Anda di halaman 1dari 58

ASKEP GANGGUAN PELIHATAN PADA LANSIA

Diajukan Sebagai :
Tugas Mata Keperawatan Gerontik
Dosen Pengampu : Lutiyah M.Kep

Disusun Oleh :

Kelompok 3

1. Risha Justisia S 2232325001


2. Neng Intan 2232325004

S1 KEPERAWATAN
FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KOTA SUKABUMI
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat allah S.W.T karena atas berkat rahmat serta
kehendak-Nya lah kami dapat menyusun dan menyelesaikan makalah ini. Dalam menyelesaikan makalah ini,
banyak kesulitan yang kita hadapi. Namun berkat bimbingan dari dosen Keperawatan Gerontik yaitu ibu
Lutiyah M.Kep. Makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya, karena nya kami mengangkat tema
“Askep Gangguan Pelihatan Padan Lansia” Pada makalah ini untuk memenuhi tugas Keperawatan Gerontik.
Kami menyadari, sebagai mahasiswa yang pengetahuan nya belum seberapa dan masih perlu banyak
belajar dalam penulisan makalah, makalah ini masih banyak memiliki kekurangan dan jauh dari sempurna.
Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang positif agar makalah ini menjadi
lebih baik dan berguna di masa yang akan datang. Harapan kami, semoga makalah yang sederhana ini dapat
bermanfaat dan berguna bagi para pembaca ke depannya.
Akhirnya penulis mengucapkan terimakasih atas segala dukungan, arahan, bimbingan, dan bantuan

dari pihak-pihak terkait sehingga makalah ini dapat tersusun dengan baik.

Sukabumi, 20 November 2023

Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.........................................................................................1
1.2 Tujuan Penulisan..........................................................................................2
1.3 Manfaat Penulisan........................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Konsep Katarak ........................................................................................3
2.2 Konsep Lansia..............................................................................................6
2.3 Konsep Asuhan Keperawatan ...............................................................16
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan............................................................................................31
3.2 Saran........................................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Lansia merupakan bagian dari anggota keluarga dan anggota masyarakat yang semakin bertambah jumlahnya
sejalan dengan peningkatan usia harapan hidup. Di Indonesia jumlah penduduk lanjut usia (lansia) mengalami
peningkatan secara cepat setiap tahunnya, sehingga Indonesia diperkirakan akan mengalami “elderly population boom”
pada 2 dekade awal abad ke-21 sebagai dampak dari baby boom pada beberapa puluh tahun yang lalu. BPS
memproyeksikan pada tahun 2045 Indonesia akan memiliki sekitar 63,31 juta lansia atau hampir mencapai 20 persen
populasi. Bahkan, proyeksi PBB juga menyebutkan bahwa persentase lansia Indonesia akan mencapai 25 persen pada
tahun 2050 atau sekitar 74 juta lansia. Penuaan penduduk ini terlihat sebagai hasil dari berhasilnya program yang telah
dicanangkan seperti program peningkatan nutrisi, kesehatan, perumahan, KB, air minum bersih dan sanitasi yang
secara signifikan mencegah kematian pada anak.

Berdasarkan data proyeksi yang dikeluarkan BPS, diperkirakan pada tahun 2045 lansia Indonesia akan
meningkat sebesar 2,5 kali lipat dibandingkan lansia tahun 2018. Pada 2045 nanti berdasarkan prediksi ini dapat
dikatakan bahwa hampir seperlima penduduk Indonesia adalah lansia. Angka ini begitu besar jika disandingkan dengan
prediksi 2 jumlah balita yang hanya sekitar 22 juta jiwa atau 6,88 persen dari total populasi. (Amannullah, 2018)

Meningkatnya populasi dari penduduk lansia dapat membawa begitu banyak dampak dalam kehidupan. Hal
utama yang memiliki dampak besar pada meningkatnya lansia yaitu tingkat ketergantungan lansia. Ketergantungan
yang sering di rasakan lansia disebabkan oleh kemunduran fisik maupun psikis,untuk tingkat kemandirian lansia akan
terlihat saat melakukan aktivitas sehari-hari. Imobilitas fisik yang kurang juga mengakibatkan masalah yang
diakibatkan dari berbagai masalah seperti fisik, psikologis dan lingkungan yang dirasakan lansia.

Dampak dari imobilitas juga bisa mengakibatkan komplikasi hampir semua sistem organ tubuh. Sedangkan
kesehatan mental seorang lansia tampak jelas saat tidak mampu melakukan aktivitas sehari hari(Malida, 2011).
Perubahan fisik yang terlihat jelas pada lansia meliputi perubahan dari tingkat sel sampai ke semua sistem organ tubuh,
diantaranya sistem pernapasan, pendengaran, penglihatan, kardiovaskular, sistem pengaturan tubuh, musculoskeletal,
gastrointestinal, urogenital, endokrin dan integument.

Keseluruhan perubahan fisik diatas, ada salah satu yang semakin sering terjadi pada populasi yang menua
adalah gangguan penglihatan (Mubarak, Chayatin & Santoso, 2011).
Penurunan penglihatan pada lanjut usia umumnya adalah penglihatan yang menurun akibat kelainan atau
gangguan pada mata. Gangguan penglihatan dan kebutaan masih menjadi masalah kesehatan yang dihadapi 3 oleh
masyarakat di dunia dan di Indonesia.

Seiring meningkatnya usia harapan hidup maka prevalensi gangguan penglihatan ini akan cenderung semakin
meningkat (Depkes, 2012). Ini di buktikan dengan pravelensi yang tinggi pada orang tua yang mengalami gangguan
penglihatan sekitar 15% untuk yang berusia 65 tahun dan untuk yang orang yang lebih tua mencapai 30% pada usia 75
tahun keatas. Timbulnya gangguan penglihatan di kemudian dapat mengubah kebiasaan hidup yang memiliki berbagai
konsekuensi. Misalnya, orang tua dengan gangguan penglihatan lebih membatasi intensitas bergabung dengan rekan-
rekan mereka, menyebabkan interaksi sosial berkurang(Renaud & Bédard, 2013).

Penurunan penglihatan merupakan keluhan yang besar bagi lanjut usia, sebab persepsi terhadap lingkungan
berhubungan dengan rasa aman. Ketidakmampuan dalam menanggapi isyarat fungsi penglihatan inilah yang
menyebabkan kesalahan dalam menangkap respon sensorik yang akan mengakibatkan kesulitan dalam memahami
lingkungan geografis, bahaya, dan rangsang bergerak(Källstrand,2016).

Berkaitan juga status fungsional seseorang untuk menilai kapasitas kemampuan yang masih dirasakan oleh
individu itu sendiri sebagai contohnya melakukan kegiatan tertentu seperti membaca, berpakaian, atau berjalan, dapat
memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup sehat dan beranggapan bahwa dirinya masih memiliki peran di kehidupan
sosialnya(Renaud & Bédard, 2013).

Dapat disimpulkan bahwa beban kehilangan penglihatan memiliki banyak konsekuensi dari fungsional untuk
sosial dan psikologis yang bisa menyebabkan depresi. Gejala depresi mempengaruhi sekitar sepertiga dari orang tua
dengan gangguan penglihatan yang berdampak pada kualitas hidup orang tua atau lanjut usia (Renaud & Bédard,
2013).

Beberapa penelitian menemukan keterkaitan antara penurunan kualitas hidup dengan penyakit penyebab
kebutaan dan gangguan penglihatan. Katarak, Glaucoma,AMD, Kelainan refraksi, dan etinopati diabetikum telah
banyak diteliti berkaitan dengan kualitas hidup para penderitanya. Dengan menggunakan instrumen yang sesuai
misalnya, pada pasien glaukoma akan tampak gangguan kualitas hidup terkait penglihatannya dalam hal tajam
penglihatan dekat, lapang pandangan, dan sensitivitas kontras.

Aspek kualitas hidup pada pasien dengan AMD yang terganggu adalah general vision, dan kesulitan dalam
melakukan pekerjaan yang memerlukan penglihatan dekat dan jauh.(Asroruddin, 2013) Masalah yang muncul inilah
yang menarik bidang keperawatan untuk memberikan asuhan keperawatan yang dikhususkan untuk perawatan pada
lansia. Ilmu keperawatan ini dinamakan gerontik, dari zaman dahulu sampai sekarang Peran dari seorang perawat
dalam keperawatan gerontik pun masih kurang diketahui.

Hal tersebut terjadi karena seorang perawat yang akan melakukan intervensi dengan sasaran lansia masih kurang
diketahui karena peminat ilmu gerontik belum sebanyak bidang keperawatan yang lain. Penurunan minat pada
keperawatan gerontik inilah yang menarik minat peneliti untuk bagaimana jika perawat mata yang ada di klinik Eyes
Center bisa berkolaborasi dengan perawat gerontik untuk mengatasi gangguan penglihatan pada lansia yang bertujuan
mengurangi angka kesakitan lansia karena proses penyakit.

Berpatokan pada hasil penelitian menggunakan VFQ25 (Visual Function Quesioner-25) yang memiliki beberapa
domain meliputi : Kesehatan Umum, Kesehatan Mata, Nyeri Mata, Aktivitas Dekat, Aktivitas Jauh, Fungsi Sosial,
Kesehatan Mental, Kesulitan Peran, Ketergantungan, Penglihatan Warna, dan Penglihatan Perifer. Cukup besarnya
masalah tersebut dibuktikan dengan Estimasi jumlah orang dengan gangguan penglihatan di seluruh dunia pada tahun
2010 adalah 285 juta orang atau 4,24% populasi, sebesar 0,58% atau 39 juta orang menderita kebutaan dan 3,65% atau
246 juta orang mengalami low vision. 65% orang dengan gangguan penglihatan dan 82% dari penyandang kebutaan
berusia 50 tahun atau lebih(WHO, 2012).

Diharapkan kedepannya program ini bisa membantu pemerintah dalam sistem pemerataan pengobatan pada
penderita gangguan penglihatan dengan operasi katarak gratis bagi lansia. Hasil studi pendahuluan menemukan
beberapa lansia mengalami gangguan fungsi penglihatan akibat faktor usia,akan tetapi sebagian lain mengalami
gangguan fungsi penglihatan dikarenakan penyakit pada mata yaitu katarak dan mata kering . Kurangnya kesadaran
lansia dalam pengetahuan tentang penyakit mata yang diderita menyebabkan keparahan pada penyakitnya dan
menyebabkan terganggunya fungsi penglihatan dari jumlah populasi lansia yang ada di rumah pelayanan sosial lanjut
usia pucang gading sekitar 115 orang yang terdiri dari 30 lansia yang masih sehat dan 85 lansia yang tidak bisa
melakukan aktifitas sendiri (total care).

