Anda di halaman 1dari 15

Page |1

BAB I

A. Pendahuluan

Ilmu sebagai produk berarti ilmu merupakan kumpulan pengetahuan sistematis


yang merupakan produk dari aktivitas penelitian dengan metode ilmiah sebagai sistem
pengetahuan. Ilmu menurut salah satu maknanya adalah pengetahuan. Pengetahuan itu
mengenai sesuatu pokok soal (objek materi) dan berdasarkan suatu titik pusat minat
(objek formal). Objek formal dan objek materi ini kemudian membentuk sasaran yang
sesuai dengan ilmu yang bersangkutan.1

Sebagai sistem pengetahuan atau pengetahuan sistematis, ilmu memiliki ciri- ciri
empiris, sistematis, obyektif, analitis, dan verifikatif. 2 Ciri empiris mengandaikan
pengamatan (observasi) atau percobaan (eksperimen). Ilmu berbeda dari pengetahuan
karena ciri sistematis, dan berbeda dari filsafat karena ciri empirisnya.

Ciri sistematis berarti bahwa kumpulan pengetahuan-pengetahuan itu memiliki


hubungan-hubungan ketergantungan dan teratur. Ciri obyektif ilmu berarti bahwa
pengetahuan ilmiah bebas dari prasangka perseorangan (personal bias) dan pamrih
pribadi. Ilmu arus berisi data yang menggambarkan secara terus terang gejala-gejala yang
ditelaahnya. Ilmu berciri analitis artinya ilmu melakukan pemilahan-pemilahan atas
obyek materialnya ke dalam bagian-bagian yang terperinci untuk memahami berbagai
sifat, hubungan, dan peranan dari bagian-bagian tersebut. Ciri verifikatif ilmu berarti
bahwa tujuan yang ingin dicapai ilmu ialah kebenaran ilmiah. Kebenaran ini dapat berupa
kaidah-kaidah atau azas-azas yang universal mengenai objek material yang bersangkutan.
Dengan demikian, manusia dapat membuat ramalan dan menguasai alam.3

Ilmu sebagai produk menggambarkan hasil-hasil yang berupa karya ilmiah, teori,
paradigma, teknologi. Sehingga ilmu sebagai produk adalah bebas nilai menurut sebagian
ahli. Adapun menurut sebagian lainnya ilmu tidaklah bebas dari nilai etik yang

1
The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta : Liberty Yogyakarta, 1999), 125.
2
Ibid, 127-128.
3
Ibid, 128.
Page |2

menggiringnya menuju produk yang dapat memberikan kemanfaatan kepada


kemanusiaan, bukan malah sebaliknya.

B. Landasan Ilmu

Dalam pembahasan filsafat ilmu kita mengenal dimensi-dimensi filosofis sebagai


landasan ilmu :

1. Ontologi, yang berusaha untuk menjawab pertanyaan apakah obyek ilmu


pengetahuan itu ? Hal ini berarti tiap ilmu harus mempunyai objek penelaahan yang jelas
karena diversivikasi ilmu terjadi atas dasar spesifikasi objek telaahannya, maka tiap
disiplin ilmu mempunyai landasan ontologi yang berbeda.4

Ontologi membahas tentang apa yang ingin diketahui atau dengan kata lain
merupakan suatu pengkajian mengenai teori tentang ada. Dasar ontologis dari ilmu
berhubungan dengan materi yang menjadi objek penelaahan ilmu. Berdasarkan objek
yang telah ditelaahnya, ilmu dapat disebut sebagai pengetahuan empiris, karena objeknya
adalah sesuatu yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia yang mencakup
seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh panca indera manusia. Berlainan dengan
agama atau bentuk-bentuk pengetahuan yang lain, ilmu membatasi diri hanya kepada
kejadian-kejadian yang bersifat empiris, selalu berorientasi terhadap dunia empiris.5

