Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN SGD LBM I

“BATUK TAK HENTI”

Disusun Oleh:

NAMA : Aditya Cahya Ariadi


NIM : 022.06.0001
KELOMPOK : SGD 1
TUTOR : dr. Rohmatul Hajiriyah, S.Ked
BLOK : Respirasi II

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR
MATARAM
2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji Syukur saya panjatkan ke-hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas Rahmat-Nya saya
dapat melaksanakan dan Menyusun laporan small grup discussion (SGD). LBM 4 yang berjudul
“Batuk tak henti”. Ini tepat pada waktunya.

Dalam penyusunan Laporan SGD LBM 1 ini, saya menyadari bahwa laporan ini
sepenuhnya masih jauh dari sempurna dan masih banyak kekurangan dalam proses
penyusunannya. Hal ini diakibatkan karena masih terbatasnya kemampuan dan pengetahuan
penulis. Penulis menyadari tanpa adanya bimbingan dan petunjuk dari semua pihak tidaklah
mungkin hasil Laporan SGD LBM 1 ini dapat diselesaikan sebagaimana mestinya.

Pada Kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

• Tuhan Yang Maha Esa, berkat Rahmat dan Karunia-Nya penulis dapat
menyelesaikan Laporan SGD LBM 1 ini selesai dengan maksimal
• Selaku fasilitator dalam SGD kelompok 1, atas segala masukan, bimbingan dan
kesabaran dalam menghadapi keterbatasan penulis.
• Seluruh anggota SGD Kelompok 1 yang telah membantu dalam proses SGD
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna dan perlu pendalaman lebih
lanjut. Oleh karena itu, penulis memohon maaf sebesar-besarnya apabila ditemukan kesalahan dari
laporan berikutnya ini saat dibaca. Akhir kata penulis berharap semoga laporan ini dapat
bermanfaat bagi seluruh kalangan.

Mataram, 17 Januari 2024

Penulis
BAB I

SKENARIO

Seorang laki-laki berusia 32 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan batuk berdahak
sejak 6 minggu yang lalu, dahak berdarah sejak 1 minggu terakhir. Keluhan disertai demam ringan,
nafsu makan menurun, berat badan pasien dirasa makin lama makin menurun dan keringat banyak
terutama pada malam hari. Teman kerja pasien menderita penyakit yang sama. Pasien tidak
mendapati imunisasi sejak lahir. Pada pemeriksaan perkusi paru didapatkan keredupan di apeks
paru kiri, auskultasi rochi pada kedua apex paru. Pasien mengaku orang tua pasien sedang
konsumsi obat paket dari Puskesmas. Pasien menanyakan kepada dokter untuk kemungkinan
penularan dan pencegahan penularan penyakit tersebut.

DESKRIPSI MASALAH

Berdasarkan skenario diatas didapatkan masalah bahwa seorang laki-laki berusia 32 tahun
mengalami gejala batuk berdahak yang berkepanjangan yang sudah dialami selama 6 bulan dan
seminggu terakhir mulai muncul batuk berdarah yang disertai dengan demam ringan, nafsu makan
yang menurun, dan berat badan yang menurun. Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan adanya
auskultasi ronchi pada kedua apex paru dan didapatkan adanya suara redup pada saat perkusi
pengembangan paru dan hasil anamnesis pasien tidak melakukan imunisasi dan orang tua pasien
sedang dalam kondisi mengonsumsi obat paket dari puskesmas. Berdasarkan hal tersebut kuat
dugaan bahwa pasien mengalami gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh suatu virus ataupun
bakteri dikarenakan batuk itu merupakan respon reflek yang terjadi dikarenakan adanya suatu
iritan, batuk yang dialami pasien sudah cukup lama yang berarti pasien mengalami batuk kronis
karena telab lebih dari 3 minggu. Dugaan juga diperkuat dengan adanya kompensasi imunologis
dan juga adanya proses inflamasi. Kondisi suhu tubuh yang meningkat serta penurunan berat badan
diakibatkan oleh adanya kinerja sistem imun yang bekerja dalam membunuh bakteri yang
menyerang pasien tersebut.
Berdasarkan pemeriksaan fisik yang didapatkan adanya suara ronchi pada apex paru dapat
dicurigai bahwa pasien tersebut terinfeksi suatu bakteri ataupun virus yang menyerang paru-paru
pasien tersebut sehingga dugaan diagnosis banding yang dapat diambil adalah tuberculosis, hal ini
juga diperkuat oleh orang tua pasien yang mengonsumsi obat paket dari puskesmas sehingga kuat
dugaan bahwa pasien kemungkinan mengalami tuberculosis, pneumonia, atapun bronchitis
sehingga dari diagnosis banding ini pada laporan akan dibahas lebih lanjut terkait diagnosis tegak
yang sebenarnya dialami oleh pasien tersebut

