Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH GIZI MASYARAKAT

DEFISIENSI ZAT GIZI MIKRO

Mata Kuliah : Gizi Masyarakat


Dosen Pengampu : Ruli Bahyu Antika, S.KM., M.Gizi.

Disusun Oleh Kelompok 4 :

ALDIERA VEMMA A. P. 222110102005

ZULIA RAHMAWATI. 222110102006

AISYAH NAFILA RAMADHAN 222110102007

NAFISAH AMIRA MADYAH 222110102017

LAILAH IZZA FAKHROH 222110102018

KELAS A
PROGRAM STUDI GZI
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS JEMBER
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga
penulis dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah gizi masyarakat dengan tepat waktu.
Makalah disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah gizi masyarakat. Selain itu, makalah ini
bertujuan menambah wawasan tentang “Defisiensi Zat Gizi Mikro” bagi para pembaca dan
juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Ruli Bahyu Antika., S.KM., M.Gizi.
selaku dosen pengampu mata kuliah gizi masyarakat. Ucapan terima kasih juga disampaikan
kepada semua pihak yang telah membantu diselesaikannya makalah ini.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kesalahan dalam penyusunan makalah ini, baik
dari segi EYD, kosakata, tata bahasa, etika maupun isi. Maka dari itu penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran seluas-luasnya dari pembaca yang kemudian akan penulis
jadikan sebagai evaluasi.

Bondowoso, 13 November 2023

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... 2


DAFTAR ISI ............................................................................................................................. 3
BAB I ......................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN .................................................................................................................... 4
1.1 Latar Belakang ............................................................................................................ 4
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................................... 5
1.3 Tujuan.......................................................................................................................... 5
BAB II ....................................................................................................................................... 6
PEMBAHASAN ....................................................................................................................... 6
2.1 Definisi Defisiensi Zat Gizi Mikro................................................................................... 6
2.2.1 Definisi defisiensi asam folat .................................................................................... 6
2.2.2 Definisi defisiensi vitamin B12 ................................................................................. 6
2.2.3 Definisi defisiensi vitamin B6 ................................................................................... 7
2.2.4 Definisi defisiensi zinc(Zn) ....................................................................................... 8
2.2.5 Definisi defisiensi Magnesium (Mg) ......................................................................... 8
2.2.6 Definisi defisiensi Mangan (Mn) ............................................................................... 8
2.2.7 Definisi defisiensi Selenium(Se) ............................................................................... 9
2.2 Epidemiologi Defisiensi Zat Gizi Mikro .......................................................................... 9
2.3 Penyebab Defisiensi Zat Gizi Mikro .............................................................................. 10
2.3.1 Penyebab secara langsung ....................................................................................... 10
2.3.2 Penyebab secara tidak langsung .............................................................................. 11
2.4 Tanda dan Gejala Defisiensi Zat Gizi Mikro.................................................................. 11
2.5 Akibat Defisiensi Zat Gizi Mikro ................................................................................... 13
2.6 Pencegahan Defisiensi Zat Gizi Mikro .......................................................................... 15
2.7 Tata Laksana Gizi Defisiensi Zat Gizi Mikro ................................................................ 16
BAB III.................................................................................................................................... 22
PENUTUP............................................................................................................................... 22
3.1 Kesimpulan..................................................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 23

3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Defisiensi zat gizi mikro merupakan masalah kesehatan masyarakat global, terutama di
negara berkembang (Huwae, 2006). Zat gizi mikro (miconutrient) adalah terminologi yang
digunakan untuk menjelaskan elemen kelumit (traceelement) yang terdiri dari pelbagai vitamin
dan mineral.
Kekurangan zat gizi mikro yaitu vitamin & mineral merupakan salah satu tanda hidden
hunger atau kelaparan tersembunyi. Zat gizi mikro dibutuhkan oleh tubuh dalam kuantitas yang
kecil, tetapi keberadaannya sangat penting guna keberlangsungan metabolisme di dalam tubuh.
Zat gizi mikro penting untuk mempertahankan hidup dan fungsi fisiologis tubuh yang optimal.
Dampak dari defisiensi zat gizi mikro antara lain yaitu penurunan tingkat kecerdasan,
peningkatan penyakit infeksi, penurunan produktivitas kerja, serta dapat meningkatkan angka
kematian ibu dan anak. Defisiensi zat gizi mikro juga memiliki dampak terhadap status
kesehatan global dan dapat mengakibatkan biaya ekonomi yang tinggi.
Vitamin adalah senyawa organik yang sering kita jumpai dalam sayur dan buah
yang kita konsumsi sehari-hari. Vitamin dan mineral dibutuhkan supaya setiap kegiatan di
dalam tubuh dapat berjalan dengan baik. Vitamin secara umum terbagi dua, pertama Vitamin
A, D, E, dan K; dan kedua vit B dan C, yang masing-masing larut dalam lipid dan air.
Unsur-unsur logam merupakan unsur dominan dalam ilmu Kimia. Dari 91 unsur dari
total 118 unsur adalah logam. Pembahasan dan pengembangan riset unsur logam selama ini
lebih banyak diarahkan pada produksi, penggunaan dalam industri dan penanganan limbah
yang menjadi bagian dari industri pula.
Studi tentang peran unsur-unsur logam dalam sistem hidup merupakan topik yang perlu
dikaji dan dikembangkan. Unsur-unsur logam yang dikenal sebagai mineral memiliki peran
yang sangat penting dalam metabolisme tubuh manusia. Meskipun diperlukan dalam jumlah
relatif kecil, kekurangan salah satu unsur dapat menimbulkan gangguan.
Beberapa unsur yang banyak diperlukan dalam metabolisme tubuh antara lain Natrium,
kalium, kalsium, besi, seng, kromium dan selenium. Unsur-unsur mineral ini tersebar di hampir
semua posisi dalam Tabel Periodik Unsur. Unsur-unsur alkali (seperti Na dan K), alkali tanah
(Ca, Mg, hingga unsur-unsur transisi Cr, Fe, Zn) menunjukkan peran masing-masing. Masing-
masing unsur berfungsi secara khas. Umumnya mereka bekerja sebagai kofaktor yang
membantu kerja enzim atau molekul biologis tertentu.

4
Unsur-unsur logam yang dikenal sebagai mineral dalam nutrisi umumnya diperoleh
dari bahan-bahan alami seperti sayuran dan buah-buahan. Selain itu, masyarakat juga
mengkonsumsi mineral dari bahan suplemen yang diproduksi dengan menempatkan sejumlah
senyawa yang mengandung unsur-unsur tertentu.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa definisi dari zat gizi mikro?