Landasan ontologi ilmu berhubungan dengan hakikat ilmu pengetahuan, yaitu


bahwa ilmu itu adalah pengetahuan yang bersifat rasional, reflektif, dan dapat dibuktikan
kebenarannya dalam realitas.6 Maka, sesuatu yang tidak dapat dibuktikan secara empiris
tidak dapat diklasifikasikan sebagai suatu ilmu. Lingkup ilmu hanya sebatas pengalaman
manusia saja, karena pada hakikatnya ilmu adalah hasil kemampuan manusia dalam

4
Mohammad Adib, Filsafat Ilmu Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan (
Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010), 68.
5
Jujun S. Suriasumantri yang dikutip oleh Tim Dosen Filsafat Ilmu Ugm, Filsafat Ilmu (Yogyakarta :
Liberty Yogjakarta, 2007), 90.
6
Abdul Rahman Haji Abdullah, Wacana Falsafah Ilmu Analisis Konsep-Konsep Asas dan Falsafah
Pendidikan Negara ( Kuala Lumpur : Utusan Publications & Distributors Sdn Bhd, 2005), 19.
Page |3

mencermati gejala-gejala alam yang dikaji secara ilmiah sehingga secara ontologis, ilmu
pengetahuan harus memiliki aspek rasional dan empiris.7

Adapun ontologi secara umum membahas tentang yang ada, yaitu bahwa obyek
ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang ada dan terbagi menjadi tiga, ada dalam pikiran,
ada dalam kemungkinan, dan ada dalam kenyataan. Ada dalam fikiran seperti angan-
angan, ada dalam kemungkinan seperti fikiran kita yang masih belum teraktualisasikan
dalam sebuah perbuatan, dan ada dalam kenyataan yang bisa abstrak atau konkrit.
Abstrak seperti adanya Tuhan, jiwa dan lain sebagainya, dan konkrit seperti logika dan
seni menarik kesimpulan.

Dari titik ini dapat kita amati bahwa ruang lingkup ilmu ditinjau dari landasan
ontologinya ternyata lebih sempit daripada tinjauan ontologi secara umum karena hanya
terfokus kepada aspek-aspek rasional dan empiris saja. Tentunya hal ini yang kemudian
menjadi sebuah kelemahan filsafat ilmu versi Barat karena memutus hubungan antara
alam fisik dan metafisik. Berbeda dengan filsafat ilmu versi islam yang menjadikan alam
fisika sebagai tanda bagi keberadaan alam metafisika.8

2. Epistemologi membahas secara mendalam segenap proses yang terlibat dalam


usaha untuk memperoleh pengetahuan. Dengan kata lain epistemologi adalah suatu teori
pengetahuan. Ilmu merupakan pengetahuan yang diperoleh melalui proses tertentu yang
dinamakan metode keilmuan. Kegiatan dalam mencari pengetahuan tentang apapun
selama hal itu terbatas pada objek empiris dan pengetahuan tersebut diperoleh dengan
mempergunakan metode keilmuan, sah disebut keilmuan. Kata-kata sifat keilmuan lebih
mencerminkan hakikat ilmu daripada istilah ilmu sebagai kata benda. Hakikat keilmuan
ditentukan oleh cara berfikir yang dilakukan menurut syarat keilmuan, yaitu bersifat

7
Jujun S. Suriasumantri, Ilmu Dalam Perspektif Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu (
Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1995), 5. Adib, Filsafat Ilmu… , 69-74.
8
Muhammad Sayyid al-Julainid, Falsafah al-Tanwi>r bain al-Mashru>‘ al-Isla>miy wal Mashru>‘ al-
Taghri>biy ( Kairo : Da>r al-Quba>’ li al-T{aba>‘ah wa al-Nashr wa al-Tauzi>‘, 1999), 33-34.
Page |4

terbuka dan menjunjung kebenaran di atas segala-galanya.9 Secara umum metode ilmiah
merupakan proses kegiatan induksi-deduksi-verivikasi.10

3. Aksiologi, yang berusaha menjawab pertanyaan untuk apa ilmu itu ?11 Landasan
ini berusaha untuk melihat yang menjadi sumbangan ilmu untuk meningkatkan kualitas
hidup manusia.12

