Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PENDAHULUAN PADA NY.

N DENGAN DIAGNOSA
MEDIS GAGAL GINJAL KRONIK DENGAN MASALAH
HIPERTENSI DI RUANG HEMODIALISIS RS BHAYANGKARA
MAKASSAR

DISUSUN OLEH:

ASMITA AZIS S.kep


71221720201

SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN FAMIKA MAKASSAR


PROGRAM STUDI PFOFESI NERS
2023/2024
BAB I
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Konsep Dasar Gagal Ginjal Kronik


1. Definisi
Gagal ginjal kronik atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan
gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh
gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan
elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam
darah).
Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah penurunan fungsi ginjal yang bersifat
persisten dan irreversible. Sedangkangangguan fungsi ginjal yaitu penurunan
laju filtrasiglomerulus yang dapat digolongkan dalam kategori ringan, sedang dan
berat .CRF (Chronic Renal Failure) merupakan gangguan fungsi ginjal yang
progresif dan irreversible, yang menyebabkan kemampuan tubuh gagal untuk
mempetahankan metabolisme dan keseimbangan cairan maupun elektrolit,
sehingga timbul gejala uremia yaitu retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam
darah (Smeltzer, 2018).
2. Anatomi Fisiologi
Manusia memiliki sepasang ginjal.Dua ginjal terletak pada dinding posterior
abdomen,diluar rongga peritoneum. Sisi medial setiap ginjal merupakan daerah
lekukan yang disebut hilum tempat lewatnya arteri dan vena renalis, cairan
limfatik, suplai saraf , dan ureter yang membawa urine akhir dari ginjal ke
kandung kemih, tempat urine disimpan hingga dikeluarkan. Ginjal dilengkapi oleh
kapsul fibrosa yang keras untuk melindungi struktur dalamnya yang rapuh.Posisi
ginjal kanan sedikit lebih rendah dari posisi ginjal kiri karena ginjal kanan
tertekan oleh organ hati.Kedua ginjal terletak di sekitar vertebra T12 hingga L3,
sebagian dari bagian atas ginjal terlindungi oleh iga ke sebelas dan dua belas.
1. Anatomi Ginjal
Ginjal (Ren) adalah suatu organ yang mempunyai peran dalam mengatur
keseimbangan air dan metabolit dalam tubuh dan mempertahankan keseimbangan
asam basa dalam darah. Produk sisa berupa urin akan meninggalkan ginjal menuju
saluran kemih untuk dikeluarkan dari tubuh. Ginjal terletak di belakang
porituneom sehingga disebut organ retroperitoneal (Snell, 2018).
Ginjal berwarna cokelat kemerahan dan berada di sisi kanan dan kiri
kolumna vertebralis setingga vertebrata T12 sampai vertebrata L3. Ginjal dexter
terletak sedikit lebih rendah daripada sinistra karena adanya lobus hepatis yang
besar. Masing-masing ginjal memiliki fasies anterior, fasies interior, margo
lateralis, margo medialis, ekstremitas superior dan ekstremitas interior (Moore,
2019).
Bagian luar ginjal dilapisi oleh capsula fibrosa, capsula adipusa, fasia reanlis
dan corpus adiposum pararenal. Masing-masing ginjal memiliki bagian yang
berwarna cokelat gelap di bagian luar yang disebut korteks dan medulla renalis di
bagian dalam yang masing-masing memiliki pepilia renalis terdiri dari kira-kira 12
piramis renalis yang masing-masing memiliki pepilia renalis di bagian apeknya.
Di antara piramis renalis terdapat kolumna renalis yang memisahkan setiap
piramis renalis
Pembuluh darah pada ginjal dimulai dari yang membawa darah dengan
kandungan tinggi CO2 masuk ke ginjal melalui hilum renalis. Secara khas, di
dekat hilum renalis. Beberapa vena menyatukan darah dari rend an bersatu
membentuk pola yang berbeda-beda, untuk membentuk pola renalis. Vena renalis
terletak ventral terhadap arteri renalis, sinistra lebih panjang, melintas ventral
terhadap arteri renalis bermuara ke vena cava inferior (Moore, 2017).
Arteri lobaris merupakan arteri yang berasal dari arteri segmentalis di mana
masing-masing ateri lobaris berada pada setiap piramis renalis. Selanjutnya arteri
bercabng menjadi 2 atau 3 arteri interlobaris yang berjalan menuju korteks di
antara piramis renalis. Pada perbatasan korteks dan meduka renalis, arteri
interlobaris bercabang menajdi arteri arkuata yang kemudian menyusuri
lengkunhan piramis renalis. Arteri arkuata mempercabangkan arteri interlobularis
yang kemudian menjadi arteriol aferen
3. Etiologi
Gagal ginjal kronik terjadi setelah berbagai macam penyakit yang merusak
nefron ginjal. Sebagian besar merupakan penyakit parenkim ginjal difus dan
bilateral.
1. Infeksi, misalnya Pielonefritis kronik.
2. Penyakit peradangan, misalnya Glomerulonefritis.
3. Penyakit vaskuler hipertensif, misalnya Nefrosklerosis benigna,
nefrosklerosis maligna, stenosis arteri renalis.
4. Gangguan jaringan penyambung, seperti lupus eritematosus sistemik (SLE),
poli arteritis nodosa, sklerosis sistemik progresif.
5. Gangguan kongenital dan herediter, misalnya Penyakit ginjal polikistik,
asidosis tubuler ginjal.
6. Penyakit metabolik, seperti DM, gout, hiperparatiroidisme, amiloidosis.
7. Nefropati toksik, misalnya Penyalahgunaan analgetik, nefropati timbale.
8. Nefropati obstruktif
9. Sal. Kemih bagian atas: Kalkuli neoplasma, fibrosis, netroperitoneal.
10. Sal. Kemih bagian bawah: Hipertrofi prostate, striktur uretra, anomali
congenital pada leher kandung kemih dan uretra.
4. Klasifikasi
Cronic Kidney Disease (CKD) pada dasarnya pengelolaan tidak jauh beda
dengan cronoic renal failure (CRF), namun pada terminologi akhir CKD lebih
baik dalam rangka untuk membatasi kelainan klien pada kasus secara dini, kerena
dengan CKD dibagi 5 grade, dengan harapan klien datang/ merasa masih dalam
stage – stage awal yaitu 1 dan 2. secara konsep CKD, untuk menentukan derajat
(stage) menggunakan terminology CCT (clearance creatinin test) dengan rumus
stage 1 sampai stage 5. sedangkan CRF (cronic renal failure) hanya 3 stage.
Secara umum ditentukan klien datang dengan derajat 2 dan 3 atau datang dengan
terminal stage bila menggunakan istilah CRF.
1. Gagal ginjal kronik / Cronoic Renal Failure (CRF) dibagi 3 stadium :
a. Stadium I : Penurunan cadangan ginjal
1) Kreatinin serum dan kadar BUN normal
2) Asimptomatik
3) Tes beban kerja pada ginjal: pemekatan kemih, tes GFR
b. Stadium II : Insufisiensi ginjal
1) Kadar BUN meningkat (tergantung pada kadar protein dalam diet)
2) Kadar kreatinin serum meningkat
3) Nokturia dan poliuri (karena kegagalan pemekatan)
Ada 3 derajat insufisiensi ginjal:
1) Ringan
40% - 80% fungsi ginjal dalam keadaan normal
2) Sedang
15% - 40% fungsi ginjal normal
3) Kondisi berat
2% - 20% fungsi ginjal normal
c. Stadium III: gagal ginjal stadium akhir atau uremia
1) Kadar ureum dan kreatinin sangat meningkat
2) Ginjal sudah tidak dapat menjaga homeostasis cairan dan elektrolit
3) Air kemih/ urin isoosmotis dengan plasma, dengan BJ 1,010
2. KDOQI (Kidney Disease Outcome Quality Initiative) merekomendasikan
pembagian CKD berdasarkan stadium dari tingkat penurunan LFG (Laju
Filtrasi Glomerolus) :
a.Stadium 1 : kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminaria persisten dan
LFG yang masih normal ( > 90 ml / menit / 1,73 m2).
b.Stadium 2 : Kelainan ginjal dengan albuminaria persisten dan LFG antara
60 -89 mL/menit/1,73 m2).
c.Stadium 3 : kelainan ginjal dengan LFG antara 30-59 mL/menit/1,73m2).
d.Stadium 4 : kelainan ginjal dengan LFG antara 15-29mL/menit/1,73m2).
e.Stadium 5 : kelainan ginjal dengan LFG < 15 mL/menit/1,73m2 atau gagal
ginjal terminal.
5.Patofisiologi
Gagal ginjal kronik disebabkan oleh berbagai kondisi, salah satunya
adalah Hipertensi, yang menyebabkan GFR menurun.

Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya


diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan
mempengaruhi setiap system tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah
maka gejala akan semakin berat.

Hipertensi didefinisikan sebagai berikut :

2018 / ESC
 Tekanan darah Sistolik (TDS) ≥ 140 mmHg
 Tekanan darah Diastolik (TDS) ≥ 90 mmHg

(pengukuran tekaanan darah di klinik = office blood pressure

2018 / ACC
 Tekanan darah Sistolik (TDS) ≥ 140 mmHg
 Tekanan darah Diastolik (TDS) ≥ 80 mmHg

Akibat Hipertensi saast Hemodalisa

 Maningkatkan kejdian penyakit kardiovaskuler


- Infark Miokard Akut
- Stroke
- Kebutaan akut

Klasifikasi Hipertensi

1. Klasifikasi Hipertensi
Kategori Sistolik Diastolik
(mmHg) (mmHg)
Optimal < 120 < 80
Normal 120 – 129 80 – 84
Normaal Tinggi (High Normal) 130 – 139 85 – 89
Hipertensi derajat 1 140 – 159 90 – 99
Hipertensi derajat 2 160 – 179 100 – 109
Hipertensi derajat 3 ≥ 180 ≥ 110
Hipertensi Sistolik ≥140 < 90
(Isolated Systolic Hypertension)

2. Klasifikasi Hipertensi

Normal < 120 < 80


Meningkat 120 -129 < 80
Hipertensi
 Derajat 1 130 – 139 80 – 89
 Derajat 2 ≥140 ≥ 90

3. Klasifikasi Hipertensi [JNC8]


 < 60 tahun 140/90 mmHg mulai terapi
 DM & HT 140/90 mmHg mulai terapi
 ≥60 tahun 140/90 mmHg mulai terapi
ETIOLOGI : Penyebab utama GGK adalah diabetes dan
tekanan darah yang tinggi . Tekanan darah yang tinggi atau
hipertensi ,terjadi apabila tekanan darah pada pembuluh
darah meningkat dan jika tidak dirawat ,hipertensi bisa
menjadi pemicu utama kepada serangan jantung, stroke dan
gagal ginjal kronik. Gagal ginjal kronik juga bisa menjadi
penyebab hipertensi (NKF, 2018)