2. Apa saja sumber zat gizi mikro?

3. Bagaimana epidemiologi dari defisiensi zat gizi mikro?

4. Apa penyebab dari defisiensi zat gizi mikro?

5. Apa saja yang menjadi tanda dan gejala defisiensi zat gizi mikro?

6. Apa akibat yang ditimbulkan dari defisiensi zat gizi mikro?

7. Bagaimana bentuk pencegahan defisiensi zat gizi mikro?

8. Bagaimana tata laksana gizi untuk defisiensi zat gizi mikro?

1.3 Tujuan

1. Memahami definisi dari zat gizi mikro.

2. Mengetahui sumber-sumber zat gizi mikro.

3. Mengetahui epidemiologi dari defisiensi zat gizi mikro.

4. Mengetahui penyebab dari defisiensi zat gizi mikro.

5. Mengetahui tanda dan gejala defisiensi zat gizi mikro.

6. Mengetahui akibat yang ditimbulkan dari defisiensi zat gizi mikro.

7. Mengetahui bentuk pencegahan defisiensi zat gizi mikro.

8. Mengetahui tata laksana gizi untuk defisiensi zat gizi mikro.

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Defisiensi Zat Gizi Mikro

Zat gizi mikro adalah nutrisi penting yang diperlukan oleh tubuh dalam jumlah kecil,
tetapi memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga kesehatan dan fungsi tubuh. Zat gizi
mikro meliputi berbagai jenis vitamin dan mineral seperti zat besi, seng, yodium, vitamin A,
vitamin D, dan folat. Defisiensi zat gizi mikro adalah kondisi ketika tubuh mengalami
kekurangan atau kekurangan nutrisi penting seperti vitamin dan mineral dalam jumlah yang
diperlukan. Kekurangan zat gizi mikro dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan,
termasuk gangguan pertumbuhan, perkembangan, dan fungsi tubuh. Terdapat beberapa macam
defisiensi zat gizi mikro, antara lain:

2.2.1 Definisi defisiensi asam folat


Asam folat adalah bentuk alami dari vitamin B9 yang larut dalam air dan ditemukan
dalam berbagai makanan seperti sayuran berdaun hijau, buah jeruk, kacang-kacangan, dan biji-
bijian. Defisiensi asam folat adalah kondisi ketika tubuh mengalami kekurangan asam folat
dengan kadar asam folat dalam tubuh berada di bawah normal, yaitu folat serum kurang dari 3
ng/ml dan folat entrosit kurang dari 130 mg/ml. Asam folat sangat penting untuk pertumbuhan
dan perkembangan sel, serta untuk pembentukan DNA dan RNA. Menurut Angka Kecukupan
Gizi (AKG), kebutuhan asam folat setiap hari adalah 160-200 mikrogram untuk anak usia 1-6
tahun, 300 mikrogram untuk anak usia 7-9 tahun, dan 400 mikrogram untuk orang dewasa.
Pada masa kehamilan, kebutuhan asam folat meningkat menjadi 600-800 mikrogram per hari.
Asam folat dapat ditemukan pada berbagai jenis makanan seperti sayuran hijau, kacang-
kacangan, buah-buahan, daging, ikan, dan susu.

2.2.2 Definisi defisiensi vitamin B12


Vitamin B12, juga dikenal sebagai cobalamin, adalah vitamin yang larut dalam air yang
memainkan peran penting dalam pembentukan sel darah merah, fungsi neurologis, dan sintesis
DNA. Defisiensi zat gizi mikro vitamin B12 adalah kondisi ketika tubuh mengalami
kekurangan vitamin B12, yang merupakan nutrisi penting untuk pembentukan sel darah merah
dan fungsi sistem saraf. Vitamin B12 umumnya ditemukan dalam produk hewani seperti
daging, ikan, telur, dan produk susu. Menurut Angka Kecukupan Gizi (AKG), kebutuhan

6
vitamin B12 setiap hari bervariasi tergantung pada usia, jenis kelamin, dan kondisi kesehatan.
Berikut adalah AKG harian vitamin B12 menurut Kementerian Kesehatan Indonesia:
a) Anak usia 0-5 bulan: 0,4 mg
b) Anak usia 6-11 bulan: 1,5 mg
c) Anak usia 1-6 tahun: 1,5 mg
d) Anak usia 7-9 tahun: 2,0 mg
e) Anak usia 10-12 tahun: 3,5 mg
f) Usia 13-80 tahun ke atas: 4,0 mg
g) Wanita hamil: +0,5 mg
h) Wanita menyusui: +1,0 mg

2.2.3 Definisi defisiensi vitamin B6


Vitamin B6, juga dikenal sebagai piridoksin, adalah vitamin yang larut dalam air yang
memainkan peran penting dalam berbagai proses fisiologis, termasuk metabolisme, sintesis
neurotransmitter, dan fungsi kekebalan tubuh. Vitamin ini terlibat dalam metabolisme asam
amino, karbohidrat, dan lipid, serta penting untuk produksi hemoglobin dan neurotransmiter
seperti serotonin dan norepinefrin. Vitamin B6 juga mendukung sistem kekebalan tubuh dan
membantu mempertahankan fungsi otak yang normal. Defisiensi zat gizi mikro vitamin B6
adalah kondisi ketika tubuh mengalami kekurangan vitamin B6, yang memiliki peran penting
dalam metabolisme protein, lemak, dan karbohidrat. Vitamin B6 juga diperlukan untuk
pembentukan neurotransmitter dan fungsi sistem kekebalan tubuh. Menurut Angka Kecukupan
Gizi (AKG), kebutuhan vitamin B6 setiap hari bervariasi tergantung pada usia, jenis kelamin,
dan kondisi kesehatan. Berikut adalah AKG harian vitamin B6 menurut Kementerian
Kesehatan Indonesia :
a) Anak usia 0-5 bulan: 0,1 mg
b) Anak usia 6-11 bulan: 0,3 mg
c) Anak usia 1-3 tahun: 0,5 mg
d) Anak usia 4-6 tahun: 0,6 mg
e) Anak usia 7-9 tahun: 1,0 mg
f) Anak usia 10-18 tahun: 1,3 mg (pria) dan 1,2 mg (wanita)
g) Orang dewasa usia 19-50 tahun: 1,3 mg
h) Orang dewasa usia di atas 50 tahun: 1,7 mg (pria) dan 1,5 mg (wanita)
i) Wanita hamil: +0,6 mg
j) Wanita menyusui: +0,6 mg

7
Kebutuhan vitamin B6 dapat dipenuhi melalui makanan dan suplemen vitamin B6, atau
gabungan keduanya. Makanan yang mengandung vitamin B6 antara lain daging, ikan, unggas,
kacang-kacangan, sayuran hijau, dan buah-buahan

2.2.4 Definisi defisiensi zinc


Zinc adalah mikronutrien esensial yang memainkan peran penting dalam berbagai
proses fisiologis, termasuk fungsi kekebalan tubuh, sintesis protein, penyembuhan luka,
sintesis DNA, dan pembelahan sel. Zinc juga penting untuk pertumbuhan dan perkembangan
normal selama kehamilan, masa kanak-kanak, dan remaja. Zinc ditemukan dalam berbagai
jenis makanan, termasuk daging, kerang-kerangan, kacang-kacangan, biji-bijian, dan produk
susu. Defisiensi zat gizi mikro zinc adalah kondisi ketika tubuh mengalami kekurangan seng
yang berperan penting dalam metabolisme protein, sintesis DNA, fungsi sistem kekebalan
tubuh, dan pertumbuhan sel. Menurut Angka Kecukupan Gizi (AKG), kebutuhan zinc setiap
hari adalah 3 mg untuk anak usia 1-3 tahun, 5 mg untuk anak usia 4-6 tahun, dan 11 mg untuk
pria dewasa dan 8 mg untuk wanita dewasa.

2.2.5 Definisi defisiensi Magnesium (Mg)

Magnesium adalah mineral esensial yang berperan dalam lebih dari 600 reaksi
enzimatik pada sintesa protein, fungsi mitokondria, aktivitas neuromuskular, pembentukan
tulang, dan sistem imun. Defisiensi magnesium adalah kondisi ketika tubuh kekurangan
magnesium yang dibutuhkan untuk berbagai fungsi biokimia dalam tubuh, seperti
pembentukan energi, fungsi otot dan saraf, kesehatan tulang, dan fungsi jantung. Menurut
Angka Kecukupan Gizi (AKG), kebutuhan magnesium setiap hari adalah 55 mg untuk anak
usia 6-11 bulan, 135 mg untuk anak usia 7-9 tahun, dan 360 mg untuk pria usia 19-64 tahun
serta 340 mg untuk wanita usia 30-64 tahun.

