Anda di halaman 1dari 10

Topik 3: Eksplorasi Konsep LK Kelompok

NW Sebagai Gerakan Dakwah, Pendidikan, dan Sosial, serta Semboyan


Perjuangan TGKH. M. Zainuddin Abdul Majid

1. NW: Gerakan Dakwah, Pendidikan, dan Sosial


a. Gerakan Dakwah
NW sebagai organsiasi dakwah telah mengakar di kalangan masyarakat karena
banyaknya majelis Ta’lim yang dikelola dan terus tumbuh dan berkembang hingga ke
luar Nusa Tenggara Barat, seperti Bali, Sulawesi, Jawa, Kalimantan, Riau dan lain lain.
Diketahui, bahwa kegiatan NW dalam bidang dakwah selain majelis dakwah dan majelis
taklim, juga dilakukan dalam bentuk peringatan hari-hari besar Nasional, Islam, NW,
Lailataul ijtima', hiziban, wiridan, pembacaan barzanji, tahfizul Qur'an, syafa'ah,
kesenian yang bernafaskan Islam, penerbitan, dan lain-lain.
Kegiatan dakwah lain dilakukan melalui rekaman, kemudian kasetnya di jual ke
seluruh lapisan masyarakat. Kaset tersebut berisi ceramah agama, lagu qasidah dan
lagu-lagu perjuangan NW yang diciptakan oleh TGKH. M. Zainuddin Abdul Majid
sehingga ia dikenal memiliki pola atau metode tersendiri dalam melakukan dakwah
Islamiyah. Setelah kembali dari tanah suci Makkah, dalam dakwahnya mengalami
tantangan dahsyat dari masyarakat hanya, karena berusaha membuka pendidikan
dengan sistem klasikal (sistem madrasi) di samping tetap memertahankan sistem
halaqah atau sorogan. Kebiasaannya menjadi imam dan khatib terpaksa ditinggalkan,
karena harus memilih tetap menjalankan pendidikan sistem klasikal, yang menurut
masyarakat Pancor saat itu disebut sebagai bagian dari ajaran Wahabiyah dan
Mu'tazilah. Namun dalam perjalanannya, meski klasikal tetap berjalan, sistem sorogan
juga diterapkan pada jenis pendidikan tertentu seperti model yang dikembangkan di
MDQH.
Selain dakwah melalui pendidikan formal, TGKH. M. Zainuddin Abdul Majid (saat
itu dikenal dengan Tuan Guru Bajang) melakukan dakwah dalam bentuk pengajian
umum. Pengelolaannya, pengajian umum dikenal ada dua, yakni Majelis Dakwah
Hamzanwadi dan Majelis Ta'lim Hamzanwadi, yang pertama dipimpin langsung oleh
TGKH. M. Zainuddin Abdul Majid, dan yang kedua dipimpin oleh murid-muridnya.
Secara substansi, ia mulai memperkenalkan dua model pengajian, yakni pengajian
umum tanpa kitab dan pengajian umummenggunakan kitab, dan tentu saja model
Majelis Ta'lim Hamzanwadi ini sangat bermanfaat dalam rangka regenerasi pasca
TGKH. M. Zainuddin Abdul Majid.
TGKH. M. Zainuddin Abdul Majid sebagai seorang pemikir telah menerapkan
strategi dalam mengefektifkan misi dakwahnya pada masyarakat terutama penganut
Waktu Telu. Langkah awal yang dilakukan dengan memanfaatkan kader-kader NW
yang telah memperoleh pendidikan di madrasah-madrasah NW. Langkah- langkah yang
dilakukan TGKH. M. Zainuddin Abdul Majid, yakni: (1) mengirim murid muridnya
melakukan dakwah; (2) menarik perhatian orang-orang Wetu Telu agar bersedia
menyekolahkan putra-putrinya di pondok pesantrennya; (3) berusaha membangun
madrasah, setelah dinilai memiliki cukup kader; dan (4) secara langsung turun untuk
memberikan pengajian-pengajian umum kepada masyarakat.
b. Gerakan Pendidikan
Pembangunan di berbagai bidang yang digalakkan bangsa Indonesia, terutama
bidang pendidikan akan berhasil dengan baik jika pemerintah mengikutsertakan seluruh
potensi yang ada dalam masyarakat, utamanya organisasi dan badan-badan swasta
terkait langsung dalam masalah pendidikan dan pengembangan masyarakat. NW telah
memberikan andil pada agama, nusa dan bangsa dalam mengembangkan pendidikan.
