Anda di halaman 1dari 8

Halaman Sampul Depan

TUGAS OTONOMI KHUSUS

PENGANKATAN KEPALA KEPOOLISIAN DAERAH DAN KEPALA


KEJAKSAAN TINGGI HARUS DENGAN SEIZIN GEBENUR DALAM
STRUKTUR PENERINTAH ACEH

Oleh :

ASMADI SYAM

2303301010005

PROGRAM STUDI DOKTORILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BANDA ACEH
2023
DAFTAR ISI

Halaman
Halaman Sampul Depan...............................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1
A. Latar Belakang............................................................................................................1
B. Pembahasan.................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia
menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang
bersifat khusus atau bersifat istimewa.1 Pengakuan negara terhadap
kesatuan daerah bersifat khusus merupakan harapan fouding father kita
dahulu ketika merangcang sistem ketatanegaraan Indonesia. Pengalaman
pahit selama 32 tahun masa order baru yang menganut sistem dekonstrasi,
telah membangkitkam semangat para pejuang reformasi untuk
mewujudkan sistem pemerintahan yang diselenggarakan secara
disentralisasi.2

Pada tataran pelaksanaannya awal-awal reformasi, disentralisasi


yang terapkan adalah disentralisasi sacara umum (sama rata), padahal yang
diharapkan adalah jenis bentuk disentralisasi asimetris, karena pada
kenyataannya kekhususan yang dimiliki setiap daerah di Indonesia adalah
berbeda-beda. Aceh merupakan salah satu daerah yang memiliki sejarah
panjang dalam memperjuangkan otonomi khusus, sehingga baru
mendapatkannya pasca Momerandum of Understanding (MOU)
ditandatangani di Helsinki antara Pemerintah Indonesia dan GAM. 3 Butir-

1
Penjelasan Umum Undang-undang Pemerintah Aceh Lihat juga Pasal 18 B UUD 1945
2
Desentralisasi adalah transfer kewenangan dan tanggung jawab untuk fungsi publik
dari pemerintah pusat kepada pemerintah di bawahnya atau organisasi pemerintah kuasi-
independen atau sektor swasta dalam Litvack J, Seddon J. Decentralisation Briefing Notes.
Washington DC (US). World Bank Institute.1999.
3
Kesepakatan Helsinki: Latar Belakang, Isi, Proses, dan Pelaksanaan
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kesepakatan Helsinki: Latar Belakang, Isi,
Proses, dan Pelaksanaan",
https://www.kompas.com/stori/read/2021/07/29/120000279/kesepakatan-helsinki-latar-belakang-
isi-proses-dan-pelaksanaan?page=all. diakses pada tanggal 25 Oktober 2023.
butir MOU tersebut kemudian dimanifestasikan kedalam norma-norma
yang termuat dalam UndangUndang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh (UUPA).

terdapat 3 (tiga) kekhususan dan kewenangan yang diberikan


pemerintah pusat kepada pemerintah Aceh diantaranya kekhususan tentang
agama, pendidikan, dan adat istiadat.4 Selain itu materi lain yang turut di
atur oleh norma UUPA adalah mengenai kedudukan Kepolisian RI dan
Kejaksaan RI di dalam struktur Pemerintahan Aceh, serta tentang tata cara
pengankatan Kepala Kepolisian dan Kepala Kejaksaan Tinggi di wilayah
Aceh yang harus melalui persetujuan ebernur. Ketentuan norma tersebut
tentunya pada tataran pelaksanaannya menimbulkan dilema tersendiri, dan
terkesan kuat akan muatan politis, oleh karenana menarik untuk dikaji
mengenai keharusan persetujuan gebernur terhadap pengangkatan Kapolda
dan Kajati Aceh.