Dasar aksiologi ilmu membahas tentang manfaat yang diperoleh manusia dari
pengetahuan yang didapatnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa ilmu telah memberikan
kemudahan-kemudahan bagi manusia dalam mengendalikan kekuatan-kekuatan alam.
Dengan mempelajari atom kita dapat memanfaatkannya untuk sumber energi bagi
keselamatan manusia. Penciptaan bom atom akan meningkatkan kualitas persenjataan
dalam perang, sehingga jika senjata itu dipergunakan akan mengancam keselamatan umat
manusia.13

C. Obyek Ilmu

Objek adalah sasaran pokok atau tujuan penyelidikan keilmuan baik itu objek
material dan objek forma. Objek material ilmu adalah hal atau bahan yang menjadi
sasaran suatu ilmu pengetahuan, sedangkan objek forma ilmu adalah sudut pandang
pembahasan suatu ilmu pengetahuan.14

Objek material terdiri dari yang kongkrit dan abstrak. Objek kongkrit adalah objek
yang secara fisik dapat terlihat dan terasa oleh indera, adapun objek abstrak adalah objek
yang berupa ide-ide, paham, aliran, sikap dan sebagainya.15

Objek formal adalah cara memandang, cara meninjau yang dilakukan oleh seorang
peneliti terhadap objek materialnya serta prinsip-prinsip yang digunakannya. Objek

9
Jujun S. Suriasumantri yang dikutip oleh Tim Dosen Ugm, Filsafat Ilmu, 91.
10
Adib, Filsafat Ilmu…, 69.
11
Budiharto, Metodologi Penelitian Kesehatan (Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2006), 3.
12
Adib, Filsafat Ilmu…, 69.
13
Jujun S. Suriasumantri yang dikutip oleh Tim Dosen Ugm, Filsafat Ilmu, 91.
14
Asmadi, Konsep Dasar Keperawatan ( Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2005), 92.
15
A. Susano, Filsafat Ilmu Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis Epistemologis, dan Aksiologis ( Jakarta
: PT. Bumiaksara, 2011), 78-79.
Page |5

formal suatu ilmu tidak hanya memberi keutuhan suatu ilmu, tetapi pada saat yang sama
membedakannya dari bidang-bidang lain.16

Kedua Objek ilmu ini memiliki keterkaitan. Misalnya ilmu tafsir dan ilmu qiraat
yang kedua macam ilmu pengetahuan itu mempunyai objek material yang sama yaitu al-
Qur’an, akan tetapi obyek formalnya berbeda. Ilmu tafsir membahas al-Qur’an dari sudut
pembahasan makna yang tersembunyi dari al-Qur’an sedangkan ilmu qiraat membahas
al-Qur’an dari sudut pembahasan macam dan ragam bacaan dialek al-Qur’an. Oleh
karena itu obyek material ilmu pengetahuan dapat sama sedangkan obyek formalnya
pasti berbeda.

D. Sarana Berfikir Ilmiah

Sarana ilmiah merupakan alat bagi cabang-cabang pengetahuan untuk


mengembangkan materi pengetahuan berdasarkan metode ilmiah. 17 Sarana ilmiah juga
adalah alat bantu dalam proses metode ilmiah.18 Adapun sarana berfikir ilmiah adalah
bahasa, matematika, logika, dan statistika.

1. Bahasa

Bahasa pada hakikatnya mempunyai dua fungsi utama yakni, pertama, sebagai
sarana komunikasi antar manusia, dan kedua, sebagai sarana budaya yang
mempersatukan kelompok manusia yang mempergunakan bahasa tersebut. Bahasa adalah
unsur yang berpadu dengan unsur-unsur lain di dalam jaringan kebudayaan. Pada waktu
yang sama bahasa merupakan sarana pengungkapan nilai-nilai budaya, pikiran, dan nilai-
nilai kehidupan kemasyarakatan.

