Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

Hadits Maudhu’ dan Permasalahannya

Diajukan untuk memenuhi tugas kuliah mata Kuliah Ulumul Hadits


Dosen : Baden Badrudin S. Ag M. Pd

Disusun oleh:

1. Siti Zainab Raihanah


2. Muhammad Azhar Fadil
3. Fajar Tirta Kusumah

Sekolah Tinggi Agama Islam Syamsul ‘Ulum


Gunung Puyuh
Sukabumi
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA,
sehingga saya dapat menyusun makalah ini tepat pada waktunya. Tidak lupa saya
juga mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari seluruh komponen yang
telah membantu dalam penyelesaian makalah yang berjudul “Hadits Maudhu’ dan
Permasalahannya”
Dan harapan saya semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, serta seluruh Masyarakat Indonesia khususnya
para mahasiswa untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun
menambah isi makalah ini agar menjadi lebih baik lagi. Karena keterbatasan
pengetahuan maupun pengalaman sayai, saya yakin dalam pembuatan makalah
kali ini masih banyak ditemukan kekurangan, oleh karena itu saya sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Sukabumi, November 2022

Penyusun,

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................ii
DAFTAR ISI........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...............................................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadits Maudhu’............................................................................3
B. Awal Mula Terjadinya Pemalsuan Hadits .....................................................3
C. Faktor Penyebab Pemalsuan Hadits...............................................................6
D. Kaidah-Kaidah Untuk Mengetahui Hadits Maudhu’.....................................9
E. Perlawanan Para Ulama Terhadap Yang Memalsukan Hadits.......................12

BAB III PENUTUP


A. Simpulan...........................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam agama islam, hadits merupakan pilar kedua setelah Al-Qur’an.
Keduanya merupakan cahaya petunjuk yang mengantarkan terwujudnya
kemaslahatan hidup, baik di dunia dan akhirat. Apabila Al-Qur’an sebagai
pondasi utama agama islam, dijaga kemurniannya oleh Allah hingga hari kiamat,
sebagaimana firmannya dalam surat Al-Hijr ayat 9, maka tidak demikian dengan
Hadits. Hadist yang sejatinya adalah perkataan, perbuatan, dan ketetapan yang
berasal dari Rasulullah berkedudukan sebagai penjelas atas ayat-ayat Al-Qur’an
yang masih global. Sehingga Al-Qur’an dan Hadits menjadi satu kesatuan yang
saling menjelaskan.
Pada masa Rasululah, Hadits belum di tulis. Bahkan Rasulullah sendiri
maelarang sahabat menulis hadits, karena khawatir tercampur dengan catatan Al-
Qur’an. Tak ayal, hadits pada masa ini hanya berada dalam benak dan hafalan
para sahabat . para sahabat belum merasa penting menuliskan hadits, karena
rasulullah masih mudah dihubungi untuk dimintai keterangan mengenai segala
persoalan. Kendati demikian, tetap ada sahabat yang menuliskan hadits untuk
kepentingan catatan pribadinya.
Pada masa dimana maraknya hadits maudhu’, meskipun tulisan dan hafalan
saling berkelindan dalam mengumpulkan dan menetapkan hadits, tetap saja virus-
virus keburukan dan pemicu-pemicu fitnah bermunculan dari orang-orang yang
memalsukan hadits, menyampaikan dongeng-dongeng, dan menyebarkan khurafat
juga kebohongan kebohongan.
Pada masa itu pula, bermunculan kelompok-kelompok yang ingin menodai
kemurnian hadits dan berusaha untuk memalsukannya. Kelompok atau golongan
yang paling masyhur adalah golongan orang-orang yang berkecimpung dalam
dunia politik, para pendongeng, dan kaum kafir zindiq.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan hadits maudhu’?
2. Bagaimana awal mula terjadinya pemalsuan hadits?
3. Apa faktor penyebab pemalsuan hadits?
4. Bagaimana kriteria hadits maudhu’?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadits Maudhu’


