Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

KURIKULUM MONTESSORI DAN KURIKULUM


KREATIF
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Kurikulum PAUD
Dosen Pengampu : Dr. Hj. Aeni Latifah, M.Pd

Oleh:

Isyfina Kamilah

PROGRAM PENDIDIKAN ISLAM ANAK USIA DINI

INSTITUT MADANI NUSANTARA

Jl. Lio Balandongan Sirnagalih (Beugeg) No.74 Kel.Cikondang Kec.Citamiang

Kota Sukabumi

2023
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha pengasih lagi Maha penyayang, kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat dan
inayah-nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tentang
KURIKULUM MONTESSORI DAN KREATIF Makalah ini telah kami susun dengan
maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar
pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terimakasih kepada pihak
yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari
segi susunan kalimat maupun bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami
menerima saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini. Akhir
kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat terhadap pembaca.

Sukabumi, 20 November 2023


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................2

DAFTAR ISI..............................................................................................................................3

BAB I.........................................................................................................................................4

PENDAHULUAN......................................................................................................................4

A. Latar Belakang................................................................................................................4

B. Rumusan Masalah...........................................................................................................5

C. Tujuan Penulisan.............................................................................................................5

BAB II........................................................................................................................................6

PEMBAHASAN........................................................................................................................6

A. Konsep Umum Model Pembelajaran Montessori........................................................6

B. Pendekatan kurikulum Montessori..............................................................................7

C. Prinsip Utama Pendekatan Kurikulum Montessori...................................................10

D. Kurikulum Kreatif.....................................................................................................11

BAB III.....................................................................................................................................15

PENUTUP................................................................................................................................15

A. Kesimpulan...................................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................16
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan akan memiliki arah, tujuan, dan pelaksanaan yang baik jika dari
awal telah direncanakan secara matang. Salah satu jenis pendidikan di Indonesia
adalah PAUD. Filosofi merupakan salah satu hal yang harus dijadikan pijakan ketika
akan menyelenggarakan pendidikan agar arah pelaksanaannya sistematis dan sesuai
dengan tuntutan lingkungan. Filosofi pendidikan mengacu pada aspek-aspek filosofi
dan pemikiran beberapa filsuf PAUD yang ada, baik Indonesia maupun dunia.
Melalui teori-teori tentang anak, maka pemahaman penyelenggara pendidikan anak
usia dini terhadap konsep dan pelaksananaan pembelajaran akan lebih sesuai dengan
karakteristik dan perkembangan psikologis anak.
Keberhasilan ataupun kegagalan dalam bidang pendidikan tidak terlepas dari
adanya peran kurikulum yang digunakan dalam proses pendidikan. Kurikulum
merupakan salah satu alat untuk mencapai tujuan pendidikan, dan digunakan sebagai
pedoman dalam pelaksanaan proses belajar mengajar pada berbagai jenis dan tingkat
sekolah. Kurikulum menjadi dasar dan cermin falsafah pandangan hidup suatu
bangsa, akan diarahkan kemana dan bagaimana bentuk kehidupan bangsa ini di masa
depan, semua itu ditentukan dan digambarkan dalam suatu kurikulum pendidikan.
Anak usia dini merupakan periode emas yang sangat menentukan periode-
periode berikutnya. Pentingnya memberikan pendekatan yang sesuai untuk AUD dan
berguna bagi masa depan anak. Kemandirian dan kreatifitas merupakan hal penting
yang perlu ditanamkan pada anak sejak dini.
Di era milenial yang serba instan ini, kemandirian merupakan hal yang langka
bagi anak. Mulai dari hal kecil sampai hal besar. Sebagian anak sudah jarang sekali
bisa membantu orang tua di rumah, bahkan untuk kepentingan diri mereka sendiri
terkadang masih memerlukan bantuan orang dewasa. Hal ini dikarenakan kemampuan
mereka untuk terampil dan membentuk kemandirian tidak terasah dengan baik.
Selain kemandirian, kreatifitas pun perlu diasah sejak dini. TK maupun
lembaga PAUD yang bersifat monoton melemahkan kreatifitas anak untuk
bereksplorasi. Padahal, rentang usia dini merupakan usia emas yang menentukan
perkembangan-perkembangan pada tahap selanjutnya, sehingga rujukan
pendidikannya harus sesuai dengan karakteristik anak usia dini. Perkembangan
intelektual, spriritual, dan sosial emosional seorang manusia merupakan hasil dari
perkembangan dimasa golden age.
Salah satu pendekatan yang bisa dikembangkan sebagai dasar penyusunan
kurikulum adalah pendekatan yang dikembangkan oleh Montessori. Pendekatan
kurikulum Montessori memfokuskan pada tujuh hal seperti practical life, sensorik,
bahasa, matematika, artistik, musik, dan budaya. Ketujuh pembelajaran tersebut
mengasah kemandirian dan kreatifitas anak. Metode montessori ini menjadi metode
yang menarik perhatian orang tua dan guru karena kualitasnya mencetak anak yang
mandiri, teratur, disiplin, dan kreatif.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Konsep Umum Model Pembelajaran Montessori?
2. Bagaimana Pendekatan kurikulum Montessori?
3. Apa Prinsip Utama Pendekatan Kurikulum Montessori?
4. Bagaimana Konsep Umum dsri Kurikulum Kreatif?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Memahami Konsep Umum Model Pembelajaran Montessori
2. Untuk Memahami Pendekatan kurikulum Montessori
3. Mengetahui Prinsip Utama Pendekatan Kurikulum Montessori
4. Untuk Memahami Konsep Umum Kurikulum Kreatif
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Umum Model Pembelajaran Montessori