B. Pembahasan
1. Kepala Kepolisian Daerah Aceh
2. Kajian Kritis dan Kontruktif terhadap Pengangkatan Kepala Kejaksaan
Tinggi Aceh dalam struktur Pemerintahan Aceh
Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Kejaksaan
adalah lembaga pemerintahan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan
serta kewenangan lain berdasarkan Undang-Undang.5 Struktur kejaksaan
4
Pasal 15 Ayat 2 Undang undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh
“Urusan wajib lainnya yang menjadi kewenangan Pemerintahan Aceh merupakan pelaksanaan
keistimewaan Aceh yang antara lain meliputi: a. penyelenggaraan kehidupan beragama dalam
bentuk pelaksanaan syari’at Islam bagi pemeluknya di Aceh dengan tetap menjaga kerukunan
hidup antarumat beragama; b. penyelenggaraan kehidupan adat yang bersendikan agama Islam; c.
penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas serta menambah materi muatan lokal sesuai dengan
syari’at Islam; d. peran ulama dalam penetapan kebijakan Aceh; dan e. penyelenggaraan dan
pengelolaan ibadah haji sesuai dengan peraturan perundang-undangan”
5
Lihat Undang-undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan
dalam sistem pemerintahan terdiri dari Kejaksaan Agung, Kejaksaan
Tinggi yang memiliki daerah hukum propinsi, Kejaksaan negeri yang
memilik daerah huku Kabupaten Kota serta Cabang Kejaksaan Negeri.
Pengangkatan tehadap pejabat yang memimpin Kejaksaan diatur
secara khusus dalam Undang-undang Kejaksaan dan Peraturan Internal
kejaksaan sendiri. Berbeda halnya dengan Pejabat Kejaksaan di Aceh
khusus untuk Kepala Kejaksaan Tinggi diatur dalam norma UUPA. Dalam
UUPA kedudukan kejaksaan sebagaimana diuaraikan dalam Pasal 208 “
(1)Kejaksaan di Aceh merupakan bagian dari Kejaksaan Agung Republik
Indonesia, (2) Kejaksaan di Aceh melaksanakan tugas dan kebijakan
teknis di bidang penegakan hukum termasuk pelaksanaan syari’at Islam”.
Ketentuan mengenai pelaksanaan Syariat Islam merupakan keharusan
yang harus di atur, karena di Aceh terdapat subtansi hukum yaitu qanun
jinayat yang ahrus dilaksanakan oleh Aparat Penegak Hukum termasuk
oleh kejaksaan.6
Kekhususan yang dimiliki Aceh melalui UUPA menjangkau semua
lini pengelolaan pemerintahan termasuk di bidang penegakan hukum.
Kekhususan tersebut, diantara kewenangan untuk menerapkan Syariat
Islam sehingga melahirkan Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum.
Perbuatan pidana yang diatur dalam qanun tersebut harus diadili melalui
Mahkamah Syar’iah. Begitupun dalam hal pengangkatan Kepala
Kejaksaan Tinggi yang merupakan bagian dari sub sistem peradilan pidana
di Indonesia atau Sub Sistem Peradilan Pidana Islam diAceh 7 harus
melalui persetujuan gebernur. Dalam Pasal 209 UUPA menyebutkan:
6
Lihat Pasal 39 huruf a UU Nomor 11 Tahun 2021 “ Pasal 39
Kejaksaan berwenang menangani perkara pidana yang
diatur dalam: Qanun sebagaimana diatur dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai Pemerintah Aceh;
7
posisi Kejaksaan adalah sebagai penuntut umum tunggal single prosecution system
maupun sebagai satu-satunya instansi pelaksanaa putusan pidana (excecutive abtenaar) dalam
Kewenangan Kejaksaan sebagai single procedure system dalam perkara pidana tindak pidana
korupsi, Tesis, Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung, Semarang, 2023 hlm. 6
(1) Pengangkatan Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh dilakukan oleh
Jaksa Agung dengan persetujuan Gubernur.
(2) Persetujuan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibuat secara tertulis dan disampaikan paling lama 14 (empat
belas) hari kerja sejak surat permintaan persetujuan diterima.
(3) Dalam hal Gubernur tidak memberikan jawaban dalam jangka
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Jaksa Agung
mengangkat Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh.
(4) Dalam hal Gubernur menolak memberikan persetujuan Jaksa
Agung mengajukan satu kali lagi calon lain.
(5) Pemberhentian Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh dilakukan oleh
Jaksa Agung