Al-Maudhu’ adalah isim maf’ul dari wa-dha-‘a, ya-dha-‘u, wadh- ‘an. Yang
mempunyai beberapa arti diantaranya al-isqath (menggugurkan atau
membatalkan); al iftira’ wa al-ikhtilaq (mengada-ada atau membuat-buat) dan al
tarku (yang ditinggalka).
Sedangkan dalam tinjauan istilah ilmu hadits, hadits maudhu’ adalah suatu
kedustaan dan kepalsuan yang dibuat-buat seseorang pendusta yang ciptaannya ini
dinisbahkan kepada Rasulullah ‫ ﷺ‬secara paksa dan dusta, baik sengaja
maupun tidak, yang tidak pernah dikatakan atau ditetapkan oleh Rasulullah
‫ﷺ‬.
Jadi hadits maudhu’ ini bukanlah hadits yang bersumber dari Rasulullah,
bahkan hadits maudhu’ ini rasa-rasanya tidaklah pantas disebut hadits karena
unsur buruk yang terkandung didalamnya. Pada masa dimana maraknya hadits
maudhu’, meskipun tulisan dan hafalan saling berkelindan dalam mengumpulkan
dan menetapkan hadits, tetap saja virus-virus keburukan dan pemicu-pemicu
fitnah bermunculan dari orang-orang yang memalsukan hadits, menyampaikan
dongeng-dongeng, dan menyebarkan khurafat juga kebohongan kebohongan.
Pada masa itu pula, bermunculan kelompok-kelompok yang ingin menodai
kemurnian hadits dan berusaha untuk memalsukannya. Kelompok atau golongan
yang paling masyhur adalah golongan orang-orang yang berkecimpung dalam
dunia politik, para pendongeng, dan kaum kafir zindiq. Adapun para ulama
berbeda pendapat tentang kapan mulai terjadinya pemalsuan hadits ini.

B. Awal Mula Terjadinya Pemalsuan Hadits


Para ulama berbeda pendapat mengenai kapan mulai terjadinya pemalsuan
hadits ini. Berikut ini dikemukakan beberapa pendapat mereka, yakni:

3
1. Menurut Ahmad Amin, hadits maudhu’ telah terjadi pada masa
Rasulullah masih hidup. Alasan yang di jadikan argumentasi adalah
sabda Rasulullah SAW:
‫َفَم ن َك َذ َب علَّي ُم َتَعِّم ًد اَفلَيَتَبَّو ْء َم ْقَعَدُه ِم َن الّناِر‬
“Bagi siapa yang secara sengaja berdusta kepadaku, maka hendaknya dia
mengambil tempat di neraka “.
Hadits ini mutawatir yang diriwayatkan lebih dari 60 sahabat, bahkan ada
yang mengatakan lebih dari 200 sahabat. Menurut ahmad amin, dengan
dikeluarkannya sabda tersebut, Rasulullah telah mengira ada pihak-pikak
yang ingin berbuat bohong kepada dirinya, oleh karena itu hadits tersebut
merupakan respon terhadap fenomena yang ada saat itu. Yang
menggambarkan bahwa kemungkinan besar pada zaman Rasulullah telah
terjadi pemalsuan hadits. Ahmad amin juga memaparkan bahwa
semenjak islam melakukan penaklukan ke berbagai daerah, dan
berbondong-bondong orang mulai masuk islam, maka dari situlah potensi
pemalsuan hadits muncul.
2. Shalah Al-Din Al-dlabi mengatakan bahwa pemalsuan hadits juga telah
terjadi di zaman Rasulullah masih hidup. Alasan beliau kemukakan
adalah hadits Riwayat Al-Tathowi (w. 321H/933m) dan Al-thabrani (w.
360H/971m). dalam kedua hadits tersebut, dinyatakan bahwa pada masa
nabi ada seseorang telah membuat berita bohong mengatasnamakan nabi.
Orang itu mengaku telah diberi wewenang untuk menyelesaikan suatu
masalah di suatu kelompok masyarakat di sekitar Madinah. Kemudian
seseorang itu melamar seorang gadis dari masyarakat tersebut, tetapi
lamaran itu ditolak. Para masyarakatpun mengirim utusan pada nabi yang
kemudian mengkonfirmasi kebenaran berita dari utusan yang di maksud
kepada Rasulullah. Ternyata nabi tidak pernah menyuruh si pemuda tadi
ataupun memberikannya wewenang. Namun dalam kedua hadits ini,
ternyata sanadnya lemah (dhaif). Dan karena itu kedua Riwayat tersebut
tidak dapat dijadikan dalil.