Menurut Montessori, anak-anak memiliki kemampuan alamiah untuk
berkembang sendiri. Anak-anak mempunyai hasrat alami untuk belajar dan bekerja,
bersamaan dengan keinginan yang kuat untuk mendapatkan kesenangan. Selain itu,
anak juga memiliki keinginan untuk mandiri. Keinginan untuk mandiri tersebut tidak
muncul atas perintah dari orang dewasa melainkan muncul dari dalam diri anak
sendiri.
Individu dikatakan sudah mandiri apabila ia mampu menjalankan atau
melakukan sendiri aktivitas hidup terlepas dari pengaruh kontrol orang lain terutama
orang tua. Dorongan-dorongan alamiah tersebut akan terpenuhi dengan memfasilitasi
anak dengan aktivitas-aktivitas yang penuh kesibukan. Namun dalam kegiatan
tersebut sebaiknya anak tidak dibantu melainkan harus berlatih sendiri.
Model pembelajaran Montessori memberikan kebebasan kepada anak untuk
berpikir, berkarya dan menghasilkan sesuatu. Hal ini dikarenakan masa peka anak
tidak dapat diketahui kapan kepastian kemunculannya. Kebebasan ini bertujuan agar
anak dapat mengaktualkan potensi anak sebebas-bebasnya. Model pembelajaran
Montessori memfokuskan pada pengembangan aspek motorik, sensorik dan bahasa.
Penekanan utamanyaditempatkan melalui pengambangan alat-alat indera. Model
pembelajaran Montessori membebaskan anak untuk bergerak, menyentuh,
memanipulasi dan bereksplorasi secara bebas. Hal ini mengasah kreatifitas pada anak
usia dini. Kreatifitas itu sendiri merupakan kemampuan seseorang untuk mencipta
yang ditandai dengan orisinilitas dalam berekspresi yang bersifat imajinatif (Webster,
2007).
Dalam pandangan Montessori, tujuan alami anak adalah “Aku bisa
melakukannya sendiri.” Sebagai tambahan, sang anak juga memiliki cetak biru
bawaan perkembangan mereka sendiri, yang terbuka secara alami apabila
mendapatkan lingkungan yang sesuai dan kebebasan bertindak akan dapat
mengoptimalkan perkembangan anak.
Kebebasan diperlukan bertujuan agar anak bisa memilih apa yang paling
berguna dan paling menarik dalam berbagai hal dari semua materi dan pengalaman
yang ditawarkan. Konsekuensi dari kebebasan tersebut, orang dewasa atau guru
mengamati minat dan kegiatan anak, memperoleh wawasan dalam kepribadian dan
perkembangan anak, dan menyesuaikan atau memodifikasi lingkungan untuk
memenuhi kebutuhan anak. Menurut Montessori, disiplin sejati hanya bisa dimulai
dalam atmosfer kebebasan.
Saat seorang anak melakukan tugas untuk memuaskan kebutuhan akan keingin
tahuannya, maka perhatian dipusatkan pada tugas yang sedang dilakukan dengan cara
memperpanjang fokus, menyesuaikan “kemauan” pada satu tujuan atau benda, dan hal
itu dapat memunculkan pertumbuhan disiplin diri. Kualitas kebebasan dalam sebuah
kelas Montessori tergantung pada perkembangan fokus dan disiplin diri ini. Menurut
Montessori, salah satu dari hal ini secara logis tidak bisa terjadi tanpa hal yang lain.

