Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

“Majelis Tarjih: Kajian Yuridis Sosiologis Terhadap


Metode Ijtihad Muhammadiyah Fiqh Kaum
Modernis)"
Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Sosial
Hukum Islam
Dosen Pengampu : DR.H. Achmad Kholiq, MA

Oleh:

AHMAD AZHARI
NIM :20086040033
DASTIM
NIM :20086040033

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


KEMENTRIAN AGAMA REPUBLIK
INDONESIA INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI (IAIN) SYEKH NURJATI CIREBON
2021 M/1442 H

1
KATA PENGANTAR

‫بِ ْس ِم اللّ ِه ال َّر ْح َم ِن ال َّر ِح ْي ِم‬


Segala puji bagi Allah. Semoga sholawat dan salam senantiasa tercurah
atas Rasulullah SAW, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikutinya
dengan baik hingga akhir zaman. Alhamdulillah, atas nikmat Allah SWT kapi
dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Sejarah Sosial Hukum Islam.
Makalah ini membahas tentang Majelis Tarjih: Kajian Yuridis Sosiologis
Terhadap Metode Ijtihad Muhammadiyah Fiqh Kaum Modernis)
Tak lupa juga penulis mengucapkan terimakasih kepada Dosen kami
Bapak DR.H. Achmad Kholiq, MA yang telah tulus membimbing kami dan
berkat bimbingan beliau penulis dapat menggali dan memahami salah satu mata
kuliah Sejarah Sosial Hukum Islam, sehingga kami dapat mengatahui dan sedikit
tahu tentang sejarah perubahan sosial dalam Islam. Khususnya dalam makalah ini
tentang Majelis Tarjih: Kajian Yuridis Sosiologis Terhadap Metode Ijtihad
Muhammadiyah Fiqh Kaum Modernis)
Terakhir penulis berharap tulisan ini dapat bermanfaat dan memudahkan
para pembaca dalam mengkaji Makalah ini dengan tujuan membumikan
pemahaman tentang Majelis Tarjih di masyarakat luas dan menerapkanya.
Makalah ini tentunya jauh dari sempurna dan tidak lepas dari kesalahan
dan kekurangan, oleh sebab itu penulis mengharapkan saran dan kritiknya untuk
memperbaiki dan melengkapi makalah ini.

Cirebon, November 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................i

DAFTAR ISI.........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1
A. Latar Belakang.............................................................................................4
B. Rumusan Masalah…....................................................................................4
C. Tujuan Penulisan…......................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................7
A. Pengertian Majelis
Tarjih...........................................................................................................7
B. Sejarah Majelis
Tarjih............................................................................................................7
C. Metode Tarjih
Muhammadiyah...........................................................................................15
BAB III
PENUTUP.............................................................................................................21
Kesimpulan…............................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................23

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Muhammadiyah adalah organisasi sosial keagaman yang memiliki misi
utama pembaharuan (tajdid) terhadap pemahaman agama. Pembaharuan dalam
Muhammadiyah meliputi dua segi, dipandang dari sudut sasarannya. Pertma,
pembaharuan dalam arti mengembalikan kepada keasliannya/kemurniannya, yang
sasarannya adalah soal-soal prinsip perjuangan yang sifatnya tetap/tidak berubah-
ubah. Kedua, pembaharuan dalam arti modernisasi, yang sasarannya mengenai
masalah seperti: metode, sistem, teknik, stategi, taktik perjuangan dan lain
sebagainya, yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi/ruang dan waktu.
Dengan demikian pembaharuan memiliki dua arti, yaitu memurnikan ajaran dan
memodernkan.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan kami jelaskan atau yang akan kami
bahas dalam makalah ini sebagai berikut:
a. Apa pengertian dari Majlis Tarjih Muhammadiyah
b. Bagaimana sejarah terbentuknya Majlis Tarjih Muhammadiyah
c. Bagaimana metode yang di gunakan

C. Tujuan Penulisan
Sebagaimana yang telah tertulis dalam rumusan masalah, maka tujuan
penulisan dari makalah ini agar para pembaca dapat mengetahui bagaimana
sejarah awal mula Majlis Tarjih Muhammadiyah serta metode dan tokoh-tokoh
dari lembaga fatwa ini.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Majlis Tarjih


Tarjih berasal dari kata “rojjaha-yurajjihu-tarjihan”, yang berarti
mengambil sesuatu yang lebih kuat.
Menurut istilah ahli ushul fiqh adalah : Usaha yang dilakukan oleh
mujtahid untuk mengemukakan satu antara dua jalan ( dua dalil ) yang saling
bertentangan, karena mempunyai kelebihan yang lebih kuat dari yang lainnya
Tarjih dalam istilah persyarikatan, sebagaimana terdapat uraian singkat mengenai
“Matan Keyakinan dan Cita-cita hidup Muhamadiyah” adalah membanding-
banding pendapat dalam musyawarah dan kemudian mengambil mana yang
mempunyai alasan yang lebih kuat.
Pada tahap-tahap awal, tugas Majlis Tarjih, sesuai dengan namanya,
hanyalah sekedar memilih-milih antara beberapa pendapat yang ada dalam
Khazanah Pemikiran Islam, yang dipandang lebih kuat. Tetapi, dikemudian hari,
karena perkembangan masyarakat dan jumlah persoalan yang dihadapinya
semakin banyak dan kompleks, dan tentunya jawabannya tidak selalu di temukan
dalam Khazanah Pemikiran Islam Klasik, maka konsep tarjih Muhammadiyah
mengalami pergeseran yang cukup signifikan. Kemudian mengalami perluasan
menjadi: usaha-usaha mencari ketentuan hukum bagi masalah-maasalah baru yang
sebelumnya tidak atau belum pernah ada diriwayatkan qoul ulama mengenainya.
Usaha-usaha tersebut dalam kalangan ulama ushul Fiqh lebih dikenal dengan
nama ijtihad.
Oleh karenanya, idealnya nama Majlis yang mempunyai tugas seperti yang
disebutkan di atas adalah Majlis Ijtihad, namun karena beberapa pertimbangan,
dan ada keinginan tetap menjaga nama asli, ketika Majlis ini pertama kali
dibentuk, maka nama itu tetap dipakai, walau terlalu sempit jika di bandingkan
dengan tugas yang ada.

B. Sejarah Majlis Tarjih Muhammadiyah


1. Awal Mula Terbentuknya Majlis Tarjih Muhammadiyah
Majlis Tarjih Muhammadiyah, lahir sebagai hasil keputusan Kongres ke-
16 organisasi ini di Pekalongan pada tahun 1927 pada periode kepengurusan KH.
Ibrahim (1878-1934) yang menjadi Ketua Hoofdbestuur Muhammadiyah kedua
sesudah KH. Ahmad Dahlan (1868-1923).1 Dalam kongres tersebut dibicarakan
usul Pimpinan Pusat Muhammadiyah, agar dalam persyarikatan itu diadakan
Majlis Tasyri’, Majlis Tanfidz dan Majlis Taftisy. Usul yang diajukan Pimpinan
1
AR Yogyakarta, Menuju Muhammadiyah, cet. Ke-1 (Yogyakarta;PP Muhammadiyah
Majlis Tabligh, 1984) hal. 32.

