Anda di halaman 1dari 28

SEJARAH PERKEMBANGAN TASAWUF : AKHLAQI,

FALSAFI, DAN SYIAH

ABSTRAK

Hal yang membedakan manusia dengan


Laila Rahmi Hasanah ciptaan Tuhan lainnya adalah akal. Manusia
diberikan oleh Tuhan akal agar dapat berfikir
UIN Raden Fatah Palembang
dan menjalankan salah satu tugasnya yaitu
lailarahmihasanah@gmail.com menjadi khalifah atau pemimpin.
Mempelajari dan membahas tasawuf
terkadang bukan hal yang mudah. Dari
Imam Tauhid pendahuluannya, kata tasawuf sendiri telah
menimbulkan pro dan kontra bagi manusia.
UIN Raden Fatah Palembang Ilmu tasawuf bukan hanya teori belaka tetapi
memiliki praktek dalam dunia kehidupan
Imamtauhid_uin@radenfatah.ac.id manusia. Pendapat dan pertanyaan yang
membingungkan adalah apakah tasawuf ini
sesat? atau jalan yang menunjukkan sebagai
ajaran Islam. Metode penelitian yang kami
lakukan dalam pembuatan jurnal ini adalah
dengan menggunakan metode penelitian
kepustakaan atau Library Research. Kami
mengumpulkan banyak data dan informasi
dengan membaca buku dan jurnal di
perpustakaan dan juga internet. Banyak
sekali referensi yang bisa didapatkan, salah
satunya tentang sejarah akhlak tasawuf.
Kesimpulan dalam penelitian kami adalah
berbagai cara yang ditawarkan oleh tiga
ajaran utama tasawuf yang pada hakekatnya
ingin mendekatkan diri kepada Tuhan
sedekat mungkin dengan menjalin
keterikatan antara seorang hamba dengan
Tuhannya. Meski ada beberapa cara yang
menimbulkan pertentangan di kalangan umat
dan ulama.
Kata-kata Kunci: Sejarah, Aliran; Pemikiran Tasawuf

1
PENDAHULUAN
Pada zaman ini banyak sekali orang yang salah kaprah mengenai ilmu tasawuf,
maka dari itu ilmu tasawuf itu sendiri adalah ilmu yang mempelajari tentang
bagaimana cara mendekatkan diri dan bagaimana cara mensucikan diri kepada Allah.
Dengan demikian agar kita tidak salah kaprah lagi terhadap pembahasan ilmu tasawuf
ada baiknya kita mengetahui juga bagaimana sejarah pengembangan ilmu tasawuf.
Dengan mempelajari ilmu tasawuf tentunya muncul pertanyaan bagaimana
Sejarah perkembangan tasawuf, tokoh-tokohnya serta pemikiran para ulama tentang
ilmu tasawuf akan membuka pengetahuan betapa baik dan banyaknya ilmu dalam
Islam. Dalam penulisan ini kami selaku para penulis mencoba untuk membahas
hal-hal yang berkaitan tentang sejarah pengembangan tasawuf akhlaki, falsafi dan
syiah. Karena banyak orang yang menolak tasawuf karena salah paham dan tidak
mengenali siapa saja ulama-ulama tasawuf.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian merupakan unsur paling utama yang wajib ada pada proses
penelitian. Karena dengan melakukan proses penelitian menggunakan metode maka
hasilnya pun akan menjadi terstruktur dan maksimal. Dalam artian luas metode
penelitian merupakan metode untuk menyelidiki dan mengumpulkan data-data atau
informasi yang berkaitan dengan topik yang akan kita bahas. Maka dari itu pada
penulisan jurnal kali ini kami menggunakan metode Library Research untuk
mendapatkan data-data maupun informasi seputar sejarah perkembangan tasawuf.
Metode penelitian kajian pustaka atau Library Research adalah metode yang
diambil peneliti berupa teori-teori yang sesuai dengan masalah-masalah dalam
penelitian. Data yang dikumpulkan dan dianalisis ini berasal dari literatur dan juga
dari bahan dokumentasi seperti tulisan di jurnal. Dalam penelitian ini menggunakan
teknik pengumpulan data studi kepustakaan, yakni peneliti mencari data yang
berkenaan dengan pembahasan yang diangkat dalam penelitian. Data yang

2
dikumpulkan berasal dari berbagai cara, seperti Studi Pustaka, Studi Literatur, dan
Pencarian di internet.1
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sejarah Perkembangan Tasawuf
Kehidupan Sufi mulai tumbuh dan berkembang sejak zaman Nabi Muhammad
SAW.2 Tasawuf muncul pada zaman Nabi SAW, karena misi kerasulannya yang
terdiri dari ajaran tentang iman, ibadah dan akhlak. Bahkan sebelum diangkat menjadi
Rasul, hidupnya sudah mencerminkan karakteristik dan perilaku kehidupan sufi, yang
bisa dilihat dari kehidupannya sehari-hari yang sangat sederhana dan menghabiskan
waktunya hanya untuk beribadah dan bertaqarub pada Allah SWT. 3
Akhlak sebagai bagian dari ajaran Nabi SAW. kemudian ditanamkan kepada
sahabatnya melalui pengajaran dan pembinaan yang disertai dengan keteladanannya.
Ajaran pada masa Nabi terjadi karena internalisasi nilai- nilai dan ajaran Al- Qur’an
dan Al- Hadist. 4
Tasawuf pada masa Rasulullah SAW. adalah ciri umum yang ada pada hampir
semua sahabat beliau. Jadi Rasulullah SAW telah memberikan landasan berdasarkan
wahyu ilahi dalam kehidupan beliau yang sangat sederhana dan meninggalkan
kehidupan mewah yang akan menjadi contoh untuk para sahabatnya.5
Munculnya istilah tasawuf dimulai pada pertengahan abad ke-3 Hijriyah oleh
Abu Hasyim Al-Kufi (Wafat 250 H) dengan meletakkan al-Sufi dibelakang namanya.
Dalam sejarah Islam sebelum munculnya aliran tasawuf, terlebih dahulu muncul
aliran zuhud. Jauh sebelum lahirnya agama Islam, memang sudah ada ahli Mistik
yang menghabiskan masa hidupnya dengan mendekatkan diri kepada Tuhan-Nya.
Fakta tasawuf sering dituduh sebagai ajaran sesat. Tasawuf dipahami sebagai doktrin

1
Salwa Habibatullah, dkk., “Potensi Bahasa Anak Usia Dini 5-6 Tahun melalui Metode
Bercerita”, PAUD Lectura: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, Vol 4, No 2, April 2021, hal. 2.
2
Moh Syaifullah Al-Aziz S, Risalah Memahami Akhlak Tasawuf, (Surabaya: Terbit Terang,
1998), hal. 49.
3
Ibid.
4
Muhammad Muchlis Solichin, Akhlaq Tasawuf, (Surabaya: Pena salsabila, 2013), hal. 124.
5
Samsul Munir Amin.M.A, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2015), hal. 89.