4
3. Menurut jumhur muhadditsin, pemalsuan hadits mulai terjadi sejak masa
kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, mereka beralasan bahwa keadaan
hadits sejak zaman nabi hingga sebelum terjadinya pertentangan dengan
mu’awiyah bin abi sufyan, masih terhindar dari pemalsuan-pemalsuan.
Ketika zaman nabi jelas tidak mungkin terjadi dan ada yang berani
memalsukan hadits. Sedangkan pada masa kekhalifahan Abu Bakar Ash-
Shiddiq, Umar bin Khatab, dan Ustman bin Affan juga belum terjadi
pemaluan hadits. Hal ini dapat dibuktikan betapa gigih, hati-hati dan
waspada mereka terhadap hadits. Abu bakar sendiri pernah membakar
catatan-catatan hadits miliknya, ‘aisyah anaknya menyatakan bahwa
ayahnya telah membakar catatan yang berisi sekitar lima ratus hadits.
Umar bin Khatab juga dikenal sebagai orang yang sangat hati-hati dalam
meriwayatkan dan menerima hadits. Abu Hurairah pernah menyatakan
sekiranya dia banyak meriwayatkan hadits pada zaman Umar, niscaya dia
akan dicambuk oleh Umar. Siksp Abu Bakar dan Umar ini juga diikuti
oleh Ustman bin Affan. Yang mana dalam suatu kesempatan khutbah,
beliau pernah meminta kepada para sahabat untuk tidak banyak
meriwayatkan hadits yang mereka tidak pernah mendengar hadits itu
pada masa Abu Bakar dan Umar. Pernyataan Ustman ini memperlihatkan
bahwa beliau mengakui dan membenarkan sikap hati-hati kedua khalifah
pendahulunya juga sekaligus melanjutkan sikap tersebut.
Berlainan dengan masa khalifah Ali bin Abi Thalib, Ketika itu telah terjadi
perpecahan politik antara golongan Ali dan pendukung Muawiyah. Bahkan karena
hal itu, terciptanya golongan Khawarij. Mereka adalah Sebagian orang-orang yang
keluar dari pengikut Ali yang kemudian membentuk kelompok sendiri. Golongan
ini kemudian tidak hanya memusuhi Ali dan pengikutnya, akan tetapi mereka juga
melawan muawiyah dan pengikutya.
Masing-masing golongan ini kemudian berusaha saling mengalahkan
lawannya, juga berupaya mempengaruhi orang-orang yang tidak berada dalam
perpecahan. Dan salah satu cara yang mereka tempuh adalah dengan membuat
hadits palsu.

5
Munculnya pemalsuan hadits berawal dari terjadinya fitnah di dalam tubuh
Islam. Dimulai dengan terbunuhnya Amirul Mukminin ‘Umar bin Khaththab,
kemudian Utsman bin ‘Affan, dilanjutkan dengan pertentangan yang semakin
memuncak antara kelompok ta’ashub ‘Ali bin Abi Thalib di Madinah dan
Mu’awiyah di Damaskus sehingga terjadi perselisihan yang tidak bisa terelakan
lagi. Namun lebih ironis lagi bahwa sebagian kaum muslimin yang berselisih ini
ingin menguatkan kelompok dan golongan mereka masing-masing dengan al-
Qur’an dan al-Hadits. Dikarenakan mereka tidak menemukan teks yang tegas
yang mengukuhkan pendapatnya masing-masing, karena banyaknya pakar al-
Qur’an dan al- Hadits pada saat itu, akhirnya sebagian diantara mereka membuat
hadits-hadits yang disandarkan kepada Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam
untuk mendukung golongan masing-masing. Inilah awal sejara timbulnya hadits
palsu dikalangan umat islam.

