Makalah Sifat Melawan Hukum
Makalah Sifat Melawan Hukum
Disusun Oleh :
Najwa Fitria Mulyasari (E0021319)
Nicholas Dustin Julian (E0021335)
Nisrina Nur Latifa (E0021340)
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
PROGRAM SARJANA
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat, berkat, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
“Pengertian Sifat Melawan Hukum Ajaran Sifat Melawan Hukum Formil dan Materiil” dengan
tepat waktu. Makalah ini dibuat guna memenuhi tugas mata kuliah Hukum Pidana di Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret. Dengan penyusunan makalah ini, penulis tak lupa untuk
mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang membantu dalam menyelesaikan
makalah ini. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada Dr. Rehnalemken Ginting,
S.H., M.H. yang telah membimbing kami di dalam perkuliahan Hukum Pidana .
Dalam penyusunan makalah ini tentunya masih terdapat banyak kekurangan. Oleh
karena itu, penulis memohon kritik beserta saran yang membangun demi menyempurnakan
makalah ini.
Tim Penulis
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………………………...
1
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………. 2
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………………. 3
3.1 Kesimpulan………………………………………………………………………….
112
3.2 Saran…………………………………………………………………………………
112
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………..
123
2
BAB I
PENDAHULUAN
Hukum seolah-olah tidak dapat dipisahkan dari kehidupan kita sehari-hari dimana kita
semua memerlukan hukum sebagai kaidah yang berperan sebagai pengatur dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Hukum pidana sendiri merupakan sebagian dari keseluruhan
lapangan hukum, maka fungsi hukum pidana sendiri sama dengan fungsi hukum pada
umumnya yakni guna mengatur hidup kemasyarakatan atau menyelenggarakan tata dalam
masyarakat. Perbuatan yang dapat dipidana atau dapat disebut juga dengan perbuatan jahat
merupakan objek ilmu pengetahuan hukum pidana dalam artiannya yang luas. Di dalam hukum
pidana, pastinya tak lepas dari istilah “tindak pidana” atau juga biasa disebut “strafbaar feit” .
Menurut Mezger, tindak pidana adalah keseluruhan syarat untuk adanya pidana. Sedangkan
definisi menurut Moeljatno yakni perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan
mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi siapa yang melanggar
larangan tersebut. Dewasa ini, perkembangan tindak pidana sangatlah pesat, dimana hukum
disini dituntut untuk tetap terus mengikuti perkembangan zaman agar tetap relevan dengan
situasi yang ada. Hal ini tidak jauh dari teori hukum progresif yang dicetuskan oleh Satjipto
Rahardjo, dimana hukum sendiri disesuaikan dengan nilai nilai yang berkembang dalam
masyarakat.
Salah satu unsur dari tindak pidana sendiri yakni sifat melawan hukum. Sifat melawan
hukum sendiri menjadi 2 jenis, yakni sifat melawan hukum formil dan sifat melawan hukum
materiil. Sifat melawan hukum ini sangatlah penting untuk kita pahami serta kita pelajari
bersama dikarenakan sifat melawan hukum merupakan acuan bagi layak atau tidaknya suatu
perbuatan itu dapat dikenakan hukuman. Dalam menentukan apakah suatu perbuatan itu layak
dikenakan hukuman, kita dituntut untuk jeli dalam melihat suatu kasus. Tentunya hal ini dalam
hukum beracara, para penegak hukum terkhusus hakim sangatlah dituntut untuk memiliki
pemahaman yang baik dalam menentukan sifat melawan hukum ataupun penghapus sifat
melawan hukum. Jangan sampai orang yang seharusnya mendapatkan hukuman justru tidak
mendapatkan hukuman, begitu pula sebaliknya. Hal ini sesuai dengan istilah “Lebih baik
membebaskan 1000 orang bersalah daripada menghukum 1 orang tidak bersalah”. Oleh karena
3
itu penting bagi kita untuk mewujudkan keadilan sebagaimana sesuai dengan adagium hukum
yang berbunyi “Fiat justitia ruat caelum”.
Adapun tujuan penulisan makalah ini selain untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Pidana
juga bertujuan untuk :
- Mengetahui apa itu sifat melawan hukum.
- Memahami jenis serta bagaimana sifat melawan hukum itu.
4
BAB II
PEMBAHASAN
5
mendapatkan suatu sinonim dari “wederrechtelijk” yang dirasa sesuai. Oleh karena itu, sudah
jelas bahwa orang tidak akan mendapatkan penjelasan dari apa yang dimaksud dari
“wederrechtelijk” melalui suatu penafsiran undang-undang, maka bagi Indonesia kiranya suatu
penafsiran menurut tata bahasa dapat kita gunakan untuk maksud tersebut.
