Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH PENDIDIKAN INKLUSI

“PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS”

Dosen Pengampu: Dr. Hery Sawiji, M.Pd.

Disusun oleh:
1. Akwilla Zefanya Joys C (K7522006)
2. Alif Dwi Pratiwi (K7522008)
3. Amelia Wulansari (K7522010)
4. Anggun Ayu Aningsih (K7522015)
5. Dion Pratama (K7522032)
6. Dita Widya Pratiwi (K7522033)
7. Doni Firmansyah (K7522034)

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

PENDIDIKAN ADMINISTRASI PERKANTORAN

2023
PEMBAHASAN

SEJARAH PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK)


MENUJU INKLUSI

Pendidikan khusus dimulai dengan kesadaran bahwa beberapa anak membutuhkan jenis
pendidikan yang berbeda dari yang biasa atau konvensional agar mereka dapat mencapai
potensi mereka. Sumber kesadaran ini dapat ditemukan di Eropa pada tahun 1700-an ketika
beberapa pionir mulai melakukan inisiatif khusus untuk pendidikan anak berkebutuhan
khusus. Salah satu upaya tersebut adalah dengan mendirikan lembaga residensial di Amerika
Serikat pada awal 1800-an untuk mengajar penyandang cacat terbanyak. Ini membuat
Amerika Serikat menjadi pemimpin dunia dalam pengembangan pendidikan khusus. Bidang
ini telah berkembang karena pengenalan pendidikan khusus sebagai pekerjaan yang
membutuhkan keterampilan. Sehingga organisasi-organisasi profesi dan kelompok-kelompok
pendukung mulai didirikan dan menjadi kekuatan yang dahsyat di belakang banyaknya
perubahan yang mengakar dan memberikan kekuatan munculnya layanan-layanan pendidikan
khusus. (Delphie, 2006)

Sejarah perkembangan inklusif dunia dimulai dengan negara-negara Scandinavia (Denmark,


Norwegia, Swedia). Presiden Kennedy mengirimkan pakar pendidikan luar biasa ke
Scandinavia pada tahun 1960-an untuk belajar tentang mainstreaming dan lingkungan yang
kurang membatasi, yang ternyata cocok untuk diterapkan di Amerika Serikat. Selanjutnya,
Undang-Undang Pendidikan tahun 1991 memperkenalkan ide pendidikan inklusif di Inggris,
menandai pergeseran model pendidikan untuk anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus
dari segregatif ke intergratif.

Sejak konvensi dunia tentang hak anak tahun 1989 dan konferensi dunia tentang pendidikan
tahun 1991 di Bangkok, yang menghasilkan deklarasi "Education for All", yang mengikat
semua peserta konferensi untuk memastikan bahwa semua anak, termasuk anak-anak dengan
kebutuhan khusus, mendapatkan pendidikan yang layak. Sebagai tindak lanjut dari deklarasi
Bangkok, konvensi pendidikan di Salamanca diselenggarakan di Spanyol pada tahun 1994.
Konvensi ini menegaskan pentingnya pendidikan inklusif, dan dikenal sebagai "deklarasi
Salamanca tentang pendidikan inklusif". Pada tahun 2004, Indonesia mengeluarkan Deklarasi
Bandung, yang menunjukkan komitmen Indonesia untuk pendidikan inklusif, sebagai respons
terhadap tuntutan perkembangan global tentang pendidikan inklusif. Menurut Herawati
(2016)

Untuk memperjuangkan hak-hak anak dengan hambatan belajar, simposium internasional di


Bukittinggi pada tahun 2005 menghasilkan Rekomendasi Bukittinggi. Rekomendasi tersebut,
antara lain, menekankan pentingnya terus mengembangkan program pendidikan inklusif
untuk memastikan bahwa setiap anak menerima pendidikan dan pemeliharaan yang
berkualitas dan layak. Pemerintah Republik Indonesia mengembangkan program pendidikan
inklusif sejak awal tahun 2000 berdasarkan perkembangan sejarah pendidikan inklusif di
seluruh dunia. Program ini merupakan kelanjutan dari program pendidikan terpadu yang
pertama kali diluncurkan di Indonesia pada tahun 1980-an, tetapi kemudian kurang
berkembang. Baru pada tahun 2000, program ini kembali muncul dengan konsep pendidikan
inklusif, mengikuti kecenderungan global. Menurut Herawati (2016)