Penurunan penglihatan pada lanjut usia umumnya adalah penglihatan yang menurun akibat kelainan
atau gangguan pada mata. Gangguan penglihatan dan kebutaan masih menjadi masalah kesehatan yang
dihadapi oleh masyarakat di dunia dan di Indonesia. Seiring meningkatnya usia harapan hidup maka
prevalensi gangguan penglihatan ini akan cenderung semakin meningkat (Depkes, 2012).
Menurut Data Badan Kesehatan Dunia (WHO, 2012) saat ini terdapat 285.389 juta orang menderita
gangguan penglihatan, 39.365 juta diantaranya mengalami kebutaan. Sembilan puluh persen penderitanya
berada di negara berkembang. Menurut data Riskesdas Depkes RI (2013) prevalensi nasional masalah
penglihatan pada lanjut usia (65-75 tahun) tahun 2013 yaitu 1.204.711 orang yang mengalami penurunan
penglihatan.
Proses penuaan merupakan proses yang terus menerus (berlanjut) secara alamiah, proses tersebut akan
memberi dampak pada kemunduran fisik dan psikologis (Kozier, 2004). Perubahan- perubahan fisik tersebut
meliputi perubahan dari tingkat sel sampai ke semua sistem organ tubuh, diantaranya sistem pernapasan,
pendengaran, penglihatan, kardiovaskular, sistem pengaturan tubuh, musculoskeletal, gastrointestinal,
urogenital, endokrin dan integument (Mubarak, Chayatin & Santoso, 2011, p.151).
Seiring dengan pertambahan usia, banyak lanjut usia mempunyai masalah dengan fungsi fisiologis
tubuhnya. Salah satunya perubahan sensoris yang ditandai dengan masalah penglihatan yaitu penurunan
penglihatan yang terjadi seiring proses penuaan. Masalah penglihatan merupakan faktor yang turut berperan
dalam perubahan gaya hidup yang bergerak ke arah ketergantungan yang lebih besar. Perubahan ini akan
memberikan dampak terhadap kemandirian lanjut usia dalam melakukan aktivitasnya (Stanley, 2006).
Gangguan penglihatan masih menjadi sebuah masalah di dunia. Angka kejadian gangguan penglihatan di
dunia cukup tinggi yakni mencakup 4,25 % dari penduduk dunia atau sekitar 285 juta orang yang mana 86%
diantaranya mengalami gangguan penglihatan lemah dan 14% sisanya mengalami kebutaan. Gangguan penglihatan itu
disebabkan berbagai macam penyakit seperti gangguan refraktif yang tidak terkoreksi (42%), katarak (33%), glaukoma
(2%), trakoma (1%), diabetes retinopati (1%), penyebab lain (18%).
Indonesia memiliki angka kebutaan tertinggi di wilayah Asia Tenggara. Hasil survey kesehatan indera
penglihatan tahun 1993 –1996 menunjukkan angka kebutaan 1,5 % dengan penyebab utama katarak (0,78%),
glaukoma (0,20%), kelainan refraksi (0,14%), dan penyakit –penyakit lain yang berhubungan dengan lanjut usia
(0,38%) (Kemenkes, 2005).Dari data tersebut dapat diketahui bahwa di Indonesia katarak sebagai penyebab utama
kebutaan.
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka penulis tertarik untuk mengambil
studi kasus “Askep Gangguan Pelihatan Padan Lansia “

1.1. Tujuan Penulisan Studi Kasus


1.1.1 Tujuan umum
Penulis mampu menerapkan asuhan keperawatan pada Lansia dengan
masalah gangguan penglihatan di sesuai dengan proses keperawatan
1.1.2 Tujuan khusus
1) Melaksanakan pengkajian asuhan keperawatan pada Lansia dengan
gangguan penglihatan.
2) Menetapkan/merumuskan diagnosa asuhan keperawatan pada Lansia
dengan masalah gangguan penglihatan
3) Menyusun rencana asuhan keperawatan pada Lansia dengan gangguan
penglihatan
4) Mengimplementasikan asuhan keperawatan pada Lansia dengan defisit
pengetahuan
5) Mengevaluasi asuhan keperawatan pada Lansia dengan gangguan
penglihatan
1.2. Manfaat penulisan
1. Bagi Lansia
Agar asuhan keperawatan yang diberikan kepada lansia dapat bermanfaat untuk
kebutuhan lansia terpenuhi.
2. Bagi Perawat Gerontik.
Dapat mengenal asuhan keperawatan lansia dan dapat menerapkan asuhan
keperawatan dengan baik,

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. PENGERTIAN
1. Lanjut Usia
Manusia lanjut usia adalah orang yang usianya mengalami perubahan biologi, fisik, kejiwaan, dan
social. Perubahan ini akan berpengaruh terhadap aspek kehidupannya termasuk kesehatannya. Oleh
karena itu kesehatan lanjut usia perlu mendapatkan perhatian khusus dan tetap terpelihara serta
ditingkatkan agar selama kemampuannya dapat ikut serta berperan aktif dalam pembangunan (Depkes
RI, 2006).
Menua (menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan lahan kemampuan
jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga
tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Constantinides 1994).

2.2.1. Batasan Lansia


1. WHO (1999) menjelaskan batasan lansia adalah sebagai berikut .
a) Usia lanjut (elderly) antara usia 60-74 tahun,
b) Usia tua (old) :75-90 tahun, dan
c) Usia sangat tua (very old) adalah usia> 90 tahun.
2. Depkes RI (2005) dibagi tiga kategori,
a) Usia lanjut presenilis yaitu antara usia 45-59 tahun,

b) Usia lanjut yaitu usia 60 tahun ke atas,


c) Usia lanjut beresiko yaitu usia 70 tahun ke atas atau usia 60 tahun ke
atas dengan masalah kesehatan.