B. Pendekatan kurikulum Montessori


Pendekatan kurikulum Montessori memfokuskan pada tujuh hal seperti
practical life, sensorik, bahasa, matematika, artistik, musik, dan budaya. Berikut
rinciannya:
1) Kehidupan sehari-hari (practical life)
Kegiatan kehidupan praktis mendorong anak untuk mengikuti kegiatan sesuai
dengan latar belakang yang dilakukannya di rumah.Berdasarkan hasil observasi
yang dilakukan, sekolah memiliki kegiatan khusus untuk anak belajar melakukan
aktifitas di kehidupan sehari-hari. Kegiatan tersebut dilakukan di satu ruang
bernama partical life room yang sudah dilengkapi dengan sarana dan prasarana
serta media pembelajaran yang dapat mengembangkan kemampuan anak dalam
mengaplikasikan partical life-nya. Kegiatan tersebut meliputi: membuat adonan
kue, mencetak kue dengan menggunakan media bermain playdough, mengayak
tepung terigu dan kacang hijau, menuangkan air dari teko bening ke gelas dengan
tepat, menjemur baju dengan miniatur baju yang telah disediakan, dan lain-lain.
Semua alat dan media sudah disediakan di ruangan partical life. Anak bebas
memilih kegiatan apa yang ingin mereka perankan. Disamping itu, guru
mengamati anak dalam proses kegiatan serta memberikan catatan pada setiap anak
sebagai laporan kegiatan hariannya. Pembelajaran di practical life ini mengasah
kemandirian anak dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Anak diajak untuk
terlibat dalam pekerjaan yang sangat dekat dengan aktifitasnya di rumah.
2) Penginderaan
Materi penginderaan yang dimaksud Montessori yaitu serangkaian latihan yang
berurutan, menyenangkan, dan rancangannya terlihat sederhana sehingga ketika
diberikan kepada anak, anak merasa mampu. Semua kegiatan ini bertujuan untuk
menyaring dan mempertajam semua indera serta menciptakan dasar penginderaan
bagi perkembangan kecerdasan selanjutnya. Setiap rangkain kegiatan dimulai dari
hal yang sederhana hingga rumit. Berdasarkan hasil observasi selama proses
kegiatan berlangsung, setiap rangkaian kegiatan dilakukan secara berurutan oleh
anak. Guru mengkondisikan terlebih dahulu kegiatan dan tema apa yang akan
anak lakukan pada hari itu. Terlihat secara ekspresi bahwa anak merasa senang
selama mengikuti kegiatan. Guru terlebih dahulu memraktikan bagaimana cara
menggunakan media bermain untuk anak dengan gerakan gerakan yang
memudahkan anak. Gerakan tersebut mampu menstimulus anak dalam
mengaktifkan penginderaannya. Satu contoh yang dilakukan anak di area math:
Guru memeragakan bagaimana menggunakan media bermain dengan balok
timbangan yang terbuat dari kayu. Guru terlebih dahulu memasukkan jarinya ke
dalam lubang timbangan untuk memperkirakan ukuran lubang tersebut, setelah itu
guru menunjukkan ekspresi sedang mencari anak timbangan yang pas dengan
ukuran lubang yang telah diperkirakan sebelumnya melalui jari, kemudian anak
timbangan tersebut dimasukkan ke dalam lubang timbangan yang sesuai dengan
ukurannya. Begitu seterusnya, setiap lubang memiliki ukuran yang berbeda dari
kecil hingga besar. Guru tidak menjelaskan dengan suara, melainkan hanya
dengan gerakan dan ekspresi saja. Anak benar-benar memperhatikan dengan
seksama, sehingga hal tersebut terlihat jelas bahwa anak sedang mengaktifkan
penginderaannya. Aspek kognitif anak juga terstimulus dikarenakan anak berfikir
dalam memahami apa yang guru peragakan. Ternyata, setelah anak mencoba
material timbangan kayu tersebut, anak benar-benar mengikuti gerakan yang
dilakukan guru tersebut. Dari cara meraba, menyentuh, memegang anak
timbangan, dan gerakan lainnya. Penginderaan anak terstimulus baik itu indera
perasa dan indera penglihatan, selain pancaindera aspek kognitif pun menjadi
terasah melalui media bermain tersebut.
3) Bahasa