5
Pusat tersebut semula berasal dari dan atas inisiatif seseorang tokoh ulama
Muhammadiyah terkemuka, KH. Mas Mansur (1896-1946) yang waktu itu
menjadi Konsul Hoofdbastoor Muhammadiyah Daerah Surabaya. Ide tersebut
sebelumnya telah berkembang di Surabaya dalam Kongres ke-15 tahun 1928.
Dalam kongres Pekalongan itu, usul pembentukan ketiga majlis tersebut di
atas diterima secara aklamasi oleh para peserta, dengan mengganti istilah Majlis
Tasyri’ menjadi Majlis Tajrih, dan “sejak itulah berdirinya Majlis Tajrih”. 2
Untuk melengkapi kepengurusan dan pembuatan rancangan qaidahnya, dibentuk
sebuah komisi yang beranggotakan tujuh orang ulama, yaitu :
 KH. Mas Mansur, Surabaya
 R. Sultan Mansur, Maninjau (Sumatra Barat)
 H. Mochtar, Yogyakarta.
 H. A. Mukti, Kudus
 Kartosudharmo, Betawi
 M. Kusni
 M. Junus Anis, Yogyakarta
Hasil pekerjaan komisi ini dibawa ke dalam kongres berikutnya, yaitu
kongres ke-17 tahun 1928 di Yogyakarta43. Kongres tersebut mengesahkan
Qaidah Majlis Tarjih dan membentuk susunan pengurusnya yang pertama dengan:
 KH. Mas Mansur, sebagai Ketua.
 KH. R. Hajid, sebagai Wakil Ketua
 H. M. Aslam Zainuddin, sebagai Sekretaris;
 H. Jazari Hisyam sebagai Wakil Sekretaris;
 K.H. Badawi, KH. Hanad, KH. Washil, KH. Fadlil dan lain-lain,
kesemuanya sebagai anggota.
Pengurus ini, setelah terbentuknya segera bekerja dan membuat persiapan
bahan-bahan dari masalah yang akan ditarjih. Pada kongres ke-18 di Solo, yang
berlangsung dari tanggal 30 Januari sampai dengan tanggal 5 Februari 1929,
Majlis Tarjih pertama kalinya mengadakan sidang khusus di luar sidang-sidang
Kongres Muhammadiyah, dan berhasil mengambil keputusan tentang “Kitab
Iman” dan “Kitab Shalat”.3 Kitab Iman berisi keputusan tentang pokok-pokok
akidah yang benar, yaitu mengenai rukun iman yang enam, ialah : percaya kepada
Allah, percaya kepada Malaikat, percaya kepada Kitab-kitab Suci, percaya kepada
Rasul-rasul, percaya kepada Hari Kemudian, dan percaya kepada Qadla dan
Qadar yang baik dan buruk. Di samping itu juga ada keputusan tentang masalah
mengimani kenabian sesudah Muhammad Saw. Sedangkan “Kitab Shalat” berisi
keputusan tentang tata cara mengerjakan shalat.
Kebanyakan penulis-penulis Muhammadiyah berpendapat dan menyatakan
bahwa sejak kongres ke-16 tahun 1927 itulah mulai berdirinya Majlis Tarjih,

2
KHM. Wardan, “Fungsi Ulama dan Tugas Madjlis Tardjih”, Suara Muhammadiyah,
No. 15-16, tahun ke-48 (Agustus I dan II, 1968/Djumadil Awal
3
HM Junus Anis, “Asal Mula............”, hal. 3.

6
seperti di atas tadi sudah dikutip sebagai salah satu contoh. Pada hal dari apa yang
sudah dipaparkan terdahulu, jelas bahwa pada tahun 1927 dalam kongres ke-16
itu, harus ada berupa keputusan pembentukan majlis-majlis, salah satunya Majlis
Tarjih dan pembentukan komisi perumus qaidah dan pembentukan pengurus. Baru
pada tahun 1928 di Jogjakarta, dalam kongers ke-17, Pengurus dan Qaidah Majlis
Tarjih itu dibentuk. Jadi atas dasar ini sebenarnya dapat dikatakan bahwa secara
formal, Majlis Tarjih itu terbentuk pada tahun 1928 di Jogjakarta.
Dalam muktamar Muhammadiyah ke-XVII tahun 1928 di yogyakarta
dibentuk susunan pengurus Majlis Tarjih Pusat. Sebagai ketuanya adalah KH.
Mas. Mansur dan KH. Aslam Z sebagai sekretaris. Pada masa ini juga dibuat
anggaran dasar yang antara lain menetapkan bahwa tugas Majlis Tarjih adalah:
1. Mengamat-amati perjalanan Muhammadiyah yang berhubungan dengan
hukum-hukum agama.
2. Menerima, menyelidiki, dan mentarjihkan atau menetapkan hukum
masalah khilafiyah yang diragukan hukumnya, yang memang penting dalam
perjalanan Muhammadiyah.
3. Penyelidikan dan pembahasan tersebut, hendaklah berdasarkan Al-Quran
dan Al-Hadits dengan berpedoman pada ushul fiqih yang dipandang mu’tabar, dan
mementingkan riwayat dan maknanya, tidak menggunakan aql di atas naql.4
Muktamar tarjih yang pertama kali di adakan pada tahun 1929 bersama-
sama dengan kongres Muhammadiyah ke-XVIII di Solo. Masalah-masalah yang
teridentifikasi di bahas dalam muktamar yang pertama ini. Masalah pertama yang
di putuskan kemudian di susun menjadi kitab, yaitu kitab iman dan sembahyang.
Setelah itu di bahas pula masalah gambar, musik, lotre, api unggun, arak-arakan
aisyiyah dan sebagainya. Keputusan-keputusan Muktamar Tarjih yang kemudian
di ubah menjadi Musyawarah Nasional. Dikodifikasikan dalam Himpunan Utusan
Tarjih dan Koedah-koedahnya, termasuk Kaidah Pengembangan Pemikiran Islam.
Fungsi majlis ini adalah mengeluarkan fatwa atau memastikan hukum
tentang masalah-masalah tertentu. Masalah tidak hanya pada bidang agama dalam
arti sempit, tetapi juga menyangkut masalah sosial kemasyarakatan. Majlis ini
berusaha untuk mengembalikan suatu pesoalan kepada sumbernya, yaitu Al-
Qur’an dan Al-Hadis, baik masalah itu sudah ada hukumnya tetapi masih di
perselisihkan, atau masalah-masalah baru yang sejak semula memang belum ada
ketentuan hukumnya, seperti masalah Keluarga Berencana (KB), bayi tabung,
Bank dan lain-lanin.5
Dalam muktamar Muhammadiyah ke 43 tahun 1995 di Aceh, majelis ini
disempurnakan menjadi Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam
(PTPPI). Sturktur majelis tersebut mengalami beberapakali perubahan. Sekarang
ini MTPPI secara struktural terdiri dari PTPPI Pusat, Wilayah dan Daerah.

4
M. Sa’ad Ibrahim, Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran islam: Manhaj dan
Aplikasinya, dalam http:/miklotof.wordpress.com.
5
http:tarjih. Muhammadiyah.or.id/ content-3sdet-sejarah.html

7
Masing-masing berfungsi sebagai pembantu dan oleh karena itu berada dibawah
pimpinan Muhammadiyah. Sesuai dengan tingkatannya.

