan peserta
didik, baik yang menyangkut aspek intelektual, emosional, sosial, maupun mental spiritual.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dipahami bahwa layanan bimbingan dan konseling
di sekolah bukan hanya menjadi tanggung jawab guru bimbingan dan konseling.

Oleh karena itu disini guru memiliki kontribusi yang cukup besar dalam pelaksanaan
layanan bimbingan dan konseling terkait dengan 4 kompetensi dimiliki seorang guru.
Sebagaimana yang telah tercantum dalam UU No. 14 tahun 2015 tentang guru dan dosen pada
pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa “kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi
profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi”. Berdasarkan 4 kompetensi yang dimiliki
guru tersebut maka diharapkan pelayanan bimbingan dan konseling yang harus dilakukan
terhadap siswa dapat berjalan dengan baik dan memberi pesan yang mendalam bagi setiap siswa.
Dengan adanya kompetensi guru dapat memberi kontribusi terhadap pelayanan bimbingan dan
konseling dalam rangka membantu siswa dalam menyelesaikan masalahnya baik yang bersifat
individu maupun sosial yang mengganggu konsentrasi siswa dalam proses pembelajaran.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang mengenai Hakikat konseling di dunia Pendidikan dapat di


identifikasi beberapa permasalahan yaitu :

a. Apa yang di maksud dengan Hakikat Bimbingan Konseling ?

b. Bagaimana hubungan Bimbingan Konseling di dunia Pendidikan ?

3. Tujuan

Sesuai dengan rumusan masalah yang di kemukakan di atas maka tujuan dari penelitian
ini adalah sebagai berikut :

a. Untuk mendeskripsikan hakikat bimbingan konseling secara jelas.

b. Untuk mendeskripsikan hubungan bimbingan konseling di dunia Pendidikan.

v
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hakikat Bimbingan Konseling


Berbicara tentang bimbingan dan konseling tidak bisa terlepas dari pendidikan, karena
bimbingan dan konseling ada di dalam pendidikan. Pendidikan bertolak dari hakikat manusia
dan merupakan upaya membantu manusia untuk menjadi apa yang bisa dia perbuat dan
bagaimana dia harus menjadi (becoming) dan berada (being). Pendidikan adalah persoalan
fokus dan tujuan (Bereiter, 1973:6). Mendidik berarti bertindak secara bertujuan dalam
mempengaruhi perkembangan manusia, tindakan mendidik adalah pilihan moral dan bukan
pilihan teknis belaka. Ada tiga fungsi pendidikan yaitu fungsi pengembangan, membantu
individu mengembangkan diri sesuai dengan fitrahnya (potensi), peragaman (diferensiasi),
membantu individu memilih arah perkembangan yang tepat sesuai dengan potensinya, dan
integrasi, membawa keragaman perkembangan ke arah tujuan yang sama sesuai dengan
hakikat manusia untuk menjadi pribadi utuh (kaffah). (Sunaryo Kartadinata: 1988)
Dalam upaya membantu individu mewujudkan pribadi utuh, bimbingan dan
konseling peduli terhadap pengembangan kemampuan nalar yang motekar (kreatif) untuk
hidup baik dan benar. Upaya bimbingan dalam merealisasikan fungsi-fungsi pendidikan
seperti disebutkan terarah kepada upaya membantu individu, dengan kemotekaran nalarnya,
untuk memperhalus (refine), menginternalisasi, memperbaharui, dan mengintegrasikan sistem
nilai ke dalam perilaku mandiri. Dalam upaya semacam itu, bimbingan dan konseling amat
mungkin menggunakan berbagai metode dan teknik psikologis, untuk memahami dan

vi
memfasilitasi perkembangan individu, akan tetapi tidak berarti bahwa bimbingan dan
konseling adalah psikologi terapan, karena bimbingan dan konseling tetap bersandar dan
terarah kepada pengembangan manusia sesuai dengan hakikat eksistensialnya. (Sunaryo
Kartadinata, 1988: 40).
Bimbingan dan konseling tidak cukup bertopang pada kaidah-kaidah psikologis
melainkan harus mampu menangkap eksistensi manusia sebagai mahluk Allah Yang Maha
Kuasa. Keberadaan bimbingan dan konseling dalam pendidikan merupakan konsekuensi logis
dari hakikat dan makna pendidikan itu sendiri.
Bimbingan dan konseling adalah dua istilah yang penggunaannya hampir selalu
digandengkan. Bimbingan dan konseling adalah layanan ahli dan pengampu layanan ahli
tersebut disebut konselor.1