Yang dimaksud dengan bahasa sebagai sarana berfikir ilmiah disini ialah bahasa
ilmiah yang merupakan sarana komunikasi ilmiah untuk menyampaikan informasi dan
pengetahuan.19 Jika pengetahuan yang berupa rangkaian pemikiran konseptual itu dapat

16
Tim Dosen Ugm, Filsafat Ilmu, 22.
17
Ibid, 98.
18
Jujun S. Suriasumantri dalam Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada, 2011),
183.
19
Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 184.
Page |6

dipahami dan diaktualisasikan, tentunya implikasinya adalah pesatnya kemajuan yang


akan dicapai oleh manusia.20

Bahasa ilmiah berbeda dengan bahasa umum yang memungkinkan adanya makna
ganda dan adanya tambahan nilai rasa yang bersifat konotasi, refleksi, dan emosi
sedangkan ragam bahasa ilmiah bersifat khusus karena menuntut ketunggalan makna dan
interpretasi. 21 Perbedaan lainnya adalah bahwa bahasa ilmiah memiliki isi konseptual
yang sewenang-wenang (arbitrer), adapun bahasa umum bersifat kebiasaan sehari-hari,
maka makna tidak perlu didefinisikan.22

Sifat-sifat yang diperlukan dalam komunikasi ilmiah adalah pertama bebas dari
unsur emotif agar komunikasi ilmiah berjalan dengan baik. Kedua reproduktif artinya
bila si pengirim komunikasi menyampaikan suatu informasi yang katakanlah x, maka si
penerima komunikasi harus menerima informasi yang berupa x pula. Informasi x yang
diterima harus merupakan reproduksi yang benar-benar sama dari informasi x yang
dikirimkan. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah apa yang dinamakan sebagai suatu
salah informasi. Ketiga obyektif dan eksplisit oleh karena itu istilah-istilah yang
digunakan harus didefinisikan untuk menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh istilah
tersebut.23

Namun bahasa tidaklah cukup memadai untuk menjadi satu-satunya sarana berfikir
ilmiah, hal ini dikarenakan pereduksian makna yang hendak dilakukan oleh ilmuan hanya
sampai pada batas tertentu, maka diperlukan sarana berfikir ilmiah lainnya yang berupa
matematika, logika, dan statistika.24

2. Matematika dan Logika

Matematika dan logika mempunyai peranan penting dalam berpikir deduktif 25


sehingga mudah diikuti dan dilacak kembali kebenarannya. Yang dimaksud dengan

20
Jujun, Ilmu Dalam Perspektif … , 226.
21
J.D. Parera, Teori Semantik ( Jakarta : Erlangga, 2004), 187.
22
Tim Dosen Ugm, Filsafat Ilmu, 100.
23
Ibid, 101-102.
24
Parera, Teori Semantik, 187.
25
Morris Kline, “Matematika” dalam Jujun, Ilmu Dalam Perspektif … , 173. Dosen Ugm, Filsafat Ilmu,
107.
Page |7

deduktif adalah suatu metode yang menyimpulkan bahwa data-data empirik diolah lebih
lanjut dalam suatu system pernyataan yang runtun. 26 Matematika adalah pengetahuan
sebagai sarana berpikir deduktif yang dalil-dalilnya tidak perlu dibuktikan kebenarannya
melalui penyelidikan empirik, melainkan melalui penjabaran dalil-dalil yang sudah
diperoleh sebelumnya, dan yang terakhir ini pada gilirannya juga dibuktikan
kebenarannya dari dalil-dalil yang sudah ada sebelumnya, dan begitus seterusnya. Dalil-
dalil matematik dibuktikan kebenarannya berdasarkan atas dalil-dalil yang lain, dan
bukannya berdasarkan atas pengamatan. Dalil-dalil itu tentunya adalah dalili-dalil yang
diterima kebenarannya tanpa bukti, yaitu aksioma-aksioma atau postulat-postulat.27

Matematika memiliki beberapa sifat yaitu, pertama, Jelas, spesifik dan informatif.
Kedua, tidak menimbulkan konotasi emosional. Dan ketiga, bersifat kuantitatif.

