Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS PADA KASUS INFARK MIOKARD

DISUSUN OLEH KELOMPOK 4


1. LIA JUNITA
2. SUNARDI
3. ZULHIJAH
4. ZIKRI HIDAYAT

PRODI S1 KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM PONTIANAK
TAHUN AKADEMIK 2023/2024

i
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji kehadirat Allah Subhanahuwata’ala,


pencipta alam semesta, tidak lupa sholawat dan salam semoga
dilimpahkan kepada Nabi Muhammad ‫ﷺ‬. karena atas rahmat dan
karunia Allah tugas ini dapat kami selesaikan. Tidak lupa kami
ucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing dan teman–teman
semua yang telah berpartisipasi dalam pembuatan makalah ini.
Tugas ini dibuat untuk memenuhi tugas akademik terstruktur mata
kuliah keperawatan kritis Studi S1 Keperawatan dan untuk
memudahkan mahasiswa dalam memahami makalah ini.
Demikianlah makalah ini kami susun. Dengan harapan dapat
bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya. Kami menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu, semua
kritik dan saran senantiasa kami harapkan untuk kesempurnaan
makalah ini agar menjadi lebih baik.

Pontianak, 12 Oktober 2023

Kelompok 4

1
2

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................................1
DAFTAR ISI..................................................................................................................................2
BAB I.............................................................................................................................................1
PENDAHULUAN..........................................................................................................................1
A. Latar Belakang...................................................................................................................1
B. Tujuan.................................................................................................................................2
1. Tujuan Umum.................................................................................................................2
2. Tujuan Khusus................................................................................................................2
C. Metode Dan Sitematika Penulisan.....................................................................................2
BAB II............................................................................................................................................3
TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................................................3
A. Konsep Miokard Akut......................................................................................................3
1. Definisi..........................................................................................................................3
2. Etiologi...........................................................................................................................3
3. Patofisisiologi.................................................................................................................6
4. Phatway..........................................................................................................................8
5. Manisfestasi Klinis.........................................................................................................9
6. Komplikasi.....................................................................................................................9
7. Pemeriksaan penunjang..................................................................................................9
8. Penatalaksanaan............................................................................................................10
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan................................................................................13
1. Pengkajian....................................................................................................................13
2. Diagnosa Keperawatan................................................................................................16
3. Rencana keperawatan...................................................................................................17
4. Implementasi................................................................................................................20
5. Evaluasi........................................................................................................................20
BAB III.........................................................................................................................................21
PEMBAHASAN..........................................................................................................................21
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Infark miokardium adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh
penurunan suplai darah akibat penyempitan kritis arteri koroner karena
aterosklerosis atau penyumbatan total arteri oleh emboli atau trombus.
Penurunan aliran darah koroner juga bisa diakibatkan oleh syok atau perdarahan
sehingga terjadi ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
jantung.(Suzanne, 2012). Menurut (WHO, 2012) menyatakan bahwa salah satu
penyakit silint killer yang masih menjadi masalah kesehatan nomor satu di dunia
merupakan penyakit jantung, sehingga jika seseorang mengalami permasalahan
dengan organ jantung maka akan sangat memperngaruhi dan menganggu
aktifitasnya.
Berdasarkan Data global penyakit cardiovaskuler khususnya Infark Miokard
Akut di dunia merupakan penyebab terbesar (39%) (Kemenkes, 2012) bahkan
infark miokard akut mempunyai tingkat mortalitas yang tinggi di Negara amerika
pada tahun 2006 tercatat mencapai kurang lebih 64,5 juta jiwa yang mengalami
infark miokard akut (Farris et al., 2013) tentu hal tersebut butuh perhatian khusus
bagi pemerintah untuk mengurangi angka kejadian penyakit berbahaya tersebut,
sedangkan dinegara Indonesia infark miokard akut selama tahun ke tahun
meningkat data survey kesehatan rumah tangga (SKRT) pada tahun 1992 2
menyatakan bahwa penyakit kardiovaskuler yang masih menduduk posisi teratas
yang meyebabkan angka mortalitas tinggi mencapai 220.000 jiwa, sedangkan pada
tahun 2007 mencapai 239.548 jiwa (HM. Askari A. 2014). Menurut hasil Riset
Kesehatan Dasar (RISKESDAS, 2013) prevalensi penyakit IMA tertinggi yaitu
Sulawesi Tengah (0,8%) diikuti Sulawesi Utara, DKI Jakarta, dan Aceh, masing-
masing 0,7%.
Dalam survey pendahuluan yang di lakukan peneliti di RS Haji Surabaya
didapatkan jumlah pasien dengan diagnose medis infark miokard akut sebanyak 30
pasien pada bulan juni - agustus 2017, dan dalam tahun 2017 penderita Infark
Miokard Akut di ruang HCU Haji Surabaya sebanyak 51 pasien hal ini semakin
meningkat setiap bulannya. Infark miocard akut terjadi karena adanya
ketidakseimbangan kebutuhan oksigen pada miokard karena terdapat robekan plak

1
2

aterosklerotik sehingga jumlah darah yang mengalir melalui arteri berkurang yang
dapat menyebabkan inflamasi, dan terjadi thrombosis pada jaringan, dan berujung
pada kerusakan vasokontriksi pada dinding jaringan jantung ,dan mikroembolisasi
yang menyebabkan nyeri terjadi di dada sehingga dari penyakit jantung seperti
Infark Miokard Akut mengakibatkan masalah keperawatan masalah utama nyeri
menjadi masalah yang sering terjadi, Untuk itu sebagai perawat harus melakukan
pemberian asuhan keperawatan profesional yang aktual, tepat, dan meningkatan
kualitas pelayanan pada pasien dengan Infark Miokard Akut untuk mengatasi
masalah nyeri pada pasien IMA (Infark Miokard Akut), Menurut American Heart
Association dalam (Wijdicks et al., 2014) menyatakan bahwa salah satu kematian
terbanyak pada penyakit kardiovaskuler yaitu Infark Miokard Akut, karena
terjadinya satu kematian akibat penyakit kardiovaskuler 3 ada tiap 33 detik.
Infark miokardium adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh
penurunan suplai darah akibat penyempitan kritis arteri koroner karena
aterosklerosis atau penyumbatan total arteri oleh emboli atau trombus.(Suzanne,
2012). Infark miokard akut terjadi jika suplai oksigen tidak sesuai dengan kebutuhan dan
tidak tertangani dengan baik sehingga menyebabkan kematian sel-sel jantung tersebut.
Tanda dan gejala yang dirasakan penderita infark miokard diantaranya ialah nyeri dada
sebelah menjalar ke lengan kiri, bahu, rahang kiri, punggung kiri, dan area nyeri
epigastric, Sesak napas, mual, muntah, cegukan, palpitasi, rasa pusing atau sinkop.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dialkukan diatananya Elektrokardiografi dan
pemeriksaan Laboratorium (Pemeriksaan enzim jantung). (Aspiani, 2015).
Masalah keperawatan yang sering muncul pada kasus infark miokard diantaranya
ialah Gangguan pertukaran gas b.d perubahan membrane alveolus-kapiler, Nyeri akut b.d
agen pencedera fisiologis(iskemia), Penurunan curah jantung b.d perubahan irama
jantung(SDKI PPNI, 2017). Keperawatan kritis merupakan perawatan yang mengkhususkan
pada hal-hal yang mengancam nyawa. Pasien dengan sakit yang parah beresiko tinggi untuk
mengalami atau berpotensi terhadap kondisi yang mengancam nyawan (Hawks, 2014).
Perawat perawatan kritis adalah praktek dalam pengaturan dimana pasien memerlukan
pengkajian yang kompeks, terapi intensitas tinggi dan intervensi dan berkesinambungan
kewaspadaan keperawatan. Perawat perawatan kritis mengandalkan tubuh khusus
pengetahuan, keterampilan dan pengalaman, atau memberikan perawatan kepada pasien dan
keluarga dan menciptakan lingkungan yang menyembuhkan, manusiawi dan peduli.
(Suwardianto, 2020)
3