CKD dengan Hipertensi

B1(Breathing) B2 (Brain) B3 (Blood) B4 (Bladder) B5 (Bowel) B6 (Bone )

Tidak mampu Gangguan Sirkulasi Produksi Perfusi Ke ginjal Aliran darah ke usus Sekresi kalium
mengsekresikan eritropoetin
asam menurun Laju Filtrasi
Otak Peristaltik usus Hiperkalemia
Glomerular (GFR)
Asidosis Rentang hidup dari Disfungsi usus
Resistensi Pembuluh eritrosit memendek Reabsorbsi Na dan Gangguan Hantaran
darah otak meningkat H2O Distensi listrik jantung
Hiperventilasi
Anemia (Hb Turun )
Oliguria (produksi Replek mual muntah Disritmia
urin sedikit)
MK : Pola Nafas MK : Nyeri Akut
MK : Perfusi Suplai O2 ke jaringan
Tidak efektif Perifer Tidak menurun
Efektif MK : Resiko
MK : Kelebihan
ketidakseimbangan
Volume Cairan Kelemahan otot
nutrisi kurang dari
kebutuhan

MK : Intoleransi
Aktivitas
6.Manifestasi Klinis
Menurut (Muhammad, 2017:40), manifestasi klinis pada Gagal Ginjal
Kronik (Chronic Kidney Desease) yaitu sebagai berikut:
1. Gangguan pada Gastrointestinal
a. Anoreksia, mual/muntah akibat adanya gangguan metabolisme protein
dalam usus dan terbentuknya zat toksik.
b. Faktor uremik disebabkan oleh ureum yang berlebihan pada air liur yang
kemudian diubah menjadi ammonia oleh bakteri, sehingga napas penderita
berbau ammonia.
2. Sistem Kardiovaskular
a. Hipertensi.
b. Dada terasa nyeri dan sesak napas.
c. Gangguan irama jantung akibat sklerosis dini.
d. Edema
3. Gangguan Sistem Saraf dan Otak
a. Miopati, kelainan dan hipertrofi otot.
b. Ensepalopati metabolik, lemah, tidak bisa tidur, dan konsentrasi terganggu.
4. Gangguan Sistem Hematologi dan Kulit
a. Anemia karena kekurangan produksi eritropoetin.
b. Kulit pucat kekuningan akibat anemia dan penimbuann urokrom.
c. Gatal-gatal akibat toksik uremik.
d. Trombositopenia (penurunan kadar trombosit dalam darah).
e. Gangguan fungsi kulit (fagositosis dan kematosis berkurang)
f. Gangguan Sistem Endokrin:
g. Gangguan metabolisme glukosa retensi insulin dan gangguan sekresi
insulin.
h. Gangguan seksual/libido; fertilitas dan penurunan seksual pada laki-laki dan
gangguan sekresi imun.
5. Gangguan pada Sistem Lain
a. Tulang mengalami osteodistrofi renal.
b. Asidosis metabolik.
7.Komplikasi
Menurut (Corwin, 2019:730), komplikasi dari penyakit gagal ginjal kronik
adalah sebagai berikut :
1. Pada gagal ginjal progresif, terjadi beban volume, ketidakseimbangan
elektrolit, asidosis metabolik, azotemia, dan uremia.
2. Pada gagal ginjal stadium 5 (penyakit stadium akhir), terjadi azotemia dan
uremia berat. Asidosis metabolik memburuk, yang secara mencolok
merangsang kecepatan pernapasan.
3. Hipertensi, anemia, osteodistrofi, hiperkalemia, ensefalopati uremik, dan
pruritus (gatal) adalah komplikasi yang sering terjadi.
4. Penurunan pembentukan eriropoietin dapat menyebabkan sindrom anemia
kardiorenal, suatu trias anemia yang lama, penyakit kardiovaskular, dan
penyakit ginjal yang akhirnya menyebabkan peningkatan morbiditas dan
mortalitas.
8.Pemeriksaan Penunjang
 Radiologi : Untuk menilai keadaan ginjal dan derajat komplikasi ginjal
 Foto polos abdomen : Menilai bentuk dan besar ginjal serta adakah
batu/obstruksi lain
 Pielografi Intra Vena : Menilai sistem pelviokalises dan ureter, beresiko terjadi
penurunan faal ginjal pada usia lanjut, DM dan nefropati asam urat
 USG : Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenhim ginjal, anatomi sistem
pelviokalises dan ureter proksimal, kepadatan parenhim ginjal, anatomi sistem
pelviokalises dan ureter proksimal, kandung kemih serta prostat
 Renogram : Menilai fungsi ginjal kanan dan kiri, lokasi gangguan (vaskuler,
parenkhim) serta sisa fungsi ginjal
9.Penatalaksanaan Medis
1. Dialisis
Dialisis atau dikenal dengan nama cuci darah adalah suatu metode terpi
yang bertujuan untuk menggantikan fungsi/kerja ginjal yaitu membuang zat-zat
sisa dan kelebihan cairan dari tubuh. Terapi ini dilakukan apabila fungsi kerja
ginjal sudah sangat menurun (lebih dari 90%) sehingga tidak lagi mampu untuk
menjaga kelangsungan hidup individu, maka perlu dilakukan terapi. Selama ini
dikenal ada 2 jenis dialisis :
a. Hemodialisis (cuci darah dengan mesin dialiser
b. Dialisis peritoneal (cuci darah melalui perut)
2. Koreksi hiperkalemi
3. Koreksi anemia
4. Koreksi asidosis
5. Pengendalian hipertensi
6. Transplantasi ginjal
B.Konsep Dasar Hemodialisa
a. Pengertian
Hemodialisa adalah proses pembersihan darah oleh akumulasi sampah
buangan. Hemodialisis digunakan bagi pasien dengan tahap akhir gagal ginjal
atau pasien berpenyakit akut yang membutuhkan dialysis waktu singkat (DR.
Nursalam M. Nurs, 2019). Haemodialysis adalah pengeluaran zat sisa
metabolisme seperti ureum dan zat beracun lainnya, dengan mengalirkan darah
lewat alat dializer yang berisi membrane yang selektif-permeabel dimana melalui
membrane tersebut fusi zat-zat yang tidak dikehendaki terjadi. Haemodialysa
dilakukan pada keadaan gagal ginjal dan beberapa bentuk keracunan .Hemodialisa
adalah suatu prosedur dimana darah dikeluarkan dari tubuh penderita dan beredar
dalam sebuah mesin diluar tubuh yang disebut dialyzer. Prosedur ini memerlukan
jalan masuk ke aliran darah. Untuk memenuhi kebutuhan ini, maka dibuat suatu
hubungan buatan diantara arteri dan vena (fistula arteriovenosa) melalui
pembedahan.
b. Indikasi
1) Indikasi Segera
Koma, perikarditis, atau efusi pericardium, neuropati perifer, hiperkalemi,
hipertensi maligna, over hidrasi atau edema paru, oliguri berat atau anuria.
2) Indikasi Dini
a. Gejala uremia
Mual, muntah, perubahan mental, penyakit tulang, gangguan pertumbuhan
dan perkembangan seks dan perubahan kulitas hidup
b. Laboratorium abnormal
Asidosis, azotemia (kreatinin 8-12 mg %) dan Blood Urea Nitrogen
(BUN): 100 – 120 mg %, TKK : 5 ml/menit.
3) Frekuensi Hemodialisa
Frekuensi dialisa bervariasi, tergantung kepada banyaknya fungsi ginjal
yang tersisa, tetapi sebagian besar penderita menjalani dialisa sebanyak 3
kali/minggu. Program dialisa dikatakan berhasil jika:
a) penderita kembali menjalani hidup normal
b) penderita kembali menjalani diet yang normal
c) jumlah sel darah merah dapat ditoleransi
d) tekanan darah normal
e) tidak terdapat kerusakan saraf yang progresif.
c.Tujuan
1) Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang sisa-sisa
metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme
yang lain.
2) Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang
seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat.
3) Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi ginjal.
4) Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan yang lain.