PENDIDIKAN SEGRETATIF
Segregasi secara etimologis berasal dari kata segregate yang mempunyai arti (memisahkan,
memencilkan) atau segregation (diartikan Pemisahan). Para ilmuwan mengartikan segregasi
sebagai proses pemisahan suatu golongan dari golongan lainnya atau pengasilan atau juga
pengucilan. Sedangkan pendidikan segregasi yang berkaitan dengan pendidikan luar biasa
adalah suatu sistem pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang terpisah dari sistem
layanan pendidikan anak normal (Casmini, 2007).

Pendidikan segregasi muncul akibat anggapan bahwa anakberkebutuhan khusus tidak sama
dengan anak-anak normal pada umumnya. Artinya terdapat perbedaan sehingga timbul
kekhawatiran terhadap kemampuan anak-anak berkebutuhan khusus apabila disatukan
dengan anak-anak normal pada umumnya. Seiring disahkanya Undang-undang Pendidikan
Nasional (UUSPN) No.2 Tahun1989 yang diatur dengan Peraturan Pemerintah No. 72 tahun
1991, maka bentuk pendidikan segregasi menyesuaikan diri dengan terdapat dua cara untuk
mendirikan sekolah yaitu Sekolah Luar Biasa (SLB) dan Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB).
Namun seiring berjalannya waktu terdapat 4 bentuk penyelenggaraan pendidikan dengan
sistem segregasi yaitu:

a) Sekolah Luar Biasa

b) Sekolah Luar Biasa Berasrama

c) Kelas Jauh /KelasKunjungan

d) Sekolah Dasar Luar Biasa.

Sekolah Luar Biasa adalah sebuah lembaga pendidikan formal yang melayani pendidikan
bagi anak-anak berkebutuhan khusus(Pramartha, 2015). Dalam Pelaksanaanya SLB Terbagi
beberapa jenis :

(a). SLB Bagian A untuk anak berkebutuhan khusus yang menyandang kelainan pada
penglihatan (Tunanetra).

(b). SLB Bagian B untuk anak berkebutuhan khusus yang menyandang kelainan pada
pendengaran (Tunarungu).

(c). SLB Bagian C untuk anak berkebutuhan khusus Tunagrahita ringan sedangkan SLB
Bagian C1 untuk anak berkebutuhan khusus Tunagrahita sedang.

(d). SLB Bagian A untuk anak berkebutuhan khusus untuk Tunadaksa tanpa adanya
gangguan kecerdasan sedangkan SLB D1 untuk anak berkebutuhan khusus Tunadaksa
dengangangguan kecerdasan.

(e). SLB Bagian E yaitu lembaga pendidikan yang memberikanpelayanan pendidikan secara
khusus untuk peserta didik tunalaras.

