Template Responsi
Template Responsi
PSIKIATRI
Episode Depresi Berat Dengan Gejala Psikotik Pada Remaja Perempuan Dengan
Mekanisme Pembelaan Ego Imatur
Penyusun:
Lidya Anin
NIM 0607012310008
Pembimbing:
dr. Hesty Novitasari, Sp.KJ
DEPARTEMEN PSIKIATRI
RSUD DR. MOHAMAD SOEWANDHIE
PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS CIPUTRA SURABAYA
2024
i
Lembar Pengesahan
Laporan kasus berjudul “Episode Depresi Berat Dengan Gejala Psikotik Pada Remaja
Perempuan Dengan Mekanisme Pembelaan Ego Imatur” ini telah diperiksa dan disetujui sebagai
salah satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan klinik di Departemen Ilmu
Kedokteran Jiwa Rumah Sakit Umum Daerah dr. Mohammad Soewandhie Surabaya.
Surabaya,
Mengesahkan,
Dokter Pembimbing
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Menurut The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5), depresi
dapat didefinisikan sebagai suatu gangguan mental yang berkaitan dengan mood atau perasaan,
yang dapat diidentifikasi melalui adanya perasaan sedih, mudah tersinggung, dan perasaan
hampa yang berlangsung terus-menerus. Kondisi tersebut dapat muncul dengan atau tanpa gejala
kognitif dan somatik (Maslim, 2019). Waktu terjadinya depresi minimal selama 2 minggu, dan
dapat disertai oleh gejala lainnya minimal 4 yaitu seperti perubahan nafsu makan dan berat
badan, perubahan dalam aktivitas sehari-hari dan pola tidur, penurunan energi, perasaan bersalah,
kesulitan konsentrasi dan berpikir dan kesulitan dalam membuat keputusan, serta munculnya
pikiran untuk mengakhiri hidupnya (Sadock et al, 2015).
Gangguan psikotik merupakan suatu gangguan mental yang ditandai oleh gejala seperti
delusi/waham (keyakinan terhadap suatu hal yang tidak masuk akal), halusinasi melalui panca
indra apapun, pikiran yang tidak teratur dan masuk akal, penggunaan kata-kata baru yang aneh,
serta gerakan tubuh yang abnormal. Dalam panduan diagnostik DSM-5, gangguan psikotik dapat
disebabkan oleh banyak kondisi seperti skizofrenia, gangguan psikotik akut dimana gangguan
terjadi kurang dari 1 bulan, gangguan mood, penggunaan zat tertentu, atau kondisi medis lain
yang mendasari seperti demensia. Gejala psikotik merujuk pada manifestasi disfungsi kognitif
atau perseptual, terutama delusi atau halusinasi, sedangkan gangguan psikotik mengacu pada
kondisi dimana gejala psikotik memenuhi kriteria diagnostik tertentu untuk suatu penyakit
(Lieberman and First, 2018).
Menurut Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa ke-3 (PPDGJ-III),
penegakan diagnosa dari penyalahgunaan zat/obat harus memiliki bukti adanya penggunaan dan
kebutuhan secara terus-menerus. Ketergantungan zat dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan
toksik atau keracunan dalam periode yang kronik dan menahun, yang memiliki efek buruk dan
merugikan pada individu itu sendiri serta masyarakat disekitarnya. Ciri-ciri dari ketergantungan
zat adalah keinginan yang tidak tertahankan untuk meneruskan penggunaan zat dan berusaha
mendapatkannya dengan segala cara, kecenderungan untuk meningkatkan dosis, dan
ketergantungan secara psikologis (emosional) dan kadang ketergantungan fisik (Maramis, 2019).
1
BAB II
RINCIAN KASUS
● Nama : Sdr. HN
● Usia : 17 Tahun
● Alamat : Surabaya
● Agama : Islam
● Pendidikan : SMK
● Bangsa/Suku : Jawa
2.2 Anamnesis
Keluhan Utama : Dada terasa sesak
Autoanamnesis:
Pasien datang ke poli jiwa RSUD Dr. Mohamad Soewandhie dengan keluhan
dada terasa sesak seperti ditekan. Keluhan ini sudah dirasa cukup lama dan mengganggu
pasien. Pasien juga sering menangis saat sedang sholat namun tidak tahu apa yang
menyebabkan pasien menangis. Pasien sering merasa sedih tanpa penyebab yang jelas.