3
yang lahir dari rahim non-muslim, sebuah ritual keagamaan yang berasal dari tradisi
kristen, Hindu dan Brahmana. Bahkan gerakan sufi disamakan dengan kemalasan
dalam bekerja dan berfikir.
Salah satu dalil yang menjelaskan bahwa Tasawuf sudah ada pada zaman Nabi
Muhammad SAW. adalah perbuatan Nabi yang sering melakukan Tahannuts di Gua
Hira’ sebelum turunnya wahyu. Pertapaan tersebut dilakukan oleh Nabi Muhammad
SAW. sebagai upaya untuk menyenangkan jiwa, mensucikan diri sebagai persiapan
untuk menerima sabda yang agung yaitu wahyu Al-Qur’an, dengan proses itu
Rasulullah SAW melakukan Riyahah dengan bekal makanan secukupnya, pakaian
sederhana yang jauh dari kemewahan dunia. Untuk mengidentifikasi akhir tasawuf
dengan thariqah, yang kita ketahui terjadi pada abad ke 3 H, kita perlu mengkaji apa
yang sebenarnya terjadi dalam tradisi Islam yang mengakibatkan munculnya tasawuf.
Sejarah perkembangannya Tasawuf di dunia Islam dapat dibagi menjadi
beberapa tahapan:
Pertama, perkembangan Tasawuf pada abad Ke-1 dan Ke-2 H. Sejarah
perkembangan tasawuf di dunia islam dapat dibagi menjadi beberapa tahapan:6
1. Pada Masa Sahabat
Para sahabat juga meniru kehidupan Rasulullah SAW. yang sederhana semuanya
semata-mata karena Tuhannya.
Sahabat-sahabat yang dimaksudnya diantaranya:
a. Abu Bakar wafat tahun 13 H
b. Umar bin Khattab wafat tahun 23 H
c. Usman bin Affan wafat tahun 35 H
d. Ali bin Abi Thalib Wafat tahun 40 H
e. Salman AL Farisy
f. Abu Zar Al Ghafar
g. Huzaifah bin Al-Yaman

6
Ibid., hal. 215-218.

4
2. Perkembangan Tasawuf pada masa Tabi’in
Ulama-ulama Sufi dari kalangan Tabi’in, adalah murid dari ulama-ulama Sufi
dari kalangan sahabat. Tokoh-tokohnya yaitu: Al-Hasan Al-Bashry berguru kepada
Huzaiifah bin Al-Yaman, Rabi’ah Al-adawiyah, Sufyan bin Said Ats-Tsaury dan
Daud Ath-Thaiy.
Kedua, Perkembangan Tasawuf pada Abad ke-3 Hijriyah. Pada abad ini
perkembangan Tasawuf sudah mulai pesat, hal ini ditandai dengan adanya
sekelompok ahli sufi yang berusaha untuk meneliti inti ajaran Tasawuf yang
berkembang pada masa itu, sehingga mereka membaginya ke dalam tiga jenis yaitu:
Tasawuf dengan ilmu jiwa, ilmu akhlak, dan metafisika.7
a. Tasawuf dengan ilmu jiwa; artinya, tasawuf yang mencakup metode pengobatan
kejiwaan yang lengkap yang dapat diatasi dengan baik.
b. Tasawuf dengan Ilmu Akhlak; artinya, didalamnya mengandung
petunjuk-petunjuk tentang cara-cara berbuat baik serta bagaimana menghindari
keburukan.
c. Tasawuf dengan Metafisika; artinya, di dalamnya berisikan tentang ajaran yang
menjelaskan sifat tuhan, yang merupakan satu-satunya yang ada dalam arti mutlak.
Tokoh-tokoh sufi pada masa ini diantaranya: Abu Sulaiman Ad-Darani (Wafat
215 H), Ahmad bin Al-Hawaary Ad-Damasqiy (Wafat 230 H), Abul Faidh Dzuun
Nun bin Ibrahim Al-Misri (Wafat 245 H) dan Al- Hallaj.
Ketiga, Perkembangan Tasawuf pada Abad ke-4 Hijriyah. Pada abad ini
ditandai dengan kemajuan ilmu Tasawuf yang lebih pesat dibandingkan dengan
kemajuannya di abad ketiga hijriyyah, karena usaha maksimal para ulama Tasawuf
untuk mengembangkan ajaran Tasawufnya masing-masing. Tokoh-tokoh sufinya
antara lain: Musa Al-Anshaary (Wafat 320 H), Abu Hamid bin Muhammad (Wafat
322 H), Abu Zaid Al-Adamy (Wafat 314 H) dan Abu Ali Muhammad bin Abdil
Wahhab (Wafat 328 H).8

7
Ibid., hal. 219.
8
Ibid., hal. 220.

5
Keempat, Perkembangan Tasawuf Abad ke-5 Hijriyah. Pada abad ke-5 hijriyah
Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa abad ke-3 dan ke-4 muncul dua aliran
yaitu aliran Sunni dan aliran Semifilosofis. Pada abad ke-5, aliran yang pertama terus
tumbuh dan berkembang. Sebaliknya, aliran kedua mulai tenggelam dan baru muncul
kembali dalam bentuk lain yaitu pribadi-pribadi para sufi dan juga filosof abad
keenam dan setelahnya. Diantara tokoh-tokoh Tasawuf abad ini adalah sebagai
berikut: Al-Qusyairi (376-465 H), Al- Harawi (751 H), Al-Ghazali (505 H). 9
Kelima, Perkembangan Tasawuf Abad ke-6 Hijriyah. Pada abad ini hubungan
antara ulama syariat dengan ulama Tasawuf memburuk karena dihidupkannya lagi
pemikiran-pemikiran Al-Huluul, para ulama yang sangat berpengaruh pada zaman ini
adalah Syihabuddin Abul Futu As-Suhrawardy, Al-Ghaznawy. 10
Keenam, Perkembangan Tasawuf abad ke-7 Hijriyah. Pada abad ini tercatat
dalam sejarah bahwa masa menurunnya gairah masyarakat islam untuk mempelajari
Tasawuf karena: 11
1. Semakin gencarnya serangan ulama syariat memerangi ahli Tasawuf, yang diiringi
dengan serangan golongan Syiah yang menekuni ilmu kalam dan fiqih.
2. Adanya tekad penguasa pada masa itu untuk melenyapkan ajaran Tasawuf di dunia
Islam karena dianggap kegiatan itu menjadi sumber perpecahan umat Islam.
Ada beberapa ahli Tasawuf yang berpengaruh di abad ini diantaranya: Umar
Abdul Faridh, Ibnu Sabi’in, Jalaluddin Ar-Ruumy, dan lain sebagainya.
Ketujuh, Perkembangan Tasawuf Abad ke-8 Hijriyah. Dengan terlewatnya abad
ke-7 hingga memasuki abad ke-8, tidak terdengar lagi Perkembangan dan pemikiran
baru dalam Tasawuf. Meskipun banyak pengarang kaum sufi yang mengemukakan
pemikirannya tentang ilmu Tasawuf, mereka kurang mendapatkan perhatian yang
sungguh-sungguh dari umat islam sehingga boleh dikatakan nasib sama dengan abad
ke-7 Hijriyah.12
9
Ibid., hal. 221.
10
Ibid.
11
Rosihon Anwar, Akhlaq Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2016), hal. 192.
12
Ibid., hal. 193.

6
Kedelapan, Perkembangan Tasawuf Abad ke- 9 dan 10 serta sesudahnya.
Dalam beberapa abad ini, betul-betul ajaran Tasawuf sangat sunyi di dunia islam,
artinya nasibnya lebih buruk lagi dari keadaannya pada abad ke-6, ke-7 dan ke-8
Hijriyah. Faktor yang menyebabkan runtuhnya ajaran tasawuf ini antara lain: Ahli
Tasawuf sudah kehilangan kepercayaan di kalangan masyarakat islam, serta adanya
penjajah bangsa eropa yang beragama Nasrani yang menguasai seluruh negeri
Islam.13
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dari masa ke masa sejarah
perkembangan tasawuf ini mengalami kemajuan dan kemunduran, dimana mulanya
pada abad ke-3 hijriyah ini perkembangan tasawuf semakin pesat sampai ke
tahun-tahun berikutnya dengan bermunculan para sufi yang membawa pemikiran dan
doktrinnya tentang tasawuf ini. Sampailah ke abad 6 hijriyah, perkembangan tasawuf
mengalami peredupan disebabkan hubungan antara ulama syariat dengan dengan
ulama tasawuf memburuk akibat dihidupkan lagi pemikiran al-hulul. Pada tahun
berikutnya, yaitu pada abad ke-7 sampai sesudahnya, ajaran tasawuf semakin
meredup dan sunyi dalam dunia Islam karena ahli tasawuf kehilangan kepercayaan di
kalangan masyarakat Islam, disebabkan pemikiran tasawuf dianggap menjadi sumber
perpecahan umat Islam.
A. Tasawuf Akhlaqi
Kata “tasawuf” berasal dari kata shafa yang artinya bersih. Disebut Shufi
karena hatinya tulus dan suci dihadapan Tuhan.14 Selanjutnya kata “akhlak” ini bila
diartikan dalam konteks agama bermakna perangai, budi, tabiat, adab, atau tingkah
laku. Menurut Imam al-Ghazali, akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa
manusia yang dapat dengan mudah mengarah pada tindakan tanpa perlu dipikirkan
atau direnungkan.15

13
Ibid.
14
Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf, (Cet. I: Jakarta: Amzah, 2021) hal. 169.
15
Ahmad Bangun Nasution, Akhlak Tasawuf, (Cet. I: Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2013) hal. 30.