2. Ketarjihan Sebelum Terbentuknya Majlis Tarjih


Apa yang dikemukakan di atas memperlihatkan bahwa pembentukan
Majlis Tarjih terlambat 15 tahun dari Muhammadiyah sendiri, yang didirikan pada
tanggal 8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah, atau 18 November 1912, oleh KH. Ahmad
Dahlan (1868-1923) seperti telah diuraikan terdahulu. Ini boleh jadi menimbulkan
pertanyaan, bagaimana soal-soal ketarjihan dalam Muhammadiyah sebelum
adanya Majlis Tarjih, dan apakah hal ini tidak merupakan suatu hal yang aneh
dalam hubungannya dengan Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid, yang tiada
henti-hentinya menyerukan ijtihad dan melarang taklid?
Perlu ditegaskan, bahwa terlambatnya pembentukan Majlis Tarjih dalam
riwayat Muhammadiyah sebenarnya tidak merupakan suatu keganjilan dan juga
bukan karena dari semula Muhammadiyah kurang memperhatikan bidang hukum-
hukum agama. Justru sebaliknya, Muhammadiyah dari mulai didirikan adalah
gerakan agama dan berasal dari agama pula. Walaupun Majlis Tarjih belum ada
secara resmi pada 15 tahun pertama perkembangannya, hal itu tidaklah berarti
bahwa pada masa-masa tersebut persyarikatan ini sepi dari aktivitas ketarjihan,
sebagai “gerakan modernis Islam yang didedikasikan untuk melakukan
pembaharuan kehidupan keagamaan dan sosial masyarakat muslim”.
Muhammadiyah terus-menerus dituntut untuk memberi pemecahan terhadap
masalah-masalah agama, guna dikembalikan kepada tuntunan sebenarnya dari Al-
Qur’an dan Sunnah Rasul Saw, serta masalah-masalah sosial kemasyarakatan
yang harus digerakkan dengan berlandaskan agama.
Semenjak Muhammadiyah didirikan, dasar dan haluannya penuh
diletakkan pada ajaran Islam. Hingga segala usaha dan pekerjaannya sepenuhnya
djuga dipandang dari hukum Islam. Malah lebih dari itu, dasar pokok dari gerakan
kita ialah gerakan tajdid Islam, sehingga dengan sendirinya yang mula-mula
dipelajari dan diperhatikan adalah hukum-hukum Islam pula, maka bukan hanya
merupakan kebenaran saja, apabila pendiri dan pemimpin Muhammadiyah yang
mula-mula adalah seorang ulama, seorang ulama dalam arti yang sebenarnya.
Oleh karena itu tugas bertarjih senantiasa dilakukan oleh ulama-ulama
Muhammadiyah yang kompeten dan telah menghasilkan keputusan-keputusan
pada waktu dimana belum dibentuk suatu lembaga khusus yang membidangi
masalah agama dalam organisasi Muhammadiyah ini.6 KH. Ahmad Dahlan (1868-
1923) sendiri terlibat dalam pemecahan masalah-masalah agama tersebut sebagian
tampak dalam keputusannya tentang pembetulan arah kiblat dan cara penentuan
waktu hari raya. Selama periode kepemimpinannya, pendapatnya mewakili dan
diidentikkan dengan pendirian resmi organisasi

6
H. Ahmad Basuni, “Kesan”, hlm. 6

8
Barangkali menarik untuk dikemukakan di sini, guna menambah kejelasan
uraian di atas, beberapa contoh keputusan yang diambil oleh Muhammadiyah
tentang masalah agama, pada periode sebelum adanya Majlis Tarjih. Antara lain
adalah sembahyang hari raya di tanah lapang, sesuai dengan tuntunan Rasulullah
yang selalu mengerjakannya di tanah lapang selama tidak ada halangan seperti
hujan. Sebelumnya, umat Islam bukan hanya di Indonesia tetapi juga di negeri-
negeri Islam lainnya, mengerjakan shalat ‘Id di dalam masjid, dengan alasan
pendapat Imam Madzhab Empat. Tetapi setelah diselidiki ternyata bahwa Imam
Syafi’iy mengutamakan dalam masjid karena kemuliaan masjid itu, dan selagi
dapat menampung jama’ah sebanyak mungkin, dan beliau mengutamakan di
lapangan jika masjid tidak mampu menampung jumlah jama’ah. Sedangkan
kenyataan menunjukkan bahwa masjid selalu tidak cukup luas untuk menampung
pengunjungnya, apalagi pada hari raya di mana seluruh kaum muslimin, tua-
muda, lelaki-perempuan, semuanya melakukan shalat ‘Id.
Shalat ‘Id di lapangan, pertama kali dilakukan oleh Muhammadiyah
adalah di lapangan ASRI sekarang, di Jogjakarta pada hari raya ‘Idul Fitri tahun
1343 H, atau 1925 M dan ‘Idul Adha pada tahun yang sama. Peristiwa ini sangat
menggemparkan dan mendapat reaksi dari “kaum kolot” sebagaimana juga dari
pihak pemerintahan kolonial Hindia Belanda atas dasar alasan ketertiban dan
keamanan.
Reaksi ini malah disambut oleh Muhammadiyah dengan keputusan harus
“Mengadakan shalat Hari Raja di tanah lapang, di mana-mana Muhammadiyah
ada”. Keputusan ini diambil dalam kongres ke-15 di Surabaya – sebuah kongres
yang pertama dilakukan di luar Jogjakarta – pada tahun 1926, yaitu setahun
sebelum terbentuknya Majlis Tarjih.
Kongres yang sama juga mengambil keputusan tentang :
 Mengusahakan agar dana masjid sebagian dapat digunakan untuk
membiayai panti asuhan dan menyekolahkan anak-anaknya.
 Minta agar reglement yang mengharuskan diperiksanaya calon temanten,
dicabut.
 Mengusahakan perbaikan cara pembagian zakat fitrah dengan
memberikan tuntunan.
Sedang kongres berikutnya, yaitu kongres ke-16 yang melahirkan keputusan
pembentukan Majlis Tarjih, di antara keputusannya ialah mengusahakan agar
supaya khutbah Jum’at disampaikan dalam bahasa bumiputera.7
Mengenai zakat fitrah sebelum perubahan yang dilakukan oleh
Muhammadiyah, pembagiannya tidak menurut tuntunan yang diajarkan melalui
Al-Qur’an dan Sunnah, yang menghendaki disalurkannya zakat tersebut kepada
asnaf yang delapan, yaitu fakir, miskin, petugas pengumpulnya, muallaf, untuk
penebusan tawanan, orang berhutang, jalan Allah dan musafir (ibnu sabil). Pada
7
H. Djarnawi Hadikusumo, Dari Jamaluddin al-Afghani sampai Kh. A Dahlan, cetakan
ke-2 (Yogyakata:Penerbit Persatuan, t.t.).hlm. 80.

9
waktu itu zakat fitrah diberikan kepada kaum, modin, naib dan penghulu.
Penerimaan zakat oleh mereka itu sangat berpengaruh terhadap status ekonomi
mereka. Bahkan ada diantara mereka menerima beras yang diberikan kepada tiap-
tiap akhir bulan puasa itu cukup menyangga biaya hidup rumah tangga selama 6
bulan.
Dari apa yang dikemukakan di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa pada
hakekatnya kongres Pekalongan tahun 1927 itu bukan merupakan titik mula
kegiatan tarjih dalam Muhammadiyah, melainkan hanya sebagai pelembagaan
secara resmi terhadap yang sudah ada sebelumnya. Tarjih sebagai kegiatan
intelektual dalam menyelidiki ajaran Islam guna mendapatkan kemurniannya
untuk kemudian diproyeksikan ke dalam penyusunan konsepsi masyarakat Islam
yang sebenar-benarnya, telah berkembang dalam Muhammadiyah sejak dari mula
berdirinya organisasi ini. Jadi dengan ringkas dapat dikatakan, Tarjih lahir
bersamaan dengan lahirnya Muhammadiyah itu sendiri.
3. Faktor-faktor Yang Melatar Belakangi Lahirnya Majlis Tarjih.
Untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi latar belakang lahirnya
Majlis Tarjih, barangkali pidato KH Fakih Usman berikut ini mengandung isyarat
akan hal itu. Pidato ini disampaikan sebagai Khutbah Iftitah Pimpinan Pusat
Muhammadiyah di depan Sidang Khususi Tarjih tahun 1960.
Kemudian tersiarlah Muhammadiyah dengan cepat sekali, memenuhi
seluruh pelosok tanah air kita. Luasnya dan banyaknya usaha atau pekerjaan yang
dilakukan, mereka ke semua cabang yang diperlukan oleh masyarakat.
Banyaknya tenaga-tenaga yang memasuki terdiri dari bermacam-macam
pembawaan, pendidikan dan kedudukan. Semua ini menyebabkan pemerasan
tenaga pimpinan yang harus mengurus dan memperhatikan banyak persoalan,
yang hakekatnya bagi tenaga pimpinan untuk menguasai keseluruhan persoalan.
Malah sulit juga untuk mengetahui hubungan sesuatu persoalan dengan persoalan
lainnya. Dan juga lebih dari itu tidak lagi dapat dikuasai dengan sepenuhnya
hubungan sesuatu dengan tujuan, dengan asas dasar gerakan sendiri, dengan
ajaran dan hukum Islam.
Memang sebagai yang terjadi dalam kelanjutan sejarah Islam, diduga
terjadi dalam kalangan Muhammadiyah mengadakan bermacam-macam
pendidikan atau perguruan yang khusus untuk memperdalam dan mempertinggi
ilmu-ilmu agama. juga perhatian kita pada ilmu agama itu tidak sebagai yang
seharusnya. Banyak dimakan oleh keperluan-keperluan lain yang bermacam-
macam dari usaha-usaha Muhammadiyah.
Dalam keadaan demikian itu, tiba-tiba ada terdjadi peristiwa yang
mengancam timbulnya perpecahan dalam kalangan Muhammadiyah ialah
peristiwa timbulnya perdebatan dan perselisihan mengenai Ahmadiyah, ketika
beberapa mubalighnya datang mengunjungi tempat pusat gerakan
Muhammadiyah.

