Anda di halaman 1dari 51

Manajemen

Perioperatif
Antikoagulan

Oleh : dr. Robby Mesakh


Ngahu

Pembimbing : dr. BHIROWO


YUDO, SpAn.,KAKV

Moderator : dr. JUNI


KURNIAWATI, Sp.An KAKV
TOPIK PEMBAHASAN
 Fisiologi
Hemostasis
 Pemeriksaan Laboratorium
 Obat Antikoagulan
 Manajemen Perioperatif Anti Koagulan
Eric Strong,
Fisiologi Endothelial
Sel endothelial mencegah
pembentukan thrombus melalui
mekanisme :
• Sekresi Prostacyclin (PGI2)
Mencegah aktivasi dan agregasi
platelet
• Sekresi Nitric Oxide (NO)
Vasodilatasi, dan mencegah
aktivasi dan agregasi platelet

• Ekspresi Heparin Sulfate


Mengaktifkan Antithrombin
• Ekspresi Thrombomodulin
Merubah thrombin (PRO-CLOTTING)
menjadi bekerja untuk
antikoagulasi (PRO-
ANTICOAGULATION).
• Ekspresi Tissue Factor Pathway
Inhibitor (TFPI)
Menghambat kompleks TF/VIIa/Xa
Coagulation Cascade
 Coagulation cascade adalah rangkaian
konversi enzimatik dari proenzymes menjadi
enzim aktif.
 Dicetuskan oleh adanya kerusakan dinding
pembuluh darah
 Berakhir dengan pembentukan fibrin, dan
terminasi oleh mekanisme antithrombin.
 Dibutuhkan keseimbangan antara
prokoagulasi dengan antikoagulasi.
 Fibrinolysis akan melarutkan clot.
FAKTOR
KOAGULASI
• Sebagian besar faktor
koagulasi ditulis
menggunakan numeral
Romawi.
• Tambahan huruf “a”
menggambarkan bentuk
aktif dari faktor tersebut.
• Sebagian besar faktor
aktif adalah enzym.
Kecuali : Ia (fibrin), Va
dan VIIIa.
Coagulation Cascade
(Traditional Model)

• Pararel antara jalur


ekstrinsik dan jalur intrinsik
• Jalur ekstrinsik dan intrinsik
bergabung untuk
membentuk jalur bersama.
• Hasil akhir dari jalur
bersama : Trombin
menkonversi fibrinogen
menjadi fibrin.
• Pendekatan secara
tradisional tidak lagi
digunakan sebagai model
fisiologi yang paling akurat.
Coagulation Cascade
(Contemporary Model)
Terdapat 4 komplek multikomponen. Masing-masing terdiri dari
activated clotting factor enzyme, cofactor dan enzymes substrate.

Kompleks tersebut dibentuk di atas permukaan anionic phospolipid. Di


mana diperlukan Calcium.
Initiation Phase
1. Tissue factor (TF), glycoprotein
diekspresikan di vascular
adventitia, menjadi terekspose
oleh vessel injury

2. VII yang bersirkulasi di dalam


darah, menjadi terikat dengan TF,
dan menjadi aktif.

3. Kompleks TF / VIIa (ekstrinksik X-


ase) mengaktifkan X.

4. Xa berikatan dengan Va
(prothrombinase) dan
mengaktifikan sejumlah kecil
prothrombin.

5. Kompleks VIIa/TF juga


mengaktifkan IX.
Amplification Phase

1. Thrombin mengaktifkan V,
VIII, dan XI

2. IXa berikatan dengan VIIIa

3. Kompleks IXa/VIIIa (intrinsic X-


ase) mengaktifkan X.
Propagation Phase

1. Thrombin merubah fibrinogen


menjadi fibrin.

2. Thrombin mengaktifkan XIII

3. XIIIa menguatkan fibrin strands.


Termination Phase

Proses koagulasi dibatasi untuk


mencegah oklusi thrombotic.
Melalui 3 mekanisme :
1. Antithrombin (atau
biasa disebut Antithrombin
III)
- Menginaktifasi thrombin,
VIIa, IXa, Xa dan XIa.
Termination Phase
2. Jalur Protein C
• Thrombomodulin menginduksi
perubahan conformational
padaa thrombin.

• Altered Thrombin tidak dapat


mengaktifasi platelet atau
merubah fibrinogen menjadi
fibrin, tetapi dapat
mengaktifkan protein C.