Keluhan menangis tidak terjadi setiap hari namun biasanya timbul saat pasien merasa
stres atau capek. Keluhan ini sudah dirasakan sejak 4 bulan yang lalu. Pasien bercerita, di
sekolah, pasien ditawari oleh temannya pil yang bertuliskan huruf L dan Y yang diminum
pasien sebanyak 3 buah. Pasien mengaku setelah minum pil tersebut, pasien merasakan
badannya jadi lebih ringan dan perasaan sedihnya menghilang. Namun setelah itu pasien
sudah tidak pernah meminum pil tersebut lagi. Selang sebulan, pasien mulai merasa
mendengar suara-suara bisikan di telinga kirinya, namun pasien tidak tahu bisikannya
bicara tentang apa. Selain
2
itu pasien juga merasakan keberadaan orang lain namun saat dilihat tidak ada orang.
Pasien sering merasakan sulit tidur dan baru bisa tidur setelah minum obat tidur. Pasien
bercerita bahwa sebelumnya pasien pernah bertengkar dengan ibunya yang menyebabkan
pasien tidak berbicara dengan ibunya selama 1 minggu, selain itu, pasien pernah
dilecehkan oleh adik laki-lakinya yaitu dengan dipegang saat pasien sedang tidur.
Kejadian tersebut membuat pasien trauma hingga pasien takut dan merasa cemas saat
bertemu dengan laki- laki. Akhirnya karena keluhan pasien semakin berat hingga
membuat pasien tidak mau makan, pasien dibawa ke rumah sakit dan menjalani rawat
inap selama 1 minggu. Setelah keluar dari rumah sakit, pasien sudah tidak mendengar
bisik-bisikan namun masih mendengar suara berdengung. Suara bisikan dan dengungan
hilang apabila pasien menutup telinga. Pasien juga berkata bahwa pikirannya seperti
penuh dan seperti ada hal yang dipikirkan pasien terus menerus namun pasien tidak tahu
sedang memikirkan apa. Pasien rutin minum obat yaitu satu obat di pagi hari dan 2 obat
di malam hari. Pasien merasa tidak ada gangguan dalam proses belajarnya dan nilai
pasien di sekolah juga bagus serta pasien tidak pernah tinggal kelas. Pasien menceritakan
bahwa saat stres, pasien cenderung akan menyimpan masalahnya sendiri atau berusaha
untuk melupakan masalah yang dihadapinya.
Heteroanamnesis (Ibu pasien):
Ibu Pasien bercerita bahwa pasien sudah lama mengalami gangguan ini. Pasien dulu
sering menangis dan terlihat sedih. Namun saat ibu pasien bertanya pada pasien, pasien
tidak menceritakan masalahnya pada ibunya. Ibu pasien kemudian bercerita bahwa ibu
pasien baru mengetahui pasien mengkonsumsi pil-pil tersebut saat pasien harus rawat
inap dikarenakan kondisi pasien semakin memburuk hingga tidak mau makan. Ibu pasien
berkata bahwa saat rawat inap, pasien menangis tersedu-sedu dan menceritakan bahwa
dia pernah mengkonsumsi pil dari temannya dan meminta maaf pada orang tuanya. Ibu
pasien pun melaporkan hal tersebut pada pihak sekolah dan teman-temannya akhirnya di
skors. Ibu pasien berkata bahwa pasien awalnya hanya sering menangis tanpa sebab saja
namun lama kelamaan, pasien mulai menjadi semakin aneh dengan mulai mendengar
suara-suara bisikan di telinganya dan sering merasakan keberadaan orang lain
disekitarnya walaupun pasien sedang sendiri. Bisikan-bisikan ini kemudian
menghilang dan berubah menjadi
3
suara dengungan setelah pasien keluar dari rumah sakit. Menurut ibu pasien, pasien
merupakan anak yang pendiam dan tidak terlalu terbuka dengan orang sekitar.
4
Ayah
Nama : Tn. H
Usia : 43 Tahun
Pekerjaan : Operator
RPD : Masalah jiwa (-)
Kepribadian : Pendiam, suka menyendiri
5
k. Faktor organik:
Pasien mengkonsumsi pil bertuliskan huruf Y dan L
- Abdomen:
● Inspeksi: tampak soepel, tidak terdapat caput medusa, tidak tampak
gerakan peristaltik maupun pulsasi. Umbilicus masuk merata, tidak ada
hernia. Kulit normal, tidak tampak kering, atrofi, dan striae
6
● Auskultasi: Terdengar bising usus normal
● Perkusi: Tympani pada seluruh lapang abdomen
● Palpasi: Tidak ada nyeri tekan. Hepar, lien, dan ginjal tidak teraba
- Ekstremitas:
● Akral Hangat Kering Merah, edema (-)
7
2.7 Ikhtisar Penemuan Bermakna
a. Autoanamnesis
- Pasien datang ke poli jiwa dengan keluhan dada terasa sesak seperti ditekan.