10
Kejadian itulah yang akibatnya langsung menimbulkan kesadaran kita
betapa jauhnya sudah tempat berdiri kita dari garis semula ditentukan. Dan
kejadian itulah yang langsung menyebabkan didirikannya Majlis Tarjih.
Dari pidato KH Fakih Usman (1904-1968) di atas dapatlah disimpulkan adanya
dua faktor yang melatarbelakangi lahirnya majlis Tarjih, pertama adalah faktor
yang bersifat intern, dan kedua faktor yang bersifat ekstern.

a. Faktor Intern
Yang dimaksud dengan faktor intern ialah keadaan yang berkembang
dalam tubuh Muhammadiyah sendiri, yaitu hal-hal yang timbul sebagai akibat
dari perluasan dan kemanjuran yang dicapai oleh persyarikatan ini.
Sebagian telah diketahui, perkembangan Muhammadiyah begitu pesat dan
cepat, baik di bidang perluasan organisasi kurang dari 15 tahun Muhammadiyah
telah berkembang di berbagai tempat di luar Jawa. Haji Rasul yang berkunjung di
tanah Jawa pada tahun 1925 dan menemui pemimpin-pemimpin Muhammadiyah
di Yogyakarta, sekembalinya ke kampung halamannya pada tahun yang sama,
memperkenalkan Muhammadiyah kepada masyarakat Minangkabau dengan jalan
merubah organisasi lokal. Sandi Aman yang didirikannya di kampung
halamannya menjadi sebuah cabang Muhammadiyah. Dari tanah Minang ini
Muhammadiyah kemudian berkembang ke Bengkulu dan tempat-tempat lain di
Sumatera, dan di Pulau Borneo, yaitu di Banjarmasin dan Amuntai.
Seiring dengan perluasan organisasi yang menyedot banyak anggota itu,
aktivitas sosial dan amal usaha Muhammadiyah juga meningkat secara hebat dan
berhasil, terutama di bidang pendidikan, penyantunan dan pelayanan sosial,
dakwah dan lain-lain aktivitas. Sekolah-sekolahnya, baik yang memakai bahasa
Indonesia maupun yang memakai bahasa Belanda sebagai pengantar-
memperkenalkan sistem pendidikan modern dengan perpaduan antara silabus
yang berisikan pendidikan umum dengan pengajaran agama, melalui pelajaran
bahasa Arab dan Tafsir Al-Qur’an. Klinik-klinik, organisasi wanita dan dan
pemuda serta rumah-rumah wakaf berkembang dan bertambah maju, sedang
dalam bidang dakwah, misalnya khutbah-khutbah Jum’at diberikan dalam bahasa
daerah dan pesan-pesan Nabi disampaikan kepada masyarakat Kaum Muslimin
dalam bahasa yang dapat dimengerti dan disesuaikan dengan kebutuhan Indonesia
modern.
Pengelolaan anggota yang banyak dan amal usaha yang besar ini, seperti
dinyatakan dalam pidato KH. Faqih Usman di atas, menguras energi pimpinan
sedemikian rupa, sehingga akibatnya adalah melemahnya kemampuan kontrol
pimpinan terhadap sinkronisasi penyelenggaraan amal usaha itu dengan asas yang
melandasi perjuangan Muhammadiyah, yaitu Islam, dalam kemurniannya sebagai
yang dituntunkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah Sahihah. Keadaan seperti ini
menuntut adanya pembidangan pembangunan risalah. Untuk membidangi masalah

11
agama yang memberi haluan bagi perjuangan Muhammadiyah, diciptakanlah
Majlis Tarjih.
Selain dari itu, Muhammadiyah adalah suatu gerakan tajdid
(pembaharuan) yang lahir di tengah-tengah suasana di mana dunia Islam sebagai
respon terhadap gagasan reformasi Al-Afghani dan Muhammad Abduh sedang
bergerak menuju suatu keadaan baru, bahwa mereka hanya dapat bertahan apabila
bisa melepaskan isolasionisme yang kaku dan sebaliknya mampu menumbuhkan
kekuatan adaptasi terhadap dunia modern yang urban, rasional, individualistik dan
bahkan sekuler. Sebagai gerakan tajdid, Muhammadiyah beruaha melakukan
kombinasi antara diterimanya dunia modern dan metode-metode organisasi Barat
yang modern dengan suatu organisasi Islam yang jelas berdasarkan prinsip-prinsip
Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Usaha-usaha pengkombinasian ini dalam Muhammadiyah berarti
penggalian hukum-hukum agama untuk mendapatkan landasan yang Islami bagi
kehidupan modern yang tidak dapat terhindarkan itu. Dalam susunan demikian
kehadiran Majlis Tarjih sebagai lembaga yang khusus menangani persoalan-
persoalan ideologis keagamaan itu memang sangat diperlukan.

b. Faktor Ekstern
Yang dimaksud dengan faktor ekstern adalah perkembangan-
perkembangan yang terjadi pada umat Islam umumnya di luar Muhammadiyah,
yang dalam hal ini adalah perselisihan paham mengenai masalah-masalah furu’
fiqhiyah, yang biasanya dinamai masalah khilafiyah. Di samping itu juga masalah
ajaran Ahmadiyah yang mulai diperkenalkan di Indonesia pada akhir perempat
pertama abad 20. Perselisihan dan pertentangan-pertentangan itu mengancam
keutuhan Muhammadiyah, sehingga mendorong pembentukan Majlis Tarjih yang
ditugasi antara lain untuk menyelidiki berbagai macam pendapat itu, untuk
diambil yang paling kuat dalilnya, guna menjadi pegangan anggota-anggota
Muhammadiyah, dan dengan demikian perselisihan-perselisihan karena masalah
khilafiyah yang telah memecah-belah umat Islam dalam sejarah itu, dapat
dihindarkan dalam Muhammadiyah.
Dalam buah kongres 26 yang diterbitkan oleh Hoofdcomite Congres
Muhammadiyah pada halaman 31 dijelaskan sebagai berikut :
Bahwa perselisihan faham dalam masalah agama sudahlah timbul dari
dahulu, dari sebelum lahirnya Muhammadiyah, sebab-sebabnya banyak,
diantaranya karena masing-masing memegang teguh pendapat seorang ulama atau
yang tersebut di suatu kitab, dengan tidak suka menghabisi perselisihannya itu
dengan musyawarah dan beralasan kepada Al-Qur’an, perintah Tuhan Allah dan
kepada Hadist, sunnah Rasulullah Saw. Oleh karena kita khawatir, adanya
percekcokkan dan perselisihan dalam Muhammadiyah tentang masalah agama itu,
maka perlulah kita mendirikan Madjlis Tarjih untuk menimbang dan memilih dari
segala masalah yang diperselisihkan itu yang masuk dalam kalangan