(f). SLB Bagian Gyaitulembaga pendidikan yang memberikan layanan untuk peserta didik
tunaganda.
PENDIDIKAN INTEGRATIF
Istilah integratif berasal dari kata bahasa Inggris integrate, yang dapat berarti
mengintegratifkan, menyatupadukan, menggabungkan, atau mempersatukan. Pendidikan
terpadu di Indonesia adalah istilah untuk pendidikan integratif berdasarkan pengertiannya.
Namun, ada tiga jenis keterpaduan yang dapat ditemukan di Indonesia: keterpaduan antara
berbagai jenis keluarbiasaan, keterpaduan antara anak luar biasa dan anak normal, dan
keterpaduan tersamar, beberapa anak luar biasa yang masuk sekolah umum tetapi tidak
mendapatkan pendidikan yang layak. Salah satu model lain untuk anak berkebutuhan khusus
(ABK) adalah pendidikan integratif, yang menggabungkan pendidikan penyandang cacat
dengan anak normal di sekolah reguler. Pendidikan integratif adalah sistem pendidikan yang
memberikan ABK kesempatan untuk belajar dalam ruang lingkup yang sama dengan anak
biasa. Konsep dari sistem pendidikan integratif terfokus pada persoalan menyatukan atau
menggabungkan antara pendidikan luar biasa dengan pendidikan reguler. Konsep pendidikan
integratif berorientasi mengubah anak untuk menyesuaikan sistem yang ada. Berbeda dengan
pendidikan inklusif yang berorientasi pada perubahan sistem untuk mengakomodasi anak
dalam segala keadaan.
Mulyono Abdurahman mengemukakan bahwa pendidikan integratif paling sedikit harus
memenuhi 4 (empat) kriteria, yaitu:
1. mengintegratifkan peserta didik luar biasa (penyandang ketunaan maupun yang
memiliki keunggulan) dengan peserta didik normal dalam suatu lingkungan belajar
2. mengintegratifkan dan mengoptimalkan pengembangan potensi yang mencakup
kognitif, afektif, psikomotor dan interaktif
3. mengintegratifkan hakikat manusia sebagai makhluk sosial ke dalam suatu bentuk
strategi pembelajaran
4. mengintegratifkan apa yang dipelajari peserta didik saat ini dengan tugas yang harus
diemban di masa mendatang
Jenis-jenis pendidikan integratif :
1. integratif lokasi fisik
Penyelenggaraan integratif lokasi fisik menekankan bahwa ABK mendapatkan
pelayanan khusus dalam kelas atau sekolah khusus dengan kurikulum PLB. Namun,
gedungnya berada di dekat sekolah umum; dengan kata lain, SLB dan sekolah biasa
berada di lokasi yang sama, tetapi kurikulum dan program pendidikannya berbeda.
2. integratif dalam aspek sosial
Secara sosial integratif artinya seluruh kegiatan proses belajar mengajar tidak
berkaitan dengan ABK, melainkan hanya berkaitan dengan kegiatan tertentu saja,
misalnya bermain, olah raga, menyanyi, makan, waktu luang, dan lain-lain, baik
sesuai kurikulum, ada yang menggunakan kurikulum SLB dan ada pula yang
menggunakan kurikulum sekolah negeri. Hal ini dilakukan dengan
mempertimbangkan kondisi dan kemampuan anggota kelompok. Oleh karena itu,
program gelar ini sering diklasifikasikan sebagai program gelar terintegrasi sebagian.
3. integratif fungsional atau integratif penuh
Program ini merupakan wadah dan integrasi sosial dimana ABK dan siswa reguler
mengarah pada kerjasama dalam segala kegiatan atau proses belajar mengajar.
Artinya mereka menggunakan kurikulum yang sama, guru dan kelas yang sama.
Integrasi jenis ini sering disebut integrasi penuh. Dalam hal tertentu, ABK akan
mendapat bimbingan jika mengalami kesulitan terkait dengan disabilitasnya, seperti
pemahaman bacaan, braille, geometri untuk anak tunanetra, petunjuk komunikasi
komprehensif untuk anak tunarungu atau bahasa isyarat, pelatihan bicara dan terapi
fisik untuk anak tunanetra, dan segera.