Berdasarkan hasil observasi penerapan kelas terdapat kesesuaian dengan konsep
Montessori. Ragam kegiatan dirancang untuk menstimulasi anak dari aspek
bahasa diantaranya bermain flash card, mencocokkan huruf dengan bentuk,
bermain tebak tebak kata dan menyusun kata tersebut menggunakan huruf-huruf
dan sebagainya.
4) Matematika
Urutan matematika dimulai sebagai perpanjangan logis pengalaman sensori yang
sudah akrab bagi anak. Anak yang sebelumnya mengurutkan 10 batang kayu
merah berdasarkan panjangnya. Kemudian berlanjut pada pengelompokkan warna
berdasarkan jumlah, yang selanjutnya dirangkai dengan pengenalan simbol angka
dengan jumlah. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan di area math, kegiatan
matematika yang dilakukan pada dasarnya sama dengan konsep montessori.
Kegiatan menstimulasi anak berdasarkan pengalaman sensori yang sudah akrab
bagi anak. Contohnya: bermain matematika menggunakan playdough,
mengurutkan benda sesuai ukurannya, mengklasifikasikan warna, dan menghitung
jumlah bilangan dengan manik-manik berukuran sedang.
5) Artistik
Pada materi artistik lebih menakankan pada seni gambar, tari, dan drama. Dalam
hal ini metode Montessori memberikan ruang eksplorasi bagi anak untuk berkarya
seni dengan berbagai media misal dengan cat, crayon, bubur kertas, dan
sebagianya. Selain itu, melatih kepekaan seni anak dengan beraltih seni tari dan
drama. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan, sekolah tidak memiliki satu
ruangan khusus untuk mengeksplor kemampuan artistik anak. Namun hal ini tidak
menyurutkan kemampuan artistik anak. Kegiatan menggambar diterapkan di area
tertentu dan disesuaikan dengan tema. Contoh kegiatan artistik anak yang
dilakukan di ruang area culture. Anak bebas mengeksplorasi artistiknya dengan
tema tertentu berdasarkan area culture.
6) Musik
Materi Musikal diberikan juga pada kelas Montessori karena kemapuan musiakal
anak secara alamiah sudah ada sejak merak lahir. Beberapa kegiatan yang dapat
melatih kemampuan musiak anak misalnya bermain lonceng Montesori untuk
membedakan tinggi nada. Namun, berdasarkan hasil observasi, sekolah tidak
memiliki satu ruangan khusus untuk mengeksplor kemampuan music anak.
Namun hal ini tidak menyurutkan kemampuan anak dalam kecerdasan musik.
Kegiatan musik diterapkan pada saat classical/ morning circle. Sebelum anak
masuk ke dalam ruangan kelompok areanya masing-masing, anak melakukan
kegiatan bersama/ classical di ruangan besar bersama seluruh guru di sekolah.
Kegiatan circle morning ini diisi dengan greeting dan biasanya anak bernyanyi,
menari, bertepuk, senam pagi, ataupun kegiatan music and movement lainnya. Hal
ini bertujuan untuk pemanasan anak sebelum masuk ke dalam pokok inti dari
kegiatan montessori berdasarkan kelompoknya sesuai area yang ditentukan.
7) Subjek budaya meliputi Geografi dan Sains
Montessori menganggap kebutuhan manusia sebagai sesuatu yang universal
termasuk di dalamnya melibatkan unsur budaya. Dalam kelas Montessori, anak-
anak diberikan contoh bentuk daratan misalnya sebuah pulau dikelilingi air,
sebuah danau untuk diisi dengan air dan puzzle peta benua dan daerah lain di
bumi. Kemudian dikaitkan dengan fenomena sains yang bertujuan untuk
menstimulasi rasa ingin tahu anak. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan di
kelas budaya terdapat kesesuaian dengan konsep Montessori. Penerapan kelas
budaya di Gita Islamic Montessori School sama seperti konsep Montessori yaitu
meliputi materi geografi dan sains. Kegiatan pembelajaran pada kelas budaya
untuk menstimulasi anak diantaranya memasangkan bendera yang sama, melihat
gambar menggunakan kaca pembesar, menggunakan sapaan dengan berbagai
macam bahasa yang ada di dunia dan sebagainya.