12
Muhammadiyah, manakah yang kita anggap kuat dan berdalil benar dari Al-
Qur’an dan Hadist.
Sebagai kita ketahui, memasuki abad ke-20 terjadi dichotomy dalam
tradisi santri menjadi kaum reformis dan tradisionalis. Kaum reformis
memperkenalkan gagasan-gagasan pembaharuan yang dicetuskan di Timur
Tengah, yang pada intinya berusaha merombak cara berfikir lama kaum
Muslimin, yang bertaklid kepada madzhab dengan jalan membuka kembali pintu
ijtihad. Gagasan ini tidak begitu mudah diterima oleh kaum tradisionalis. Bagi
mereka, pemahaman Islam mutlak melalui taklid kepada madzhab. Oleh karena
itu ketika kaum tradisionalis ini merasa terdesak dan mereka membentuk
organisasi, maka orientasi kepada madzhab empat, khususnya madzhab Syafi’i,
menjadi dasar ideologi organisasi. Pertentangan antara pendukung-pendukung
gerakan modernis Muhammadiyah adalah salah satu komponennya di satu pihak,
dengan pendukung-pendukung tradisi di pihak lain, mengambil bentuk
perselisihan-perselisihan dalam furu’ fiqhiyah. Shalat hari raya di tanah lapang
seperti telah digambarkan di muka adalah contoh yang paling jelas di samping
masalah-masalah lainnya, seperti jumlah raka’at shalat tarawih, qunut shalat
shubuh, dan lain-lain. Perselisihan-perselisihan tentang detail-detail ajaran Islam
ini perlu mendapat kepastian dalam pengamalannya, bagi anggota-anggota
Muhammadiyah melalui usaha-usaha pentarjihan yang ditangani oleh sebuah
lembaga resmi.
Adalah teramat penting untuk diketahui, bahwa perselisihan-perselisihan
yang timbul di kalangan umat Islam pada tahun-tahun pergantian perempat
pertama dengan perempat kedua abad ke-20, bukan hanya dalam detail-detail
masalah agama, tetapi merembet kepada masalah-masalah pokok. Ini disebabkan
oleh masuknya aliran Ahmadiyah ke Indonesia dan melakukan propaganda di
pusat organisasi Muhammadiyah. Ahmadiyah adalah sebuah aliran agama yang
muncul di India, yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad (1839-1908) yang
meng-claim dirinya sebagai Nabi mulai sekitar tahun 1900.8
Aliran ini terbagi kepada dua bagian, Qadiyan dan Lahore. Cabang Qadian
dianggap keluar dari Islam, karena mengakui adanya Nabi sepeninggal
Muhammad, yaitu Mirza Ghulam Ahmad. Sedang cabang Lahore tidak seekstrim
yang pertama. Cabang Lahore ini memandang Mirza Ghulam Ahmad itu hanya
sebagai pembaharu belaka.
4. Manhaj Al-Istimmbat Majelis Tarjih
Majelis Terjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Muhammadiyah telah
merumuskan secara dinamis aspek metodolokis tersebut dalam Manhaj Al-
Istimbatnya. Perumusannya dikatakan dinamis, karena senantiasa berkembang
sejalan dengan perjalanan masa. Perumusan aspek metodologis terakhirkali

8
Himpunan Putusan Majlis Tarjih Muhammadiyah, cet. ke-3 (Yogyakarta:PP
Muhammadiyah, tt.) hal. 280.

13
dilakukan dalam Munas Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam tahun
2000 di Jakarta. Prinsip-prinsip metodologis tersebut dirumuskan sebagai berikut :
1. Mengubah istilah Al-Sunah Al-Sholehah menjadi As-Sunah Al-Maqbullah.
Sebagai sumber hukum sesudah Al-Qur’an. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan
bahwa secara ebjektif, majelis hanya menggunakan kata kategori shoheh, tetapi
juga hasan. Muhammadiyah membolehkan Talfiq, yaitu menggabungkan
beberapa pendapat dalam satu perbuatan Syar’i sepanjang telah dibagi lewat
proses tarjih.
2. Posisi ijtihad adalah metode bukan sumber hukum, yang fungsinya adalah
sebagai metode untuk merumusakan ketetapan-ketetapan hukum yang belum
terumuskan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dengan kata lain, ruang lingkup
ijtihad meliputi maslah-maslah yang terdapat dalam dalil yang dhanniy dan
maslah-masalah yang secaara eksplisit tidak terdapat dalam Al-Qur’an atau As-
Suunah.
3. Ijtihad meliputi metode bayani (menggunakan kaidah kebahasaan),
metode taqlili (menggunakan pendekatan illat hukum), dan metode istislahi
(menggunakan pendekatan kemaslahatan). Dalam hal ini manhaj tidak
menjelaskan jika terjadi perbedaan hasil penetapan hukum terhadap satu masalah
karena adanya penngunaan metode yang berbeda. Mana diantara ketiga metode
tersebut yang di prioritaskan. Dalam hal ini sebaiknya, untuk perkara yang akal
mansia tidak dapat menjangkau illat dan kemaslahatannya, metode bayani harus di
prioritaskan.
4. Manhaj menetukan empat pendekatan untuk kepentingan menetapakan hukum,
yaitu: hermeneutika, sejarah, sosiologis dan antropologis.
5. Ijma’, qiyas, maslahah mursalah, serta ‘urf, berkedudukan sebagai teknik
penetapan hukum. Meskipun istihsan dan saad al-dzari’ah tidak di sebutkan, tidak
berarti keduanya tidak dipakai. Hal ini di dasarkan adanya kenyataan bahwa
keduanya juga di dasarkan atas prinsip kemaslahatan yang di pandang sebagai
salah satu metode penetapan hukum.
6. Ta’arudul Adillah di selesaikan secara hirarkis melelui al-jam’u waa al-taufiq,
al-tarjih, al-nasikh dan al-tawaqquf. Majlis tarjih secara tidak langsung mengakui
adanya nasikh mansukh. Mengenai urutan prioritas di atas, tampaknya perlu di
pertimbangkan untuk mendahulukan nasikh sebelum menyelesaikan ta’arrud
melalui tarjih, karena jika di ketahui batas waktu berlakunya suatu hukum, maka
dengan lewatnya waktu tersebut, berlakulah hukum sebaliknya secara otomatis.
Dengan demikian tidak perlu lagi kepada tarjih.
7. Tarjih terdapat nash harus mempertimbangkan beberapa segi: segi sanad
(kualitas dan kuantitas rowi, bentuk dan sifat periwayatan, shigot tahammul wa al-
ada’), segi matan (mendahulukan shigot nahy daripada amr; shigot khas daripada
’am), segi materi hukum, dan segi eksternal.
8. Hal-hal yang tidak di ubah masih tetap berlaku, seperti: mendasarkan akidah
hanya kepada dalil mutawatir, pemahaman terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah di

14
lakukan secara komprehensip dan integral, peran akal dalam memahami teks Al-
Qur’an dan As-Sunnah dapat di terima, qiyas tidak berlaku dalam masalah ibadah
mahdhah dan masalah yang sudah ada nashsh sharihnya dari Al-Qur’an atau As-
Sunnah. Untuk memahami nashsh yang musytarak, paham sahabat dapat diterima.
Mendahulukan makna zhohir daripada ta’wil dalam bidang akidah. Takhshish Al-
Kitab bi Al-Sunnah dapat di terima, Hadis mauquf tidak dapat di jadikan hujjah,
kecuali yang di hukumi marfu’, Hadis mursal shohabi dapat dijadikan hujjah,
Hadis mursal tabi’i, Hadis mudallas, semata tidak dijadikan hujjah, kecuali jika
terdapat petunjuk adanya kebersambungan sanad. Hadis dho’if yang kuat lagi
menguatkan tidak dapat di jadikan hujjah, kecuali jika banyak jalannya dan
terdapat qorinah yang menunjukkan bahwa Hadis itu berasal dari Nabi Saw. Tidak
bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadis shohih. Jika terjadi pertentangan antara
jarh dan ta’dil, di dahulukan jarh dengan dasar keterangan yang jelas dan shohih
menurut syara’.9