NW berusaha mengembangkan diri dalam mengelola pendidikan. Pertumbuhan dan
perkembangan pondok pesantren, madrasah, dan sekolah di lingkungan NW terus
mengalami peningkatan, baik jumlah, jenis sekolah dan madrasah, jenjang
pendidikannya maupun kurikulum yang digunakan terutama yang berada di komplek
NWDI dan NBDI.
Pemikiran TGKH. M. Zainuddin Abdul Majid dalam persoalan pendidikan sangat
maju, terlebih dikaitkan dengan situasi saat pemikiran itu dimunculkan. Banyak sekali
rintangan dan cobaan yang ia dapatkan saat mulai menyampaikan pemikirannya. Di
antara pemikirannya berkaitan dengan pendidikan di Nusa Tenggara Barat, yaitu: (a)
menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran Agama Islam di NTB dengan sistem
madrasi di samping memertahankan sistem sorogan; (b) membuka lembaga pendidikan
khusus bagi perempuan; (c) membuka sekolah umum di samping madrasah di Nusa
Tenggara Barat; (d) melakukan integrasi ilmu agama dan ilmu umum; (e) menetapkan
pentingnya memilih kriteria pendidik, dan (f) menjalankan pendidikan multikulturalisme
di NTB.
1) Sistem Madrasah
Metode pendidikan yang dipraktekkan masa awal Islam datang di Indonesia,
yakni sistem sorogan dan wetonan. Kata sorogan berasal dari kata sorog (Jawa)
berarti menyodorkan. Metode sorogan tersebut berupa: santri menghadap guru
seorang demi seorang dengan membawa kitab yang akan dipelajarinya.
Sedangkan metode weton adalah metode kuliah/ceramah (lectering), santri
mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kyai yang menerangkan pelajaran
secara kuliah. Metode ini dikenal juga dengan istilah halaqah. TGKH. M.
Zainuddin Abdul Majid menganggap kedua metode pendidikan tersebut perlu
dilengkapi dengan mengembangkan model madrasi. Selanjutnya, dalam sistem
klasikal, NWDI dibagi tiga tingkat, yaitu tingkat Ilzamiyah, Tahdliriyah, dan
Ibtidaiyah. Tingkat Ilzamiyah adalah tahap persiapan dengan lama belajar satu
tahun. Murid di tingkat ini terdiri dari anak-anak yang belum mengenal huruf Arab
dan huruf latin. Tingkat Tahdliriyah adalah lanjutan dari Tingkat Ilzamiyah. Lama
belajarnya tiga tahun. Untuk tingkat ini diterima pula lulusan SD (Volgschool).
Tingkat akhir adalah Ibtidaiyah. Lama belajar empat tahun. Murid untuk Tingkat
Ibtidaiyah selain lulusan Tahdliriyah, juga diterima tamatan SD telah memperoleh
pelajaran agama dan Bahasa Arab. Mata pelajaran hampir semuanya agama,
kecuali menulis huruf latin yang diberikan pada Tingkat Ilzamiyah dan
Tahdliriyah.
2) Pendidikan Kesetaraan
Membuka lembaga pendidikan khusus bagi perempuan juga mengalami
hambatan yang tidak kalah serunya dibanding reaksi ketika membuka Madrasah
al-Mujahidin dan Madrasah NWDI. Isu yang dihembuskan para penentangnya
sangat berbau diskriminatif terhadap perempuan. Banyak orang saat itu menilai
tidak wajar menyekolahkan anak perempuan karena mendidik anak perempuan
berarti mendidik wanita karier. Ia akan berani tampil di depan khalayak dan akan
bertingkah laku kurang sopan, walaupun reaksi masyarakat itu ada, NBDI
sebagai madrasah khusus perempuan tetap
3) Sekolah Umum
Upaya membuka sekolah umum di samping sekolah agama bagi TGKH. M.
