Anda di halaman 1dari 32

Laporan Silvikultur

PENAKSIRAN POTENSI DAN PRODUKTIVITAS TEGAKAN


JATI (Tectona grandis) DI FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS HASANUDDIN

OLEH:
NAMA : NURJANNA
NIM : M011201185
KELAS : SILVIKULTUR E
KELOMPOK : 23
ASISTEN : 1. LAILA FARDHILLAH M.
2. KURNIAH ISMAIL

LABORATORIUM SILVIKULTUR DAN FISIOLOGI POHON


FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2022
DAFTAR ISI

SAMPUL .............................................................................................................. 1
DAFTAR ISI ........................................................................................................ 2
I. PENDAHULUAN ............................................................................................ 3
I.1 Latar Belakang ................................................................................................. 3
I.2 Tujuan dan Kegunaan Praktikum .................................................................... 4
II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 5
II.1 Jati................................................................................................................... 5
II.2 Bonita ............................................................................................................. 6
II.3 Penjarangan .................................................................................................... 9
II.4 Derajat Kekerasan .......................................................................................... 15
II.5 Kerapatan ........................................................................................................ 16
III. METODE PRAKTIKUM ............................................................................ 20
III.1 Waktu dan Tempat ........................................................................................ 20
III.2 Alat dan Bahan .............................................................................................. 20
III.3 Prosedur Kerja ............................................................................................... 20
III.4 Analisis Data ................................................................................................. 21
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... 24
IV.1 Hasil .............................................................................................................. 24
IV.2 Pembahasan................................................................................................... 28
V. KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 30
V.1 Kesimpulan .................................................................................................... 30
V.2 Saran ............................................................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 32
LAMPIRAN ......................................................................................................... 33

2
I. PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Jati merupakan tanaman unggulan Perum Perhutani dalam pembangunan
hutan tanaman. Penanaman jati telah dilakukan sejak jaman penjajahan Belanda
yang kemudian dilanjutkan oleh Perum Perhutani secara teratur dengan membagi
areal yang dikelola ke dalam petak tertentu berdasarkan kelas kualitas tempat
tumbuh tegakan atau bonita. Kualitas tempat tumbuh merupakan hal yang sangat
penting dalam penanaman jati karena mempengaruhi pertumbuhan tanaman.
Kualitas tempat tumbuh dalam konteks pengelolaan hutan berbasis kayu
mencerminkan potensi produksi kayu pada suatu tegakan. Kualitas tempat tumbuh
suatu tegakan bersifat spesifik pada jenis dan lokasi tertentu, sehingga diperlukan
pengukuran pada setiap petak tegakan (Kusnadi, 2016).
Kegiatan pengukuran yang dilakukan untuk mengetahui besarnya tingkat
pertumbuhan tanaman atau produktivitas tanaman menjadi sangat penting karena
kegiatan ini merupakan salah satu indikator yang dapat menentukan keberhasilan
suatu penanaman. Produktivitas tanaman dapat diketahui melalui proses
pengukuran pada salah satu dimensi tumbuhnya yaitu diameter batang, disamping
karena mudah pelaksanaannya juga memiliki keakuratan dan konsistensi cukup
tinggi (Hardjana dan Suastati, 2014).
Pengukuran kualitas tempat tumbuh secara tidak langsung adalah dengan
menggunakan bonita. Bonita merupakan peng-klas-an kesuburan tanah pada suatu
lahan hutan tanaman yang disusun dalam suatu kurva dengan parameter peninggi
dan umur. Bonita ditetapkan dan berlaku hanya untuk suatu jenis tertentu saja.
Bonita suatu jenis tegakan hutan tanaman mempunyai bonita tersendiri yang tidak
dapat digunakan sebagai bonita untuk jenis lainnya (Heru dkk, 2020).
Pengelolaan hutan di Indonesia yang telah dilakukan dengan berbagai
sistem silvikultur secara umum memiliki tujuan yang sama, yaitu mempertahankan
kondisi stok tegakan (kayu) pada akhir daurnya untuk tetap stabil bahkan meningkat
produktivitas maupun kualitas produknya, dari siklus penebangan ke siklus
penebangan berikutnya. Oleh karena itu perlu dilakukan pengukuran dimensi
seperti tinggi dan keliling pada tegakan jati di fakultas Sastra agar dapat diketahui
potensi dan produktivitas tegakan tersebut.

3
I.2 Tujuan dan Kegunaan Praktikum
Tujuan dilakukannya praktikum ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui sebaran diameter tegakan jati.
2. Mengetahui kerapatan tegakan jati.
3. Mengetahui bonita tegakan jati.
4. Mengetahui derajat kekerasan penjarangan tegakan jati.
Adapun kegunaan praktikum ini, yaitu mahasiswa dapat menentukan
sebaran diameter dalam suatu tegakan dan dapat membuat kurva kelas diameter
tersebut serta mengetahui pertumbuhan dan perkembangan tanaman sebagai bahan
informasi dalam penerapan praktikum selanjutnya serta sebagai bahan
perbandingan antara teori dan praktikum di lapangan.

4
II. TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Jati
Jati adalah sejenis pohon penghasil kayu bermutu tinggi. Pohon besar,
berbatang lurus, dapat tumbuh mencapai tinggi 30-40 m. Berdaun besar, yang luruh
di musim kemarau. Tectona grandis memiliki sebaran alam yang luas tetapi
terputus dari India, Myanmar, Laos, Kamboja dan Thailand. Sebaran jati di Asia
Tenggara mulai dari 73° - 103° BT dari India melalui Myanmar ke Thailand dan
Laos. Sebaran alam jati yang tumbuh di India – Myanmar terletak pada 9° - 25° LU.
Di Indonesia jenis ini mengalami proses naturalisasi sehingga mampu tumbuh
dengan baik dalam lingkungan tanah, iklim dan curah hujan yang ada. Jati di
Indonesia pada awalnya tumbuh sebagian besar di Pulau Jawa, Pulau Madura, Pulau
Kangean, Sulawesi Tenggara, Pulau Muna dan Pulau Buton (Pramono, et.al, 2020).
Secara umum, tanaman jati idealnya ditanam di dengan topografi yang
relatif datar atau memiliki kemiringan lereng <20%. Selain itu, tanaman jati
membutuhkan iklim dengan curah hujan minimum 750 mm/tahun, optimum 1000-
1500 mm/tahun. Walaupun demikian,tanaman jati masih dapat tumbuh di daerah
dengan curah hujan 3750 mm/tahun. Secara morfologis, tanaman jati memiliki
tinggi yang dapat mencapai 45 m dengan bebas cabang 15-20 cm. Kondisi ini dapat
ditemukan pada tapak yang bagus dengan percabangan yang kurang dan rimbun.
Diameter jati dapat mencapai 220 cm, umumnya 50 cm, bentuk batang tidak teratur
dan beralur. Pohon tua sering beralur dan berbanir. Kulit batang tebal, abu-abu atau
coklat muda keabu-abuan. Daunnya lebar mencapai 15-35 cm dan panjangnya 25-
50 cm (Fitrah, 2018).
Bentuk daun ellips dan terletak bersilangan. Bagian bawahnya abu-abu dan
tertutup bulu berkelenjar warna merah. Pohon Jati dewasa sering menggugurkan
daun pada musin kemarau. Riap pertambahan diameter jati sebesar 2,07006 cm/thn,
sedangkan riap pertambahan tinggi sebesar 2,6666 cm/thn. Jati (Tectona grandis
Linn.f.) merupakan tanaman yang sangat populer sebagai penghasil bahan baku
untuk industri perkayuan karena memiliki kualitas dan nilai jual yang sangat tinggi.
Kekuatan dan keindahan seratnya merupakan faktor yang menjadikan kayu jati
sebagai pilihan utama. Jati digolongkan sebagai kayu mewah (fancy wood) dan
memiliki kelas awet tinggi yang tahan terhadap gangguan rayap serta jamur dan

5
mampu bertahan sampai 500 tahun. Sampai sekarang jati masih menjadi komoditas
mewah yang banyak diminati oleh masyarakat walaupun harga jualnya mahal
(Fitrah, 2018).
Jati merupakan salah satu yang menghasilkan kayu yang baik untuk
pertukangan dan kegunaan lainnya. Di dunia, terdapat 23 genera jati yang sebagian
besar tanaman tersebut menghasilkan kayu. Di Indonesia, Jati diperkirakan telah
dibudidayakan sejak 800 tahun yang lalu dan mengalami proses naturalisasi
sehingga mampu tumbuh dengan baik pada iklim dan kondisi tanah setempat.
Indonesia mengelola hutan tanaman jati seluas ±1 juta ha, dimana luasan itu
merupakan 31% dari total seluruh luasan hutan tanaman Jati yang ada di dunia yaitu
5,7 juta ha. Jati telah lama dikenal di Indonesia sejak jaman dahulu dan
dipergunakan kayunya untuk bahan rumah, jembatan, kapal kayu dan perahu. Jati
memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia karena memiliki kekuatan,
keawetan dan mudah dalam pengerjaannya (Pramono, et.al, 2020).