C. Metode Ijtihad Muhammadiyah


Dalam metode ini akan dikemukakan beberapa sumber hukum dalam
Islam yang diterima oleh Muhammadiyah, kemudian akan diuraikan secara
singkat metode-metode berijtihad yang lazim digunakan oleh Muhammadiyah.
Uraian ini lebih bersifat pengantar terhadap pembasan inti berikutnya. Oleh
karena itu, pembahasannya masih bersifat umum. Kajian ini difokuskan pada apa
yang tertulis dalam Manhaj Istinbath Majlis Tarjih dan Himpunan Putusan Tarjih.
Uraian awal ini di perlukan untuk melihat lebih lanjut, sejauh mana konsitensi
Muhammadiyah dalam menerapkan metode penetapan hukum yang telah di
gariskannya.
Muhammadiyah berpendapat bahwa sumber utama hukum dalam Islam
adalah Al-quran dan Al-sunnat Al-Shahihat. 10 Kemudian untuk menghadapi
persoalan baru, sepanjang persoalan itu tidak terdapat nash sharih. Dalam Al-
quran dan Hadis, digunakan ijtihad dan istinbath dari nash yang ada melalui
persamaan illat. Pernyataan ini menunjukkan bahwa bagi Muhammadiyah ijtihad
bukan merupakan sumber hukum, melainkan sebagai metode penetapan hukum
dalam islam. Dalam hal ini Muhammadiyah sejalan dengan faham kelompok
mukhaththi’at yang menyatakan bahwa ijtihad adalah metode penemuan hukum,
bukan sumber hukum dalam islam.
Al-quran dan Hadis sebagai sumber hukum dalam Islam tidak hanya
diyakini oleh Muhammadiyah saja, tetapi diyakini oleh seluruh umat Islam dalam
berbagai mazhab dan aliran. Diantara dua sumber itu, Al-quran merupakan

9
Manhaj Ijtihad Umum, dalam http://tarjihbms.wordpress.com/manhaj.
10
Lihat putusan muktamar tarjih tahun 1995 tentang masalah lima. Dimuat dalam
himpunan putusan tarjih. Hlm. 278

15
sumber dari segala sumber hukum. Artiya, Al-quran merupakan rujukan utama
dalam menetapkan hukum. Sedangkan Hadis berfungsi sebagai penjelas terhadap
Al-Quran. Tentu penjelasan dari Nabi tidak boleh bertentangan dengan apa yang
dijelaskannya. Salah satu tolak ukur untuk menyeleksi Hadis adalah harus di uji
dengan Al-Quran, kalau Hadis itu sejalan dengan Al-Quran, maka Hadis itu dapat
diterima. Tetapi jika Hadis itu tidak sejalan maka Hadis itu tidak dapat diterima.
Tolok ukur seperti ini dimasukkan kedalam kritik matan Hadis.
Muhammadiyah menyatakan secara tegas bahwa ijtihad hanyalah metode
penetapan hukum. Muhammadiyah pada dasarnya menerima metode ijithad yang
telah ditetapkan para ahli ushul fiqh terdahulu, namun masih terdapat modifikasi
atau lebih tepat lagi disebut kombinasi seperlunya. Ijma’ yang dibahas oleh ushul
fiqh kelihatannya tidak dalam setiap periode diterima oleh Muhammadiyah.
Organisasi ini hanya menerima ijma’ yang terjadi dikalangan Nabi. Hal ini
mengisyaratkan bahwa menurut Muhammadiyah, ijma’ tidak mungkin terjadi lagi
setelah masa sahabat. Pada masa sahabat dimungkinkan adanya ijma’, karena
umat Islam masih sedikit jumlahnya.
Muhammadiyah juga menggunakan metode qiyas dalam penetapan
hukum. Pada dasarnya diterima oleh Muhammadiyah, dengan catatan tidak
mengenai masalah ibadah mahdah. Menurut Muhammadiyah, kemaslahatan umat
merupakan sesuatu yang harus diwujudkan. Karena itu, dalam masalah-masalah
yang berhubungan dengan muamalah peranan akal cukup besar, dalam rangka
mewujudkan kemaslahatan itu.
Metode lain yang lain digunakan oleh Muhammadiyah dalam berijtihad
adalah saddu al-zaari’at.[11] Adapun tujuannya digunakan metode ini adalah
untuk menghindari terjadinya fitnah dan mafsadah. Jika diambil pengertian
sebaliknya, maka tujuan digunakan metode ini adalah untuk kemaslahatan
manusia. Metode ini sering digunnakan oeh imam Malik dan Ahmad bin Hambal.
Dari uraian tersebut dapat di pahami bahwa Muhammadiyah menempuh tiga jalur:
1. Al-ijtihad Al-Bayani, yakni menjelaskan hukum yang kasusnya telah terdapat
dalam nash Al-Quran dan Hadis.
Ijtihad Bayani adalah usaha yang dilakukan mujtahid dalam mendapatkan
hukum dari nash-zhanni dengan menginterpretasikan nash-nash al-Qur’an dan al-
hadits, agar nash itu menjadi lebih jelas dipahami maknanya.
Dalam aliran Hanafiah, Bayan (penjelasan) dibedakan dalam lima macam,
yaitu :
a) Bayan Taqrir
Bayan Taqrir adalah penjelasan dalam rangka mengungkapkan suatu makna
dengan dasar-dasar lain yang memberikan tambah jelasnya yang dimaksud, baik
makna kata-kata maupun ungkapan dalam nash atau dalil. Contohnya kata-kata
dalam surat Shad ayat 73:

16
Yang artinya:”lalu seluruh malaikat itu bersujud semuanya”.Kata
“malaikat” mengandung kata umum “seluruh malaikat” yaitu ditegaskan dengan
“kulluhum ajma’in” (seluruhnya).

b) Bayan Tafsir
Bayan Tafsir adalah penjelasan suatu lafazh atau kata-kata, sehingga nash
tersebut menjadi lebih jelas yang dimaksud. Seperti menafsirkan kata-kata yang
mujmal menjadi mufshal, kata-kata khafi yang tersembunyi makna dan
maksudnya, sehingga menjadi jelas yang dimaksud. Termasuk juga lafazh-lafazh
musykil, yaitu lafazh yang sulit diartikan menjadi lafazh yang dapat dicari makna
yang dimaksud. Termasuk pula dalam bayan tafsir ini adalah mencari penjelasan
lafazh yang mengandung makna ganda (musytarak), sehingga dapat ditentukan
makna yang dapat diambil untuk menentukan hukum suatu nash. Bayan Tafsir
juga dapat dilakukan pada kata-kata yang termasuk kualifikasi dallat-u ‘l-iqtidla’
Penjelasan tafsir disini adalah mencari secara detail terhadap makna yang
dimaksud dengan lafazh-lafazh tersebut. Seperti firman Allah dalam surat al-
Baqarah ayat 43. Kata-kata dalam ayat itu mujmal, perlu penjelasan. Maka sabda
Nabi SAW: “Shalatlah engkau sekalian, seperti engkau melihat aku shalat”. Maka
kata-kata itu dapat menjadi jelas makna yang dimaksud.

c) Bayan Taghyir
Bayan Taghyir adalah keterangan-keterangan yang mengubah makna yang
zhahir menjadi makna yang dituju, seperti kata-kata yang mengandung
pengecualian atau istisna’. Dalam hal ini, usaha yang dilakukan adalah mencari
mukhashshish dari makna umum tadi. Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa
dalam thuruq-u ‘l-istinbath adanya takhsis itu berupa kata-kata dan bukan kata-
kata.
 Bi ‘il-Kalam (berupa kata-kata)
Yang berupa kata-kata itu bisa berupa kata-kata yang berdiri sendiri dan
bersambung, yang disebut mustaqil dan muttashil dan juga ghairu muttashil.
Artinya, kata-kata yang tidak berdiri sendiri dan bersambung, seperti:
• Istitsna’, contohnya ayat 106 surat al-Nahl, bahwa orang kafir akan
mendapatkan murka Allah, kecuali kekafirannya itu dipaksa. Sedangkan batinnya
tetap beriman.
• Badal ba’ad min al-kull, contohnya ayat 97 surat Ali Imran, bahwa Allah
mewajibkan setiap orang untuk menunaikan ibadah haji, hanya saja maksudnya
orang yang mempunyai kemampuan.
• Sifat, contohnya ayat 25 surat al-Nisa, mengandung kebolehan mengawini budak
wanita yang beriman, bukan semua budak beriman.