• Protein C aktif (dengan


Protein S sebagai cofactor),
akan menginaktifasi Va dan
VIIIa.
Termination Phase

3. Tissue Factor
Pathway Inhibitor
(TFPI)
Sebuah rantai
polypeptide yang dapat
secara reversibel
menghambat Xa dan
kompleks VIIa-TF.
Coagulation Test
 Perbedaan mendasar dari jalur ekstrinsik dan jalur
intrinsik adalah permukaan phospolipid di mana
faktor koagulasi bekerja, sebelum bergabung
menjadi jalur bersama.
 Baik platelet phospolipid (jalur intrinsik) dan tissue
thromboplastin (jalur ekstrinsik) dapat ditambahkan
ke dalam plasma pasien. Dan waku yang diperlukan
untuk pembentukan clot diukur.
 PTT (Partial Thromboplastin Time), aPTT (activated
Partial Thromboplastin Time) dan ACT (Activated
Clotting Time) untuk menilai jalur intrinsik dan jalur
bersama.
 PT (Prothrombin Time) menilai jalur ekstrinsik dan jalur
bersama.
Prothrombin Time (PT)

 Tissue thromboplastin (termasuk tissue factor dan


phospolipids) ditambahkan ke dalam plasma
pasien.
 Tes memiliki sensitifitas yang bervariasi.
 Mengukur jalur koagulasi bersama dan seluruh jalur
ekstrinsik.
 PT digunakan untuk memonitor terapi warfarin.
 Nilai
normal PTT : antara 11 – 14 detik, tetapi
terdapat perbedaan variasi hasil , karena
perbedaan thromboplastin, inkubasi dan kondisi
penyimpanan dari sample, serta metode end point
detection.
 Untuk menentukan variasi ini, ditentukan nilai
berdasarkan INR (International Normalized Ratio)

ISI : International Sensitivity Index


(spesifik untuk tiap reagen thromboplastin yang
digunakan)
Activated Partial
Thromboplastin Time (aPTT)