Meskipun matematika adalah suatu ilmu yang tidak bersifat empiris, namun
dengan caranya sendiri ia terikat dengan tahap inderawi. Ke non-empirisan matematika
tidak bertentangan dengan kenyataan bahwa ilmu itu berpangkal pada segi-segi empiris
tertentu dari realitas. Biarpun orang Yunani yakin bahwa matematika mereka betul-betul
mempelajari realitas, namun mereka insaf pula bahwa cara mempelajari realitas itu
berlainan dengan cara yang dipakai ilmu pengetahuan empiris. Dalam perkembangannya,
matematika telah melepaskan diri dari ikatan realitas empiris, namun herannya bahwa
matematika dalam bentuk abstrak masih tetap sangat penting bagi ilmu-ilmu empiris.28

Matematika adalah bentuk logika paling tinggi yang pernah diciptakan oleh
pemikiran manusia. Matematika juga menyediakan bagi ilmu-ilmu lainnya, sistem logika
dan berbagai segi kegiatan keilmuan. 29 Sebagai bahasa, matematika memiliki sifat
artifisial yang baru mempunyai arti setelah sebuah makna diberikan kepadanya.30

26
Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 153.
27
Beerling, Kwee, Mooij var Peursen, Pengantar Filsafat Ilmu ( Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya,
2003), 23-24.
28
A.G.M. Van Melsen, Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab Kita (Jakarta : Gramedia, 1992), 42-44.
29
Howard F. Fehr, “Komunikasi Pemikiran Keilmuan” dalam Jujun S. Suriasumantri, Ilmu Dalam
Perspektif Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu ( Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2001),
211.
30
Jujun S. Suriasumantri dalam Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 188. Tim Dosen Ugm, Filsafat Ilmu, 107.
Page |8

Namun menurut Kurt Friedrich Gödel walaupun matematika memiliki bagunan


yang kuat namun ia masih memerlukan unsur lain yaitu logika untuk memperbaiki
problem dan kontradiksi yang kadang terjadi di dalam permasalahan matematika dan
tidak dapat dipecahnya oleh teori matematika sendiri. Teori Gödel ini lebih dikenal
dengan teori incompleteness.31

Matematika dan logika ibarat kakak dan adik. Bertrand Russell menyatakan bahwa
perbedaan logika dan matematika adalah bahwa logika adalah anak kecil dari
matematika, sedangkan matematika adalah masa dewasa dari logika. 32 Dari sini dapat
kita nyatakan bahwa hubungan antara matematika dan logika begitu erat sehingga antara
satu dan lainnya seperti kesatuan yang tak terpisahkan.

3. Statistika

Statistika mempunyai peranan penting dalam berpikir induktif 33 untuk mencari


konsep-konsep umum yang bisa diandalkan. 34 Yang dimaksud dengan induksi adalah
metode yang menyimpulkan pernyataan-pernyataan hasil observasi disimpulkan dalam
suatu pernyataan yang lebih umum.35 Statistika ialah pengetahuan sebagai sarana berpikir
induktif yang memiliki sifat dapat digunakan untuk menguji tingkat ketelitian dan untuk
menentukan hubungan kausalitas antar faktor terkait.

Logika induktif tidak memberikan kepastian namun sekedar tingkat peluang bahwa
untuk premis-premis tertentu dapat ditarik suatu kesimpulan, dan kesimpulannya
mungkin benar mungkin salah. Penalaran induktif memiliki beberapa proses yang dapat
disusun sebagai berikut :

a. Observasi dan eksperimen. Langkah pertama adalah mengumpulkan fakta-fakta


khusus. Metode khusus yang digunakan adalah observasi dan eksperimen.

31
S{ala>h Qans}uwah, Falsafat al-‘Ilm ( Kairo : Maktabah al-Usrah, 2003), 209.
32
Jujun, Ilmu Dalam Perspektif … , 22. Tim Dosen Ugm, Filsafat Ilmu, 108.
33
Tim Dosen Ugm, Filsafat Ilmu, 116 Tim Dosen Ugm, Filsafat Ilmu, 108..
34
Jujun, Ilmu Dalam Perspektif … , 20.
35
Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 152.
Page |9

b. Hipotesis ilmiah. Langkah kedua dalam induksi ialah perumusan hipotesis.