7
Jadi, dapat disimpulkan bahwa tasawuf akhlaqi ini diartikan sebagai
membersihkan tingkah laku atau adab dari perbuatan yang buruk kemudian dihiasi
dengan perbuatan baik sehingga orang-orang ingin mempersembahkan diri mereka
kepada Tuhan-nya dengan berkali-kali tanpa merasa berat.
Ahmad Muhammad Kan’an dalam bukunya Tazkiyyat al-Nufus wa
Tarbiyyatuhu Kama Yuqarriruhu ‘Ulama’u al-Salaf, memberikan definisi untuk
Tasawuf Akhlaqi sebagai upaya mensucikan diri dan mendidik jiwa untuk berbuat
kebaikan seperti yang dilakukan oleh Sufi Salaf. Definisi ini didasarkan pada QS.
asy-syams (91) ayat 7-10 menyatakan bahwa tasawuf akhlaqi adalah usaha untuk
mengetahui apa yang buruk dan bagaimana menghindarinya dan bagaimana
memahami apa yang baik dan bagaimana mendapatkan keberuntungan setelah
melakukan apa yang baik.16
Tasawuf akhlaqi disebut juga tasawuf sunni, dan keduanya identik karena
ajaran tasawuf akhlaqi menegaskan akhlak dalam kehidupan kaum muslimin. Namun,
titik penegasan penyebutan tasawuf sunni dilihat pada upaya yang dilakukan oleh
sufi-sufi yang membatasi tasawufnya dengan Al-Quran dan As-Sunnah secara ketat.
Tasawuf akhlaqi adalah tasawuf yang bertujuan untuk menciptakan pribadi yang
dapat meningkatkan akhlak, menggali hakikat kebenaran, menjadikan manusia agar
dekat kepada Allah swt. dengan cara-cara yang telah dirumuskan. Tasawuf Akhlaqi
biasa disebut juga tasawuf Sunni. Model tasawuf ini berupaya menciptakan akhlak
mulia di kalangan para sufi dengan tetap menghindari akhlak mazmumah (tercela).
Tasawuf akhlaqi ini dikembangkan oleh ulama salaf as-shalih.17
Menurut Hamidullah dalam bukunya, untuk memulihkan sikap mental yang
tidak baik ataupun akhlak tercela, menurut orang sufi tidak akan berhasil baik apabila
terapinya hanya dari aspek lahiriyah saja. Itulah sebabnya, pada tahap-tahap awal
memasuki kehidupan tasawuf, seorang murid diharuskan melakukan amalan dan
latihan kerohanian yang cukup berat. Tujuannya adalah untuk menguasai hawa nafsu,

16
Ibid., hal. 250-251.
17
Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat, (Cet.I: Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012) hal. 70.

8
untuk menekan hawa nafsu sampai ketitik terendah dan atau bila mungkin mematikan
hawa nafsu itu sama sekali.18
Sistem pembinaan akhlak itu mereka susun sebagai berikut. Menurut para sufi,
pengobatan eksternal saja tidak akan berhasil memulihkan kondisi mental yang buruk
dan akhlak yang tercela. Untuk alasan ini, pada tahap awal memasuki kehidupan
tasawuf, seorang murid harus terlibat dalam latihan dan pelatihan spiritual yang
serius. Tujuan mereka adalah untuk mengendalikan hawa nafsunya, menekan hawa
nafsu ke titik terendah mereka, dan jika mungkin memberhentikan hawa nafsu
mereka itu sama sekali.19
Berikut ini sistem pembinaan akhlak yang mereka susun:
1. Takhalli
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah mencoba melepaskan diri dari
ketergantungan pada kesenangan hidup duniawi. Ini dicapai dengan meninggalkan
semua bentuk ketidaktaatan dan mencoba menghilangkan keinginan untuk berhasrat,
karena hawa nafsu adalah akar penyebab semua sifat yang buruk. Sikap kejiwaan
yang tidak sehat sebagai ekses yang timbul dari keterikatan pada kehidupan duniawi
sangat lazim dalam pandangan sufi.20
Di antara mereka, kondisi mental "riya" dianggap sangat berbahaya. Riya dapat
diartikan sebagai kecenderungan untuk menunjukkan kelebihan yang ia miliki kepada
seseorang agar mendapat kekaguman dari orang lain yang pada akhirnya ingin
dihormati secara berlebihan. Riya ini dapat memunculkan sifat-sifat buruk lainnya.
Oleh karena itu, dalam banyak sistem pendidikan spiritual, para Sufi mengarahkan
"peluru" pertama mereka untuk mengatasi hawa nafsu duniawi mereka dan semua
ekses negatif yang mereka timbulkan melalui latihan spiritual lanjutan oleh Tarekat
Sufi.21

18
Zakiah Daradjat dan Hasbi AR, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Proyek pembinaan Perguruan
Tinggi Agama Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, 1981/1982) hal. 98 .
19
Ibid., hal. 98.
20
Ibid., hal. 100.
21
Ibid., hal. 101.

9
Jadi, pada tahap pertama ini para sufi berusaha untuk meninggalkan kesenangan
duniawi pada dirinya yang mana kesenangan duniawi ini dapat memalingkan hawa
nafsu seseorang menjadi sulit dikendalikan dan memacu perbuatan yang dilarang oleh
Allah SWT. Hawa nafsu ini harus dikendalikan dengan baik sehingga ia tidak akan
menguasai akal dan menjerumuskan manusia pada lubang kemaksiatan. Imam
al-Ghazali berkata tentang hawa nafsu dalam karyanya, Ihya Ulumuddin,
“Kebahagiaan adalah ketika seseorang mampu menguasai nafsunya. Kesengsaraan
adalah saat seseorang dikuasai nafsunya”. Maka dari itu, sufi pada tasawuf akhlaqi
ini menekankan cara pertama dalam pembinaan akhlak ialah mengontrol hawa nafsu
yang merupakan pintu dari segala perbuatan buruk.
2. Tahalli
Sesudah tahap pembersihan diri dari segala sifat dan sikap kejiwaan yang tidak
baik dapat dilalui, usaha itu harus berlanjut terus ke tahap kedua yang disebut tahalli,
kata ini mengandung pengertian, menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dari
sifat dan sikap serta perbuatan yang baik. Perbuatan baik tersebut meliputi: 1)
At-Taubah; 2) Cemas dan harap; 3) Az-Zuhud; 4) Al-Faqr; 5) Ash-Shabru; 6) Ridha;
dan 7) Muraqabah.22
Yang pertama adalah at-Taubah. Bila diartikan secara umum, at-Taubah berarti
pengampunan. Maka at-Taubah disini dimaksudkan sebagai bentuk kesadaran diri
bila melakukan suatu kesalahan maka akan cepat untuk memohon ampunan kepada
Allah SWT. serta menyesali dan tidak akan melakukan kesalahan yang sama.
Kemudian yang kedua adalah cemas dan harap. Cemas dan harap ini berarti
selalu khawatir dan takut bila melakukan sesuatu karena mengetahui bahwa segala
perbuatan akan dipertanggungjawabkan kelak ketika hari penghisaban nanti. Setelah
merasa cemas akan perbuatannya, maka akan menimbulkan rasa harap kepada Sang
Khaliq agar diampuni dan selalu diberi jalan kemudahan untuk menggapai rahmat
dan ridha-Nya.