II.2 Bonita
Bonita adalah suatu ukuran kualitas tempat tumbuh hutan tanaman yang
ditetapkan berdasarkan hasil pengukuran tinggi rata-rata seratus pohon tertinggi per
hektar (pohon peninggi) suatu tegakan pada umur tertentu atau suatu ukuran
kualitas tempat tumbuh hutan tanaman yang ditetapkan berdasar hasil pengukuran
tinggi rata – rata seratus pohon tertinggi per ha (pohon peninggi ) suatu tegakan
pada umur tertentu. Bonita I menunjukkan kualitas tempat tumbuh paling rendah
dan bonita V dan VI menunjukkan kualitas paling tinggi (Josia, 2015).
Data umur dan pengukuran tinggi/peninggi tanaman akan digunakan untuk
menentukan bonita. Untuk menyetarakan dengan sistem klasifikasi lahan, maka
bonita juga di kelaskan: bonita 3 menjadi cukup baik untuk jati, bonita 3.5 adalah
baik untuk jati, bonita 4- 5 adalah sangat baik untuk jati. penilaian kualitas lahan
secara bonita hanya dapat dilakukan setelah tanaman mencapai umur tertentu, dan
pada lahan kosong atau setelah tebangan mengacu pada hasil risalah RPKH
sebelumnya (Heru, dkk. 2020).
Pengukuran kualitas tempat tumbuh sebagai langkah awal dan berperan
penting dalam perencanaan pengelolaan hutan. Ada 2 cara yaitu secara langsung
dan tidak langsung. Pengukuran secara langsung dengan melakukan analisa

6
terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas hutan seperti: kandungan
hara tanah, tekstur dan struktur tanah, kelembaban, temperatur, topografi dan
sebagainya. Sedangkan pengukuran kualitas tempat tumbuh secara tidak langsung
adalah dengan menggunakan bonita. Bonita merupakan peng-kelas-an kesuburan
tanah pada suatu lahan hutan tanaman yang disusun dalam suatu kurva dengan
parameter peninggi dan umur. Bonita ditetapkan dan berlaku hanya untuk suatu
jenis tertentu saja. Bonita suatu jenis tegakan hutan tanaman mempunyai bonita
tersendiri yang tidak dapat digunakan sebagai bonita untuk jenis lainnya (Riyanto,
2021).
Model penduga kualitas tempat tumbuh tegakan jati dibangun
menggunakan analisis diskriminan pada perangkat lunak. Analisis diskriminan
pada perangkat lunak ini dapat dijalankan dengan mudah dan output yang
dihasilkan telah dilengkapi dengan kesesuaian fungsi diskriminan yang terbentuk.
Analisis diskriminan merupakan salah satu teknik klasifikasi tempat tumbuh baik
dengan menggunakan peubah tunggal maupun peubah ganda. Analisis diskriminan
adalah teknik statistik yang digunakan pada hubungan dependensi pada kasus
dimana peubah tidak bebas adalah data kualitatif dan peubah bebas berbentuk data
kuantitatif. Analisis diskriminan menggunakan data bonita yang diperoleh dari hasil
pengukuran peninggi (bukan bonita yang digunakan oleh KPH Nganjuk) sebagai
peubah terikatnya, sedangkan peubah bebasnya diperoleh dari pengamatan citra.
Peubah ganda digunakan dalam analisis ketika antar peubah tidak memiliki korelasi
yang kuat. Hubungan antar peubah tersebut ditentukan dengan menggunakan nilai
koefisien korelasi Pearson. Fungsi diskriminan bonita yang dibangun adalah fungsi
diskriminan model linear dan fungsi diskriminan model kuadratik. Fungsi Bonita
yang diperoleh dari fungsi diskriminan selanjutnya disesuaikan dengan bonita
peninggi Identifikasi bonita dilakukan dengan pendekatan peluang maksimum.
Nilai diskriminan yang terbesar menyatakan hasil analisis yang sesuai untuk
tegakan yang dimaksudkan (Kusnadi, 2016).
Dalam pengelolaan hutan tanaman, penentuan kualitas tempat tumbuh
sangat terkait erat dengan banyaknya kayu yang dapat dihasilkan dari suatu lahan
hutan. Kualitas tempat tumbuh merupakan nilai penunjuk (indeks) yang
berhubungan erat dengan produktivitas kayu. Salah satu pendekatan yang paling

7
umum digunakan untuk menaksir kualitas tempat tumbuh adalah melalui kurva
bonita. Kurva bonita didefinisikan sebagai tinggi maksimum dari parameter
tegakan atau parameter lain pada umur tertentu sebagai dasar penentuannya. Salah
satu model kurva bonita yang paling umum digunakan adalah model anamorfik
(anamorphic). Kurva anamorfik dikembangkan dengan mencocokkan rata-rata
tinggi dengan umur panduan (akhir daur) yang didasarkan pada data dan menyusun
rangkaian dari kurva tertinggi atau terendah dengan bentuk kurva yang seragam
sesuai dengan kurva panduan. Dengan menggunakan metode maksimum minimum,
model tersebut dapat dikembangkan dengan menggunakan persamaan
pertumbuhan meninggi Schumacher. Pendekatan bonita untuk menunjukkan
kualitas suatu lahan dapat cepat diketahui pada hutan tanaman yang telah dikelola
secara baik. Bila lahan tersebut belum dikelola atau baru saja dilakukan penanaman
maka akan menjadi pembatas untuk mengetahui kelas kualitas lahannya
berdasarkan bonita. Selanjutnya, tanpa/belum diketahuinya bonita suatu
petak/lahan hutan maka akan menjadi penghambat dalam proses perencanaan dan
pengelolaan tegakan hutan tanaman karena hampir semua strategi dan kebijakan
pengelolaan didasarkan pada bonita (Riyanto, 2021).
Lingkungan hutan biasanya dinamakan tempat tumbuh. Tempat tumbuh
dapat diartikan dengan jumlah dari keadaan–keadaan yang efektif yang
mempengaruhi penghidupan suatu tumbuh–tumbuhan atau masyarakat tumbuh–
tumbuhan. Dilihat dari segi silvikultur maka tempat tumbuh adalah semua yang
berhubungan dengan faktor–fakor yang mempengaruhi vegetasi hutan. Jadi
jelasnya bahwa tempat tumbuh adalah amat kompleks dan merupakan hasil
interaksi dari banyak faktor yang dihasilkan persatuan areal berkorelasi dengan
faktor – faktor tempat tumbuh. Suatu perubahan–perubahan dalam faktor–faktor
akan menyebabkan suatu perubahan dalam volume kayu yang diprodusir dan juga
perubahan dalam sifat–sifat vegetasinya. Suatu perubahan dalam suplai air di
bawah jumlah optimum yang diperlukan suatu tipe vegetasi akan menurunkan hasil
volume. Kualitas tempat tumbuh menunjukkan kapasitas produksi dari suatu areal
tanah hutan biasanya untuk suatu kombinasi dari spesies (Trisoena , 2013).
Pertumbuhan pohon secara individu atau dalam tegakan sangat ditentukan
oleh kualitas tempat tumbuh. Masing-masing jenis tanaman menghendaki tempat