 mengukur integritas dari seluruh jalur koagulasi


intrinsic dan jalur bersama
 sensitive terhadap defisiensi semua faktor kecuali VII
dan XIII.
 aPTT memanjang pada kehadiran beberapa
antikoagulan dan sering digunakan untuk
memonitor terapi heparin.
Obat Antikoagulan
Antagonis vitamin K (AVK)
(warfarin atau coumadin)
 Warfarin adalah jenis antikoagulan yang paling
sering digunakan.
 Warfarin merupakan Vitamin K antagonist. Bekerja
melalui inhibisi enzymes yang me-recycle vitamin K
(Vitamin K epoxide reductase). Sehingga warfarin
mengakibatkan kondisi serupa dengan defisiensi
vitamin K.
Vitamin K bekerja sebagai coenzime dalam
modifikasi post-translational dari beberapa faktor
pembekuan (misal : prothrombin, VII, IX, X, protein
C, protein S)
 Warfarin memiliki jendela terapeutik yang sangat
sempit antara perdarahan dan pencegahan
trombosis.
 Efek antikoagulasi dari warfarin tidak dapat
diprediksi dari dosis saja, namun INR harus
digunakan untuk memastikan pasien masih dalam
jendela terapeutik.
 Warfarin dimonitor dengan menggunakan
prothrombine time (INR).
 Untuk kebanyakan kondisi, target INR adalah 2.0 –
3.0.
Heparin
 Heparin terikat pada antithrombin menyebabkan
meningkatnya kemampuan antithrombin untuk
mengaktifkan thrombin dan faktor Xa.
 Inaktivasi thrombin memerlukan kompleks antara
heparin, antithrombin dan thrombin.
 Pemberian heparin dimonitor melalui rasio aPTT.
 2 jenis heparin :
 Unfractionated heparin (UFH) – panjang rata-rata 45
unit saccharide 15,000 Da)
 Low –molecular weight heparin (LMWH) – panjang
rata-rata 15 saccharide units (5,000 Da)
Unfractionated Heparin
 UFH memiliki onset yang cepat dan masa kerja
yang singkat, dengan waktu paruh sekitar 30 - 60
menit. Paling baik diberikan melalui infus
intravena. Efek dari heparin berakhir 4-6 jam
setelah infus dihentikan.
 Reversibel dengan protamine. Menjadikannya
lebih mudah digunakan dibandingkan LMWH.
 Efikasi dari UFH dimonitoring menggunakan
partial thromboplastin time. Pemberian heparin
intraoperative dapat dimonitor dengan ACT.
 Resiko terjadi HIT (Heparin-Induced
Thrombocytopenia)
LMWH
 Tidak seperti UFH, LMWH tidak secara langsung
menghambat thrombin.
 LMWH secara definisi : molekul heparin yang
tidak memiliki rantai saccharide yang cukup
panjang untuk menghambat thrombin.
 18 saccharide subunits (pentasaccharide + 13
subunit tambahan) dibutuhkan untuk
menjembatani gap antara antithrombin dan
thrombin.
 LMWH memiliki onset (20 – 60 menit) yang lebih
lama dan waktu paruh yang lebih panjang
dibandingkan heparin.
 Dapat diberikan 1 atau 2 kali sehari melalui
subcutan.
 Farmakokinetik lebih mudah diprediksi
dibandingkan pemberian UFH, sehingga monitoring
laboratorium tidak terlalu diperlukan. Sehingga
LMWH lebih mudah diberikan pada pasien rawat
jalan.
 Resiko kecil untuk terjadinya HIT (Heparin-Induced
Thrombocytopenia).
 Kelemahan pemberian LMWH adalah
ketidakmampuan untuk mereverse efek obat ini
dengan protamine.
Direct Thrombin Inhibitors
Direct Thrombin Inhibitors
 Pada penggunaan klinis, terdapat 3 jenis
intravena : HIRUDIN, ARGATROBAN dan
BIVALIRUDIN. Dan juga jenis oral :
DABIGATRAN (oleh FDA digunakan sebagai
terapi atrial fibrilasi).
 Dibandingkan dengan UFH pada dosis yang
equipotent, Direct Thrombin Inhibitors
dihubungkan dengan tingginya resiko
perdarahan.
 Tidak ada agen reversal untuk obat jenis ini.
Direct Factor Xa Inhibitors
Manajemen Perioperatif pada Pasien
dengan Terapi Antikoagulan
 Manajemen perioperatif pasien yang mendapat terapi
antikoagulan sering kita jumpai, dan sangat krusial.
 Melibatkan keputusan untuk melanjutkan atau tidak
pemberian antikoagulan.
 Resiko kejadian thromboembolic selama penghentian
antikoagulan harus diseimbangkan dengan resiko
terjadinya perdarahan.
 Prinsip penanganannya mempertanyakan :
 Apakah perlu menghentikan terapi antithrombotik ?
 Jika terapi antithrombotik dihentikan, apakah bridging
dengan antikoagulan diperlukan ?
 (Bridging antikoagulan : pemberian antikoagulan short
acting, misal LMWH atau UFH selama penghentian
terapi antikoagulan long acting.
 Manajemen perioperatif didasarkan pada resiko
terjadinya perdarahan dan resiko terjadinya
tromboembolisme.
 Penggunaan antikoagulan oral jangka panjang
sering kali memerlukan penghentian karena
berbagai alasan.
 Perlu atau tidaknya untuk melakukan terapi
bridging dengan heparin atau antikoagulan
lainnya adalah dilema yang sering dijumpai.
 Bukti untuk pengambilan keputusan masih
terbatas, membuat pedoman saat ini tidak jelas
dan tidak tepat. Selain itu, indikasi untuk
penghentian antikoagulan juga belum jelas.
 Terapi Bridging adalah proses kompleks yang biasanya
memerlukan review level expert.
 Sebagian besar rekomendasi CHEST 2012 bersifat lemah
(yaitu 2C) karena produk rekomendasi tersebut
didasarkan pada sedikit bukti atau bahkan tanpa bukti
yang berkualitas tinggi.
 Oleh karena itu, sembari kita berharap bahwa
rekomendasi mereka selanjutnya dapat lebih berguna,
maka untuk mengantisipasi praktik klinis yang
menyimpang dari saran ini dalam berbagai hal, saran ini
sebaiknya tidak digunakan untuk menggantikan
penilaian seorang dokter berpengalaman yang telah
melakukan evaluasi terhadap risiko dan manfaat yang
timbul dari berbagai strategi untuk tiap individu pasien.
TINGKATAN KATUP JANTUNG MEKANIK FIBRILASI ATRIUM VTE REKOMENDASI
RESIKO
Tinggi (>10% - Ada katup mitral prosetetik - CHADS2 5 atau 6 - VTE terbaru (dalam 3 Bridging di
resiko - Caged-ball atau tilting disc - Kejadian stroke bulan terakhir) rekomendasik
tromboemboli prostesis katup aorta terbaru atau TIA - Trombofilia berat: an (Tingkat 2C)
sme (TE) - Kejadian stroke terbaru atau (dalam 3 bulan a. Defisiensi Protein C,
TIA (dalam 6 bulan terakhir) terakhir) protein S, atau
tahunan)
Berdasarkan indikasi terapi - warfarin yang paling
Penyakit katup antitrombin
jantung rematik b. Antibodi antifosfolipid
umum dan stratifikasi risiko terjadinya trombosis c. Abnormalitas