3. Batasan Usia lansia era baru,menurut WHO


a) Setengah baya : 66- 79 tahun,

b) Orang tua : 80- 99 tahun,

c) Orang tua berusia panjang

2.2.2. Ciri-ciri Lansia


1. Lansia merupakan periode kemunduran.
Kemunduran pada lansia sebagian datang dari faktor fisik dan faktor
psikologis.Motivasi memiliki peran yang penting dalam kemunduran pada
lansia. Misalnya lansia yang memiliki motivasi yang
rendah dalam melakukan kegiatan, maka akan mempercepat proses kemunduran
fisik, akan tetapi ada juga lansia yang memiliki motivasi yang tinggi, maka
kemunduran fisik pada lansia akan lebih lama terjadi.
2. Lansia memiliki status kelompok minoritas.
Kondisi ini sebagai akibat dari sikap sosial yang tidak menyenangkan
terhadap lansia dan diperkuat oleh pendapat yang kurang baik, misalnya lansia
yang lebih senang mempertahankan pendapatnya maka sikap sosial di
masyarakat menjadi negatif, tetapi ada juga lansia yang mempunyai tenggang
rasa kepada orang lain sehingga sikap sosial masyarakat menjadi positif.
3. Menua membutuhkan perubahan peran.
Perubahan peran tersebut dilakukan karena lansia mulai mengalami
kemunduran dalam segala hal.Perubahan peran pada lansia sebaiknya dilakukan
atas dasar keinginan sendiri bukan atas dasar tekanan dari lingkungan.Misalnya
lansia menduduki jabatan sosial di masyarakat sebagai Ketua RW, sebaiknya
masyarakat tidak memberhentikan lansia sebagai ketua RW karena usianya.
4. Penyesuaian yang buruk pada lansia.
Perlakuan yang buruk terhadap lansia membuat mereka cenderung
mengembangkan konsep diri yang buruk sehingga dapat memperlihatkan bentuk
perilaku yang buruk.Akibat dari perlakuan yang buruk itu membuat penyesuaian
diri lansia menjadi buruk pula.Contoh : lansia yang tinggal bersama keluarga
sering tidak dilibatkan untuk pengambilan keputusan karena dianggap pola
pikirnya kuno, kondisi inilah yang menyebabkan lansia menarik diri dari
lingkungan, cepat tersinggung dan bahkan memiliki harga diri yang rendah.
2.2.3. Perkembangan Lansia
Usia lanjut merupakan usia yang mendekati akhir siklus kehidupan manusia di
dunia. Tahap ini dimulai dari 60 tahun sampai akhir kehidupan. Lansia merupakan
istilah tahap akhir dari proses penuaan. Semua orang akan mengalami proses menjadi
tua (tahap penuaan). Masa tua merupakan masa hidup manusia yang terakhir, dimana
pada masa ini seseorang mengalami kemunduran fisik, mental dan sosial sedikit demi
sedikit sehingga tidak dapat melakukan tugasnya sehari-hari lagi (tahap penurunan).
Penuaan merupakan perubahan kumulatif pada makhluk hidup, termasuk
tubuh, jaringan dan sel, yang mengalami penurunan kapasitas fungsional.Pada
manusia, penuaan dihubungkan dengan perubahan degeneratif pada kulit, tulang,
jantung, pembuluh darah, paru-paru, saraf dan jaringan tubuh lainnya.
Dengan kemampuan regeneratif yang terbatas, mereka lebih rentan terhadap
berbagai penyakit, sindroma dan kesakitan dibandingkan dengan orang dewasa lain.
Untuk menjelaskan penurunan pada tahap ini, terdapat berbagai perbedaan teori,
namun para ahli pada umumnya sepakat bahwa proses ini lebih banyak ditemukan
pada faktor genetik.
2.2.4. Teori proses menua
1. Teori – teori biologi
a) Teori genetik dan mutasi (somatic mutatie theory)
Menurut teori ini menua telah terprogram secara genetik untuk spesies –
spesies tertentu. Menua terjadi sebagai akibat dari perubahan biokimia yang
diprogram oleh molekul – molekul / DNA dan setiap sel pada saatnya akan
mengalami mutasi. Sebagai contoh yang khas adalah mutasi dari sel – sel
kelamin (terjadi penurunan kemampuan fungsional sel)
b) Pemakaian dan rusak
Kelebihan usaha dan stres menyebabkan sel – sel tubuh lelah (rusak)
c) Reaksi dari kekebalan sendiri (auto immune theory)
Di dalam proses metabolisme tubuh, suatu saat diproduksi suatu zat khusus.
Ada jaringan tubuh tertentu yang tidak tahan terhadap zat tersebut sehingga
jaringan tubuh menjadi lemah dan sakit.
d) Teori“immunology slow virus” (immunology slow virus theory) Sistem
immune menjadi efektif dengan bertambahnya usia dan
masuknya virus kedalam tubuh dapat menyebabkan kerusakan
organ tubuh.
e) Teori stress
Menua terjadi akibat hilangnya sel-sel yang biasa digunakan
tubuh.Regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan kestabilan
lingkungan internal, kelebihan usaha dan stres menyebabkan sel-sel tubuh
lelah terpakai.
f) Teori radikal bebas
Radikal bebas dapat terbentuk dialam bebas, tidak stabilnya radikal bebas
(kelompok atom) mengakibatkan osksidasi oksigen bahan-bahan organik
seperti karbohidrat dan protein.Radikal bebas ini dapat menyebabkan sel-sel
tidak dapat regenerasi.
g) Teori rantai silang
Sel-sel yang tua atau usang , reaksi kimianya menyebabkan ikatan yang kuat,
khususnya jaringan kolagen. Ikatan ini menyebabkan kurangnya elastis,
kekacauan dan hilangnya fungsi.
h) Teori program
Kemampuan organisme untuk menetapkan jumlah sel yang membelah
setelah sel-sel tersebut mati.
2. Teori kejiwaan sosial
a) Aktivitas atau kegiatan (activity theory)
Lansia mengalami penurunan jumlah kegiatan yang dapat
dilakukannya.Teori ini menyatakan bahwa lansia yang sukses adalah mereka
yang aktif dan ikut banyak dalam kegiatan sosial.
b) Ukuran optimum (pola hidup) dilanjutkan pada cara hidup dari lansia.
Mempertahankan hubungan antara sistem sosial dan individu agar
tetap stabil dari usia pertengahan ke lanjut usia
c) Kepribadian berlanjut (continuity theory)
Dasar kepribadian atau tingkah laku tidak berubah pada lansia.Teori ini
merupakan gabungan dari teori diatas.Pada teori ini menyatakan bahwa
perubahan yang terjadi pada seseorang yang lansia sangat dipengaruhi oleh
tipe personality yang dimiliki.
d) Teori pembebasan (disengagement theory)
Teori ini menyatakan bahwa dengan bertambahnya usia, seseorang secara
berangsur-angsur mulai melepaskan diri dari kehidupan sosialnya. Keadaan
ini mengakibatkan interaksi sosial lanjut usia menurun, baik secara kualitas
maupun kuantitas sehingga sering terjadi kehilangan ganda (triple loss),
seperti’ Kehilangan peran, Hambatan kontak sosial dan Berkurangnya
kontak komitmen
2.2.5. Faktor Yang Mempengaruhi Ketuaan
Penuaan dapat terjadi secara fisiologis dan patologi. bila seseorang
mengalami penuaan fisiologis (fisiological aging), diharapkan mereka dapat tua
dalam keadaan sehat. Penuaan ini sesuai dengan kronologis usia dipengaruhi oleh
faktor endogen. Perubahan ini dimulai dari sel jaringan organ sistem pada
tubuh.Sedangkan faktor lain yang juga berpengaruh pada proses penuaan adalah
faktor eksogen seperti lingkungan, sosial budaya, dan gaya hidup. Mungkin pula
terjadi perubahan degeneratif yang timbul karena stress yang dialami individu.
(Azizah & Lilik, 2011). Yang termasuk faktor lingkungan antara lain pencemaran
lingkungan akibat kendaraan bermotor, pabrik, bahan kimia, bising, kondisi
lingkungan yang tidak bersih, kebiasaan
menggunakan obat dan jamu tanpa kontrol, radiasi sinar matahari, makanan
berbahan kimia, infeksi virus, bakteri dan mikroorganisme lain. Faktor
endogen meliputi genetik, organik dan imunitas. Faktor organik yang dapat
ditemui adalah penurunan hormone pertumbuhan, penurunan hormon
testosteron, peningkatan prolaktin, penurunan melatonin, perubahan folicel
stimulating hormon dan luteinizing hormone (Stanley & beare, 2007).
Menurut Wahyudi Nugroho (2008), faktor yang mempengaruhi penuaan adalah
hereditas (keturunan), nutrisi/makanan, status kesehatann, pengalaman hidup,
lingkungan dan stress.
2.2.6. Perubahan Yang Terjadi Pada Lansia
Semakin bertambahnya umur manusia, terjadi proses penuaan secara
degeneratif yang akan berdampak pada perubahan-perubahan pada diri manusia,
tidak hanya perubahan fisik, tetapi juga kognitif, perasaan, sosial dan sexual (Azizah
dan Lilik M, 2011,)
1. Perubahan Fisik
a) Sistem Indra
Sistem pendengaran; Prebiakusis (gangguan pada pendengaran) oleh karena
hilangnya kemampuan pendengaran pada telinga dalam, terutama terhadap
bunyi suara atau nada-nada yang tinggi, suara yang tidak jelas, sulit
dimengerti kata-kata, 50% terjadi pada usia diatas 60 tahun.
b) Sistem Intergumen
Pada lansia kulit mengalami atropi, kendur, tidak elastis kering dan berkerut.
Kulit akan kekurangan cairan sehingga menjadi tipis dan berbercak.
Kekeringan kulit disebabkan atropi glandula sebasea dan glandula sudoritera,
timbul pigmen berwarna coklat pada kulit dikenal dengan liver spot.
c) Sistem Muskuloskeletal
Perubahan sistem muskuloskeletal pada lansia: Jaaringan penghubung
(kolagen dan elastin), kartilago, tulang, otot dan sendi. Kolagen sebagai
pendukung utama kulit, tendon, tulang, kartilago dan jaringan pengikat
mengalami perubahan menjadi bentangan yang tidak teratur. Kartilago:
jaringan kartilago pada persendian menjadi lunak dan mengalami granulasi,
sehingga permukaan sendi menjadi rata. Kemampuan kartilago untuk
regenerasi berkurang dan degenerasi yang terjadi cenderung kearah progresif,
konsekuensinya kartilago pada persendiaan menjadi rentan terhadap gesekan.
Tulang: berkurangnya kepadatan tulang setelah diamati adalah bagian dari
penuaan fisiologi, sehingga akan mengakibatkan osteoporosis dan lebih
lanjut akan mengakibatkan nyeri, deformitas dan fraktur. Otot: perubahan
struktur otot pada penuaan sangat bervariasi, penurunan jumlah dan ukuran
serabut otot, peningkatan jaringan penghubung dan jaringan lemak pada otot
mengakibatkan efek negatif. Sendi; pada lansia, jaringan ikat sekitar sendi
seperti tendon, ligament dan fasia mengalami penuaan elastisitas.
d) Sistem kardiovaskuler
Perubahan pada sistem kardiovaskuler pada lansia adalah massa jantung
bertambah, ventrikel kiri mengalami hipertropi sehingga peregangan jantung
berkurang, kondisi ini terjadi karena perubahan jaringan ikat. Perubahan ini
disebabkan oleh penumpukan lipofusin, klasifikasi SA Node dan jaringan
konduksi berubah menjadi jaringan ikat.
e) Sistem respirasi
Pada proses penuaan terjadi perubahan jaringan ikat paru, kapasitas total paru
tetap tetapi volume cadangan paru bertambah untuk mengkompensasi
kenaikan ruang paru, udara yang mengalir ke paru
berkurang. Perubahan pada otot, kartilago dan sendi torak mengakibatkan
gerakan pernapasan terganggu dan kemampuan peregangan toraks
berkurang.
f) Pencernaan dan Metabolisme
Perubahan yang terjadi pada sistem pencernaan, seperti penurunan produksi
sebagai kemunduran fungsi yang nyata karena kehilangan gigi, indra
pengecap menurun, rasa lapar menurun (kepekaan rasa lapar menurun), liver
(hati) makin mengecil dan menurunnya tempat penyimpanan, dan
berkurangnya aliran darah
g) Sistem perkemihan
Pada system perkemihan terjadi perubahan yang signifikan.Banyak fungsi
yang mengalami kemunduran, contohnya laju filtrasi, ekskresi, dan
reabsorpsi oleh ginjal.
h) Sistem saraf
Sistem susunan saraf mengalami perubahan anatomi dan atropi yang
progresif pada serabut saraf lansia.Lansia mengalami penurunan koordinasi
dan kemampuan dalam melakukan aktifitas sehari-hari.
i) Sistem reproduksi
Perubahan sistem reproduksi lansia ditandai dengan menciutnya ovary dan
uterus.Terjadi atropi payudara.Pada laki-laki testis masih dapat memproduksi
spermatozoa, meskipun adanya penurunan secara berangsur-angsur.
2. Perubahan Kognitif
Memory (Daya ingat, Ingatan), IQ (Intellegent Quotient), Kemampuan Belajar
(Learning), Kemampuan Pemahaman (Comprehension), Pemecahan Masalah
(Problem Solving), Pengambilan Keputusan (Decision Making), Kebijaksanaan
(Wisdom), Kinerja (Performance), Motivasi
3. Perubahan mental
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental : Pertama-tama perubahan
fisik, khususnya organ perasa, Kesehatan umum, Tingkat pendidikan, keturunan
(hereditas), lingkungan, gangguan syaraf panca indera, timbul kebutaan dan
ketulian, gangguan konsep diri akibat kehilangan kehilangan jabatan, rangkaian
dari kehilangan , yaitu kehilangan hubungan dengan teman dan famili,
hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik, perubahan terhadap gambaran diri.
4. Perubahan konse diri.
Agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam kehidupannya. Lansia
semakin matang (mature) dalam kehidupan keagamaan, hal ini terlihat dalam
berfikir dan bertindak sehari-hari.
5. Perubahan Psikososial
a. Kesepian
Terjadi pada saat pasangan hidup atau teman dekat meninggal terutama jika
lansia mengalami penurunan kesehatan, seperti menderita penyakit fisik
berat, gangguan mobilitas atau gangguan sensorik terutama pendengaran.
b. Duka cita (Bereavement)
Meninggalnya pasangan hidup, teman dekat, atau bahkan hewan kesayangan
dapat meruntuhkan pertahanan jiwa yang telah rapuh pada lansia.Hal tersebut
dapat memicu terjadinya gangguan fisik dan kesehatan.
c. Depresi
Duka cita yang berlanjut akan menimbulkan perasaan kosong, lalu diikuti
dengan keinginan untuk menangis yang berlanjut menjadi suatu episode
depresi. Depresi juga dapat disebabkan karena stres lingkungan dan
menurunnya kemampuan adaptasi.
: fobia, panik, gangguan cemas umum,
d. Gangg gangguan stress setelah trauma dan
uan
cemas gangguan obsesif kompulsif, gangguan-
gangguan tersebut merupakan kelanjutan
D
dari dewasa muda dan berhubungan dengan
i
sekunder akibat penyakit medis, depresi,
b
efek samping obat, atau gejala penghentian
a
mendadak dari suatu obat.
g
i e. Parafrenia
Suatu bentuk skizofrenia pada lansia,

d ditandai dengan waham (curiga), lansia

a sering merasa tetangganya mencuri barang-

l barangnya atau berniat

a membunuhnya.Biasanya terjadi pada lansia

m yang terisolasi/diisolasi atau menarik diri


dari kegiatan sosial.