8
tumbuh tersendiri karena tiap jenis tanaman mempunyai karakter tersendiri
sehingga kualitas tempat tumbuh untuk setiap jenis tanamannya berbeda satu
dengan yang lainnya. Kualitas tempat tumbuh dipengaruhi oleh: sifat/kesuburan
tanah, iklim dan faktor biotik. Tiga faktor tersebut akan berinteraksi bersama
dengan suatu jenis tanaman menghasilkan suatu potensi produksi. Dari ketiga faktor
yang dapat mempengaruhi kualitas tempat tumbuh, faktor kesuburan tanah
merupakan faktor yang bersifat selalu berubah,sehingga faktor kesuburan tanah
merupakan faktor yang dapat dimanipulasi untuk kepentingan peningkatan
produktivitas sumber daya hutan (Riyanto dan Pahlana, 2012).
Bonita adalah ukuran yang digunakan untuk menentukan kualitas tempat
tumbuh. Penetapan nilai bonita sering didasarkan pada hubungan antara rata-rata
peninggi dengan umur dengan tegakan. Salah satu penentu kualitas kayu jati adalah
tinggi tanaman jati semakin baik kualitas dari jati tersebut. Sedangkan penilaian
bonita melalui penilaian karakteristik lahan mungkin dapat dikembangkan dan akan
lebih bermanfaat khususnya bagi kepentingan perencanaan, pengembangan dan
pengolahan hutan jati. Penetapan kualitas tempat tumbuh berdasarkan antara
peninggi dan umur tegakan di lapangan memang sangat praktis tetapi mempunyai
kelemahan dimana penilaian terlalu rendah bagi tegakan yang masih muda dan
sebaliknya penilaian terlalu tinggi untuk tanaman yang sudah tua. Evaluasi kualitas
tempat tumbuh dapat dilakukan dengan metode langsung dan tidak langsung.
Metode langsung untuk menentukan kualitas tempat tumbuh adalah dengan
menumbuhkan tegakan berkerapatan penuh terhadap jenis yang diinginkan pada
suatu tempat tumbuh untuk periode yang direncanakan (Trisoena, 2013).

II.3 Penjarangan
Penjarangan merupakan kegiatan yang dijalankan pada tegakan seumur atau
kelompok seumur dan tegakan tidak seumur pada setiap saat sebelum permulaan
atau periode permudaa. Tujuannya yaitu pemungutan pohon terutama untuk
mendistribusikan kembali potensi pertumbuhan atau untuk meningkatkan kualitas
tegakan tinggal. Pada dasarnya penjarangan adalah suatu upaya pemeliharaan yang
dilakukan manusia pada tegakan pohon dalam suatu areal hutan, tujuannya adalah
menciptakan keseimbnagan antara kepentingan biologi dari pohon dan kepentingan
ekonomi untuk memperoleh hasil yang maksimal dikemudian hari. Penjarangan

9
berpengaruh terhadap tegakan yaitu meningkatkan diameter batang, tinggi tegakan
dan volume total tegakan. Selain itu jumlah batang tegakan dan volume tegakan
tinggal berkurang. Dampak penjarangan adalah memberikan ruang tumbuh yang
lebih baik pada tegakan tinggal, terutama perkembangan tajuk aupun pertambahan
riap. Dapat diungkapkan pula bahwa pada penjarangan pohon-pohon dengan
diameter yang snagat kecil yaitu kurang dari 5 cm memang tidak menguntungkan
dan menambah beban biaya pemeliharaan. Dengan alasan tersebut, maka dalam
banyak hal, kegiatan penjarangan tidak dilaksanakan, Jika dianalisis lebih lanjut,
maka tampak bahwa pohon-pohon tanpa penjarangan akan sangat berpengaruh
pada hasil akhir yang diperoleh dari suatu kawasan hutan (Wanggai, 2017).
Jarak tanam awal yang rapat yang diikuti dengan penjarangan secara
bertahap merupakan salah satu teknik silvukultur yang banyak digunakan dalam
meningkatkan kualitas batang Jarak tanam awal yang rapat yang diikuti dengan
penjarangan secara bertahap merupakan salah satu teknik silvukultur yang banyak
digunakan dalam meningkatkan kualitas batang (Kartikaningtyas, dkk. 2017).
Frekuensi penjarangan tergantung pada ruang tumbuh optimal yang
dibutuhkan tegakan pada saat itu. Pada umur muda penjarangan dilakukan dengan
intensitas lemah dan berangsur-angsur menjadi penjarangan keras pada umur pohon
yang sudah tua. Penjarangan yang mendadak keras merugikan karena.
meningkatkan pertumbuhan gulma, meningkatkan penebalan kulit dan cabang,
memacu pertumbuhan cabang, dan meningkatnya kayu muda (Juvenile wood)
(Siahaya, 2017).
Secara alami terjadi persaingan dalam suatu masyarakat tumbuh-
tumbuhan. Pada kondisi yang demikian, terjadi suksesi hingga mencapai kondisi
klimaks, yaitu saat tercatat keseimbangan antara masyarakat tumbuh-tumbuhan
dengan lingkungannya. Pohon-pohon yang tertekan, kalah dalam persaingan akan
mati dan ini merupakan penjarangan alami. Dalam proses demikian akan terjadi
pengurangan jumlah pohon secara bebas dan tidak teratur akibat seleksi alami
dalam suatu kawasan hutan. Selanjutnya diungkapkan bahwa penjarangan secara
alami akan membiarkan banyak energi dan materi yang terbuang dalam jangka
panjang sehingga memerlukan campur tangan anusia. Untuk itu penjarangan buatan
perlu dilakukan agar lebih banyak energi dan materi alam dapat digunakan oleh

10
tumbuhan secara optimum sesuai ruang dan waktu tertentu. Penjarangan dapat
dilakuan 2 kali pada umur 5-7 tahun sebanyak 25% dan pada umur 10 tahun
sebanyak 25% dan pada umur 15 tahun dilakukan tebang habis atau panen total.
Penjarangan dan penebangan dilakukan dengan berbagai pertimbangan yang
mungkin bisa dilakukan ini tergantung pada: Jarak tanam; Kesuburan tanah;
Perawatan; Pelaksanaan penjarangan sendiri didasarkan atas beberapa
pertimbangan antara lain: Pertimbangan ekonomis; Jumlah pohon persatuan luas
ideal; Penjarangan sistematik; Penjarangan seleksi rendah; Penjarangan tajuk;
Berkaitan dengan prinsip-prinsip penjarangan tersebut, maka yang ideal adalah
dilakukan dengan kaidah selemah mungkin akan tetapi sesering mungkin. Sebab
penjarangan yang terlalu keras akan menyebabkan ruang tumbuh yang terlalu
terbuka yang mengakibatkan tanaman menjadi lunglai, sedangkan penjarangan
yang telalu lemah menyebabkan tanaman menjadi kurang optimal pertumbuhannya
(Manan, 2014).
Kegiatan penjarangan merupakan tahapan tindakan silvikultur yang
diterapkan dalam pengelolaan hutan tanaman di Indonesia. Tindakan silvikultur ini
merupakan upaya dalam peningkatan nilai produksi, ekonomi dan ekologi dari
hutan tanaman. Akan tetapi, pelaksanaan penjarangan pada hutan tanaman masih
menimbulkan dampak lingkungan, di antaranya adalah kerusakan tegakan tinggal,
pemadatan tanah dan gangguan terhadap kehidupan satwa liar Serangga memiliki
hubungan keterikatan rantai makanan terhadap individu pohon yang berada dalam
hutan. Pengurangan jumlah individu pohon sebagai akibat dari kegiatan
penjarangan akan berakibat terhadap penurunan jumlah kelimpahan individu
serangga dan perubahan iklim mikro dalam ekosistem hutan. Sebagai bagian dari
ekosistem, serangga berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem
hutan melalui perannya sebagai produsen, konsumen dan dekomposer. Oleh karena
diperlukan sebuah pendekatan penelitian dalam melihat hubungan dari
pengurangan kelimpahan serangga terhadap penurunan fungsi lingkungan sebagai
akibat dari kegiatan penjarangan (Akbar, dkk. 2019).
Penjarangan tegakan dilakukan terutama terhadap HTI untuk tujuan
produksi kayu pertukangan, sedangkan untuk kayu bakar, kayu serat dan non kayu
tidak dilakukan penjarangan. Kegiatan penjarangan dilakukan pada masing-masing