2.2.6 Definisi defisiensi Mangan (Mn)

Mangan adalah mineral esensial yang diperlukan oleh tubuh untuk berbagai fungsi,
termasuk pertumbuhan, reproduksi, serta metabolisme karbohidrat dan lipid. Mineral ini juga
berperan sebagai antioksidan dan membantu dalam menjaga kesehatan tulang, pembentukan
jaringan ikat, dan proses pembekuan darah. Defisiensi mangan adalah kondisi ketika tubuh
mengalami kekurangan mineral mangan, yang memainkan peran penting dalam berbagai
fungsi tubuh. Menurut Angka Kecukupan Gizi (AKG), kebutuhan mangan setiap hari adalah
0,003 mg untuk bayi usia 0-5 bulan, 1,7 mg untuk anak usia 7-9 tahun, 2,3 mg untuk pria usia
16-80 tahun ke atas, dan 1,6 untuk wanita usia 10-15 tahun.

8
2.2.7 Definisi defisiensi Selenium

Selenium adalah mineral penting yang berperan sebagai antioksidan dalam tubuh
manusia. Mineral ini membantu melindungi sel-sel tubuh dari kerusakan oksidatif dan
mendukung fungsi sistem kekebalan tubuh. Selain itu, selenium juga diperlukan untuk
metabolisme tiroid dan reproduksi. Defisiensi selenium adalah kondisi ketika tubuh mengalami
kekurangan selenium, yang berperan dalam menjaga keseimbangan hormon tiroid. Menurut
Angka Kecukupan Gizi (AKG), kebutuhan selenium setiap hari adalah 21 mg untuk anak usia
4-6 tahun, 30 mg untuk pria usia 19-64 tahun, 25 mg untuk wanita usia 30-64 tahun.

2.2 Epidemiologi Defisiensi Zat Gizi Mikro


Zat gizi mikro sangat penting untuk mempertahankan kehidupan dan fungsi fisiologis
yang optimal. Defisiensi zat gizi mikro merupakan permasalahan kesehatan global yang
penting, dengan kekurangan gizi mempengaruhi hasil-hasil pembangunan utama termasuk
buruknya perkembangan fisik dan mental anak-anak, kerentanan penyakit, keterbelakangan
mental, kebutaan dan hilangnya produktivitas dan potensi secara umum. Berbeda dengan
kekurangan gizi energi-protein, dampak kesehatan dari kekurangan zat gizi mikro tidak selalu
terlihat jelas. Defisiensi mikronutrien tersebar luas di seluruh dunia, dimana wanita hamil dan
anak-anak mereka yang berusia di bawah 5 tahun berada pada risiko tertinggi. World Health
Organization (WHO) memperkirakan lebih dari dua miliar orang menderita kekurangan
mikronutrien secara global. Defisiensi zat gizi mikro, pada tingkat ringan sekalipun, diketahui
dapat mengganggu kemampuan belajar, mengurangi produktivitas kerja, bahkan dapat
memperparah penyakit dan meningkatkan kematian, terutama bagi anak balita dan ibu hamil.
Bila jumlah penduduk yang menderita kurang zat gizi mikro cukup besar, maka secara
keseluruhan dampaknya dapat merugikan perekonomian negara. Di negara berkembang
diperkirakan terdapat 3,99 miliar penduduk berisiko kekurangan zat gizi mikro, satu milyar
diantaranya sudah dalam keadaan sakit dan cacat (FAO, 1997).

Defisiensi asam folat biasanya terjadi pada minggu-minggu pertama kehidupan bayi
prematur, walaupun defisiensi yang berat jarang terjadi. Kelompok yang paling sering
memperlihatkan gejala-gejala defisiensi asam folat adalah ibu hamil dan ibu menyusui.
Defisiensi asam folat biasanya dihubungkan dengan anemia megaloblastik, kemungkinan
adanya neural tube defect (NTD) dan hiperhomosistenemia. Anemia megaloblastik dilaporkan
3%-75% terjadi pada wanita yang tidak menerima asupan asam folat. Di Afrika Selatan 90%

9
wanita melahirkan dan wanita menyusui menderita defisiensi asam folat. Di Indonesia belum
ada data yang pasti.
Defisiensi vitamin B12 (VB12) atau kobalamin saat ini masih merupakan masalah
kesehatan masyarakat di seluruh dunia baik negara maju maupun berkembang. Studi
epidemiologi yang melibatkan 2999 subjek di Amerika menunjukan bahwa sekitar 16,5% dari
total subjek dengan rentang usia 26-83 tahun memiliki kadar Vitamin B12 plasma di bawah
normal dan sekitar 39% lainnya memiliki kadar suboptimal (Tucker et al., 2000). Penelitian di
Australia tahun 2014 dengan 2210 subjek usia 20-90 tahun memberi data sekitar 5% populasi
mengalami defisiensi vitamin B12 dan 28% diantaranya tergolong defisiensi subklinis dengan
kadar plasma vitamin B12 level normal-rendah (Moore et al., 2014). Menurut WHO prevalensi
defisiensi vitamin B12 sekitar 15% di Jerman pada kelompok usia reproduksi, angka ini lebih
rendah di United Kingdom yakni sekitar 0-3% dan di Jepang justru kurang dari 1% (WHO,
2006). Di negara berkembang defisiensi vitamin B12 masih menjadi masalah gizi yang nyata.
Dilaporkan sekitar 46% penduduk dewasa India mengalami kekurangan mikronutrien ini,
sedangkan di Kenya prevalensinya sekitar 40% pada anak usia sekolah (WHO, 2006). Di
Indonesia masih sulit untuk mendapatkan data pasti prevalensi defisiensi vitamin B12.
Sedangkan untuk vitamin B6 sendiri, dikarenakan distribusi yang luas dari vitamin dalam
makanan, kasus defisiensi vitamin B6 relatif jarang.
Dalam studi menyebutkan bahwa defisiensi mikronutrien seperti defisiensi magnesium,
zinc dan tembaga masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama di banyak Negara
berkembang, kelompok rentan kekurangan magnesium, zinc dan tembaga adalah wanita
menyusui dan bayi. Hampir 2 juta orang di negara berkembang kekurangan magnesium, zinc
dan tembaga, sedangkan dalam studi menyebutkan 1/3 masyarakat dunia di negara berkembang
defisiensi magnesium, zinc dan tembaga.

2.3 Penyebab Defisiensi Zat Gizi Mikro


2.3.1 Penyebab secara langsung
Penyebab langsung terjadinya defisiensi zat gizi mikro disebabkan oleh tidak
seimbangnya asupan makanan yang diterima oleh tubuh. Terdapat jumlah asupan makanan
yang harus diterima oleh tubuh setiap harinya. Apabila jumlah asupan itu tidak terpenuhi, maka
dapat menyebabkan defisiensi zat gizi mikro. Defisiensi zat gizi mikro juga dapat disebabkan
karena adanya infeksi penyakit melalui virus atau bakteri. Infeksi penyakit melalui virus atau
bakteri dapat mempengaruhi status gizi seseorang. Seseorang yang menderita penyakit infeksi
biasanya mengalami penurunan nafsu makan, sehingga asupan gizinya juga berkurang, yang

10
jika berlangsung lama dapat menurunkan status gizinya sehingga mengalami defisiensi zat gizi
terutama zat gizi mikro.
2.3.2 Penyebab secara tidak langsung