Untuk itu perlu adanya pencegahan primer-identifikasi dini bagi timbulnya


penyakit kardiovaskuler penting dilakukan untuk menurunkan angka mortalitas,
morbiditas, dan angka kecacatan. Dan perawat dituntut untuk selalu mengupgrade
pengetahuan dan skillnya agar jika menemukan suatu permasalahan
kegawatdaruratan dapat memangani secara cepat dan tepat sehingga diharapkan
dapat menolong pasien dalam hal ini penderita Infark Miocard Akut.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
terstruktur mata kuliah keperawatn kritis dan untuk memberikan wawasan
kepada mahasiswa/i tentang Infark Miokard Akut
2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari pembuatan makalah ini adalah untuk
mengetahui ;
a. Konsep dasar Infark Miokard Akut
b. Konsep dasar asuhan keperawatan Infark Miokard Akut
C. Metode Dan Sitematika Penulisan
Sitematika penulisan dalam makalah ini yakni:
BAB I : Pendahuluan : Latar Belakang, Tujuan, Metode Penulisan dan Sistematika
Penulisan
BAB II : Tinjauan Pustaka : Glaukoma, Katarak
BAB III : Pembahasan: hasil penelitian dan implikasi
BAB IV : Penutup : Kesimpulan dan saran
D.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Miokard Akut
1. Definisi
Infark miokardium adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh

penurunan suplai darah akibat penyempitan kritis arteri koroner karena

aterosklerosis atau penyumbatan total arteri oleh emboli atau trombus.

Penurunan aliran darah koroner juga bisa diakibatkan oleh syok atau

perdarahan sehingga terjadi ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan

oksigen jantung.(Suzanne, 2012).

Infark miokard adalah suatu keadaan ketika secara tiba tiba

pembatasan atau Pemutusan aliran darah ke jantung yang menyebabkan

kematian jaringan pada otot jantung (miokardium) karena kekurangan suplai

oksigen, proses iskemik miokardium lama yang mengakibatkan kematian

(nekrosis) jaringan otot miokardium tiba- tiba (Aspiani, 2015)

2. Etiologi
Infark miokard akut terjadi jika suplai oksigen tidak sesuai dengan

kebutuhan dan tidak tertangani dengan baik sehingga menyebabkan kematian sel-sel

jantung tersebut. Beberapa hal yang menimbulkan gangguan oksigenisasi tersebut

diantaranya:

a. Berkurangnya suplai oksigen ke miokard

Menurunnya suplai oksigen disebabkan oleh 3 faktor berikut ini.

1) Faktor pembuluh darah

Hal ini berkaitan dengan kepatenan pembuluh darah sebagai jalan

darah mencapai sel jantung. Beberapa hal yang dapat menganggu kepatenan

pembuluh darah diantaranya aterosklerosis, spasme, dan arteritis. Spasme

pembuluh darah dapat juga terjadi pada orang yang tidak memiliki riwayat

4
5

penyakit jantung sebelumnya dan biasanya dihubungkan dengan beberapa hal,

seperti mengonsumsi obat-obatan tertentu, stress emosi atau nyeri, terpajan

suhu dingin yang ekstrem, dan merokok

2) Faktor sirkulasi

Sirkulasi berkaitan dengan kelancaran peredaran darah dari jantung

ke seluruh tubuh hingga kembali lagi ke jantung. Sehingga hal ini tidak akan

lepas dari faktor pemompaan dan volume darah yang dipompakan. Kondisi

yang menyebabkan gangguan pada sirkulasi diantaranya kondisi hipotensi.

Stenosis maupun insufisiensi yang terjadi pada katup jantung (aorta, mitralis,

trikuspidalis) menyebankan penurunan curah jantung. Penurunan curah jantung

yang diikuti oleh penurunan sirkulasi menyebabkan beberapa bagian tubuh

tidak tersuplai darah dengan adekuat, termasuk dalam hal ini otot jantung.

3) Faktor darah

Darah merupakan pengangkut oksigen dengan menuju suluruh bagian

tubuh. Jika daya angkut berkurang maka sebagus apapun pembuluh darah dan

pemompaan jantung tetap tidak cukup membantu. Hal yang menyebabkan

terganggunya daya angkut darah, antara lain anemia, hipoksemia, dan

polisitemia.

b. Meningkatnya kebutuhan oksigen pada tubuh

Pada orang normal meningkatnya kebutuhan oksigen mampu dikompensasi

tubuh dengan meningkatkan denyut jantung untuk meningkatkan curah jantung.

Akan teteapi, jika orang terssebut telah mengidap penyakit jantung, mekanisme

kompensasi justru pada akhirnya makin memperberat kondisinya karena kebutuhan

oksigen semakin meningkat, sedangkan suplai oksigen tidak bertambah, oleh

sebab itu, segala aktivitas yang menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen akan

memicu terjadinya infark. Misalnya, aktivitas berlebih, emosi, makan terlalu

banyak dan lain-lain. Hipertrofi miokard dapat memicu terjadinya infark karena
6

semakin banyak sel yang harus disuplai oksigen, sedangkan asupan oksigen

menurun akibat dari pemompaan yang tidak efektif.

c. Faktor lainnya

1) Sumbataan pada arteri koroner

serangan jantung biasanya terjadi jika suatu sumbatan pada arteri

koroner menyebabkan terbatasnya atau terputusnya alliran darah kesuatu

bagian dari jantung. Jika terputusnya atau brkurangnya aliran darah ini

berlangsung lebih dari beberapa menit, maka jaringan jantung akan mati. Plak

aterosklerotik dapat menyebabkan suatu bekuan darah setempat (trombus) dan

akan menyumbat arteria. Trombus dimulai pada tempat plak aterosklerotik

yang telah tumbuh sedemikian besar sehingga telah memecah lapisan intima

sehingga langsung bersentuhan dengan aliran darah. Karna plak tersebut

menimbulkan permukaan yang tidak halus bagi darah, trombosit mulai

melekat, fibrin mulai menumpuk dan sel-sel darah terjaring dan menyumbat

pembuluh tersebut. Kadang bekuan ersebut terlepas dari tempat melekatnya

( pada plak aterosklerotik) dan mengalir kecabang arteria koronaria yang lebih

perifer pada arteri yang sama.

2) Sirkulasi kolateral didalam jantung

Bila arteri koronaria perlahan menyempit dalam periode bertahun- tahun,

pembuluh kolateral dapat berkembang pada saat yang sama dengan

perkembangan aterosklerotik. Akan tetapi, pada akhirnya proses sklerotik

berkembang diluar batas penyediaan pembuluh koloteral untuk memberikan

aliran darah yang diperlukan. Bila ini terjadi maka hasil kerja otot jantung

menjadi sangat terbatas, terkadang demikian terbatas sehingga jantung tidak

dapat memompa jumlah aliran darah normal yang diperlukan. Penurunan

kemampuan memompa jantung berhubungan dengan luas dan lokasi kerusakan

jaringan infark. Jika lebih dari separuh jaringan jantung yang mengalami

kerusakan , biasanya jantung tidak dapat berfungsi dan kemungkinan terjadi


7

kematian. Bahkan kerusakan tidak luas , jantung tidak mampu memompa

dengan baik sehingga terjadi gagal jantung atau syok. Jantung yang mengalami

kerusakan dapat membesar dan sebagian besar merupakan usaha jantung untuk

mengompensasi kemampuan memompa yang menurun ( karna jantung yang

lebih besar akan berdenyut lebih kuat). Jantung yang membesar juga

merupakan gambaran dari kerusakan otot jantungnya sendiri. Pembesaran

jantung setelah suatu sserangan jantung memberi prognosis yang lebih buruk.

d. Penyebab lain: embolus

Penyebab lain dari serangan jantung adalah suatu berkuan dari bagian

jantungnya sendiri. Terkadang embolus terbentuk didalam jantung lalu pecah dan

tersangkut di arteri koroner. Spasme pada arteri koroner menyebabkan aliran darah

berhenti. Spasme ini dapat disebabkan oleh obat (seperti kokain) atau merokok,

tetapi terkadang tidak diketahui penyebabnya.

e. Faktor Resiko

Faktor resiko terjadinya infark miokard akut dibagi menjadi dua golongan,

yaitu faktor risiko yang dapat diubah dan faktor resiko yang tidak dapat diubah.