Hipotesis adalah suatu dalil sementara yang diajukan berdasarkan pengetahuan yang
terkumpul sebagai petunjuk bagi penelitian lebih lanjut.

c. Verifikasi dan pengukuhan. Langkah ketiga dalam penalaran induktif adalah


mengadakan verifikasi. Hipotesis adalah sekedar perumusan dalil sementara yang harus
dibuktikan atau diterapkan terhadap fakta-fakta atau juga diperbandingkan dengan fakta-
fakta lain untuk diambil kesimpulan umum.

d. Teori dan hukum ilmiah. Hasil terakhir yang diharapkan dalam induksi ilmiah
ialah untuk sampai kepada hukum ilmiah. 36

Statistika merupakan ilmu yang mempelajari tentang cara mendapatkan data,


menganalisis dan menyajikan data serta mendapatkan suatu kesimpulan lalu membuat
perkiraan dan menyusun ramalan secara ilmiah. 37 Statistika sangat berperan dalam
perkembangan ilmu pengetahuan terutama dalam penelitian.

Namun bukan berarti cara berfikir induktif yang terdapat dalam statistika tidak
mendapat kritik. Kritik-kritik terhadap logika induktif berpangkal kepada pandangan
kaum induktivis yang menyatakan bahwa ilmu bertolak dari observasi dan observasi
memberikan dasar yang kukuh untuk membangun pengetahuan ilmiah di atasnya,
sedangkan pengetahuan ilmiah disimpulkan dari keterangan-keterangan observasi yang
diperoleh melalui induksi.38

Keterangan-keterangan tunggal yang dihasilkan oleh observasi nyatanya tidak


memiliki justifikasi untuk dijadikan dasar untuk menjadi sebuah keterangan universal
yang membentuk pengetahuan ilmiah. Hal ini dikarenakan keterangan-keterangan
tunggal tersebut tidak memiliki ukuran yang jelas seperti berapa kali harus dilakukan

36
Tim Dosen Ugm, Filsafat Ilmu, 116-118.
37
Ibid, 199.
38
A.F. Chalmers, Apa Itu Yang Dinamakan Ilmu ? Suatu Penilaian Tentang Watak dan Status Ilmu Serta
Metodenya ( Jakarta : Hasta Mitra, 1983), 13.
P a g e | 10

observasi atau dalam variasi apa observasi itu harus dilakukan sehingga dapat menjadi
keterangan universal yang dapat mewakili variabel yang tak terobservasi.39

E. Klasifikasi Ilmu

Klasifikasi ilmu terkait erat dengan apa yang dimaksudkan oleh para peneliti. Ada
beberapa peneliti yang hanya menaruh minat hanya pada penelitian ilmiah murni dan
tidak mempunyai tujuan lain daripada menambah atau mendalami pengetahuan. Namun
ada beberapa peneliti yang mengadakan penelitian dengan tujuan eksplisit menemukan
penemuan-penemuan baru. Dari sini kemudian muncul klasifikasi ilmu menjadi ilmu-
ilmu teoritis dan dan praktis.40

Pembedaan antara pengetahuan teoretis dan pengetahuan praktis sudah dikenal


sejak zaman Yunani Kuno. Misalnya filsuf Aristoteles membagi kumpulan pengetahuan
rasional menjadi tiga kelompok: pengetahuan teoretis (misalnya fisika), pengetahuan
praktis (misalnya etika), dan pengetahuan produktif (misalnya retorika). Pembagian
selanjutnya sebagai pelengkap pembagian menurut ragam ialah pembagian ilmu menurut
jenisnya.41