Zainuddin Abdul Majid merupakan keharusan, hal ini merupakan salah satu
strategi dakwahnya dengan mengkader santrinya memiliki kemampuan yang
mumpuni di ilmu umum. Masnun (2007) menjelaskan bahwa berdasarkan
penuturan beberapa pelaku sejarah NW, seperti TGH. Fihiruddin, TGH. Marjan
Umar, Lalu Jelenge, H. Nuruddin, saat TGKH. M. Zainuddin Abdul Majid
mendirikan Madrasah NWDI dan NBDI, di NTB belum ada satu pun institusi Islam
mengajarkan mata pelajaran umum seperti ilmu falak dan lain sebagainya.
Semuanya masih tradisional. Lembaga pendidikan Islam yang ada hanya santren
(Sasak), surau (Sumatera Barat), mushallah (Jawa), dan rangkang (Aceh).
Pemikiran untuk mengembangkan kemampuan bidang ilmu umum sebenarnya
bagian dari perlunya integrasi ilmu agama dengan ilmu umum. Pemikiran ini
kemudian oleh TGKH. M. Zainuddin Abdul Majid dijadikan sebagai kebijakan
dalam lembaga pendidikan yang dikelolanya, hal ini juga termasuk satu di antara
modernisasi pendidikan yang digalakkannya.
Selain itu, NW tidak cukup hanya dengan eksperimen madrasahnya, TGKH.
M. Zainuddin Abdul Majid terus mencoba mendirikan lembaga lembaga
pendidikan umum yang berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional
(Depdiknas). Kemampuan ilmu umum di madrasah/sekolah NW tidak harus
ditempuh di sekolah umum karena di madrasah pun diajarkan pula ilmu umum
sejak dulu meskipun dalam persentasi yang masih minim. Hal ini dapat dilihat
dari perkembangan kurikulum, sejak perubahan di tingkat tahdliriyyah NWDI
terus berlangsung, sehingga terbentuk komposisi sebagai berikut: (1) Madrasah
dan PGA mengikuti kurikulum Departemen Agama (Depag); (2) Sekolah umum
mengikuti kurikulum yang ditetapkan Dartemen Pendidikan dan Kebudayaan
(Depdikbud); (3) Madrasah Muallimin dan Muallimat menggunakan kurikulum
agama 55 % dan umum 45 %; (4) Perguruan projek khusus NW memakai
kurikulum agama 90 % dan umum 10 %, dan (5) perguruan tinggi mengacu pada
kurikulum yang ditetapkan pleh Direktorat Pendidikan Tinggi Depdikbud dan
kurikulum yang ditetapkan oleh Direktorat Kelembagaan Agama Islam (Bagais)
Depag.
4) Integrasi Ilmu Agama dan Umum
Integrasi ilmu agama dan umum (sains) merupakan kelanjutan dari misi TGKH.
M. Zainuddin Abdul Majid dalam mengembangkan sekolah umum, bahkan di
sekolah agama pun, NW mengikuti kurikulum pemerintah dengan memberi
muatan pelajaran umum di samping pelajaran agama. Fathurrahman Mukhtar
telah melakukan kajian terhadap Kitab Tuhfatul Ampenaniyah Syarah
Nahdlatuzzainiyyah karya TGKH. M. Zainuddin Abdul Majid berisi pemikirannya
tentang integrasi ilmu pengetahuan, ia mengatakan: Tuntutlah wahai orang-yang
senang menggerakkan keadilan yang berfaedah dari ilmu ini (ilmu faraidl) dan
ilmu lainnya dari beragam ilmu yang bermanfaat. Jangan engkau pisahkan ilmu
engkau anggap baru dan jangan engkau permasalahkan ilmu yang tidak engkau
ketahui dan jangan engkau anggap sempurna dirimu dengan imu yang satu. Ilmu
itu tidak mengenyangkan dan mengkayakan dari kehausan, dan ilmu itu
seluruhnya bagaikan bangunan.