Sebutan konselor dalam sistem pendidikan di Indonesia telah memiliki dasar legal
karena sebutan konselor dinyatakaan secara eksplisit di dalam UU No. 20/2003 pasal 1 (6).
Bimbingan diartikan sebagai proses bantuan kepada indvidu dalam mencapai tingkat
perkembangan diri secara optimum. Ada dua kata kunci yang perlu dimaknai lebih dalam dari
definisi ini. Pertama, bantuan dalam arti bimbingan yaitu memfasilitasi individu untuk
mengembangkan kemampuan memilih dan mengambil keputusan atas tanggung jawab
sendiri. Proses perkembangan mengandung rangkaian penetapan pilihan dan pengambilan
keputusan, dalam menavigasi hidup, dan kemampuan pengambilan keputusan ini merupakan
perwujudan dari daya suai individu terhadap dinamika lingkungan. Kedua, perkembangan
optimum adalah perkembangan yang sesuai dengan potensi dan sistem nilai yang dianut.
Perkembangan optimum adalah suatu konsep normatif, suatu kondisi adekuat dimana individu
mampu melakukan pilihan dan pengambilan keputusan yang tepat untuk mempertahankan
keberfungsian dirinya di dalam sistem atau lingkungan. Kondisi perkembangan optimum adalah
kondisi dinamis yang ditandai dengan kesiapan dan kemampuan individu untuk memperbaiki
diri (self- improvement) agar dia menjadi pribadi yang berfungsi penuh (fully-functioning
person) di dalam lingkungannya.
Konseling juga adalah proses bantuan, yang dalam sejumlah literatur, dipandang sebagai
jantung bimbingan (counseling is the heart of guidance) karena bantuan konseling lebih
1
Sebutan konselor dalam sistem pendidikan di Indonesia telah memiliki dasar legal karena sebutan konselor
dinyatakaan secara eksplisit di dalam UU No. 20/2003 pasal 1 (6), dimana ditegaskan bahwa konselor itu
adalah pendidik.

vii
langsung bersentuhan dengan kebutuhan dan masalah individu secara individual, walaupun
berlangsung dalam seting kelompok. Konseling merupakan perjumpaan psikososiokultural
antara konselor dengan konseli (baca: individu yang memperoleh layanan konseling), dan
sebagai sebuah layanan ahli konseling dilaksanakan dengan dilandasi oleh motif altruistik dan
empatik dengan selalu mempertimbangkan dampak jangka panjang dari layanan yang
diberikan kepada konseli. Dengan sifat layanan seperti itu maka seorang konselor bisa
disebut sebagai safe practicioner (Direktorat PPTK-KPT Ditjen Dikti, 2003)2
Esensi bimbingan dan konseling terletak pada proses memfasilitasi perkembangan
individu di dalam lingkungannya. Perkembangan terjadi melalui interkasi secara sehat antara
individu dengan lingkungan, dan oleh karena itu upaya bimbingan dan konseling tertuju pula
kepada upaya membangun lingkungan perkembangan manusia (ecology of human
development) yang sehat.3
Kajian bimbingan dan konseling terfokus pada pengembangan (perilaku) individu
untuk mewujudkan keberfungsian diri dalam lingkungan, membantu individu berkembang
secara efektif. Proses bimbingan dan konseling merupakan sebuah perjumpaan perkembangan
yang di dalamnya akan memperhadapkan konselor kepada persoalan nilai-nilai yang dianut
individu dan pengaruh konselor yang mungkin terjadi terhadap perkembangan nilai individu.
Pertanyaan filosofis mendasar dalam bimbingan dan konseling terkait dengan peran ganda
konselor, yakni sebagai fasilitator pilihan dan kebebasan individu di satu sisi dan
pengembangan perilaku individu di sisi lain. Adalah satu keharusan bagi konselor untuk
membangun filsafat pribadi (personal philosophy) yang menjadi landasan pelayanan
professional yang diembannya.
Teori bimbingan dan konseling dibangun dari landasan filosofi tentang hakikat
manusia, teori-teori kepribadian, teori perkembangan belajar, pemahaman sosio-
antropologik- kultural, serta sistem nilai dan keyakinan. Teori bimbingan dan konseling