C. Faktor Penyebab Pemalsuan Hadits


Berdasarkan data sejarah, pemalsuan hadits tidak hanya dilakukan oleh
orang-orang islam, orang-orang non-islam pun ikut melakukan hal tersebut.
Beberapa motif yang mendorong mereka membuat hadits palsu antara lain:
1. Pertentangan Dalam Dunia Politik
Daulah bani abbasiyyah berdiri diatas puing puing kejayaan daulah bani
umayyah. Masa dimana kekhilafahan beralih kepada bani abbas adalah masa
peralihan, dimana kekuasaan juga masih beralih dari satu tangan ke tangan
yang lain. Peralihan kekuasaan ini tidak begitu saja terjadi, malainkan
diawali terlebih dahulu oleh dakwah atau ajakan secara sembunyi-sembunyi
yang dilancarkan oleh keturunan bani abbas. Ajakan ini berjalan cukup
lama, bahkan sampai sampai Sebagian sastrawan daulah bani umayyah pun
mengkhawatirkan hal tersebut dan memperingatkan masyarakatnya untuk
tidak terhasut oleh ajakan-ajakan tersebut. Ajakan secara sembunyi-
sembunyi ini dimulai pada permulaan abad kedua hijriyyah dan berlangsung
cukup lama. Mereka melancarakan aksi tersebut dengan cara mengirim
utusan dan melakukan penyamaran. Dengan mengenakan pakaian-pakaian

6
saudagar, mereka berjalan di pasar-pasar. Terkadang mereka juga
mengenakan pakaian berhaji. Lewat penyamaran tersebut mereka mengajak
masyarakat untuk Kembali kepada ahli bait Rasulullah SAW. Abu Muslim
Al-Khurasani memegang peranan penting dalam peruntuhan bani Umayyah
dan pendirian bani Abbasyiyah. Beliau membuat sebuah Gerakan revolusi
di Khurasan. Di sana ia bertemu orang-orang yang memiliki satu visi
dengannya, yaitu Kembali pada Aal bait Rasulullah SAW. Dari keturuna
paman beliau Abbas bin Abdul Mutholib. Para utusan dari bani Abbas
tersebut menjadikan hadits-hadits sebagai sarana untuk memenuhi
kepentingan mereka dalam berpolitik. Mereka kemudian membuat-buat
hadits tentang kebobrokan daulah bani umayyah. Pada saat yang bersamaan
mereka juga membuat hadits yang isinya menyanjung-nyanjung daulah bani
Abbasiyyah, dengan tujuan agar masyarakat berbondong-bondong
mendukung mereka.
2. Orang-Orang Zindiq
Mereka termasuk musuh-musuh islam yang berpura-pura menampakkan
keislamannya. Dalam beragama mereka mengikuti aliran aliran dan
pendapat pendapat yang tidak sesuai dalam dasar-dasarnya yang umum dan
kaidah-kaidahnya yang telah ditentukan. Tujuan mereka demikian adalah
untuk mengajak kaum muslimin keluar dari agama islam. Banyak dari
mereka membuta-buat hadits untuk mencela khilafah bani Abbas. As-
Suyuthi meriwayatkan dalam kitabnya Tarikh Al-Khulafa’ dari ibnu Asakir
dari ibnu Aliyyah bahwasannya ia berkata: “Harun Ar-Rasyid menangkap
seorang Zindiq kemudian ia memerintahkan untuk menebas lehernya”.
Maka sang zindiq pun berkata: “kenapa engkau mau menebas leherku?” lalu
ia berkata kepadanya: “aku ingin membuat hamba-hamba Allah terhindar
darimu”. Ia (zindiq) berkata: “lalu bagaimana dengan seribu hadits yang aku
palsukan atas nama Rasulullah, dimana semuanya tak satu huuruf pun yang
diucapkan oleh beliau”. Maka ia (Harun) berkata: “lalu bagaimana
menurutmu wahai musuh Allah, dengan kehadiran Abu ishak Al-fazari dan
Abdullah bin Al-mubarak, mereka berdua akan menemukannya kemudian

7
mentakhrijnya huruf demi huruf”. Dari peristiwa ini, sangat Nampak apa
yang menimpa hadits akibat ulah orang-orang zindiq, seabagaimana engkau
juga melihat kesungguhan para ahli ahdits dimasa itu untuk membersikan
hadits dan memisahkannya, mana yang shahih dan tidak.