d.Peralatan Haemodialisa
a. Arterial – Venouse Blood Line (AVBL)
AVBL terdiri dari :
- Arterial Blood Line (ABL)
Adalah tubing tubing/line plastic yang menghubungkan darah dari tubing
akses vaskular tubuh pasien menuju dialiser, disebut Inlet ditandai dengan
warna merah.
b. Venouse Blood Line
Adalah tubing/line plastic yang menghubungkan darah dari dialiser dengan
tubing akses vascular menuju tubuh pasien disebut outlet ditandai dengan
warna biru. Priming volume AVBL antara 100-500 ml. priming volume
adalah volume cairan yang diisikan pertama kali pada AVBL dan
kompartemen dialiser.Bagian-bagian dari AVBL dan kopartemen adalah
konektor, ujung runcing,segmen pump,tubing arterial/venouse
pressure,tubing udara,bubble trap,tubing infuse/transfuse set, port biru
obat ,port darah/merah herah heparin,tubing heparin dan ujung tumpul.
c. Dializer /ginjal buatan (artificial kidney)
Adalah suatu alat dimana proses dialisis terjadi terdiri dari 2
ruang/kompartemen,yaitu:
a) Kompartemen darah yaitu ruangan yang berisi darah
b) Kompartemen dialisat yaitu ruangan yang berisi dialisa
Kedua kompartemen dipisahkan oleh membran semipermiabel. Dialiser
mempunyai 4 lubang yaitu dua ujung untuk keluar masuk darah dan dua
samping untuk keluar masuk dialisat.
d. Air Water Treatment
Air dalam tindakan hemodialis dipakai sebagai pencampur dialisat peka
(diasol). Air ini dapat berasal dari berbagai sumber, seperti air PAM dan air
sumur, yang harus dimurnikan dulu dengan cara “water treatment” sehingga
memenuhi standar AAMI (Association for the Advancement of Medical
Instrument). Jumlah air yang dibutuhkan untuk satu session hemodilaisis
seorang pasien adalah sekitar 120 Liter.
e. Larutan Dialisat
Dialisat adalah larutan yang mengandung elektrolit dalam komposisi
tertentu. Dipasaran beredar dua macam dialisat yaitu dialisat asetat dan
dialisat bicarbonate. Dialisat asetat menurut komposisinya ada beberapa
macam yaitu : jenis standart, free potassium, low calsium dan lain-lain.
Bentuk bicarbonate ada yang powder, sehingga sebelum dipakai perlu
dilarutkan dalam air murni/air water treatment sebanyak 9,5 liter dan ada
yang bentuk cair (siap pakai).
f. Mesin Haemodialisis
Ada bermacam-macam mesin haemodilisis sesuai dengan merek nya.
Tetapi prinsipnya sama yaitu blood pump, system pengaturan larutan dilisat,
system pemantauan mesin terdiri dari blood circuit dan dillisat circuit dan
bebagai monitor sebagai deteksi adanya kesalahan. Dan komponen tambahan
seperti heparin pump, tombol bicarbonate, control ultrafiltrasi, program
ultrafiltrasi, kateter vena, blood volume monitor.
e.Proses Haemodialisa
Pada proses hemodialisa, darah dialirkan ke luar tubuh dan disaring di
dalam ginjal buatan (dialyzer). Darah yang telah disaring kemudian dialirkan
kembali ke dalam tubuh. Rata – rata manusia mempunyai sekitar 5,6 s/d 6,8 liter
darah, dan selama proses hemodialisa hanya sekitar 0,5 liter yang berada di luar
tubuh. Untuk proses hemodialisa dibutuhkan pintu masuk atau akses agar darah
dari tubuh dapat keluar dan disaring oleh dialyzer kemudian kembali ke dalam
tubuh. Terdapat 3 jenis akses yaitu arteriovenous (AV) fistula, AV graft dan
central venous catheter. AV fistula adalah akses vaskular yang paling
direkomendasikan karena cenderung lebih aman dan juga nyaman untuk pasien.
Sebelum melakukan proses hemodialisa (HD), perawat akan memeriksa tanda –
tanda vital pasien untuk memastikan apakah pasien layak untuk menjalani
Hemodialysis. Selain itu pasien melakukan timbang badan untuk menentukan
jumlah cairan didalam tubuh yang harus dibuang pada saat terapi. Langkah
berikutnya adalah menghubungkan pasien ke mesin cuci darah dengan memasang
blod line (selang darah) dan jarum ke akses vaskular pasien, yaitu akses untuk
jalan keluar darah ke dialyzer dan akses untuk jalan masuk darah ke dalam tubuh.
Setelah semua terpasang maka proses terapi hemodialisa dapat dimulai. Pada