Menurut pandangan J.E. Jonkers penjelasan dari sifat melawan hukum selalu
disebutkan dalam suatu rumusan tindak pidana. Secara undang-undang dalam pasal 11 juga
menyatakan bahwa untuk dinyatakan sebagai suatu tindak pidana salah satunya haruslah
bersifat melawan hukum, bila seseorang melanggar ketentuan yang sudah ada dalam undang-
undang baik yang telah dirumuskan ataupun belum adalah suatu sifat melawan hukum kecuali
mempunyai alasan pembenar, alasan pembenar merupakan suatu alasan yang menghapuskan
sifat melawan hukum sehingga menjadi suatu perbuatan yang diperbolehkan atau tidak
dilarang, apabila suatu sifat melawan hukum ditiadakan maka perbuatan yang mulanya
mempunyai sifat melawan hukum dapat dihapuskan dan pelaku juga tak dapat dipidana
bilamana terdapat alasan pembenar dalam suatu tindakan melawan hukum. Berdasarkan pasal
191 ayat 2 KUHAP menyatakan bahwa jika pengadilan berpendapat bahwa suatu perbuatan
yang didakwakan kepada terdakwa tersebut terbukti tetapi perbuatan tersebut bukan
merupakan suatu tindak pidana yang termasuk didalamnya perbuatan yang sifat melawan
hukumnya ditiadakan karena alasan pembenar maka terdakwa dapat lepas dari semua tuntutan
hukum yang diberikan kepadanya. Contoh kasusnya adalah sebagai berikut:
a. Regu penembak yang menembak mati seorang terhukum yang telah dijatuhi pidana
mati, memenuhi unsur-unsur delik pada pasal 338 KUHP (Barangsiapa dengan sengaja
merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan penjara paling lama
15 tahun). Perbuatan mereka tidak melawan hukum karena menjalankan perintah
jabatan yang sah, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 51 ayat (1) KUHP ( Orang
yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh
penguasa yang berwenang tidak boleh dipidana)
b. Jaksa menahan orang yang dicurigai telah melakukan kejahatan. Disini, jaksa tidak
dapat dikatakan melakukan kejahatan berdasarkan pasal 333 KUHP( Barangsiapa
dengan sengaja dan dengan melawan hukum merampas kemerdekaan seseorang, atau
meneruskan perampasan kemerdekaan yang demikian,diancam dengan pidana paling
lama delapan tahun) karena jaksa tersebut melaksanakan Undang-Undang,
sebagaimana tercantum didalam Pasal 50 KUHP( Orang yang melakukan perbuatan
untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak boleh dipidana) .
6
c. Agen Intelijen negara yang melakukan penyadapan kepada seorang pelaku kejahatan,
padahal pada dasarnya penyadapan merupakan suatu yang dilarang berdasarkan pasal
40 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (Setiap orang
dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui
jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun.) Disini Agen Intelijen tidak melakukan
sebuah kejahatan karena agen tersebut menjalankan tugas negara sebagaimana diatur
dalam Pasal 31 UU 19/2016 khususnya ayat 3 (bahwa penyadapan yang dilakukan
dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, atau institusi
lainnya yang kewenangannya ditetapkan berdasarkan undang-undang bukanlah hal
yang dilarang).
Perumusan sifat melawan hukum dalam KUHP sebagian diantaranya disebutkan secara
tegas sifat melawan hukum sementara pada sebagian lainnya tidak memuat sifat melawan
hukum secara eksplisit, terdapat bermacam-macam variasi istilah dalam penyebutannya,
beberapa istilah sifat melawan hukum yakni sebagai berikut :
- Tegas dipakai istilah “melawan hukum” (wederrechtelijk) dalam Pasal 167, 168, 335
ayat (1), 552 . Pembentuk undang undang secara tegas mencantumkan unsur sifat
melawan hukum dalam rumusan delik dikarenakan pembentuk undang undang merasa
khawatir apabila unsur melawan hukum itu tak dicantumkan dengan tegas, orang yang
berhak atau berwenang untuk melakukan per
- Dengan istilah lain misalnya : “tanpa mempunyai hak untuk itu” (Pasal 303,548,549) ;
“tanpa izin” (zonder verlof) (Pasal 496, 510) ; “dengan melampaui kewenangannya”
(Pasal 430); “tanpa mengindahkan cara-cara yang ditentukan oleh peraturan umum”
(Pasal 429) .
Menurut Sudarto, dalam bukunya “Hukum Pidana I” menyebutkan jenis sifat melawan
hukum ada dua yakni :
1. Sifat melawan hukum formal
Menurut ajaran ini, suatu perbuatan dikatakan melawan hukum apabila perbuatan
tersebut diancam pidana dan dirumuskan sebagai suatu delik dalam undang-undang,
serta sifat melawan hukum tersebut juga hanya dihapus hanya berdasar pada peraturan
undang-undang. Jadi, menurut ajaran sifat melawan hukum formal, melawan hukum
sama dengan halnya melawan atau bertentangan dengan undang-undang (hukum
tertulis).