3. Para Tukang Dongeng


Ada sekelompok orang bodoh, yang lemah agamanya, yang sengaja
mencari penghidupan dengan bercerita. Tujuannya agar mereka
mendapatkan kedudukan dan dihormati masyarakat umum. Para ahli hadits
mengawasi mereka dengan ketat. Bahkan orang-orang awam yang tabiatnya
tertarik dengan perkataan-perkataan aneh, terutama cerita-cerita menjadikan
para tukang dongeng tersebut lebih utama daripada para imam dan ulama.
Ibnu Al-Jauzi, dengan sanadnya meriwayatkan dari Hajar bin Abdul Jabbar
Al-Hadrami, bahwasannya ia berkata: “dimasjid ada seorang tukang
dongeng yang Bernama zar’ah. Ibunya bermaksud meminta fatwa tentang
sesuatu kepadanya, maka Abu Hanifah memberikan fatwa kepadanya,
namun ia tidak menerimanya. Ia mengatakan bahwa dirinya tidak menerima
kecuali apa yang dikatakan oleh zar’ah si tukang dongeng tersebut. Maka
Abu Hanifah membawanya menemui zar’ah. Kemudian ia berkata: “ini
adalah ibuku, ia meminta fatwa kepadamu dalam masalah ini dan itu .
kemudian ia berkata: “engkau lebih tau dan lebih faham dariku, maka
berilah ia fatwa. Abu Hanifah berkata: aku telah memberinya fatwa. Maka
zar’ah berkata”yang benar adalah apa yang dikatakan oleh Abu Hanifah.
Maka iapun (ibunya) menerima fatwa tersebut dan bergegas pulang. Cerita
seperti ini memperlihatkan pada kita bahwa mereka para tukang dongen
menguasai pikiran orang banyak. Imam Abu Hanifah saja yang begitu ‘alim
dan cerdas serta popular dimana-mana, tidak mampu meyakinkan ibunya
dengan fatwanya. Sampai sampai ia meminta fatwa zar’ah seorang tukang
dongeng.
4. Perselisihan Mazhab dan Ilmu Kalam

8
Munculnya hadits-hadits palsu dalam masalah fiqih dan ilmu kalam ini
berasal dari para pengikut mazhab.mereka berani melakukan pemalsuan
hadits karena didorong sifat fanatik dan ingin menguatkan mazdhab nya
masing-masing. Diantara hadits palsu tentang masalah ini adalah: siapa
yang mengangkat kedua tangannya dalam shalat, maka shalatnya tidak sah,
Jibril menjadi imamku dalam shalat di ka’bah, ia (Jibril) membaca basmalah
dengan nyaring.
D. Kaidah-Kaidah Untuk Mengetahui Hadits Maudhu’
Para ulama ahli hadits telah menetapkan beberapa kriteria untuk bisa
membedakan antara hadits shohih, hasan dan dho’if. Mereka pun menetapkan
beberapa kaidah dan ciri-ciri agar bisa mengetahui kepalsuan sebuah hadits.
Berikut adalah beberapa ciri-ciri Hadits Maudhu’ yang diambil dari berbagai
sumber. Secara garis besar ciri-ciri Hadits Maudhu’ dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Dari Segi Sanad (Para Perawi Hadits)
Sanad adalah rangkaian perawi hadits yang menghubungkan antara
pencatat hadits sampai kepada Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam.
Terdapat banyak hal untuk bisa mengetahui kepalsuan sebuah hadits dari
sisi sanadnya ini, diantaranya adalah:
a. Salah satu perawinya adalah seorang pendusta dan hadits itu hanya
diriwayatkan oleh dia, serta tidak ada satu pun perawi yang tsiqoh
(terpercaya) yang juga meriwayatkannya, sehingga riwayatnya
dihukumi palsu.
b. Pengakuan dari pemalsu hadits, seperti pengakuan Abu ‘Ishmah Nuh
bin Abi Maryam, bahwa ia telah memalsukan hadits-hadits tentang
keutamaan al-Qur`an juga pengakuan Abdul Karim bin Abi Auja’
yang mengaku telah memalsukan empat ribu hadits.
c. Fakta-fakta yang disamakan dengan pengakuan pemalsuan hadits,
misalnya seorang perawi meriwayatkan dari seorang syekh, padahal ia
tidak pernah bertemu dengannya atau ia lahir setelah syekh tersebut
meninggal, atau ia tidak pernah masuk ke tempat tinggal syekh. Hal