C. Prinsip Utama Pendekatan Kurikulum Montessori


Prinsip Utama Pendekatan Kurikulum Montessori Beberapa prinsip yang
mendasari metode Montessori adalah seabagai berikut:
1. Prinsip Kemerdekaan
Anak bebas untuk menentukan apa yang ingin dipelajarinya. Tanpa ada tekanan dan
paksaan anak-anak bebas memilih kegiatan sesuai keinginan hatinya.
2. Prinsip Disiplin
Mainan yang boleh dipilih adalah yang belum dipakai orang lain dan memakai
permainan tersebut haruslah benar.
3. Prinsip Ketidak bergantungan
Anak harus belajar melalui permainan yang dipilihnya semampu yang anak bisa
dengan bantuan yang minimal dari pihak guru. Contohnya ketika kegiatan
menggulung dan mencetak adonan, anak-anak melakukannya sendiri.
4. Prinsip penghargaan Guru-guru
Guru memberikan penghargaan bila ada anak menguasai materi dan mengikuti
perintah, namun penghargaan yang diberikan tidak terlalu berlebihan hanya pada
penekanan gestur dan ekspresi.
5. Prinsip sedikit pujian dan hukuman
Anak-anak hanya akan menerima sedikit pujian dan hukuman karena prinsipnya
segala sesuatu berjalan secara wajar dan alamiah. Dalam konsep pemberian
hukuman lebih menekankan pada penegakan aturan kelas. Dalam hal ini apabila
seorang anak melanggar aturan, mengganggu atau bahkan menyakiti temannya
maka guru akan memberikan peringatan terlebih dahulu, namun jika setelah
pemberian peringatan masih saja melanggar aturan maka anak boleh duduk di kursi
berpikir untuk memikirkan apa yang sudah dilakukan dan boleh berbicara dengan
guru apabila merasa sudah siap.
6. Prinsip dari sederhana ke kompleks Materi dan aktifitas
Dari sederhana hingga ke yang rumit atau kompleks, memperkenalkan topik baru
secara umum lebih dahulu. Lantas pelan-pelan masuk kepada yang lebih spesifik
dan dilanjutkan dengan latihan yang agak rumit tahap demi tahap.
7. Prinsip perkembangan secara alamiah.
Guru memberikan stimulus dengan berbagai ragam kegiatan bagi anak untuk ikut
berpartisipasi, dan guru secara pasif mengamati perilaku anak. Dalam hal ini
memungkinkan guru memantau perkembangan secara alamiah dan mengetahui
minat anak. Dengan demikian guru bisa membantu anak berkembang optimal
secara alamiah