proses hemodialisa, darah sebenarnya tidak mengalir melalui mesin HD,
melainkan hanya melalui selang darah dan dialyzer. Mesin HD sendiri merupakan
perpaduan dari komputer dan pompa, dimana mesin HD mempunyai fungsi untuk
mengatur dan memonitor aliran darah, tekanan darah, dan memberikan informasi
jumlah cairan yang dikeluarkan serta informasi vital lainnya. Mesin HD juga
mengatur cairan dialisat yang masuk ke dialyzer, dimana cairan tersebut
membantu mengumpulkan racun – racun dari darah. Pompa yang ada dalam
mesin HD berfungsi untuk mengalirkan darah dari tubuh ke dialyzer dan
mengembalikan kembali ke dalam tubuh.
f.Komplikasi Haemodialisa
a) Kram otot
Kram otot pada umumnya terjadi pada separuh waktu berjalannya
hemodialisa sampai mendekati waktu berakhirnya hemodialisa. Kram otot
seringkali terjadi pada ultrafiltrasi (penarikan cairan) yang cepat dengan
volume yang tinggi.
b) Hipotensi
Terjadinya hipotensi dimungkinkan karena pemakaian dialisat asetat,
rendahnya dialisat natrium, penyakit jantung aterosklerotik, neuropati
otonomik, dan kelebihan tambahan berat cairan.
c) Aitmia
Hipoksia, hipotensi, penghentian obat antiaritmia selama dialisa, penurunan
kalsium, magnesium, kalium, dan bikarbonat serum yang cepat berpengaruh
terhadap aritmia pada pasien hemodialisa.
d) Sindrom ketidakseimbangan dialisa
Sindrom ketidakseimbangan dialisa dipercaya secara primer dapat
diakibatkan dari osmol-osmol lain dari otak dan bersihan urea yang kurang
cepat dibandingkan dari darah, yang mengakibatkan suatu gradien osmotik
diantara kompartemen-kompartemen ini. Gradien osmotik ini menyebabkan
perpindahan air ke dalam otak yang menyebabkan oedem serebri. Sindrom ini
tidak lazim dan biasanya terjadi pada pasien yang menjalani hemodialisa
pertama dengan azotemia berat.
e) Hipoksemia
Hipoksemia selama hemodialisa merupakan hal penting yang perlu dimonitor
pada pasien yang mengalami gangguan fungsi kardiopulmonar.
f) Perdarahan
Uremia menyebabkan ganguan fungsi trombosit. Fungsi trombosit dapat
dinilai dengan mengukur waktu perdarahan. Penggunaan heparin selama
hemodialisa juga merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan.
g) Gangguan pencernaan
Gangguan pencernaan yang sering terjadi adalah mual dan muntah yang
disebabkan karena hipoglikemia. Gangguan pencernaan sering disertai
dengan sakit kepala.
h) Pembekuan darah
Pembekuan darah disebabkan karena dosis pemberian heparin yang tidak kuat
ataupun kecepatan putaran darah yang lambat.
C.Konsep Dasar Hipertensi
a). Pengertian
Hipertensi dicirikan dengan peningkatan tekanan darah diastolik dan sistolik
yang intermiten atau menetap.Pengukuran tekanan darah serial 150/95 mmHg
atau lebih tinggi pada orang yang berusia diatas 50 tahun memastikan hipertensi.
Insiden hipertensi meningkat seiring bertambahnya usia (Nugroho, 2016).
Hipertensi atau darah tinggi adalah penyakit kelainan jantung dan pembuluh
darah yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah. WHO (World Health
Organization) memberikan batasan tekanan darah normal adalah 140/90 mmHg,
dan tekanan darah sama atau diatas 160/95 mmHg dinyatakan sebagai hipertensi.
Batasan ini tidak membedakan antara usia dan jenis kelamin (Marliani, 2017).
Hipertensi dapat didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana
tekanan sistoliknya di atas 140 mmHg dan diastolik di atas 90 mmHg.Pada
populasi lansia, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan
tekanan diastolik 90 mmHg (Gardner Samuel, 2018).
b).Klasifikasi
Hipertensi pada usia lanjut dibedakan atas (Darmojo, 2015):
1. Hipertensi dimana tekanan sistolik sama atau lebih besar dari 140 mmHg dan /
atau tekanan diastolik sama atau lebih besar dari 90 mmHg.
2. Hipertensi sistolik terisolasi dimana tekanan sistolik lebih besar dari 160
mmHg dan tekanan diastolik lebih rendah dari 90 mmHg.
Tekanan sistolik Tekanan
Tigkat (mmHg) diastolik (mmHg) Jadwal kontrol

