Anda di halaman 1dari 5

Sahabat Sesurga

Karya: Ud’Hiyata Zahbi

Ini adalah kisahku, kisah di mana orang lain sudah nyaman dengan sekitar
sedang aku masih beradaptasi dengan keadaan. Kupikir benar, setiap apa yang kita
rencanakan, apapun yang kita usahakan, dan seberapa besar kita semogakan, tetap saja
Allah yang menentukan. Takdir terindah, atas jalannya menuntunku ke medan
peperangan.
"Aku mau nata lemari dulu deh", ucap Qilla
"Sini tak bantu qill", Nilna menyahut
"Ah, gausah... Kamu diem aja. Mbok pegang nanti mesti ada gak beresnya.."
cegah Qilla sembari tertawa puas.
"Dasar, suudzon mulu perasaan, dah lah.", Nilna pun pergi meninggalkan Qilla.
Aku hanya menatapnya dalam diam. Masih memperhatikan lingkungan tempat
di mana sekarang aku berpijak. Benar saja, aku adalah siswi kelas 2 MTs yang menjadi
santri pindahan di sini, di Tarbiyatul Qur'an. Sebelum kemari, satu tahun aku
mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren Al-Hikmah Purwoasri Kediri. Baru hari
kemarin aku pindah diantar orangtuaku. Jelas dengan hati yang enggan pergi dan
berpisah dengan teman-teman ku di sana. Enak saja!! aku yang sudah mulai nyaman
harus berhenti menuliskan kenangan karena datangnya perpisahan. Tapi apa yang bisa
kuperbuat, hanya keyakinan bahwa pilihan orangtuaku pastilah yang terbaik yang
berhasil membuat ku bertahan.
Setelah hampir seminggu di sini, Qilla mulai mendekati ku. Mungkin dia sadar,
aku yang masih enggan terbuka dengan sekitar memilih memulai percakapan terlebih
dahulu. Ya, Qilla adalah satu-satunya teman sebaya di sini, kelas 2 MTs. Jadi bila
dipikir, Qilla memang sangat senang dengan hadirku karena setahun ini dia sendirian.
Harusnya aku bisa menerima kenyataan ini.
"Za, sudah selesai belum?", Tanya Qilla
"Bentar-bentar.. tunggu aja di depan. Nanti tak susul." Jawabku.
"Okedehhh, cepetan ya!", Pesan Qilla
Setiap hari, kami berangkat dan pulang bersama ke sekolah. Kami hanya
berjalan kaki karena letak sekolah MTs tidak jauh dari pondok. Berbeda dengan sekola
MA yang harus naik sepeda terlebih dahulu. Pada akhirnya, kamilah couple of the year.
Ke mana-mana bareng, sampai-sampai kalau di suatu tempat ada aku tapi gak ada qilla,
langsung banyak yang tanya di mana Qilla, dan sebaliknya.
Memang, rasa nyaman terbentuk karena kebiasaan. Terbiasa bersama, terbiasa
menjadi satu, terbiasa tak terpisahkan. Mulai detik ini aku juga berjanji, untuk selalu
bersyukur dengan apa yang kudapatkan daripada muncul rasa nyaman dan ternyata
sudah mendekati masa perpisahan. Karena kita tidak tahu, kapan Tuhan
mempertemukan dan memisahkan kita.
Sore hari ini, kami sedang bersantai di taman belakang pondok. Menikmati
hangatnya senja ditemani burung-burung yang melintas membentuk formasi yang
indah.
"Za, habis MTs tetep di sini atau pindah?", tanya Qilla.
"Pengennya sih pindah, tau kan kalau aku pengen ke Jakarta. Tapi, tau sendiri
juga.. Qur'anku belum khatam, aku gak boleh pindah kalau belum selesai."jawabku
murung.
"Iya juga ya.. sebenernya aku juga pengen pindah, pengen dapet suasana baru.
Tapi, jelas gak boleh juga. Ya udah seh, terima nasib. Hahahaha" jawab Qilla dengan
tertawa
"Ahh dasar!!"
"Gini aja, kita susun rencana untuk ke-boyongan kita. Biar setelah MA kita bisa
lepas dari sini, pas kelas 2 MA kita harus sudah selesai nanti kelas 3 bisa fokus belajar
buat ujian dan proses masuk perguruan tinggi. Gimana?" Tanya Qilla semangat.
"Bisa gak ya?"
"Hemm tau deh, usaha dulu aja kali.. kalau gagal ya udah. Terima nasib yang
kedua kalinya." Jawab Qilla santai.
"Geblek banget sih jadi temen, ini mau nyemangatin tapi gasnya abis.
Kompornya mati. Semangatnya gak jadi mateng."
"Hahahaha, sudah-sudah. Stop overthingking. Kuylah masuk aja, udah mau
Maghrib." Ajak qilla dan langsung melangkah pergi meninggalkan ku.
"Woy dasar tungguin!!!"
Begitulah qilla, bukan anaknya Mario Teguh yang punya kata-kata super bijak.
Tapi Qilla, yang kata-katanya biasa-biasa aja tapi selalu bisa membuat hati tenang.
Setidaknya, dari Qilla aku jadi tahu. Masih ada makhluk hidup di dunia yang
menyayangi ku dan harus kusayangi.
Setelah pembicaraan kita 3 tahun yang lalu, semuanya mampu kita buktikan.
Hari ini, hari di mana habisnya ayat yang harus dihafal berbarengan dengan acara
perpisahan kelas 3 MA kami. Tak ada kata yang bisa kami ucapkan, selain kata syukur
"Alhamdulillah".
"Za, gimana? Look at that. Kamu berhasil. Selamat sobat."
"Bravo banget qill.. kamu juga berhasil. Congrats juga buat kamu. Makasih
banyak atas dukungannya selama ini."
"Aku juga makasih banget, Za. Kamu sudah menemani 5 tahun perjuanganku di
sini." Qilla memelukku erat. Tak terasa air mata ini terus membasahi pipi. Air mata haru
dan bahagia.
"Sama-sama qill, I love you!".
Setelah pulang dari acara perpisahan, kami berdua dipanggil Bu nyai di ndalem.
Segera kami ke sana.
"Assalamualaikum", aku dan Qilla mengucapkan salam serentak.
"Waalaikumsalam, masuk nduk. Qilla sama Maza kan.", Dawuh Bu Nyai.
"Injih Bu."
"Alhamdulillah, Barakallah buat kalian berdua nggeh. Setelah ini kalian mau ke
mana?" Tanya Bu Nyai.
"Alhamdulillah Bu nyai, kami sudah diterima di UIN Malang. Saya jurusan PAI
dan Maza jurusan Tadris Matematika." Jawab Qilla.
"MasyaAllah, Alhamdulillahh kalau begitu. Di sana hati-hati nduk. Kuliah seng
tenanan, ojo lali nderes, dijogo pergaulane. Kalian gapapa kuliah, tapi janji nggeh
setelah kuliah kembali ke sini. Ngabdi sama umi', nderek ngurip-ngurip pondok."
"Injih Bu nyai, Insyaallah." Jawab kami bersama.
"kapan berangkat ke Malang?."
"Insyaallah benjeng lusa Bu Nyai.", Jawabku
"Ya wes, ndang dipersiapkan. Mulai besok ga usah masuk TPQ lagi, berangkato
kuliah, Ojo lali syiar Al-Qur'an yo nduk, mpun umi' ridho sama kalian.", Dawuh Bu
nyai sambil mengelus kepala kami berdua.
"Injih Bu nyai, matursuwun sanget. Matursuwun ilmune, matursuwun sampun
sabar mulang kami berdua."
"Injih Bu nyai, matursuwun sanget. Nyuwun tambahing pangestu." Tak terasa
air mata kami menetes lagi, terharu dengan dawuh-dawuh umi'.
"Iyo nduk, gak mandek umi' dongakne kalian, dongakne santri-santri yang lain.
Wes mbaliko, beres-beres buat besok."
"Injih Bu nyai.", Kami pun salim kepada Bu Nyai dan merangkak mundur ke
belakang. Lega sekali rasanya, seperti ada es yang mencair di hati kami. Begitu dingin.
Menyejukkan.
Sebelum aku dan Qilla pergi esok hari, malam ini kami jadi tak bisa tidur.
Mengecek barang-barang apakah sudah beres semua atau belum. Dan tentunya, menata
hati untuk perpisahan ini.
"Qill, mau buat surat perjanjian gak?"
"Perjanjian apa?", Tanya Qilla
"Sini.. mana bolpoin sama kertas."
"Ini"