2
Berasal dari bidang medik, gagasan tentang praktisi yang aman itu ditandai oleh 3 ciri yaitu (a) kompeten
dalam melaksanakan tugasnya, (b) tahu batas-batas kemampuannya sehingga tidak gegabah dalam
menyelenggarakan layanan ahli, dan (c) dalam kasus di mana seorang praktisi yang aman itu menghadapi
permasalahan yang ia tahu ada di luar kemampuannya, ia juga tahu ke mana mencari pertolongan.
3
Menurut Blocher sebuah lingkungan perkembangan mengandung tiga komponen, yaitu: (1) struktur yang
menggambarkan situmlasi yang disiapkan konselor untuk merangsang perkembangan perilaku konseli, (2)
transaksi yang menggambarkan interaksi psikologis dan intervensi yang terjadi, dan (3) reward systems yang
menggambarkan proses penguatan dan balikan terhadap perilaku baru.

viii
pada akhirnya harus merupakan ”personal theory” atau “world view” dari konselor yang
merefleksikan keterpaduan antara aspek pribadi dan profesi sebagai satu keutuhan.
Landasan filosofi berkenaan dengan pandangan tentang hakikat manusia yang akan
melandasi konselor di dalam memahami dan memperlakukan konseli serta merumuskan
tujuan universal bimbingan dan konseling. Tujuan khusus dari sebuah perjumpaan
bimbingan dan konseling ada pada konseli, namun tujuan universal ada pada konselor, yang
didasarkan atas pandangannya terhadap hakikat manusia, dan menjadi dasar untuk
memfasilitasi konseli di dalam merumuskan tujuan-tujuan khusus yang ingin dicapainya.
Tujuan universal bimbingan dan konseling terkait dengan persoalan hendak dibawa ke mana
manusia atau konseli yang dilayaninya itu. Dilihat dari sudut pandang ini, bagaimanapun juga
di dalam sebuah perjumpaan konseling akan terjadi pengaruh (influence) konselor kepada
konseli. Namun harus dihindari terjadinya pemaksaan nilai konselor kepada konseli dan
konselor tidak boleh meneladankan diri yang harus ditiru oleh konseli yang dibantunya.
Teori kepribadian yaitu perangkat asumsi yang relevan berkenaan dengan perilaku
manusia dan sejalan dengan definisi-definisi empirik. (Hall & Lindzey, 1975: 15). Teori
kepribadian akan melandasi bimbingan dan konseling untuk mengembangkan pemahaman
dinamika perilaku, berbagai pendekatan tretmen, strategi intervensi, asesmen, dan teknik
pengembangan atau modifikasi perilaku.4
Teori perkembangan dan belajar, terutama menyangkut tahapan dan tugas
perkembangan serta proses belajar individu. Teori-teori (tugas) perkembangan akan
membangun teori bimbingan dan konseling terutama dalam merumuskan perilaku jangka
panjang6 yang harus dikuasai oleh individu, yang akan menjadi tujuan pengembangan dari
layanan bimbingan dan konseling, yang bisa diterjemahkan ke dalam tingkatan jenjang
pendidikan. Teori belajar yang membahas pebelajar (learner), lingkungan belajar, dan
proses belajar membangun teori bimbingan dan konseling terutama dalam pengembangan
lingkungan perkembangan, sebagai ekologi perkembangan manusia, pemahaman motivasi
dan diagnosis kesulitan perkembangan, serta strategi intervensi pengubahan/pengembangan
perilaku.
Pemahaman sosio-antropologik-kultural diperlukan di dalam membangun teori
4
Sebuah teori kepribadian dipersyaratkan komprehensif, memiliki daya prediksi, menyangkut rentang
perilaku manusia yang lebar, berkenaan dengan bebagai fenomena perilaku yang dapat ditunjukkan dalam
berbagai proses signifikan bagi individu.