Tingkat I 140-159 90-99 1 bulan sekali


Tingkat II 160-179 100-109 1 minggu sekali
Tingkat III 180-209 110-119 Dirawat RS
Tingkat IV 210 satau lebih 120 atau lebih

c).Etiologi
Penyebab hipertensi pada orang dengan lanjut usia menurut Triyanto (2017)
adalah terjadinya perubahan-perubahan pada :
1. Elastisitas dinding aorta menurun
2. Katub jantung menebal dan menjadi kaku
3. Kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun sesudah
berumur 20 tahun kemampuan jantung memompa darah menurun
menyebabkan menurunnya kontraksi dan volumenya.
4. Kehilangan elastisitas pembuluh darah Hal ini terjadi karena kurangnya
efektifitas pembuluh darah perifer untuk oksigenasi
D.Konsep Manajemen Asuhan Keperawatan
1.Pengkajian
1. B1 (Breathing)
Pemeriksaan fisik pada sistem pernapasan sangat mendukung untuk
mengetahui masalah pada klien dengan gangguan sistem kardiovaskuler.
Pemeriksaan ini meliputi :
Inspeksi bentuk dada :
- Untuk melihat seberapa berat gangguan sistem kardiovaskuler. Bentuk
dada yang biasa ditemukan adalah
- Bentuk dada thoraks phfisis (panjang dan gepeng)
- Bentuk dada thoraks en bateau (thoraks dada burung)
- Bentuk dada thoraks emsisematous (dada berbentuk seperti tong)
- Bentuk dada thoraks pektus ekskavatus (dada cekung ke dalam)
- Gerakan pernapasan : kaji kesimetrisan gerakan pernapasan klien
2. B2 (Blood)
- Irama jantung : Frekuensi ..x/m, reguler atau irreguler
- Distensi Vena Jugularis
- Tekanan Darah : Hipotensi dapat terjadi akibat dari penggunaan
ventilator
- Bunyi jantung : Dihasilkan oleh aktifitas katup jantung
S1 : Terdengar saat kontraksi jantung / sistol ventrikel. Terjadi akibat
penutupan katup mitral dan trikuspid.
S2 : Terdengar saat akhir kotraksi ventrikel. Terjadi akibat penutupan
katup pulmonal dan katup aorta. Dikenal dengan ventrikuler gallop,
manandakan adanya dilatasi ventrikel.
Murmur : terdengar akibat adanya arus turbulansi darah. Biasanya
terdengar pada pasien gangguan katup atau CHF.
- Pengisian kapiler : normal kurang dari 3 detik
- Nadi perifer : ada / tidak dan kualitasnya harus diperiksa. Aritmia dapat
terjadi akibat adanya hipoksia miokardial.
- PMI (Point of Maximal Impuls): Diameter normal 2 cm, pada
interkostal ke lima kiri pada garis midklavikula. Pergeseran lokasi
menunjukan adanya pembesaran ventrikel pasien hipoksemia kronis.
- Edema : Dikaji lokasi dan derajatnya.
3. B3 (Brain)
Penurunan tingkat kesadaran pada pasien dengan respirator dapat terjadi
akibat penurunan PCO2 yang menyebabkan vasokontriksi cerebral.
Akibatnya akan menurunkan sirkulasi cerebral.
Untuk menilai tingkat kesadaran dapat digunakan suatu skala pengkuran
yang disebut dengan Glasgow Coma Scale (GCS).
GCS memungkinkan untuk menilai secara obyektif respon pasien terhadap
lingkungan. Komponen yang dinilai adalah : Respon terbaik buka mata,
respon motorik, dan respon verbal. Nilai kesadaran pasien adalah jumlah
nilai-nilai dari ketiga komponen tersebut.
Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan respon seseorang
terhadap rangsangan dari lingkungan, tingkat kesadaran dibedakan menjadi :
- Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya,
dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya..
- Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan
sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.
- Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu),
memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal.
- Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon
psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih
bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu
memberi jawaban verbal.
- Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada
respon terhadap nyeri.
- Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon
terhadap rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek
muntah, mungkin juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya).
Perubahan tingkat kesadaran dapat diakibatkan dari berbagai faktor,
termasuk perubahan dalam lingkungan kimia otak seperti keracunan,
kekurangan oksigen karena berkurangnya aliran darah ke otak, dan tekanan
berlebihan di dalam rongga tulang kepala.
4. B4 (Bladder)
- Urine : warna, jumlah, dan karakteristik urine, termasuk berat jenis
urine.
- Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi cairan dapat terjadi
akibat menurunnya perfusi pada ginjal.
5. B5 (Bowel)
Rongga mulut Penilaian pada mulut adalah ada tidaknya lesi pada mulut
atau perubahan pada lidah dapat menunjukan adanya dehidarsi.
a. Bising usus
Ada atau tidaknya dan kualitas bising usus harus dikaji sebelum
melakukan palpasi abdomen. Bising usus dapat terjadi pada paralitik
ileus dan peritonitis. Lakukan observasi bising usus selama ± 2 menit.
Penurunan motilitas usus dapat terjadi akibat tertelannya udara yang
berasal dari sekitar selang endotrakeal dan nasotrakeal
b. Distensi abdomen
Dapat disebabkan oleh penumpukan cairan. Asites dapat diketahui
dengan memeriksa adanya gelombang air pada abdomen. Distensi
abdomen dapat juga terjadi akibat perdarahan yang disebabkan karena
penggunaan IPPV. Penyebab lain perdarahan saluran cerna pada pasien
dengan respirator adalah stres, hipersekresi gaster, penggunaan steroid
yang berlebihan, kurangnya terapi antasid, dan kurangnya pemasukan
makanan.
c. Nyeri
d. Dapat menunjukan adanya perdarahan gastriintestinal
e. Pengeluaran dari NGT : jumlah dan warnanya
f. Mual dan muntah
6. B6 (Bone)
- Warna kulit, suhu, kelembaban, dan turgor kulit.
Adanya perubahan warna kulit; warna kebiruan menunjukan
adanya sianosis (ujung kuku, ekstremitas, telinga, hidung, bibir dan
membran mukosa). Pucat pada wajah dan membran mukosa dapat
berhubungan dengan rendahnya kadar haemoglobin atau shok. Pucat,
sianosis pada pasien yang menggunakan ventilator dapat terjadi akibat
adanya hipoksemia. Jaundice (warna kuning) pada pasien yang
menggunakan respirator dapat terjadi akibatpenurunan aliran darah portal
akibat dari penggunaan FRC dalam jangka waktu lama.
Pada pasien dengan kulit gelap, perubahan warna tersebut tidak
begitu jelas terlihat. Warna kemerahan pada kulit dapat menunjukan
adanya demam, infeksi. Pada pasien yang menggunkan ventilator, infeksi
dapat terjadi akibat gangguan pembersihan jalan napas dan suktion yang
tidak steril.
- Integritas kulit
Perlu dikaji adanya lesi, dan dekubitus
2. Diagnosa Keperawatan
1. Pola Nafas Tidak Efektif
2. Nyeri Akut
3. Perfusi Perifer Tidak Efektif
4. Kelebihan Volume Cairan
5. Resiko Ketidakseimbangan Nutrisi Dari Kebutuhan
6. IntoleransiAktivitas
3 Intervensi keperawatan