1) Faktor resiko yang dapat diubah

a) Mayor, seperti merokok, hipertensi, obesitas, hiperlipidemia,

hiperkolesterolemia, dan pada pola makan (diit tinggi lemak dan tinggi

kalori)

b) Minor, seperti stress, kepribadian tipe A (emosional, agresif, ambivalen)

dan kurang aktivitas fisik

2) Faktor resiko yang tidak dapat diubah

Faktor resiko ini meliputi hereditas/keturunan, usia lebih dari 40 tahun,

ras (insiden lebih tinggi pada orang berkulit hitam), wanita post menopause,

dan secara umum pria lebih sering mengalami penyakit infark miokard

(Aspiani, 2015)
8

3. Patofisisiologi
Infark miokard akut sering terjadi pada orang yang memiliki satu atau lebih

faktor resiko seperti obesitas, merokok, hipertensi dan lain lain. Faktor ini disertai

dengan proses kimiawi terbentuknya lipoprotein ditunika intima yang dapat

menyebabkan infeksi fibrin dan patelet sehingga menimbulkan cedera endotel

pembuluh darah koroner. Interaksi tersebut menyebabkan invasi dan akumulasi lipid

yang akan membentuk plak fibrosa. Timbunan plak menimbulkan lesi komplikata yang

dapat menimbulkan tekanan pada pembuluh darah dan apabila rupture dapat terjadi

trombus.

Trombus yang menyumbat pembuluh darah menyebabkan aliran darah berkurang

sehinnga suplai oksigen yang diangkut darah kejaringan miokardium berkurang yang

berakibat penumpukan asam laktat. Asam laktat yang meningkatkan menyebabkan

nyeri dan perubahan PH yang pada akhirnya menyebabkan perubahan sistem konduksi

jantung sehingga jantung mengalami distrimia. Iskemik yang berlangsung lebih dari 30

menit menyebabkan kerusakan otot jantung yang ireversibel dan kematian otot jantung

(infark).

Miokardium yang mengalami kerusakan otot jantung atau nekrosis tidak lagi

dapat memenuhi fungsi kontraksi dan menyebabkan keluarnya enzim dari intrasel ke

pembuluh darah yang dapat dideteksi dengan pemeriksaan laboratorium . otot jantung

yang infark mengalami perubahan selama penyembuhan. Mula-mula otot jantung yang

mengalami infark tampak memar dan sianotik karena darah didaerah sel tersebut

terhenti dalam jangka waktu 24 jam timbul edema sel dan terjadi respons peradangan

yang disertai infiltrasi leukosit.

Infark miokard yang menyebabkan fungsi ventrikel terganggu karena otot

kehilangan daya kontraksi, sedangkan otot yang iskemik disekitarnya jugta mengalami

gangguan dalam daya kontraksi. Secara fungsional, infark miokardium akan

mengakibatkan perubahan pada daya kontraksi, gerakan dinding abnormal, penurunan

stroke volume, pengurangan ejeksi , peningkatan volume akhir sistolik dan penurunan
9

volume akhir diastolik ventrikel. Keadaan tersebut menyebabkan kegagalan jantung

dalam memompa darah (dekompensasi kordis). Ketika darah tidak lagi dipompa,

suplai darah, dan oksigen sistemik menjadi tidak adekuat sehingga menimbulkan gejala

kelelahan. Selain itu dapat terjadi akumulasi cairan di paru (edema paru) dengan

manisfestasi sesak nafas.

Kebanyakan klien mencari pengobatan karena manisfestasi nyeri dada seperti

angina tapi lebih hebat. Serangan tersebut terjadi ketika klien dalam keadaan istirahat,

sering terjadi di dini hari. Paling nyata dirasakan didaerah subternal kemudian menjalar

kedua lengan, kerongkong atau dagu atau abdomen sebelah atas (sering kali mirip

dengan kolik kolelitiatis, kolelitiasis akut, ulkus peptikum akut, atau pankreatitis akut).

Mual dan muntah sering kali menyertai nyeri(Aspiani, 2015)


10

4. Phatway

(Aspiani, 2015)

5. Manisfestasi Klinis
Tanda dan gejala pada infark miokard akut, antara lain sebagai berikut:

a. Nyeri dada sebelah kiri nyeri menjalar ke lengan kiri, bahu, rahang kiri, punggung

kiri, dan area nyeri epigastrik. Sifat nyeri seperti ditekan, rasa tertindih benda berat,

seperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir, durasi nyeri ≥30 menit.

b. Sesak napas
11

c. Gejala gastrointestinal, seperti mual, muntah, cegukan.

d. Gejala lain, seperti palpitasi, rasa pusing atau sinkop dan gejala akibat emboli arteri

(Aspiani, 2015)

6. Komplikasi
a. Mati mendadak

b. Aritmia

c. Nyeri menetap

d. Angina

e. Gagal jantung

f. Ketidakmampuan mitral

g. Pericarditis

h. Ruptur jantung

i. Thrombosis mural

j. Aneurisma ventrikel

k. Emboli pulmo(Astriani & Putra, 2020)

7. Pemeriksaan penunjang
a. Elektrokardiografi

Hasil pemeriksaan EKG pada pasien yang mengalami infark miokard akut

didapatkan adanya gelombang patologik disertai peninggian segmen ST yang

konveks dab diikuti gelombang T yang negative dan simetrik, Q menjadi lebar

(lebih dari 0,04 detik) dan dalam (Q/R lebih dari ¼) b

b. Laboratorium

Pemeriksaan enzim jantung, yaitu adanya peningkatan pada enzim CK

(kreatinkinase) utamanya pada CKMB

1) CPK (creatinin fosfakinase) Isoenzim ini meningkat antara 4-6 jam,

memuncak dalam 12-24 jam, kembali normal dalam 36-48 jam setelah

serangan.Isoenzim ini dikeluarkan jika terjadi kerusakan otot jantung.


12

Normalnya 0-1 mU/mL.

2) LDH ( dehydrogenase laktat) LDH kurang normal dari 195 mU/mL.kadar

enzim ini baru naik biasanya sesuadah 48 jam, akan kembali kenilai normal

antara hari ke-7 dan 12.

3) SGOT (serum glutamic oxalotransaminase test) SGOT normal kurang dari 12

mU/mL.kadar enzim ini biasanya kembali kenilai normal pada hari ke-4

hingga 7

4) Pemeriksaan lainnya,ditemukan peningkatan LED, leukositosis ringan dan

terkadang hiperglikemia ringan.

5) Kateterisasi

Angiografi coroner untuk mengetahui derajat obstruksi.

6) Radiologi

Hasil radiologi tidak menunjukan secara spesifik adanya infark miokardium,

hanya menunjukkan adanya pembesaran dari jantung

(Aspiani, 2015)

8. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan medis

1) Pemberian oksigen

Terapi oksigen dimulai saat awitan nyeri. Oksigen yang dihirup akan

langsung meningkatkan saturasi darah. Efektifitas teraupetik oksigen

ditentukan dengan observasi kecepatan dan irama pertukaran pernapasan,

dan pasien mampu bernafas dengan mudah. Saturasi oksigen dalam darah

secara bersamaan diukur dengan pulsa-oksimetri.

2) Morfin

Morfin adalah obat dengan fungsi untuk meredakan sakit atau nyeri

yang parah. Morfin masuk ke dalam kategori analgesic narkotika


13

3) Nitrogliserin

Merupakan golongan obat nitrat yang digunakan untuk mengurangi

intensitas serangan angina (nyeri dada) guna untuk melebarkan pembuluh

darah, serta meningkatkan pasokan darah dan oksigen ke otot jantung contoh

nama merk dagang nitrat (tablet sublingual) dosis 1 tablet 300-600 mcg.

4) Aspilet

Aspilet merupakan salah satu nama obat dari aspirin. Aspirin

mempunyai efek menghambat siklooksigenase platelet secara ireversibel.