BAB II

PEMBAHASAN

1. Jelaskan definisi dan sebutkan klasifikasi dari batuk


Batuk merupakan refleks perlindungan yang membantu membersihkan jalan nafas
melalui ekspirasi yang sangat kuat. Refleks batuk dapat diinisasi dengan oleh adanya
partikel yang terhirup, mukus terakumulasi, inflamasi, atau keberadaan benda asing juga
dapat merangsang reseptor iritan pada jalan nafas. Reflek batuk terdiri atas inspirasi,
penutupan glottis dan pita suara, kontraksi otot ekspirasi, pembukaan glottis kembali yang
menyebabkan keadaan ekspirasi mendadak yang sangat kuat dan mengeluarkan materi
pencetus batuk.

• Klasifikasi batuk:
o Batuk Akut
Batuk akut merupakan batuk yang sembuh dalam 2-3 minggu yang
disebabkan oleh infeksi saluran nafas atas, rhinitis alergi, dan bronchitis
akut.
o Batuk Kronis
Batuk kronis merupakan batuk yang berlangsung lebih dari 3
minggu, batuk kronis ini sering dialami pada individu perokok dan
penyebab tersering menurut L. McCance adalah bronchitis kronis.
o Batuk Darah ( Hemoptisis)
Batuk darah merupakan ekspektorasi darah atau secret yang
berdarah, yang menandakan adanya infeksi ataupun inflamasi yang
merusak bronkus atau parenkim dari paru.

2. Jelaskan definisi, etiologi, dan manifestasi klinis dari diagnosis banding


• Tuberkulosis
o Definisi
Tuberkulosis merupakan infeksi saluran nafas yang disebabkan oleh
bakteri tahan asam yang disebut dengan mycobacterium Tuberculosis yang
sangat menular dan dapat ditularkan melalui airbone droplet tetapi juga
dapat menyerang organ lain selain paru.
o Etiologi
- Mycobacterium Tuberculosis
o Manifestasi Klinis
Lelah, berat badan menurun, letargi, anorexia, demam subpebris
pada sore hari, batuk dengan sputum purulent lebih dari 2 minggu, rasa
cemas, sesak nafas, nyeri dada serta batuk berdahak.
• Pneumonia
o Definisi
Pneumonia merupakan infeksi dan inflamasi pada saluran napas
distal dan alveoli yang dapat disebabkan oleh virus, bakteri dan jamur
o Etiologi
- Sterptococcus pneumonia - Respiratory Synctial virus
- Pseudosomonas aeruginosa - Legionella peumophila
- Pneumocystis jirovecii - Mycoplasma pneumoniae
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari pneumonia diawali dengan infeksi virus pada
saluran nafas atas yang menyebabkan terjadinya demam, meriang, batuk
productif atau kering, malaise, nyeri pleura. Berdasarkan pemeriksaan fisik
didapatkan adanya konsolidasi paru, suara redup pada saat perkusi, terdapat
adanya suara ronchi kasar saat inspirasi, fremitus taktil meningkat, dan
adanya whispered pectoriloquy.