Penyebab tidak langsung terjadinya defisiensi zat gizi mikro adalah pola asuh orang
tua. Pola asuh orang tua memiliki peran penting terhadap status gizi anaknya. Pengetahuan dan
persepsi orang tua dalam memberikan makanan yang bergizi pada anaknya dapat
mempengaruhi gizi yang akan diterima oleh sang anak. Selain itu, penyebab tidak langsung
lainnya adalah tingkat pengetahuan mengenai gizi. Pengetahuan yang kurang terhadap gizi
termasuk makanan dan zat-zat gizi yang terkandung didalamnya dapat menyebabkan terjadinya
defisiensi zat gizi mikro secara tidak langsung. Hal ini dikarenakan pengetahuan merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang. Apabila seseorang
memiliki tingkat pengetahuan yang rendah mengenai gizi, maka orang tersebut tidak akan
mengonsumsi dan memberikan asupan gizi yang cukup sesuai kebutuhannya dan akan secara
tidak langsung akan menyebabkan defisiensi zat gizi terutama dalam hal ini adalah zat gizi
mikro. Penyebab tidak langsung lainnya adalah kualitas makanan yang buruk. Kualitas
makanan yang tidak baik dapat mempengaruhi zat gizi yang terkandung pada makanan
tersebut. Apabila zat gizi berkurang akibat kerusakan kualitas makanan, hal ini juga dapat
mempengaruhi terjadinya defisiensi zat gizi mikro. Selain itu, defisiensi zat gizi mikro secara
tidak langsung juga dapat disebabkan oleh ketersediaan pangan yang buruk. Pangan yang
tersedia di suatu daerah akan mempengaruhi jumlah konsumsi makanan masyarakat di
sekitarnya. Apabila ketersediaan pangannya tercukupi, maka dapat tercukupi pula zat gizi yang
dibutuhkan oleh setiap individu.

2.4 Tanda dan Gejala Defisiensi Zat Gizi Mikro

a) Defisiensi asam folat


Tanda : Adanya edema dan pucat pada seseorang yang mengalami defisiensi asam folat.
Gejala : Gejala yang didapatkan bila kekurangan asam folat adalah lesu, lemas, susah
bernafas, nafsu makan menurun, depresi serta mual. Terkadang didapatkan glossitis, diare, dan
pucat. Adapun dijumpai kasus malnutrisi. Pada pemeriksaan laboratorium, kekurangan asam
folat didapatkan Hb rendah yaitu 4-6 gm/100ml, eritrosit 2 juta/mm3, terdapat leukosit perifer
dominan berbentuk segmen, ketika mengaspirasi sumsum tulang crista illiaka didapatkan
sumsum tulang hiperplastik/megaloblastik. Bila keadaaan bergeser ke arah komplikasi akan
terjadi infeksi sekunder, perdarahan, kematian janin dalam Rahim, dan kematian ibu. Selain

11
itu, dapat terjadi gangguan plasentasi abortus habitualis, solusio plasenta, dan kelainan
kongenital jann (neural tube defect) (Hanafiah TM, 2007).
b) Defisiensi Vitamin B12
Tanda : Dapat berupa uban pada rambut.
Gejala : Gejala yang disebabkan oleh anemia megaloblastik karena kekurangan vitamin
B12 adalah kelelahan, sakit kepala, jantung berdebar, dan dispnea, dan gejala neurologis seperti
disestesia dan hipoestesia mungkin juga bisa didapatkan (Socha et al., 2020). Kasus yang
parah, ataksia, penurunan proprioception, dan sensasi getaran, yang secara kolektif dikenal
sebagai subakut degenerasi gabungan. Gejala neurologis adalah umumnya tidak terlihat pada
defisiensi folat. Gejala lainnya termasuk Glositis Hunter (Shipton & Thachil, 2015).
c) Defisiensi Vitamin B6
Gejala kekurangan vitamin B6, dan folat dapat mempengaruhi fungsi kognitif dan disertai
gejala depresi. Kekurangan vitamin B6 menimbulkan adanya ketidakseimbangan hormon
esterogen dan progesteron. Vitamin B6 telah dilaporkan sebagai faktor penting untuk
pemeliharaan jaringan limfoid dan fungsi imunologi. Penurunan respons antibodi primer dan
respons antibodi sekunder, penurunan jumlah limfosit, penurunan hipersensitivitas dermal,
penurunan sitotoksisitas, peningkatan daya tahan allograft, dan lain-lain telah dilaporkan
sebagai gejala akibat defisiensi vitamin B6.
d) Defisiensi Zinc (Zn)
Gejala-gejala defisiensi seng adalah keterbelakangan pertumbuhan, kerontokan rambut,
diare, penundaan pematangan seksual (hipogonadism), impotensi, ruam-ruam pada mata dan
kulit (dermatitis) serta kehilangan selera makan. Gejala lainnya yang juga ditemukan adalah
penurunan berat badan, masa penyembuhan luka yang lambat, abnormalitas indra penciuman
dan pengecap akibat parakeratosis (penebalan ujung saraf sehingga tidak sensitif). Kekurangan
zinc pada tubuh dapat menimbulkan tanda infeksi, peradangan berlebihan dan muncul alergi
karena zinc sangat berperan dalam mendukung tumbuh dan fungsi sel-sel imun secara normal.
e) Defisiensi Magnesium (Mg)
Gejala kekurangan magnesium terjadi akibat kurangnya kandungan magnesium dalam
asupan makanan seseorang. Gejala kekurangan magnesium juga terjadi pada pengguna atau
orang yang mengalami ketergantungan alkohol, orang yang sedang dalam proses pengobatan
atas suatu penyakit, dan pola hidup yang membiasakan konsumsi makanan instan dan fast food.
Gejala awal kekurangan magnesium antara lain; hilangnya nafsu makan, mual, muntah, mudah
mengalami kelelahan, lemah, kadar gula tinggi, kadar kolesterol tinggi, sering tegang di pundak
dan tengkuk. Gejala yang lebih buruk lagi dapat menyebabkan mati rasa, kesemutan, kontraksi
12
otot dan kram, kejang, perubahan kepribadian, irama jantung yang abnormal, dan
kejang koroner. Kekurangan magnesium parah dapat menyebabkan hipokalsemia atau
hipokalemia (kadar serum kalsium dan atau kalium yang rendah) yang disebabkan
terganggunya homeostasis mineral.
f) Defisiensi Mangan (Mn)
Tanda : Terdapat beberapa dampak dari kekurangan mangan, walaupun sangat jarang
dilaporkan kasus-kasus kekurangan mangan. Tanda dari kekurangan mangan adalah timbulnya
kemerahan kulit yang bersifat sementara (Anonimous, 2010), iritasi kulit, dan perubahan warna
rambut (Sela, 2010).
Gejala : Di samping itu, orang yang kekurangan mangan juga dilaporkan adanya penurunan
berat badan, pertumbuhan rambut yang lambat, lebih berisiko terkena diabetes, osteoporosis,
rematik, dan kolesterol tinggi (Anonimous, 2009).
g) Defisiensi Selenium (Se)
Gejala kekurangan selenium antara lain tekanan darah tinggi, disfungsi seksual dan
ketidaksuburan. Secara singkat disampaikan bahwa defisiensi selenium berkaitan dengan
peredaran estrogen yang berlebihan di dalam darah yang dapat menekan fungsi tiroid. Selain
itu, defisiensi juga dikaitkan dengan pemicu terjadinya penyakit kardiovaskular, rendahnya
produksi kelenjar tiroid dan melemahnya sistem imunitas tubuh. Dikarenakan kebutuhan yang
sedikit sehingga gejala akibat kekurangan selenium adalah kondisi yang jarang terjadi. Namun,
berkurangnya antioksidan dalam jantung, hati dan otot dapat mengakibatkan kematian jaringan
dan kegagalan organ. Beberapa penelitian pada hewan, ditemukan bahwa ada peran defisiensi
selenium dalam menurunkan fungsi reproduksi (Yuniastuti, 2014). Berkurangnya ambilan
SePP pada testis yang dapat mempengaruhi proses spermatogenesis dan kesuburan pria,
kemungkinan ini berkaitan juga dengan peran vitalnya dalam modulasi mekanisme pertahanan
antioksidan dan jalur biologis penting lainnya (Fairweather-Tait et al., 2011; Qazi et al., 2019).

2.5 Akibat Defisiensi Zat Gizi Mikro

Defisiensi asam folat mengakibatkan anemia megaloblastik defisiensi asam folat


karena kurang gizi asam folat, terutama pada orang tua, penderita gastrektomi parsial, dan
penderita anemia akibat hanya minum susu kambing. selain itu defisiensi asam folat
menyebabkan anemia megaloblastik, yang membutuhkan asam folat oral.. defisiensi ini bisa
terjadi saat kehamilan karena kebutuhan asam folat pada ibu hamil meningkat juga pada
sindrom malabsorpsi (misalnya steatorea dan sprue),

13
Defisiensi Vitamin B12 mengakibatkan Anemia Megaloblastik defisiensi vitamin B12
karena penderita yang tidak makan daging hewan atau ikan, telur, serta susu yang mengandung
vitamin B12. selain itu defisiensi vitamin B12 juga menyebabkan anemia pernisiosa yang
berkembang melalui penyerapan vitamin B12 abnormal akibat pencernaan yang tidak
mencukupi, kekurangan faktor pengikat (Ca2+). Kekurangan vitamin B12 tergolong cukup
umum pada orang tua dan merupakan penyebab utama depresi di usia lanjut. Selain terjadi
anemia dan gejala sistem saraf, kekurangan vitamin B12 juga bisa berakibat lidah merah dan
diare.
Defisiensi Magnesium menimbulkan gejala yang hampir sama dengan kekurangan
vitamin B kompleks. Tanda- tanda lain yang menjadi petunjuk kekurangan magnesium pada
penderita sindrom X antara lain ditandai dengan fatigue. selain itu dapat menyebabkan
gangguan absorpsi dan Hipomagnesemia (kadar magneseium serum <1,5 mEq/L) biasanya
terjadi karena penurunan absorpsi GI atau peningkatan kehilangan melalui urine.
Hipomagnesemia juga dapat terjadi pada kehilangan GI berlebihan yang mengakibatkan
muntah dan diare atau pada pemberian cairan parenteral bebas magneeium dalam waktu yang
lama.
Defisiensi Zinc menyebabkan pertumbuhan terhambat, penyembuhan luka lambat,
kurang tajam terhadap tajam bau dan rasa, kerdil, juga anemia. Defisiensi seng mudah dikenali
dan dirasakan. Seseorang yang mengalami defisiensi seng akan kehilangan indra pengecap,
jari-jari tangan mengecil, kulit mengelupas, timbul bercak di kulit, dan mudah berjerawat,
fatigue, pertumbuhan terganggu, rambut mudah rontok, penglihatan kabur, kadar kolesterol
darah cenderung naik, peka terhadap infeksi, jika sakit lama sembuh, rawan gangguan prostat,
impotensi, serta kadar gula çånderung meningkat.
Defisiensi Mangan/Mn menyebabkan menurunnya sistem reproduksi, lemahnya
persendian, dan tubuh menjadi lemah. Dampak kekurangan mangan pada seorang anak akan
terjadi demineralisasi tulang dan gangguan pertumbuhan. Sedangkan pada usia remaja,
kekeurangan mangan akan berdampak pada penurunan tingkat serum kolesterol dan kulit
menjadi ruam transien. Dampak kekurangan atau defisiensi mangan pada wanita akan
berdampak pada rendahnya toleransi glukosa. Penelitian medis menunjukkan bahwa defisiensi
mangan merusak metabolisme glukosa dan produksi insulin berkurang. Kekurangan mangan
juga terkait dengan asthenia gravis (kekuatan otot). Selain dari itu, defisiensi mangan juga
berdampak pada peningakatan resiko kanker. rematik, rakhitis, morning sickness, sakit kuning,
dan diabetes.

14
Defisiensi Vitamin B6 mengakibatkan letusan dermatitis seboroik seperti, glositis atrofi
dengan ulserasi, cheilitis angular, konjungtivitis, intertrigo, dan gejala neurologis dari
mengantuk, kebingungan, dan neuropati (karena gangguan sintesis sphingosin) dan anemia
sideroblastik (karena sintesis impairedheme).
Defisiensi selenium dapat menyebabkan gangguan kesehatan ringan seperti munculnya
tanda berupa kuku berkerut dan kulit mudah mengelupas hingga meningkatkan risiko beberapa
penyakit berbahaya seperti gangguan lever, ginjal, peningkatan kadar kolesterol darah,
penyakit jantung koroner, hingga meningkatkan peluang terjadinya kanker.

2.6 Pencegahan Defisiensi Zat Gizi Mikro

Pencegahan defisiensi zat gizi mikro melibatkan langkah-langkah yang bertujuan untuk
memastikan asupan nutrisi yang cukup dan seimbang. Berikut adalah beberapa cara untuk
mencegah defisiensi zat gizi mikro.
a) Konsumsi Makanan Seimbang
Makanan seimbang yang mencakup berbagai kelompok makanan merupakan dasar
pencegahan defisiensi gizi. Memastikan asupan yang cukup dari semua kelompok
makanan dapat membantu mengurangi risiko defisiensi. Selain itu, memilih makanan
yang kaya akan zat gizi mikro, seperti buah-buahan, sayuran, biji-bijian utuh, sumber
protein berkualitas tinggi, dan produk susu. Variasi dalam pilihan makanan dapat
memastikan pemenuhan nutrisi yang seimbang di dalam tubuh.
b) Suplementasi
Jika individu memiliki risiko tinggi defisiensi zat gizi mikro tertentu, seperti ibu hamil
atau ibu menyusui, anak-anak, maupun orang tua, yang sulit diatasi melalui makanan
sehari-hari, pemberian suplemen mungkin diperlukan. Suplementasi harus dilakukan di
bawah pengawasan tenaga kesehatan dan sesuai dengan rekomendasi dosis yang tepat.
c) Memberikan Edukasi
Memberikan edukasi mengenai pentingnya asupan gizi yang baik dan dampak
defisiensi pada kesehatan. Edukasi gizi diharapkan mampu menghasilkan peningkatan
pengetahuan, dan perubahan perilaku untuk mencapai keadaan gizi dan kesehatan yang
optimal. Edukasi ini diharapkan menjadi solusi untuk meningkatkan derajat kesehatan,
serta meningkatkan kesadaran akan makanan kaya nutrisi dan cara memasak yang
mempertahankan nutrisi.

15
2.7 Tata Laksana Gizi Defisiensi Zat Gizi Mikro
Tata laksana gizi untuk defisiensi zat gizi mikro harus disesuaikan dengan jenis dan
tingkat keparahan defisiensi yang dialami individu. Berikut ini tata laksana gizi untuk defisiensi
zat gizi mikro secara umum.
a) Perencanaan Diet Seimbang
Merancang pola makan yang memenuhi kebutuhan gizi setiap individu dengan
memperhatikan kebutuhan zat gizi mikro yang kurang. Kemudian menyertakan makanan kaya
akan zat gizi mikro yang diperlukan. Contoh makanan yang kaya akan zat gizi mikro, seperti
buah-buahan, sayuran, biji-bijian utuh, sumber protein berkualitas tinggi, dan produk susu.
Variasi dalam pola makan juga dapat memastikan pemenuhan nutrisi yang seimbang, dengan
terpenuhinya nutrisi dalam tubuh mampu membantu mencegah defisiensi zat gizi mikro.
b) Diversifikasi dan Modifikasi Makanan
Diversifikasi pangan mengacu pada intervensi yang meningkatkan variasi pangan yang
dikonsumsi di tingkat rumah tangga, seperti meningkatkan konsumsi pangan sumber hewani.
Memasukkan makanan sumber hewani, baik segar atau kering, meningkatkan ketersediaan
vitamin A, zat besi, seng dan vitamin B2 dan B12 dalam makanan.
Modifikasi pola makan melibatkan perubahan dalam penyiapan, pemrosesan, dan
konsumsi makanan pada tingkat komersial, individu, atau rumah tangga untuk meningkatkan
ketersediaan hayati mikronutrien dalam makanan. Misalnya, kopi dan teh mengandung
polifenol yang menghambat penyerapan zat besi, sehingga konsumsinya bersamaan dengan
makanan pada waktu makan sebaiknya dihindari.
Pangan dapat diolah untuk meningkatkan bioavailabilitas dengan menggunakan proses
seperti perkecambahan, fermentasi dan perendaman untuk mengurangi kandungan fitat yang
dapat mengganggu penyerapan zat besi dan seng. Praktik-praktik ini telah menghasilkan
perbaikan status zat besi dan seng, meskipun efek ini tidak selalu terdeteksi (Gibson, Perlas, &
Hotz, 2006). Namun pada tingkat individu, praktik-praktik ini dapat memberikan peningkatan
bertahap dalam asupan dan penyerapan zat gizi mikro dan bermanfaat karena dapat diterima
secara budaya dan kelayakan ekonomi (Gibson, 2014). Agar strategi ini berhasil, strategi ini
harus diintegrasikan ke dalam praktik rumah tangga lainnya atau diterapkan oleh industri
makanan.
Sebelum memperkenalkan diversifikasi atau modifikasi pola makan, penelitian formatif
harus dilakukan untuk memahami kebiasaan pangan di tingkat rumah tangga dan individu dan
akses terhadap pangan serta hambatan dan peluang sosial dan budaya yang mempengaruhi pola
makan. Diversifikasi dan modifikasi pola makan dapat mengatasi berbagai kekurangan
16
mikronutrien secara bersamaan dan memenuhi kebutuhan pangan setiap anggota rumah tangga
yang berbeda-beda. Meskipun demikian, di negara dengan sumber daya terbatas, strategi pola
makan kemungkinan besar tidak akan sepenuhnya memenuhi seluruh kebutuhan nutrisi, dan
strategi tambahan, seperti fortifikasi dan suplementasi, juga harus dipertimbangkan.
c) Fortifikasi Pangan
Fortifikasi pangan adalah penambahan satu atau lebih zat gizi esensial ke dalam pangan
yang diproduksi oleh industri, baik yang biasanya terkandung dalam pangan maupun tidak,
dengan tujuan untuk mencegah atau memperbaiki kekurangan satu atau lebih zat gizi yang
terbukti pada suatu populasi atau populasi tertentu. kelompok (WHO dan FAO, 2015). Ada
tiga jenis utama fortifikasi pangan yaitu.
1. Fortifikasi Massal (produk yang dapat dimakan dengan konsumsi luas)
Fortifikasi massal merujuk pada upaya menambahkan atau meningkatkan kandungan
nutrisi tertentu dalam makanan dalam jumlah besar untuk memperbaiki tingkat gizi suatu
populasi. Ini dilakukan untuk mengatasi defisiensi nutrisi yang umum terjadi di suatu wilayah
atau negara. Fortifikasi massal harus dipertimbangkan ketika kekurangan mikronutrien tersebar
luas dan tersedia kondisi yang sesuai untuk produksi, penjualan, penegakan standar, dan
pemantauan produk fortifikasi. Makanan yang paling sering difortifikasi adalah makanan
pokok, seperti tepung jagung, tepung terigu dan beras; minyak sayur; gula; susu; dan garam.
Pemilihan bahan pangan yang akan difortifikasi (dibuat oleh industri dan dikonsumsi secara
luas oleh populasi sasaran) dan formulasi premix/fortificant (untuk mengisi kesenjangan
mikronutrien) adalah dua keputusan paling penting yang harus diambil ketika
mempertimbangkan fortifikasi massal.
Contoh dari fortifikasi massal adalah fortifikasi garam dengan yodium untuk mencegah
penyakit gondok atau fortifikasi tepung terigu dengan zat besi dan asam folat untuk mengurangi
risiko anemia dan cacat lahir. Fortifikasi massal menjadi strategi penting dalam upaya
meningkatkan kesehatan masyarakat dengan cara yang efisien dan luas.
Program garam beryodium universal adalah contoh klasik dari keberhasilan program
fortifikasi kesehatan masyarakat berskala besar (Andersson, Vallikannu, & Zimmermann,
2012). Contoh fortifikasi lainnya adalah asam folat dalam tepung dan vitamin A dalam minyak
goreng dan gula. Fortifikasi makanan dengan berbagai vitamin dan mineral telah terbukti
meningkatkan status zat besi dan vitamin A serta mengurangi anemia (Eichler, Weiser,
Rüthemann, & Brügger, 2012; Martorell, et al., 2015).
Fortifikasi massal tidak berarti mendorong konsumsi makanan yang telah difortifikasi
ini. Fortifikasi massal yang efektif dibangun berdasarkan, bukannya mengubah kebiasaan
17
makan normal masyarakat. Oleh karena itu, pemasaran sosial seringkali tidak diperlukan.
Upaya pencegahan penyakit tidak menular sering kali bertujuan untuk mengurangi konsumsi
bahan-bahan yang biasa digunakan untuk fortifikasi pangan seperti garam, gula, dan minyak.
Fortifikasi massal sejalan dengan upaya, makanan yang diperkaya hanya digunakan sebagai
sarana pengantaran, dan kandungan mikronutriennya dapat disesuaikan dengan perubahan pola
asupan.
Fortifikasi massal memiliki keuntungan dalam menjangkau sebagian besar masyarakat
melalui pasar. Namun, metode ini mungkin hanya memberikan manfaat sebagian bagi mereka
yang kebutuhan mikronutriennya lebih tinggi dibandingkan kebutuhan masyarakat umum,
seperti anak kecil atau wanita hamil dan menyusui. Bagi mereka yang kebutuhannya belum
sepenuhnya terpenuhi, akan berguna jika menggunakan fortifikasi atau suplementasi yang
ditargetkan untuk melengkapi fortifikasi massal.
2. Fortifikasi Bertarget (penambahan mikronutrien pada makanan untuk populasi
tertentu)
Fortifikasi yang ditargetkan bertujuan untuk mengembangkan pangan khusus yang
memenuhi kebutuhan mikronutrien pada populasi atau kelompok umur tertentu. Dalam hal ini,
fortifikasi dilakukan secara terfokus untuk mengatasi masalah gizi yang spesifik pada
kelompok populasi yang membutuhkan perhatian khusus.
Program Pangan Dunia (WFP) menggunakan fortifikasi yang ditargetkan dalam
keadaan darurat yang kompleks di mana pasar mungkin tidak berfungsi untuk mendukung
fortifikasi massal atau intervensi lainnya (Nutrition Service, 2006). WFP sering kali
memberikan jatah makanan yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan makronutrien dan
mikronutrien penduduk melalui penyediaan makanan campuran yang diperkaya. Ini sering kali
ditargetkan pada wanita hamil dan menyusui serta anak kecil. Di luar konteks kemanusiaan,
ada beberapa contoh lain dari fortifikasi yang ditargetkan dengan berbagai mikronutrien,
termasuk Incaparina – tepung campuran yang difortifikasi yang dibuat dari tepung jagung dan
kedelai di Guatemala; tepung campur lainnya yang digunakan sebagai makanan pendamping
ASI bayi di Indonesia; – tepung campuran yang digunakan sebagai makanan pendamping di
Peru (WHO dan FAO, 2006).
Terdapat dua formulasi makanan yang masuk dalam kategori sarana fortifikasi yang
ditargetkan yaitu, Makanan Terapi Siap Pakai (RUTF) dan Makanan Tambahan Siap Pakai
(RUSF), yang sebagian besar berbentuk Suplemen Nutrisi Berbasis Lipid ( LNS). Produk-
produk ini kaya akan energi dan protein, serta memasok asam lemak esensial dan zat gizi mikro
untuk memenuhi kebutuhan individu yang mengalami malnutrisi (Gibson, 2014).
18
RUTF digunakan untuk mengobati kasus malnutrisi akut berat tanpa komplikasi pada
pasien rawat jalan. Formulasinya yang terkonsentrasi menetapkan pemulihan bagi individu
yang mengalami kondisi sangat kurus. Modifikasi produk ini dan pengurangan ukuran porsi
menyebabkan RUSF, yang digunakan untuk pencegahan dan pengobatan malnutrisi akut
sedang. RUSF dimaksudkan untuk digunakan sebagai makanan tambahan, dimaksudkan untuk
mencegah malnutrisi akut yang parah dan merangsang pemulihan wasting sedang ketika
melengkapi makanan lokal.
Contoh fortifikasi bertarget termasuk penambahan asam folat pada tepung terigu untuk
mengurangi risiko cacat lahir pada bayi, atau penambahan vitamin D pada produk susu untuk
mendukung kesehatan tulang, terutama pada kelompok yang mungkin kekurangan vitamin D,
seperti lansia. Pendekatan ini dirancang untuk mencapai dampak yang lebih efektif dalam
mengatasi defisiensi nutrisi pada kelompok-kelompok yang rentan.
3. Fortifikasi Berbasis Komersial
Fortifikasi komersial merujuk pada penambahan atau peningkatan nutrisi dalam
makanan oleh produsen makanan atau industri secara sukarela, bukan sebagai hasil dari
kebijakan pemerintah atau regulasi kesehatan publik. Praktek ini dilakukan dengan tujuan
meningkatkan nilai gizi produk makanan yang dihasilkan oleh industri. Produsen makanan
menambahkan satu atau lebih mikronutrien ke produk makanan tertentu untuk keuntungan
bisnis atau merek. Ketika produsen produk makanan mengambil keputusan bisnis untuk
melakukan fortifikasi, hal ini mungkin berdampak positif pada pasokan mikronutrien
masyarakat jika kandungan dan pemasaran produk diatur dengan tepat. Contoh fortifikasi
komersial termasuk menambahkan vitamin, mineral, atau zat-zat lainnya ke dalam produk
makanan, seperti sereal sarapan yang diperkaya dengan vitamin dan mineral tertentu. Tujuan
dari fortifikasi komersial adalah tidak hanya memenuhi kebutuhan gizi konsumen, tetapi juga
menciptakan produk yang lebih menarik dan sehat di pasaran. Produk-produk olahan ini
biasanya hanya menjangkau sebagian kecil masyarakat dibandingkan dengan makanan pokok
yang diperkaya, dan sering kali produk-produk tersebut tidak menjangkau kelompok
masyarakat yang paling rentan.
Peraturan pemerintah selalu diperlukan untuk memastikan bahwa fortifikasi makanan
atau minuman olahan tidak akan menyebabkan tingginya asupan zat gizi mikro, yang mungkin
terjadi ketika produk difortifikasi secara berlebihan atau ketika individu mengonsumsi berbagai
produk fortifikasi. Selain itu, pemasaran produk-produk ini juga harus diperiksa untuk
menanggapi kepentingan kesehatan masyarakat.

19
d) Suplementasi
Menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan AS, suplemen adalah produk yang
mengandung bahan makanan yang dimaksudkan untuk menambah nilai gizi pada makanan.
Formulasi suplemen meliputi tablet, kapsul, softgels, gelcaps, cairan atau bubuk (FDA, 2015).
Suplemen dapat dikonsumsi sendiri atau bersamaan dengan makanan.
Suplementasi harus ditargetkan pada kelompok rentan yang kebutuhan mikronutriennya
tidak cukup dipenuhi dari sumber makanan saja. Wanita hamil umumnya menjadi sasaran
suplementasi sediaan farmasi tradisional karena kebutuhan mikronutrien mereka meningkat
selama kehamilan. Kebutuhan zat besi dan folat lebih tinggi selama kehamilan, dan kedua
mikronutrien ini biasanya disediakan pada tahap ini untuk mencegah anemia pada ibu,
mengurangi risiko berat badan lahir rendah dan meningkatkan status zat besi pada ibu dan bayi
baru lahir (Imdad, Yakoob & Bhutta, 2011; WHO dan FAO, 2004). Suplementasi zat besi dan
asam folat (IFA) merupakan bagian integral dari pelayanan antenatal, namun permasalahan
terkait pasokan, cakupan dan kegunaan masih tetap ada. Suplementasi IFA yang bersifat
intermiten (misalnya seminggu sekali) dapat diberikan kepada remaja putri dan wanita usia
subur yang tinggal di wilayah dengan prevalensi anemia 20 persen atau lebih tinggi (WHO,
2011b).
Selain itu, WHO merekomendasikan pemberian suplemen zat besi secara berkala pada anak
usia prasekolah (24–59 bulan) dan anak usia sekolah (5–12 tahun) jika prevalensi anemia lebih
tinggi dari 20 persen. Suplementasi zat besi setiap hari direkomendasikan untuk anak usia 6–
23 bulan di negara dengan prevalensi anemia pada anak berusia sekitar satu tahun di atas 40
persen atau di negara yang pola makannya tidak mencakup makanan yang diperkaya zat besi
(WHO, 2015). Namun demikian, keamanan pasokan zat besi yang lebih banyak kepada anak-
anak di daerah endemis malaria atau di mana banyak terdapat bakteri patogen usus masih
menjadi perhatian.
Suplemen asam folat disarankan sebelum kehamilan untuk mencegah perkembangan
cacat tabung saraf pada janin; karena tabung saraf janin berkembang pada beberapa minggu
pertama kehamilan, menunggu sampai seorang wanita mengetahui bahwa dia hamil biasanya
sudah terlambat untuk meningkatkan asupan folatnya. Intervensi ini sangat penting ketika pola
makan rendah folat atau program fortifikasi dengan asam folat tidak ada di wilayah tersebut.
Suplementasi kalsium selama kehamilan merupakan rekomendasi yang relatif baru dari
WHO untuk mengurangi risiko eklamsia (WHO, 2013). Pengalaman dalam menggunakan
intervensi ini masih rendah, dan permasalahan program terkait dengan permintaan,
penggunaan, dan kepatuhan intervensi ini masih harus diselesaikan.
20
Suplementasi vitamin A diberikan dua kali setahun kepada anak-anak berusia 6 bulan
hingga 5 tahun sebagai bagian dari hari atau kampanye kesehatan anak di banyak negara.
Karena vitamin A dapat disimpan di organ tubuh hingga 4-6 bulan, intervensi ini terbukti
efektif dan praktis (Edejer, dkk., 2005). Jika intervensi lain dalam memasok vitamin A sudah
dilakukan pada suatu populasi, penyesuaian terhadap program suplementasi mungkin
diperlukan untuk mencegah kelebihan suplementasi.