perioperatif.
Sedang (5- Prostetis katup aorta 2 katup dan CHADS 3 atau 4 -
abnormal
VTE dalam 2-12 bulan
Penilaian perlu
2

10% resiko TE satu atau lebih faktor resiko di belakangan tidaknya


tahunan) bawah ini: - Trombofilia tidak bridging ini
- Fibrilasi atrial parah : didasarkan
- Kejadian stroke atau TIA a. Faktor V Leiden pada kondisi
sebelumnya heterozgot spesifik pasien
- Hipertensi b. Mutasi gen protrombin dan faktor
- DM - VTE rekuren terkait bedah
- CHF - Kanker aktif (diterapi
- Usia > 75 tahun dalam 6 bulan terakhir
atau diterapi dengan
terapi paliatif)
Rendah Prostetis katup aorta 2 katup CHADS2 0 - 2 VTE > 12 bulan sebelumnya Bridging tidak
(Resiko TE tanpa fibrilasi atrium dan tidak (Mengansumsikan dan tidak ada faktor di
<5%) ada faktor resiko lain tidak ada kejadian resikolainnya rekomendasik
untukterjadinya stroke stroke atau TIA an (Tingkat 2C)
sebelumnya)
 Skor CHA2DS2-VASc sudah divalidasi pada
berbagai studi kohor dan menunjukkan hasil yang
lebih baik untuk mengidentifikasi pasien-pasien FA
yang benar-benar risiko rendah tetapi juga sebaik
atau mungkin lebih baik dari skor CHADS2 untuk
identifikasi pasien FA yang akan mengalami stroke
dan tromboemboli.
 Keputusan pemberian tromboprofilaksis perlu
diseimbangkan dengan risiko perdarahan akibat
antikoagulan, khususnya perdarahan intrakranial
yang bersifat fatal atau menimbulkan disabilitas.
 Skor HAS-BLED yang merupakan kependekan dari
Hypertension, Abnormal renal or liver function,
history of Stroke, history of Bleeding, Labile INR
value, Elderly, dan antithrombotic Drugs and
alcohol telah divalidasi pada banyak studi kohor
berkorelasi baik dengan perdarahan intrakranial.
 Penggabungan skor CHA2DS2-VASc dan HAS-BLED
sangat bermanfaat dalam keputusan
tromboprofilaksis pada praktik sehari-hari.
Risiko Perdarahan
Kondisi Yang Membutuhkan
STOP Antikoagulan
 Risiko perdarahan tinggi
 Risiko tromboemboli rendah/sangat
rendah
 Jenis pembedahan
Perlu BRIDGING ANTIKOAGULAN
 Stroke atau TIA sebelumnya terjadi > 3 bulan sebelum
operasi elektif dan skor CHADS2 <5
 Tromboemboli sebelumnya terjadi selama gangguan
warfarin sementara
 Pasien dengan kejadian yang sudah lama (> 1 tahun yang
lalu), VTE berat dengan hipertensi pulmonal
 Pembedahan yang terkait dengan peningkatan risiko stroke
atau tromboemboli lainnya (seperti penggantian katup
jantung, endarterektomi karotis, operasi vaskular mayor)
 ** Pada pasien di atas yang berisiko tinggi mengalami
tromboemboli dan menjalani prosedur risiko tinggi
perdarahan (operasi jantung mayor, operasi
endarterektomi karotis), tidak menjadi sebuah alasan
untuk tidak mempertimbangkan dilakukannya
bridging.
Pasien dianggap berisiko tinggi
tromboemboli* dan bridging
dipertimbangkan
- Stroke atau TIA sebelumnya terjadi > 3 bulan sebelum operasi
elektif dan skor CHADS2 <5
- Tromboemboli sebelumnya terjadi selama gangguan warfarin
sementara
- Pasien dengan kejadian yang sudah lama (> 1 tahun yang
lalu), VTE berat dengan hipertensi pulmonal
- Pembedahan yang terkait dengan peningkatan risiko stroke
atau tromboemboli lainnya (seperti penggantian katup
jantung, endarterektomi karotis, operasi vaskular mayor)
 * Pada pasien di atas yang berisiko tinggi mengalami
tromboemboli dan menjalani prosedur risiko tinggi
perdarahan (operasi jantung mayor, operasi endarterektomi
karotis), tidak menjadi sebuah alasan untuk tidak
mempertimbangkan dilakukannya bridging.