11
petak tanaman paing banyak tiga kali dalam satu daur. Penjarangan tegakan adalah
tindakan pengurangan jumlah batang persatuan luas untuk mengatur kembali ruang
tumbuh pohon dalam rangka mengurangi persaingan antar pohon dan
meningkatkan kesehatan pohon dalam tegakan. Adapun tujuan pelaksanaan
penjarangan adalah untuk memacu pertumbuhan dan meningkatkan kualitas dan
kuantitas tegakan agar diperoleh tegakan hutan dengan massa kayu dan kualitas
kayu yang tinggi sehingga dapat memberikan penghasila yang tinggi selama daur.
Jadi pada dasarnya tujuan kegiatan ini untuk memberikan ruang tumbuh yang lebih
baik bagi individu-individu terpilih dan menghilangkan individu yang cacat atau
tidak terpilih (Siahaya, 2017).
Kegiatan penjarangan sebaiknya dilakukan pada musim kemarau. Pohon-
pohon yang dimatikan dalam penjarangan terdiri dari: 1. Pohon-pohon dengan
batang cacat atau sakit (bengkok angin, pangkal batang berlubang atau cacat, luka
terbakar, luka tebangan, benjol inger-inger, dll). 2. Pohon-pohon dengan batang
yang kurang baik bentuk atau kualitasnya (garpu, bayonet, bengkok, benjol, muntir,
dan bergerigi yang dalam). 3. Pohon-pohon tertekan (kecuali untuk mengisi lubang-
lubang tajuk) yaitu pohon yang tajuknya, seluruh atau sebagian besar, berada di
bawah tajuk pohon lain dan tingginya kurang dari tiga perempat tinggi rata-rata.
Semakin cepat tumbuh tanaman, semakin subur tanah dan semakin rapat tegakan,
maka semakin awal penjarangan pertama perlu dilakukan. Ada dua criteria dalam
menetapkan waktu penjarangan, yaitu: 1. Perbandingan tajuk aktif yaitu
perbandingan antara tajuk sampai batas cabang hidup (masih bereran dalam
fotosintesis) dengan tinggi total tanaman/pohon. Untuk daun lebar penjarangan
dilakukan saat perbandingan tajuk aktif 30-40 %, dan untuk daun jarum saat
perbandingan 40-50 %. 2. Setelah beberapa saat tajuk pohon menutup. Umumnya
untuk jenis cepat tumbuh penjarangan pertama dilakukan pada kisaran umur 3-4
tahun dan untuk jenis medium dan lambat tumbuh pada kisaran umur 5-10 tahun
(Siahaya, 2017).
Intensitas penjarangan didasarkan pada jumlah basal area dari pohon-pohon
yang dijarangi, berdasarkan data pengukuran yang dilakukan pada saat pembuatan
plot permanen. Disamping itu letak sebaran dari pohon yang dijarangi harus

12
tersebar merata ke seluruh plot, sehingga efek dari penjarangan dapat dirasakan di
seluruh bagian plot (Duryat dan Diniyarti, 2016).
Ada 4 metode penjarangan yang dapat dipakai, yaitu: 1. Penjarangan
Sistematik dilakukan dalam jalur atau larikan. Dasar pertimbangannya adalah
kebutuhan kayu dan keuntungan yang dapat diperoleh dari hasil penjarangan saat
itu. 2. Penjarangan Seleksi Rendah (Selective Low Thinning). Dasar
pertimbangannya adalah memacu pertumbuhan dan meningkatkan kualitas tegakan
tinggal. Semua pohon berukuran kecil dan pertumbuhannya kurang baik atau
tertekan ditebang atau dijarangkan. 3. Penjarangan Tajuk. Ada dua tipe penjarangan
tajuk, yaitu: 1. Penjarangan Tajuk Ringan. Semua pohon yang mati kena penyakit
dan pohon yang menduduki lapisan tajuk teratas (wolf trees) dijarangkan. Pohon
yang ditinggalkan adalah pohon-pohon kelas kodominan dan dominan. 2.
Penjarangan Tajuk Berat hampir sama dengan penjarangan tajuk ringan. Bedanya
semua pohon yang menyaingi pohon yang terpilih termasuk pohon dominan juga
ditebang. Pohon yang sudah ditetapkan harus tersebar merata di seluruh areal dan
tidak saling menyaingi. 4. Penjarangan menurut HART. Dasar pertimbangannya
adalah hasil penjarangan harus memberikan kesempatan kepada pohon-pohon
pemenang untuk melebarkan tajuknya. Derajat kekerasan penjarangan dinyatakan
dalam S % (Siahaya, 2017).
Manan (2014) mengemukakan bahwa pada umumnya terdapat lima metode
penjarangan yang digunakan, yaitu:
1. Penjarangan Rendah (Low Thinning)
Disebut penjarangan rendah karena dimulai dari lapisan tajuk yang paling
bawah dan merupakan cara tertua diterapkan di Jerman sehingga cara ini dikenal
denganistilah Metode Jerman. Prinsip dasar yang diterapkan dalam metode ini
adalah semua pohon dan tajuk jelek pada lapisan paling bawah ditebang kemudian
disusul pohon-pohon dengan tajuk yang jelek pada lapisan tajuk di atas sampai pada
lapisan tajuk paling atas.
2. Penjarangan Tajuk (Crown Thinning)
Penjarangan tajuk lebih diarahkan pada pohon-pohon kelas tajuk paling atas
(dominanan trees) dan kelas tajuk pertengahan. Dari proses penjarangan ini maka
perbedaan pokok antara low thinning dan crown thinning adalah bahwa dalam

13
crown thinning tidak ada penjelasan ringan karena dimulai dari pohon kelas tajuk
paling atas serta pohon-pohon yang ditinggalkan untuk penjarangan ringan karena
dimulai dari pohon kelas tajuk kodominan dan dominan. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa pohon-pohon yang ditinggalkan berasal dari dua kelas lapisan
tajuk dalam satu kelas umur. Kelemahan metode penjarangan ini adalah dua kelas
diterapkan pada tegakan pohon yang distribusi atau sebaran kelas-kelas tajuknya
yang tidak jelas dalam satu kelas umur tegakan.
3. Penjarangan Seleksi ( Selection Thinnning)
Ciri khusus dari penjarangan ini seleksi adalah dimulai dari pohon-pohon
dominan dengan tajuk paling atas akan dimanfaatkan kayunya. Penjarangan seleksi
sangat berbeda dengan penjarangan rendah yaitu dimulai pada pohon-pohon yang
tertekan. Prinsip dari penjarangan seleksi adalah memanfaatkan secara maksimal
hasil terbaik pohon selama daurnya. Dengan demikian, pohon kododminan dan
yang tertekan diberi ruang tumbuh yang lebih baik untuk dimanfaatkan kayunya
pada penjarangan berikutnya. Dapat disimpulkan bahwa cara penjarangan ini lebih
cocok diterapkan pada suatu tegakan yang menghasilkan kayu dengan diameter
sedang dan kecil.
4. Penjarangan Mekanik (Mechanichal Thinning)
Penjarangan ini berbeda dengan metode-metode lainnya yaitu dengan
metode mekanik, yang menjadi pertimbangan utama atau dasar penjarangan pohon
adalah posisi tajuk pohon yang akan ditebang. Biasanya metode penjarangan ini
diterapkan pada tegakan seumur dan tingginya hamper seragam. Dalam
aplikasinya, pohon pada jarak tertentu ditebang sehingga disebut pula penjarangan
jalur atau row thinning. Secara umum penjarangan ini diterapkan pada tegakan yang
berukuran sedang setelah mencapai ukuran poles atau tiang maka digunakan
metode lain.
5. Penjarangan Bebas (Free Thinning)
Penjarangan bebas umumnya merupakan gabungan penerapan dari metode
lain sehingga disebut free thinking tidak terikat pada persyaratan tertentu. Pada
umumnya penjarangan bebas dilakukan pada tegakan yang belum dilakukan
penjarangan. Dalam pelaksanaan penjarangan beberapa hal seperti jarak, posisi
tajuk, bentuk batang menjadi pertimbangan dalam penetapan tegakan yang akan

14
ditebang. Dengan demikian, pohon-pohon yang ditinggalkan berpenampilan kekar
dan diharapkan memberikan produk kayu terbaik dikemudian hari.