D. Kurikulum Kreatif
Setiap anak memiliki perkembangan yang sangat individualis, yang sering
diistilahkan dengan “ the right man on the right competences “. Untuk itu, berikan
waktu yang berbeda untuk anak yang berbeda, berikan kesempatan bagi anak untuk
tumbuh, berkembang dan belajar sesuai dengan laju dan kecepatannya masing-
masing. Nah, ketika kita bicara tentang perkembangan anakyang sangat individualis
tersebut dan ketika kita menyadari bahwa setiap anak memang berbeda satu dengan
lain, maka layanan pendidikan yang diberikan pun haruslah sesuai dengan takaran
tumbuh kembang mereka masing-masing. Dalam dunia pendidikan layanan yang
diberikan padaanak ini dipersiapkan melalui pengembangan program kegiatan
bermain, yang selama ini kita kenal istilah kurikulum.
Selanjutnya, apakah kurikulum itu ?, Sujiono dan Sujiono (2010) berpendapat
bahwa kurikulum adalah semua pengalaman belajar melalui bermain yang diperoleh
anak, ketika mengikuti pembelajaran di suatu lingkungan pendidikan. Selayaknya,
sesuai dengan pendapat tersebut, makaseharusnya implementasi dari suatu kurikulum
ada dimana-mana, saat anak belajar melalui di kelas,bermain peran, bermain balok,
bermain kinestetik, atau di halaman sekolah, seperti melakukan percobaan sederhana,
menanam dan merawat tanaman, berkunjung ke kebun buah, ke peternakan, atau
berbelanja bersama guru dan teman-temannya.
Jadi, kurikulum bukanlah hanya terbatas pada pengertian yang selama ini
banyak dipahami oleh para guru, dimana ketika disebut kurikulum, guru langsung
teringat pada dokumen tertulis yang berisi program satu tahun (prosata), program
semesteran, bulanan, rencana kegiatan mingguan dan harian atau istilah kerennya
lesson plan atau daily activity. Tidak juga salah sih pemahaman sempit tersebut,
memang dalam pengembangan kurikulum ujung-ujungnya kita harus membuat
perencanaan tertulis. Namun, apabila kita ingin mewujudkan sebuah rangkaian
layanan pendidikan yang terintegrasi dan komprehensif, maka kurikulum perlu
dimaknai lebih dari sekedar dokumen tertulis saja, itu artinya ketika kita bicara
tentang sebuah kurikulum dari suatu lembaga pendidikan, maka kita harus
membayangkan program layanan dengan sentuhan pendidikan apa saja yang
akanditerima oleh anak, mulai dari depan pintu gerbang lembaga tersebut, dimana
anak merasa ‘seperti’ hendak masuk taman bermain bukan ke ‘sekolah’ yang penuh
dengan aturan dan beban belajar, apalagi ada embel-embel diberi PR pula.
Kurikulum juga tampak pada saat ibu guru menyambut dengan hangat
kedatangan anak dipagi hari dan mengantarkan mereka dengan senyum tulus ke
gerbang perpisahan pada saat pulang. Kurikulum tampak dari peran guru yang tidak
lagi hanya sebagai pentranfer ilmu semata, tetapi mampu menjadi fasilitator siap
melayani ketika anak membutuhkan bantuan saat bermain dan melakukan aktivitas
rutin lainnya, berupa kemampuan menolong diri sendiri (self help) seperti membuka
dan memakai sepatu dan kaos kaki, makan dan minum sendiri, meletakkan dan
merapikan kembali mainannya.
Subyek sekaligus obyek dari suatu kurikulum adalah anak. Jadi, karena anak
berbeda maka kurikulum yang diberikan pun harusnya berbeda pula. Penulis
menyebutnya dengan istilah “kurikulum berciri khas” atau “kurikulum bermain
kreatif”, mengapa ? karena seorang guru perlu memiliki kreatifitas yang tinggi untuk
mengembangkan kurikulum sesuai dengan takaran tumbuh kembang anak.
Mengapa kurikulum bermain kreatif ? karena, kurikulum ini bertujuan untuk
memelihara perkembangan atau pertumbuhan optimal anak melalui pendekatan yang
kreatif, interaktif dan terintegrasi dengan lingkungan anak, serta tentunya aman,
nyaman dan menyenangkan.
Selain itu, melalui pendekatan kurikulum bermain kreatif terdapat beragam
kegiatan yang dapat membantu anak mengenal tentang diri sendiri, dengan siapa
mereka hidup, serta lingkungan dimana mereka hidup.
Lebih jauh, Dodge dan Colker ( 2000: 5-10) menegaskan bahwa kurikulum