22
Ibid., hal. 101-110.

10
Yang ketiga adalah al-zuhud. Kata zuhud sering kita jumpai dalam
pembelajaran kehidupan sufi, yang mana dapat diartikan sebagai kehidupan yang
sederhana, tidak berlebihan dalam menjalankan kehidupan dunia. Para sufi meyakini
bahwa kehidupan duniawi adalah permainan dan senda gurauan seperti yang telah
diterangkan di QS. Al-Hadid ayat 20. Maka dari itu para sufi tidak mau membiarkan
kehidupan dunia memperdayakannya (QS. Fatir : 5).
Yang keempat ada al-Faqr yang dapat diartikan sebagai merasa tidak memiliki
apapun karena mengetahui bahwa segala sesuatu yang dimiliki di dunia ini adalah
semata-mata milik Allah SWT. Maka dengan sikap al-Faqr ini akan menjauhkan dari
sifat sombong dan selalu mendekatkan diri dengan rasa syukur.
Selanjutnya yang kelima ada ash-shabru yang artinya selalu menerima ujian
dan cobaan yang diberikan oleh Allah SWT. dengan ikhlas dan tabah sehingga tidak
pernah menyalahkan takdir yang telah diberikan kepadanya. Yang keenam ada ridha
yang bisa diartikan dengan selalu percaya bahwa apa yang ditakdirkan dalam
hidupnya merupakan suatu ketetapan Allah yang terbaik untuknya. Dan terakhir ada
muraqabah, hampir sama dengan cemas dan harap, muraqabah dapat diartikan dengan
perbuatan ihsan, yakni selalu merasa diawasi dan dilihat oleh Allah SWT. sehingga
selalu berhati-hati dalam melakukan suatu perbuatan.
3. Tajalli
Tajalli adalah merasakan akan rasa ketuhanan yang sampai mencapai sifat
muraqabah. Muraqabah sendiri berarti sealu merasa diawasi dan dilihat oleh Allah
SWT. Tajalli juga dapat diartikan sebagai barang yang membuka hati seseorang
melalui cahaya yang datang dari gaib.23

23
Badruddin, Akhlak Tasawuf, (Cet. II: Serang: IAIB PRESS, 2015) hal. 112-113.

11
Ketika jiwa dipenuhi dengan mutiara akhlak, dan organ tubuh terbiasa
melakukan perbuatan mulia, agar hasil yang diperoleh tidak berkurang, maka perlu
penghayatan rasa ketuhanan. Menurut M.M. Syarif, para sufi sepakat bahwa yang ada
hanyalah satu cara untuk mencapai tingkat kesucian jiwa yang utuh, yaitu dengan
mencintai Allah dan memperdalam cinta itu. Kemurnian jiwa ini membuka jalan
menuju Tuhan. Tanpa jalan ini, tidak ada cara untuk mencapai tujuan itu, dan
tindakan yang dilakukan tidak dianggap perbuatan baik.24
Beberapa teori yang diajarkan oleh para sufi untuk memperdalam rasa
ketuhanan, seperti: 1) Munajat, melaporkan kepada Allah segala kegiatan yang
dilakukan; Biasanya diadakan dalam suasana hening di malam hari setelah shalat
Tahajud. 2) Menurut tafsir Al-Kalabadzi, dzikir adalah mengingat Allah dalam
pikiran dan menyebut nama-Nya secara lisan.25
Adapun karakteristik dari tasawuf akhlaqi adalah sebagai berikut:
1. Melandaskan diri pada al-Quran dan al-Sunnah. Dalam ajaran-ajarannya,
cenderung memakai landasan Qur'ani dan Hadits sebagai kerangka
pendekatannya.
2. Kesinambungan antara hakikat dengan syariat, yaitu keterkaitan antara tasawuf
(sebagai aspek batiniahnya) dengan fikih (sebagai aspek lahirnya).
3. Lebih bersifat mengajarkan dualisme dalam hubungan antara Tuhan dan
manusia.
4. Lebih terkonsentrasi pada soal pembinaan, pendidikan akhlak dan pengobatan
jiwa dengan cara latihan mental (takhalli, tahalli, dan tajalli).
5. Tidak menggunakan terminologi-terminologi filsafat. Terminologi-terminologi
yang dikembangkan lebih transparan.

24
Zakiah Daradjat dan Hasbi AR, Pengantar Ilmu Tasawuf,…Op.cit., hal. 110-111.
25
Ibid, hal. 111-113.

12
Dari lima karakteristik tasawuf akhlaqi di atas dapat disimpulkan bahwa
tasawuf akhlaqi ini lebih menekankan pada pembinaan akhlak di dalam diri dengan
beberapa tahapan-tahapan sehingga hati dan akal menjadi bersih sehingga perbuatan
yang ditampilkan adalah perbuatan baik serta dilandaskan dengan al-Quran dan
Hadits yang mana juga tasawuf akhlaqi ini tidak memasukkan unsur filsafat
didalamnya.
Selanjutnya berikut ini tokoh-tokoh dari tasawuf akhlaqi:26
1. Hasan al-Bashri
Nama lengkapnya yaitu Abu Sa’id al-Hasan ibn Yasar al-Bashri. Ia merupakan
seorang zahid yang amat masyhur di kalangan tabi’in. Lahir di Madinah pada tahun
21 H, dan wafat pada tahun 110 H. Menurut Hamka, sebagian ajaran tasawuf Hasan
al-Bashri dapat dipaparkan sebagai berikut:
a. Perasaan takut yang menyebabkan hatimu tenteram lebih baik dari pada rasa
tentram yang menimbulkan perasaan takut.
b. Dunia adalah negeri tempat beramal. Barang siapa bertemu dunia dengan
perasaan benci dan zuhud, ia akan berbahagia dan memperoleh faedah darinya.
Barang siapa bertemu dunia dengan perasaan rindu dan hatinya tertambal
dengan dunia, ia akan sengsara dan akan berhadapan dengan penderitaan yang
tidak dapat ditanggungnya.
c. Tafakur membawa kita pada kebaikan dan berusaha mengerjakannya.
d. Dunia ini adalah seorang janda tua yang telah bungkuk dan beberapa kali
ditinggal mati suaminya.
e. karena berada di antara dua perasaan takut, yaitu takut mengenang dosa yang
telah lampau dan takut memikirkan ajal yang masih tinggal serta bahaya yang
akan mengancam.
f. Hendaklah setiap orang sadar akan kematian yang senantiasa mengancamnya,
hari kiamat yang akan menagih janjinya.