• Bronkitis
o Definisi
- Bronkitis Akut
Bronkitis Akut merupakan infeksi atau inflamasi akut pada
jalan nafas atau bronkus dan dapat sembuh sendiri yang disebabkan
oleh virus.
o Etiologi
- Influenza tipe A dan B
- Resporatory Synctial virus
- Bordetella pertussis
o Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis dari bronchitis akut adalah demam, batuk non produktif,
meriang, malaise

3. Pemeriksaan Fisik dan Penunjang


• Pemeriksaan Fisik
Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan adanya kelainan terkait beberapa
keterlibat organ
o Pleuritis Tuberkulosa
Kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya cairan di
rongga pleura. Ketika perkusi terdengar redup atau pekak, pada auskultasi
ditemukan suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang
terdapat cairan.
o Gejala sistemik
Dapat muncul gejala demam, penurunan berat badan, dan lemah badan
o Jantung
Takikardia, peningkatan tekanan vena dan bunyi friction rub
o Abdomen
Asites, dinding abdomen seperti adonan roti, adanya massa
intraabdomen, dan hepatosplenomegali dapat ditemukan pada TB
diseminata atau TB abdomen.
o Musculoskeletal
Pembengkakan sendi, pembentukan gibus yang nyeri terlokalisis
dapat juga ditemukan pada penderita tuberkulosis.

• Pemeriksaan Penunjang

o Pemeriksaan TCM
Pemeriksaan dengan TCM dapat mendeteksi M. tuberculosis dan
gen pengkode resistan rifampisin (rpoB) pada sputum kurang lebih dalam
waktu 2 (dua) jam. Konfirmasi hasil uji kepekaan OAT menggunakan
metode konvensional masih digunakan sebagai baku emas (gold standard).
Penggunaan TCM tidak dapat menyingkirkan metode biakan dan uji
kepekaan konvensional yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis
definitif TB, terutama pada pasien dengan pemeriksaan mikroskopis apusan
BTA negatif, dan uji kepekaan OAT untuk mengetahui resistensi OAT selain
rifampisin.

o Metode Cepat Uji Kepekaan Obat


Metode molekuler dapat mendeteksi MTB dan membedakannya
dengan Non-Tuberculous Mycobacteria (NTM). Selain itu metode
molekuler dapat mendeteksi mutasi pada gen yang berperan dalam
mekanisme kerja obat antituberkulosis lini 1 dan lini 2. WHO
merekomendasikan penggunaan Xpert MTB/RIF untuk deteksi resistan
rifampisin. Resistan obat antituberkulosis lini 2 direkomendasikan untuk
menggunakan second line line probe assay (SL-LPA) yang dapat
mendeteksi resistensi terhadap obat antituberkulosis injeksi dan obat
antituberkulosis golongan fluorokuinolon. Pemeriksaan molekuler untuk
mendeteksi gen pengkode resistensi OAT lainnya saat ini dapat dilakukan
denganmetode sekuensing

o Metode Konvensional Uji kepekaan Obat


Pemeriksaan biakan MTB dapat dilakukan menggunakan 2 macam medium
padat (Lowenstein Jensen /LJ atau Ogawa) dan media cair MGIT
(Mycobacterium growth indicator tube). Biakan MTB pada media cair
memerlukan waktu yang singkat minimal 2 minggu, lebih cepat
dibandingkan biakan pada medium padat yang memerlukan waktu 28-42
hari.