Proses tersebut mencegah formasi tromboksan A2. Pemberian aspirin untuk

penghambatan agregasi platelet diberikan dosis awal paling sedikit 160 mg

dan dilanjutkan dosis 80-325 mg per hari (Nurarif, A. H., & Kusuma, 2015).

b. Penatalaksanaan keperawatan

Tindakan keperawatan ditujukan untuk mendeteksi terjadinya

komplikasi,

1) Klien istirahat total 24 jam pertama

2) Posisi semi fowler

3) Beri O2 2-4 L/m binasal

4) Pantau tanda-tanda vital tiap jam hingga keadaan stabil

5) Pantau EKG

6) Pasang jalur IV

7) Pemeriksaan laboratorium

8) Pemeriksaan EKG 12 sadapan setiap hari atau bila diperlukan

9) Pemberian obat sesuai dengan rencana pengobatan

a) Untuk mengurangi nyeri dada,misalnya: morfin sulfat, petidin

b) Obat anti aritmia

c) Sedatife bila klien gelisah

10) Diet
14

a) Biasanya dipuasakan selama 8 jam pertama setelah serangan

b) Bila keluhan berkurang/hilang diberikan diet bertahap dimulai dengan

diet jantung I

11) Mobilisasi dan latihan

a) Hari I

Latihan nafas dalam, melakukan pergerakan pasif dari ekstermitas

dengan cara dorsofleksi dan ekstensi 3x/hari. Makan sendiri dengan

posisi duduk, badan dan lengan bersandar.Perawatan diri seperti mandi

dilakukan dengan bantuan perawat.

b) Hari II

Melakukan gerakan aktif anggota gerak, tiap gerakan 5x, duduk

dipinggir tempat tidur denagn kaki kebawah atau diletakkan diatas kursi

selama 20 menit 2x sehari.Berikan pendidikan kesehatan tentang factor

risiko dan pengendaliaanya

c) Hari III

Mengulangi latihan hari II, boleh turun dari tempat

tidur.Perawatan diri dilakukan sendiri tanpa bantuan, posisi makan

dengan duduk ditempat tidur.Klien diizinkan membaca bacaan ringan.

d) Hari IV

Jalan disekitar ruangan 2x/hari.Berikan pendidikan kesehatan

tentang serangan jantung (Aspiani, 2015)

12) Tindakan pemasangan Stent Jantung

Ring (stent) merupakan tube kecil yang dipasang pada arteri koroner

untuk membuka penyempitan arteri koroner(Hermawan & Mantovani, 2013).

Prosedur pemasangan ring dilakukan dengan menggunakan kateter balon.

Ring disusutkan lalu dipasang pada kateter balon kemudian dikirim ke arteri

koroner yang menyempit, setelah sampai pada arteri koroner yang


15

menyempit, ring di ekspansi dengan mengembangkan balon pada kateter.

Ring didesain untuk terdeformasi pada daerah plastis sehingga akan terus

mengembang setelah mengalami ekpansi meskipun balon telah dikempiskan

(Pujiyulianto & Suyitno, 2019)

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
Pengkajian keperawatan merupakan pemikiran dasar dalam memberikan asuhan

keperawatan sesuai dengan kebutuhan individu, apabila terjadi ketidaktepatan

pengkajian pada dilakukannya proses keperawatan maka akan berdampak pada

rangkaian proses asuhan keperawatan pada tahap selanjutnya (Artanti et al., 2020)

a. Aktivitas/Istirahat

1) Gejala:

a) Kelemahan, kelelahan

b) Tidak dapat tidur

c) Pola hidup menetap, olahraga tidak teratur.

2) Tanda: takikardia, dispnea, pada istirahat/aktivitas b.

b. Sirkulasi

1) Gejala: riwayat IMA sebelumnya, penyakit arteri coroner, gagal jantung

kongestif, masalah tekanan darah dan diabetes mellitus.

2) Tanda:

a) Tekanan darah dapat normal atau naik turun: perubahan dicatat dari

posisi tidur hingga duduk atau berdiri.

b) Nadi: dapat normal; penuh/tidak adekuat, atau lemah/kuat kualitasnya

dengan pengisian kapiler lambat: tidak teratur (distrimia) mungkin

terjadi.

c) Bunyi jantung: S3/S4 mungkin menunjukan gagal jantung atau

penurunan kontraktivitas atau keluhan ventrikel.


16

d) Murmur: bila ada menunjukan gagal katup atau disfungsi otot papilaris

e) Edema: distensi vena jugular, edema dependen/perifer, edema umum,

cracklesmungkin ada dengan gagal jantung, atau ventrikel.

f) Warna: pucat atau sianosis atau kulit abu-abu, kuku datar, pada

membrane mukosa atau bibir.

g) Irama jantung: dapat teratur atau tidak teratur.

c. Integritas ego

1) Gejala: Menyangkal, takut mati, marah pada penyakit atau perawatan yang

“tak perlu”, khawatir tentang keluarga,karier, dan keuangan.

2) Tanda: menolak, menyangkal, cemas, kurang kontak mata, gelisah, marah,

perilaku menyerang, focus pada diri sendiri/nyeri.

d. Eliminasi

1) Tanda: normal atau bunyi usus menurun.

e. Makanan/cairan

1) Gejala: mual, kehilangan nafsu makan nyeri ulu hati, bersendawa.

2) Tanda: penurunan turgor kulit; kulit kering/berkeringat, muntah, perubahan

berat badan.

f. Hygiene

1) Gejala/tanda: kesulitan melakukan tugas perawatan.

g. Neurosensori

1) Gejala: pusing

2) Tanda: perubahan mentaldan kelemahan h.

h. Nyeri/ketidaknyamanan (focus pengkajian tentang nyeri) Nyeri adalah perasaan

tidak nyaman yang sangat subjektif dan hanya orang yang mengalaminya yang

dapat menjelaskan dan mengevaluasi perasaan tersebut (Hariyanto &

Sulistyowati,2015).

1) Gejala:
17

a) Nyeri yang timbul mendadak, nyeri tidak hilang dengan istirahat atau

nitrogliserin, biasanya membutuhkan narkotik analgetik (morfin)

b) Lokasi pada dada anterior dan substernal

c) penyebaran: menyebar ke tangan i, leher, bahu kiri, wajah, rahang,

abdomen, punggung, dan nyeri juga dapat dijumpai pada daerah

epigastrium,

d) sifat nyeri : seperti ditekan, rasa terbakar, rasa tertindih benda berat,

seperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.

e) lama nyeri (≥30 menit) f) Intensitas: nilai nyeri biasanya 10 pada skala 0-

10; mungkin pengalaman nyeri paling buruk yang pernah dialami.

Keterangan :

skala 0-2 : yaitu nyeri hampir tidak ada

skala 3-4 : yaitu nyeri ringan nyeri seperti tertimpa beban berat,

skala 5-6 : yaitu nyeri sedang nyeri seperti tertusuk-tusuk

skala 7-8 : yaitu nyeri berat seperti terbakar

skala 9-10 : yaitu nyeri sangat berat „ yaitu nyeri seperti diremas-

remas.

2) Tanda:

a) Wajah meringis

b) Perubahan postur tubuh

c) Menangis, merintih, meregang, menggeliat,menarik diri, dan kehilangan

kontak mata.

d) Respon otomatik
18

Perubahan frekuensi/irama jantung, TD, penapasan, warna

kulit/kelembaban, kesadaran

i. Pernafasan

1) Gejala: dispnea, dispnea nocturnal, batuk dengan/ tanpa produsi sputum,

riwayat merokok, penyakit pernafasan kronis.