- Repair hernia abdominal - Pengangkatan kawat sternotomi
- Histerektomi abdominal - Polipektomi usus
- Diseksi nodus aksila - Reseksi usus
- aspirasi jarum halus yang dituntun secara - Perbaikan terowongan karpal
endoskopi - Pengangkatan kateter vena sentral
- Bronchoscopy + biopsi - Biopsi kutaneus dan kandung
- Katarak dan operasi mata non katarak kemih/prostat/tiroid/payudara/kelenjar
- Cholesistektomi getah bening
- Dilatasi dan kuretase - Operasi bypass endarterektomi atau
- Endoskopi GI + biopsi, enteroskopi, stent carotis
bilier/pankreas tanpa sphinekterotomi, - Operasi hemoroid
endonosonografi tanpa aspirasi jarum halus - Artroskopi dan operasi penggantian
- Repair Hidrocele Lutut/pinggul dan bahu/kaki/tangan
- Angiografi nonkoroner - Alat pacu jantung dan penyisipan
- Extraksi gigi sederhana defibrillator jantung serta uji elektrofisiologi
- Eksisi kanker kulit
- Operasi dan prosedur urologi yang terdiri dari reseksi prostat
transurethral, reseksi kandung kemih, atau ablasi tumor; nefrectomi;
atau biopsi ginjal sebagian karena kerusakan jaringan yang tidak
diobati (setelah prostatektomi) dan pelepasan urokinase endogen.
- Implantasi alat pacu jantung atau ICD di mana pemisahan lapisan
fascia infraklakular dan kurangnya penjahitan jaringan yang menjadi
predisposisi perkembangan hematoma.
- Reseksi polip kolon, biasanya polip sessile yang berukuran besar
(yaitu> 1-2 cm), di mana perdarahan terjadi pada tangkai yang
ditransmisikan setelah pelepasan plug hemostatik.
- Pembedahan dan prosedur pada organ dengan vaskularisasi yang
sangat banyak, seperti ginjal, hati, dan limpa
- Reseksi usus di mana perdarahan bisa terjadi di tempat anastomosis
usus
- Operasi mayor dengan cedera jaringan yang luas (yaitu operasi
kanker, artroplasti sendi, bedah plastik rekonstruktif)
- Operasi jantung, intrakranial, atau tulang belakang, terutama karena
perdarahan perikardial, intraserebral, atau epidural perdarahan dapat
menimbulkan konsekuensi klinis yang serius.
- Operasi mayor lainnya (> durasi 45 menit)
- Ekstraksi gigi multipel
Rekomendasi untuk Penghentian dan
Re-inisiasi Antikoagulan
OBAT DOSIS PENGOBATAN DOSIS PROFILAKSIS
PENGHENTIAN REINISIASI PASCA PENGENTIAN REINISIASI PASCA
OPERASI* OPERASI*
Warfarin 5 Hari (Tingkat 1C) 12-24 jam setelah 5 Hari 12-24 jam setelah
pembedahan (petang pembedahan
atau keesokan (petang atau
paginya) (Tingkat 2C) keesokan
paginya)
UFH 4-6 Jam (Tingkat 2C) Pembedahan dengan 4-6 Jam > 12 Jam
resiko perdarahan
rendah : 12-24 jam
Pembedahan dengan
resiko perdarahan
tinggi : 48-72 jam
LMWH 24 Jam*** (Tingkat 2C) Pembedahan dengan 30 mg terbagi > 12 Jam
resiko perdarahan dalam 2 dosis (per
rendah : 24 jam (Tingkat 12 jam)
2C)
Pembedahan dengan 40 mg sehari (per
resiko perdarahan 24 jam)
tinggi : 48-72 jam
Fondaparinux 72-96 Jam Pertimbangkan agen dengan > 24 jam > 12 Jam
aksi lebih singkat sampai nilai
PT toleran terhadap
antikoagulan
Dabigatran* 1-2 Hari (CrCl> 50ml/mnt) Tidak ada informasi spesifik N/A N/A
yang tersedia
3-5 Hari (CrCl< 50ml/mnt) Konsentrasi plasma puncak
tercapai dalam 2-4 jam
Pertimbangkan periode Rekomendasi inisiasi ulang ≥
lebih lama untuk prosedur 24 jam dan hanya jika
yang lebih infasif hemostasis tercapai
Jika antikoagulan oral tidak
bisa digunakan saat pasca-
prosedur, pertimbangkan
inisiasi agen parenteral
Rekomendasi untuk
konsultasi dengan Dokter
antikoagulan