bermain kreatif haruslah didasarkan pada bagaimana anak membangun kemampuan
sosial dan emosional; bagaimana anak belajar untuk berpikir; dan bagaimana anak
dapat mengembangkan kemampuan fisik; serta ditambahkan oleh (Sujiono dan
Sujiono, 2010: 67) bahwa bagaimana anak dapat berkembang karakternya melalui
budaya dimana mereka hidup.
Setelah kita mampu memaknai kurikulum bermain kreatif, pertanyaan
selanjutnya yanglebih penting bagi seorang guru adalah bagaimanakah cara
mengembangkan kurikulum bermain?
Kurikulum bermain kreatif yang akan dipaparkan sangatlah sederhana dan
mudah dipraktekkan oleh guru di TK, Kelompok Bermain dan atau lembaga PAUD
lainnya, asalkan mereka mau berubah dan mengikuti alur perubahan tersebut ?
Dengan semangat “ Yes I Can”.
Secara garis besar prosesnya sama, seperti urutan kegiatan belajar yang
selama ini dilakukan, yaitu:
 Pada saat Pembukaan: guru memulai dengan bercerita /Story Telling (sesuaitema),
lalu guru bersama anak membuat aturan sentra dan menjelaskan alat permainan
yang disediakan.
 Pada saat Kegiatan Inti: anak main di sentra, beres-beres dan toileting
 Pada saat Penutupan: kembali ke kelas besar dan berkumpul untuk melakukan
review kegiatan awal sampai akhir.
Lalu apa ciri khas dari kurikulum bermain kreatif ? Bagaimana cara agar kita
dapat melakukan perubahan dari kurikulum yang “biasa-biasa saja” menjadi
kurikulum bermain kreatif ?. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan, yaitu: (1)
Penataan lingkungan didalam dan diluar kelas; Kegiatan bermain dan alat
permainan edukatif yang perlu disiapkan; (3) Interaksi edukatif yang ditunjukkan
oleh guru.
Dalam kurikulum bermain kreatif terdapat dua ciri khas, yaitu adanya gelaran
sentra / area bermain dan adanya tokoh pembuka sebagai motivator dalam belajar.
Mari kita cermati kedua ciri khas tersebut.
Apakah GELARAN SENTRA BERMAIN itu?
Gelaran sentra bermain merupakan istilah yang sengaja penulis ciptakan
sebagai sebutan lain dari suatu pusat kegiatan belajar dan bermain yang selama ini
dikenal dengans ebutan SENTRA (dikalangan pendidik di Kelompok Bermain) dan
AREA (dikalangan guru Taman Kanak-kanak dan Raudahtul Athfal) atau ada juga
yang masih menggunakan istilah SUDUT kegiatan.
Adapun yang dimaksud dengan GELARAN SENTRA BERMAIN dalam
bahasan ini adalah suatu wahana atau wadah atau tempat anak bermain atau
beraktivitas lainnya. Jadi gelaran sentra bermain adalah pusat kegiatan belajar yang
dapat menjadi sarana atau tempat yang dapat mengadaptasi perbedaan gaya belajar
yang dimiliki oleh anak, tingkat kematangan dan perkembangan anak, serta
mengantisipasi perbedaan dari latarbelakang yang berbeda. Prinsip pembelajaran
yang diterapkan pada gelaran sentra bermain, yaitu individualisasi pengalaman
belajar, dimana setiap anak diperkenankan untuk memilih gelaran sentra bermain
yang akan digunakan untuk bereksplorasi dan bermain.
.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil observasi tentang pendekatan kurikulum Montessori, maka dapat
disimpulkan bahwa: Konsep pendekatan kurikulum Montessori terdapat tujuh bidang
yaitu kehidupan sehari-hari (Practical Life), penginderaan, bahasa, matematika,
artistik, musik, dan subjek budaya yang meliputi geografi dan sains. Ketujuh bidang
tersebut dapat mengasah kemandirian dan kreatiftas anak didik.
DAFTAR PUSTAKA

Steinberg, Laurence. (1995). Adolescene Sanfrancisco:

McGraw-Hill Inc. Morrison, George S. (2012). Dasar-dasar Penddikan Anak Usia


Dini. Pearson Education.

Webster, A. A., & Carter, M. (2007). Social relationships and friendships of children
with developmental disabilities: Implications for inclusive settings. A systematic
review. Journal of Intellectual & Developmental Disability, 32(3), 200-213. doi:
10.1080/13668250701549443

Norman K. Denzin dan Yvvonna S. Lincoln (2003). Strategies Of Qualitative Inquiry


(London: Sage Publication)

Anda mungkin juga menyukai