7
2. Sifat melawan hukum materiil
Menurut ajaran ini, suatu perbuatan dikatakan melawan hukum ataupun tidak, dapat
dilihat dari undang-undang dan berlakunya azas-azas hukum yang tidak tertulis. Sifat
melawan hukum tersebut juga dapat dihapus berdasarkan ketentuan yang termuat dalam
undang-undang serta aturan-aturan yang tidak tertulis (uber gesetzlich).
Sedangkan menurut pandangan Suyanto, sifat melawan hukum dibagi dalam 4 jenis yakni :
1. Sifat melawan hukum umum
Hal ini diartikan sebagai syarat umum untuk dapat dipidana yang tersebut dalam
rumusan pengertian perbuatan pidana. Perbuatan pidana adalah kelakuan manusia yang
termasuk dalam rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dicela.
2. Sifat melawan hukum khusus
Ada kalanya kata “bersifat melawan hukum” tercantum secara tertulis dalam rumusan
delik. Jadi sifat melawan hukum merupakan syarat tertentu untuk dapat dipidana. Sifat
melawan hukum yang menjadi bagian tertulis dari rumusan dinamakan: sifat melawan
hukum khusus. Juga dinamakan “sifat melawan hukum hukum facet.”
3. Sifat melawan hukum formal
Suatu sifat dikategorikan melawan hukum formal apabila memenuhi semua bagian
yang tertulis dari rumusan delik.
4. Sifat melawan hukum materiil
Sifat melawan hukum materiil berarti melanggar atau membahayakan kepentingan
hukum yang hendak dilindungi oleh pembentuk undang-undang dalam rumusan delik
tertentu.
Meskipun ditemukan dua pendapat yang sedikit berbeda dari buku yang berbeda pula,
pada umumnya sifat melawan hukum hanya dibedakan menjadi dua (2) jenis, yakni sifat
melawan hukum formal dan materiil, dari kedua buku diatas dapat dinyatakan bahwa sifat
melawan hukum formal adalah suatu perbuatan dikatakan mempunyai sifat melawan hukum
apabila perbuatan tersebut melanggar larangan yang terdapat dalam undang-undang dan sifat
melawannya nyata karena melanggar undang-undang atau dalam kata lain sifat melawan
hukum formil sama dengan melawan hukum tertulis atau bertentangan dengan undang-undang.
Salah satu penulis yang menganut sifat ajaran hukum formal ialah Simons yang di dalam
bukunya hal. 258 dikatakan “Memang boleh diakui bahwa suatu perbuatan yang masuk
larangan dalam suatu undang-undang itu tidaklah mutlak bersifat melawan hukum, akan tetapi
tidak adanya sifat melawan hukum itu hanyalah bisa diterima, jika di dalam hukum positif
8
terdapat alasan untuk suatu pengecualian berlakunya ketentuan/larangan itu. Menurut sifat ini,
suatu tindakan juga menjadi melawan hukum apabila di dalam rumusan tindak pidana yang
benar-benar disebutkan secara tegas. Contoh perbuatan yang memiliki sifat melawan hukum
formil adalah sebagai berikut:
● Orang dipenjara karena melakukan pembunuhan. Maka sudah jelas, bahwa orang
tersebut melakukan perbuatan yang melawan hukum yang tertulis/melawan peraturan
perundang undangan, yaitu pasal 338 KUHP.
● Pada tahun 2011, Indonesia digemparkan dengan kasus penggelapan uang perusahaan
oleh seorang karyawan PT Kusuma Agung Mulya yang bernama Beni. Tak tanggung-
tanggung jumlah uang yang digelapkan mencapai 774 juta rupiah. Beni menjabat
sebagai sales dalam perusahaan tersebut. Uang hasil pengumpulannya dipakai untuk
kepentingan pribadinya. Lebih parahnya lagi ia menggunakan uang perusahaan untuk
berjudi. Kapolsek Jelutung berhasil menangkap Beni di kantornya. Ia terjerat pasal 374
KUHP mengenai penggelapan dalam jabatan. Ancaman hukuman penggelapan uang
perusahaan tersebut maksimal 5 tahun penjara.