II.4 Derajat Kekerasan


S% (Derajat Ketinggian Penjarangan), yaitu rata-rata jarak antara pohon
yang dinyatakan dalam persen terhadap rata-rata peninggi pohon (sama dengan
rata-rata pohon tertinggi per ha dalam tegakan). S% optimal memberikan ruang
tumbuh optimalbagi pohon dalam tegakan sampai saat penjarangan berikutnya.
Untuk S% optimal diperlukan data pertumbuhan pohon pada setiap umur tegakan.
Besarnya S% pada akhir penjarangan beragam menurut jenis, umumnya berkisar
antara 15–35%. Pohon yang terbaik yaitu bila jarak antar pohon merupakan segitiga
sama sisi, sehingga 1 pohon dikelilingi oleh 6 pohon yang jaraknya masing-masing
sama-sama jauh, dan pohon yang ditengah tersebut akan mempunyai ruangan untuk
perkembangan tajuk yang tidak menyebelah (Mawan, 2018).
Ada empat kategori tingkat atau derajat kekerasan penjarangan, yaitu :
sangat lemah, lemah, agak keras, dan keras. Penciri atau indikator dari penjarangan
sangat lemah adalah dimulai pada pohon-pohon tertekan yang pasti akan mati
secara alami. Indikator dari penjarangan lemah adalah dilaksanakan pada pohon-
pohon tertekan yang dan beberapa dari pohon codominan. Indikator dari
penjarangan agak keras adalah dilaksanankan pada pohon-pohon codominan dan
penjarangan keras dicirikan oleh beberapa pohon dominan yang jarak tumbuhnya
tidak teratur juga ikut ditebang (Taiyeb, 2015).
Kekerasan penjarangan dinyatakan dengan derajat kekerasan penjarangan
yakni perbandingan antara rata-rata jarak pohon (a) dengan peninggi (Pe) dan
dinyatakan dalam %.
S % = a/Pe x 100%
Berdasarkan S % (persen sela), yaitu rata-rata jarak antar pohon yang
dinyatakan dalam persen terhadap rata-rata peninggi pohon (= rata-rata 100 pohon
tertinggi per ha dalam tegakan). S % optimal memberikan ruang tumbuh optimal
bagi pohon dalam tegakan sampai saat penjarangan berikutnya. Untuk menetapkan
S % optimal diperlukan data pertumbuhan pohon pada setiap umur tegakan.
Besarnya S % pada akhir penjarangan beragam menurut jenis, umumnya berkisar
antara 15-35 %.

15
Wolff Von Wulfing juga telah menyusun tabel yang mengutarakan S%
untuk berbagai kelas umur dan bonita. Perubahan S% dalam tegakan jati penting
untuk menetukan frekuensi penjarangan. Untuk mengukur S% dengan cepat dari
suatu petak percobaan jati Ferguson membuat nomogram yang memberi hubungan
antara luas petak percobaan, jumlah batang per petak percobaan dan jumlah batang
per ha dan S%, dengan demikian dapat dilihat dengan cepat perubahan- perubahan
dalam kekerasan penjarangan, baik oleh pertumbuhan tegakan sendiri maupun oleh
kerusakan (Taiyeb, 2015).
Kekerasan penjarangan ditentukan melalui Jumlah pohon perhektar dan
diameter. Menurut Becking von Becking, jumlah pohon hutan jati sama dengan 900
ha. Di Indonesia, terutama di hutan Jati, kekerasan penjarangan atau kerapatan
tegakan ditentukan dengan bantuan S % dari Hart (1928) dan Becking (1935) yang
sudah 200 tahun tetapi masih relevan (bergayut). Dalam kekerasan penjarangan
ditentukan persentase jumlah pohon yang harus dibuang (apakah ditebang, diteres,
atau diracun) dalam 1ha. Keuntungan penjarangan dengan jumlah pohon perhektar
(N/ha) adalah pelaksanannya relatif mudah, namun kelemahannya tidak dapat
mencirikan berapa besar yang diambil dari tegakan. Hal ini disebabkan oleh jumlah
pohon yang sama dapat menghasilkan bidang dasar yang berbeda. Oleh karena itu,
Krammer menyukai bidang dasar sebagai kriteria kekerasan penjarangan karena
dianggap lebih objektif dan mewakili situasi dalam tegakan. Penjarangan dengan
jumlah pohon (N) relevan digunakan apabila distribusi diameter relatif seragam
(Taiyeb, 2015).

II.5 Kerapatan
Kerapatan tegakan menjelaskan mengenai jumlah tegakan per satuan luas.
Untuk satuan luas dari kerapatan tegakan menggunakan satuan hektar, jadi hasil
dari kerapatan tegakan berupa jumlah tanaman per hektar. Untuk mengetahui
kerapatan tegakan, maka dilakukan pengambilan sampel sesuai dengan tutupan
lahan yang sudah diidentifikasi sebelumnya. Dalam pengambilan sampel untuk
analisis vegetasi sebenarnya ada beberapa metode, salah satunya menggunakan
metode garis berpetak, karena peneliti menilai bahwa metode garis berpetak sangat
mudah dilakukan dan dipahami. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 5 kali
pengambilan dengan menggunakan metode purposive sampling di masing-masing

16
tutupan lahan. Alasan pengambilan sampel sebanyak lima kali karena penelitian
harus disesuaikan dengan kondisi waktu, cuaca, lingkungan, dan sumber daya
manusia yang ada. Kategori tegakan yang dicatat hanya dibedakan dalam empat
golongan yaitu: pohon, tiang, pancang dan semai. Dari total hasil pengambilan
sampel di setiap wilayah akan diambil rata-rata dan hasilnya sebagai data kerapatan
tegakan di masing-masing wilayah tutupan lahan (Husin, dkk. 2014).
Kerapatan tegakan atau kerapatan pohon didefenisikan sebagai jumlah
pohon yang terdapat dalam suatu luasan tertentu dan biasanya dinyatakan dalam
hektar. Kerapatan tegakan merupakan faktor terpenting kedua setelah tempat
tumbuh dalam penentuan produktivitas tempat tumbuh. Hal ini penting karena
kerapatan tegakan merupakan faktor utama yang dapat dimanipulasi dalam
pengembangan tegakan. Kerapatan pohon pada hutan tanaman berbeda dengan
kerapatan pohon pada hutan alam. Kerapatan pohon pada hutan tanaman biasanya
teratur, oleh karena disesuaikan berdasarkan tuntutan ruang tumbuh yang
dibutuhkan oleh setiap jenis pohon yang ditanam. Sedangkan kerapatan pohon pada
hutan alam tidak teratur, sehingga sulit mendapatkan kerapatan seperti yang
diinginkan. Pada tegakan hutan alam, biasanya kerapatan pohon akan tinggi pada
kelas diameter kecil dan akan menurun pada kelas diameter yang makin besar. Hal
ini terjadi oleh karena adanya kompetisi yang tinggi baik antar individu dalam satu
jenis, maupun antar berbagai jenis, sehingga tidak setiap individu mendapatkan
kesempatan untuk tumbuh secara wajar, walaupun tidak mati (Leonika, dkk. 2021).
Kerapatan dibagi atas 2 yakni kerapatn rendah dan kerapatan tinggi.
Hubungan antara kerapatan dengan pertumbuhan dapat dinyatakan secara umum
yaitu jumlah produksi dalam kubik dalam suatu tegakan dengan komposisi tertentu
pada umumnya tetap dan optimum dalam suatu kisaran kerapatan (range density)
yang besar. Pengaruh kerapatan tanaman terhadap diameter dan tinggi tanaman
yaitu semakin besar kerapatan tanaman maka semakin kecil diameter dan tinggi
tanaman yang ada. Hal ini disebabkan karena kerapatan yang besar berarti jumlah
tanaman sejenis banyak tumbuh di ruang sempit, saling berkompetisi untuk
mendapatkan air, dan nutrisi yang jumlahnya terbatas. Oleh karena itu diameter
batang dan tinggi tanaman tidak dapat tumbuh. Bengitupun sebaliknya, jika
kerapatan kecil maka air dan nutrisi yang tersedia akan semakin besar dan