2) Tanda: peningkatan frekuensi pernafasan, nafas sesak, pucat atau sianosis,

bunyi nafas bersih atau crackle atau mengi, sputum bersih, merah muda

kental (Aspiani, 2015)

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosis keperawatan merupakan penilaian klinis terhadap respon individu,

keluarga atau kounitas pada masalah kesehatan, pada resjsiko masalah kesehatanatau

pada proses kehidupan. Diagnose keperawatan merupakan bagian vital dalam

menentukan asuhan keperawatan yang sesuai untuk membantuklien mencapai kesehatan

yang optimal. (SDKI PPNI, 2017)

a. Gangguan pertukaran gas b.d perubahan membrane alveolus-kapiler

b. Nyeri akut b.d agen pencedera fisiologis(iskemia)

c. Penurunan curah jantung b.d perubahan irama jantung


19

3. Rencana Keperawatan
Pada tahap perencanaan masalah infark miokard dengan nyeri dada, ada empat

hal yang harus diperhatikan yaitu : Menentukan prioritas masalah, menentukan tujuan,

menentukan kriteria hasil, dan merumuskan intervensi (Tarwoto & Wartonah, 2011)

No Diagnosa Tujuan dan kriteria Intervensi


hasil
1 Gangguan pertukaran Setelah dilakukan Pemantauan Respirasi
gas b.d perubahan asuhan keperawatan a. Observasi
membrane alveolus- selama 3x 24 1) Monitor frekuensi, irama,
kapiler jam pertukaran gas kedalaman dan upaya
meningkat d.d nafas
a. Dyspnea menurun 2) Monitor pola nafas (seperti
b. Bunyi nafas bradipneu, takepneu,
tambahan menurun hiperventilasi, kusmaul,
c. FCO2 Membaik Cheyne-stokes, biot,
d. PO2 membaik ataksik)
e. Takikardi 3) Monitor kemampuan batuk
Membaik efektif
f. PH Arteri 4) Monitor adanya produksi
Membaik sputum
g. Sianosis Membaik 5) Monitor adanya sumbatan
h. Pola nafas jalan nafas
membaik 6) Palpasi keseimetrisan
ekspansi paru
7) Auskultasi bunyi nafas
8) Monitor saturasi oksigen
9) Monitor nilai AGD
10) Monitor hasil X-ray thorak
b. Terapeutik
1) Atur interval pemantauan
respirasi sesuai kondisi
pasien
2) Dokumentasikan hasil
pemantauan
c. Edukasi
1) Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan
2) Informasikan hasil
pemantauan, Jika Perlu
2 Nyeri akut b.d agen Setelah dilakukan Management nyeri
pencedera asuhan keperawatan a. Observasi
fisiologis(iskemia) selama 3x 24 1) Identifikasi lokasi,
jam Tingkat Nyeri karakterisik, durasi,
Menurun d.d frekuensi, kualitas,
a. Keluhan Nyeri intensitas nyeri
menurun 2) Identifikasi skala nyeri
b. Meringis menurun 3) Identifikasi respon nyeri
c. Sikap protektif non verbal
menurun 4) Identifikasi factor yang
d. Gelisah menurun memperberat dan
e. Kesulitan tidur memperingan nyeri
20

menurun 5) Identifikasi pengetahuan


f. Frekuensi nadi dan keyakinan mengenai
membaik nyeri
6) Identifikasi pengaruh
budaya terhadap respon
nyeri
7) Identifikasi pengearuh
nyeri pada kualitas hidup
8) Monitor keberhasilan
terapi komplementeryang
sudah diberikan
9) Monitor efek samping
penggunaan analgetik
b. Terapeutik
1) Berikan Teknik
nonfarmakologisuntuk
mengurangi rasa nyeri
2) Control lingkungan yang
memperberat rasa nyeri
3) Fasilitasi istirahat dan
tidur
4) Pertimbangkan jenis dan
sumber nyeri dalam
pemilihan strategi
meredakan nyeri
c. Edukasi
1) Jelaskan penyebab,
periode dan pemicu nyeri
2) Jelaskan strategi
meredakan nyeri
3) Anjurkan memonitor nyeri
secara mandiri
4) Anjurkan menggunakan
analgetik secara tepat
5) Ajarkan Teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi nyeri
d. Kolaborasi
1) Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
Penurunan curah Setelah dilakukan Perawatan Jantung
jantung b.d asuhan keperawatan a. Observasi
perubahan irama selama 3x 24 1) Identifikasi tanda gejala
jantung jam Curah Jantung perubahan primer
Meningkat d.d penurunan curah jantung
a. kekuatan nadi perifer 2) Identifikasi tanda gejala
meningkat perubahan sekunder
b. Ejection Fractian penurunan curah jantung
meningkat 3) Monitor tekanan darah
c. Palpitasi menurun 4) Monitor intake dan output
d. Bradikardi menurun cairan
e. Dyspnea menurun 5) Monitor berat badan setiap
f. CPT membaik hari pada waktu yang sama
g. Tekanan darah 6) Monitor saturasi oksigen
membaik 7) Monitor keluhan nyeri
21

dada
8) Monitor EKG 12 sadapan
9) Monitor aritmia
10) Monitor nilai laboratorium
jantung
11) Monitor fungsi alat pacu
jantung
12) Periksa tekanan darah dan
frekuensi nadi sebelum
dan sesudah aktivitas
13) Periksa tekanan darah dan
frekuensi nadi sebelum
dan sesudah pemberian
obat
b. Terapeutik
1) Posisikan pasien dengan
semi-fowler atau fowler
dengan kaki kebawah atau
posisi nyaman
2) Berikan diet jantung yang
sesuai
3) Gunakan stocking elastis
atau pneumatic intermiten
sesuai indikasi
4) Fasilitasi pasien dan
keluarga untuk
memodifikasi gaya hidup
sehat
5) Berikan terapi relaksasi
untuk mengurangi stress,
jika perlu
6) Berikan dukungan
emosional dan spiritual
7) Berikan oksigen untuk
mempertahankan saturasi
oksigen >94%
c. Edukasi
1) Anjurkan beraktivitas fisik
sesuai toleransi
2) Anjurkan beraktivitas fisik
secara bertahap
3) Anjurkan berhenti
merokok
4) Ajarkan pasien dan
keluarga mengukur berat
badan harian
5) Ajarakan pasien dan
keluarga mengukur intake
dan output cairan harian
d. Kolaborasi
1) Kolaborasi pemberian
antiaritmia, jika perlu
2) Rujuk ke program
rehabilitasi jantung
(SDKI PPNI, 2017),(PPNI, 2022),(Tim Pokja, 2016)
22

4. Implementasi
Implementasi merupakan tindakan yang sudah direncanakan dalam
perencanaan keperawatan. Tindakan keperawatan mencakup tindakan mandiri dan
tindakan kolaborasi (Tarwoto & Wartonah, 2011). Tindakan keperawatan yang akan
dilakukan sesuai dengan rencana keperawatan yang telah dibuat
5. Evaluasi
Evaluasi perkembangan kesehatan pasien dapat dilihat dari hasilnya.
Tujuannya adalah untuk mengetahui sejauh mana tujuan perawatan dapat dicapai dan
memberikan umpan balik terhadap asuhan keperawatan yang diberikan (Tarwoto &
Wartonah, 2011).
BAB III
PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Pada bab ini akan dibahas tentang jurnal ilmiah yang berkaitan dengan
penatalaksanaan glaukoma dan katarak, adapun jurnal yang berkaitan ialah
Komponen
No Hasil penelitian
yang dikritisi
1. Judul Impact of Morphine Treatment on Infarct Size and Reperfusion Injury in Acute
Reperfused ST-Elevation Myocardial Infarction

Kekuatan: Judul penelitian ini telah menggambarkan secara sederhana apa yang ingin
diteliti.
Kekurangan: Pada judul penelitian ini tidak mencantumkan tempat dan waktu
dilaksanakannya penelitian.
Saran: Perlu dicantumkan tahun penelitian dilaksanakan.
2. Abstrak Bukti saat ini mengenai efek pemberian morfin intravena terhadap cedera reperfusi
dan/atau kardioproteksi pada pasien infark miokard masih saling bertentangan. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengevaluasi dampak pemberian morfin, terhadap ukuran
infark dan cedera reperfusi yang dinilai dengan pencitraan resonansi magnetik jantung
(CMR) pada populasi infark miokard elevasi ST multisenter yang besar (STEMI). Secara
keseluruhan, 734 pasien STEMI yang direperfusi dengan intervensi koroner perkutan
primer <12 jam setelah timbulnya gejala menjalani pencitraan CMR di delapan pusat untuk
menilai kerusakan miokard. Pemberian morfin intravena dicatat pada semua pasien. CMR
diselesaikan dalam waktu satu minggu setelah infark menggunakan protokol standar. Titik
akhir klinis dari penelitian ini adalah terjadinya kejadian jantung yang merugikan (MACE)
dalam waktu 12 bulan setelah infark. Morfin intravena diberikan pada 61,8% (n = 454) dari
semua pasien. Tidak ada perbedaan dalam ukuran infark (17% LV, rentang interkuartil
[IQR] 8-25% LV versus 16% LV, IQR 8-26% LV, p = 0,67) dan obstruksi mikrovaskuler
(p = 0,92) pada pasien dengan versus tanpa pemberian morfin. Pada subkelompok pasien
dengan reperfusi dini dalam 120 menit dan berkurangnya aliran pembuluh darah yang
mengalami infark (aliran TIMI ≤2 sebelum PCI) pemberian morfin menghasilkan infark
yang secara signifikan lebih kecil (12%LV, IQR 12-19 dibandingkan 19%LV, IQR 10-29,
p = 0,035) dan berkurangnya obstruksi mikrovaskuler (p = 0,003). Pemberian morfin tidak
berpengaruh pada titik akhir klinis yang sulit (uji log-rank p = 0,74) dan bukan merupakan
prediktor independen dari hasil klinis dalam analisis regresi Cox. Dalam penelitian CMR
multisenter besar kami, pemberian morfin tidak memiliki efek negatif terhadap kerusakan
miokard atau prognosis klinis pada STEMI reperfusi akut. Pada pasien, pemberian morfin
awal (≤120 menit) mungkin memiliki efek kardioprotektif yang tercermin dari infark yang
lebih kecil; tetapi temuan ini harus dinilai dalam studi klinis yang dirancang dengan baik
lebih lanjut
Kata Kunci : morfin; ukuran infark; reperfusi; infark miokard elevasi ST; CMR
3. Latar belakang Penghambatan trombosit dengan terapi antiplatelet ganda dengan aspirin dan penghambat
reseptor P2Y12 merupakan landasan pengobatan untuk pencegahan kejadian trombotik
pada pasien sindrom koroner akut (ACS) yang menjalani intervensi koroner perkutan
primer (PPCI) [1,2]. Penghambat P2Y12 yang lebih disukai adalah prasugrel atau
ticagrelor karena onset kerjanya yang terbukti lebih cepat, potensi yang lebih besar, dan
hasil klinis yang lebih baik dibandingkan dengan clopidogrel [3-5].
Selain itu, pemberian bersama opiat intravena yang dititrasi (misalnya, morfin)
direkomendasikan oleh pedoman saat ini (rekomendasi kelas IIa C) pada pasien dengan
nyeri dada parah yang menetap untuk meredakan angina, dan untuk mengurangi aktivasi
simpatis yang terkait yang mungkin menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan beban
kerja miokard [1,2]. Namun, morfin menghambat pengosongan lambung, mengurangi
motilitas usus, dan menginduksi mual atau muntah [6]. Efek-efek ini dikaitkan dengan
penyerapan yang lebih lambat, onset aksi yang tertunda, dan berkurangnya efek agen
antiplatelet oral, yang dapat menyebabkan penurunan kadar plasma puncak dan kegagalan
pengobatan dini berikutnya [7]. Pada pasien dengan ACS, morfin secara signifikan
23
24

menurunkan konsentrasi plasma ticagrelor dan metabolit aktifnya dengan gangguan


penghambatan trombosit berikutnya [7-9]. Selain itu, penggunaan morfin dikaitkan dengan
mortalitas yang lebih tinggi pada pasien dengan infark miokard non-ST (NSTEMI) [10],
dan dengan keberhasilan reperfusi yang kurang optimal setelah PPCI pada pasien dengan
infark miokard ST (STEMI) [11].
Sebaliknya, ada juga bukti bahwa agonis opioid mungkin terlibat dalam efek
kardioprotektif yang menguntungkan pada miokardium, dengan efek yang menguntungkan
pada semua faktor penentu utama cedera reperfusi iskemik (infark/apoptosis,
aritmogenesis, disfungsi kontraktil, inflamasi) [12-14]. Namun, penelitian sebelumnya
melaporkan hasil yang tidak konsisten mengenai efek morfin terhadap kerusakan miokard
pada pasien dengan infark miokard akut [15-18] dan memiliki beberapa keterbatasan
termasuk desain pusat tunggal, ukuran sampel yang kecil, dan penilaian ukuran infark tidak
langsung. Pencitraan resonansi magnetik jantung (CMR) adalah teknik standar referensi
untuk penilaian ukuran infark dan cedera reperfusi [19] Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengevaluasi secara komprehensif dampak pengobatan morfin terhadap ukuran
infark dan cedera reperfusi yang dinilai oleh CMR dalam studi multisenter yang cukup
besar pada pasien STEMI akut yang menjalani PPC
4. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi dampak pemberian morfin, terhadap
penelitian ukuran infark dan cedera reperfusi yang dinilai dengan pencitraan resonansi magnetik
jantung (CMR) pada populasi infark miokard elevasi ST multisenter yang besar (STEMI)..
5. Variabel- Variabel independen dalam penelitian ini adalah dislipidemia, hipertensi dan diabetes
variabel mellitus sedangkan variabel dependen dalam penelitian ini adalah infark miokard akut.
penelitian
7. Definisi Tidak dijelaskan rinci
operasional
8. Metode Penelitian ini merupakan sub-studi yang telah ditetapkan sebelumnya dari uji coba AIDA
penelitian dan STEMI ( Abciximab Intrakoroner versus Aplikasi Obat Intravena pada STEMI) yang
pengambilan membandingkan aplikasi abciximab intravena versus intrakoroner pada pasien dengan
sampel STEMI dan tidak menunjukkan adanya perbedaan dalam hal ukuran infark, cedera
reperfusi, dan hasil klinis di antara kelompok perlakuan [20,21]. Desain uji coba yang
terperinci, kriteria inklusi dan eksklusi, serta hasil utama telah dipublikasikan sebelumnya
[19-22]. Secara singkat, AIDA STEMI adalah uji coba multisenter acak, label terbuka.
Pasien yang datang dengan STEMI dalam 12 jam pertama setelah timbulnya gejala
ditugaskan secara acak dengan rasio 1:1 untuk pemberian bolus abciximab intrakoroner
versus intravena (0,25 mg / kg berat badan) selama PPCI, dengan infus intravena 12 jam
berikutnya dengan dosis 0,125 μg / kg per menit (maksimum 10 μg / menit). Pasien
didaftarkan di 22 lokasi di Jerman, dengan populasi uji coba akhir sebanyak 2065 pasien
(abciximab intrakoroner (n = 1032) dan abciximab intravena (n = 1033)). Penelitian ini
telah disetujui oleh otoritas regulasi nasional dan komite etika dari pusat-pusat yang
berpartisipasi. Semua pasien memberikan persetujuan tertulis
9. Pengolahan data
10. Hasil Status morfin tersedia pada 791 pasien (99,4%) (Gambar 1). Pasien dengan pemindaian
CMR yang tidak lengkap (n = 7), kualitas gambar yang buruk (n = 17), dan infark
sebelumnya (n = 33) tidak disertakan. Dengan demikian populasi penelitian akhir terdiri
dari 734 pasien. Dari jumlah tersebut, 454 (61,5%) pasien menerima morfin intravena
sebelum atau selama PPCI dibandingkan dengan 280 pasien (38,5%) yang tidak menerima
morfin

Karakteristik pasien
Karakteristik demografis dan klinis menurut pengobatan morfin ditunjukkan pada Tabel 1.
Usia rata-rata dari total kelompok studi yang terdaftar adalah 62 tahun (IQR 51-71), dan
555 pasien (76%) adalah laki-laki. Pasien yang menerima morfin lebih muda (p = 0,03),
lebih sering laki-laki (p = 0,02), dan memiliki insiden hipertensi yang jauh lebih rendah (p
= 0,02) dan diabetes (p = 0,01) dibandingkan dengan pasien yang tidak menerima
pengobatan morfin.
Waktu dari timbulnya gejala hingga masuk rumah sakit untuk menjalani PCI juga secara
signifikan lebih pendek pada kelompok pasien dengan pemberian morfin (p <0,001).
Dibandingkan dengan pasien tanpa pengobatan morfin, tidak ada perbedaan yang
signifikan dalam waktu dari pintu ke balon dan penanda keberhasilan reperfusi angiografi
(aliran TIMI sebelum/sesudah PCI) atau EKG (resolusi segmen ST)
25

Parameter CMR
Waktu median antara kejadian indeks dan CMR adalah tiga hari (IQR 2-4) untuk kedua
kelompok. Temuan utama dari analisis CMR ditampilkan pada Tabel 2. Pada semua
pasien, ukuran median infark adalah 17%LV (IQR 8 sampai 25) tanpa perbedaan yang
signifikan antara kedua kelompok (17% berbanding 16%, p = 0,67). Meskipun pasien
dengan pemberian morfin memiliki volume diastolik akhir LV yang lebih besar (145 mL
(IQR 124-174) vs 141 mL (IQR 112-166), p = 0,004), tidak ada perbedaan dalam ejeksi
LV raksi antar kelompok. AAR, penyelamatan miokard, serta obstruksi mikrovaskular juga
serupa di antara kelompok (semua p > 0,05,