ix
bimbingan dan konseling dengan alasan: (1) perkembangan perilaku individu tidak pernah
berlangsung dalam kevakuman melainkan selalu ada di dalam lingkungan, (2) ada fungsi-
fungsi pemeliharaan yang harus ditampilkan oleh bimbingan dan konseling terkait dengan
kehidupan sosio-antroplogik-kultural konseli, (3) bimbingan dan konseling pada
hakikatnya adalah perjumpaan kultural. Teori bimbingan dan konseling yang menjadi
pegangan konselor adalah sebuah “world view” yang akan harus selalu diperbaharui
melalui riset dan pengamatan praktek sehingga world view itu akan selalu mutakhir.
B. Bimbingan Konseling di Dunia Pendidikan
Bimbingan dan konseling adalah upaya pemberian bantuan kepada peserta didik dengan
menciptakan lingkungan perkembangan yang kondusif, dilakukan secara sistematis dan
berkesinambungan, supaya peserta didik dapat memahami dirinya agar sanggup mengarahkan
diri dan dapat bertindak secara wajar sesuai dengan tuntutan tugas-tugas perkembangan.
Kartadinata menyebutkan bahwa guru BK (konselor) adalah pendidik yang memfasilitasi
perkembangan seluruh potensi siswa dari berbagai aspek, mulai dari pribadi, psikologi, maupun
sosial. Guru BK memberikan bimbingan dalam menyiapkan siswa menentukan pilihannya
secara mandiri (Sukmadinata, 2007: 1).
Peran penting sekolah adalah dalam pendidikan generasi muda. Sementara itu, ujung
tombaknya adalah para guru sebagai pengajar yang memberi teladan dan ilmu yang diperlukan
untuk mengarahkan dan membimbing generasi muda. Namun, ada guru yang lebih berperan
aktif terhadap psikologi siswa. Ia adalah guru BK yang berperan untuk memfasilitasi
perkembangan potensi siswa dalam aspek pribadi, sosial, belajar, karier dan perkembangan
pribadi siswa. Berbeda dengan guru mata pelajaran yang konteks tugas pembelajarannya hanya
berfokus pada mata pelajaran bidang studi, konteks tugas guru BK adalah kondisi pribadi siswa.
Dalam prakteknya sekarang ini, kontras dengan peran luhur guru BK dalam pendidikan,
mereka seringkali termarjinalkan. Mulai dari tidak diberinya jam kelas, dianggap sebagai
sekedar pengisi jam pelajaran kosong, sampai sering dianggap sebagai ‘polisi sekolah’. Padahal
peran mereka jauh dari itu, bahkan bertolak belakang. Mereka haruslah dekat dengan siswa.
Menjadi tempat yang nyaman para siswa untuk berkonsultasi, bertanya halhal personal terkait
perkembangan diri siswa, bahkan sekedar mengobrol santai.
Oleh karena itu, seorang guru BK harus memiliki kepribadian yang baik. Kepribadian
seorang konselor merupakan faktor yang paling penting dalam konseling. Surya (2009: 57)

x
mengungkapkan bahwa: Kepribadian konselor merupakan titik tumpu yang berfungsi sebagai
penyeimbang antara pengetahuan mengenai dinamika perilaku dan keterampilan terapeutik.
Ketika titik tumpu ini kuat, pengetahuan dan keterampilan bekerja secara seimbang dengan
kepribadian yang berpengaruh pada perubahan perilaku positif dalam konseling.
Salah satu karakteristik kualitas kepribadian konselor yang berkaitan dengan keefektifan
konseling adalah pengetahuan mengenai diri sendiri (self-knowledge). Pengetahuan akan diri
sendiri mempunyai makna bahwa seorang guru BK mengetahui secara baik tentang dirinya, apa
yang dilakukan, mengapa melakukan itu, masalah apa yang sedang dihadapi dan masalah yang
dihadapi oleh klien.
Menurut Weiner (dalam Nursalam dan Efendi, 2008: 14), motivasi didefinisikan sebagai
kondisi internal yang membangkitkan kita untuk bertindak, mendorong kita mencapai tujuan
tertentu dan membuat kita tetap tertarik dalam kegiatan tertentu. Motivasi seseorang dapat
timbul dan tumbuh berkembang melalui dirinya sendiri – intrinsik dan dari lingkungan –
ekstrinsik. Keinginan yang muncul dari diri sendiri untuk bertindak tanpa adanya rangsangan
dari luar dapat disebut dengan motivasi intrinsik. Sedangkan motivasi yang datang dari luar
individu dapat disebut dengan motivasi ekstrinsik. Motivasi menjadi guru terbagi menjadi dua
tipe motivasi, yaitu motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Hasil penelitian pada key
informant mengungkapkan bahwa terdapat empat guru yang memiliki motivasi intrinsik, yaitu
subjek A, C, E dan F. Subjek A menjadi guru karena merupakan cita-citanya sejak kecil.
Berawal dari kesenangannya bermain “sekolahsekolahan” bersama anak-anak tetangga dan
anak-anak saudara yang ternyata secara tidak sadar memunculkan rasa senang pada dunia
pendidikan dan ingin memiliki prestasi di dunia pendidikan. Selepasnya sekolah menengah, ia
memilih untuk meneruskan kuliah pada jurusan Bimbingan Penyuluhan di IKIP Bandung.
Pemilihan jurusan itu didasarkan pada kesenangan subjek A dalam membimbing dan berbagi
ilmu dengan anak-anak.
Motivasi ekstrinsik adalah segala sesuatu yang diperoleh melalui pengamatan sendiri,
ataupun melalui saran, anjuran atau dorongan dari orang lain. Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa motivasi ekstrinsik muncul dari dorongan keluarga dan lingkungan. Pada
subjek D dan G, motivasi muncul dalam dirinya dipengaruhi oleh faktor eksternal yang berasal
dari luar diri individu. Dorongan orang tua yang membuat subjek D memutuskan untuk
memilih untuk mendaftarkan dirinya ke IKIP Bandung dan memutuskan untuk menjadi seorang