17
kesempatan tanaman untuk menyerap air dan nutrisi semakin besar, sehingga
diamtere batang dan tinggi tanaman bisa tumbuh secara maksimal. Pengaruh
kerapatan tanaman terhadap pertumbuhan akar dan tajuk yaitu semakin besar
kerapatan tanaman, pertumbuhan akar dan tajuk tanaman akan semakin kecil karena
faktor nutrisi dan air akan diperebutkan oleh banyak tanaman yang sejenis.
Pengaturan jarak tanam merupakan salah satu cara untuk menciptakan faktorfaktor
yang dibutuhkan tanaman dapat tersedia secara merata bagi setiap individu tanaman
dan untuk mengoptimasi penggunaan faktor lingkungan yang tersedia (Sutrisno,
dkk 2019).
Kerapatan vegetasi pada suatu wilayah dapat mempengaruhi sifat fisik pada
tanah karena berbagai macam faktor. Hal ini karena, banyaknya cahaya matahari
yang dapat menembus hingga lantai hutan tergantung pada kerapatan tegakan
dalam suatu wilayah. Semakin sedikit cahaya matahari yang masuk maka semakin
rapat tegakan tersebut karena cahaya matahari tertahan oleh massa tajuk dan
sebaliknya, semakin banyak cahaya yang menembus lantai hutan itu menandakan
bahwa kerapatan tajuk jarang. Kerapatan tegakan dapat menunjukan jumlah
kehadiran individu pohon dalam suatu petak yang didapatkan dengan rumus
menurut Oosting, 1956 : K= (Ʃ pohon ditemukan dalam plot/ luas plot contoh x
Ʃ plot contoh) x 100%. Kerapatan tegakan juga dapat menggunakan pendekatan
Luas Bidang Dasar (LBDs) dengan rumus: LBD= ¼ π.d² (Leonika, dkk. 2021).
Kerapatan tegakan hutan merupakan salah satu faktor penting dalam
menentukan produktivitas tempat tumbuh dalam tegakan hutan yang sudah ada. Hal
ini penting karena kerapatan tegakan hutan merupakan faktor utama yang dapat
dimanipulasi dalam rangka pengembangan tegakan. Kerapatan tegakan merupakan
faktor terpenting kedua setelah tempat tumbuhdalam penentuan produktivitas
tempat tumbuh. Hal ini penting karena kerapatan tegakan merupakan faktor utama
yang dapat dimanipulasi rimbawan dalam pengembangan tegakan. Melalui
manipulasi kerapatan tegakan silvikulturis dapat mempengaruhi pemantapan jenis
selama periode permudaan, dan juga memodifikasi kualitas batang, kecepatan
pertumbuhan diameter, dan bahkan volume produksi selama periode perkembangan
tegakan. Kerapatan tegakan didefenisikan sebagai ukuran kuantitatif stok pohon
yang dinyatakan secara relative sebagai koefisien, dengan mengambil jumlah

18
normal, luas bidang dasar atau volume sebagai unit, atau secara mutlak dalam
istilah jumlah pohon, luas bidang dasar total, atau volume setiap unit areal.
Kerapatan tegakan adalah ukuran kuantitatif stok pohon didasarkan pada
jumlahnormal, luas bidang dasar dan volume (Sutrisno, dkk 2019).
Metode untuk pengukuran kerapatan tegakan didasarkan pada prinsip
biologis yang hanya dikenal baru-baru ini yaitu, korelasi yang tinggi antara lebar
tajuk pohon yang tumbuh terbuka dan diameternya. Metode ini terbukti berguna
untuk estimasi pengurangan tinggi yang disebabkan oleh berbagai derajat stagnasi
pada Pinus contorta. Metode ini memberikan alat untuk mengetahui jumlah tekanan
sampingan yang dapat ditahan suatu jenis dan memberikan wawasan yang berharga
mengapa beberapa jenis mampu tumbuh pada tegakan yang lebih rapat dari yang
lain. Metode ini mengukur karakteristik biologis lain suatu jenis yang tidak
bergantung pada umur dan tempat tumbuh. Metode persaingan tajuk dikembangkan
untuk memberikan data ruang tumbuh maksimal yang dapat digunakan oleh pohon
dan data keperluan pohon minimal untuk mempertahankan tempatnya dalam
tegakan (Sutrisno, dkk 2019).

19
III. METODE PRAKTIKUM

III.1 Waktu dan Tempat


Praktikum Penaksiran Potensi dan Produktivitas Tegakan Jati (Tectona
grandis) di lakukan pada hari Jumat, 25 Maret 2022 dan berlokasi di Tegakan Jati
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin.

III.2 Alat dan Bahan


III.2.1 Alat
1. Roll meter
2. Tali rafia
3. Pita meter
4. Abney level
5. Kamera
III.2.2 Bahan
1. Alat tulis menulis
2. Tally sheet
3. Tegakan Jati

III.3 Prosedur Kerja


1. Menentukan lokasi pengamatan. Kemudian membuat 2 plot segi empat dengan
tali rafiah masing-masing seluas 10 m x 10 m.
2. Untuk mengukur sudut tinggi total pohon, tentukan terlebih dahulu jarak
pengamat ke pohon, kita dapat melihat sudutnya dengan menggunakan abney
level dan jarak yang digunakan yaitu 10 meter dan tinggi pengamat (sampai
mata).
3. Untuk mengukur sudut tinggi bebas cabang, tentukan terlebih dahulu tajuk
pertamanya dan kemudian diukur sama seperti mengukur sudut tinggi total.
4. Mengukur keliling dengan cara pita meter dilingkarkan ke batang setinggi
dada.
5. Setelah pengukuran, maka selanjutnya menghitung TBC, TT, VTT, dan
VTBC.
6. Mencatat hasil yang diperoleh pada tally sheet.
7. Mengolah data yang telah dikumpulkan menggunakan rumus.

20
III.4 Analisis Data
Analisis Data
1. Mengukur diameter pohon dengan cara mengukur keliling pohon yang
dikonversi ke diameter, dengan rumus:

Diameter = k/π
Keterangan:
K : keliling pohon (cm)
π : 3,14

2. Menghitung tinggi bebas cabang dengan menggunakan rumus:

Tbc= (tan αtbc x jp) + tp


Keterangan:
αtbc : sudut tinggi bebas cabang menggunakan abney level
jp : jarak pengamat ke pohon, yaitu 10 meter
tp : tinggi pengamat (sampai mata)

3. Menghitung tinggi total dengan menggunakan rumus:

TTot= (tan αtt x jp) + tp


Keterangan :
αtt : sudut tinggi pohon menggunakan abney level
jp : jarak pengamat ke pohon, yaitu 10 meter
tp : tinggi pengamat (sampai mata)

4. Menghitung luas bidang dasar pohon (LBDS) dengan menggunakan rumus


sebagai berikut:
LBDS = ¼ π d2
Keterangan :
LBDS : Luas bidang dasar
π : 3,14
D : Diameter

21
5. Menghitung volume tinggi total (TTOT) dan volume tinggi bebas cabang
(TBC) dengan menggunakan rumus:

VT.Tot = LBDS × T.Tot × f


Keterangan:
VT.Tot : Volume tinggi total
LBDS : Luas bidang dasar
T.Tot : Tinggi total
f : Angka bentuk (0,8)

VTBC = LBDS × TBC × f


Keterangan:
VTBC : Volume tinggi bebas cabang
LBDS : Luas bidang dasar
TBC : Tinggi bebas cabang
f : Angka bentuk (0,8)

6. Kurva Kelas Diameter


J = d maksimal – d minimal
K = 1 + 3,3 log (jumlah pohon)
P = J/K
Keterangan:
d = diameter
J = Jangkauan data
K = Banyaknya interval kelas
P = Panjang Kelas
7. Kerapatan
a. Kerapatan Individu
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑃𝑜ℎ𝑜𝑛
Kerapatan individu/ha = 𝐿𝑢𝑎𝑠

b. Kerapatan LBDS
∑𝐿𝐵𝐷𝑠 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑝𝑙𝑜𝑡
Kerapatan LBDs/ha = 𝐿𝑢𝑎𝑠 𝐴𝑟𝑒𝑎

22
Luas Plot Sampel = 0,1 ha
8. Bonita
ℎ1+ℎ2+ℎ3+⋯+𝑛
H= 𝑁

Keterangan:
H = Tinggi rata-rata (peninggi)
h = peninggi masing-masing pohon
N = jumlah pohon

9. S%
𝑎
S% Hitung = = x 100%
𝑝𝑒

Keterangan:
2
a = √10000 𝑥 √𝑁√3

N = jumlah pohon
S% Tabel dapat dilihat pada Tabel Bonita

23
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1 Hasil
IV.1.1 Kelas Diameter
Kelas diameter ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
K = 1 + 3,33 log (jumlah pohon)
P = (d maximum – d minimum) / K
Jadi, K = 1 +3,33 log (97) = 8
P = (44-5) / 8 = 4,87