No Diagnosa Keperawatan Intervensi


1 Pola Nafas Tidak Efektif Manajemen jalan napas (I.01011)
Observasi :
1. Monitor pola napas
2. Monitor bunyi napas
3. Monitor sputum
Terapeutik
1. Pertahankan kepatenan jalan napas
2. Posisikan semi-fowler
3. Berikan minum hangat
4. Lakukan fisioterafi dada
5. Lakukan penghisapan lendir
6. Lakukan hiperoksigenasi
7. Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep
8. Berikan oksigen jika perlu
Edukasi
1. Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari
2. Ajarkan Teknik batuk efektif
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian Bronkodilator
2 Nyeri Akut Manajemen Nyeri (I.08238)
Observasi
1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
2. Identifikasi skala nyeri
3. Identifikasi respons nyeri non verbal
4. Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
5. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
6. Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
7. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
8. Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah
9. Diberikan
10. Monitor efek samping penggunaan analgetik
3 Perfusi Perifer Tidak Perawatan Sirkulasi (I.02079)
Efektif 1. Observasi
 Periksa sirkulasi perifer(mis. Nadi perifer, edema, pengisian kalpiler, warna, suhu,
angkle brachial index)
 Identifikasi faktor resiko gangguan sirkulasi (mis. Diabetes, perokok, orang tua,
hipertensi dan kadar kolesterol tinggi)
 Monitor panas, kemerahan, nyeri, atau bengkak pada ekstremitas
2. Terapeutik
 Hindari pemasangan infus atau pengambilan darah di area keterbatasan perfusi
 Hindari pengukuran tekanan darah pada ekstremitas pada keterbatasan perfusi
 Hindari penekanan dan pemasangan torniquet pada area yang cidera
 Lakukan pencegahan infeksi
 Lakukan perawatan kaki dan kuku
 Lakukan hidrasi
3. Edukasi

1. Anjurkan berhenti merokok


2. Anjurkan berolahraga rutin
3. Anjurkan mengecek air mandi untuk menghindari kulit terbakar
4. Anjurkan menggunakan obat penurun tekanan darah, antikoagulan, dan penurun
kolesterol, jika perlu
5. Anjurkan minum obat pengontrol tekakan darah secara teratur
6. Anjurkan menghindari penggunaan obat penyekat beta
7. Ajurkan melahkukan perawatan kulit yang tepat(mis. Melembabkan kulit kering pada
kaki)
8. Anjurkan program rehabilitasi vaskuler
9. Anjurkan program diet untuk memperbaiki sirkulasi( mis. Rendah lemak jenuh,
minyak ikan, omega3)