5) Kriteria Pendidik
Pemikiran TGKH. M. Zainuddin Abdul Majid tentang kriteria pendidik banyak
dipengaruhi ajaran Kitab Ta'lim al-Muta'allim. Kitab ini mengajarkan agar
mempelajari akhlak terlebih dahulu baru mengajarkan ilmu-ilmu lain. Secara
detail ada lima pokok materi yang dibahas dalam kitab ini, yakni faktor tujuan
pendidikan, anak didik, pendidik, alat pendidikan, dan lingkungan. Munculnya
kata pendidik, tidak lepas dari kata pendidikan. Umumnya kata pendidikan
dibedakan dari kata pengajaran, sehingga muncul kata pendidik dan pengajar.
Konteks pengutamaan akhlak, TGKH. M. Zainuddin Abdul Majid menceritakan
bahwa Ibu Imam Malik sewaktu menyerahkan Imam Malik berpesan kepada
gurunya agar: pertama, ajarkanlah anakku akhlak terlebih dahulu agar bisa
membawa diri dan bisa memegang ilmunya setelah alim. Kedua, hendaklah anak
saya ini selalu memakai sorban. Selanjutnya, TGKH. M. Zainuddin Abdul Majid
mengatakan bahwa guru adalah orang yang membuat jalan ke surga. Oleh
karena itu, seorang murid yang baik adalah jika telah mengamalkan ilmunya
sehingga gurunya merasa bangga dengannya.
6) Pendidikan Multikultural
Diakui dalam perjalanan karier TGKH. M. Zainuddin Abdul Majid dalam
merintis dan menjalankan pendidikan di Pondok Pesantren NWDI, para santri
yang menimba ilmu berasal dari berbagai elemen masyarakat. Ada yang berasal
dari pulau Lombok, Sumbawa, Bali, Jawa, dan lain-lain. Mereka berasal dari
beragam latar belakang suku, golongan, status sosial. Artinya, pendidikan yang
dikembangkan TGKH. M. Zainuddin Abdul Majid bervisi multikuturalisme. Masa
awal, santri yang paling banyak berasal dari Lombok Tengah, baru Lombok
Timur, dan terakhir Lombok Barat. Generasi berikutnya, santri Madrasah NW
banyak juga berasal dari luar Lombok, seperti Bali, Sumbawa, Bima, NTT,
Kalimantan, bahkan Jakarta. Ini menunjukkan bahwa terdapat latar belakang
suku, golongan, dan status sosial yang sangat beragam melanjutkan studinya di
madrasah maupun perguruan NW.
Diakui Masdar Hilmi bahwa harus jujur diakui, multikulturalisme kebangsaan
Indonesia belum sepenuhnya dipahami oleh segenap masyarakat sebagai
sesuatu yang given, takdir Tuhan, dan bukan faktor bentukan manusia. Setiap
manusia terlahir berbeda baik secara fisik maupun nonfisik, hal itu sepenuhnya
telah dipahami oleh masyarakat, tetapi nalar kolektif masyarakat belum bisa
menerima realitas bahwa setiap individu dan/atau kelompok individu tertentu
memiliki sistem keyakinan, budaya, adat, agama, dan tata cara ritual yang
berbeda. Nalar kolektif tentang multikulturalisme kebangsaan masih terkooptasi
oleh logosentrisme tafsir hegemonik yang syarat angka prasangka, kecurigaan,
bias, kebenciaan, dan reduksi terhadap kelompok yang berada di luar dirinya.
c. Gerakan Sosial
NW sebagai organisasi sosial kemasyarakatan, menempatkan dirinya sebagai
salah satu komponen pembangunan yang secara nyata telah berbuat banyak bagi
peningkatan kesejahteraan lahir batin masyarakat. NW di bawah pimpinan TGKH.