b f. Sindroma Diogenes
e Suatu kelainan dimana lansia menunjukkan
b penampilan perilaku sangat
e mengganggu.Rumah atau kamar kotor dan
r bau karena lansia bermain-main dengan
a feses dan urin nya, sering menumpuk
p barang dengan tidak teratur.
a
2. Gangguan Penglihatan
g Gangguan penglihatan adalah kondisi yang ditandai dengan
o penurunan tajam penglihatan ataupun menurunnya luas lapangan
l
pandang, yang dapat mengakibatkan kebutaan (Quigley dan
o
Broman,2006).
n
g
a
n
1. Organ luar
a. Bulu mata berfungsi menyaring cahaya yang akan diterima.
b. Alis mata berfungsi menahan keringat agar tidak masuk ke bola
mata.
B. ANATOMI MATA c. Kelopak mata berfungsi untuk menutupi dan melindungi mata.
2. Organ dalam
a. Kornea
Merupakan bagian terluar dari bola mata yang menerima cahaya
dari sumber cahaya.
b. Pupil dan Iris.
Dari kornea, cahaya akan diteruskan ke pupil. Pupil menentukan
kuantitas cahaya yang masuk ke bagian mata yang lebih dalam.
Pupil mata akan melebar jika kondisi ruangan yang gelap, dan
akan menyempit jika kondisi ruangan terang. Lebar pupil
dipengaruhi oleh iris di sekelilingnya.Iris berfungsi sebagai
diafragma. Iris inilah terlihat sebagai bagian yang berwarna pada
mata.
c. Lensa mata
Mata adalah organ
Lensa mata menerima cahaya dari pupil dan meneruskannya pada
sensorik yang
retina. Fungsi lensa mata adalah mengatur fokus cahaya, sehingga
mentrasmisikan
cahaya jatuh tepat pada bintik kuning retina. Untuk melihat objek
rangsang melalui jaras
yang jauh (cahaya datang dari jauh), lensa mata akan menipis.
pada otak ke lobus
Sedangkan untuk melihat objek yang dekat (cahaya datang dari
oksipital dimana rasa
dekat), lensa mata akan menebal.
penglihatan ini
d. Retina
diterima. Sesuai
Retina adalah bagian mata yang paling peka terhadap cahaya,
dengan proses penuaan
khususnya bagian retina yang disebut bintik kuning. Setelah retina,
yang terjadi tentunya
cahaya diteruskan ke saraf optik.
banyak perubahan yang
e. Saraf optik
terjadi.
Saraf yang memasuki sel tali dan kerucut dalam retina, untuk
Bagian – bagian mata :
menuju ke otak.
h. Perlambatan proses informasi dari sistem saraf pusat
2. Perubahan Fisiologis
a. Penurunan penglihatan jarak dekat
C. PERUBAHAN PADA b. Penurunan koordinasi gerak bola mata
SISTEM c. Distorsi bayangan
PENGLIHATAN d. Pandangan biru- merah
LANSIA e. Compromised night vision
Perubahan sistem indera f. Penurunan ketajaman mengenali warna hijau, biru dan ungu
pada penuaan meliputi: g. Kesulitan mengenali benda yang bergerak
1. Perubahan morfologis
a. Penurunan D. MACAM – MACAM GANGGUAN PENGLIHATAN PADA LANSIA
jaringan lemak Pada lansia, gangguan penglihatan yang sering menyerang antara lain :
sekitar mata 1. Hyperopia (rabun dekat)
b. Penurunan Adalah kondisi penglihatan yang umum dimana kita dapat melihat
elastisitas dan benda – benda yang jauh dengan jelas namun benda – benda di
tonus jaringan dekatnya mungkin buram. Rabun dekat lebih sering terjadi pada orang
c. Penurunan yang berusia di atas 40 tahun.
kekuatan otot mata 2. Presbiopi (mata tua)
d. Penurunan Disebabkan karena daya akomodasi lensa mata tidak bekerja dengan
ketajaman kornea baik, akibatnya lensa mata tidak dapat memfokuskan cahaya ke titik
e. Degenerasi pada kuning dengan tepat, sehingga mata tidak bisa melihat yang jauh
sklera, pupil, dan maupun dekat. Presbiopi berhubungan erat dengan usia, prevalensinya
iris berhubungan langsung dengan orang – orang di atas usia 40 tahun.
f. Peningkatan 3. Degenerasi macula (AMD)
frekuensi proses Adalah suatu keadaan dimana macula mengalami kemunduran
terjadinya penyakit sehingga terjadi penurunan ketajaman penglihatan dan kemungkinan
g. Peninglkatan akan menyebabkan hilangnya fungsi penglihatan sentral.
densitas dan 4. Glaukoma
rigiditas lensa terjadi penumpukan cairan di bagian depan mata. Cairan tersebut
meningkatkan tekanan intra okuler yang merusak saraf optic. Paling
rentan terjadi pada orang – orang di atas 40 tahun.
5. Katarak adalah 10-20 mmHg. Jika hasil pemeriksaan tekanan bola mata lebih
Katarak merupakan dari 20, maka kita patut curiga terhadap adanya glaukoma. Apabila hasil
keadaan dimana menunjukkan angka lebih dari 25, maka dipastikan orang tersebut
terjadi kekeruhan terkena glaukoma.
pada serabut atau 2. Etiologi
bahanlensa didalam Faktor yang beresiko menyebabkan terjadinya glaucoma adalah:
kapsul lensa. a. Umur
Umumnya terjadi Risiko glaukoma bertambah tinggi dengan bertambahnya usia.
akibat proses Terdapat 2% dari populasi usia 40 tahun yang terkena glaukoma.
penuaan yang terjadi Angka ini akan bertambah dengan bertambahnya usia.
pada semua orang b. Riwayat anggota keluarga yang terkena glaucoma
yang berusia lebih Untuk glaukoma jenis tertentu, anggota keluarga penderita
dari 65 tahun. glaukoma mempunyai resiko 6 kali lebih besar untuk terkena
(Muttaqin, 2009). glaukoma. Resiko terbesar adalah kakak-beradik kemudian
hubungan orang tua dan anak-anak.
E. KONSEP TEORI c. Tekanan bola mata
GLAUKOMA Tekanan bola mata diatas 21 mmHg berisiko tinggi terkena
1. Pengertian glaukoma. Meskipun untuk sebagian individu, tekanan bola mata
Glaukoma adalah yang lebih rendah sudah dapat merusak saraf optik. .
suatu penyakit
dimana tekanan di 3. Klasifikasi
dalam bola mata Ada beberapa tipe glaukoma dan dapat di klasifikasikan sebagai berikut :
meningkat, sehingga a. Glaukoma Primer Dewasa, meliputi:
terjadi kerusakan 1) Glaukoma Sudut Terbuka / Kronis
pada saraf optikus 2) Glaukoma Sudut Tertutup
dan menyebabkan b. Glaukoma Sekunder
penurunan fungsi c. Glaukoma Kongenital
penglihatan. d. Glaukoma Absolut
(Anonim,2009).
Normalnya, 4. Tanda dan gejala
tekanan intraokular a. Sakit kepala tumpul di pagi hari
b. Rasa sakit yang kelopak mata pasien yang tertutup menggunakan ujung jari; bola mata
ringan pada mata menahan tekanan tersebut.
c. Kehilangan
penglihatan perifer 5. Pemeriksaan diagnostik
(penglihatan a. Tonometri
menyempit) b. Pemeriksaan slit lamp
d. Melihat lingkaran c. Gonioskopi
cahaya disekitar d. Oftalmoskopi
cahaya e. Perimetrik
e. Penurunan f. Fotografi fundus
ketajaman
penglihatan 6. Penatalaksanaan
(khususnya pada a. Pemberian obat – obatan (tetes mata Beta blocker, Pilocarpine,
malam hari) yang epinephrine, dipivephrine dan carbacol, acetazolamide)
tidak dapat b. Terapi laser (Laser iridotomy, Laser trabeculoplasty, Laser
dikoreksi dengan cilioablation)
kacamata. c. Pembedahan (Trabeculectomy, Viscocanalostomy)
f.Inflamasi mata
unilateral A. KONSEP TEORI KATARAK
g. Kornea berkabut Katarak adalah suatu keadaan dimana lensa mata yang biasanya
h. Pupil berdilatasi
jernih dan bening menjadi keruh. Asal kata katarak dari kata Yunani
sedang yang tidak
cataracta yang berarti air terjun. Hal ini disebabkan karena pasien katarak
bereaksi terhadap
cahaya seakan-akan melihat sesuatu seperti tertutup oleh air terjun di depan

i. Peningkatan matanya (Ilyas, 2013). Katarak adalah opasitas lensa kristalina yang
tekanan
normalnya jernih. Biasanya terjadi akibat proses penuaan, tapi dapat timbul
intraokuler,
pada saat kelahiran (katarak kongenital). Dapat juga berhubungan dengan
diketahui dengan
cara membuat trauma mata tajam maupun tumpul, penggunaan kortikosteroid jangka

tekanan yang panjang, penyakit sistemis, pemajanan radiasi, pemajanan sinar matahari
lembut pada yang lama, atau kelainan mata yang lain (seperti uveitis anterior) (Budiono,
2019). BAB II
Berdasarkan TINJAUAN PUSTAKA

beberapa pengertian

diatas, jadi dapat

disimpulkan, katarak

adalah kekeruhan

lensa yang normalnya

transparan dan dilalui

cahaya ke retina, yang

dapat disebabkan oleh

berbagai hal sehingga

terjadi kerusakan

penglihatan.

2.1.1 Pengertian
2.1.2 Etiologi
Penyebab utama katarak adalah proses penuaan. Faktor-faktor yang dapat
memicu timbulnya penyakit katarak, diantaranya adalah sebagai berikut: Penyakit
sistemik seperti peradangan dan metabolik, misalnya diabetes melitus, dislpidemia.
Kekurangan vitamin A, B1, B2 dan C. Riwayat keluarga dengan katarak, Penyakit
infeksi atau cedera mata terdahulu, Pembedahan mata, Pemakaian obat-obatan tertentu
(kortikosteroid) dalam jangka panjang , Faktor lingkungan, seperti trauma, penyinaran,
dan sinar ultraviolet. Efek dari merokok dan alkohol (Gin Djing, 2006 dan Ilyas, 2006)

2.1.3 Jenis-jenis katarak


1) Katarak kortikalis
Pada awal pembentukan katarak kortikalis, terjadi perubahan komposisi ion
pada korteks lensa sehingga menyebabkan perubahan hidrasi. Perubahan hidrasi ini
akan menghasilkan celah dengan pola radiasi di sekitar daerah ekuator dan lama
kelamaan akan timbul kekeruhan di kortek lensa. Pengaruhnya pada fungsi
penglihatan tergantung pada kedekatan opasitas dengan aksis visual.Gejala awalnya
biasanya adalah penderita merasa silau saat mencoba memfokuskan pandangan pada
suatu sumber cahaya di malam hari. Selain itu diplopia monokular juga dapat
dikeluhkan penderita.
Pemeriksaan menggunakan biomikroskop slitlamp akan mendapatkan gambaran
vakuola dan seperti celah air disebabkan degenerasi serabut lensa, serta pemisahan
lamela korteks anterior atau posterior oleh air. Gambaran Cortical-spokes seperti baji
terlihat di perifer lensa dengan ujungnya mengarah ke sentral, kekeruhan ini tampak
gelap apabila dilihat menggunakan retroiluminasi. (American Academy Of
Ophthalmology 2011-2012)
2) Katarak nuklearis
Jenis katarak ini biasanya berkembang lambat dan terjadi bilateral,
meskipun bisa asimetris.Gejala yang paling menonjol dari katarak jenis ini adalah
kabur melihat jauh daripada melihat dekat.Katarak jenis ini sedikit berwarna
kekuningan dan menyebabkan kekeruhan di sentral. (Vaughan, 2008; American
Academy of Ophthalmology, 2013)
3) Katarak subkapsularis posterior
Katarak tipe ini terletak pada lapisan korteks posterior dan biasanya selalu
aksial. Pada tahap awal biasanya katarak subkapsularis posterior ini masih terlihat
halus pada pemeriksaan slit lamp di lapisan korteks posterior., tetapi pada tahap
lebih lanjut terlihat kekeruhan granular dan seperti plak pada korteks subkapsular
posterior. Gejala yang timbul dapat berupa silau, diplopia monokular dan lebih
kabur melihat dekat dibandingkan melihat jauh. (American Academy Of
Ophthalmology 2011-2012)
2.1.4 Penatalaksanaan (menurut ilyas (2006)
1) Intra Capsular Cataract Extraction (ICCE)
Merupakan tekhnik bedah yang digunakan sebelum adanya bedah katarak
ekstrakapsular.Seluruh lensa bersama dengan pembungkus atau kapsulnya
dikeluarkan. Diperlukan sayatan yang cukup luas dan jahitan yang banyak (14-
15mm). Prosedur tersebut relatif beresiko tinggi disebabkan oleh insisi yang
lebar dan tekanan pada badan vitreus. Metode ini sekarang sudah ditinggalkan.
Kerugian tindakan ini antara lain, angka kejadian Cystoid macular edemA dan
retinal detachment setelah operasi lebih tinggi, insisi
yang sangat lebar dan astigmatisma yang tinggi. Resiko
kehilangan vitreus selama operasi sangat besar.
2) Ekstra Capsular Cataract Extraction (ECCE)
Merupakan tekhnik operasi katarak dengan melakukan
pengangkatan nukleus lensa dan korteks melalui
pembukaan kapsul anterior yang lebar 9-10mm, dan
meninggalkan kapsul posterior.
3) Small Incision Cataract Surgery (SICS)
Pada tekhnik ini insisi dilakukan di sklera sekitar 5.5mm –
7.0mm. Keuntungan insisi pada sklera kedap air sehingga
membuat katup dan isi bola mata tidak prolaps keluar.Dan
karena insisi yang dibuat ukurannya lebih kecil dan lebih
posterior, kurvatura kornea hanya sedikit berubah.
4) Phacoemulsification
Merupakan salah satu tekhnik ekstraksi katarak
ekstrakapsuler yang berbeda dengan ekstraksi katarak
ekstrakapsular standar (dengan ekspresi dan pengangkatan
nukleus yang lebar).Sedangkan fakoemulsifikasi
menggunakan insisi kecil, fragmentasi nukleus secara
ultrasonik dan aspirasi korteks lensa dengan menggunakan
alat fakoemulsifikasi. Secara teori operasi katarak dengan
fakoemulsifikasi mengalami perkembangan yang cepat dan
telah mencapai taraf bedah refraktif oleh karena mempunyai
beberapa kelebihan yaitu rehabilitasi visus yang cepat,
komplikasi setelah operasi yang ringan, astigmatisma akibat
operasi yang minimal dan penyembuhan luka yang cepat.