Dalam perkembangan keilmuan dewasa ini, perbedaan tersebut sudah tidak begitu
tajam. Hal ini dikarenakan batas-batas antara ilmu teoritis dan praktis sudah tidak bisa
dibedakan dengan jelas. Ilmu teoritis ternyata juga memerlukan eksperimen untuk tujuan
langsung sehingga ada sisi-sisi praktis di dalamnya, begitu juga ilmu praktis begitu erat
kaitannya dengan teori.42

Walaupun hubungan antara ilmu teoritis dan praktis begitu kuat, namun pembedaan
terhadap keduanya tidak bisa dihilangkan. Ilmu teoritis atau murni merupakan dasar dari
ilmu praktis atau terapan.43

39
Ibid, 1-20.
40
Melsen, Ilmu Pengetahuan…, 50-51.
41
Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, 166.
42
Melsen, Ilmu Pengetahuan…, 49.
43
Ibid, 52-54.
P a g e | 11

Ilmu teoritis terdiri dari sebuah sistem pernyataan, dimana beberapa ilmu teoritis ini
disatukan dalam sebuah konsep dan dinyatakan dalam sebuah teori. Makin tinggi tingkat
keumuman suatu konsep maka makin “teoritis” konsep tersebut. Makin teoritis suatu
konsep maka makin jauh pernyataan yang dikandungnya bila dikaitkan dengan gejala-
gejala fisik yang tampak nyata.

Kegunaan praktis dari sebuah konsep yang bersifat teoritis baru dapat
dikembangkan sekiranya konsep yang bersifat mendasar tersebut diterapkan pada
masalah-masalah yang bersifat praktis, sehingga kita sering mendengar konsep dasar dan
konsep terapan yang diwujudkan dalam bentuk ilmu dasar/murni dan ilmu terapan serta
penelitian dasar dan penelitian terapan.

F. Struktur Ilmu

Struktur ilmu adalah kesalingketerkaitan antara sekumpulan pengetahuan yang


terdiri dari komponen-komponen agar dapat menjadi dasar teoritis atau memberikan
penjelasan.

Setidaknya pengetahuan ilmiah mencakup lima kelompok unsur :

i. Jenis-jenis sasaran atau obyek.

Obyek terdiri dari obyek material dan obyek formal dikenal dengan istilah obyek
sebenarnya (proper obyek).

ii. Bentuk-bentuk pernyataan.

Obyek sebenarnya di atas dituangkan dalam pernyataan-pernyataan yang


mempunyai empat bentuk yaitu :

- Deskripsi yaitu dengan menjelaskan bentuk, sususan, peranan, dan hal-hal


terperinci dari obyek.
P a g e | 12

- Preskrispi dengan memberikan petunjuk-petunjuk atau ketentuan-ketentuan


mengenai apa yang perlu berlangsung atau sebaiknya dilakukan dalam hubungannya
dengan obyek sederhana itu.

- Eksposisi Pola dengan memaparkan pola-pola dalam sekumpulan sifat, ciri,


kecenderungan, atau proses dari obyek yang ditelaah.

-Rekonstruksi Historis dengan merangkum pernyataan-pernyataan yang berusaha


menggambarkan atau menceritakan dengan penjelasan atau alasan yang diperlukan
peryumbuhan sesuatu hal pada masa lampau yang jauh baik secara alamiah atau karena
campur tangan manusia.

iii. Ragam Proposisi yang terbagi menjadi tiga :

- Asas Ilmiah adalah sebuah proposisi yang mengandung kebenaran umum


berdasarkan fakta-fakta yang telah diamati.

- Kaidah Ilmiah adalah sebuah proposisi yang mengungkapkan keajegan atau


hubungan teertib yang dapat diperiksa kebenarannya di antara fenomena sehingga
umumnya berlaku pula untuk berbagai fenomena yang sejenis.

- Teori Ilmiah adalah sekumpulan proposisi yang saling berkaitan secara logis
untuk member penjelasan mengenai sejumlah fenomena.

iv. Ciri Pokok Ilmu Pengetahuan adalah :

- Sistematisasi yaitu bahwa setiap pengetahuan ilmiah harus mengandung saling


pertalian yang sistematik dari fakta-fakta.