Hasil klinis
indak lanjut klinis 12 bulan telah diselesaikan untuk semua pasien. Plot Kaplan-Meier
dengan pengujian log-rank menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan
dalam hal kelangsungan hidup bebas kejadian pada masa tindak lanjut 12 bulan antara
kedua kelompok (uji log-rank p = 0,74, Gambar 4). Karena sebagian besar kejadian
kardiovaskular terjadi pada fase awal setelah infark, kami melakukan analisis tengara
untuk mendapatkan wawasan yang lebih baik mengenai efek morfin dan waktu terjadinya
kejadian klinis yang berat. Kami melakukan 2 analisis tengara 1) setelah 30 hari dan 2)
setelah dua bulan (Gambar S1A, B). Kedua analisis tersebut konsisten dengan kurva
Kaplan-Meier setelah 12 bulan dan tidak mengidentifikasi periode waktu dengan
perbedaan antar kelompok (30 hari: HR 0,81 (95% CI 0,37-1,77), p = 0,60; satu hingga 12
bulan: HR 1,52 (95% CI 0,68-3,41), p = 0,31 dan dua bulan: HR 1.14 (95%CI 0.57-2.27),
p = 0.72; dua sampai 12 bulan: 1,04 (95% CI 0,40-2,68); p = 0,94 (Angka Kaplan-Meier
tambahan lihat Bahan Tambahan)
11. Pembahasan Sepengetahuan kami, penelitian saat ini merupakan penelitian multisenter terbesar dan
pertama yang mengevaluasi secara komprehensif dampak pemberian morfin terhadap
ukuran infark dan cedera reperfusi yang ditentukan oleh CMR, standar referensi saat ini
untuk penilaian kerusakan miokard pasca infark. Temuan utama dari penelitian kami dapat
diringkas sebagai berikut: 1) Pemberian morfin tidak terkait dengan peningkatan kerusakan
miokard atau gangguan hasil klinis pada pasien STEMI yang menjalani PCI primer yang
berhubungan dengan Abciximab; 2) pada subkelompok pasien dengan reperfusi dini dan
penurunan aliran pembuluh darah yang mengalami infark, pemberian morfin menghasilkan
infark yang lebih kecil dan obstruksi mikrovaskuler yang lebih sedikit, yang
mengindikasikan adanya efek kardioprotektif potensial dari pemberian morfin pada
subkelompok pasien ini.
Morfin adalah obat yang umum digunakan pada fase akut ACS untuk menghilangkan rasa
sakit, dengan manfaat potensial tambahan untuk melemahkan tonus simpatis yang
meningkat secara akut. Dalam pedoman saat ini, morfin direkomendasikan dengan
kekuatan rekomendasi yang semakin menurun [1]. Salah satu alasannya adalah
kekhawatiran mengenai interaksi morfin yang berpotensi signifikan dengan agen
antiplatelet. Penelitian sebelumnya secara konsisten menunjukkan bahwa penggunaan
morfin mengurangi konsentrasi dan efek dari inhibitor P2Y12 dan berhubungan dengan
berkurangnya penghambatan trombosit [7-9]. Namun, masalah klinis yang sebenarnya
terletak pada apakah efek buruk morfin terhadap penghambatan trombosit berhubungan
dengan peningkatan risiko trombosis stent dan hasil klinis yang lebih buruk. Dalam
penelitian besar kami, tidak ada efek penggunaan morfin terhadap kejadian kardiovaskular
dan kerusakan miokard di masa depan. Sebaliknya, penelitian lain, termasuk registri
CRUSADE yang besar, menunjukkan bahwa pemberian morfin intravena dikaitkan dengan
peningkatan risiko kejadian klinis pada pasien NSTEMI, termasuk mortalitas di rumah
sakit yang lebih tinggi, bahkan setelah penyesuaian risiko dan pencocokan skor
kecenderungan. Pada pasien STEMI, dampak morfin terhadap keberhasilan reperfusi dan
hasil klinis masih diperdebatkan. Interaksi antara morfin dan penghambat P2Y12 telah
diusulkan untuk menjelaskan, setidaknya sebagian, hasil yang merugikan, seperti yang
ditunjukkan oleh resolusi segmen ST yang terganggu pada pasien STEMI dalam uji coba
ATLANTIC [26].
Di sisi lain, pada kohort FAST-MI 2010 dan dalam sub-analisis uji coba CIRCUS, morfin
tidak dikaitkan dengan risiko kejadian klinis yang lebih tinggi, termasuk kematian dan
trombosis stent [17,27].
26

Kurangnya penelitian acak dengan titik akhir klinis menghalangi penarikan kesimpulan
akhir mengenai penggunaan morfin dan efek signifikan secara klinis pada hasil pasien.
Akan tetapi, uji coba sebelumnya dan penelitian kami mungkin dibatasi oleh bias
pemilihan pasien yang menerima pemberian morfin karena gejala yang lebih parah dan
adanya edema paru. Namun, penelitian kami tidak menunjukkan karakteristik infark yang
berbeda dalam hal keparahan infark, seperti yang ditunjukkan oleh tidak adanya perbedaan
dalam kelas Killip pada saat presentasi dan jumlah miokardium yang berisiko di antara
kelompok. Penggunaan CMR memungkinkan kami untuk mendapatkan wawasan
mekanistik lebih lanjut mengenai dampak morfin terhadap kerusakan miokard dan cedera
reperfusi. Secara keseluruhan, tidak ada perbedaan dalam ukuran infark dan obstruksi
mikrovaskuler sehubungan dengan penggunaan atau tidak adanya penggunaan morfin,
sehingga tidak a d a efek morfin yang merugikan pada keberhasilan reperfusi dalam
penelitian kami. Sebaliknya, pada subkelompok pasien dengan reperfusi dini dan aliran
pembuluh darah yang berkurang, CMR menunjukkan infark yang lebih kecil pada pasien
yang diobati dengan morfin. Efek morfin pada subkelompok ini dapat dijelaskan oleh
peningkatan efek strategi kardioproteksi ketika diterapkan pada fase awal iskemia dan
sebagian besar miosit iskemik dapat diselamatkan. Khususnya, pada pasien dengan iskemia
yang berkepanjangan, kami tidak mengamati pengurangan ukuran infark yang diinduksi
morfin.
Selain itu, tidak hanya waktu untuk iskemia tetapi juga tingkat aliran TIMI saat masuk ke
pembuluh darah yang berhubungan dengan infark diakui sebagai penentu utama cedera
miokard. Pasien dengan pembuluh darah yang tidak tersumbat sepenuhnya (aliran TIMI
≥I) dapat mengembangkan ukuran infark yang lebih kecil, terlepas dari strategi proteksi
yang digunakan dan hal ini juga dapat mempengaruhi efek kardioprotektif morfin. Temuan
ini sesuai dengan bukti bahwa agonis opioid mungkin terlibat dalam efek kardioprotektif
yang menguntungkan pada miokardium [13-18,28]. Pada model hewan cedera reperfusi
miokard, prakondisi morfin meningkatkan fungsi jantung dan mengurangi pasca infark
renovasi [15,28-30]. Telah berspekulasi bahwa efek kardioprotektif morfin sebagai obat
pleiotropik dimediasi melalui reseptor opioid secara terpusat [29] atau melalui aktivasi
jalur PKCε-ERK1 / 2, sehingga menghambat pembukaan mPTP [28]. Demikian juga,
morfin juga dapat mengaktifkan pensinyalan P13K / Akt / eNOS [31] dan dapat
melibatkan, sebagai agonis opioid non-selektif, tidak hanya reseptor μ [32] tetapi juga
dapat menggabungkan dan berinteraksi dengan r e s e p t o r κ dan δ [33,34]. Menariknya, r
e s e p t o r κ memainkan peran yang menguntungkan dalam prakondisi iskemik pada
ukuran infark [35-37] dan aritmia [38,39] sementara reseptor δ bertanggung jawab untuk
perbaikan ukuran infark saja [37,39- 42]. Di sisi lain, telah disarankan bahwa pelemahan
yang diinduksi morfin terhadap aktivasi neutrofil dan endotel mungkin merupakan cara
lain untuk menginduksi kardioproteksi selain menekan respons inflamasi secara signifikan,
seperti yang dinilai dengan IL-6, CD 11b, dan CD 18 [12,43].
Pengurangan respons inflamasi tersebut mungkin, oleh karena itu, juga terlibat dalam
kardioproteksi dan pengurangan ukuran infark akhir. Namun, penelitian sebelumnya
melaporkan hasil yang tidak konsisten mengenai efek morfin terhadap kerusakan miokard
pada pasien dengan infark miokard akut [15-18] dan sebagian besar dibatasi oleh penelitian
praklinis, desain penelitian observasional non-acak, serta penilaian parameter tidak
langsung dari keberhasilan reperfusi, seperti resolusi segmen ST, nilai aliran TIMI setelah
PPCI atau pengukuran ukuran miokard dengan biomarker.
Hasil penelitian kami mendukung potensi efek kardioprotektif morfin pada pasien dengan
reperfusi dini, tetapi penelitian acak yang lebih besar diperlukan untuk menjelaskan
signifikansi klinis yang sebenarnya pada hasil klinis yang nyata. Penelitian kami memiliki
beberapa keterbatasan yang perlu ditekankan. Pertama, penelitian ini bukanlah uji coba
acak dan kami tidak dapat memberikan analisis kekuatan untuk perhitungan ukuran sampel
untuk sub-studi yang telah ditentukan. Namun, penelitian kami sejauh ini merupakan
penelitian terbesar yang menilai efek morfin terhadap ukuran infark dengan menggunakan
CMR, standar referensi saat ini untuk penilaian ukuran infark. Kedua, penelitian ini tidak
didukung untuk menilai efek morfin pada titik akhir klinis dan karakteristik pasien yang
berbeda dari pasien yang menerima morfin atau tidak (misalnya, pasien yang menerima
morfin memiliki komorbiditas yang lebih sedikit dan memiliki waktu yang lebih singkat
dari timbulnya gejala hingga PCI) mungkin telah memengaruhi hasilnya. Ketiga,
keterbatasan utama penelitian kami adalah kurangnya data yang menilai interaksi dalam
hal farmakodinamik/kinetik terapi antiplatelet, fungsi trombosit, dan kerusakan miokard.
27