1. Penatalaksanaan katarak

Sampai saat ini belum ditemukan obat yang dapat mencegah katarak. Beberapa

penelitian sedang dilakukan untuk memperlambat proses bertambah keruhnya lensa untuk

menjadi katarak (Budiono, 2019). Meski telah banyak usaha yang dilakukan untuk

memperlambat progresifitas atau mencegah terjadinya katarak, tatalaksana masih dengan

pembedahan. Menentukan waktu katarak dapat dibedah ditentukan oleh keadaan tajam

penglihatan dan bukan oleh hasil


pemeriksaan. Tajam penglihatan dikaitkan dengan tugas sehari-hari penderita. Digunakan

nama insipien, imatur, matur, dan hipermatur didasarkan atas kemungkinan terjadinya

penyulit yang dapat terjadi (Ilyas, 2013).

Terapi farmakologi hingga saat ini belum ditemukan obat-obatan yang terbukti

mampu memperlambat atau menghilangkan katarak. Beberapa agen yang diduga dapat

memperlambat pertumbuhan katarak adalah penurun sorbitol, aspirin, dan vitamin C,

namun belum ada bukti yang signifikan mengenai hal tersebut. Operasi katarak terdiri

dari pengangkatan sebagian besar lensa dan penggantian lensa dengan implant plastik.

Saat ini pembedahan semakin banyak dilakukan dengan anestesi lokal daripada anestesi

umum. Anestesi lokal diinfiltrasikan di sekitar bola mata dan kelopak mata atau diberikan

secara topikal. Operasi dilakukan dengan insisi luas pada perifer kornea atau sklera

anterior, diikuti oleh ekstraksi (lensa diangkat dari mata). Insisi harus dijahit. Likuifikasi

lensa menggunakan probe ultrasonografi yang dimasukkan melalui insisi yang lebih kecil

dari kornea atau sklera anterior (phacoemulsifikasi) (Eva & Whitcher, 2013).

B. Konsep Dasar Ansietas pada Pasien Pre Operasi Katarak

1. Pengertian

Menurut Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI), Ansietas merupakan

kondisi emosi dan pengalaman subyektif individu terhadap objek yang tidak jelas dan

spesifik akibat antisipasi bahaya yang memungkinkan individu melakukan tindakan untuk

menghadapi ancaman (PPNI, 2016). Kecemasan atau ansietas adalah perasaan tidak

tenang, perasaan takut, khawatir dan gelisah (Hawari, 2013). Kecemasan adalah

keadaan emosi tanpa objek tertentu. Kecemasan dipicu oleh hal yang tidak

diketahui dan menyertai semua


pengalaman baru, seperti masuk sekolah, memulai pekerjaan baru atau melahirkan anak

(Stuart, 2013).

2. Penyebab kecemasan

Menurut Stuart (2013) terdapat tiga faktor penyebab terjadinya ansietas,

yaitu:

a. Faktor biologis/fisiologis.

Berupa ancaman yang mengancam akan kebutuhan sehari-hari seperti kekurangan

makanan, minuman, perlindungan dan keamanan. Otak mengandung reseptor khusus

untuk benzodiazepine, obat-obatan yang meningkatkan neuroregulator inhibisi asam

gama-aminobutirat (GABA), yang berperan penting dalam mekanisme terjadinya

ansietas. Selain itu riwayat keluarga mengalami ansietas memiliki efek sebagai faktor

predisposisi ansietas.

b. Faktor psikososial, yaitu ancaman terhadap konsep diri, kehilangan benda/ orang

berharga, dan perubahan status sosial/ ekonomi.

c. Faktor perkembangan, ancaman yang menghadapi sesuai usia perkembangan,

yaitu masa bayi, masa remaja dan masa dewasa.

Selain tiga hal di atas, individu yang menderita penyakit kronik seperti diabetes

melitus, kanker, penyakit jantung dan penyakit lainnya dapat menyebabkan terjadinya

ansietas. Penyakit kronik dapat menimbulkan kekhawatiran akan masa depan, selain itu

biaya pengobatan dan perawatan yang dilakukan juga akan menambah beban pikiran.

Faktor penyebab ansietas dalam Standar Diagnosis keperawatan Indonesia

(SDKI) antara lain krisis situasional, kebutuhan tidak terpenuhi, krisis maturasional,

ancaman terhadap konsep diri, ancaman terhadap kematian,


kekhawatiran mengalami kegagalan, disfungsi sistem keluarga, hubungan orang tua anak

tidak memuaskan, faktor keturunan (temperamen sudah reagitasi sejak lahir),

penyalahgunaan zat, terpapar bahaya lingkungan (mis. Toksin, polutan, dll) dan kurang

terpapar informasi (PPNI, 2016).

3. Tanda dan gejala kecemasan

Tanda dan gejala kecemasan yang ditunjukkan atau dikemukakan oleh seseorang

bervariasi, tergantung dari beratnya atau tingkatan yang dirasakan oleh individu tersebut.

Menurut Hawari (2013) keluhan yang sering dikemukakan oleh seseorang saat

mengalami kecemasan secara umum adalah sebagai berikut:

a. Gejala psikologis: pernyataan cemas/ khawatir, firasat buruk, takut akan

pikirannya sendiri, mudah tersinggung, merasa tegang, tidak tenang, gelisah,

mudah terkejut.

b. Gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang menegangkan.

c. Gangguan konsentrasi dan daya ingat.

d. Gejala somatik: rasa sakit pada otot dan tulang, berdebar-debar, sesak

4. Sumber kecemasan

Menurut Stuart (2013) sumber kecemasan adalah semua ketegangan dalam

kehidupan yang dapat mencetuskan timbulnya kecemasan. Sumber kecemasan dapat

dikelompokkan menjadi dua yaitu:

a. Ancaman terhadap integritas fisik. Ketegangan yang mengancam integritas fisik

yang meliputi:

1) Sumber internal, meliputi kegagalan mekanisme fisiologis sistem imun,

regulasi suhu tubuh, perubahan biologis normal (misal hamil).


2) Sumber eksternal, meliputi paparan terhadap infeksi virus dan bakteri,

polutan lingkungan, kecelakaan, kekurangan nutrisi dan tidak adekuatnya

tempat tinggal.

b. Ancaman terhadap harga diri meliputi:

1) Sumber internal, meliputi kesulitan dalam berhubungan interpersonal di

rumah dan di tempat kerja, penyesuaian terhadap peran baru.

2) Sumber eksternal meliputi kehilangan orang yang dicintai, perceraian,

perubahan status pekerjaan, tekanan kelompok dan sosial budaya.

5. Reaksi kecemasan

Kecemasan dapat diekspresikan secara langsung melalui perubahan fisiologis dan

perilaku dan secara tidak langsung melalui timbulnya gejala atau mekanisme koping

sebagai upaya untuk melawan kecemasan (Hawari, 2013). Intensitas perilaku akan

meningkat sejalan dengan peningkatan tingkat kecemasan. Beberapa respon pada orang

yang cemas meliputi:

a. Respon fisiologis terhadap kecemasan

1) Kardiovaskular: palpitasi, tekanan darah meningkat, tekanan darah

menurun, denyut nadi menurun

2) Pernafasan: nafas cepat dan pendek, nafas dangkal dan terengah-engah

3) Gastrointestinal: nafsu makan menurun, tidak nyaman pada perut, mual

dan diare.

4) Neuromuskular: tremor, gugup, gelisah, insomnia dan pusing.

5) Traktus urinarius: sering berkemih.

6) Kulit: keringat dingin, gatal, wajah kemerahan.

b. Respon perilaku terhadap kecemasan


Respon perilaku yang muncul adalah gelisah, tremor, ketegangan fisik, reaksi

terkejut, gugup, bicara cepat, menghindar, kurang kooordinasi, menarik diri dari

hubungan interpersonal dan melarikan diri dari masalah.

c. Respon kognitif terhadap kecemasan

Respon kognitif yang muncul adalah perhatian terganggu, pelupa, salah dalam

memberikan penilaian, hambatan berfikir, kesadaran diri meningkat, tidak mampu

berkonsentrasi, tidak mampu mengambil keputusan, menurunnya lapangan persepsi

dan kreatifitas, bingung, takut, kehilangan kontrol, takut pada gambaran visual dan

takut cedera atau kematian.

d. Respon afektif terhadap kecemasan

Respon afektif yang sering muncul adalah mudah terganggu, tidak sabar,

gelisah, tegang, ketakutan, waspada, gugup, mati rasa, rasa bersalah dan malu.

6. Tingkat kecemasan

Mengidentifikasi kecemasan dalam empat tingkatan dan menggambarkan efek dari

tiap tingkatan. Manifestasi cemas dapat meliputi aspek fisik, emosi, kognitif, dan

tingkah laku. Respon terhadap ancaman dapat berkisar dari kecemasan ringan,

sedang, berat dan panik (Stuart, 2013).

a. Cemas ringan

Cemas ringan merupakan cemas yang normal yang berhubungan dengan

ketegangan dalam kehidupan sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada

dan meningkatkan lahan persepsinya, seperti melihat, mendengar dan gerakan

menggenggam lebih kuat. Kecemasan tingkat ini dapat memotivasi belajar dan

menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas. Manifestasi yang muncul pada


tingkat ini adalah kelelahan, iritabel, lapang persepsi meningkat, kesadaran tinggi, mampu

untuk belajar, motivasi meningkat, dan tingkah laku sesuai situasi

b. Cemas sedang

Cemas sedang memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada hal yang penting

dan mengesampingkan hal yang lain, sehingga seseorang mengalami perhatian yang

selektif namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah. Kecemasan ini

mempersempit lapang presepsi individu, seperti penglihatan, pendengaran, dan gerakan

menggenggam berkurang. Manifestasi yang terjadi pada tingkat ini yaitu kelelahan

meningkat, frekuensi jantung dan pernafasan meningkat, ketegangan otot meningkat,

bicara cepat dan volume tinggi, lahan persepsi menyempit, mampu untuk belajar namun

tidak optimal, kemampuan konsentrasi menurun, mudah tersinggung, tidak sabar, mudah

lupa, marah, dan menangis.

c. Cemas berat

Cemas berat sangat mengurangi lahan persepsi seseorang. Seseorang cenderung

untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spesifik dan tidak dapat berpikir tentang

hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi ketegangan. Individu tersebut

memerlukan banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pada suatu area lain.

d. Panik

Panik berhubungan dengan terperangah, ketakutan dan teror. Rincian terpecah dari

proporsinya. Individu yang mengalami panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun

dengan pengarahan hal itu dikarenakan individu tersebut mengalami kehilangan kendali,

terjadi peningkatan aktivitas motorik, menurunnya kemampuan untuk berhubungan

dengan orang lain, persepsi yang menyimpang,


dan kehilangan pemikiran yang rasional. Panik melibatkan disorganisasi kepribadian.

Individu yang mengalami panik juga tidak dapat berkomunikasi secara efektif. Tingkat

kecemasan ini tidak sejalan dengan kehidupan, dan jika berlangsung terus menerus dalam

waktu yang lama, dapat terjadi kelelahan yang sangat bahkan kematian.

7. Faktor yang memengaruhi tingkat kecemasan

Menurut Pamungkas dan Samsara (2017) faktor-faktor yang memengaruhi tingkat

kecemasan antara lain:

a. Potensial stresor

Stressor psikososial merupakan setiap keadaan atau peristiwa yang menyebabkan

perubahan dalam kehidupan seseorang sehingga orang itu terpaksa mengadakan adaptasi.