4. Penegakan Diagnosis
Pasien terduga TB setelah dilakukan anamnesis serta pemeriksaan fisik, kemudian
akan dilakukan pemeriksaan TCM untuk mengetahui mycobacterium didalam tubuh pasien
tersebut. Hasil pemeriksaan TCM terdapat 5 kategori, yang pertama MTB Positif resisten
Rifampisin, MTB Positif sensitive Rifampisin, MTB Positif Inditerminate, MTB Negatif,
dan MTB No result, error, invalid. Pada pasien dengan hasil CTM didapatkan MTB Positif
resisten rifampisin maka pasien tersebut perlu dilakukan pemeriksaan lagi yaitu
pemeriksaan Molekuler LPA lini 2 atau TCM XDR dan juga dapat dilakukan pemeriksaan
paet standar uji kepekaan fenotipik dengan tujuan untuk mengetahui resistensi terhadap
obat OAT golongan flurokuinolon. Apabila hasil tes TCM mengarah pada sensitive
terhadap obat florokuinolon maka dilakukan pengobatan TB RO Paduan jangka pendek
selama 9-11 bulan. Apabila pemeriksaan LPA menunjukkan hasil resistan terhadap obat
golongan flurokuinolon maka penatalaksaannya yang dapat diberikan kepada pasien
adalah denagn pengobatan TB RO Paduan individu.
Hasil pemeriksaan TCM yang menunjukkan MTB Positif Rifampisin Sensitif maka
perlu dilakukan uji kepekaan terhadap obat Izoniasid dengan pasien yang memiliki
Riwayat pengobatan TB selama lebih dari 1 bulan atau 28 dosis, pada pasien kasus baru
tidak perlu dilakukan uji resisten INH dikarenakan pasien TB baru belum pernah
melakukan pengobatan TB sebelumnya. Pemeriksaan Uji kepekaan INH pada pasien
dengan Riwayat pengobatan ini memiliki 2 kategori hasil yaitu sensitive INH dan resistan
INH. Apabila hasil yang didapatkan adalah Resistan INH mak pasien tersebut dapat
diberikan pengobatan TBC Monoresistan INH, namun sebalikanya pada pasien Sensitif
INH dilanjutkan dengan Terapi OAT lini pertama. Kemudian Hasil MTB Positif
Rimfampisin Indetermate, pada kasus Indeterminate ini dilakukan pemeriksaan ulang
TCM, apabila didapatkan hasil TCM MTB Negatif maka hal ini belum tentu tidak
mengalami TB sehingga perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan dengan pemeriksaan
radiologis, yaitu pemeriksaan foto thoraks dan juga dapat dilakukan pemberian obat anti
biotik nonOAT apabila kondisi rumah sakit berada jauh dari faskes rujukan TBMDR. Pada
pasien positif TB dan MTB Negatif ditunjukkan dengan didapatkannya hasil abnormalitas
paru yang mengarah pada TB atau konsumsi dari obat Antibiotik non OAT yang tidak
menghasilkan efek positif atau tidak adanya perbaikan sehingga kasus ini disebut dengan
TB terkonfirmasi klinis, namun apabila didapatkan hasil gambaran radiologis paru tidak
terdapat adanya tanda-tanda TB dan adanya perbaikan setelah mengonsumsi obat anti
biotik non OAT maka pasien tersebut sudah dipastikan bukan TB.

5. Jelaskan patofisiologi dari Diagnosis Tegak

Patofisiologi dari tuberculosis terjadi ketika bakteri mycobacterium masuk kedalam


sistem pernapasan dan berdiam di perifer paru biasanya pada apex paruyang menyebabkan
terjadinya pneumonitis non spesifik (inflamasi paru). Beberapa mycobacterium
tuberculosis akan berpindah melalui aliran limfa dan akhirnya akan berdiam diri pada
kelenjar limfa sehingga nantinya bakteri-bakteri ini akan bertemu dengan limfosit sehingga
menginisiasi sistem imun, proses inflamasi ini menyebabkan terjdinya aktivasi dari
makrofag dan neutrofil alveolus yang dimediasi oleh sel T. Nantinya makrofag yang
teraktivasi akan melepas berbagai mediator dan meningkatkan regulasi gen yang memiliki
efek downstream seperti TNF, TNF ini bertanggung jawab dalam proses penarikan dari
monosit, yang nantinya monosit ini akan menjadi aktif dan berdiferensiasi menjadi histiosit
epiteloid. Selain itu sistem imun ini juga mengeluarkan inducible nitri oxide synthase
(iNOS) yang membantu pembentukan kadar oksida nitrat (NO), membantuk pembentukan
nitrogen reaktif yang dapat membunuh bakteri mycobacterium tuberculosis.
Selain merangsang makrofag untuk membunuh mycobacterium, respon T Helper
juga mengatur pembentukan dari granuloma dan nekrosis karseosa. Makrofag ini diaktivasi
oleh IFN-y yang berdiferensiasi menjadi kumpulan histiosid epiteloid untuk membentuk
granuloma yang disebut dengan tuberkel, kemudian jaringan-jaringan yang terinfeksi oleh
mycobacterium yang berada didalam tuberkel akan mengalami kematian sehingga
membentuk suatu kematian sel yang berbentuk keju atau yang disebut dengan nekrosis
karseosa. Respon imun ini apabila bakteri berhasil terbunuh maka akan terjadi selama 10
hari. Bakteri tersebut yang berada didalam tuberkel belum sepenuhnya mati namun bakteri
tersebut dorman dan akan aktif lagi apabila sistem imunitas orang yang terinfeksi tersebut
terganggu.