10. Informasikan tanda dan gejala darurat yang harus dilaporkan( mis. Rasa sakit
yang tidak hilang saat istirahat, luka tidak sembuh, hilangnya rasa)
4 Kelebihan Volume Cairan Manajemen Hipervolemia (I.03020)
Observasi:
1. Pemeriksaan tanda dan gejala hipervolemia (mis. Ortopnea, dyspnea, edema, JVP/CVP
meningkat, reflek hepatojegular positif, suara napas tambahan)
2. Identifikasi penyebab hipervolemia
3. Monitor status hemodinamik(mis. Frekuensi jantung, tekanan darah, MAP,CVP, PAP, PCWP,
CO, CI), jika tersedia
4. Monitor intake dan output cairan
5. Monitor tanda hemokonsentrasi (mis. Kadar natrium, BUN, hematocrit, berat jenis urine)
6. Monitor tanda peningkatan tekanan onkotik plasma (mis.Kadar protein dan albumin meningkat)
7. Monitor kecepatan infus secaraKetat
8. Monitor efek samping deuretik (mis. Hipotensi ortostatik, hivopolemia,
hypokalemia,hyponatremia)
Terapeutik
1. Timbang berat badan setiap hari pada waktu yang sama
2. Batasi asupan cairan dan garam
3. Tinggikan kepala tempat tidur 30-400
Edukasi
1. Anjurkan melapor jika haluaran urin <0,5 Ml/kg/jam dalam 6 jam
2. Anjurkan melapor jika BB bertambah >1 kg dalam sehari
5 Resiko Manajemen Nutrisi (I. 03119)
Ketidakseimbangan Observasi
1. Identifikasi status nutrisi
Nutrisi dari Kebutuhan
2. Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
3. Identifikasi makanan yang disukai
4. Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrient
5. Monitor asupan makanan
6. Monitor berat badan
7. Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
Terapeutik
1. Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu
2. Fasilitasi menentukan pedoman diet (mis. Piramida makanan)
3. Berikan makan tinggi serat untuk mencegah konstipasi
4. Hentikan pemberian makan melalui selang nasogastrik jika asupan oral dapat
ditoleransi
Edukasi
1. Anjurkan posisi duduk, jika mampu
2. Ajarkan diet yang diprogramkan
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan (mis. Pereda nyeri, antiemetik),
jika perlu
2. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan jenis nutrient
yang dibutuhkan, jika perlu
6 Intoleransi Aktivitas Manajemen Energi (I.05178)
1. Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkankelelahan
2. Monitor kelelahan fisik dan emosional
3. Lakukan latihan rentang gerak pasif dan/atau aktif
4. Anjurkan tirah baring
5. Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan asupan makanan
4. Implementasi
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
perawat untuk membantu klien dari masalah tatus kesehatan yang dihadapi
kestatus kesehatan yang baik yang menggambarkan kriteria hasil yang
diharapkan. Perawat melakukan tindakan implementasi terapeutik terhadap klien
yang bermasalah kesejajar tubuh dan mobilisasi yang akatual maupaun beresiko.
5.Evaluasi
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan
yang menandakan seberapa jauh diagnose keperawatan, rencana tindakan, dan
pelaksanaanya sudah berhasi dicapai. Perawat melakuakn evaluasi pada pasien.
1.1 Pengertian Nutrisi
Nutrisi adalah ikatan kimia yang diperlukan tubuh untuk melakukan
fungsinya, yaitu energi, membangun dan memelihara jaringan, serta mengatur
proses-proses kehidupan (Soenarjo, 2020). Menurut Rock CL (2014),
Nutrisi adalah proses dimana tubuh manusia menggunakan makanan untuk
membentuk energi, mempertahankan kesehatan, pertumbuhan dan untuk
berlangsungnya fungsi normal setiap organ baik antara asupan nutrisi dengan
kebutuhan nutrisi. Sedangkam menurut Supariasa (2018), nutrisi adalah suatu
proses organisme menggunakan makanan yang dikonsumsi secara normal melalui
proses degesti, absorbsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran
zat-zat yang tidak digunakan untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan,
dan fungsi normal dari organ-organ, serta menghasilkan energi.
DAFTAR PUSTAKA

Amalia, A., & Tjiptaningrum, A. (2018). Diagnosis dan Tatalaksana Anemia


Defisiensi Besi Diagnosis and Management of Iron Deficiency Anemia. Majority,
5, 166–169.

Anam, A., & Sahrudi. (2019). DISFUNGSI SEKSUAL PADA PASIEN GAGAL
GINJAL KRONIS Sexual Disfunction in Chronic Kidney Failure. Jurnal Surya
Medika, 3(1).

Harahap, S. (2018). Faktor-Faktor Risiko Kejadian Gagal Ginjal Kronik (Ggk) Di


Ruang Hemodialisa (Hd) Rsup H. Adam Malik Medan. Jurnal Online
Keperawatan Indonesia, 1(1), 92–109. http://e-journal.sari
mutiara.ac.id/index.php/Keperawatan/article/download/374/353#:~:text=Terdapat
beberapa faktor risiko yang,lupus eritematosus sistemik%2C keracunan obat%2C

Kemenkes. (2018). Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Pada


Remaa Putri dan Wanita Usia Subur (WUS) (Vol. 148). Kementrian Kesehatan.

Noviyanty, Y., Bengkulu, F. A., Kesehatan, A., & Bangsa, H. (2021). Oceana
Biomedicina Journal. 4(1), 38–52.

Romandani, Q. F., & Rahmawati, T. (2020). Hubungan Pengetahuan Anemia


dengan Kebiasaan Makan pada Remaja Putri di SMPN 237 Jakarta. Jurnal
Persatuan Perawat Nasional Indonesia (JPPNI), 4(3), 193.
https://doi.org/10.32419/jppni.v4i3.192

Wulandari, O., & Widayati, D. (2020). Pemberdayaan Keluarga Dalam


Menurunkan Tingkat Kecemasan Pasien Ggk Dengan Hemodialisa. Care :
Jurnal Ilmiah Ilmu Kesehatan, 8(3), 326. https://doi.org/10.33366/jc.v8i3.1806

Anda mungkin juga menyukai