Pengalaman sebelumnya juga sangat mempengaruhi respon seseorang terhadap stressor.

b. Maturitas

Individu yang memiliki kematangan kepribadian lebih sukar mengalami gangguan

akibat stres karena individu yang dewasa mempunyai daya adaptasi yang lebih besar

terhadap cemas.

c. Tingkat pendidikan dan status ekonomi

Tingkat pendidikan dan status ekonomi yang rendah pada seseorang akan

mengakibatkan orang itu mudah mengalami cemas.

d. Keadaan fisik

Seseorang yang mengalami gangguan fisik seperti cedera, operasi akan mudah

mengalami kelelahan fisik sehingga lebih mudah mengalami cemas.


e. Tipe kepribadian

Orang yang berkepribadian A lebih mudah mengalami gangguan akibat cemas

daripada orang yang berkepribadian B.

f. Sosial budaya

Seseorang yang mempunyai falsafah hidup yang jelas dan keyakinan agama yang

kuat umumnya lebih sukar mengalami cemas.

g. Umur

Seseorang yang berumur lebih muda ternyata lebih mudah mengalami gangguan

cemas daripada seseorang yang lebih tua.

h. Lingkungan

Seseorang yang berada di lingkungan asing ternyata lebih mudah mengalami

cemas.

i. Jenis kelamin

Cemas lebih sering dialami pada wanita daripada pria dikarenakan wanita

mempunyai kepribadian yang labil dan immature, juga adanya peran hormon yang

mempengaruhi kondisi emosi sehingga mudah meledak, mudah cemas, dan curiga.

8. Ansietas pasien yang akan menjalani tindakan operasi

Ketakutan dan ansietas yang dirasakan pasien pre operasi ditandai dengan adanya

perubahan-perubahan fisik seperti meningkatnya frekuensi nadi dan pernafasan, gerakan-

gerakan tangan yang tidak terkontrol, telapak tangan yang lembab, gelisah, menanyakan

pertanyaan yang sama berulang kali, sulit tidur dan sering berkemih. Kecemasan yang

dialami oleh pasien pre-operasi adalah bahwa mereka takut jika operasinya tidak akan

berhasil dan apakah setelah operasi mereka bisa kembali normal atau tidak (Srinayanti et

al., 2017).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh (Ariyanto, 2019) menunjukkan hasil nilai

tingkat kecemasan yang paling banyak yaitu tingkat kecemasan sedang 44 orang (45,8%)

sedangkan nilai mekanisme koping terbanyak yaitu mekanisme koping maladaptif 61

orang (63,5%). Penelitian yang dilakukan (Syarifah, 2019) juga menunjukkan tingkat

kecemasan yang dialami pasien pre operasi katarak sebanyak 51 orang (42,5%) pasien

mengalami kecemasan ringan, 33 orang (27,5%) tidak ada kecemasan, 32 orang (26,5%)

mengalami kecemasan sedang dan 4 orang (3,3%) mengalami kecemasan berat.

9. Penatalaksanaan Ansietas

Penatalaksanaan ansietas pada tahap pencegahan maupun terapi memerlukan

suatu metode pendekatan yang bersifat holistik, mencakup fisik (somatik), psikologik

atau psikiatrik, psikososial dan psikoreligius. Adapun penatalaksanaan yang dapat

dilakukan, yaitu (Hawari, 2013):

a. Psikoterapi

Psikoterapi diberikan tergantung dari kebutuhan individu, antara lain

1) Psikoterapi suportif, untuk memberikan motivasi semangat atau dorongan

agar pasien yang bersangkutan tidak merasa putus asa

2) Psikoterapi re-edukatif, memberikan pendidikan ulang dan koreksi bila dinilai

tidak mampu mengatasi kecemasan

3) Psikoterapi re-konstruktif, untuk memperbaiki (re-konstruksi) kepribadian

yang telah mengalami goncangan akibat stressor

4) Psikoterapi kognitif, untuk memulihkan fungsi kognitif pasien

yaitu kemampuan untuk berpikir secara rasional dan berkonsentrasi


5) Psikoterapi psikodinamik, untuk menganalisa dan menguraikan proses

dinamika kejiwaan yang dapat menjelaskan mengapa seseorang tidak

mampu menghadap stressor psikososial sehingga mengalami kecemasan

6) Psikoterapi keluarga untuk memperbaiki hubungan kekeluargaan agar faktor

keluarga tidak lagi menjadi faktor penyebab dan faktor keluarga dapat

dijadikan sebagai faktor pendukung

7) Terapi psikoreligius untuk meningkatkan keimanan seseorang yang erat

hubungannya dengan kekebalan dan daya tahan dalam menghadapi berbagai

problem kehidupan yang merupakan stressor psikososial

b. Terapi psikofarmaka

Terapi psikofarmaka merupakan pengobatan untuk cemas dengan memakai obat-

obatan yang berkhasiat memulihkan fungsi gangguan neurotransmiter (sinyal penghantar

saraf) di susunan saraf pusat otak (limbic system). Terapi psikofarmaka yang sering

dipakai adalah obat anti cemas (anxiolitic), yaitu diazepam, clobazam, bromazepam,

lorazepam, buspirone HCl, meprobamate dan alprazolam

c. Terapi somatik

Gejala atau keluhan fisik (somatik) sering dijumpai sebagai gejala penyerta atau

akibat dari kecemasan yang berkepanjangan. Untuk menghilangkan keluhan- keluhan

somatik (fisik) itu dapat diberikan obat-obatan yang ditujukan pada organ tubuh yang

bersangkutan.

d. Relaksasi nafas dalam

Nafas dalam yaitu bentuk latihan nafas yang terdiri atas pernafasan abdominal

(diafragma). Relaksasi nafas dalam merupakan suatu teknik bernafas


berhubungan dengan perubahan fisiologis yang dapat membantu memberikan respon

relaksasi (rileks).

e. Distraksi

Distraksi merupakan metode untuk menghilangkan ansietas dengan cara

mengalihkan perhatian pada hal-hal lain sehingga pasien akan lupa terhadap ansietas

yang dialami. Stimulus sensori yang menyenangkan menyebabkan pelepasan endorfin

yang bisa menghambat stimulus ansietas yang mengakibatkan lebih sedikit stimuli

ansietas yang ditransmisikan ke otak, salah satu contoh penatalaksanaan distraksi yaitu

membaca doa.

C. Konsep Dasar Relaksasi Benson

1. Pengertian

Relaksasi adalah bagian dari pengembangan “self care theory” yang dikemukakan

oleh Orem, dimana perawat dapat membantu kebutuhan self care pasien yang berperan

sebagai supportive educative sehingga pasien dapat menggunakan relaksasi untuk

mengatasi keluhan yang dirasakan (Green & Setyawati, 2014). Relaksasi adalah suatu

prosedur untuk membantu individu berhadapan pada situasi penuh stres. Relaksasi

Benson merupakan pengembangan metode respon relaksasi pernafasan dengan

melibatkan faktor keyakinan pasien, yang dapat menciptakan suatu lingkungan internal

sehingga dapat membantu pasien mencapai kondisi kesehatan dan kesejahteraan yang

lebih tinggi (Benson & Proctor, 2015).

Relaksasi Benson adalah suatu teknik untuk mencapai respon relaksasi. Tehnik

relaksasi Benson merupakan upaya untuk memusatkan perhatian pada suatu


fokus dengan menyebut berulang-ulang kalimat ritual dan menghilangkan berbagai

pikiran yang mengganggu. Prinsip dari pencapaian respon relaksasi ini dimulai dari

pemilihan kata atau kalimat pendek atau doa yang berakar pada sistem keyakinan, seperti

"tenang" atau "Tuhan adalah segalanya." Selanjutnya terapis dapat memberikan terapi di

tempat yang tenang dan dalam posisi yang nyaman dan berakhir pada pengenduran otot-

otot tubuh beserta pengaturan pernafasan dan pengucapan kata atau kalimat yang sudah

dipilih sebelumnya (Benson & Proctor, 2013).

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut diatas dapat disimpulkan relaksasi

benson adalah suatu teknik pernafasan yang di gabungkan dengan pengucapan kata- kata

sesuai dengan keyakinan seseorang, yang dimulai dari melakukan tarik nafas panjang

perlahan-lahan, tahan dan menghembuskan nafas secara berlahan sambil mengucapkan

kata atau frase tentang keyakinan.

2. Manfaat relaksasi benson

Teknik relaksasi benson dapat dilakukan sendiri, bersama-sama atau dengan

bimbingan mentor. Formula kata atau kalimat tertentu yang dibaca berulang-ulang

dengan melibatkan unsur keimanan dan keyakinan akan menimbulkan respon relaksasi

yang lebih kuat. Komponen relaksasi yang sangat sederhana adalah ruang yang tenang,

respon posisi yang nyaman, sikap mau menerima dan fokus perhatian (Agustiya et al.,

2020).

Benson pertama menggambarkan respon relaksasi yaitu proses fisiologis kebalikan

dari respon fight-or-flight. Hampir 40 tahun yang lalu, Benson dan timnya telah merintis

penerapan pikiran atau tubuh teknik untuk berbagai masalah kesehatan. Banyak studi

yang termuat dalam jurnal telah mendokumentasikan


bagaimana respon relaksasi baik meredakan gejala kecemasan dan gangguan lainnya, dan

juga mempengaruhi faktor seperti detak jantung, tekanan darah, konsumsi oksigen dan

aktivitas otak (Benson & Proctor, 2015).

Teknik respon relaksasi terbukti memodulasi stres terkait kondisi seperi marah,

cemas, disritmia jantung, nyeri kronik, depresi, hipertensi dan gangguan tidur serta

meningkatkan perasaan menjadi lebih tenang (Benson & Proctor, 2013).

3. Petunjuk pelaksanaan relaksasi benson

Menurut Benson & Proctor (2013) lingkungan yang tenang merupakan hal yang

harus diperhatikan dalam relaksasi benson disamping mengendurkan otot-otot secara

sadar, memusatkan diri selama 10-20 menit pada ungkapan yang dipilih, dan bersifat

pasif pada pikiran-pikiran yang menggangu.

a. Suasana tenang

Suasana tenang membantu efektifitas pengulangan kata atau kelompok kata,

dengan demikian akan mudah menghilangkan pikiran yang mengganggu.

b. Perangkat mental

Memindahkan pikiran-pikiran yang berada diluar diri, harus ada suatu rangsangan

yang konstan. Rangsangan tersebut dapat berupa kata atau frase yang singkat yang

diulang dalam hati sesuai dengan keyakinan. Kata atau frase yang singkat merupakan

fokus dalam melakukan relaksasi Benson. Fokus terhadap kata atau frase akan

meningkatkan kekuatan dasar respon relaksasi dengan memberi kesempatan faktor

keyakinan untuk mempengaruhi penurunan aktivitas saraf simpatis. Relaksasi Benson

dilakukan satu atau dua kali sehari selama 10-20 menit. Waktu yang baik untuk

melakukannya adalah sebelum makan atau beberapa jam setelah makan, karena selama

relaksasi diharapkan tubuh darah mengalir ke kulit,


otot, ektremitas, otak, sementara makan, darah lebih banyak dialirkan ke organ

pencernaan sehingga mengakibatkan suatu mekanisme yang berlawanan.

c. Sikap positif

Sikap positif merupakan elemen penting dalam relaksasi Benson. Sikap positif

dapat dijaga dengan mengabaikan pikiran-pikiran yang mengacu dengan tetap berfokus

pada pengulangan frase atau kata. Tidak perlu cemas seberapa baik melakukan karena

perasaan itu akan mencegah terjadinya respon relaksasi.

d. Posisi Nyaman

Posisi tubuh yang nyaman penting agar tidak menyebabkan ketegangan otot.

