Sebagai Produk
Sebagai Produk
BAB I
A. Pendahuluan
Sebagai sistem pengetahuan atau pengetahuan sistematis, ilmu memiliki ciri- ciri
empiris, sistematis, obyektif, analitis, dan verifikatif. 2 Ciri empiris mengandaikan
pengamatan (observasi) atau percobaan (eksperimen). Ilmu berbeda dari pengetahuan
karena ciri sistematis, dan berbeda dari filsafat karena ciri empirisnya.
Ilmu sebagai produk menggambarkan hasil-hasil yang berupa karya ilmiah, teori,
paradigma, teknologi. Sehingga ilmu sebagai produk adalah bebas nilai menurut sebagian
ahli. Adapun menurut sebagian lainnya ilmu tidaklah bebas dari nilai etik yang
1
The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta : Liberty Yogyakarta, 1999), 125.
2
Ibid, 127-128.
3
Ibid, 128.
Page |2
B. Landasan Ilmu
Ontologi membahas tentang apa yang ingin diketahui atau dengan kata lain
merupakan suatu pengkajian mengenai teori tentang ada. Dasar ontologis dari ilmu
berhubungan dengan materi yang menjadi objek penelaahan ilmu. Berdasarkan objek
yang telah ditelaahnya, ilmu dapat disebut sebagai pengetahuan empiris, karena objeknya
adalah sesuatu yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia yang mencakup
seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh panca indera manusia. Berlainan dengan
agama atau bentuk-bentuk pengetahuan yang lain, ilmu membatasi diri hanya kepada
kejadian-kejadian yang bersifat empiris, selalu berorientasi terhadap dunia empiris.5
4
Mohammad Adib, Filsafat Ilmu Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan (
Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010), 68.
5
Jujun S. Suriasumantri yang dikutip oleh Tim Dosen Filsafat Ilmu Ugm, Filsafat Ilmu (Yogyakarta :
Liberty Yogjakarta, 2007), 90.
6
Abdul Rahman Haji Abdullah, Wacana Falsafah Ilmu Analisis Konsep-Konsep Asas dan Falsafah
Pendidikan Negara ( Kuala Lumpur : Utusan Publications & Distributors Sdn Bhd, 2005), 19.
Page |3
mencermati gejala-gejala alam yang dikaji secara ilmiah sehingga secara ontologis, ilmu
pengetahuan harus memiliki aspek rasional dan empiris.7
Adapun ontologi secara umum membahas tentang yang ada, yaitu bahwa obyek
ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang ada dan terbagi menjadi tiga, ada dalam pikiran,
ada dalam kemungkinan, dan ada dalam kenyataan. Ada dalam fikiran seperti angan-
angan, ada dalam kemungkinan seperti fikiran kita yang masih belum teraktualisasikan
dalam sebuah perbuatan, dan ada dalam kenyataan yang bisa abstrak atau konkrit.
Abstrak seperti adanya Tuhan, jiwa dan lain sebagainya, dan konkrit seperti logika dan
seni menarik kesimpulan.
Dari titik ini dapat kita amati bahwa ruang lingkup ilmu ditinjau dari landasan
ontologinya ternyata lebih sempit daripada tinjauan ontologi secara umum karena hanya
terfokus kepada aspek-aspek rasional dan empiris saja. Tentunya hal ini yang kemudian
menjadi sebuah kelemahan filsafat ilmu versi Barat karena memutus hubungan antara
alam fisik dan metafisik. Berbeda dengan filsafat ilmu versi islam yang menjadikan alam
fisika sebagai tanda bagi keberadaan alam metafisika.8
7
Jujun S. Suriasumantri, Ilmu Dalam Perspektif Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu (
Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1995), 5. Adib, Filsafat Ilmu… , 69-74.
8
Muhammad Sayyid al-Julainid, Falsafah al-Tanwi>r bain al-Mashru>‘ al-Isla>miy wal Mashru>‘ al-
Taghri>biy ( Kairo : Da>r al-Quba>’ li al-T{aba>‘ah wa al-Nashr wa al-Tauzi>‘, 1999), 33-34.
Page |4
terbuka dan menjunjung kebenaran di atas segala-galanya.9 Secara umum metode ilmiah
merupakan proses kegiatan induksi-deduksi-verivikasi.10
3. Aksiologi, yang berusaha menjawab pertanyaan untuk apa ilmu itu ?11 Landasan
ini berusaha untuk melihat yang menjadi sumbangan ilmu untuk meningkatkan kualitas
hidup manusia.12
Dasar aksiologi ilmu membahas tentang manfaat yang diperoleh manusia dari
pengetahuan yang didapatnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa ilmu telah memberikan
kemudahan-kemudahan bagi manusia dalam mengendalikan kekuatan-kekuatan alam.
Dengan mempelajari atom kita dapat memanfaatkannya untuk sumber energi bagi
keselamatan manusia. Penciptaan bom atom akan meningkatkan kualitas persenjataan
dalam perang, sehingga jika senjata itu dipergunakan akan mengancam keselamatan umat
manusia.13
C. Obyek Ilmu
Objek adalah sasaran pokok atau tujuan penyelidikan keilmuan baik itu objek
material dan objek forma. Objek material ilmu adalah hal atau bahan yang menjadi
sasaran suatu ilmu pengetahuan, sedangkan objek forma ilmu adalah sudut pandang
pembahasan suatu ilmu pengetahuan.14
Objek material terdiri dari yang kongkrit dan abstrak. Objek kongkrit adalah objek
yang secara fisik dapat terlihat dan terasa oleh indera, adapun objek abstrak adalah objek
yang berupa ide-ide, paham, aliran, sikap dan sebagainya.15
Objek formal adalah cara memandang, cara meninjau yang dilakukan oleh seorang
peneliti terhadap objek materialnya serta prinsip-prinsip yang digunakannya. Objek
9
Jujun S. Suriasumantri yang dikutip oleh Tim Dosen Ugm, Filsafat Ilmu, 91.
10
Adib, Filsafat Ilmu…, 69.
11
Budiharto, Metodologi Penelitian Kesehatan (Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2006), 3.
12
Adib, Filsafat Ilmu…, 69.
13
Jujun S. Suriasumantri yang dikutip oleh Tim Dosen Ugm, Filsafat Ilmu, 91.
14
Asmadi, Konsep Dasar Keperawatan ( Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2005), 92.
15
A. Susano, Filsafat Ilmu Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis Epistemologis, dan Aksiologis ( Jakarta
: PT. Bumiaksara, 2011), 78-79.
Page |5
formal suatu ilmu tidak hanya memberi keutuhan suatu ilmu, tetapi pada saat yang sama
membedakannya dari bidang-bidang lain.16
Kedua Objek ilmu ini memiliki keterkaitan. Misalnya ilmu tafsir dan ilmu qiraat
yang kedua macam ilmu pengetahuan itu mempunyai objek material yang sama yaitu al-
Qur’an, akan tetapi obyek formalnya berbeda. Ilmu tafsir membahas al-Qur’an dari sudut
pembahasan makna yang tersembunyi dari al-Qur’an sedangkan ilmu qiraat membahas
al-Qur’an dari sudut pembahasan macam dan ragam bacaan dialek al-Qur’an. Oleh
karena itu obyek material ilmu pengetahuan dapat sama sedangkan obyek formalnya
pasti berbeda.
1. Bahasa
Bahasa pada hakikatnya mempunyai dua fungsi utama yakni, pertama, sebagai
sarana komunikasi antar manusia, dan kedua, sebagai sarana budaya yang
mempersatukan kelompok manusia yang mempergunakan bahasa tersebut. Bahasa adalah
unsur yang berpadu dengan unsur-unsur lain di dalam jaringan kebudayaan. Pada waktu
yang sama bahasa merupakan sarana pengungkapan nilai-nilai budaya, pikiran, dan nilai-
nilai kehidupan kemasyarakatan.
Yang dimaksud dengan bahasa sebagai sarana berfikir ilmiah disini ialah bahasa
ilmiah yang merupakan sarana komunikasi ilmiah untuk menyampaikan informasi dan
pengetahuan.19 Jika pengetahuan yang berupa rangkaian pemikiran konseptual itu dapat
16
Tim Dosen Ugm, Filsafat Ilmu, 22.
17
Ibid, 98.
18
Jujun S. Suriasumantri dalam Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada, 2011),
183.