26
Ahmad Bangun Nasution, Akhlak Tasawuf,…..Log.cit., hal. 32.

13
g. Banyak duka cita di dunia memperteguh semangat amal saleh.
h. Berkaitan dengan ajaran tasawuf Hasan al-Bashri,
i. Muhammad Mustafa, Guru Besar Filsafat Islam mengatakan bahwa tasawuf
Hasan al-Bashri didasari oleh rasa takut siksa Tuhan di dalam neraka. Setelah
diteliti, ternyata bukan perasaan takut yang mendasari tasawufnya tetapi
kebesaran jiwanya akan kekurangan dan kelalaian dirinya yang mendasari
tasawufnya.
Melihat ajaran tasawuf yang dicanangkan oleh al-Basri ini, ia lebih
menekankan kepada kezuhudan dan kekhawatiran akan kurangnya bekal di akhirat.
kehidupan dunia yang bisa memperdayakan seseorang bila tidak melakukan amal
sholeh dalam hidupnya serta kehidupan kematian yang senantiasa menunggu dan bisa
datang kapan saja. Kebesaran cinta al-Basri kepada Allah SWT. sehingga
membuatnya diliputi akan rasa takut dan menghindari dari kelalaian huru hara
kehidupan dunia.
2. al-Muhasibi
Nama lengkapnya yakni Abu Abdillah al-Harits ibn Asad al-Bashri al-Baghdadi
al-Muhasibi. Ia lahir di wilayah Basrah, Irak, pada tahun 165 H (781 M) dan ia
diperkirakan wafat sekitar pada tahun 243 H (857M). Berikut ini ajaran-ajaran
Tasawufnya :
a. Makrifat
Al-Muhasibi menerangkan tahapan-tahapan makrifat sebagai berikut:
1) Taat.
2) Aktivitas anggota tubuh yang telah disinari oleh cahaya yang memenuhi hati.
3) Khazanah-khazanah keilmuan dan kegaiban kepada setiap orang yang telah
menempuh kedua tahap di atas.
4) Tahap keempat adalah apa yang dikatakan oleh para sufi dengan fana’ yang
menyebabkan baqa’.

14
Bila dilihat empat tahapan makrifat ini maka hal pertama yang harus dilakukan
adalah taat dan patuh terhadap perintah-Nya dengan terus menghiasi diri dengan
perbuatan baik dan meninggalkan perbuatan buruk yang dilarang oleh agama.
Kemudian tahapan kedua adalah berusaha untuk segala aktivitas anggota tubuhnya
digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. sehingga terpancar olehnya
cahaya keimanan dan ketakwaan. Selanjutnya tahapan ketiga yaitu setelah
menjalankan kedua tahapan ini maka seorang sufi akan mendapatkan khazanah ilmu
dan keghaiban sehingga memunculkan tahap keempat ini, yaitu fana’ dan baqa, yang
mana fana’ dan baqa’ ini adalah jalan seorang sufi untuk bersatu dengan Tuhan secara
rohaniyah.
b. Khauf dan Raja’
Menurut al-Muhasibi, khauf (rasa takut) dan raja’ (harapan) penting dalam
perjalanan mensucikan jiwa seseorang. Khauf dan raja’ hanya dapat dilakukan
sepenuhnya dengan berlandaskan Al-Qur'an dan Sunnah.
3. Al-Ghazali
Nama lengkapnya yakni Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad ibn
Muhammad ibn Muhammad ibn Ta’us al-Thusi Asy-Syafi'i al-Ghazali. Beliau
dipanggil al-Ghazali karena dilahirkan di kampung Ghazlah, suatu kota di Khurasan,
Iran tahun 450 H (1058 M). Berikut ini ajaran Tasawufnya: Dalam tasawufnya
al-Ghazali memilih tasawuf sunni yang berdasarkan al-Quran dan al-Sunnah Nabi
Muhammad saw., di tambah dengan doktrin Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah. Menurut
al-Ghazali jalan menuju tasawuf baru dapat dicapai dengan meruntuhkan penghalang
jiwa dan membersihkannya dari akhlak tercela sehingga hati dapat terlepas dari
segala hal selain hanya Allah SWT. saja, dengan dihiasi untuk selalu mengingat
Allah.

15
Al-Ghazali menolak paham hulul dan ittihad. Untuk itu, ia menyodorkan paham
baru tentang makrifat yaitu pendekatan diri kepada Allah swt. Jalan menuju makrifat
adalah perpaduan ilmu dan amal, sementara buahnya adalah moralitas. Ringkasnya,
makrifat menurut al-Ghazali adalah diawali dalam bentuk latihan jiwa lalu diteruskan
dengan menempuh fase-fase pencapaian rohani dalam tingkatan-tingkatan dan
keadaan. Al-Ghazali juga menjadikan tasawuf sebagai sarana untuk berolah rasa dan
berolah jiwa, sehingga sampai pada makrifat yang membantu menciptakan (
Sa’adah).
2. Tasawuf Falsafi
Tasawuf Falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal Tuhan
(makrifat) dengan pendekatan rasio (filsafat) hingga menuju ke tingkat yang lebih
tinggi, bukan hanya mengenal Tuhan saja (ma’rifatullah) melainkan yang lebih tinggi
dari itu yaitu wihdatul wujud (kesatuan wujud). Bisa juga dikatakan tasawuf falsafi
yakni tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat. 27
Di dalam tasawuf falsafi metode pendekatannya sangat berbeda dengan tasawuf
sunni atau tasawuf salafi. Kalau tasawuf sunni dan salafi lebih menonjol pada segi
praktis, sedangkan tasawuf falsafi menonjol pada segi teoritis. Sehingga dalam
konsep-konsep tasawuf falsafi lebih mengedepankan asas rasio dengan
pendekatan-pendekatan filosofis yang ini sulit diaplikasikan ke dalam kehidupan
sehari-hari khususnya bagi orang awam, bahkan bisa dikatakan mustahil28. Mengapa
dikatakan tasawuf falsafi ini sulit diaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari orang
awam dikarenakan ajaran tasawuf ini diungkapkan de kata-kata yang samar sehingga
sulit dipahami walaupun didasarkan pada dalil naqliyah.

27
Zulkifli dan Jamaluddin, Akhlak Tasawuf: Jalan Lurus Mensucikan Diri, (Cet. I:
Yogyakarta: Kalimedia, 2018) hal. 47.
28
Ibid.

16
Perkembangan tasawuf sebagai metode dan amalan mewujudkan kesucian batin
dalam perjalanan mendekati Allah SWT. juga telah menarik perhatian para pemikir
muslim yang berlatar belakang teologis dan filosofis. Konsep mereka disebut tasawuf
filosofis, atau tasawuf yang kaya akan pemikiran filosofis. Doktrin filosofis yang
paling umum dalam analisis tasawuf adalah pemahaman tentang Neoplatonisme. Ini
merupakan perpaduan filosofis dengan tasawuf yang pertama kali dikemukakan oleh
para filosof muslim yang memiliki pengetahuan tentang Hellenisme pada saat itu
(berbicara dan bertindak seperti orang Yunani) pengetahuan. Misalnya, Al-Kindi
adalah seorang filsuf Muslim terkenal yang menggunakan konsep neo-Platonian
untuk membahas Tuhan29.
Neoplatonisme sendiri adalah gabungan antara ajaran Plato dan Aristoteles
yang dicetuskan oleh Plotinus yang mana seluruh ajaran filsafatnya berputar pada
konsep kesatuan yang disebutnya dengan “Yang Esa”. Ajaran Filosofi Plotinus ini
menjelaskan tentang keyakinan bahwa “Yang Esa” adalah satu yang tidak ada
pertentangan di dalamnya. “Yang Esa” adalah asal dari segala sesuatu dan “Yang
Esa” ini adalah sempurna sehingga tidak membutuhkan apa-apa. 30
Pada saat itu istilah tasawuf filosofis masih belum banyak dikenal, setelah itu
hanya tokoh-tokoh teosofi yang mendapatkan popularitas seperti Abu Yazid
al-Bustami dan Ibnu Masarrah (w. 381 H), berasal dari Andalusia dan sekaligus
perintis dari tasawuf. Orang kedua yang menggabungkan teori filsafat dengan tasawuf
adalah Suhrawardi al-Maqtu, yang berkembang di Persia atau Iran. Masih banyak
tokoh sufistik filosofis yang berkembang di Persia, seperti al-Hallaj, dengan
anggapan bahwa al-hulul adalah gabungan antara manusia dan Tuhan. Perkembangan
tertinggi tasawuf filosofis memang telah dicapai dengan konsepsi bentuk al-Wahdatul
wujud sebagai produk pemikiran mistik Ibn Arabi31. Banyak pertentangan yang
terjadi dalam konsep al-wahdatul wujud ini karena konsepnya yang sulit dimengerti.