Posisi yang digunakan biasanya duduk atau berbaring ditempat tidur

4. Langkah-langkah relaksasi benson

Menurut Masyulitika (2018) langkah atau cara yang dapat membantu seseorang

mencapai respon relaksasi dapat dijabarkan sebagai berikut:

a. Atur posisi nyaman

b. Duduk atau berbaring dengan santai

c. Pilih satu kata atau ungkapan singkat yang mencerminkan keyakinan. Sebaiknya

pilih kata atau ungkapan yang memiliki arti khusus seperti nama Tuhan, tenang,

dan sebagainya.

d. Pejamkan mata, hindari menutup mata terlalu kuat

e. Bernafas lambat dan wajar sambil merelaksasikan otot mulai dari kaki, betis, paha,

perut dan pinggang. Kemudian disusul melemaskan kepala, leher, dan pundak

dengan memutar kepala dan mengangkat pundak perlahan-lahan. Ulurkan kedua

lengan dan tangan, kemudian kendurkan dan biarkan terkulai diatas lutut dengan

tangan terbuka.
f. Perhatian nafas dan mulailah menggunakan kata fokus yang berkata pada

keyakinan. Tarik nafas dari hidung, pusatkan kesadaran pada pengembangan

perut, lalu keluarkan nafas melalui mulut secara perlahan sambil mengucapkan

ungkapan yang telah dipilih. (1 siklus adalah satu kali proses mulai dari tarik nafas,

tahan dan hembuskan) dengan periode istirahat selama 2 menit.

g. Bila ada pikiran yang menggangu, kembalilah fokuskan pikiran.

h. Lakukan selama 10-20 menit

5. Pengaruh relaksasi benson terhadap kecemasan/ansietas preoperasi

katarak

Dampak yang ditimbulkan akibat kecemasan selama operasi seperti perubahan

hemodinamik tubuh seperti tekanan darah, nadi dan laju pernafasan yang dapat

membingungkan team medis untuk melanjutkan tindakan operasi. Bila kecemasan pada

pasien operasi tidak diatasi maka dapat mengganggu proses penyembuhan pasien

(Srinayanti et al., 2017). Perlu adanya upaya untuk menjaga kondisi psikologis pasien

yang akan menjalani tindakan operasi, agar tidak menghambat atau mengganggu proses

operasi dan pengobatan pasien. Relaksasi benson adalah suatu tehnik untuk mencapai

respon relaksasi. Tehnik relaksasi Benson merupakan upaya untuk memusatkan perhatian

pada suatu fokus dengan menyebut berulang-ulang kalimat ritual dan menghilangkan

berbagai pikiran yang mengganggu (Green & Setyawati, 2014). Relaksasi benson

memadukan antara relaksasi pernafasan dan faktor keyakinan yang dianut oleh seseorang

(Agustiya et al., 2020). Teknik respon relaksasi terbukti memodulasi stres terkait kondisi

seperi marah, cemas, disritmia jantung, nyeri kronik, depresi, hipertensi dan insomnia

serta meningkatkan perasaan menjadi lebih tenang (Benson & Proctor, 2013).
Hasil penelitian yang dilakukan Sitompul (2020) tentang relaksasi benson terhadap

kecemasan pre operasi dengan menggunakan metode studi kepustakaan dan literatur

review didapatkan setelah diberikan terapi relaksasi benson dengan durasi 10 menit,

pasien mengalami penurunan hingga turun satu angka sampai dua angka dan mengalami

perubahan tingkat kecemasan. Terapi tersebut direkomendasikan untuk digunakan karena

tekniknya sederhana, tidak membutuhkan alat dan bahan, tidak memerlukan kemampuan

khusus untuk menerapkannya dan dapat dilakukan oleh semua pasien yang mengalami

kecemasan.

D. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

Menurut Potter (2011) proses asuhan keperawatan terdiri dari lima tahapan yang

meliputi:

1. Pengkajian

Pengkajian merupakan pengumpulan informasi subjektif dan objektif, peninjauan

informasi riwayat pasien yang diberikan oleh pasien/ keluarga, atau ditemukan dalam

rekam medik.

a. Identitas

1) Identitas pasien: nama, umur, jenis kelamin, suku, agama, pekerjaan,

pendidikan, alamat.

2) Identitas penanggung jawab: nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan,

alamat, hubungan dengan pasien, agama.


b. Keluhan utama

Keluhan yang dilaporkan atau ditemukan seperti terus bertanya terkait Tindakan

operasi, tampak gelisah, gemetar, berkeringat, berdebar dan sering buang air kecil.

c. Riwayat kesehatan sekarang

Riwayat terkait masalah yang dihadapi saat ini selama menjalani rawat inap.

d. Riwayat kesehatan dahulu

Apakah klien pernah dirawat dengan penyakit yang sama atau tidak. apakah klien

pulang dengan keadaan sehat atau masih sakit. apakah klien memiliki riwayat

penyakit kronis atau tidak.

e. Riwayat kesehatan keluarga

Apakah keluarga ada memiliki riwayat penyakit yang sama seperti yang diderita klien

saat ini. Riwayat penyakit keturunan seperti hipertensi, DM, jantung.

f. Riwayat pengobatan dan alergi

Obat apa yang sering dikonsumsi klien, apakah klien memiliki alergi atau tidak

terhadap obat, makanan dan serangga.

g. Pola fungsi gordon

1) Pemeliharaan dan persepsi terhadap kesehatan

Kaji pengetahuan klien tentang penyakitnya, saat klien sakit tindakan yang dilakukan

klien untuk menunjang kesehatannya.

2) Nutrisi/metabolic

Kaji makanan yang dikonsumsi oleh klien, porsi sehari, jenis makanan, dan volume

minuman perhari, makanan kesukaan sebelum di rumah sakit dan saat menjalani

rawat inap.
3) Pola eliminasi

Kaji frekuensi BAB dan BAK, ada nyeri atau tidak saat BAB/BAK dan warna

4) Pola aktivitas dan latihan

Kaji kemampuan klien saat beraktivitas dan dapat melakukan mandiri, dibantu atau

menggunakan alat seperti makan dan minum, mandi, toileting, berpakaian dan

berpindah. (0: Mandiri, 1: Alat bantu, 2: Dibantu orang lain, 3: Dibantu orang lain

dan alat, 4: Tergantung total).

5) Pola tidur dan istirahat

Kaji pola istirahat, kualitas dan kuantitas tidur, kalau terganggu kaji penyebabnya

6) Pola kognitif-perseptual

Status mental klien, kaji pemahaman tentang penyakit dan perawatan

7) Pola persepsi diri

Pola persepsi diri perlu dikaji, meliputi; harga diri, ideal diri, identitas diri, gambaran

diri.

8) Pola seksual dan reproduksi

Kaji manupouse, kaji aktivitas seksual

9) Peran dan pola hubungan

Bertujuan untuk mengetahui peran dan hubungan sebelum dan sesudah sakit.

Perubahan pola biasa dalam tanggung jawab atau perubahan kapasitas fisik untuk

melaksanakan peran

10) Manajemen koping Stres

Adanya faktor stres lama, efek hospitalisasi, masalah keuangan, rumah, pola

komunikasi untuk menyelesaikan masalah


11) Pola keyakinan dan nilai

Menerangkan sikap, keyakinan klien dalam melaksanakan agama yang dipeluk dan

konsekuensinya dalam keseharian. Dengan ini diharapkan perawat dalam

memberikan motivasi dan pendekatan terhadap klien dalam upaya pelaksanaan

ibadah

h. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan umum yang lengkap perlu dilakukan. Lansia dengan katarak

pemeriksaan akan difokuskan pada mata. Hasil pemeriksaan fisik yang perlu

diperhatikan adalah sebagai berikut ini:

1) Kepala dan wajah

Inspeksi: Kepala simetris kiri dan kanan, tidak ada pembesaran pada kepala. Ukuran

kepala normal sesuai dengan umur. Wajah biasanya tidak simetris kiri dan kanan,

wajah terlihat pucat.

Palpasi: tidak terjadi nyeri pada kepala

2) Mata

Inspeksi: Pupil sama, bulat, reaktif terhadap cahaya dan akomodasi, Konjungtiva

anemis, sklera tidak ikterik. mata tampak simetris kiri dan kanan, terdapat adanya

kekeruhan pada lensa, lapang pandang terdapat penurunan lapang pandang

Palpasi: tidak ada pembengkakan pada mata

3) Telinga

Inspeksi: Simetris telinga kiri dan kanan, terlihat bersih tanpa serumen. Telinga

tampak simetris kiri dan kanan, tidak ada tampak pembengkakan.


Palpasi: Tidak ada nyeri pada daun telinga, pembengkakan pada daun telinga tidak

ada.

4) Hidung

Inspeksi: Simetris hidung kiri dan kanan, tidak terlihat Hidung tampak simetris, tidak

terdapat perdarahan, tidak terdapat polip. Adanya penurunan kemampuan membau,

perdarahan pada hidung.

Palpasi: Tidak adanya nyeri saat diraba pada hidung, pembengkakan tidak ada.

5) Mulut

Inspeksi: Membran mukosa berwarna merah jambu, lembab, dan utuh. Uvula digaris

tengah, Tidak ada lesi. Mulut tampak kotor terdapat mulut berbau Palpasi: Tidak ada

nyeri pada mulut, tidak adanya pembengkakan pada mulut

6) Leher

Inspeksi: Posisi trakea apakah mengalami kemiringan atau tidak, vena

jugularis tidak terlihat,

Palpasi: Tidak teraba nodul pada leher, tidak terjadi pembengkakan, apakah terjadi

pembesaran kelenjar tiroid, kelenjar limfe ada pembesaran atau tidak

7) Paru-paru

Inspeksi: Simetris kiri dan kanan, tidak adanya lesi, ada atau tidaknya retraksi

dada, tidak ada penggunaan otot bantu pernafasan

Auskultasi: Vesikuler dikedua lapang paru

Perkusi: Sonor dikedua lapang paru

Palpasi: Ada pergerakan dinding dada, taktil fremitus teraba jelas


8) Jantung

Inspeksi: Iktus kordis terlihat atau tidak, lesi di area jantung atau tidak,

pembengkakan pada jantung atau tidak

Palpasi: Pada area ICS II, ICS V kiri, dan Area midclavicula untuk menentukan batas

jantung, tidak terjadi pembesaran pada jantung

Perkusi: Redup

Auskultasi: Normalnya bunyi jantung 1 lebih tinggi dari pada bunyi jantung II, tidak

adanya bunyi tambahan seperti mur-mur.S2 (dub) terdengar pada ICS II ketika katup

aorta dan pulmonal menutup pada saat awal sistolik, terdengar suatu split yang

mengakibatkan dua suara katup, ini diakibatkan penutupan aorta dan pulmonal

berbeda pada waktu respirasi. S1( lub) terdengar pada ICS V ketika katup mitral dan

katup trikuspidalis tetutup pada saat awal sistolik. Terdengar bagus pada apex

jantung dan didengar dengan diafragma stetostokop dimana terdengar secara

bersamaan.

9) Abdomen

Inspeksi: tidak adanya pembengkakan pada abdomen/ asites

Palpasi: tidak adanya distensi pada abdomen

Perkusi: Tympani

Auskultasi: bising usus normal

10) Ekstremitas

Inspeksi: tidak adanya pembengkakan pada ektremitas atas dan bawah, tidak ada

luka

Palpasi: kekuatan oto baik disemua ektremitas


2. Diagnosis Keperawatan

Diagnosis keperawatan adalah suatu penilaian klinis mengenai respons klien

terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya baik yang

berlangsung actual maupun potensial yang bertujuan untuk mengidentifikasi respons

klien individu, keluarga dan komunitas terhadap situasi yang berkaitan dengan kesehatan.

Diagnosis keperawatan yang muncul pada pasien yang mengalami katarak dan akan

menjalani tindakan operasi antara lain:

a. Gangguan persepsi sensori penglihatan berhubungan dengan gangguan

penglihatan dan kondisi terkait penyakit katarak

b. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional, kekhawatiran mengalami

kegagalan dan ancaman status kesehatan

c. Resiko jatuh berhubungan dengan gangguan penglihatan dan kondisi terkait

penyakit katarak.

d. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis, fisik dan kimia

e. Resiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasive.