xi
guru. Setelah menjalani sebagai guru BK, ia baru menyadari bahwa keberadaan guru BK itu
penting. Dukungan dan dorongan dari anggota keluarga semakin menguatkan untuk menekuni
pilihannya. Sama seperti subjek D, subjek G juga memutuskan untuk menjadi seorang guru
karena dorongan dari orang tua yang berpendapat bahwa pekerjaan yang paling cocok untuk
wanita/perempuan adalah menjadi seorang guru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa subjek B
menjadi guru BK karena lingkungan pergaulan/pertemanan yang mendorong beliau untuk
memilih program studi Psikologi Bimbingan dan Konseling.
Pembahasan selanjutnya mengenai pemaknaan bimbingan konseling yang telah
disampaikan oleh tujuh orang informan, menyatakan bahwa guru BK adalah: (a) guru sekaligus
orang tua, (b) guru yang menyenangkan, (c) guru yang membantu siswa mengenali dirinya, (d)
guru yang harus mengetahui segala hal, (e) guru yang masih dianggap sebagai polisi sekolah,
(f) guru yang sempurna, dan (g) guru yang hanya dianggap sebagai “ganjal pintu”.
Makna adalah “produk sosial” atau “ciptaan yang dibentuk dalam dan melalui
pendefinisian aktivitas manusia ketika mereka berinteraksi. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa para guru memaknai profesi guru BK secara positif dan negatif. Makna positif
dinyatakan dengan guru sekaligus orang tua, guru yang menyenangkan, guru yang membantu
siswa mengenali dirinya, guru yang harus mengetahui segala hal, dan guru yang sempurna.
Makna positif ini menunjukkan bahwa seorang guru BK merupakan guru yang harus dapat
menunjukkan perilaku yang baik, sabar dan santun karena guru BK merupakan seorang guru
yang menjadi contoh bagi siswa bimbingannya, sama halnya dengan orang tua menjadi contoh
bagi anak-anaknya.
Makna negatif dinyatakan dengan guru yang masih dianggap sebagai polisi sekolah dan
guru yang hanya dianggap sebagai “ganjal pintu”. Makna negatif ini dijelaskan oleh dua orang
key informant bahwa masih ada yang menganggap guru BK itu sebagai polisi sekolah.
Anggapan bahwa guru BK adalah polisi sekolah ini masih tertanam di benak beberapa siswa
ajaran baru yang belum mengetahui manfaat akan keberadaan guru BK. Selain itu, masih ada
pihak sekolah yang meminta guru BK untuk melakukan razia siswa. Padahal tugas tersebut
bukanlah wewenang guru BK, karena hal tersebut dapat membingungkan posisi guru BK itu
sendiri. Guru hanya dianggap sebagai “ganjal pintu”, anggapan ini muncul pada saat jam kelas
BK dihilangkan dan mereka selalu diminta untuk mengisi jam kelas pada mata pelajaran lain
jika guru mata pelajaran tersebut tidak dapat hadir.