Ketentuan norma di atas tentunya berdampak pada robohnya


prinsip independensi lembaga kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum
dan keadilan. Keharusan Pengangkatan Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh
dilakukan oleh Jaksa Agung dengan persetujuan Gubernur tentu akan
bernuansa politis. Ketika seorang Kajati diangkat berdasarkan persetujuan
atau berdasarkan usulan kepala daerah secara tidak langsung telah
mempengaruhi subjektifitasnya orang yang diangkat tersebut, secara tidak
langsung membuka peluang-peluang kolosi di dalamnya, dan dikawatirkan
hal demikian akan mengakibatkan ketidak profesional dalam penegakan
hukum.

Hukum dan penegakannya harus dibebaskan dari anasir-anasir non


yuridis, sebagamaimana teori hukum murni Hans Kelsen “teori hukum
positif bukan tatanan hukum tertentu, Teori ini mencoba menjawab
pertanyaan apa dan bagaimana hukum itu bukan bagaimana hukum itu
seharusnya. Teori ini merupakan ilmu hukum bukan politik hukum Teori
ini disebut teori hukum murni karena Teori ini hanya mendeskripsikan
hukum dan berusaha menghilangkan segala sesuatu yang bukan
merupakan hukum”.8 Oleh Karenanya ketika kita berbicara penegakan
hukum dan elemen-elemen penegakan hukum maka harus dia dibebaskan
dari pengaruh-pengaruh non hukum termasuk untuk mengangkat pejabat
yang memimpin suatu institusi penegakan hukum.

Walaupun ketentuan norma tentang pengangkatan Kepala


kejaksaan tinggi merupakan salah satu wujud kebebasan Aceh untuk
mengimplementasikan kekhususannya termasuk di bidang penegakan
hukum, namun dalam sistem pemerintahan Indonesia, bidang yustisi
termasuk bagian dari wewenang pemerintah pusat sehingga
pengimplementasian norma sebagaimana dalam Pasal 209 UUPA tersebut
adalah kurang tepat. Jika dikaji asumsi yang mengatakan bahwa
keberlakuan UUPA merupakan prinsip penerapan asas lex spesialis, dalam
pengankatan Kepala Kejaksaan Tinggi, hal tersebutpun menurut penulis
kurang teapat, karena dalam pengoperasian Lex Specialis juga dikenal
istilah lex specialis sistematis, yaitu kekhusan yang sistematis, maka
kekhusan sistematis yang berlaku dalam hal pengangkatan kepala
kejaksaan tinggi adalah undang-undang kejaksan dan peraturan
organiknya.

Berdasarkan uraian di atas, menurut penulis konstruksi yang tepat


untuk merevisi ketentuan norma tersebut dengan tidak menghilangkan
juga prinsip-prinsip kekhususan Aceh yang telah diberikan melalui
desentralisasi asimetris, maka ketentuan mengenai persetujuan gubernur
untuk mengangkat kajati haruslah dikesampingkan, dengan merumuskan
norma baru dan sebagai wujud pengembangan sumber daya manusia dan
proses pengkaderan insan adhyaksa yang merupakan putra-putri daerah

8
H. Kelsen pure theory of low. 1967. Hlm. 1 sebamaimana dikutip Oleh tim Murphy
Teori hukum murni hans kelsen, Yurisprudensi Barat hlm 252.
Aceh dirumuskanlah norma sebagai berikut “untuk dapat diangkat menjadi
seorang kepala kejaksaan tinggi di Aceh haruslah, Islam, orang Asli Aceh,
keturunan Aceh, atau jika tidak ada orang Aceh atau Keturunan Aceh
maka dapat diangkat orang yang pernah bertugas di Aceh”. Hal demikian
penting juga untuk diatur dikarenakan pejabat yang memimpin suatu
institusi penegakan hukum di Aceh harus mengerti tentang hal ihwal
hukum yang hidup di dalam masyarakat Aceh yaitu hukum yang
berlandaskan syariat Islam dan hukum adat.

Anda mungkin juga menyukai