- Pasien sering menangis saat sedang sholat namun tidak tahu apa penyebabnya
sejak 4 bulan yang lalu dan sering merasa sedih tanpa penyebab yang jelas.
- Pasien mengkonsumsi pil yang bertuliskan huruf L dan Y sebanyak 3 buah yang
ditawari oleh teman, setelah minum pil tersebut, pasien merasakan badannya jadi
lebih ringan dan perasaan sedihnya menghilang.
- Pasien mendengar suara-suara bisikan di telinga kirinya dan merasakan
keberadaan orang lain namun saat dilihat tidak ada orang.
- Pasien sering merasakan sulit tidur dan baru bisa tidur setelah minum obat tidur.
- Pasien pernah bertengkar dengan ibunya.
- Pasien pernah dilecehkan oleh adik laki-lakinya saat tidur, sehingga pasien takut
dan merasa cemas saat bertemu dengan laki-laki.
- Pasien di rawat inap selama 1 minggu akibat gangguannya, setelah KRS, suara
bisikan berubah menjadi suara dengungan di telinga dan hilang apabila pasien
menutup telinga.
- Pasien merasa pikirannya penuh dan ada hal yang dipikirkan pasien terus menerus.
- Saat stres, pasien cenderung akan menyimpan masalahnya sendiri atau berusaha
untuk melupakan masalah yang dihadapinya.
b. Heteroanamnesis
- Pasien sering menangis dan terlihat sedih
- Pasien tidak terlalu terbuka dengan ibunya dan merupakan anak yang pendiam
9
Faktor pemicu atau precipitating factor yang didapati pada pasien adalah stresor
kehidupan, dimana peristiwa-peristiwa atau situasi yang menghasilkan stres yang signifikan bagi
pasien bisa menjadi pemicu penggunaan narkoba sebagai cara untuk mengatasi stres. Selanjutnya
adalah adanya peristiwa trauma, dimana pasien mengalami peristiwa yang bersifat traumatik,
seperti pelecehan yang baru didapat oleh pasien sehingga dapat memicu kembalinya atau
peningkatan penggunaan narkoba sebagai mekanisme mengatasi. Terdapat juga konflik
interpersonal dimana adanya konflik atau ketegangan dalam hubungan interpersonal, yaitu
bertengkar dengan ibu pasien bisa menjadi salah satu pemicu dari kondisi pasien. Didapati juga
dari segi Isolasi sosial dimana pasien merasa terisolasi atau tidak memiliki dukungan sosial yang
memadai dapat meningkatkan risiko terjadinya kondisi pasien sekarang. Faktor-faktor pemicu ini
dapat memainkan peran penting dalam mengarahkan pasien menuju kondisi yang dialami pasien
sekarang serta menyebabkan pasien mencoba menggunakan zat untuk mengatasi masalah atau
stres yang pasien hadapi, terutama pasien cenderung tidak mengungkapkan masalah atau mencari
dukungan dari orang lain.
Faktor yang menyebabkan bertahannya kondisi tersebut pada pasien atau perpetuating
factors yang ada pada pasien adalah mekanisme pembelaan ego (MPE) dan distorsi kognitif yang
dimiliki pasien. Pasien memiliki MPE berupa represi dimana pasien mencegah perasaan yang
tidak enak dengan cara menekan dan menyimpan ke alam bawah sadar. Dalam kasus ini, pasien
menghalangi akses kesadaran terhadap masalah atau perasaan yang tidak diinginkan, dan dengan
demikian, pasien menekan atau menahan dorongan untuk berbagi atau mengungkapkan masalah
pasien dengan orang lain. Dengan cara ini, pasien mencoba untuk menghindari atau mengurangi
ketidaknyamanan yang terkait dengan memikirkan atau menghadapi masalah tersebut. Pasien
juga memiliki MPE berupa penyangkalan atau disosiasi dimana pasien menolak untuk mengakui
atau menghadapi masalahnya dengan cara berbagi atau mencari dukungan dari orang lain, dan
sebagai gantinya memilih untuk mengabaikan atau menghindari masalah tersebut. MPE lainnya
adalah penghindaran, dimana pasien menggunakan zat psikoaktif sebagai cara untuk melarikan
diri atau menghindari menghadapi masalah stres yang pasien alami. Pada akhirnya menyebabkan
penumpukan stres dan tekanan emosional. Gejala pasien juga disertai distorsi kognitif yaitu
penolakan diri, dimana pasien meyakini bahwa pasien tidak memerlukan bantuan atau dukungan
dari orang lain dan bahwa pasien dapat menangani masalahnya sendiri. Pasien juga mengalami
pemikiran kata benda yaitu pasien memiliki pemikiran yang menggeneralisasi bahwa berbicara
10
tentang masalahnya akan membuat segalanya menjadi lebih buruk atau orang lain tidak akan
memahami atau peduli pada hal tersebut. Terdapat juga gejala personalisasi yaitu pasien secara
pribadi merasa gagal atau lemah jika pasien harus membuka diri kepada orang lain tentang
masalah pasien, dan pasien merasa malu atau merasa bahwa ini menunjukkan kelemahan pasien.