19
Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 184.
Page |6
Bahasa ilmiah berbeda dengan bahasa umum yang memungkinkan adanya makna
ganda dan adanya tambahan nilai rasa yang bersifat konotasi, refleksi, dan emosi
sedangkan ragam bahasa ilmiah bersifat khusus karena menuntut ketunggalan makna dan
interpretasi. 21 Perbedaan lainnya adalah bahwa bahasa ilmiah memiliki isi konseptual
yang sewenang-wenang (arbitrer), adapun bahasa umum bersifat kebiasaan sehari-hari,
maka makna tidak perlu didefinisikan.22
Sifat-sifat yang diperlukan dalam komunikasi ilmiah adalah pertama bebas dari
unsur emotif agar komunikasi ilmiah berjalan dengan baik. Kedua reproduktif artinya
bila si pengirim komunikasi menyampaikan suatu informasi yang katakanlah x, maka si
penerima komunikasi harus menerima informasi yang berupa x pula. Informasi x yang
diterima harus merupakan reproduksi yang benar-benar sama dari informasi x yang
dikirimkan. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah apa yang dinamakan sebagai suatu
salah informasi. Ketiga obyektif dan eksplisit oleh karena itu istilah-istilah yang
digunakan harus didefinisikan untuk menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh istilah
tersebut.23
Namun bahasa tidaklah cukup memadai untuk menjadi satu-satunya sarana berfikir
ilmiah, hal ini dikarenakan pereduksian makna yang hendak dilakukan oleh ilmuan hanya
sampai pada batas tertentu, maka diperlukan sarana berfikir ilmiah lainnya yang berupa
matematika, logika, dan statistika.24
20
Jujun, Ilmu Dalam Perspektif … , 226.
21
J.D. Parera, Teori Semantik ( Jakarta : Erlangga, 2004), 187.
22
Tim Dosen Ugm, Filsafat Ilmu, 100.
23
Ibid, 101-102.
24
Parera, Teori Semantik, 187.
25
Morris Kline, “Matematika” dalam Jujun, Ilmu Dalam Perspektif … , 173. Dosen Ugm, Filsafat Ilmu,
107.
Page |7
deduktif adalah suatu metode yang menyimpulkan bahwa data-data empirik diolah lebih
lanjut dalam suatu system pernyataan yang runtun. 26 Matematika adalah pengetahuan
sebagai sarana berpikir deduktif yang dalil-dalilnya tidak perlu dibuktikan kebenarannya
melalui penyelidikan empirik, melainkan melalui penjabaran dalil-dalil yang sudah
diperoleh sebelumnya, dan yang terakhir ini pada gilirannya juga dibuktikan
kebenarannya dari dalil-dalil yang sudah ada sebelumnya, dan begitus seterusnya. Dalil-
dalil matematik dibuktikan kebenarannya berdasarkan atas dalil-dalil yang lain, dan
bukannya berdasarkan atas pengamatan. Dalil-dalil itu tentunya adalah dalili-dalil yang
diterima kebenarannya tanpa bukti, yaitu aksioma-aksioma atau postulat-postulat.27
Matematika memiliki beberapa sifat yaitu, pertama, Jelas, spesifik dan informatif.
Kedua, tidak menimbulkan konotasi emosional. Dan ketiga, bersifat kuantitatif.
Meskipun matematika adalah suatu ilmu yang tidak bersifat empiris, namun
dengan caranya sendiri ia terikat dengan tahap inderawi. Ke non-empirisan matematika
tidak bertentangan dengan kenyataan bahwa ilmu itu berpangkal pada segi-segi empiris
tertentu dari realitas. Biarpun orang Yunani yakin bahwa matematika mereka betul-betul
mempelajari realitas, namun mereka insaf pula bahwa cara mempelajari realitas itu
berlainan dengan cara yang dipakai ilmu pengetahuan empiris. Dalam perkembangannya,
matematika telah melepaskan diri dari ikatan realitas empiris, namun herannya bahwa
matematika dalam bentuk abstrak masih tetap sangat penting bagi ilmu-ilmu empiris.28
Matematika adalah bentuk logika paling tinggi yang pernah diciptakan oleh
pemikiran manusia. Matematika juga menyediakan bagi ilmu-ilmu lainnya, sistem logika
dan berbagai segi kegiatan keilmuan. 29 Sebagai bahasa, matematika memiliki sifat
artifisial yang baru mempunyai arti setelah sebuah makna diberikan kepadanya.30
26
Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 153.
27
Beerling, Kwee, Mooij var Peursen, Pengantar Filsafat Ilmu ( Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya,
2003), 23-24.
28
A.G.M. Van Melsen, Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab Kita (Jakarta : Gramedia, 1992), 42-44.
29
Howard F. Fehr, “Komunikasi Pemikiran Keilmuan” dalam Jujun S. Suriasumantri, Ilmu Dalam
Perspektif Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu ( Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2001),
211.
30
Jujun S. Suriasumantri dalam Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 188. Tim Dosen Ugm, Filsafat Ilmu, 107.
Page |8
Matematika dan logika ibarat kakak dan adik. Bertrand Russell menyatakan bahwa
perbedaan logika dan matematika adalah bahwa logika adalah anak kecil dari
matematika, sedangkan matematika adalah masa dewasa dari logika. 32 Dari sini dapat
kita nyatakan bahwa hubungan antara matematika dan logika begitu erat sehingga antara
satu dan lainnya seperti kesatuan yang tak terpisahkan.
3. Statistika
Logika induktif tidak memberikan kepastian namun sekedar tingkat peluang bahwa
untuk premis-premis tertentu dapat ditarik suatu kesimpulan, dan kesimpulannya
mungkin benar mungkin salah. Penalaran induktif memiliki beberapa proses yang dapat
disusun sebagai berikut :
31
S{ala>h Qans}uwah, Falsafat al-‘Ilm ( Kairo : Maktabah al-Usrah, 2003), 209.
32
Jujun, Ilmu Dalam Perspektif … , 22. Tim Dosen Ugm, Filsafat Ilmu, 108.
33
Tim Dosen Ugm, Filsafat Ilmu, 116 Tim Dosen Ugm, Filsafat Ilmu, 108..
34
Jujun, Ilmu Dalam Perspektif … , 20.
35
Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 152.
Page |9
d. Teori dan hukum ilmiah. Hasil terakhir yang diharapkan dalam induksi ilmiah
ialah untuk sampai kepada hukum ilmiah. 36
Namun bukan berarti cara berfikir induktif yang terdapat dalam statistika tidak
mendapat kritik. Kritik-kritik terhadap logika induktif berpangkal kepada pandangan
kaum induktivis yang menyatakan bahwa ilmu bertolak dari observasi dan observasi
memberikan dasar yang kukuh untuk membangun pengetahuan ilmiah di atasnya,
sedangkan pengetahuan ilmiah disimpulkan dari keterangan-keterangan observasi yang
diperoleh melalui induksi.38
36
Tim Dosen Ugm, Filsafat Ilmu, 116-118.
37
Ibid, 199.
38
A.F. Chalmers, Apa Itu Yang Dinamakan Ilmu ? Suatu Penilaian Tentang Watak dan Status Ilmu Serta
Metodenya ( Jakarta : Hasta Mitra, 1983), 13.
P a g e | 10
observasi atau dalam variasi apa observasi itu harus dilakukan sehingga dapat menjadi
keterangan universal yang dapat mewakili variabel yang tak terobservasi.39
E. Klasifikasi Ilmu
Klasifikasi ilmu terkait erat dengan apa yang dimaksudkan oleh para peneliti. Ada
beberapa peneliti yang hanya menaruh minat hanya pada penelitian ilmiah murni dan
tidak mempunyai tujuan lain daripada menambah atau mendalami pengetahuan. Namun
ada beberapa peneliti yang mengadakan penelitian dengan tujuan eksplisit menemukan
penemuan-penemuan baru. Dari sini kemudian muncul klasifikasi ilmu menjadi ilmu-
ilmu teoritis dan dan praktis.40
Dalam perkembangan keilmuan dewasa ini, perbedaan tersebut sudah tidak begitu
tajam. Hal ini dikarenakan batas-batas antara ilmu teoritis dan praktis sudah tidak bisa
dibedakan dengan jelas. Ilmu teoritis ternyata juga memerlukan eksperimen untuk tujuan
langsung sehingga ada sisi-sisi praktis di dalamnya, begitu juga ilmu praktis begitu erat
kaitannya dengan teori.42
Walaupun hubungan antara ilmu teoritis dan praktis begitu kuat, namun pembedaan
terhadap keduanya tidak bisa dihilangkan. Ilmu teoritis atau murni merupakan dasar dari
ilmu praktis atau terapan.43
39
Ibid, 1-20.
40
Melsen, Ilmu Pengetahuan…, 50-51.
41
Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, 166.
42
Melsen, Ilmu Pengetahuan…, 49.
43
Ibid, 52-54.
P a g e | 11
Ilmu teoritis terdiri dari sebuah sistem pernyataan, dimana beberapa ilmu teoritis ini
disatukan dalam sebuah konsep dan dinyatakan dalam sebuah teori. Makin tinggi tingkat
keumuman suatu konsep maka makin “teoritis” konsep tersebut. Makin teoritis suatu
konsep maka makin jauh pernyataan yang dikandungnya bila dikaitkan dengan gejala-
gejala fisik yang tampak nyata.
Kegunaan praktis dari sebuah konsep yang bersifat teoritis baru dapat
dikembangkan sekiranya konsep yang bersifat mendasar tersebut diterapkan pada
masalah-masalah yang bersifat praktis, sehingga kita sering mendengar konsep dasar dan
konsep terapan yang diwujudkan dalam bentuk ilmu dasar/murni dan ilmu terapan serta
penelitian dasar dan penelitian terapan.
F. Struktur Ilmu
Obyek terdiri dari obyek material dan obyek formal dikenal dengan istilah obyek
sebenarnya (proper obyek).
- Teori Ilmiah adalah sekumpulan proposisi yang saling berkaitan secara logis
untuk member penjelasan mengenai sejumlah fenomena.
- Objektivitas menyatakan bahwa ilmu pengetahuan yang telah diuji secara obyektif
oleh para ilmuan akan diterima secara umum menjadi kesepakatan pendapat rasional.44
G. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat kita menyimpulkan beberapa poin dibawah ini :
1. Ilmu sebagai produk adalah ilmu sebagai pengetahuan yang sistematis sebagai
hasil dari aktivitas proses ilmiah dengan mempergunakan metodologi ilmiah sebagai
prosedur untuk mendapatkan produk keilmuan yang dapat dipertanggungjawabkan.
2. Sarana berfikir ilmiah yang terangkum dalam bahasa, matematika, logika, dan
statistika sejatinya hanya sebuah jalan atau metode untuk mengaktualisasikan ilmu
pengetahuan dalam realita sehingga dapat memberikan sebuah kemanfaatan yang begitu
besar bagi kemanusiaan. Meskipun ada beberapa kritik terhadap penalaran induktif
namun setidaknya ada segi positif yang bisa diambil melalui generalisasi minimal
efesiensi dan efektivitas.
3. Diskursus pengkotakan antara ilmu murni dan terapan dewasa ini sudah tidak
begitu relevan karena masing-masing antara ilmu dan terapan sebuah mulai melakukan
integrasi sehingga batasan antar ilmu murni dan terapan menjadi abu-abu.
44
Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, 139-150.
P a g e | 14
Daftar Pustaka
Abdullah, Abdul Rahman Haji. Wacana Falsafah Ilmu Analisis Konsep-Konsep Asas dan
Falsafah Pendidikan Negara. Kuala Lumpur : Utusan Publications & Distributors
Sdn Bhd, 2005.
Adib, Mohammad. Filsafat Ilmu Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
Pengetahuan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010.
Asmadi. Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2005.
Chalmers, A.F. Apa Itu Yang Dinamakan Ilmu ? Suatu Penilaian Tentang Watak dan
Status Ilmu Serta Metodenya. Jakarta : Hasta Mitra, 1983.
Gie, The Liang. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Liberty Yogyakarta, 1999.
Melsen, A.G.M. Val. Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab Kita. Jakarta : Gramedia,
1992.
Susano, A. Filsafat Ilmu Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis Epistemologis, dan
Aksiologis. Jakarta : PT. Bumiaksara, 2011.
Ugm, Tim Dosen Filsafat Ilmu. Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Liberty Yogjakarta, 2007.