6. Jelaskan komplikasi dari Tuberkulosis


• Tuberkulosis Primer Progesif
Tuberkulosis primer progesif merupakan komplikasi TB yang terjadi pada
pasien imunokompromais atau dengan defek kecil pada sistem imun, seperti pada
individu dengan kondisi kekurangan gizi. Kejadian TB primer progresif sangat
tinggi pada pasien HIV positif dengan imunosupresi yang signifkan (Jumlah CD4+
T dibawah 200 sel uL).
• Tuberkulosis Milier sistemik
Tuberkulosis milier merupakan komplikasi yang terjadi ketika organisme
atau mycobacterium tuberculosis mencapai aliran darah melalui arteri pulmonalis
dan dapat menyebar secara hematogen ke seluruh tubuh dengan organ tubuh
terbanyak yang terserang TB milier adalah, hepar, sumsum tulang, limfa, kelenjar
adrenal, lapisan meninges, ginjal, tuba fallopi, dan epididymis.

• Tuberkulosis Endobronkus, endotrakea, dan laring


Tuberkulosis ini dapat terjadi ketika materi infektif menyebar melalui
pembuluh darah limfa atau dari materi infeksius yang dibatukkan. Dengan kondisi
morfologi dari TB Endobronkus, endotrakea, dan endolaring ialah lapisan mukosa
dapat mrngandung lesi-lesi granulomatosa yang dapat terlihat saat pemeriksaan
fisik.
7. Jelaskan tatalaksana dan KIE dari Tuberkulosis

Obat anti-tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam pengobatan TB.


Pengobatan TB merupakan salah satu upaya paling efisien untuk mencegah penyebaran
lebih lanjut dari bakteri penyebab TB. Pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip
(IPD FK UI, 2014), (Ikatan Dokter Indonesia, 2019):
• Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat mengandung minimal
4 macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi
• Diberikan dalam dosis yang tepat
• Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO (pengawas menelan
obat) sampai selesai masa pengobatan.
• Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam tahap
• awal serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan.

Tahapan pengobatan TB terdiri dari 2 tahap, yaitu (Kemenkes RI 2016):

• Tahap awal.
Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada tahap ini adalah
dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman yang ada dalam
tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman yang mungkin
sudah resistan sejak sebelum pasien mendapatkan pengobatan. Pengobatan tahap
awal pada semua pasien baru, harus diberikan selama 2 bulan. Pada umumnya
dengan pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyulit, daya penularan sudah
sangat menurun setelah pengobatan selama 2 minggu pertama.

• Tahap lanjutan.
Pengobatan tahap lanjutan bertujuan membunuh sisa-sisa kuman yang
masih ada dalam tubuh, khususnya kuman persisten sehingga pasien dapat sembuh
dan mencegah terjadinya kekambuhan. Durasi tahap lanjutan selama 4 bulan. Pada
fase lanjutan seharusnya obat diberikan setiap hari.

tuk resistensi obat harus mendapatkan pengobatan lini pertama yang sudah disetujui oleh
WHO dengan menggunakan obat yang terjamin kualitasnya Ikatan Dokter Indonesia,
2019).

• Fase intensif harus mencakup dua bulan pengobatan dengan menggunakan


Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid, dan Etambutol (Ikatan Dokter Indonesia,
2019).
• Pada fase lanjutan harus diberikan Isoniazid dan Rifampisin selama 4 bulan. Dosis
pengobatan harus mengikuti rekomendasi WHO. Penggunaan obat kombinasi
dosis tetap dapat mempermudah pemberian obat (Ikatan Dokter Indonesia, 2019).
• Etambutol dapat tidak diberikan pada anak dengan status HIV negatif dan
memiliki TB tanpa kavitas (Ikatan Dokter Indonesia, 2019).

Berdasarkan hasil penelitian meta analisis WHO merekomendasikan paduan


standar untuk TB paru kasus baru adalah 2RHZE/4RH. Pada akhir fase intensif, bila hasil
apusan dahak tetap positif maka fase sisipan tidak lagi direkomendasikan namun
dievaluasi untuk TB-RO (uji kepekaan), sementara pengobatan diteruskan sebagai fase
lanjutan. Pasien TB paru sebaiknya mendapatkan paduan obat 2RHZE/4HR, selama 6
bulan. Untuk TB ekstra paru biasanya diperlukan durasi pengobatan yang lebih dari 6
bulan. Semua pemberi layanan harus memastikan pemantauan pengobatan dan dukungan
untuk semua pasien TB agar dapat menjalankan pengobatan hingga selesai (Ikatan Dokter
Indonesia, 2019).