Selain itu, kami tidak dapat sepenuhnya mengesampingkan bahwa efek y a n g diamati,
setidaknya sebagian, dimediasi oleh metoklopramid, yang secara teratur diberikan bersama
dengan morfin. Akhirnya, kami tidak dapat menganalisis efek morfin intravena yang
bergantung pada dosis terhadap keberhasilan reperfusi, karena dokter gawat darurat sering
kali tidak mendokumentasikan dosis yang tepat yang digunakan. Namun, berdasarkan
praktik klinis sehari-hari, dosis yang berkisar antara 5 hingga 10 mg dapat diasumsikan
12. Kesimpulan Dalam penelitian CMR multisenter kami yang besar, pemberian morfin tidak berpengaruh
pada kerusakan miokard atau prognosis klinis pada STEMI reperfusi akut. Pada pasien,
pemberian morfin secara dini (≤120 menit) mungkin memiliki efek kardioprotektif yang
tercermin dari infark yang lebih kecil, tetapi temuan ini harus dinilai dalam studi klinis
yang dirancang dengan baik
(Eitel et al., n.d. 2020)
B. Implikasi Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat dijadikan perawat sebagai dasar dalam pemberian
morfin, dan ternyata pemberian morfin pada kasus AMI tidak memberpengaruh
terhadap kerusakan miokard.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Infark miokardium adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh
penurunan suplai darah akibat penyempitan kritis arteri koroner karena
aterosklerosis atau penyumbatan total arteri oleh emboli atau trombus.
Penurunan aliran darah koroner juga bisa diakibatkan oleh syok atau perdarahan
sehingga terjadi ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
jantungi.
Diagnosa keperawat yang sering muncul pada kasus AMI adalah
Gangguan pertukaran gas b.d perubahan membrane alveolus-kapiler, Nyeri akut
b.d agen pencedera fisiologis(iskemia), Penurunan curah jantung b.d perubahan
irama jantung.
B. Saran
Bagi tenaga perawat hendaknnay senantiasa mengupgrade pengetahuan,
dikarenakan ilmu terus berkembang dan perawatpun harus menguasi ilmu keperawatn
untuk diaplikasikan dalam praktek keperawatan
Bagi kampus agar selalu memberikan dukungan terhadap mahasiswa untuk
megembangkan pengetahuan mahasiswa bisa dengan melengkapi fasilitas seperti
perpustakaan atau laboratorium mahasiswa

28
DAFTAR PUSTAKA

Artanti, E., Handian, F. I., & Firdaus, A. D. (2020). Hubungan Motivasi Perawat
Dengan Kelengkapan Dokumentasi Pengkajian Keperawatan Di Instalasi Rawat
Inap Rs Baptis Batu. Jurnal Penelitian Keperawatan, 6(2), 70–80.
https://doi.org/10.32660/jpk.v6i2.485
Aspiani, R. Y. (2015). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan
Kardiovaskuler Aplikasi NIC & NOC (W. Praptiani, ed.). In Molecules (Vol. 2,
Issue 1). EGC.
Astriani, ni made dwi yunica, & Putra, made mahaguna. (2020). Buku Ajar
Keperawatan Medikal Bedah I. Ar-Ruzz Media. https://books.google.co.id/books?
id=bE0CEAAAQBAJ
Eitel, I., Wang, J., Stiermaier, T., Fuernau, G., Feistritzer, H., Joost, A., Jobs, A.,
Meusel, M., Blodau, C., Waha-thiele, S. De, & Langer, H. (n.d.). Impact of
Morphine Treatment on Infarct Size and Reperfusion Injury in Acute Reperfused
ST-Elevation Myocardial Infarction.
Farris, P., Krutmann, J., Li, Y. H., McDaniel, D., & Krol, Y. (2013). Resveratrol: A
unique antioxidant offering a multi-mechanistic approach for treating aging skin.
Journal of Drugs in Dermatology, 12(12), 1389–1394.
Hawks, B. joyce. M. & J. H. (2014). Medical Surgical Nursing. Salemba Medika.
Hermawan, H., & Mantovani, D. (2013). Process of prototyping coronary stents from
biodegradable Fe-Mn alloys. Acta Biomaterialia, 9(10), 8585–8592.
https://doi.org/10.1016/j.actbio.2013.04.027
Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA (2nd ed.). Mediaction.
PPNI. (2022). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tujuan
Keperawatan.
Pujiyulianto, E., & Suyitno, S. (2019). Fabrikasi dan Surface Finishing Minitube dengan
Mesin Bubut untuk Bahan Baku Ring Jantung. Journal of Mechanical Design and
Testing, 1(1), 35. https://doi.org/10.22146/jmdt.46743
SDKI PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia dan Tindakan
Keperawatan.
Suwardianto, H. (2020). Buku Ajar Keperawatan Kritis: Pendekatan Evidence Base
Praktice Nursing. Cakra Brahmanda Lentera.
30

Suzanne, S. C. (2012). Brunner&Suddart Text Book of MEDICAL SURGICAL


NURSING (11th ed.). Wolters Kluwer.
Tarwoto, & Wartonah. (2011). Kebutuhan dasar dalam personal hygiene Edisi ke 3.
Salemba Medika.
Tim Pokja, S. D. P. (2016). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia : Definisi dan
Tindakan Keperawatan, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI.
Wijdicks, E. F. M., Sheth, K. N., Carter, B. S., Greer, D. M., Kasner, S. E., Kimberly,
W. T., Schwab, S., Smith, E. E., Tamargo, R. J., & Wintermark, M. (2014).
Recommendations for the management of cerebral and cerebellar infarction with
swelling: A statement for healthcare professionals from the American Heart
Association/American Stroke Association. Stroke, 45(4), 1222–1238.
https://doi.org/10.1161/01.str.0000441965.15164.d6

Anda mungkin juga menyukai