Pasien juga mengalami distorsi kognitif berupa generalisasi yang berlebihan, dimana pasien
berpikir bahwa semua laki-laki memiliki potensi untuk menjadi berbahaya atau melakukan
pelecehan, meskipun tidak semua laki-laki memiliki perilaku yang sama. Semua distorsi kognitif
ini dapat menyebabkan pasien menahan diri dari berbagai masalah pasien dengan orang lain,
yang pada akhirnya dapat menyebabkan penumpukan stres dan tekanan emosional.
11
2.12 Penatalaksanaan
a. Medikamentosa
- Risperidon 2 mg (½-0-½)
- Sertraline 50 mg (0-1-0)
- Lorazepam 2 mg (0-0-½)
b. Non-medikamentosa
- Psikoterapi suportif: CBT (Cognitive Behavioral Therapy) yang berfokus pada
untuk mengidentifikasi pola pikir yang tidak sehat atau tidak produktif dan
menggantinya dengan pola pikir yang lebih sehat dan adaptif serta
mengembangkan keterampilan konkrit untuk mengelola emosi dan mengubah
perilaku yang tidak diinginkan.
- Memberi edukasi kepada pasien dan keluarga terkait penyakit, cara pengobatan,
manfaat pengobatan, dan efek samping obat.
- Memberi edukasi kepada pasien dan keluarga terkait kepatuhan minum obat
- Memotivasi pasien dan keluarga untuk rutin kontrol.
c. Monitoring
- Perbaikan klinis pasien
- Tanda-tanda vital
- Kepatuhan minum obat
- Efek samping obat
2.13 Prognosis
Faktor yang memperingan:
- Perempuan
- Kepatuhan pengobatan
- Tidak ada faktor keturunan
- Dukungan sosial dari keluarga
12
- Premorbid ciri kepribadian introvert dan tertutup
13
Pasien patuh minum obat karena pasien ingin segera sembuh, namun karena pada siang
hari pasien bekerja (magang) sehingga tidak bisa minum obat. Akhirnya pasien minum
obat di pagi dan malam hari.
g. Kontrol ke RS:
Pasien terjadwal akan kontrol lagi pada tanggal 15 Maret 2024
14
BAB III
KESIMPULAN
Seorang remaja perempuan berusia 17 tahun diantar oleh ibunya ke poliklinik Jiwa
RSUD dr. Mohammad Soewandhie Surabaya dengan keluhan utama sering menangis dan dada
terasa sesak sejak 4 bulan yang lalu. Berdasarkan PPDGJ-III, pasien memenuhi kriteria diagnosis
untuk Episode Depresi Berat dengan Gejala Psikotik dengan diagnosa banding Gangguan Mental
dan Perilaku akibat Penyalahgunaan Opioid dan Gangguan Psikotik Non-Organik Lainnya.
Pasien diberikan terapi medikamentosa berupa risperidon 1 mg yang diminum pada pagi dan
malam hari, sertraline 50 mg diminum satu tablet pada siang hari, dan lorazepam 2 mg diminum
setengah tablet pada malam hari. Pemberian terapi non medikamentosa berupa psikoterapi, CBT,
serta memberi edukasi pada pasien dan keluarga terkait penyakit, cara, manfaat, kepatuhan, dan
efek samping obat. Monitoring pada pasien juga dilakukan dengan memperhatikan perbaikan
klinis pasien, tanda-tanda vital, kepatuhan minum obat, dan efek samping obat. Prognosis pada
pasien secara keseluruhan adalah dubia ad bonam.
15
DAFTAR PUSTAKA
Lieberman, J,A and First, M.B. 2018. Psychotic Disorders. The New England Journal Of
Maslim, Rusdi. 2019. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III. Jakarta: Bagian
Sadock, B.J., Sadock, V.A. and Ruiz, P. 2015. Kaplan & Saddock’s synopsis of psychiatry:
& Wilkins.
Willy F. Maramis, Albert A. Maramis. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi 2. Surabaya:
16
LAMPIRAN
17