8. Jelaskan prognosis dari Tuberkulosis


Sebagian besar pasien dengan diagnosis TB memiliki prognosis yang baik (bonam).
Hal ini tergantung pada pengobatan yang efektif. Tanpa pengobatan angka kematian akibat
TB mencapai > 50%. Kelompok pasien yang rentan terhadap hasil yang buruk atau
kematian setelah TB yaitu (Adigun R, Singh R. 2022):
• Usia lanjut, bayi <5 tahun
• Terlambat dalam pengobatan
• Bukti radiologi: penyebaran yang meluas
• Kompromi pernapasan parah yang membutuhkan ventilasi mekanis
• Imunosupresi
• Multidrug resistance (MDR) tuberculosis
BAB III

KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa pasien pada skenario tersebut
mengalami penyakit tuberculosis hal ini diperkuat dengan kriteria diagnosis menggunakan
pemeriksaan TCM dengan 2 sample sputum. Tuberkulosis ini merupakan suatu infeksi bakteri
pada saluran pernapasan yaitu jenis bakteri tahan asam berbentuk basil yang disebut dengan
mycobacterium tuberculosis yang dapat menyebabkan inflamasi paru yang menyebabkan suatu
proses patofisiologi pengaktifan dari makrofag-makrofag tubuh oleh T Helper dengan tujuan untuk
membunuh bakteri-bakteri yang masuk kedalam paru-paru tersebut sehingga terjadilah respon
inflamasi, respon inflamasi inilah yang menyebabkan terjadinya gejala-gejala suhu tubuh
meningkat dan nafsu makan menurun pada pasien. Sehingga tatalaksana yang dapat diberikan
kepada pasien adalah dengan pemberian obat OAT dengan beberapa persyaratan. Apabila pasien
merupakan pasien TB kasus baru maka dapat langsung diberikan obat OAT lini pertama, namun
apabila pasien tersebut pernah mengonsumsi obat-obatan OAT lebih dari 28 dosis atau 1 bulan
maka pasien tersebut perlu dilakukan uji resisten seperti Uji LPA dan juga Uji INH, pada pasien
kasus baru diberikan dosis obat berupa 2HRZE/4 HR sedangkan pada pasien dengan resistensi
obat dapat diberikan tatalaksana jangka pendek dengan durasi 9-11 bulan dan juga dapat diberikan
tatalaksana jangka panjang dengan durasi 18-24 bulan. Apabila tidak diberikan penatalaksaan yang
baik maka TB ini dapat menjalar keseluruh tubuh sehingga timbullah komplikasi seperti TB Milier
sistemik yang menyerang banyak organ-organ tubuh seperti menyerang organ hati. Berdasarkan
pemberikan tatalaksana tersebut didapatkan prognosis yang baik atau bonan dikarenakan banyak
pasien taat dalam pengonsumsian obat OAT tersebut namun prognosis dari TB ini dapat berangsur
menjadi malam apabila tidak dilakukan penatalaksanaan yang baik pada pasien tersebut atau
pasien tidak disiplin dalam mengonsumsi obat-obatan OAT.
DAFTAR PUSTAKA

PDPI. (2020). Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.


Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.

Kemenkes. (2020). Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis (TB). Kementrian


Kesehatan Republik Indonesia.

Kemenkes RI., (2016). Tuberkulosis. Kementerian Kesehatan Direktorat Promosi


Kesehatan Dan Pemberdayaan Masyarakat.

Huether SE, McCance KL, editors (2019). Buku Ajar Patofisiologi. 6th Indonesia ed vol
1. Singapore: Elsevier.

Kumar, V., Frcpath, M. M., Abbas, A. K., & Aster, J. C. (2019). Buku Ajar Patologi
Robbins. 10th Edition: Elsevier (Singapore)

Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiadi S, editors. (2014). Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi VI. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI

Anda mungkin juga menyukai