9
ini dapat diketahui dari sejarah-sejarah hidup mereka dalam kitab-
kitab yang khusus membahasnya.
d. Dorongan emosi pribadi perawi yang mencurigakan serta ta’ashub
terhadap suatu golongan. Contohnya seorang syi’ah yang fanatik,
kemudian ia meriwayatkan sebuah hadits yang mencela para sahabat
atau mengagungkan ahlul bait.

2. Dari segi Matan (Isi Hadits)


Matan adalah isi sebuah hadits. Diantara hal yang paling penting untuk
bisa mengetahui kepalsuan sebuah hadits dari sisi ini adalah:
a. Tata bahasa dan struktur kalimatnya jelek, sedangkan Rasulullah
shollallahu’alaihi wasallam adalah seorang yang sangat fasih dalam
mengungkapkan kata-kata, karena beliau adalah seseorang yang
dianugerahi oleh Allah subhaanahuwata’ala Jawami’ul Kalim (kata
pendek yang mengandung arti luas).
b. Isinya rusak karena bertentangan dengan hukum-hukum akal yang
pasti, kaidah-kaidah akhlak yang umum, atau bertentangan dengan
fakta yang dapat difahami indera manusia. Contohnya adalah sebuah
hadits : ‫“ إّن سفينة نوٍح طافْت بالبيِت سبًعا وصّلْت خلف المقاِم ركعتيِن‬Bahwasannya
kapal nabi Nuh thawaf keliling Ka’bah tujuh kali lalu shalat dua
raka’at di belakang maqam Ibrahim.”
c. Bertentangan dengan nash al-Qur`an, as-Sunnah, atau Ijma’ yang pasti
dan hadits tersebut tidak mungkin dibawa pada makna yang benar.
Contoh Hadits Maudhu’’ yang maknanya bertentangan dengan al-
Qur’an, ialah hadits: ‫“ َو َلُد الِّز َنا الَيْدُخ ُل ْالَج ِّنَة ِاَلى َس ْبَعِة َاْبَناٍء‬Anak zina itu,tidak
dapat masuk surga, sampai tujuh keturunan.” Makna hadits ini
bertentangan dengan kandungan ayat al-Qur’an : ‫َو ال َتِز ُر َو اِز َر ٌة ِو ْز َر ُأْخ َر ى‬
“Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.”
Kandungan ayat tersebut menjelaskan bahwa dosa seseorang tidak