- Keumuman (generality) yaitu menunjuk pada kualitas pengetahuan ilmiah untuk


merangkum fenomena yang senantiasa makin luas dengan penentuan konsep-konsep
yang paling umum dalam pembahasan sasarannya.
P a g e | 13

- Rasionalitas berarti bahwa ilmu sebagai pengetahuan ilmiah bersumber pada


pemikiran rasional yang mematuhi kaidah-kaidah logika.

- Verifiabilitas berarti bahwa pengetahuan ilmiah harus dapat diperiksa


kebenarannya, diselidiki kembali, atau diuji ulang oleh setiap ilmuan lainnya.

- Objektivitas menyatakan bahwa ilmu pengetahuan yang telah diuji secara obyektif
oleh para ilmuan akan diterima secara umum menjadi kesepakatan pendapat rasional.44

G. Kesimpulan

Dari pembahasan di atas dapat kita menyimpulkan beberapa poin dibawah ini :

1. Ilmu sebagai produk adalah ilmu sebagai pengetahuan yang sistematis sebagai
hasil dari aktivitas proses ilmiah dengan mempergunakan metodologi ilmiah sebagai
prosedur untuk mendapatkan produk keilmuan yang dapat dipertanggungjawabkan.

2. Sarana berfikir ilmiah yang terangkum dalam bahasa, matematika, logika, dan
statistika sejatinya hanya sebuah jalan atau metode untuk mengaktualisasikan ilmu
pengetahuan dalam realita sehingga dapat memberikan sebuah kemanfaatan yang begitu
besar bagi kemanusiaan. Meskipun ada beberapa kritik terhadap penalaran induktif
namun setidaknya ada segi positif yang bisa diambil melalui generalisasi minimal
efesiensi dan efektivitas.

3. Diskursus pengkotakan antara ilmu murni dan terapan dewasa ini sudah tidak
begitu relevan karena masing-masing antara ilmu dan terapan sebuah mulai melakukan
integrasi sehingga batasan antar ilmu murni dan terapan menjadi abu-abu.

44
Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, 139-150.
P a g e | 14

Daftar Pustaka

Abdullah, Abdul Rahman Haji. Wacana Falsafah Ilmu Analisis Konsep-Konsep Asas dan
Falsafah Pendidikan Negara. Kuala Lumpur : Utusan Publications & Distributors
Sdn Bhd, 2005.

Adib, Mohammad. Filsafat Ilmu Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
Pengetahuan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010.

Asmadi. Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2005.

Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada, 2011.

Budiharto. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC,


2006.

Chalmers, A.F. Apa Itu Yang Dinamakan Ilmu ? Suatu Penilaian Tentang Watak dan
Status Ilmu Serta Metodenya. Jakarta : Hasta Mitra, 1983.

Gie, The Liang. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Liberty Yogyakarta, 1999.

Julainid (al), Muhammad Sayyid. Falsafah al-Tanwi>r bain al-Mashru>‘ al-Isla>miy


wal Mashru>‘ al-Taghri>biy. Kairo : Da>r al-Quba>’ li al-T{aba>‘ah wa al-Nashr
wa al-Tauzi>‘, 1999.

Melsen, A.G.M. Val. Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab Kita. Jakarta : Gramedia,
1992.

Parera, J.D. Teori Semantik. Jakarta : Erlangga, 2004.


Peursen, Beerling, Kwee, Mooij var. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta : PT. Tiara
Wacana Yogya, 2003.

Suriasumantri, Jujun S. Ilmu Dalam Perspektif Sebuah Kumpulan Karangan Tentang


Hakekat Ilmu. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1995.
P a g e | 15

Susano, A. Filsafat Ilmu Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis Epistemologis, dan
Aksiologis. Jakarta : PT. Bumiaksara, 2011.

Ugm, Tim Dosen Filsafat Ilmu. Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Liberty Yogjakarta, 2007.

Qans}uwah, S{ala>h. Falsafat al-‘Ilm. Kairo : Maktabah al-Usrah, 2003.

Anda mungkin juga menyukai