Tabel 1. Sebaran Kelas Diameter


Interval F Nilai Tengah
5-9,87 1 7,43
9,88-14,75 7 12,31
14,76-19,63 23 17,19
19,64-24,51 28 22,07
24,52-29,39 28 26,95
29,40-34,27 7 31,83
34,28-39,15 2 36,71
39,16-44,03 1 41,59

Kelas Diameter Tegakan Jati


30
25
Frekuensi

20
15
10
5
0

Interval Kelas

Kelas Diameter Kurva Diameter

Grafik 1. Kurva diameter

24
IV.1.2 Kerapatan Tegakan
a. Kerapatan Individu
Kerapatan Individu ditentukan dengan menggunakan rumus berikut:
Kerapatan Individu = Jumlah pohon / luas
Jumlah pohon = 97 pohon
Jadi, Kerapatan individu = 97 / 0,1 = 970 pohon/ha
b. Kerapatan LBDS
Kerapatan LBDS ditentukan dengan rumus berikut:
Kerapatan LBDS = ∑ LBDS seluruh plot / luas
Plot 1 = 0,57 m²
Plot 2 = 0,41 m²
Plot 3 = 0,41 m²
Plot 4 = 0,40 m²
Plot 5 = 0,44 m²
Plot 6 = 0,15 m²
Plot 7 = 0,59 m²
Plot 8 = 0,30 m²
Plot 9 = 0,37 m²
Plot 10 = 0,53 m²
∑ LBDS seluruh plot = 4,16 m²
Jadi, kerapatan LBDS = 4,16 / 0,1 = 41,62 m²/ha

IV.1.3 Bonita
a. Peninggi
Untuk menentukan bonita, sebelumnya peninggi seluruh plot harus
ditentukan terlebih dahulu dengan rumus berikut:
Peninggi seluruh plot = ∑ pohon tertinggi setiap plot / 10
Plot 1 = 26,35 m
Plot 2 = 18,92 m
Plot 3 = 26,30 m
Plot 4 = 23,00 m
Plot 5 = 26,34 m
Plot 6 = 14,86 m

25
Plot 7 = 28, 87 m
Plot 8 = 28,87 m
Plot 9 = 28,95 m
Plot 10 = 38,80 m
∑ Pohon tertinggi setiap plot = 261,26 m
Jadi, peninggi seluruh plot = 261,26 / 10 = 26,12 m
b. Bonita
Bonita ditentukan dengan rumus berikut:
Bonita I = (Peninggi pada umur 15–Peninggi pada umur 10) / 15-10 = x
Bonita I = Peninggi pada umur 10 tahun + x
Bonita II sampai V ditentukan dengan rumus yang sama.
1) Bonita I
(12,8-10,7) / 15-10 = 0,42
10,7 + 0,42 = 11,12
2) Bonita II
(16,4-13,6) / 15-10 = 0,56
13,6 + 0,56 = 14,16
3) Bonita III
(20,0-16,6) / 15-10 = 0,68
16,6 + 0,68 = 17,28
4) Bonita IV
(23,6-19,6) / 15-10 = 0,8
19,6 + 0,8 = 20,04
5) Bonita V
(27,0-22,6) / 15-10 = 0,88
22,6 + 0,88 = 23,48
Peninggi yang didapatkan adalah 26,12 m untuk tegakan jati yang diamati berada
pada Bonita V.

IV.1.4 Derajat Kekerasan


a. S% Hitung
S% hitung ditentukan dengan menggunakan rumus berikut:
S% hitung = (a / peninggi) x 100%

26
a = √10.000 x √(2 / 97√3) = 10,91
Jadi, S% hitung = 10,91 / 26,12 x 100% = 41,76%
b. S% Tabel
S% Tabel ditentukan menggunakan rumus berikut:
S% Tabel I = (S% umur 15 – S% umur 10) / 15-10 = y
S% Tabel I = S% tabel umur 10 + y
S% Tabel II sampai V ditentukan dengan rumus yang sama.
1) S% Tabel I
(20,4-19,1) / 15-10 = 0,26
19,1 + 0,26 = 19,36
2) S% Tabel II
(21,3-20,4) / 15-10 = 0,18
20,4 + 0,18 = 20,58
3) S% Tabel III
(22,7-21,3) / 15-10 = 0,28
21,3 + 0,28 = 21,58
4) S% Tabel IV
(24,3-22,6) / 15-10 = 0,34
22,6 + 0,34 = 22,94
5) S% Tabel V
(26,2-23,8) / 15-10 = 0,48
23,8 + 0,48 = 24,28
S% Hitung yang didapatkan adalah 41,76%, yang dimana S% Hitung tersebut lebih
besar dari S% Tabel I sampai V sehingga tidak perlu dilakukan penjarangan.

27
IV.2 Pembahasan
Kegiatan praktikum dilakukan pada hari Jumat, 25 Maret 2022 yang
berlokasi di tegakan jati (Tectona grandis) Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Hasanuddin. Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui potensi dan produktivitas
tegakan dengan mengetahui kondisi bonita maupun derajat kekerasan
penjarangannya melalui data hasil inventarisasi tegakan. Pada tegakan ini diperoleh
pula informasi bahwa pada hutan tanaman yang diamati hanya terdiri atas satu
tanaman, yaitu jati.
Luas plot sampel yaitu 0,1 ha yang di mana terdapat 10 plot yang diamati
dengan luas masing-masing 0,01 ha. Jumlah total pohon adalah 97 pohon dengan
10 peninggi yang tersebar secara merata.
Hasil analisis data menunjukkan bahwa tegakan jati lebih banyak berada
pada kisaran interval kelas diameter 19,64-24,51 cm dan 24,52-29,39 cm dengan
jumlah masing-masing 28 pohon, dengan arti bahwa pertumbuhan tegakan tersebut
pada umumnya berada pada fase tiang atau pohon. Kelas diameter dominan pada
interval ini karena pengaturan jarak tanam yang terbilang rapat, sehingga
pertumbuhan pohon lebih banyak diarahkan kepada pertumbuhan tingginya. Jarak
tanam yang rapat juga menyebabkan bentuk batang dari pohon jati berbentuk
silindris. Sedangkan pada kelas diameter terkecil berada pada interval kelas 5-9,87
cm dan 39,16-44,03 cm yang hanya terdapat masing-masing 1 pohon saja.
Kerapatan tegakan hutan merupakan salah satu faktor penting dalam
menentukan produktivitas tempat tumbuh dalam tegakan hutan yang sudah ada.
Kerapatan tegakan adalah ukuran kuantitatif stok pohon didasarkan pada jumlah
normal, luas bidang dasar dan volume. Hubungan antara kerapatan dengan
pertumbuhan dapat dinyatakan secara umum yaitu jumlah produksi dalam m³ dalam
suatu tegakan dengan komposisi tertentu pada umumnya tetap dan optimum dalam
suatu kisaran kerapatan (range density) yang besar. Pengaruh kerapatan tanaman
terhadap diameter dan tinggi tanaman yaitu semakin besar kerapatan tanaman maka
semakin kecil diameter dan tinggi tanaman yang ada. Hal ini disebabkan karena
kerapatan yang besar berarti jumlah tanaman sejenis banyak tumbuh di ruang
sempit, saling berkompetisi untuk mendapatkan air, dan nutrisi yang jumlahnya
terbatas. Oleh karena itu diameter batang dan tinggi tanaman tidak dapat tumbuh.