xii
Menurut Berger dan Luckmann (2013), manusia adalah makhluk yang memproyeksikan
makna ke dalam alam semesta. Manusia memberi makna dan menumbuhkan nilai kepada
bendabenda dan menciptakan tata susunan pengertian yang luas (bahasa, sistem lambang,
lembaga) yang merupakan pedoman yang mutlak diperlukan dalam hidupnya. Masih menurut
Berger dan Luckmann (2013) dalam teori Konstruksi Sosial bahwa individu membangun
sendiri pengetahuan atas realitas yang dilihat berdasarkan pada struktur pengetahuan yang telah
ada sebelumnya. Pemaknaan yang muncul dalam diri merupakan hasil dari pengalaman mereka
selama menjalani pekerjaannya sebagai guru BK. Ketujuh key informant adalah guru BK yang
telah cukup memiliki pengalaman dalam membimbing maupun mengajar, mayoritas telah
memiliki masa kerja lebih dari 25 tahun. Temuan lain dari penelitian ini mengenai makna guru
BK profesional yang diungkapkan oleh key informant adalah: (1) memiliki empat kompetensi,
yaitu pedagogik, kepribadian, sosial dan profesional, (2) memiliki latar belakang pendidikan
BK, (3) mengetahui kode etik, dan (4) guru yang diatur oleh kompetensi profesi. Dengan begitu
guru BK profesional adalah guru yang memiliki latar pendidikan atau pelatihan BK dan dalam
melaksanakan tugasnya mampu menampilkan kinerja atas penguasaan kompetensi akademik
kependidikan dan kompetensi penguasaan substansi dan atau bidang studi, mengetahui dan
menjalankan kode etik.
Tanpa komunikasi kegiatan konseling tidak akan berjalan dengan baik. Guru BK
sebagai komunikator berinteraksi dengan berbagai komponen pendidikan, diantaranya siswa,
orang tua dan guru lain. Guru dan siswa merupakan bagian dari system pendidikan yang
membutuhkan interaksi yang tinggi. Oleh karena itu, guru dan siswa perlu menjalin komunikasi
positif. Dalam menjalin komunikasi tersebut, guru dirasa perlu memiliki soft skill yang dapat
menghindarkannya dari kemungkinan terjadinya miscommunication atau misunderstanding
sebagai titik pangkal persoalan pembelajaran. Sebagai komunikator pendidikan, guru BK
haruslah mampu berkomunikasi dengan segala pihak terkait dunia pendidikan seperti siswa,
sesama guru, kepala sekolah, wali murid, maupun masyarakat umum. Guru BK memiliki
tanggung jawab lebih untuk membimbing siswa dan membantunya menyelesaikan masalah
maupun membimbing mereka dalam keadaan yang lebih personal. Seringkali pendekatan
personal tiap anak berbeda, dan sang guru BK harus mampu menyesuaikan kapan dan
bagaimana ia harus bersikap dan berbicara kepada perorangan atau kelompok. Guru BK juga
dituntut untuk dapat meluruskan persepsi yang salah selama ini terhadap peran guru BK.

xiii
Tantangan ini seringkali datang dari sesama guru dan dari elemen sekolah itu sendiri. Mulai
dari tidak diberikan jam kelas, sampai diminta untuk melakukan razia. Padahal ketentuan dari
dinas pendidikan sudah jelas mengenai peran dan tugas guru BK. Inilah yang menuntut para
guru BK untuk terus belajar, terutama mengasah kemampuan komunikasinya. Salah satunya
dengan cara berbagi pengalaman antar sesamanya. Dari 7 informan yang diwawancara, 5 dari 7
aktif dalam organisasi BK. Seringkali dari sharing itulah didapat ilmu maupun teknik baru
dalam menghadapi siswa. Bentuk komunikasinya sendiri tidak bisa hanya verbal saja, tetapi
guru BK juga harus memanfaatkan komunikasi non verbal untuk dapat melaksanakan peran BK
nya secara optimal. Dari cara berpakaian, cara berbicara, bahasa yang digunakan, sampai
penampilan haruslah dijaga agar tidak membuat takut anak-anak yang ingin “curhat”.
Seringkali guru BK mempelajari “bahasa gaul” maupun julukan khusus yang digunakan
siswanya agar lebih mudah berkomunikasi dan menjalin ikatan dengan mereka. Karena
disitulah kunci kedekatan guru BK dengan para siswanya.
- Guru sebagai Orang tua
- Guru yang
Positif
menyenangkan
- Guru yang membantu
siswa untuk mengenali
dirinya.
- Guru yang harus
mengetahui segala hal.
makna profesi Guru
Bk

- Guru yang masih


Negatif dianggap polisi sekolah
- Guru hanya dianaggap
sebagai ganjal pintu

Ditinjau dari konteks komunikasi yang terjadi antara siswa, orang tua dan guru adalah
komunikasi antarpribadi, komunikasi kelompok dan komunikasi organisasional. Pada konteks
komunikasi antarpribadi melibatkan hubungan pribadi antara dua individu atau lebih. Dalam
proses konseling, komunikasi antar pribadi memungkinkan terjadinya interaksi yang bersifat
pribadi antara guru BK dan siswa. Berdasarkan hasil penelitian, komunikasi antarpribadi
xiv
diterapkan pada bimbingan klasikal yang menuntut guru BK untuk melakukan kontak langsung
dengan siswa. Dalam proses konseling, komunikasi antarpribadi memungkinkan terjadinya
interaksi yang bersifat pribadi antara guru BK dan siswa. Oleh karena itu, keterampilan
komunikasi antarpribadi perlu dikuasai oleh guru BK untuk menunjang keefektifan proses
konseling. Harus diakui bahwa untuk menjalin komunikasi yang sinergis bukanlah hal mudah.
Perbedaan latar belakang guru dan siswa, baik itu menyangkut usia dan gender, dapat membuat
interaksi yang terjadi rentan terhadap konflik. Dalam hal ini, guru dituntut untuk memiliki rasa
empati yang tinggi. Hal ini terungkap pada hasil wawancara subjek E dan F. Yang
mengungkapkan bahwa rasa empati perlu dimiliki oleh seorang guru BK. Dengan rasa empati,
kesenjangan komunikasi dan toleransi dapat teratasi.