29
Ibid., hal. 50.
30
Amroeni Drajat, Suhrawadi: Kritik Falsafah Peripatetik, (Jogjakarta: LKiS, 2005) hal. 104.
31
Ibid.

17
Berikut ini konsep pemikiran dari tasawuf falsafi:
a. Hulul
Hulul secara harfiyah berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia
tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya
melalui fana’. Menurut keterangan Abu Nasr al-Tusi dalam al-Luma’ yang dikutip
Harun Nasution, adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih
tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah
kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan. Paham bahwa Allah dapat
mengambil tempat pada diri manusia ini, bertolak dari dasar pemikiran al-Hallaj
yang mengatakan bahwa pada diri manusia terdapat dua sifat dasar, yaitu lahut
(ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan).32
Al-Hulul dapat digambarkan sebagai tahap penyatuan spiritual antara
manusia dan Tuhan. Tujuan dari hulul ini adalah untuk mencapai kesatuan batin.
Untuk itu, Hamka mengatakan bahwa al-Hulul adalah ketuhanan (Rahut) yang
menjelma dalam diri manusia (Nasut) dan ini terjadi ketika kebatinan seseorang
disucikan dalam perjalanan hidup batinnya.33
Melihat konsep Hulul ini dapat difahami bahwa bila seorang sufi telah
mencapai tahap fana’ yang mana fana’ sendiri adalah melenyapkan sifat-sifat
kemanusiaannya seperti syahwat dan hawa nafsu, maka sufi tersebut akan bisa
dipilih oleh Tuhan untuk diambil tempatnya sehingga mencapai kesatuan batin
tersebut.

32
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Cet. 10: Jakarta: PT Rajawali Pers, 2011) hal. 239-240.
33
Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, (Cet. XI: Jakarta: Pustaka Panjimas,
1984) hal. 120.

18
b. Wahdat al-Wujud
Wahdat al-wujud berarti kesatuan wujud. Pemahaman ini merupakan
perluasan dari hulul dan dicetuskan oleh Muhi al-Din Ibnu al-Arabi, yang lahir di
Murcia, Spanyol pada tahun 1165 M. Di sana ia bergabung dengan gerakan Sufi.
Dalam paham ini, nasut yang ada pada hulul diubah oleh Ibnu al-Arabi menjadi
khalq (makhluk) dan lahut menjadi haq (Tuhan). khalq dan haq adalah dua aspek
bagi tiap sesuatu. Sinonimnya al-zhahir dan al-batin.34
Falsafat ini timbul dari paham bahwa Allah sebagaimana diterangkan dalam
uraian hulul, ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya, oleh karena itu dijadikan-Nya
alam ini. Maka alam ini merupakan cermin bagi Allah. Di kala Ia ingin melihat
diri-Nya, Ia melihat kepada alam. Pada benda-benda yang ada dalam alam, karena
dalam tiap-tiap benda itu terdapat sifat ketuhanan, Tuhan melihat diri-Nya35. Maka
dapat diartikan bahwa Allah menciptakan alam semesta ini sebagai bagian
dari-Nya yang memiliki sifat-sifat-Nya.
Dari sini timbullah paham kesatuan. Sebagaimana orang yang melihat
dirinya dalam beberapa cermin yang diletakkan di sekelilingnya, di dalam tiap
cermin ia melihat dirinya; dalam cermin itu dirinya kelihatan banyak, tetapi
dirinya sebenarnya satu. Dapat dikatakan, makhluk atau yang dijadikan oleh
Tuhan, wujudnya bergantung pada wujud Tuhan yang bersifat wajib. Tegasnya
yang sebenarnya mempunyai wujud hanyalah satu, yaitu Tuhan. Wujud selain dari
Tuhan adalah wujud bayangan.36
Konsep Wahdat al-Wujud ini hampir sama dengan konsep emanasi yang
dicetuskan oleh Plotinus mengenai bahwa Tuhan adalah satu yang merupakan asal
dari segala sesuatu. Akan tetapi konsep wahdat al-Wujud ini pada dasarnya
menjelaskan tentang kesatuan wujud dikarenakan alam semesta ini merupakan
bentuk cerminan dan bagian dari Tuhan itu sendiri.
34
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, (Cet. XII: Jakarta: Bulan Bintang,
2014) hal. 75.
35
Ibid., hal. 76.
36
Ibid., hal. 77.

19
c. Al-Ittihad
Yang dimaksud dengan ittihad tampaknya adalah tahapan tasawuf ketika
seorang sufi merasa menyatu dengan Tuhan. Sejauh mana yang dicintai dan yang
dicintai dapat menjadi satu dan yang satu dapat berkata kepada yang lain:Hai aku.
A.R al-Badawi mengatakan bahwa dalam ittihad yang dilihat hanya satu wujud,
sungguhpun sebenarnya ada dua wujud yang terpisah satu sama lain. Karena yang
dilihat dan dirasakan hanya satu wujud, maka dalam ittihad bisa terjadi pertukaran
peranan antara yang mencintai dan yang dicintai atau tegasnya antara sufi dan
Tuhan. Dalam ittihad, “identitas telah hilang, identitas telah menjadi satu”. Sufi
yang bersangkutan, karena fana’-nya telah tak mempunyai kesadaran lagi, dan
berbicara dengan nama Tuhan.37
Al-Ittihad ini merupakan lanjutan dari hulul dan wahdat al-wujud yang mana
ketika Tuhan sudah memilih seorang sufi yang sifat-sifat kemanusiaannya sudah
hilang kemudian terjadilah wahdat al-wujud atau penyatuan wujud dikarenakan
penciptaan alam semesta ini merupakan bagian dari Tuhan itu sendiri dan
selanjutnya al-Ittihad ini, yakni tahapan penyatuan antara Tuhan dan seorang sufi
sehingga dapat berbicara dengan nama Tuhan.
d. Al-Fana
Di Ma’rifah, kita tahu bahwa ketika seorang sufi mencapai tingkat ini, dia
melihat Tuhan dengan mata hatinya. Dengan mencapai tingkat ini, sufi menjadi
lebih dekat dengan Tuhan, dan semakin tinggi tingkat pengetahuannya, semakin
dekat dengan Tuhan, hingga akhirnya menjadi satu dengan-Nya, yang disebut
Ittihad dalam bahasa sufi. Tapi sebelum seorang sufi bisa bersatu dengan Tuhan,
dia harus menghancurkan dirinya sendiri. Sebelum dia belum dapat
menghancurkan dirinya, yaitu selama dia sadar akan diri sendiri, dia tidak dapat
menjadi satu dengan Tuhan. Penghancuran diri ini disebut fana’ dalam tasawuf. 38