M. Zainuddin Abdul Majid tidak hanya berperan dalam bidang pendidikan, dan
dakwah, tetapi juga dalam sosial. Sebagai organisasi keagamaan, NW berfungsi
sebagai motivator dan dinamisator yang mengatur pola hubungan Antar warga di
tengah komunitas tertentu di dalam pengembangan nilai keislaman dalam
kehidupan, yaitu amal jariyah, gotong royong, keikhlasan berjuang, pemberian
santunan kepada fakir miskin, yaitu yatim piatu, anak-anak terlantar, orang-orang
jompo, penderita cacat, melaksanakan pembangunan, pemeliharaan tempat ibadah.
Kegiatan nyata dilakukan TGKH. M. Zainuddin Abdul Majid melalui NW dalam
bidang sosial kemasyarakatan, antara lain mendirikan pantai asuhan, program
Kependudukan dan KB. Di dalam mendidirikan pantai asuhan NW bekerja sama
dengan lemabaga-lembaga lain, seperti Yayasan Dharmais Jakarta dan Departemen
Sosial, sedangkan dalam program keluarga berencana (KB) NW bekerja sama
dengan Badan Koordiansi Keluarga Berencana (BKKBN) Provinsi Nusa Tenggara
Barat. Untuk mejalankan kegiatannya dalam program KB ini, NW mendirikan klinik
yang dinamakan Klinik Keluarga Sejahtera (KKS) NW bertujuan memberikan
pelayanan kesehatan pada warga NW dan masyarakat pada umumnya. Melihat
perkembangan yang dicapai KKS-NW cukup berhasil, maka BKKBN Provinsi NTB
melalui BKKBN Pusat meminta bantuan dana pada Donor Agency Pathfinder Fund
Boston USA sejak 1979 hingga 1983. Selama kerja sama tersebut telah diperoleh
hasil berupa penataran guru-guru di lingkungan Madrasah NW, perolehan akseptor
baru yang aktif, kunjungan klinik, penerangan motivasi, latihan tenaga home visitor,
dan supervisor, memasukkan materi kependudukan dan KB dalam bentuk
implementasi di sekolah lingkungan NW diintegrasikan dengan mata pelajaran yang
terkait, penyelenggaraan seminar pembentukan kelompok-kelompok pertemuan
dengan memberikan informasi tentang masalah kependudukan dan KB, makanan
bergizi, keterampilan, kesehatan lingkungan dan pemeliharaan anak. Erat kaitannya
dengan program kependudukan dan KB ini, NW melalui BP3M-NW, telah ditunjuk
oleh pemerintah c.q. Departemen Agama untuk melaksanakan salah satu program
pemerintah dalam bidang kesehatan, yaitu Program Kelangsungan Hidup Anak yang
merupakan kerja sama anatara pemerintah Indonesia dan UNICEF, yaitu badan
kesehatan dunia (PBB) untuk anak-anak.
NW juga ikut aktif dalam pelestarian lingkungan hidup, hal ini ditandai dengan
penandatanganan bekerja sama dengan Menteri Negara Kependudukan dan
Lingkungan Hidup dan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) di Pondok
Pesantren Darunnahdlatain Pancor tanggal 24 Agustus 1992. Kerjasama ini
diwujudkan dalam bentuk program penghijauan, program kali bersih, dan lain-lain. Di
samping itu, NW juga aktif dalam bidang pertanian, transmigrasi, koperasi dan
berbagai kegiatan sosial lainnya. Bidang pertanian dan transmigrasi, NW aktif
memberi penerangan, dan motivasi pada warga untuk menyukseskan program
tersebut, bahkan pengembangan organisasi NW di luar NTB dimotori warga NW, di
samping dai-dai secara terprogram disebarkan ke seantero Nusantara.

2. Semboyan Perjuangan TGKH. M. Zainuddin Abdul Majid


Refleksi atas perjuangan TGKH. M. Zainuddin Abdul Majid, sang cucu TGB. Dr.