28
Bengitupun sebaliknya, jika kerapatan kecil maka air dan nutrisi yang tersedia akan
semakin besar dan kesempatan tanaman untuk menyerap air dan nutrisi semakin
besar, sehingga diamtere batang dan tinggi tanaman bisa tumbuh secara maksimal
(Sutrisno, dkk 2019).
Pada kerapatan tegakan disini didapatkan dua hasil, yaitu yang pertama
kerapatan individu yang menggambarkan kerapatan dari suatu tegakan. Dimana
kerapatan individunya yaitu 970 pohon/ha. Yang kedua yaitu kerapatan LBDs yang
menggambarkan integrasi antara jumlah pohon dan luas permukaan batang dalam
suatu tegakan dengan nilai kerapatan LBDs sebesar 41,62 m²/ha.
Bonita adalah ukuran yang digunakan untuk menentukan kualitas tempat
tumbuh. Penetapan nilai bonita sering didasarkan pada hubungan antara rata-rata
peninggi dengan umur dengan tegakan. Metode penentuan bonita yang digunakan
adalah metode secara tidak langsung, yaitu dengan menggunakan tabel bonita.
Tabel bonita merupakan pengkelasan kesuburan tanah pada suatu lahan hutan
tanaman yang disusun dalam suatu kurva dengan parameter peninggi dan umur.
Bonita suatu jenis tegakan hutan tanaman mempunyai bonita tersendiri yang tidak
dapat digunakan sebagai bonita untuk jenis lainnya. Dalam pengamatan, peninggi
yang diperoleh pada seluruh plot adalah 26,12 m. Peninggi ini diperlukan untuk
menentukan kualitas tapak tegakan. Dari data peningi tersebut dapat dilihat bahwa
tegakan jati yang diamati terdapat pada kelas bonita V yang artinya kualitas
kesuburan tapak cukup baik untuk ditumbuhi tanaman.
Kekerasan penjarangan dinyatakan dengan derajat kekerasan penjarangan,
yaitu perbandingan antara rata-rata jarak antar pohon dengan tingginya, pohon
peninggi. Atau merupakan suatu angka yang ditentukan berdasarkan perbandingan
(dalam persen) yang tepat antara jarak antar pohon rata-rata dan tinggi pohon.
Angka perbandingan ini kemudian dinyatakan sebagai S%. Makin besar angka
perbandingan ini, maka makin besar pula intensitas penjarangan tegakan. Umur dan
bonita tegakan dengan demikian menentukan S% (Taiyeb, 2015).
Untuk perhitungan derajat kekerasan didapatkan hasil S% Hitung sebesar
41,76%, yang dimana S% Hitung tersebut lebih besar dari S% Tabel I sampai V
sehingga tidak perlu dilakukan penjarangan.

29
V. KESIMPULAN DAN SARAN
V.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari pengamatan yang dilakukan, maka
dapat disimpulkan sebgai berikut:
1. Tegakan jati yang diamati dengan jarak tanam yang rapat memiliki 8 sebaran
kelas diameter dari 5 cm hingga 44 cm dengan frekuensi pohon terbanyak pada
interval kelas 19,64-24,51 cm dan 24,52-29,39 cm dengan jumlah masing-
masing 28 pohon dan frekuensi pohon terkecil pada interval kelas 5-9,87 cm
dan 39,16-44,03 cm yang hanya terdapat masing-masing 1 pohon saja.
2. Kerapatan tegakan jati terbilang tinggi yaitu kerapatan individu dengan nilai
970 pohon/ha dan kerapatan LBDs adalah 41,62 m²/ha.
3. Tegakan jati yang diamati berada pada bonita V yang dikategorikan cukup baik
yaitu 26,12 m.
4. Tegakan jati di Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin yang diamati tidak perlu
dilakukan penjarangan karena S% Tabel lebih kecil dari S% Hitung dengan nilai
41,76%.

V.2 Saran
V.2.1 Saran Untuk Laboratorium
Praktikum sudah berjalan cukup baik, karena dilakukan secara offline
sehingga pelaksanaannya cukup berjalan dengan lancar. Namun dalam melakukan
praktikum terkadang masih terdapat beberapa kesalahan yang terjadi serta alat yang
kurang lengkap sehingga praktikan harus membawa sendiri alat-alat praktikum
yang dibutuhkan. Untuk kedepannya semoga peralatan praktikum yang lebih
lengkap dan akurat bisa disediakan oleh laboratorium.

V.2.2 Saran Untuk Asisten


Untuk kakak asisten sudah sangat baik dalam memberikan dan menjelaskan
tentang praktikum, namun kedepannya semoga kakak asisten bisa menjelaskan
mengenai praktikum dengan lebih rinci lagi agar praktikan bisa lebih memahami
lagi mengenai praktikum yang akan dilakukan.

30
DAFTAR PUSTAKA

Akbar A., A. Budiaman, N.F. Haneda. 2019. Dampak Penjarangan Hutan Tanaman
Terhadap Komunitas Serangga Di Kph Sukabumi. Media Konservasi
.24(1), 52-59.
Duryat, dan M. Riniarti. 2016. Permudaan Alami Tegakan Bakau Hitam
(Rhizophora mucronata) Pada Berbagai Kekerasan Penjarangan Di Hutan
Mangrove Desa Margasari Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten
Lampung Timur. Seminar Nasional Perikanan Dan Kelautan. 227-236.
Fitrah. 2018. Partisi Curah Hujan Pada Tegakan Jati (Tectona grandis). Fakultas
Kehutanan, Universitas Hasanuddin.
Hardjana, A.K., dan L. Suastati. 2014. Produktivitas Tegakan Tanaman Meranti
Tembaga (Shorea leprosula miq.) Dari Cabutan Alam dan Stek Pucuk.
Jurnal Penelitian Dipterokarpa. 8(1), 47-58.
Heru D.R., H. Beny, B.P., Pamungkas. 2020. Hubungan Bonita Dengan Kelas
Kesesuaian Lahan (KKL) Hutan Tanaman Jati. Jurnal Litbang Provinsi
Jawa Tengah. 18(1), 1-12.
Husin M.,, H. Ahmad, E. Novita. 2014. Analisis Kerapatan Tegakan Di Kawasan
Taman Nasional Baluran Berbasis QUANTUM-GIS. Berkala Ilmiah
Teknologi Pertanian. 1(1), 1-5.
Josia. (2015). Mini Riset Geografi Tanah. Malang : UB press.
Kartikaningtyas D., T. Setyaji, A. Nirsatmanto. 2017. Volume Tegakan Acacia
mangium Pada Uji Perolehan Genetik Dengan Kerapatan Tegakan Tinggi.
Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan. 11(2), 113 – 122.
Kusnadi, I.N.S., Jaya, N. Puspaningsih, M. Basuki, L. Hakim. 2016. Model
Penduga Kualitas Tempat Tumbuh Jati (Tectona grandis) Menggunakan
Citra Resolusi Sangat Tinggi Pesawat Tidak Berawak Di Kph Nganjuk.
Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea. 5(2), 185-194.
Leonika A, Y. Nugroho, G.S. Rudy. 2021. Pengaruh Kerapatan Tegakan Terhadap
Sifat Fisik Tanah Pada Berbagai Tutupan Lahan Di Khdtk Mandiangin Ulm.
Jurnal Sylva Scienteae. 04(4), 608 – 616.
Manan, K.M. 2014. Prinsip – Prinsip Silvikultur. Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press.

31
Mawan, S. 2018. Penerapan Silvika dalam Kemasyarakatan. Bogor.
Pramono, A.A., M.A. Fauzi, N. Widyani, I. H. James, M. Roshetko. 2020.
Pengelolaan Hutan Jati Rakyat Panduan Lapangan untuk Petani.
CIFOR:Bogor.
Riyanto, H.D. 2021. Padanan Bonita dengan Kelas Kesesuaian Lahan Hutan
Tanaman Jati. Jurnal Litbang Provinsi Jawa Tengah. 19(1),49-55.
Riyanto, H.D., dan Pahlana, U.W.H. 2012. Kajian Evaluasi Lahan Hutan Jati
Sistem Bonita di Kesatuan Pemangkuan Hutan (Kph) Cepu. Jurnal
Penelitian Hutan Tanaman. 9(1), 43 – 50.
Siahaya, L. 2017. Penanaman dan Pemeliharaan. Fakultas Pertanian Universitas
Pattimura: Ambon.
Sutrisno, Manggai, Sahad Abdul. 2019. Silvika (Bahan Kuliah Fakultas Kehutanan
Universitas Mulawarman untuk Kalangan Sendiri ). Samarinda: Fakultas
Kehutanan Mulawarman.
Taiyeb, A. 2015. Metode Penjarangan. Laboratorium Ilmu-Ilmu Kehutanan
Fakultas Kehutanan Universitas Tadulako:Palu.
Trisoena. 2013. Prinsip – Prinsip Silvika dan Konsep Silvikultur. Yogyakarta.
Wanggai. 2017. Pengaruh Hutan dan Manajemen Penjarangan. Departemen
Manajemen Hutan. Bogor.

32

Anda mungkin juga menyukai