Diagnosis keperawatan yang menjadi prioritas yang dikupas tuntas dalam karya ilmiah ini

adalah ansietas (kecemasan) yang dapat disajikan pada tabel berikut ini (PPNI, 2016):

Tabel 1
Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (Ansietas)

Ansietas
Kategori : Psikologis
Subkategori : Integritas Ego
Definisi:
Kondisi emosi dan pengalaman subyektif individu terhadap objek yang
tidak jelas dan spesifik akibat antisipasi bahaya yang memungkinkan
individu melakukan Tindakan untuk menghadapi ancaman
Penyebab:
1. Krisis situasional
2. Kebutuhan tidak terpenuhi
3. Krisis maturasional
4. Ancaman terhadap konsep diri
5. Ancaman terhadap kematian
6. Kekhawatiran mengalami kegagalan
7. Disfungsi system keluarga
8. Hubungan orang tua-anak tidak memuaskan
9. Factor keturunan (temperamen mudah teragitasi sejak lahir)
10. Penyalah gunaan zat
11. Terpapar bahaya lingkungan
12. Kurang terpapar informasi

Gejala dan tanda mayor:


Subjektif: Objektif:
1. Merasa bingung 1. Tampak gelisah
2. Merasa khawatir dengan 2. Tampak tegang
akibat dari kondisi yang 3. Sulit tidur
dihadapi
3. Sulit berkonsentrasi
Gejala dan tanda minor
Subjektif Objektif
1. Mengeluh pusing 1. Frekuensi nafas meningkat
2. Anoreksia 2. Frekuensi nadi meningkat
3. Palpitasi 3. Tekanan darah meningkat
4. Merasa tidak berdaya 4. Diaphoresis
5. Tremor
6. Muka tampak pucat
7. Suara bergetar
8. Kontak mata buruk
Kondisi klinis terkait:
1. Penyakit kronis progresif (mis kanker, penyakit autoimun)
2. Penyakit akut
3. Hospitalisasi
4. Rencana operasi
5. Kondisi diagnosis penyakit yang belum jelas
6. Penyakit neurologis

Sumber: (Buku Standar Diagnosis Keperawatan Indoensia PPNI, 2016)


3. Intervensi Keperawatan

Perencanaan merupakan langkah selanjutnya setelah ditegakkannya diagnosis keperawatan. Pada langkah ini, perawat menetapkan tujuan

dan kriteria hasil yang diharapkan bagi pasien dan merencanakan intervensi keperawatan. Penyusunan intervensi keperawatan berdasarkan

Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI). Perencanaan yang dapat dilakukan pada pasien dengan diagnosis keperawatan ansietas dapat

dijabarkan sebagai berikut (PPNI, 2016):

Tabel 2
Standar Intervensi Keperawatan Indonesia

Diagnosis Rencana Keperawatan Rasional


Keperawatan Tujuan (SLKI) Intervensi (SIKI)
Ansietas Setelah diberikan 1. Reduksi Ansietas
berhubungan asuhan keperawatan 1) Observasi
dengan krisis selama 3 x pertemuan  Identifikasi saat tingkat ansietas  Membantu memberikan terapi
situasional, diharapkan tingkat berubah (mis. Kondisi, waktu,
kekhawatiran ansietas menurun stresor).  Meningkatkan pengetahuan dan
mengalami dengan kriteria hasil:  Identifikasi kemampuan koping pasien
kegagalan 1. Verbalisasi mengambil keputusan  Membantu untuk memberikan
dengan kebingungan  Monitor tanda-tanda ansietas terapi
kondisi klinis menurun (verbal dan non verbal)
rencana 2. Verbalisasi khawatir 2) Terapeutik
tindakan akibat kondisi yang  Ciptakan suasana terapeutik untuk  Membantu merelaksasikan
operasi dihadapi menurun menumbuhkan kepercayaan perasaan pasien
3. Perilaku gelisah  Temani pasien untuk mengurangi  Memberikan rasa nyaman
menurun kecemasan, jika memungkinkan kepada pasien
Diagnosis Rencana Keperawatan Rasional
Keperawatan Tujuan (SLKI) Intervensi (SIKI)
4. Perilaku tegang  Pahami situasi yang membuat  Membantu untuk memberikan
menurun ansietas terapi
5. Keluhan pusing  Dengarkan dengan penuh  Membantu meningkatkan rasa
menurun perhatian aman pasien
6. Frekuensi nadi  Gunakan pendekatan yang tenang  Membantu meningkatkan rasa
membaik dan meyakinkan aman pasien
7. Tekanan darah  Motivasi mengidentifikasi situasi  Membantu mencari solusi atau
membaik yang memicu kecemasan terapi
3) Edukasi
 Jelaskan prosedur, termasuk  Membantu mengidentifikasi
sensasi yang mungkin dialami tingkat ansietas pasien
 Informasikan secara faktual  Membantu menjaga perasaan
mengenai diagnosis, pengobatan pasien
dan prognosis
 Anjurkan keluarga untuk tetap  Melibatkan keluarga untuk
bersama pasien, jika perlu mengurangi ansietas
 Anjurkan mengungkapkan  Membantu meningkatkan
perasaan dan persepsi kemampuan pasien
 Latih kegiatan pengalihan untuk  Membantu mengurangi ansietas
mengurangi ketegangan
 Latih menggunakan mekanisme  Meningkatkan pengetahuan
pertahanan diri yang tepat pasien untuk
 Latih teknik relaksasi melakukanintervensi mandiri
4) Kolaborasi jika ansietas terjadi
Kolaborasi pemberian obat  Membantu mengurangi ansietas
antiansietas, jika perlu pasien

Sumber: (Buku Standar Intervensi Keperawatan Indoensia PPNI, 2016)


4. Implementasi Keperawatan

Pelaksanaan atau implementasi keperawatan merupakan komponen dari proses

keperawatan yang merupakan kategori dari perilaku keperawatan dimana tindakan yang

diperlukan untuk mencapai tujuan dan hasil yang diperkirakan dari asuhan keperawatan dilakukan

dan diselesaikan. Pengertian tersebut menekankan bahwa implementasi adalah melakukan atau

menyelesaikan suatu tindakan yang sudah direncanakan pada tahapan sebelumnya (PPNI, 2016).

Implementasi utama yang diangkat dalam laporan ini adalah pemberian teknik relaksasi

(relaksasi benson) sebagai salah satu upaya untuk mengurangi ansietas lansia sebelum menjalani

tindakan pembedahan.

5. Evaluasi Keperawatan

Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan yang bertujuan untuk menilai

keberhasilan dari tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan dan kemajuan klien ke arah

pencapaian tujuan. Evaluasi asuhan keperawatan didasarkan pada Standar Luaran Keperawatan

Indonesia (SLKI), dimana dalam standar ini menjelaskan definisi dan kriteria hasil keperawatan

yang dituju sesuai dengan diagnosis keperawatan yang diangkat (PPNI, 2016).
B
A
B

I
V

P
E
N
U
T
U
P

3.1 Kesimpulan
Lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas.
Menua bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan proses yang berangsur-
angsur mengakibatkan perubahan kumulatif, merupakan proses
menurunnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam
dan luar tubuh.

Batasan Lansia

1. WHO (1999) menjelaskan batasan lansia adalah sebagai berikut .


a) Usia lanjut (elderly) antara usia 60-74 tahun,
b) Usia tua (old) :75-90 tahun, dan
c) Usia sangat tua (very old) adalah usia> 90 tahun.
2. Depkes RI (2005) dibagi tiga kategori,
d) Usia lanjut presenilis yaitu antara usia 45-59 tahun,

e) Usia lanjut yaitu usia 60 tahun ke atas,

f) Usia lanjut beresiko yaitu usia 70 tahun ke atas atau usia 60


tahun ke atas dengan masalah kesehatan.
3. Batasan Usia lansia era baru,menurut WHO
g) Setengah baya : 66- 79 tahun,

h) Orang tua : 80- 99 tahun,

i) Orang tua berusia panjang

Perkembangan Lansia
Usia lanjut merupakan usia yang mendekati akhir siklus
kehidupan manusia di dunia. Tahap ini dimulai dari 60 tahun sampai
akhir kehidupan. Lansia merupakan istilah tahap akhir dari proses
penuaan. Semua orang akan mengalami proses menjadi tua (tahap
penuaan). Masa tua merupakan masa hidup manusia yang terakhir,
dimana pada masa ini seseorang mengalami kemunduran fisik, mental
dan sosial sedikit demi sedikit sehingga tidak dapat melakukan tugasnya
sehari-hari lagi (tahap penurunan).
Penuaan merupakan perubahan kumulatif pada makhluk hidup,
termasuk tubuh, jaringan dan sel, yang mengalami penurunan kapasitas
fungsional.Pada manusia, penuaan dihubungkan dengan perubahan
degeneratif pada kulit, tulang, jantung, pembuluh darah, paru-paru, saraf
dan jaringan tubuh lainnya.
Dengan kemampuan regeneratif yang terbatas, mereka lebih
rentan terhadap berbagai penyakit, sindroma dan kesakitan dibandingkan
dengan orang dewasa lain. Untuk menjelaskan penurunan pada tahap ini,
terdapat berbagai perbedaan teori, namun para ahli pada umumnya
sepakat bahwa proses ini lebih banyak ditemukan pada faktor genetik.

3.2 Saran
Berdasarkan asuhan keperawatan yang telah dilakukan pada
Lansia dan kesimpulan yang telah disusun seperti diatas, maka mahasiswa
memberikan beberapa saran sebagai berikut :
1. Dalam pemberian asuhan keperawatan dapat digunakan
pendekatan proses keperawatan gerontik serta perlu adanya
partisipasi keluarga karena keluarga merupakan orang terdekat
pasien yang tahu perkembangan dan kesehatan pasien.
2. Dalam memberikan tindakan keperawatan tidak harus sesuai
dengan apa yang ada pada teori, akan tetapi harus sesuai
dengan kondisi dan kebutuhan pasien serta menyesuaikan
dengan kebijakan dari rumah sakit
Dalam memberikan asuhan keperawatan setiap pengkajian, diagnosa, perencanaan,

tindakan dan evaluasi perlu di dokumentasikan dengan baik.


DAFTAR PUSTAKA

(American Academy Of Ophthalmology 11 2011-2012) (Soekardi I,


Hutauruk JA)(Timothy L.Jackson, Moorfields 2008).
Azizah, Lilik Ma’rifatul.2011. Keperawatan Lanjut Usia.Edisi
1.Jogjakarta:Graha Ilmu
Depkes RI.2005 ganguan pnglihataan
katarak Ilyas (2006). Katarak edisi 2.
Jakarta: Fk.UI
Khurana, A.K (2007).compherensive ophtalmology fourth edition.New
dehli:New Age International Publishers
Nugroho, H. Wahjudi (2006). Keperawatan gerontik dan geriatrik. Edisi 3.
Jakarta EGC.
Ode La Sharif. 2013. Asuhan Keperawatan Gerontik berstandar
Nursalam. (2016).
Anatomi Dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Anggota IKAPI. PPNI. (2018).
Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan Keperawatan,
Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI. PPNI, (2016).
Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakata: Dewan Pengurus Pusat
Persatuan Perawat Nasional Indonesia. PPNI, (2019).
Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia. Rahayu, T., & Ardia, V. (2019).
Peduli Kesehatan Mata Lansia Di Wilayah Pamulang Barat Kota Tangerang
Selatan. Prosiding Seminar Nasional PengabdianMasyarakat LPPM UMJ , E-
ISSN: 2714-6286. Ratnawati, E. (2017).
Asuhan Keperawatan Gerontik. Yogyakarta: PUSTAKA BARU PRESS. RI, K.
K. (2018).
Peta Jalan Penanggulangan Gangguan Penglihatan Di Indonesia Tahun 2017-
2030. Jakarta: JL.Percetakan Negara No.29,Jakarta Pusat. Siti Nur Kholifah, S.
M. (2016).
Keperawatan Gerontik. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pemberdayaan
Sumber Daya Manusia Kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai