Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

THE SELF DAN FRUSTASI

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikologi Pendidikan

Dosen Pengampu : Dr. Hj. Sopiah, M. Ag

Disusun Oleh :

1. Via Nilna Zumzumi (20122191)


2. Nailatus Soraya (20122210)
3. Husnun Affah (20122213)
4. Wulan Septiana (20122225)

KELAS A
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI K.H ABDURRAHMAN WAHID
KOTA PEKALONGAN
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Swt. Yang selalu memberikan nikmat islam,
nkmat iman serta kesehatan kepada kami, sehingga kami dalam penyusunan makalah
ini dilancarkan tanpa ada halangan suatu apapun. Sholawat beserta salamnya semoga
tetap tercurah limpahkan kepada Baginda Agung Nabi Muhammad SAW, yang tentu
kita semua nantikan syafaatnya besok dihari yaumul akhir, dan semoga kita diakui
umatnya amin, ya robbal, aalamiin.
Terima kasih kami ucapkan kepada Ibu Dr. Hj. Sopiah, M. Ag selaku dosen
mata kuliah Psikologi Pendidikan yang telah memberikan kami petunjuk dan
bimbingan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “The Self
dan Frustasi” dengan baik dan lancer. Kemudian terima kasih juga kami ucapkan
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, sehingga
makalah ini dapat selesai tepat waktu.
Akhir kata semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca dan penulis pada
khususnya. Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini jauh dari kata
sempurna, untuk itu penulis menerima saran dan kritik dari semua pihak bersifat
membangun guna perbaikan yang lebih sempurna. Akhir kata penulis mengucapkan
terimakasih.

Pekalongan, 22 Oktober 2023

Penyusun
DAFTAR ISI
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap manusia memiliki perasaan tentang dirinya, seperti seseorang merasa


pintar dari orang lain, lebih tahu, merasa cantik, merasa kaya, dan lain sebagainya,
walaupun sebenarnya masih ada banyak orang yang lebih pintar, lebih cantik, dan
lebih kaya dari dirinya. Perasaan tersebut memang terdapat pada setiap orang,
itulah yang disebut dengan “Aku” atau “The self”.
Sepanjang masa perkembangan dari lahir hingga dewasa, kebutuhan-
kebutuhan seseorang tidak selalu dapat terpenuhi dengan lancar. Seringkali terjadi
hambatan dalam pemuasan suatu kebutuhan, motif, dan keinginan. Keadaan
terhambat dalam mencapai suatu tujuan dinamakan frustasi. Keadaan frustasi yang
berlangsung terlalu lama dan tidak dapat diatasi oleh seseorang akan
menimbulkan stress.
Frustasi dapat bersumber pada hambatan yang terjadi diluar diri, maupun
dalam diri seseorang. Hambatan dari luar misalnya cuaca mendung tak
memungkinkan untuk menjemur kain. Hambatan dari dalam contohnya seseorang
yang ingin mendekati wanita cantik terhambat oleh perasaan takutnya.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian The Self ?


2. Apa kegunaan The Self ?
3. Apa pengertian Frustasi ?
4. Apa saja rintangan-rintangan yang dapat menimbulkan Frustasi ?
5. Apa saja reaksi-reaksi yang timbul karena adanya Frustasi ?
6. Bagaimana hubungan Pendidikan dan Frustasi ?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian The Self.


2. Untuk mengetahui kegunaan The Self.
3. Untuk mengetahui pengertian Frustasi.
4. Untuk mengetahui rintangan-rintangan yang dapat menimbulkan
Frustasi.
5. Untuk mengetahui rintangan-rintangan yang dapat menimbulkan
Frustasi.
6. Untuk mengetahui hubungan Pendidikan dan Frustasi.
BAB 3

PEMBAHASAN

A. Pengertian The Self


Kalau kita perhatikan dalam pergaulan kita sehari-hari terlihat jelas
bahwa setiap manusia mempunyai anggapan dan perasaan-perasaan tentang
dirinya sendiri. Seorang mungkin merasa bahwa dia adalah sebagai pemain
bola yang baik, seorang gadis merasa atau menggangap bahwa dirinya bunga
yang terindah diantara teman-teman sekelompoknya, atau merasa paling
sesuai untuk memegang perasaan tertentu. Anggapan dan perasaan-perasaan
yang ada pada tiap-tiap orang tentang dirinya sendiri ini, disadari maupun
tidak disadari. Sebagaimana seseorang mengganggap atau merasakan tentang
dirinya sendiri itulah yang disebut dengan the self. Jadi perkataan the
self berarti meliputi semua penghayatan, anggapan, sikap, dan perasaan-
perasaan, baik yang disadari maupun yang tidak disadari, yang ada pada
seseorang tentang dirinya sendiri.
Perasaan the self tumbuh karena ada interaksi antara bawaan dan
lingkungan yang terjadi secara terus-menerus dan dalam jangka waktu yang
lama. Seseorang terbentuk bila ia sudah dapat membedakan dirinya,
keinginannya, dengan apa yang merupakan kenyataan, yang ada di luar
dirinya.1
The self yang ada pada tiap-tiap manusia itu mengandung dua hal :
a. The self picture, yakni menghayati dan perasaan-perasaan seseorang
tentang dirinya sendiri yang disadari
b. Perasaan-perasaan dan sifat-sifat seseorang tentang dirinya sendiri yang
tidak disadari. Tentu saja diantara keduanya terdapat tingkatan-tingkatan
(benar-benar disadari, agak disadari, kurang disadari, dan tidak disadari).
Ada tiga kemungkinan mengapa kita memiliki anggapan dan perasaan-
perasaan tentang diri kita sendiri yang tidak disadari.
1. mungkin kita memang benar-benar tidak dapat menyadari (menjadi sadar)
beberapa bagian daripada nya.
2. beberapa faktor tentang kita mungkin sedemikian rumitnya bagi kita,
sehingga sukar atau tidak mungkin bagi kita untuk
mempercayai/mengetahuinya.

1 Suprapti Slamet, Pengantar Psikologi Klinis(Jakarta: Penerbit UI-Press, 2005), Hal. 39.
3. beberapa faktor tentang kita tidak sesuai bagi self picture atau diluar yang
kita kehendaki untuk dipercaya, sehingga dengan demikian kita
menekankannya kedalam ketidak sadaran kita.
B. Kegunaan The Self Bagi Seseorang
The self sangat berguna bagi tiap-tiap orang yang bersangkutan. Tentu
saja baik buruk nya atau berguna tidak nya the self itu bagi orang yang
bersangkutan tergantung kepada sesuai atau tidaknya the self itu dengan yang
sebenarnya dari diri orang itu. Makin sesuai the self dengan keadaan diri yang
sebenarnya, makin mudah orang itu untuk berinteraksi dengan lingkungannya,
terutama dalam pergaulannya dengan orang-orang lain. Sebaliknya, makin
berbeda the self dengan keadaan (siapa, apa, dan bagaimana) sebenarnya diri
orang itu, makin menyulitkan pergaulan dan kehidupannya. The self yang ada
pada tiap-tiap orang dapat dijadikan ukuran bagaimana perasaan harga diri
orang itu, bagaimana dan sampai dimana ia menilai dan memandang dirinya.
Dari pengalaman, kita mengetahui bahwa tiap-tiap orang jika
mendapat serangan dari orang lain seperti dihina, dimarahi, dan sebagainya,
mudah sakit hati atau tersinggung perasaannya, meskipun dia perlihatkan
dengan nyata atau tidak. Sebaliknya, jika seseorang disanjung atau dipuja ia
akan merasa senang dan bangga. Demikianlah, sebagian waktu dan tenaga
kita pada umumnya digunakan untuk mempertahankan dan memuaskan the
self. Kita melindungi diri, mempertahankan diri kita dari kemungkinan
kehilangan penghargaan/kehormatan dalam pandangan kita sendiri, dan usaha
membuat diri kita terpuji dan dihormati.
Usaha-usaha yang mungkin dilakukan seseorang untuk
mempertahankan the self-nya. Menurut Sartain cara-cara seseorang
mempertahankan the self ada empat golongan.
a. Dengan menyerang kepada sumber-sumber yang menyebabkan frustasi
Seseorang yang dihina oleh orang lain kemudian melawan atau
berkelahi dengan orang yang menghinanya. Seorang anak meminta kue
kepada ibunya tetapi tidak diberi, kemudian memukul atau melempari ibunya,
dan lain-lain.
b. Dengan menghindarkan diri dari situasinya
Seseorang berhasrat main bulu-tangkis. Akan tetapi ia mengetahui jika
ia bermain, mungkin ia akan kalah karena lawannya kuat, dan ia akan
dicemoohkan atau turun nilainya dalam pandangan orang lain. Untuk
mempertahankan the self-nya ia berusaha agar tidak jadi bermain.
c. Dengan memperbaharui/mengubah lingkungan sekitarnya (situasinya)
Pengubahan lingkungan hanyalah dalam angan-angan, pikiran dan
persepsi penglihatannya tentang lingkungan itu. Contoh autisme, yakni
kecenderungan dari perasaan-perasaan dan emosi-emosi kita untuk
memutarbalikkan proses-proses intelektual kita. Dengan kata lain autisme
adalah tingkah laku yang menunjukkan kecenderungan untuk melihat apa
yang ingin kita lihat, dan mempercayainya.
Autisme terjadi secara tidak disadari. Dengan demikian kita
dipengaruhi oleh perasaan-perasaan kita untuk mempercayai sesuatu,
meskipun kenyataannya tidak demikian.
Contoh seseorang pergi melihat permainan bola kaki antara dua
kesebelasan yang telah terkenal keunggulannya. Orang tersebut sebenarnya
termasuk anggota dari salah satu kesebelasan itu tetapi tidak turut
bermain. Permainan berlangsung sangat gencar, dan kedua kesebelasan
serang-menyerang silih berganti. Karena banyak terjadi pelanggaran dan
kecurangan-kecurangan, wasit berkali-kali membunyikan peluitnya.
Secara tidak sadar, ia ingin melihat apa yang sebenarnya ia inginkan,
yakni agar kesebelasannya menang. Karena motif yang ada dalam dirinya
tidak disadari, maka bagaimanapun objektifnya tindakan wasit tersebut
terhadap kedua kesebelasan itu dia akan menganggap wasit tersebut bertindak
berat sebelah atau tidak adil, apalagi jika kesebelasannya ternyata kalah.
d. Dengan membangun kembali “the self”
Tidak jarang kita menilai dan memandang diri kita yang sebenarnya
tidak sesuai dengan diri kita yang sesungguhnya, the self kita tidak sesuai
dengan apa yang sebenarnya. Pada saat-saat tertentu hal yang demikian
mungkin menyebabkan kita mengalami ketidakpuasan atau tersinggung the
self. Untuk mempertahankan atau memuaskan the self itu, boleh jadi kita
terpaksa harus mengubah pandangan kita terhadap diri kita sendiri,
mengadakan reevaluasi terhadap diri kita sendiri.

C. Pengertian Frustasi
Menurut aliran ilmu jiwa modern dinyatakan bahwa didalam diri
manusia itu terdapat dorongan-dorongan batin yang dapat mempengaruhi
tingkah laku dan kehidupan manusia.
Frustasi sebenarnya adalah keadaan batin seseorang, ketidak
seimbangan dalam jiwa, suatu perasaan tidak puas karena hasrat tidak
terpenuhi. (frustration=kekecewaan). Kita tahu bahwa agresi itu timbul
karena adanya frustasi. Tetapi tidak semua frustasi menimbulkan agresi pada
seseorang.
Menurut aliran ilmu jiwa modern dikatakan bahwa didalam diri
manusia itu terdapat dorongan-dorongan batin yang dapat mempengaruhi
tingkah laku dan kehidupan manusia.2
D. Rintangan-rintangan yang dapat menimbulkan Frustasi
Frustasi itu dapat terjadi bila hasrat batin yang kuat tidak dapat
terpenuhi, biar pun orang itu telah berusaha keras.
Woodworth dalam bukunya psychology mengemukakan bahwa
rintangan-rintangan yang dapat menimbulkan frustasi itu dapat dibagi menjadi
4 golongan:
a. Rintangan-rintangan yang bukan manusia
Contoh: seorang kusir (sais) ingin cepat-cepat mengemudikan delmannya
menuju ke stasiun kereta api untuk mengambil penumpang turun dari kereta
api cepat yang sebentar lagi datang. Tiba-tiba ditengah-tengah jalan kudanya
mogok tidak mau laju karena kelelahan dan lapar. Lama sang sais berusaha
mencambuki kudanya dengan maksud supaya lekas lari, tetapi sia-sia belaka.
Sambil bersungut-sungut dan marah dipukulinya kudanya sekuat-kuatnya,
tetapi hasilnya tidak ada. Sementara itu kereta api cepat telah tiba di stasiun.
b. Rintangan-rintangan yang disebabkan orang lain
Frustasi yang disebabkan oleh seseorang pada umumnya lebih mengganggu
atau lebih terasa daripada yang disebabkan oleh sesuatu yang bukan manusia.
Mungkin karena seseorang itu lebih dapat mengeluarkan pendapatnya, dan
lebih dapat merasakan daripada benda tidak berjiwa.
c. Pertentangan antara motif-motif positif yang terdapat dalam diri orang
itu.
Contoh: seorang gadis mempunyai keinginan untuk pergi ke suatu pesta
dansa. Tetapi pada malam itu juga ia berhasrat menyenangkan ibunya yang
sangat dicintainya, yang sebenarnya tidak menyukai kepergiannya ke pesta
itu. Jika kedua motif itu sama kuat dan seimbang.
d. Pertentangan antara motif positif dan motif negatif yang terdapat dalam
diri orang itu
Motif-motif negatif yang biasanya menimbulkan pertentangan dalam diri
seseorang untuk mencapai satu tujuan (motif positif) antara lain ialah:
kemalasan, takut akan hukuman, merasa bersalah atau berdosa.
Contoh seseorang menginginkan agar halaman sekitar rumahnya menjadi
bersih dan teratur, sehingga tamu-tamu yang datang kerumahnya akan merasa
senang dan memujinya. Seluruh keluarganya pun akan gembira karena
anaknya dapat bermain-main dengan bebas, terhindar dari kecelakaan-
kecelakaan dan penyakit. Tetapi karena kemalasannya itu, halaman yang
2 Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), Hal. 113.
kotor dan rumput yang sudah hampir menjalar ke rumah itu tetap
dibiarkannya.

E. Reaksi-reaksi yang mungkin timbul karena adanya Frustasi


Frustasi itu dapat menimbulkan reaksi yang bermacam-macam,
berlainan pada setiap orang. Hal ini bergantung kepada tabiat dan
temperamen masing-masing dan bergantung pula kepada keadaan tiap orang
yang memang tidak sama.
Reaksi-reaksi yang menimbulkan frustasi yaitu :
a. Agresi
Sering kali frustasi itu menimbulkan agresi, yaitu reaksi menentang
atau suatu serangan yang bersifat langsung dan tidak langsung. Reaksi agresi
banyak kita jumpai pada kehidupan kanak-kanak, karena kanak-kanak itu
umumnya masih sangat dipengaruhi oleh perasaannya yang subyektif.
Orang-orang mengalami frustasi apabila maksud-maksud dan
keinginan-keinginan yang diperjuangkan dengan intensif mengalami
hambatan atau kegagalan. Sebagai akibat dari frustasi itu mungkin timbul
perasaan-perasaan jengkel atau perasaan-perasaan agresif.
Perasaan-perasaan agresif ini kadang-kadang dapat disalurkan kepada
usaha yang positif, tetapi kerap kali perasaan tersebut meluap-luap dan
mencari outlet-nya, jalan keluarnya, sampai dipuaskannya dengan tindakan-
tindakan yang agresi. Apabila seseorang secara pribadi mengalami frustasi
yang ingin dipuaskannya secara agresif ia mungkin menendang kursinya atau
memperlihatkan kejengkelannya dengan cara lain. Tetapi apabila segolongan
orang mengalami frustasi tertentu yang menimbulkan agresi, maka dengan
mudah sekali perasaan-perasaan agresif tersebut dihadapkan kepada
segolongan lain yang di persangkainya.3
b. Mengundurkan diri
Agresi ada juga pada reaksi berikut:
Ketika pulang dari sekolah, Aminah melihat sepiring kue yang terletak diatas
meja. Waktu itu pula ia melihat adiknya si Tuti yang berumur 2 tahun sedang
merengek-rengek memukuli ibunya, karena meminta kue itu, tetapi ibunya
tidak memberi. Ibu akan membagi kue itu sesudah anak-anak semua sudah
selesai makan siang. Sebenarnya si Aminah ingin sekali memakan kue itu,
dan ingin lekas-lekas mengecapnya. Tetapi ia tidak berani memintanya.
Dengan hati yang kecewa karena keinginannya belum terkabulkan, ia keluar
bermain-main di belakang rumahnya. Reaksi yang timbul pada si Aminah
3 Gerungan, Psikologi Sosial, (Bandung: PT Eresco, 1991), hal. 176.
disebut reaksi mengundurkan diri. Ia tidak berani memaksa keinginannya itu
kepada ibunya, ia tidak berdaya mencapai keinginannya itu. Reaksi
mengundurkan diri ini tidak hanya terdapat pada anak-anak, tetapi juga pada
orang dewasa.
c. Regresi
Kadang-kadang frustasi itu dapat menimbulkan reaksi sebagai berikut:
Si Ardi duduk dikelas VI SD. Pada suatu hari ia meminta uang kepada ibunya
untuk membeli layang-layang, tetapi tidak diberi. Mula-mula si Ardi
merengek-rengek terus kepada ibunya, tetapi tetap tidak diberi uang. Lama
kelamaan makin keras tangisnya dan ia berguling-guling menangis didepan
ibunya, dengan maksud supaya ibunya merasa kasihan dan segera
memberinya uang. Perbuatan si Ardi sudah tidak pantas lagi bagi anak yang
berumur 10 tahun. Perbuatan demikian adalah perbuatan anak yang berumur 3
tahun. Jadi kelakuan si Ardi itu sebenarnya menunjukkan suatu kemunduran,
ditinjau dari perkembangan jiwanya menurut umurnya. Reaksi itu dinamakan
dengan regresi atau kemunduran.
d. Fiksasi (fixsation)
Dalam usahanya menghadapi kegagalan-kegagalan seseorang kadang-
kadang tergelincir kedalam ulangan tingkah laku yang begitu-begitu juga
(tetap) sehingga tidak sampai kepada pemecahan masalah yang dihadapinya.
Reaksi demikian terlihat pada eksperimen-eksperimen yang dilakukan
terhadap binatang-binatang, dan terlihat pada tindakan-tindakan terpaksa pada
orang-orang yang malajusted (bertindak salah) seperti, orang yang
mempunyai cacat atau kebiasaan tertentu disuruh mengubahnya tetapi tidak
dapat.
Reaksi-reaksi terhadap frustasi yang bersifat primitive seperti diatas
tidak dipelajari melalui pengalaman-pengalaman, melainkan merupakan
reaksi individu yang bersifat alami (natural reaction) terhadap pernyataan
frustasinya. Tentu saja belajar dapat mengubah tingkah laku frustasi tersebut
jika diikuti oleh beberapa penguatan atau bantuan, terutama kemauan.
e. Represi
Ada frustasi yang dapat menimbulkan reaksi mengundurkan diri.
Tetapi tidak semua frustasi dapat dihilangkan dengan cara demikian. Ada
kalanya frustasi itu berlangsung lama dan berkali-kali timbul.
Jika reaksi “mengundurkan diri” itu terus-menerus dilakukan setiap kali
timbul frustasi, mungkin ia akan dapat melupakan sehingga ia melupakannya.
Menurut pendapat ahli psikoanalisis, keinginan-keinginan atau dorongan yang
telah menimbulkan frustasi itu telah didesak masuk ke dalam ketidak sadaran.
Reaksi demikian disebut represi, yang berarti juga pendesakan. Tetapi
sesungguhnya frustasi itu belum dapat hilang seluruhnya, karena keinginan-
keinginan yang telah didesakkan itu tetap hidup didalam kesadarannya.
f. Gangguan psikosomatis
Telah dikatakan bahwa reaksi represif itu belum tentu dapat
menghilangkan frustasi. Keinginan-keinginan dan pengalaman-pengalaman
yang telah terdesak kedalam ketidaksadaran itu masih tetap hidup dan
sewaktu-waktu dapat keluar berupa mimpi-mimpi atau berubah menjadi suatu
penyakit. Yaitu penyakit jasmani yang disebabkan karena gangguan jiwa,
psikomatis; seperti pingsang, penyakit histeri dan sebagainya.
Sebagai contoh pengalaman penulis sendiri. “Pada suatu hari di suatu sekolah
lanjutan kelas tertinggi ada seorang anak perempuan yang pingsang
mendadak. Seorang guru pendidikan jasmani dan seorang ilmu hayat yang
sedikit banyaknya sudah mengetahui soal penyakit tersebut, datang
menolongnya. Berbagai akal dan usaha dilakukan untuk menyembuhkan dan
menyadarkan anak tersebut, tetapi usahanya itu sia-sia belaka. Anak
perempuan itu tetap dalam keadaan tidak sadar, dan sekali-kali keluar kata-
kata dari mulutnya yang tidak begitu jelas apa arti dan maksudnya.
Anak perempuan tersebut adalah anak kelas tinggi yang sebentar lagi
akan menempuh ujian penghabisan. Dirumahnya ia selalu menderita tekanan
jiwa yang disebabkan perlakuan orang tuanya. Banyak kata-kata dan kemauan
orang tuanya yang bertentangan dengan keinginannya dipaksakan kepada
anak itu. Perasaan tidak puas (frustasi) ini telah lama dipendam didalam
hatinya. Tambahan pula diwaktu ia sedang berusaha belajar keras untuk
menghadapi ujian penghabisan. Singkatnya, penyakit yang diderita anak
perempuan itu sebenarnya adalah reaksi yang tidak disadari terhadap frustasi
yang telah lama dialaminya.
g. Rasionalisis
Seseorang telah gagal dalam mencapai maksudnya. Karena
kegagalannya itu timbullah dalam pikirannya (rasionya) suatu pertanyaan,
mengapa ia sampai gagal. Biasanya dengan hal yang demikian orang lebih
suka mencari sebab-sebab kegagalannya dengan meletakkan kesalahan
kepada orang lain atau pada suatu yang dianggap ada hubungannya, daripada
mencari kesalahan dalam dirinya. Umpamanya, seseorang gagal dalam
mengerjakan suatu tugas, kemudian ia berkata bahwa pekerjaan itu terlalu
berat atau terlalu sulit. Mungkin juga ia mengatakan bahwa orang lain curang,
tidak dapat bekerja sama dan lain-lain.
Kata-kata yang dilemparkannya kepada orang lain untuk menutupi
kegagalan itu dapat juga menjalar menjadi perdebatan atau permusuhan,
sehingga menyebabkan orang lain marah atau hilaf. Juga biasanya seseorang
yang mengalami kegagalan itu berusaha menyelamatkan dirinya dan
mempertahankannya dengan menggunakan keterangan-keterangan yang
memuaskan bagi dirinya, yang mungkin juga memang benar, seperti dengan
mengatakan, Pekerjaan itu memang baik tetapi hal itu tidak termasuk tugas
saya dan tidak ada kepentingan bagi diri saya. Jadi biarpun gagal (tidak
dapat), saya tidak merasa kecewa dan saya masih dapat bergembira, atau ah,
tentang kelupaan saudara mengundang kami ketika saudara berhajat
menyunati anak saudara, itu tidak jadi apa. Setelah kami mendengar bahwa
hajatan saudara itu berlangsung dengan lancar dan selamat, itu sudah
menyenangkan hati kami.
h. Proyeksi (projection)
Proyeksi adalah kebalikan dari identifikasi, yakni bukan kita menjadi
dia, tetapi dia menjadi kita. Proses ini sering tidak disadari. Dalam arti bahwa
orang yang bersangkutan mengutuk kesalahan-kesalahan pada diri orang lain
yang sebenarnya merupakan kelemahan-kelemahan sendiri, seperti: saya tidak
salah dan saya tidak benci, saya tidak marah pada orang-orang itu, melainkan
merekalah yang membenci saya.
i. Sublimasi
Didalam reaksi ini terdapat suatu usaha untuk melepaskan diri dari
kegagalan dan ketidakpuasan dengan jalan mencari kemungkinan yang lebih
baik dalam mencapai tujuan. Bahkan kalau perlu dengan jalan mengubah
tujuan yang sama sekali berbeda dengan tujuan menimbulkan frustasi.
Sebagai contoh, seorang pemuda jatuh cinta kepada seorang gadis, tetapi tidak
tercapai keinginannya karena tidak disetujui oleh gadis harapannya, dapat
mengalihkan tujuannya dengan cara menulis karangan-karangan atau syair
pemujaan mengenai si gadis, dan lain-lain, sehingga mungkin menjadi
seorang seniman yang ternama.
Seorang gadis yang patah hati dan putus asa karena percintaan yang
gagal yang pernah dialaminya, mungkin dapat menghilangkan ketegangan
jiwa dan keputus-asannya dengan jalan memasuki jabatan sebagai perawat di
rumah sakit atau sebagai pengaruh anak-anak yatim piatu.
Para ahli psikoanalisis yang mula-mula (Freud dan kawan-kawannya)
berpendapat bahwa ilmu pengetahuan dan seni memang merupakan sublimasi
(penyaluran jiwa) dari suatu frustasi yang disebabkan Karena dorongan nafsu
seksual.
j. Kompensasi
Reaksi atas frustasi dapat juga berupa suatu perbuatan yang disebut
kompensasi. Kompensasi hampir bersamaan dengan sublimasi, yakni
penyaluran jiwa dengan jalan mengalihkan usaha ke arah tujuan atau
perbuatan lain, guna mencapai kepuasan. Tetapi terutama kompensasi itu
dilakukan oleh seseorang yang menderita perasaan kurang harga diri yang
disebabkan oleh cacat tubuh, kebodohan, kemiskinan, ketidak sanggupan
mencapai sesuatu.
k. Berkhayal atau melamun (Fantasy or day dreaming)
Karena mengalami kegagalan dalam usahanya, seseorang dapat
mencari kepuasannya dalam fantasi atau berkhayal sesuai dengan yang dicita-
citakannya. Dengan berkhayal itu seolah-olah ia telah mencapai apa yang
diharapkannya. Hal dapat pula dilakukan dengan menonton bioskob atau
dengan menbaca cerita-cerita, kemudian ia mengidentifikasikan dirinya
dengan pelaku-pelaku dalam bioskob atau cita-cita yang dia inginkan.4
F. Pendidikan dan Frustasi
a. Masyarakat dan Frustasi
Manusia menurut pembawaannya adalah makhluk sosial. Dalam
kehidupan sehari-hari, manusia saling pengaruh-mempengaruhi, tolong-