37
Ibid., hal. 67.
38
Ibid., hal. 63.

20
Fana yang dicari para sufi adalah penghancuran diri, al-fana 'an al-nafs.
Al-fana 'an al-nafs adalah penghancuran emosi, atau kesadaran akan keberadaan
tubuh kasar manusia. Ketika seorang sufi telah mencapai al-fana 'an al-nafs, yaitu
ketika bentuk fisiknya tidak ada lagi (dalam arti dia tidak lagi menyadarinya),
bentuk wujud rohaninya tetap ada, pada saat inilah mereka dapat bersatu dengan
Tuhan. Dan penyatuan dengan Tuhan ini tampaknya terjadi segera setelah
mencapai al-fana ‘an al-nafs. Tak ubahnya dengan fana’ yang terjadi karena
ketidaktahuan akan maksiat dan perilaku buruk di atas. Setelah hal-hal ini
dihancurkan, yang tersisa adalah pengetahuan, ketakwaan, dan perilaku baik. 39
Jadi, dapat disimpulkan bahwa fana’ ini dilakukan sebelum tahap ittihad atau
penyatuan dengan Tuhan yang mana seorang sufi harus menghancurkan diri atas
perbuatan-perbuatan buruk seperti syahwat dan hawa nafsu sehingga hanya
meninggalkan pengetahuan, ketakwaan dan perilaku yang baik saja agar
diharapkan dapat dipilih oleh Tuhan untuk bersatu dan berbicara dengan-Nya
secara rohaniyah.
Berikut ini tokoh-tokoh dari tasawuf falsafi:
a. al-Hallaj
Nama lengkapnya Husain Bin Mansur Al-Hallaj dan lahir pada tahun 244
H/858 M di negara Bayda, salah satu kota Persia. Dia dipenjara dan dibebaskan
dari penjara karena berkonfrontasi dengan ulama fiqh atas pandangan sufinya yang
aneh. Akhirnya, pada tahun 309 H/921 M, khalifah Bani Abbas Al-Mu'tasim
Billah memutuskan bahwa Al-Hallaj dijatuhi hukuman mati. 40

39
Ibid., hal. 64.
40
M. Solihin dan Rosyid Anwar, Akhlaq Tasawuf, (Bandung: Nuansa, 2005), hal. 211-212.

21
Al Hallaj memperkenalkan konsep hulul. Artinya, menurut bahasa,
menempati suatu tempat. Di sisi lain, menurut istilah, itu berarti bahwa Tuhan
memilih tubuh manusia tertentu untuk diduduki setelah menghilangkan jati diri
manusia dari tubuh manusia tersebut. Mengutip ayat 34 dari Al-Baqarah, “Dan
(ingatlah) ketika Kami berfirman kepada Para Malaikat: ‘Sujudlah kamu kepada
Adam’, Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia
Termasuk golongan orang-orang yang kafir”. Sujud disini berarti menghormati dan
memuji Adam, bukan sujud sebagai hamba, sujud sebagai hamba hanyalah
dihadapan Allah. Jadi pada dasarnya, manusia memiliki dua kodrat: manusiawi
dan ilahi. Jika manusia dapat menghilangkan kemanusiaannya, maka Tuhan dapat
mengambil tempat dalam dirinya.41
Seperti penjelasan di atas, Al-Hallaj beranggapan bahwa perintah Allah
kepada malaikat untuk bersujud kepada Nabi Adam as. adalah bentuk
penghormatan kepadanya karena di dalam diri Nabi adam bukan hanya unsur
manusiawi saja, akan tetapi juga ada unsur illahi. Dari pengertian inilah konsep
hulul tercipta alasan mengapa Tuhan dapat bersatu dengan manusia yang terpilih.
b. Syekh Akbar Muhyid Al-Din Ibnu ‘Arabi
Beliau merupakan tokoh yang menganut paham Wahdatul Wujud. Dia
membangun pahamnya berdasarkan akal budi filsafat dan dzauq (perasaan). Dia
menjelaskan ajaran tasawufnya dengan bahasa yang berbelit-belit agar
menghindari fitnah dan ancaman bagi kaum awam seperti yang dialami oleh
Al-Hallaj. Menurutnya Wahdah (yang ada) itu hanya satu. Hakikatnya tidak ada
pemisah antara manusia dengan Tuhan.42

41
Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2000) hal.
140.
42
Ibid., hal. 227.

22
Kemudian menurut pendapatnya, wujud alam pada hakikatnya adalah wujud
Allah, dan Allah adalah hakikat alam. Tidak ada perbedaan antara wujud yang
qadim yang disebut Khaliq dengan wujud yang baru yang disebut makhluk43.
Seperti yang telah diterangkan sebelumnya, bahwa konsep wahdat al-wujud ini
merupakan bentuk dari hasil pancaran Tuhan yang mana Tuhan menciptakan alam
semesta ini sebagai cerminan dari wujud-Nya.
c. Abu Yazid Al-Bustomi
Nama kecil beliau adalah At-Thoifur, beliau disebut-sebut sebagai sufi yang
pertama kali memperkenalkan paham Fana’ yang berarti lenyap dan Baqa’ yang
berarti tetap. Fana’ sendiri adalah hilangnya keinginan hawa nafsu seseorang, tidak
ada pamrih dari segala perbuatan manusia, sehingga ia kehilangan segala
perasaannya dan dapat membedakan sesuatu dengan sadar dan telah
menghilangkan segala kepentingan dunia ketika berbuat sesuatu44. Sedangkan
baqa’ adalah sifat-sifat Ketuhanan yang kekal pada diri seorang sufi yang berupa
akhlak mulia, ilmu pengetahuan dan kesucian hati dan pikiran yang didapatkan
dengan bertaubat, berzikir, dan beribadah kepada-Nya.45
Dari fana’ dan baqa’ ini menimbulkan Ittihad. Dalam tahapan ini seorang
sufi bersatu dengan Tuhan. Antara yang mencintai dan yang dicintai menyatu baik
substansi maupun perbuatannya. Sehingga Al-Hallaj mengatakan “Ana al-Haq”,
yang tidak diucapkan oleh ulama fiqih dan dianggap sebagai kemurtadan.46
Dari perkataannya itu, Al-Hallaj dipenjarakan walaupun sempat melarikan
diri akan tetapi berhasil ditemukan kemudian dihukum mati dengan dieksekusi
secara tragis oleh penguasa pada saat itu tepat pada tahun 922 M. Ia dianggap telah
mengajarkan ajaran yang berlebihan tentang pengakuannya sebagai Tuhan dan
penyatuannya dengan Tuhan.

43
Ibid., hal. 147.
44
Ibid., hal. 136.
45
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf…Log.cit.,hal. 233.
46
Ibid.

23
3. Tasawuf Syiah
Tasawuf Syi’i ialah tasawuf yang menganggap bahwa manusia akan
manunggal dengan Tuhannya karena ada kesamaan esensi antara keduanya. Hal ini
sebagaimana dijelaskan dalam tasawuf falsafi di mana al-Hallaj merumuskan teorinya
dalam doktrin ‘Hulul’, yakni perpaduan insan dengan Tuhan secara ruhaniyah atau
makhluk dengan al-khaliq47. Al-Hallaj sendiri mengatakan bahwa pada diri manusia
itu ada dua sifat dasar, yaitu sifat ketuhanan dan kemanusiaan yang mana ia
sandarkan pada ayat al-Baqarah ayat 34 mengenai para malaikat yang sujud kepada
Nabi Adam as.
Oleh karena itu tasawuf syi’i disebut-sebut mempunyai kesamaan dengan
tasawuf falsafi. Pada tasawuf Syi’i ini melakukan penghormatan berlebihan kepada
Ali bin Abi Thalib dan sebagai imam pertama kaum Syi’ah, mereka menggabungkan
dua jenis otoritas di atas dalam satu pribadi Ali, dan menurut Syi’isme, aturan tempat
segala sesuatu menuntut imam harus mengatur dan memerintah secara spiritual dan
temporal48. Hal inilah yang membedakan antara tasawuf falsafi dengan tasawuf syi’i
yang mana tasawuf syi’i mengadakan penghormatan berlebihan kepada Ali bin Abi
Thalib.
Selanjutnya tasawuf Syi’i atau yang disebut juga tasawuf Syiah, mengajarkan
pemuliaan kepada imam secara berlebihan, bahkan tidak sedikit dari mereka yang
menuhankan imam. Hal ini merupakan perbedaan yang cukup kontras dengan
tasawuf lainnya umpamanya sunni, bahkan pada masanya Syi’i dan Sunni adalah
aliran tasawuf yang saling bertolak belakang dalam kecintaan kepada Ali Bin Abi
Thalib, karena kecintaannya yang berlebihan. Oleh karena itu, Syi’i dengan
kecintaannya yang berlebihan pada Ali Bin Abi Thalib, sehingga membatalkan
kekhalifahan khalifah sebelum Ali Bin Abi Thalib, bahkan mengkafirkan mereka. 49