PENDIDIKAN INKLUSIF
Pendidikan inklusif merupakan suatu pendekatan pendidikan yang inovatif dan strategis
untuk memperluas akses pendidikan bagi semua anak berkebutuhan khusus termasuk anak
penyandang disabilitas. Pendidikan inklusi adalah bentuk penyelenggaraan pendidikan yang
menyatukan anak-anak berkebutuhan khusus dengan anak-anak normal pada umumnya untuk
belajar. Menurut Hildegun Olsen dalam Tarmansyah, pendidikan inklusi adalah sekolah harus
mengakomodasi semua anak tanpa memandang kondisi fisik, intelektual, sosial emosional,
linguistik atau kondisi lainnya.Ini harus mencakup anak-anak penyandang cacat,
berbakat.Anak-anak jalanan dan pekerja anak berasal dari populasi terpencil atau berpindah-
pindah.Anak yang berasal dari populasi etnis minoritas, linguistik, atau budaya dan anak-
anak dari area atau kelompok yang kurang beruntung atau termarjinalisasi (Tarmansyah,
2007: 82). Daniel P. Hallahan mengemukakan pengertian pendidikan inklusif sebagai
pendidikan yang menempatkan semua peserta didik berkebutuhan khusus dalam sekolah
reguler sepanjang hari. Senada dengan pengertian yang disampaikan Daniel P. Hallahan,
dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 70 Tahun 2009
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan
pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki
kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti
pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan
peserta didik pada umumnya. Secara umum pendidikan inklusif berarti pendidikan yang
dirancang dan disesuaikan dengan kebutuhan semua peserta didik, baik peserta didik yang
normal maupun peserta didik berkebutuhan khusus. Masing-masing dari mereka memperoleh
layanan pendidikan yang sama tanpa dibeda-bedakan satu sama lain.
Menurut Mohammad Takdir Ilahi, tujuan pendidikan inklusi ada dua macam, yakni:
a. Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang
memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki potensi
kecerdasan dan bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai
dengan kebutuhan dan kemampuannya.
b. Mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan
tidak diskriminatif bagi semua peserta didik(Takdir, 2013: 39-40).
Karakteristik Pendidikan Inklusif:
a. Kurikulum yang Fleksibel
Penyesuaian kurikulum dalam penerapan pendidikan inklusi tidak harus
terlebih dahulu menekankan pada materi pembelajaran, tetapi yang paling
penting adalah bagaimana memberikan perhatian penuh pada kebutuhan anak
didik.
b. Pendekatan Pembelajaran yang Fleksibel
Pada aktivitas belajar mengajar, sistem pendidikan inklusi harus memberikan
pendekatan yang tidak menyulitkan mereka untuk memahami materi pelajaran
sesuai dengan tingkat kemampuan.
c. Sistem Evaluasi yang Fleksibel
Saat melakukan penilaian harus memperhatikan keseimbangan antara
kebutuhan anak berkebutuhan khusus dengan anak normal pada umumnya,
karena anak berkebutuhan khusus memiliki tingkat kemampuan yang lebih
rendah dibandingkan dengan anak normal pada umumnya sehingga
memerlukan keseriusan dari seorang guru dalam melakukan penilaian.
d. Pembelajaran yang Ramah Proses pembelajaran dalam konsep pendidikan
inklusi harus mencerminkan pembelajaran yang ramah. Pembelajaran yang
ramah bisa membuat anak termotivasi dan terdorong untuk terus
mengembangkan potensi dan skill mereka sesuai dengan tingkat kemampuan
yang dimiliki.

Daftar Pustaka

Desiningrum, D. R. (2016). Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta: Psikosain.

Hafiz, A. (2017). Sejarah dan Perkembangan Pendidikan Inklusif di Indonesia. Jurnal As-
Salam, 1(3), 9-15.

Latifah, I. (2020) ‘Pendidikan segregasi, mainstreaming, Integrasi Dan inklusi, Apa


Bedanya?’, JURNAL PENDIDIKAN, 29(2). doi:10.32585/jp.v29i2.676.

Franscy (1970) Pendidikan integratif, PENDIDIKAN INTEGRATIF. Available at:


http://franscy91.blogspot.com/2016/08/pendidikan-integratif.html (Accessed: 29
September 2023).

Jauhari, A. (2017). Pendidikan inklusi sebagai alternatif solusi mengatasi permasalahan sosial
anak penyandang disabilitas. IJTIMAIYA: Journal of Social Science Teaching, 1(1).

Khairuddin, K. (2020). PENDIDIKAN INKLUSIF DI LEMBAGA PENDIDIKAN. Tazkiya:


Jurnal Pendidikan Islam, 9(1).

Anda mungkin juga menyukai