Sedangkan sifat melawan hukum materiil melihat suatu perbuatan bersifat melawan
hukum ataupun tidak, dilihat berdasarkan asas-asas hukum tidak tertulis juga dengan ketentuan
dalam hukum tertulis seperti undang-undang, maksudnya sifat melawan hukum materiil ini
berpandangan bahwa perbuatan yang mempunyai sifat melawan hukum materiil adalah juga
bertentangan baik dengan hukum tertulis atau undang-undang dan juga hukum yang tidak
tertulis seperti norma-norma yang hidup dalam masyarakat dan sebagainya. Dari sifat melawan
hukum materiil ini dapat dibagi kembali menjadi dua yakni sifat melawan hukum materiil
dalam fungsi positif dan dalam fungsi negatif, pembagian tersebut didasarkan atas pengakuan
terhadap pengaruh dari norma hukum tidak tertulis yang berada di luar undang-undang. Sifat
melawan hukum materiil negatif mengakui bahwa adanya norma-norma hukum yang tidak
tertulis dan berada di luar undang-undang yang dapat dikatakan berfungsi ataupun berperan
sebagai alasan penghapus dari sifat melawan hukum. Adapun contoh dari sifat melawan hukum
materiil negatif itu sendiri ialah pembahasan Arrest tentang peristiwa dokter hewan di desa
Huizen yang memasukkan beberapa ekor sapi yang masih sehat kedalam kandang yang berisi
sapi yang terkena penyakit mulut dan kuku. Dengan tindakan yang dilakukan tersebut, dapat
memungkinkan sapi yang sehat akan tertular penyakit dari sapi yang sedang sakit. Perbuatan
yang dilakukan dokter hewan ini telah menyimpang dari Pasal 82 Undang-Undang Peternakan.
9
Dimana, menurut undang-undang tersebut, perbuatan dokter hewan dikualifikasikan sebagai
“suatu kesengajaan membawa hewan yang sehat kedalam keadaan sakit.” Kemudian, ketika
dokter tersebut diajukan ke hadapan hakim, ia mengemukaan pembelaannya . Dimana
perbuatan yang ia lakukan itu untuk kepentingan peternakan. Apabila sapi sapi itu terserang
penyakit ketika memasuki masa menyusui justru pengaruhnya akan semakin parah, apabila
dibandingkan dengan sebelum masa menyusui. Maka, dokter tersebut memiliki anggapan,
apabila sapi sapi tersebut lebih baik terjangkit penyakit sebelum masa menyusui.
Di Dalam kasus tersebut, dokter hewan tersebut tidak dapat membela dirinya dengan
mengatakan bahwa ia sedang dalam keadaan overmacht (memaksa), noodweer, ataupun karena
melaksanakan perintah jabatan. Karena dalam pembelaannya, tindakan tersebut tidaklah
bersifat wederrechtelijk , dan karena hal tersebut, maka dokter tidak dapat dihukum karena
tindakannya itu. Hoge Raad telah menyatakan perbuatan dokter hewan tersebut bukan
merupakan perbuatan yang dapat dihukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
a. Bahwa seorang yang telah melakukan sesuatu perbuatan yang terlarang dan diancam
dengan hukuman itu pada dasarnya dapat dihukum, kecuali jika undang-undang itu
sendiri telah menunjukkan tentang adanya sesuatu dasar yang meniadakan hukuman ;
b. bahwa dapat terjadi unsur “wederrechtelijk”di dalam rumusan delik menurut sesuatu
pasal undang-undang tidak dapat diberlakukan terhadap suatu perbuatan tertentu.
Adapun sifat melawan hukum dalam fungsi positif, yaitu perbuatan itu dianggap keliru
berhubung dengan adanya asas legalitas dalam hukum pidana seperti yang ada pada pasal 1
ayat 1 KUHP. Maksudnya adalah menganggap sesuatu perbuatan tetap sebagai suatu delik,
meskipun tidak nyata diancam dengan pidana dalam undang-undang, apabila bertentangan
dengan hukum atau ukuran-ukuran lain yang ada ada di luar undang undang. Jadi disini diakui
hukum yang tak tertulis sebagai sumber hukum yang positif. Sebagaimana contohnya yakni, di
dalam kasus wisatawan mancanegara asal Rusia yakni Alina Yogi yang berfoto tidak senonoh
di sebuah pohon di wilayah Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan, Bali. Dimana, perbuatan
turis tersebut dianggap tidak sesuai dan melanggar hukum adat di Bali. Hal tersebut membuat
Alina Yogi mendapatkan hukuman adat yakni keharusan untuk mengikuti upacara
pembersihan guru piduka bersama pihak desa setempat. Dari kasus tersebut, dapat kita maknai
bahwa sifat melawan hukum dalam artian yang positif bahwa suatu perbuatan dianggap sebagai
suatu delik apabila melanggar undang-undang maupun hal lain yang berada di luar undang-
undang seperti contohnya yakni pelanggaran hukum adat pada suatu daerah.
10
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
11
DAFTAR PUSTAKA
Sofyan, A., & Azisa, N. (2016). Buku Ajar Hukum Pidana. Pustaka Pena Press.
12