17
• Kata-kata syarat, contohnya ayat 228 surat al-Baqarah, hahwa suami yang telah
mencerainya, dimasa iddah lebih berhak merujuk istrinya, bila memang maksud
baik.
• Ghayah, contohnya ayat 15 surat al-Isra bahwa Allah akan meyiksa kaum yang
berbuat bertentangan dengan agama, sampai mereka (ummat/kaum) itu telah dapat
dakwah ajakan Rasul.

Dapat pula berupa kata-kata yang mustaqil munfashil. Dalam hal seperti
ini, perlu ijtihad dengan bayan taghyir, seperti dalam surat al-Nur ayat 4, bahwa
orang yang menuduh orang lain tanpa bukti dicambuk 80 kali. Dalam ayat 6-9,
suami istri yang dituduh menuduh berzina dapat diselesaikan tanpa cambuk
dengan sistem hukum “li’an”
 Ghairu Kalam (tidak berupa kata-kata)
Ghairu kalam takhsis kata-kata umum yang tidak berupa kata-kata. Itu bisa
berupa logika yang logis, bisa berupa adat kebiasaan.
Pada bayan taghyir ini juga bisa berupa penjelasan tentang kata-kata yang
mutlaq menjadi muqayyad. Dalam hal ini usaha mencari muqayyid dari lafazh
mutlag, sehingga menjadi jelas yang dimaksud. Seperti dalam ayat 2 surat al-
Maidah, bahwa allah mengharamkan darah dan dalam ayat 145 surat al-an’am,
Allah menyebutkanyang di haramkan itu darah yang mengalir (dam masfuhan),
yang disebut lafazh muqayyad. Mencari keterangan apakah satu lafazh iyu
muqayyad atau tidak, termasuk ijtihad bayani dengan bayan taghyir
Dari segi mencari hukum yang lebih mashlahah untuk dilakukan, makna
bayan taghyir, atau dengan menerapakan prinsip sadd-u ‘l-dzari’ah.

d) Bayan Tabdil
Bayan Tabdil adalah usaha mencari penjelasan dengan jalan nasakh.
Maksudnya, mencari apakah ada nasikh-mansukh dalam hukum masalah yang
dicari oleh seoranh mujtahid. Masalah nasikh-mansukh itu, terutama diperlukan
dalam dalil sunnah, karena dalam al-Qur’an akhir-akhir ini berkembang lagi
pendapat yang menanggap tidak adanya nasikh-mansukh itu adalah pada ayat-ayat
yang terdapat pada kitab-kitab sebelum al-Qur’an. Nasikh-mansukh dalam al-
Qur’an bukanlah menghapus ayat terhadap ayat lain, tetapi mentakhsisikan ayat
yang bermaksud umum oleh ayat-ayat yang khusus. Yang jelas, ada nasikh
mansukh pada sunnah/al-Hadits. Seperti contoh nabi SAW dahulu melarang
ziarah kubur, yang kemudian membolehkannya, yang terkenal dalam sabdanya
yang berbunyi:”Dahulu saya melarang engkau sekalian untuk ziarah kubur,
berziarah kuburlah kamu sekarang” (HR. Ibnu Majah)

18
e) Bayan Dlarurah
Bayan Dlarurah adalah keterangan yang tidak disebutkan, tetapi tidak
boleh tidak harus diungkapkan. Bayan ini tidak berupa kata-kata, tetapi sesuatu
yang didiamkan. Bayan Dlarurah itu ada 4 macam yaitu:
 Sesuatu yang didiamkan tetapi sebetulnya harus diucapkan. Seperti
firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 11: Artinya :”Dan untuk dua orang
ibu-bapak bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak, jika yang
meninggal tidak mempunyai dan dia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja),
maka ibunya mendapat sepertiga”
 Dalam ayat itu tidak disebutkan ketentuan sisa yang diambil dari
sepertiga untuk ibunya. Padahal dalam ayat tersebut disebutkan
pewarisnya adlah ayah dan ibunya. Tidak menyebutkan yang mendapat
sisa bagian sesudah diiambil ibu sepertiga mengandung pengertian bahwa
disebutkannya bagian ayah adalah sisa warisan setelah diambil sepertiga
oleh ibu, maka sisanya yaitu dua pertiga menjadi bagian ayah.

 Petunjuk keterangan diamnya seseorang yang berfungsi memberi


penjelasan/keterangan menunjukan keizinan, seperti diamnya Nabi SAW
waaktu menyaksikan perbuatan sahabat. Hal itu mengandung keterangan
keizinan Nabi terhadap perbuatan tersebut. Seperti penjelasan Nabi SAW
tentang diamnya seseorang anak gadis ketika ditanya oleh orangtuanya
untuk dinikahkan, diamnya anak itu dianggap setuju.

 Penjelasan tentang diamnya seseorang dianggap untuk menghindari


adanya tipuan. Seperti diamnya wali atau pengampu atas anak yang
diampunya melakukan akad jual beli. Untuk menghindari kerugian bagi
orang lain, didasarkan sabda Nabi SAW.

 Keterangan sesuatu yang didiamkan atau tidak disebutkan, tetapi


mengandung sesuatu penjelasan yang disebutkan kebiasaan orang arab
menghitungnya.

2. Al-ijtihad Al-Qiyasi, yakni menyelasaikan kasus baru dengan cara


menganalogikannya dengan kasus yang hukumnya telah diatur dalam Al-quran
dan Hadis.
Ijtihad ini dilakukan untuk mendapatkan hukum suatu masalah yang tidak
ada nashnya secara langsung, seperti menghisap ganja. Tetapi ada nash al-Qur’an
maupun al-sunnah yang menunjukan keharaman zat sejenis, seperti keharaman
khamr.

19
Dengan mendasarkan masalah yang akan dicari hukumnya,menghisap
ganja itu, tidak didapati pada al-Qur’an maupun al-Sunnah, yang ada kesaaman
adalah larangan al-Qur’an tentang khamr. Menyamakan hukum keharaman ganja
dengan hukum keharaman khamr, menurut ahli ushul disebut menetapkan hukum
berdasarkan qiyas (anologi, menurut ilmu logika/mantiq). Menafsirkan ayat al-
Qur’an dengan metode ini dapat saja dilakukan dengan nama Ijtihad Qiyasi

3. Al-ijtihad Al-Istishlahi, yakni menyelesaikan beberapa kasus baru yang tidak


terdapat dalam kedua sumber hukum diatas, dengan menggunnakan penalaran
yang di dasarkan atas kemaslahatan
Ijtihad dalam usaha mendapatkan hukum yang tidak ada nash langsung
yang mengandung hukum masalah yang dicari, dengan mendasarkan masalah
yang akan dicapai, yang disebut ijtihad istishlahi disini dapat ditempuh dengan
beberapa metode yaitu:
a. Metode Istihsan
 Mengecualikan dari qiyas yang berdasar illah jail menggunakan qiyas
khafi.
 Mengecualikan dari nash umum yang melarang dengan membolehkannya
karena adanya kemaslahatan yang akan dicapai atas dasar darurat maupun
menghindari kesempitan.