H. M. Zainul Majdi, M.A., menegaskan bahwa perjuangan sang kakek tidak bisa
dianggap sekedarnya, tetapi perjuangan yang dilakukan dengan mengeluarkan
banyak tenaga, pikiran, dan pengorbanan. TGB. Dr. H. M. Zainul Majdi, M.A., dalam
Muslim, et al, (2009: 14) menyatakan: Keberhasilan al-Magfurullah dalam perjuangan
ditunjukkan dengan usianya yang panjang dalam berjuang. Perjuangan beliau tidak
bisa dianggap sekedarnya. Telah banyak pengorbanan dalam perjuangan seperti
pengorbanan hati, jiwa, raga, dan berbagai cobaan. Semua itu dilewatinya dengan
ikhlas. Perjalanan al Magfurullah ini banyak mengambil ibrah dari perjalanan
rasulullah seperti tertuang pada surat kemenangan (al-Fath). Kisah ayat itu terdapat
1400 sahabat yang ingin datang ke Makkah dengn niat menunaikan haji.
Setelah sampai di Hudaibiyah, rombongan Nabi distop rombongan Quraisy agar
jangan datang ke Makkah, karena niat sudah kokoh, nabi kemudian tetap maju dan
mengikat para sahabat dengan bai'at ar-ridwan'. Namun, karena ada perjanjian
Hudaibiyah (sulh Hudaibiyah), akhirnya nabi dan para sahabat kembali ke Madinah.
Dua Tahun kemudian nabi kembali datang ke Makkah sebanyak 10 ribu orang yang
dikenal dengan 'fath Makkah'. TGKH. M. Zainuddin Abdul Majid dilihat dari sisi usia
memang tergolong panjang dibanding umat Nabi Muhammad biasanya sekitar 60
tahun. Usianya sampai meninggal 91 tahun menurut hitungan masehi dan 102 tahun
menurut hitungan tahun hijriyah. Lama pengabdiannya 63 tahun dihitung sejak
mendirikan Pondok Pesantren al-Mujahidin tahun 1934 M sampai wafatnya tahun
1997 M.
Di samping semangat yang kuat menjadi spirit TGKH. M. Zainuddin Abdul Majid,
prinsip perjuangannya adalah: (1) Li i’la’i kalimatillah wa ‘izzi al-Islam wa al Muslimin”,
artinya: ”Untuk meninggikan titah Allah swt., dan memuliakan agama Islam dan
umatnya”; (2) Pokoknya NW, Pokok NW Iman dan Taqwa; (3) Inna akromakum ‘indiy
anfaukum li nahdlati al-wathan wa inna syarrokum ‘indiy adlarrukum bi nahdlati al-
wathan”, artinya: ”Semulia-muliamu di hadapanku adalah yang paling banyak
memberikan manfaat bagi NW, dan sejahat-jahatmu adalah yang paling banyak
mendatangkan mudlarat bagi NW”, dan (4) yakin, ikhlas, dan istiqomah (Muslim, et al,
2009).
Prinsip atau semboyan tersebut banyak mengistilahkannya dengan jargon NW,
karena seringnya diucapkan pada setiap pengajian atau pertemuan formal dan
nonformal NW. Jargon pertama merupakan tujuan utama NW, jargon yang kedua
merupakan semboyan NW, sedangkan jargon yang ketiga adalah fatwa seorang guru
(TGKH. M. Zainuddin Abdul Majid) pada para santrinya untuk mengingat betapa
pentingnya melanjutkan perjuangan menegakkan agama Islam di bumi persada ini.
Jargon atau semboyan tersebut dalam penjelasan Muslim, et al., (2009) sebagai
berikut:
a) Semboyan ke-1 ‫لعلكلمةهاللوعزاالءسالموالمسلمين‬
Realisasi misi dakwah NW tersebut pada semboyan, TGKH. M. Zainuddin
Abdul Majid selalu berdakwah dengan memegang prinsip “Filsafat Matahari”, yang
tak pernah mengenal istirahat. Media dakwah TGKH. M. Zainuddin Abdul Majid
dilakukan dengan dua macam, yaitu: (1) dakwah yang langsung dipimpin sendiri
dikenal dengan istilah Majelis Dakwah Hamzanwadi, dan (2) dakwah yang dipimpin
oleh murid-muridnya, yakni para tuan-guru yang yang tersebar di seluruh pelosok
Lombok dikenal Majelis Ta'lim Hamzanwadi. Kegigihannya berdakwah tersebut,
maka Dia terkenal dengan gelar Abu al Madaris wa al-Masajid. TGKH. M.
Zainuddin Abdul Majid dikenal sebagai bapak perintis madrasah dengan sistem
klasikal di Lombok, saat itu masih dianggap suatu yang haram (bid’ah sayyi’ah).
Upaya melanjutkan girah perjuangan TGKH. M. Zainuddin Abdul Majid, ia
berpesan dalam Wasiat Renungan Masa: ”Kalau nanda memang setia; Pasti
Selalu siap sedia; Membantu ayahda membela agama; Di “Bulan Bintang bersinar
lima”.
b) Semboyan ke-2: ”Pokoknya NW, Pokok NW Iman dan Taqwa”
Sadar atau tidak, warga NW sering keliru dalam memahami semboyan ini,
banyak di antara mereka yang lebih mengutamakan kalimat “Pokoknya NW” dari
kalimat “Pokok NW Iman dan Taqwa”. Secara epistemologi kalimat “Pokoknya
NW” sesungguhnya berada di bawah kalimat “Pokoknya NW Iman dan Taqwa”.
Tegasnya, kalau tidak ada iman dan taqwa maka tidak ada artinya membanggakan
organisasi. Keberadaan suatu organisasi keagamaan dalam Islam, tak lebih dari
upaya menjaga iman dan taqwa tersebut. Hal ini pada tataran praktek akan
dikembangkan ke dalam berbagai aspek kehidupan. Sehingga, urgensi kehadiran
organisasi NW dalam rangka menjaga kekuatan iman dan taqwa semua warganya
dan umat Islam pada umumnya. Keutamaan iman dan taqwa ini dilukiskan oleh
TGKH. M. Zainuddin Abdul Majid dalam bait Wasiat Renungan Masa: ”Bila nanda
mencari muka; Janganlah cari di manusia; Tetapi carilah di robbal baroya; Dengan
iman dan taqwa”. Hal ini, tidak disangsikan lagi bahwa ciri kuatnya iman dan taqwa
seseorang sangat ditentukan oleh sikap persaudaraan, sikap saling mema’afkan
dan selalu menjauhkan perbuatan yang tidak bermanfaat (tarkuh ma la ya’nih).
c) Semboyan ke-3 ‫اناكرمكمعندىانفعكملنهضةالوطنوانشركمعندىاضركمبنهضةالوطن‬
Semboyan ketiga, nampaknya nilai manfaat menjadi tolok ukur yang signifikan
dalam menentukan nilai kemulian seorang murid di hadapan gurunya. Sementara
untuk meraih predikat “kemanfaatan” itu harus melewati tiga jenjang secara
hirarkis, yakni ahlul ‘ilmī, ahlul amâl, dan ahlul ibādah. Harus disadari bahwa
sesungguhnya ilmu itu untuk diamalkan (innamal ‘ilmu li al-‘amal) dan ilmu tanpa
diamalkan laksana pohon yang tidak berbuah (al Ilmu bilā amalin kasysyajari bilā
tsamarin). Suatu amalan harus memiliki esensi Ilahiyah (ibadah) dengan
memasang niat untuk bertadlarru’ dan ta’abbud kepada Tuhan. Namun, jangan
lupa bahwa manfaat maksimal hanya akan dapat diperoleh dengan suasana utuh,
kompak, dan bersatu. Hal ini TGKH. M. Zainuddin Abdul Majid pernah berpesan:
(1) Dasar selamat bersatu kalimah; Bersatu derap bersatu langkah; Dasar bahaya
berpecah belah; Terkadang membawa su’ul khotimah; (2) Kalau anakku kompak
selama; Di satu barisan selama-lama; Pastilah NW jayanya lama; karena syaitan
tak dapat nggrama.
d) Semboyan ke-4: “Yakin, Ikhlas, dan Istiqamah”
Semboyan keempat ini merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki oleh
seorang kader dalam mengemban tugas dan misi NW terutama pada aspek
pendidikan, sosial, dan dakwah Islamiyah. Berkaitan dengan semboyan ini, TGKH.