Ricaroxaban+ > 24 Jam Tidak ada informasi spesifik > 24 jam Tidak ada informasi spesifik yang
yang tersedia tersedia
Konsentrasi plasma puncak Konsentrasi plasma puncak
tercapai dalam 2-4 jam tercapai dalam 2-4 jam
Rekomendasi inisiasi ulang ≥ Rekomendasi inisiasi ulang ≥ 24
24 jam dan hanya jika jam dan hanya jika hemostasis
hemostasis tercapai tercapai
Jika antikoagulan oral tidak Jika antikoagulan oral tidak
bisa digunakan saat pasca- bisa digunakan saat pasca-
prosedur, pertimbangkan prosedur, pertimbangkan inisiasi
inisiasi agen parenteral agen parenteral
Rekomendasi untuk Rekomendasi untuk konsultasi
konsultasi dengan Dokter dengan Dokter antikoagulan
antikoagulan
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo W, Aru. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Universitas
Indonesia; 2006.
2. Sherwood L. Human Physiology United States: Thomson Higher Education; 2007.
3. Oprea AD. Hematologic Disorders. In Stoelting RK, Hines RL, Marcschall KE. Stoelting's Anesthesia and Co-Existing
Disease. Sixth Edition. Philadelpia: Saunders Elsevier; 2012. p. 418-435.
4. Duke JC, Keech BM. Anesthesia Secret (Questions You Will Be Asked). Fifth Edition Philadelphia: Saunders Elsevier;
2016.
5. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical Anesthesiology. Fifth Edition New York: McGraw-Hill Companies; 2013.

6. Mann KG. Thrombin Generation in Hemorrhage Control and Vascular Occlusion. Circulation. 2011; 124 (2)(225-
235).
7. Sylvia AP, Wilson ML. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran; 2007.

8. Wong JC, Hamlin NP. The Perioperative Medicine Consult Handbook New York: Springer; 2013.
9. Cobas M. Preoperative Assessment of Coagulaton Disorders. International Anesthesiology Clinic. 2001; 39(1-15).

10. Peterson P, Hayes T, Arkin C. The Preoperative Bleeding Time Test Lacks Clinical Benefit. Arch Surg. 1998; 133(134-
139).
11. Jaffer AK. Perioperative management of warfarin and antiplatelet therapy. Cleve Clin J Med. 2009; 76: p. S37-S44.

12. Stephen JR, James CF. Briding Anticoagulation Primum Non Nocere. Journal of The American College of
Cardiology. 2015; 66(12).
13. Sarangarm P. Guideline for Perioperative Management of Antithrombotic Patient. UNMH Inpatient Pharmacy
Anticoagulation Services. 2012 August.
14. Douketis JD, Berger PB, Dunn AS. The perioperative management of antithrombotic therapy: American College of
Chest Physicians EvidenceBased Clinical Practice Guidelines (8th edition). CHEST. 2008; 133(299S-339S).

15. Horlocker TT, Wedel DJ, Rowlingson JC. Regional anesthesia in the patient receiving antithrombotic or
thrombolytic therapy: American Society of Regional Anesthesia and Pain Medicine EvidenceBased Guidelines
(third edition). Reg Anesth Pain Med. 2010; 35(64-101).
Terimakasih

Anda mungkin juga menyukai