21
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Defisiensi zat gizi mikro adalah kondisi kekurangan asupan nutrisi mikro yang
diperlukan oleh tubuh. Pada kondisi defisiensi mikronutrien, tubuh kekurangan vitamin dan
mineral esensial. Jenis dari Vitamin mencakup vitamin A, vitamin C, vitamin D, vitamin E,
vitamin K, serta beberapa vitamin B kompleks seperti B6,B12 dan lain lain. Sedangkan jenis
dari Mineral seperti zat besi, kalsium, magnesium, seng, selenium, dan lainnya.
Defisiensi zat gizi mikro dapat menyebabkan sejumlah masalah kesehatan, termasuk
gangguan pertumbuhan, anemia, gangguan sistem kekebalan, masalah penglihatan, dan
masalah metabolisme. Adapun beberapa kelompok individu yang memiliki risiko lebih tinggi
untuk mengalami defisiensi zat gizi mikro, termasuk anak-anak dalam masa pertumbuhan, ibu
hamil atau menyusui, orang tua, dan individu dengan kondisi medis tertentu. Penyebab dari
terjadinya defisiensi zat gizi mikro ini adalah asupan makanan yang kurang bervariasi, diet
yang tidak seimbang, gangguan absorbsi nutrisi, atau kondisi medis tertentu yang
mempengaruhi metabolisme.
Untuk mencegah terjadinya defisiensi zat gizi mikro, maka diperlukan konsumsi
makanan yang seimbang dan kaya nutrisi, serta dapat mengkonsumsi suplementasi nutrisi
dalam kasus tertentu. Meski zat gizi mikro yang dibutuhkan oleh tubuh dalam jumlah kecil,
namun perannya cukup penting untuk pertumbuhan, perkembangan, dan metabolisme tubuh
yang baik. Oleh karena itu, upaya untuk memastikan asupan yang cukup dari berbagai nutrisi
menjadi kunci dalam mendukung fungsi tubuh yang optimal.

22
DAFTAR PUSTAKA

Amani, P. (2022). Defisiensi Vitamin B12: Tinjauan Aspek Fisiologi dan Dampak Spesifik
terhadap Ginjal Vitamin B12 Deficiency: Insight of Physiological Aspect and
the Specific Impact to the Kidney. Jurnal Penelitian dan Karya Ilmiah
Lembaga Penelitian Universitas Trisakti, 7(1), 90-100.
Amelia, R. R. (2019). Prevalensi dan Zat Gizi Mikro dalam Penanganan Stunting. Jurnal Ilmu
Kedokteran Dan Kesehatan, 6(2), 138-145.
Amir, A. Y., & Manila, H. D. KORELASI KADAR MAGNESIUM, ZINC DAN
TEMBAGA DALAM ASI DENGAN PENAMBAHAN BERAT BADAN
BAYI USIA 0-6 BULAN DI PUSKESMAS LUBUK BUAYA PADANG.
Ardyansyah, D. (2023). Gizi Seimbang. Bumi Aksara.
Bahan Ajar Kimia Pangan Konstruktivisme 5 Fhase Needham. (2022). (n.p.): Bening
Media Publishing.
Bailey, R. L., West Jr, K. P., & Black, R. E. (2015). The epidemiology of global
micronutrient deficiencies. Annals of nutrition and metabolism, 66(Suppl. 2),
22-33.
Damongilala, L. J. (2021). Kandungan Gizi Pangan Ikani
Dasopang, E. S., Hasanah, F., Febriani, Y., & Meilani, D. 2021. Edukasi Vitamin yang Tepat
Masa Pandemi Covid-19.
Fisiologi Manusia dan Metabolisme Zat Gizi. (2017). (n.p.): Universitas Brawijaya Press
Program AntiX Tanpa Obat. (2014). (n.p.): Elex Media Komputindo
Han, X., Ding, S., Lu, J., & Li, Y. (2022). Global, regional, and national burdens of common
micronutrient deficiencies from 1990 to 2019: A secondary trend analysis
based on the Global Burden of Disease 2019 study. EClinicalMedicine, 44.
Hernida, N. I., Rozali, Z. F., & Murlida, E. (2023). Studi Literatur: Efektivitas Penambahan
Zat Besi (Fe) sebagai Fortifikan pada Beras untuk Mengatasi Anemia. Jurnal
Ilmiah Mahasiswa Pertanian, 8(3).
Mandiri, A. (2019). Asupan Zat Besi, Asam Folat, dan Vitamin C pada Remaja Putri di
Daerah Jatinangor. Jurnal Kesehatan Vokasional, 4(4).
Micronutrient Survey Manual. (2020). Swiss: World Health Organization.
Mineral Seri Biokimia Pangan Dasar. (2021). (n.p.): Deepublish.

23
Octaviane, C. R., & Syafiq, A. (2022). Defisiensi Zat Gizi Makro dan Zat Gizi Mikro Saat
1000 Hari Pertama Kehidupan Berdampak pada Obesitas Usia Dewasa. Syntax
Literate; Jurnal Ilmiah Indonesia, 7(10).
Prasetyo, T. J. & Khoiriani, I. N. 2020. KONSUMSI PANGAN DAN DENSITAS GIZI
WANITA DEWASA USIA 19-49 TAHUN DI INDONESIA (Food
Consumption and Nutrient Density af Adults Women Aged 19-49 Years Old
in Indonesian). Jurnal Dunia Gizi. 3(2), 105-113.
Pratiwi, T. D., Putri, R., & Wilujeng, C. S. (2019). Perbedaan Antara Asupan Vitamin B1, B6
dan B12 Dengan Kejadian Dysmenorrhea pada Remaja Putri di SMAN 8 Kota
Malang dan MA Nurul Ulum Munjungan Kabupaten Trenggalek. Journal of
Issues in Midwifery, 3(2), 1-15.
Prianggoro, H. R. 2022. Tingkat Pengetahuan Fungsi Magnesium bagi Tubuh. Jurnal
Edukasimu. 2(2). MEJUAJUA: Jurnal Pengabdian pada Masyarakat. 1(1), 1-5.
Sinopsis Kedokteran Tropis. (2019). Indonesia: Airlangga University Press
Siregar, M.H. & Riyadi, H. 2022. Pengaruh Asupan Selenium terhadap Kejadian Obesitas.
Gorontalo Journal of Nutrition Dietetic. 2(1).
Susanto, H. (2022). Blue Society: Rekayasa Pola Makan dan Produksi Daun Siap Santap dari
Pekarangan. Cikini Art Stage.
Tangkilisan, H. A., & Rumbajan, D. (2016). Defisiensi asam folat. Sari Pediatri, 4(1), 21-5.
The healing power of antioxidant: mengenal lebih jauh sumber antioksidan
unggulan. (2014). Indonesia: Elex Media Komputindo.
Vitamin Seri Biokimia Pangan Dasar. (2021). (n.p.): Deepublish
Wibisana, I K. G. A. 2023. Etiology and Pathogenesis of Macrocytic Anemia. Jurnal Biologi
Tropis. 23(4), 238–243.

24
JOBDESK

1. Aldiera Vemma Ayunda Putri (222110102005)


• BAB II : Pencegahan dan Tatalaksana Gizi
• BAB III : Kesimpulan
• PPT
2. Zulia Rahmawati (222110102006)
• BAB II : Definisi Defisiensi zat gizi mikro (Asam Folat, Vitamin B12, Vitamin B6,
Zinc, Magnesium (Mg), Mangan (Mn), Selenium (Se)) dan kebutuhan zat gizi mikro
sesuai akg.
• Jobdesk
• PPT
3. Aisyah Nafila Ramadhan (222110102007)
• Cover, Kata pengantar, daftar isi
• BAB II : Akibat defisiensi zat gizi mikro (Asam Folat, Vitamin B12, Vitamin B6,
Zinc, Magnesium (Mg), Mangan (Mn), Selenium (Se)
• PPT
4. Nafisa Amira M (222110102017)
• BAB I : Tujuan dan rumusan masalah
• BAB II : Epidemilogi dan penyebab defisiensi zat gizi mikro
• PPT
5. Lailah Izza Fakhiroh (222110102018)
• BAB I : Latar Belakang
• BAB II : Tanda dan gejala defisiensi zat gizi mikro
• PPT

25

Anda mungkin juga menyukai