menolong, dan bantu-membantu. Tiap-tiap manusia mempunyai peranan
masing-masing dalam masyarakat. Tiap-tiap orang sebagai anggota suatu
masyarakat harus mengetahui dan dapat menjalankan kewajibannya sesuai
dengan apa yang dikehendaki oleh masyarakat itu. Suatu masyarakat akan
berjalan dan berkembang biak jika tiap-tiap anggotanya dapat menyesuaikan
diri dengan masyarakat.
Penyesuaian diri itu bukan hal yang mudah. Di dalam masyarakat
terdapat golongan-golongan yang tertentu yang berlainan jiwa, tugas dan
kewajibannya. Ini adalah masalah sosiologis.
Yang perlu kita lakukan sekarang adalah bagaimana usaha kita mendidik
anak-anak agar bisa menyesuaikan diri dalam masyarakat. Tujuan pendidik
yang terpenting adalah memimpin perkembangan anak menjadi manusia yang
dapat hidup dalam masyarakat, mengetahui dan dapat menjalankan
kewajibannya sebagai anggota masyarakat. Hal ini berarti bahwa anak-anak
harus kita didik supaya mematuhi dan menjalankan peraturan-paraturan dan
dapat menempatkan dirinya sesuai dengan peranan masing-masing dalam
masyarakat.
Menyesuaikan diri berarti menjumpai dan mengalami bermacam-
macam situasi yang penuh ketegangan-ketegangan atau frustasi. Setiap orang
ingin hidup bebas, hidup yang sesuai dengan keinginan dan kemauan masing-
masing. Peraturan-peraturan dan adat istiadat serta kehidupan masyarakat
seringkali bertentangan dengan kehendak setiap orang. Biarpun demikian
tidak seorang pun yang ingin hidup sendirian, hidup diluar masyarakat.
4 Ibid., hal. 113-118.
b. Sekolah dan Frustasi
Sejak anak itu dilahirkan dalam lingkungan keluarga, banyak sekali
hal-hal dan peraturan-peraturan yang tidak menyenangkan baginya, yang
bertentangan dengan kemauan dan keinginannya, tetapi harus diterima dan
dipatuhinya. Anak harus berkembang menjadi anggota masyarakat. Karena
itu, sejak kecil anak harus dibiasakan “menyesuaikan diri” dalam masyarakat.
Menyesuaikan diri itu ternyata bukan soal mudah, sebab menyesuaikan diri
berarti berani mengahadapi bermacam-macam situasi yang penuh dengan
frustasi dan ketegangan-ketegangan.
Sekolah berkewajiban membantu anak dalam hal “menyesuaikan diri” dalam
kehidupan masyarakat. Dalam hal ini sekolah merupakan jembatan antara
lingkungan keluarga dan masyarakat.
Dalam menjalankan tugasnya, sekolah hendaklah mengingat dan
berpedoman kepada kehidupan anak sebelum masuk sekolah, dan mengingat
pula tuntutan-tuntutan masyarakat yang harus di jalankan anak disekolah.
BAB 3
PENUTUP

A. Kesimpulan
“Aku” atau “The self” adalah Setiap manusia memiliki perasaan tentang dirinya,
seperti seseorang merasa pintar dari orang lain, lebih tahu, merasa cantik,
merasa kaya, dan lain sebagainya, walaupun sebenarnya masih ada orang yang
lebih pintar, lebih cantik, dan lebih kaya dari dirinya. Perasaan tersebut
memang terdapat pada setiap orang, itulah yang disebut dengan, sedangkan
Frustasi sebenarnya adalah keadaan batin seseorang, ketidak seimbangan dalam
jiwa, suatu perasaan tidak puas karena hasrat tidak terpenuhi.
(frustration=kekecewaan).
Gejala-gejala yang menimbulkan frustasi seperti: Agresi, Mengundurkan diri,
gegresi, fiksasi, proyeksi, kompensasi, sublimasi, rasionalis, melamun
(berkhayal).
DAFTAR PUSTAKA

M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007.


Rita Atkinson, Pengantar Psikologi, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2000.
Suparti Slamet, Pengantar Psikologi Klinis, Jakarta: Penerbit UIP, 2003.
Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2006.

Anda mungkin juga menyukai