47
Zulkifli dan Jamaluddin, Akhlak Tasawuf,…Log.cit., hal. 73.
48
Ibid.
49
Ibid., hal. 74.

24
Berikut ini karakteristik dari tasawuf syiah: 50
a. Ajarannya lebih dilandaskan pada ketajaman pemahaman dalam mengkaji
kedekatan antara manusia dengan Tuhan.
b. Lebih mengutamakan konsepsi keimanan.
Kemudian berikut ini tokoh-tokoh dari tasawuf syiah: 51
a. Ibnu khaldun, beliah mengangkat konsep persoalan qulub yang merupakan puncak
dari iman dan ‘abdan yang merupakan perwakilan.
b. Azyumardi Azra, beliau tidak memisahkan antara tasawuf syi’i dan tasawuf
falsafi. Ia lebih mengedepankan konsep mahabbah, ma’rifah, hulul, serta wahdatul
wujud yang kesemuanya itu merupakan konsep dari tasawuf falsafi yang
cenderung lebih abstrak.
c. Ath-thabathaba’i, beliau menjelaskan tentang ilmu ma’rifat yang mula-mula
timbul dalam dunia sunnah kemudian dikalangan kaum syi’ah.

52
TABEL 1. PERBEDAAN TASAWUF AKHLAQI DAN FALSAFI
TASAWUF AKHLAQI TASAWUF FALSAFI
Berorientasi pada amaliah al hasanah Lebih mengarah dan membawa pada
dan sesuai dengan ajaran Tuhan. kesyirikan dan paling tidak
menciptakan aqidah sesat.
Berorientasi pada aplikasi suatu ajaran Berorientasi pada pendekatan filasafat
yang lebih mengarah pada akhlaq dan secara sistematis, radikal dan universal.
tata cara berinteraksi kepada
lingkungan maupun lingkungan alam
sekitar.
Tasawuf yang berpandangan bahwa Corak tasawuf yang berupaya
antara manusia dengan tuhan masih mendekatkan kepada tuhan berdasarkan
terdapat garis pemisah atau pembeda, kedekatan personal tanpa jarak pemisah
karena tuhan berbeda dengan dan pembeda sehingga dapat mengenal
makhluknya,. tuhan dengan baik dalam bentuk
al-hulul, al-ittihad, fana dan baqa, Ibnu
Arabbi dengan kosep al wujudnya.

50
Ibid., hal. 75.
51
Ibid.
52
Abd Quddus Al-Badani, “Perkembangan Tasawuf dalam Sejarah Peradaban Islam”,
Tsaqofah Jurnal Penelitian Guru Indonesia, Volume 1, No. 2, September 2021, hal. 73-74.

25
KESIMPULAN

Moh. Syaifullah al-Aziz berpendapat bahwa kehidupan sufi telah tumbuh dan
berkembang sejak zaman Nabi Muhammad saw. dimana Nabi saw. menanamkan
pengajaran dan pembinaan kepada para sahabat. Pada aspek kehidupan, Nabi saw.
memberikan keteladanan dengan cara hidup yang sangat sederhana dan meninggalkan
kehidupan mewah sehingga menjadi contoh oleh para sahabat dan umatnya.
Sejarah perkembangan tasawuf dalam dunia Islam mengalami pasang surut,
dimana istilah tasawuf ini pada mulanya dicetuskan oleh Abu Hasyim Al-Kufi pada
pertengahan abad ke-3 Hijriyah. Pada abad ke-3 hijriyah ini perkembangan tasawuf
semakin pesat sampai ke tahun-tahun berikutnya dengan bermunculan para sufi yang
membawa pemikiran dan doktrinnya tentang tasawuf ini. Sampailah ke abad 6
hijriyah, perkembangan tasawuf mengalami peredupan disebabkan hubungan antara
ulama syariat dengan dengan ulama tasawuf memburuk akibat dihidupkan lagi
pemikiran al-hulul. Pada tahun berikutnya, yaitu pada abad ke-7 sampai sesudahnya,
ajaran tasawuf semakin meredup dan sunyi dalam dunia Islam karena ahli tasawuf
kehilangan kepercayaan di kalangan masyarakat Islam, disebabkan pemikiran tasawuf
dianggap menjadi sumber perpecahan umat Islam.
Dalam perkembangan tasawuf ini, telah memunculkan perbedaan pokok
ajaran yang terdiri dari tiga aliran, yang pertama adalah tasawuf akhlaqi, yang bisa
disebut sebagai tasawuf sunni karena memiliki kesamaan, yakni berlandaskan pada al
Qur’an dan Sunnah, yang mana tasawuf akhlaki ini menonjolkan pendekatan kepada
Tuhan dengan akhlak atau perbuatan yang baik dan menjauhkan perilaku tercela.
Kemudian ada tasawuf falsafi, dimana tasawuf ini menghasilkan pemikiran yang
kontroversi di kalangan umat Islam karena dianggap menyesatkan dalam akidah. Tak
jauh berbeda dengan tasawuf syiah, dimana disebutkan bahwa tasawuf ini hampir
sama dengan tasawuf falsafi, yang membedakannya hanya tasawuf syiah ini lebih

26
mengedepankan dalam pemikirannya yang mencintai Ali bin Abi Thalib secara
berlebihan.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Aziz, Moh Syaifullah. Risalah Memahami Akhlak Tasawuf. Surabaya: Terbit
Terang, 1998.
Alba, Cecep. Tasawuf dan Tarekat. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012.
Al-Badani, Abd Quddus. “Perkembangan Tasawuf dalam Sejarah Peradaban Islam”.
Tsaqofah Jurnal Penelitian Guru Indonesia 1, No. 2 (2021): 73-74.
Amin, Samsul Munir. Ilmu Tasawuf. Jakarta: Amzah, 2015.
Drajat, Amroeni Drajat. Suhrawadi: Kritik Falsafah Peripatetik. Jogjakarta: LKiS,
2005.
Anwar, Rosihon. Akhlaq Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 2016.
Anwar, Rosihon dan Muchtar Solihin. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Badruddin. Akhlak Tasawuf. Serang: IAIB PRESS, 2015.
Daradjat, Zakiah dan Hasbi AR. Pengantar Ilmu Tasawuf. Proyek pembinaan
Perguruan Tinggi Agama Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara,
1981/1982.
Hamka. Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta: Pustaka Panjimas,
1984.
Mahjuddin. Akhlak Tasawuf. Jakarta:Kalam Mulia, 2010.
Habibatullah, Salwa. dkk. “Potensi Bahasa Anak Usia Dini 5-6 Tahun melalui
Metode Bercerita”. PAUD Lectura: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini 4, No 2
(2021): 2.
Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf II. Jakarta: Kalam Mulia, 2010.
____. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT Rajawali Pers, 2011.
Nasution, Ahmad Bangun. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2013.
Nasution, Harun. Falsafat dan Mistisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 2014.
Solichin, Muhammad Muchlis. Akhlaq Tasawuf. Surabaya: Pena Salsabila, 2013.
Solihin, M. dan Rosyid Anwar. Akhlaq Tasawuf. Bandung: Nuansa, 2005.

27
Zulkifli dan Jamaluddin. Akhlak Tasawuf: Jalan Lurus Mensucikan Diri. Yogyakarta:
Kalimedia, 2018.

28

Anda mungkin juga menyukai