Suyatno dan Jihad (2013: 67) mengungkapkan bahwa seorang pendidik dikatakan
berempati bila ia dapat memiliki dan memahami pikiran, perasaan, reaksi, perkembangan, dan
motivasi siswanya. Proses berpikir yang dilakukan melibatkan dirinya secara utuh, dengan segala
macam resiko perbedaan pendapat, rasa, bahkan kemungkinan konflik. Hal serupa diungkapkan
pula oleh Surya (2009: 114), bahwa untuk terlaksananya suatu komunikasi konseling yang
dialogis adalah dengan mengajak klien berpartisipasi aktif. Selain itu, seorang guru BK harus
menguasai keterampilan dalam berkomunikasi, yaitu penghampiran, empati, merangkum,
bertanya, kejujuran, asertif, konfrontasi dan pemecahan masalah. Salah satu dari delapan
keterampilan tersebut, yaitu empati, merupakan keterampilan dasar dalam bekomunikasi yang
perlu dimiliki oeleh seorang guru BK. Masih menurut Surya (2009), empati artinya
menempatkan diri dalam suasana perasaan, pikiran dan keinginan orang lain sedekat mungkin.
Secara psikologis, empati dapat menunjang berkembangnya suasana hubungan yang didasari atas
saling pengertian, suasana rasa diterima dan dipahami dan kesamaan diri.

Penguasaan akan media komunikasi pun diperlukan oleh guru BK. Media komunikasi
adalah suatu alat atau sarana yang digunakan untuk menyampaikan pesan dari komunikator
kepada khalayak, seperti media cetak, radio, televisi dan internet. Perkembangan media
komunikasi yang sangat cepat menuntut para guru BK untuk menguasainya agar proses
bimbingan dan konseling dapat berjalan dengan baik. Pada saat ini guru BK tidak hanya
mengurus siswa yang bermasalah saja, namun membantu juga dalam pendataan siswa yang

xv
berhak mendapatkan beasiswa, siswa berprestasi hingga membantu siswa dalam pengisian
formulir pendaftaran ke perguruan tinggi.

Sosial media pun berperan dalam membantu kinerja guru BK dalam berkomunikasi
dengan siswa. Mayoritas guru BK yang menjadi key informant, menggunakan sosial media
untuk berkomunikasi dengan siswa tanpa harus bertatap muka. Hal ini guna memudahkan dalam
menjangkau siswa lewat media yang akrab dengan mereka. Sosial media yang sering digunakan
yaitu Blackberry Messenger (BBM), Whatsapp (WA) dan LINE. Penggunaaan sosial media ini
ternyata berpengaruh pada kedekatan antara guru BK dengan siswa dan menciptakan persepsi
positif terhadap guru BK. George Herbert Mead mengatakan bahwa manusia “berbicara kepada”
kemanusiaan. Maksudnya bahwa kita memperoleh identitas pribadi ketika kita berkomunikasi
dengan orang lain (Wood, 2013: 4). Identitas dibentuk ketika seseorang secara sosial berinteraksi
dengan orang lain.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

a) Bimbingan dan konseling adalah dua istilah yang penggunaannya hampir


selalu digandengkan. Bimbingan dan konseling adalah layanan ahli dan pengampu
layanan ahli tersebut disebut konselor. Konseling juga adalah proses bantuan, yang dalam
sejumlah literatur, dipandang sebagai jantung bimbingan (counseling is the heart of
guidance) karena bantuan konseling lebih langsung bersentuhan dengan kebutuhan dan
masalah individu secara individual, walaupun berlangsung dalam seting kelompok.
Konseling merupakan perjumpaan psikososiokultural antara konselor dengan konseli (baca:
individu yang memperoleh layanan konseling), dan sebagai sebuah layanan ahli konseling
dilaksanakan dengan dilandasi oleh motif altruistik dan empatik dengan selalu
mempertimbangkan dampak jangka panjang dari layanan yang diberikan kepada konseli.
Dengan sifat layanan seperti itu maka seorang konselor bisa disebut sebagai safe

xvi
practicioner (Direktorat PPTK-KPT Ditjen Dikti, 2003). Esensi bimbingan dan konseling
terletak pada proses memfasilitasi perkembangan individu di dalam lingkungannya.
Perkembangan terjadi melalui interkasi secara sehat antara individu dengan lingkungan, dan
oleh karena itu upaya bimbingan dan konseling tertuju pula kepada upaya membangun
lingkungan perkembangan manusia (ecology of human development) yang sehat.

b) Bimbingan dan konseling adalah upaya pemberian bantuan kepada peserta didik
dengan menciptakan lingkungan perkembangan yang kondusif, dilakukan secara sistematis
dan berkesinambungan, supaya peserta didik dapat memahami dirinya agar sanggup
mengarahkan diri dan dapat bertindak secara wajar sesuai dengan tuntutan tugas-tugas
perkembangan. Kartadinata menyebutkan bahwa guru BK (konselor) adalah pendidik yang
memfasilitasi perkembangan seluruh potensi siswa dari berbagai aspek, mulai dari pribadi,
psikologi, maupun sosial. Guru BK memberikan bimbingan dalam menyiapkan siswa
menentukan pilihannya secara mandiri (Sukmadinata, 2007: 1). Peran penting sekolah
adalah dalam pendidikan generasi muda. Sementara itu, ujung tombaknya adalah para guru
sebagai pengajar yang memberi teladan dan ilmu yang diperlukan untuk mengarahkan dan
membimbing generasi muda. Namun, ada guru yang lebih berperan aktif terhadap psikologi
siswa. Ia adalah guru BK yang berperan untuk memfasilitasi perkembangan potensi siswa
dalam aspek pribadi, sosial, belajar, karier dan perkembangan pribadi siswa. Berbeda
dengan guru mata pelajaran yang konteks tugas pembelajarannya hanya berfokus pada mata
pelajaran bidang studi, konteks tugas guru BK adalah kondisi pribadi siswa

xvii
Daftar Pustaka

Berger, P. L. & Luckmann, T. (2013). Tafsir sosial atas kenyataan – risalah tentang
sosiologi pengetahuan. Jakarta: LP3ES.

Bungin, M. B. (2008). Konstruksi sosial media massa. Jakarta: Kencana

Fitri, S. (2011). Konstruksi identitas calon konselor sekolah dalam masyarakat


multikultur. Jurnal Jabatan Bahasa & Kebudayaan Melayu. Jilid 3 (2011). Hlm. 119-134..

Gardner, J. E. (1992). Memahami gejolak masa remaja. Jakarta: Mitra Utama.

Hadi, I. P. (2009). Penelitian khalayak dalam perspektif reception analysis. Scriptura,


3(1), 1–7. Retrieved from http://puslit2. petra.ac.id/ejournal/index.php/iko/article/ view/17015.

Hendariningrum, R. & Susilo, M. E. (2008). Fashion dan gaya hidup: identitas dan
komunikasi. Ilmu Komunikasi, 6(2), 25–32.

Keliat, B. A. (1992). Gangguan konsep diri. Jakarta: EGC.

xviii
Littlejohn, S. W. & Foss, K. A. (2009). Encyclopedia of communication theory.
Thousand Oaks California: Sage Publication.

Nurhadi, Z. F. (2015). Teori-teori komunikasi: teori komunikasi dalam perspektif


penelitian kualitatif. Bogor: Ghalia Indonesia.

Nursalam & Efendi, F. (2008). Pendidikan dalam keperawatan. Jakarta: Salemba


Medika.

Nurtyasrini, S. & Hafiar, H. (2016). Pengalaman komunikasi pemulung tentang


pemeliharaan kesehatan. Jurnal Kajian Komunikasi. Vol. 4, No. 2 Desember 2016. Diakses dari
http://journal.unpad.ac.id/jkk/ article/view/10437/5329.

Mulyana, D. (2005). Ilmu komunikasi suatu pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Ristianti, A. (2008). Hubungan antara dukungan sosial teman sebaya dengan identitas
diri pada remaja di sma pusaka jakarta. Universitas Guna Darma, 0, 1–28.

Sukmadinata, N. S. (2007). Bimbingan dan konseling dalam praktek, mengembangkan


potensi dan kepribadian siswa. Bandung: Maestro.

xix

Anda mungkin juga menyukai