b. Metode Sadd-u ‘l-dzari’ah


Yaitu kebalikan dari ihtisan. dalam nash membolehkan sesuatu itu. Tetapi kalau
dibolehkan itu dibuka sama sekali dalam kondisi tertentu akan membawa
mafsadah (kerusakan) maka patut dilarang, dengan dasar sad-u ‘l-dzari’ah.
Artinya menutup sesuatu (yang dibolehkan) yang dapat menuju kerusakan.

c. Metode Istislah
Yakni mencari ketentuan suatu masalah yang tidak ada ketentuan
hukumnya berdasarkan nash, baik yang melarang atau memerintah (menyuruh),
dengan dasar kemaslahatan yang akan dicapai. Kemaslahatan yang ingin dicari itu
disebut mashlahah mursalah. Ijtihad dalam halini adalah melakukan penelitian
sejauh mana maslahah yang akan dicapai dan mafsadah yang akan terdapat,
apabila ada juga penelitian terhadap nash, baik al-Qur’an maupun al-Sunnah, yang
menyebutkan untuk dicapai suatu mashlahah atau mafsadat yang harus dihindari.

d. Menetapakan hukum sesuatu, didasarkan pada kebiasaan (‘urf) yang telah ada,
berlaku mendatangkan manfaat dan tidak dilarang oleh nash serta tidak
mendatangkan mafsadah yang lebih besar

e. Ijtihad dalam menafsirkan ayat kauniyah. Ijtihad ini menafsirkan ayat yang
mengandung ketentuan sunnatullah, yang berupa gejala alam yang disebut

20
kauniyah ini dapat dilakukan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.

Seperti dalam memahami ayat 12 Saba’, yang menyebutkan bahwa Nabi


Sulaiman as diberi kemampuan (oleh Allah) mengendalikan angin. Itu merupakan
mukjizat yang diberikan Allah kepada nabi Sulaiman as. Kita bukan berfikir,
bagaimana cara untuk mendapatkan kemampuan mengendalikan angin yang
bersifat mukjizat itu. Tetapi hendaknya kita berfikir dan meneliti, apakah angin
itu? Bagaimana dapat terjadinya angin? Apa yang dapat diketahui tentang sebab
musabab terjadinya angin? Apa mudlarat dan manfaat yang ditimbulkan oleh
adanya angin?
Dengan melihat pada ayat-ayat yang menyebutkan tentang pada surat ar-
Rum aytat 48, bahwa hakikat terjadinya angin adlah kehendak Allah, yang
fenomenanya angin itu menyebabkan awan yang merata sesuai dengan
kehendakNya dan membawa hujan, yang hujan itu dapat
menyuburkantanah/bumi, yang dapat dimanfaatkan oleh manusia.
Dalam ayat selanjutnya, Allah memerintahkan kita agar berfikir tentang
rahmat Allah yang ditimbulkan oleh angin yang meratakan awan,
meratakan/menurunkan hujan dan menyuburkan tanah. Sebaliknya angin juga
dapat membuat bencana fenomena lain, angin dapaat menjadi perkawinan bunga,
sehingga menjadi buah, seperti tersebut dalam surat al-Hijr ayat 22
Memahami ayat-ayat tersebut tidaklah berarti kita berfikir secara tekstual,
bahwa untuk mengkawinkan bunga-bunga agar menghasilkan buah hanya yang
ditimbulkan oleh angin belaka, tetapi juga menggunakan nalar berdasarkan
tajribiyah (percobaan-percobaan), sebagaimana yang disabdakan Nabi
Muhammad SAW tatkala menjumpai orang-orang Madinah melakukan
memindahkan sari bunga, dengan cara yang telah dilakukan sejak lama dan
berhasil yang kemudian Nabi pun menyerahkan kepada ummat dan sekaligus
membolehkan cara-cara tersebut (cara-cara itu merupakan embrio teknologi tepat
guna dalam Islam), dengan sabdanya:”Kamu lebih mengetahui urusan-urusan
dunia mu”.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Tarjih berasal dari kata “rojjaha-yurajjihu-tarjihan”, yang berarti
mengambil sesuatu yang lebih kuat.
Menurut istilah ahli ushul fiqh adalah: Usaha yang dilakukan oleh
mujtahid untuk mengemukakan satu antara dua jalan ( dua dalil ) yang saling
bertentangan, karena mempunyai kelebihan yang lebih kuat dari yang lainnya.

21
Tarjih dalam istilah persyarikatan, sebagaimana terdapat uraian singkat
mengenai “Matan Keyakinan dan Cita-cita hidup Muhamadiyah” adalah
membanding-banding pendapat dalam musyawarah dan kemudian mengambil
mana yang mempunyai alasan yang lebih kuat.
Majlis Tarjih Muhammadiyah, lahir sebagai hasil keputusan Kongres ke-
16 organisasi ini di Pekalongan pada tahun 1927 pada periode kepengurusan KH.
Ibrahim (1878-1934) yang menjadi Ketua Hoofdbestuur Muhammadiyah kedua
sesudah KH. Ahmad Dahlan (1868-1923). Dalam kongres tersebut dibicarakan
usul Pimpinan Pusat Muhammadiyah, agar dalam persyarikatan itu diadakan
Majlis Tasyri’, Majlis Tanfidz dan Majlis Taftisy . Usul yang diajukan Pimpinan
Pusat tersebut semula berasal dari dan atas inisiatif seseorang tokoh ulama
Muhammadiyah terkemuka, KH. Mas Mansur (1896-1946) yang waktu itu
menjadi Konsul Hoofdbastoor Muhammadiyah Daerah Surabaya. Ide tersebut
sebelumnya telah berkembang di Surabaya dalam Kongres ke-15 tahun 1928.
Metode ijtihad dalam Manhaj Tarjih Muhammadiyah dapat dirumuskan ke
dalam 3 bentuk yaitu:
1. Ijtihad Bayani, adalah usaha yang dilakukan mujtahid dalam mendapatkan
hukum dari nash-zhanni dengan menginterpretasikan nash-nash al-Qur’an dan al-
hadits, agar nash itu menjadi lebih jelas dipahami maknanya. Terdapat lima bayan
yaitu:
• Bayan Taqrir
• Bayan Tafsir
• Bayan Taghyir
• Bayan Tabdil
• Bayan Dlarurah

2. Ijtihad Qiyasi, adalah ijtihad yang dilakukan untuk mendapatkan hukum suatu
masalah yang tidak ada nashnya secara langsung.
3. Ijtihad Istishlahi, adalah ijtihad dalam usaha mendapatkan hukum yang tidak
ada nash langsung yang mengandung hukum masalah yang dicari, dengan
mendasarkan masalah yang akan dicapai, yang disebut ijtihad istishlahi disini
dapat ditempuh dengan beberapa metode yaitu:
• Metode Istihsan
• Metode Sadd-u ‘l-dzari’ah
• Metode Istishlah
• Menetapkan hukum ‘urf
• Menafsirkan ayat kauniyah

22
DAFTAR PUSTAKA

Djamil, Fathurrahman. Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, Jakarta:


Logos Publishing House, 1995.
Shodiqin, Ali Dkk, Fiqih Ushul Fiqih, Buku Materi Pembelajaran Fakultas
Syari’an dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta 2014.
Sujarwanto Dkk, Muhammadiyah dan Tantangan Masa Depan Sebuah Dialog
Intelektual, Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1990.
Ali mukti, “Majlis tarjih muhammadiyah kini dan masa yang akan
datang”, makalah 1989
http://yuliastusi90.blogspot.co.id/2012/11/metode-ijtihad-dalam-manhaj-
tarjih.html
Https://ahmadzain.wordpress.com/2006/12/09/majlis-tarjih-muhammadiyah.com

23

Anda mungkin juga menyukai