M. Zainuddin Abdul Majid mengatakan ada tiga kunci keselamatan dunia akhirat,
yakni: “Yakin, Ikhlas, dan Istiqamah” sebagaimana makna yang terkandung pada
surat al-Fatihah. Ia juga menjelaskan bahwa iman adalah pokok dari segala pokok,
buah dari segala pokok itu adalah taqwa. Baru bisa terjalin sikap istiqamah apabila
antara tiga unsur lainnya saling koheren (kerja sama), yakni antara yakin, ikhlas,
dan istiqamah itu sendiri. Kesempatan lain, TGKH. M. Zainuddin Abdul Majid juga
menandaskan bahwa kalau benar kamu anggota NW, maka haruslah kamu tanam
iman dan taqwa itu di dalam hatimu. Ikhlas dalam ibadah adalah melakukan ibadah
karena perintah, bukan karena ganjaran syurga dan menjauhi larangan karena
larangan Allah bukan karena takut neraka. Ikhlas adalah sikap yang sama sewaktu
dicela dan di puji (al-istiwa bain az-zammi wa al-madh).
Berkaitan dengan ciri-ciri orang ikhlas, TGKH. M. Zainuddin Abdul Majid
menjelaskan dalam syairnya:
Manusia ikhlas ada tandanya
Tetap berjuang dengan setia
Dimana saja mereka berada
Tidak tergantung menjadi pemuka
Contohnya Khalid dipecat Umar
Di Perang Yarmuk sedang berkobar
Jiwa beliau bertambah besar
Bertambah ikhlas berjuang besar
Prinsip ikhlas ini sangat berkaitan dengan prinsip keridlaan dan kemanfaatan.
Jika kita ridla terhadap apapun yang dipercayakan pada kita, maka akan memberi
manfaat yang positif pada pribadi kita, sehingga sampai di sini, yang menjadi
persoalan adalah bukan kita harus menjadi pemimpin atau menjadi pejabat, tetapi
yang paling adalah menikmati qadla dan qadar Tuhan secara ikhlas dan
mensyukurinya sebagai karunia-Nya.

Kesimpulan

NW didirikan semata-mata dalam rangka dakwah (li i’lâ’i kalimat al-Islâm wa al-
muslimîn). Suatu misi dakwah tidak akan sukses kecuali dengan metode-metode
tertentu (bi al-hikmāh). Tidak ada suatu pola atau metode yang paling baik kecuali
metode yang telah dilakoni oleh aktornya dalam dunia dakwah realitas secara baik
dan efektif. Sebaik-baiknya metode dakwah yang telah teruji tersebut, akan menjadi
romantisme sejarah belaka kalau tidak diwarisi oleh generasi berikutnya.
Di NW, berdasarkan uraian sebelumnya, perjuangan yang dilakukan atau
dilakoni oleh TGKH. M. Zainuddin Abdul Majid melalui gerakan dakwah, pendidikan,
dan sosial, serta semboyan perjuangan sampai akhir hayatnya dilakukan melalui
dakwah lisan, pendidikan formal, pengajian umum (da'wah bil-lisân/bil hâl).
Gerakan pendidikan dilakukan melalui sistem pendidikan dan pengajaran, sekolah
umum, integrasi ilmu agama dan umum, menyelengarakan pendidikan kesetaraan,
pendidikan multikultural, dan menetapkan kriteria pendidik. Sementara itu,
semboyan perjuangan TGKH. M. Zainuddin Abdul Majid dapat dilakukan dengan
menanamkan nilai-nilai perjuangan, seperti yakin, ikhlas, dan istiqomah. Nilai-nilai
tersebut dapat diterjemahkan dalam proses pendidikan dan pembelajaran pada
peserta didik agar memiliki kekuatan dalam berjuangn untuk bangsa dan negara.

Anda mungkin juga menyukai