10
dapat dibebankan kepada orang lain, sampai seorang anak sekalian
tidak dapat dibebani dosa orang tuanya.
d. Bertentangan dengan fakta sejarah pada jaman Rasulullah
shollallahu’alaihi wasallam. Seperti hadis yang mengatakan bahwa
Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam menggugurkan kewajiban
membayar jizyah atas orang yahudi Khoibar yang ditulis oleh
Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan disaksikan oleh Sa’ad bin Mu’adz.
Padahal telah ma’ruf dalam sejarah bahwa jizyah itu belum
disyaria’tkan saat peristiwa perang Khoibar yang terjadi pada tahun
ke-7 hijriyah, karena jizyah baru disyari’atkan saat perang Tabuk pada
tahun ke-9 hijriyah. Juga Sa’ad bin Mu’adz meninggal dunia ketika
perang Khondaq, dua tahun sebelum peristiwa Khoibar. Sedangkan
Mu’awiyah baru masuk Islam pada waktu Fathu Makkah pada tahun
ke-8 hijriyah.
e. Menyebutkan pahala yang terlalu besar untuk ‘amal yang terlalu
ringan atau ancaman yang terlalu besar untuk sebuah dosa yang kecil.
Hadits-hadits semacam ini banyak ditemukan dalam kitab-kitab
mau’izhah. Contoh : ‫َم ْن َقاَل ال ِاَلَه ِاال ُهللا َخ َلَق ُهللا ِم ْن ِتْلَك اْلَك ِلَم ِة َطاِئًرا َلُه َس ْبُعْو َن َاْلِف‬
‫“ ِلَس اٍن ِلُك ِّل ِلَس اٍن َس ْبُعْو َن َاْلِف ُلَغ ٍة َيْسَتْغ ِفُرْو َن َلُه‬Barang siapa mengucapkan tahlil
(laa ilaaha illallah) maka Allah subhaanahuwata’ala. menciptakan dari
kalimat itu seekor burung yang mempunyai 70.000 lisan, dan setiap
lisan mempunyai 70.000 bahasa yang dapat memintakan ampun
kepadanya.” Bahkan perasaan halus yang diperoleh dari menyelami
hadits secara mendalam, dapat juga dijadikan pertimbangan dalam
menentukan Hadits Maudhu’. Al-Rabi’ Ibn Khaitsam berkata:
“Bahwasannya diantara hadits, ada yang bersinar, kita dapat
mengetahuinya dengan sinar itu, dan bahwa diantara hadits ada hadits
yang gelap sebagaimana kegelapan malam, kita mengetahuinya
dengan itu.” Seseorang yang dapat mengetahui identitas kepalsuan
sebuah hadits, tentu saja berasal dari kalangan para ‘ulama yang telah
menguasai betul mengenai seluk-beluk hadits dan ilmu-ilmu lain yang

11
dapat mendukung seseorang mengetahui bahwa sebuah hadits adalah
palsu. Inilah kaidah yang telah ditetapkan para ulama hadits sebagai
dasar memeriksa benar tidaknya suatu hadits dan untuk mengetahui
mana yang shahih dan mana yang maudhu’. Dengan memperhatikan
apa yang telah dijelaskan ini, nyatalah bahwa para ulama hadits tidak
mencukupkan dengan memperhatikan sanad hadits saja, bahkan juga
mereka memperhatikan matannya.

Adapun hukum mengamalkan hadits maudhu menurut Syaikh Khalid


‘Abdul Mun’im ar-Rifa’i mengatakan, “Tidak boleh beramal dengan hadits
maudhu’ secara mutlak. Demikian pula dengan menceritakan hadits maudhu’.
Kecuali dalam rangka untuk memperingatkan dari kepalsuan hadits tersebut dan
menjelaskan keadaannya.

Hal ini berbeda dengan hadits dha’if yang tidak sampai ke tingkat maudhu’.
Menurut sebagian dari ahli ilmu tetap diperbolehkan beramal dengan hadits dha’if
dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh para ulama.

E. Perlawanan Para Ulama Terhadap Orang Orang yang Memalsukan


Hadits
Rangka melindungi hadits, Allah telah menyiapkan pada masa tersebut,
para kritikus hadits yang handal dan hafidz-hafidz besar, dimana mereka
mendelegasikan diri mereka untuk memurnikan kebenaran dan mendekatkan diri
kepada Allah dengan cara membuka kedok mereka, orang-orang yang
mendustakan Rasulullah SAW, yang sering menyisipkan tambahan-tambahan
terhadap hadits nya.
Adapun Langkah-langkah yang di tempuh ulama hadits adalah meneliti
sistem penyandaran hadits dengan seksama, bagaimana penukilan dan
periwayatan hadits. Selanjut nya para ulama hadits memilih perawi-perawi hadits
yang terpercaya, menyusun kaidah umum untuk meneliti hadits-hadits tersebut
misalnya dengan mengetahui Batasan-batasan hadits shahih, hasan, dan dhaif.