Surat Ikrrar
Dengan ini, kami yang bertandatangan di bawah ini
Pihak 1
Nama: Mazarina
Tempat, tanggal lahir: Ponorogo, 24 Februari 2001
Pihak 2
Nama: Aqilla Bramasta
Tempat, tanggal lahir: Madiun, 28 November 2001

Berjanji akan mengabdi di pondok ini setelah kami menyelesaikan studi S-1
kami di Universitas Maulana Malik Ibrahim Malang. Apabila terjadi sesuatu hal di
masa yang akan datang kami hanya akan menunda pengabdian tanpa menghapusnya
kecuali ada keputusan baru dari pihak ndalem. Demikian surat ini kami buat dengan
kesadaran dan tanpa paksaan dari pihak manapun.
Hormat kami,
Mazarina
Aqilla

"Selesai, sekarang kamu tandatangan di sini."


"Terus mau diapain?".
"Biarkan ditempel di kamar ini. Di lemari bagian dalam , kan gak ada yang tahu.
Besok kalau kita kembali surat ini jadi saksi. Keseriusan kita menjadi abdi."
"Ide bagus. Siniin, aku laminating dulu biar gak rusak."

4 tahun kemudian.
Satu hal yang aku cari dari pondok ini. Setelah pengembaraan ku selama 4
tahun. Setelah dicari, kukira kertas itu hilang ternyata lemari yang dulu tempat
menyimpan kertas berharga ini pindah posisi.
Qilla, aku berhasil menunaikan hajat kita. Andai kamu ada di sini, betapa
sempurnanya kebahagiaan kita. Sayangnya, kecelakaan 2 tahun lalu tak bisa
dihindarkan. Tenanglah di surga dan tunggu aku di sana. Aku akan mewakilimu
menyelesaikan misi kita. Batinku sambil menatap kertas ikrarku dengan Qilla 4 tahun
lalu.

Anda mungkin juga menyukai