12
Lalu selanjutnya studi kritik rawi atau konsentrasi terhadap sifat kejujuran atau
kebohongan yang ada pada seorang perawi.

BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Hadits Maudhu’ atau hadits palsu menurut sebagian ulama merupakan salah
satu jenis dari sekian jenis hadits dha’if. Hadits maudhu’ merupakan hadits dha’if
yang paling rendah dan paling buruk. Sebagian ulama malah mengangapnya
terpisah, bukan bagian dari jenis-jenis hadits dha’if. Para ulama sepakat bahwa
hadits maudhu’ tidak boleh diriwayatkan bagi orang yang sudah mengetahui
keadaannya atau statusnya kecuali jika disertai penjelasan mengenai statusnya
sebagai hadits maudhu’. Ada banyak faktor yang memotivasi atau mendorong
seseorang atau sekelompok orang untuk membuat hadits palsu. Di antara faktor-
faktor pendorong tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pertikaian politik.
2. Perselisihan antar madzhab.
3. Kezindiqan dan serangan terhadap agama Islam.
4. Untuk bercerita dan memberikan nasehat.
5. Memberi nasehat dan Mengingatkan manusia (memberikan tadzkirah)
6. Sebagai mata pencaharian dan mencari uang.
7. Fanatisme terhadap ras, kabilah, bahasa dan tanah air.
8. Mendekatkan diri kepada para penguasa dan pemimpin.

13
9. Kepentingan pribadi atau bertujuan untuk melakukan pembalasan
terhadap seseorang atau kelompok tertentu.
10. Mencari popularitas dan berbeda dari yang lain.

Hadits maudhu’ atau hadits palsu dapat diketahui melalui sejumlah cara
berikut ini:

1. Pengakuan Si Pembuat Hadits Maudhu’ / Hadits Palsu


Seperti pengakuan Abu ‘Ishmah bi Abi Maryam bahwa dia telah
membuat hadits-hadits maudhu’ / hadits palsu mengenai keutamaan surat-
surat al-Quran dari Ibnu ‘Abbas.

2. Diperoleh dari Runutan Pengakuannya


Misalnya, jika ia menceritakan suatu hadits dari syaikhnya. Setelah
ditanya kelahirannya, ternyata diketahui bahwa syaikhnya itu meninggal
sebelum sang rawi lahir. Ditambah lagi bahwa hadits tersebut tidak dikenal
kecuali melalui dirinya.
3. Melalui Indikasi Sang Perawi.
Misalnya, jika sang perawi adalah seorang Syiah rafidhah, sementara
haditsnya berkaitan dengan keutamaan ahlul bait.
4. Melalui Indikasi Pada Haditsnya.
Misalnya, matan haditsnya memiliki lafazh-lafazh yang janggal atau
bertentangan dengan panca indera atau bertentangan dengan nash-nash yang
shahih (terang) dalam al-Quran.
Contoh hadits palsu:

– ((‫ ُك لوا الباذنجان وأكثروا منها؛ فإنها أول شجرة آمنْت باهلل‬:‫ قال النبي صلى هللا عليه وآله‬:‫عن أنس قال‬
‫))عز وجل‬.

‫ موضوع‬:‫الدرجة‬

Dari Anas Radhiyallahu ‘anhu dia berkata, Rasulullah Shallahu ‘alaihi


wasallam bersabda: Makanlah terong dan perbanyaklah (memakan) darinya,

14
sebab terong adalah pohon yang pertama kali beriman kepada Allah. Derajat
hadits ini adalah hadits maudhu / hadits palsu.

Daftar Pustaka

The history of hadith (PROF. ABU ZAHW) guru besar bidang ilmu ilmu Al-
Qur’an dan Hadits Universitas Al-Azhar Asy-Syarif Mesir.

15
16

Anda mungkin juga menyukai