Definisi
Suatu keadaan dimana jejas yang terbentuk akibat trauma tumpul memberi
tampilan memar atau hematom. Marginal haemorrhage kadang kala memberi
petunjuk tentang bentuk penyebabnya, misalnya jejas ban yang sebenarnya
adalah suatu pendarahan tepi.
Deskripsi
Pada 'perdarahan tepi' perdarahan tidak dijumpai pada lokasi yang
tertekan, tetapi perdarahan akan menepi sehingga bentuk perdarahan
sesuai dengan bentuk celah antara kedua kembang yang berdekatan
(cetakan negatif).
PATOFISIOLOGI
Patofisiologi kontusio atau hematoma. Memar terbentuk bila terdapat pengumpulan darah dalam
jaringan yang terjadi akibat kerusakan apapun pada pembuluh darah yang menyebabkan terganggunya
integritas dinding pembuluh darah. Hematoma dapat terbentuk bahkan pada pembuluh darah yang kecil.
Penyebab tersering hematoma adalah cedera atau trauma pada pembuluh darah.
Bila kekerasan benda tumpul yang mengakibatkan luka memar terjadi pada daerah dimana ada jaringan
longgar, maka daerah luka memar yang tampak seringkali tidak sebanding dengan kekerasan dan
adanya jaringan longgar tersebut memungkinkan berpindahnya memar ke daerah yang lebih rendah
akibat gravitasi. Hal inilah yang membentuk suatu perdarahan tepi atau marginal haemorrhage.
Histopatologi
Proses inflamasi yang terjadi pada daerah memar menyebabkan
pergerakan makrofag ke daerah memar tersebut. Kemudian makrofag
akan memfagosit eritrosit pada daerah memar. Makrofag ini
memproses hemoglobin dengan cara yang sama seperti yang
digunakan pada resiklus normal eritrosit tetapi dengan cara yang lebih
dipercepat.
Tahapan memar adalah sebagai berikut :
1. Saat Kejadian
2. Beberapa jam
3. 1 hari setelah kejadian
4. Tahap Penyembuhan
1. Saat Kejadian
Mayat laki-laki yang berdasarkan keterangan berusia 34 tahun dibawa ke bagian Kedokteran Forensik RSUD dr
Drajat Prawiranegara dengan dugaan kecelakaan lalu lintas. Warga sekitar mengaku laki-laki tersebut merupakan
korban tabrak lari. Kendaraan yang menabrak korban diyakini sebuah mobil namun saksi mata mengaku tidak
memperhatikan jenis mobil tersebut. Pada pemeriksaan luar yang dilakukan dokter forensik pada kepala belakang
kanan, delapan sentimeter dari garis pertengahan belakang, dua sentimeter dibawah puncak kepala melebar hingga
dahi, hidung hingga rahan atas terdapat luka terbuka dengan tepi tidak rata dasar tulang patah berkeping hingga
jaringan otak keluar berukuran tiga puluh satu kali delapan sentimeter. Pada dada atas kiri hingga perut samping
kiri terdapat luka lecet tekan menyerupai alur ban berbentuk zig zag sepanjang 10 cm x 9 cm.
Gambar 1 : A-d. Foto dari TKP-layar, celana
dalam, salju, pasir (dari kiri ke kanan).
Gambar 2 : jenis-jenis ban
Gambar 3 : Gambar alur ban
Gambar 5 : Dimensi mobil (dalam mm)
Gambar 6 : contoh jejak ban di jalanan
(60,42”=1535mm)
Gambar pembesaran sebuah tapak ban yang
menunjukan karakteristik unik (panah merah)
Sebuah jejak ban yang ditangkap saat orang
menyetir lebih keras
1. CARA MEMBUAT CETAKAN GIGI
Ada 2 metode pencetakan gigitan yang dapat dilakukan:
Metode I: Tuangkan bahan cetak hingga menutupi area gigitan. Letakan ayakan kawat dan
tambahkan bahan cetak diatasnya.
Metode II: Buat sebuah nampan khusus yang dibuat menggunakan kuring dingin sampai
dengan batas bagian Bitemark, kemudian cetakan dibuat dengan nampan tersebut
(Bhargava dkk.,2012).
• Bahan yang biasanya digunakan adalah bahan berbasis karet atau bahan berbasis
silikon.
A. Hasil
1. Hasil Tracing
Model 1 Model 2
Model 5
Model 3 Model 4
Gigitan Gigitan Dangkal
Lengan
Gigitan Dalam
CARA MEMBEDAKAN DI GIGIT ATAU HANYA MEMAR KARENA
GIGITAN
The American Board of Forensic Odontology membandingkan urutan kesimpulan-kesimpulan untuk menjelaskan benar
atau tidak sebuah jejas yang didapat merupakan Bitemark atau bukan. Urutan tersebut adalah: (Bhargava dkk.,2012
b. Probable Bitemark, pola mengarah atau mendukung dengan kuat asal jejas tersebut adalah
dari gigi tetapi dapat juga disebabkan oleh sesuatu yang lain.
c. Possible Bitemark, jejas menunjukkan pola yang mungkin atau tidak mungkin disebabkan oleh gigi
yang bisa disebabkan oleh faktor lain tetapi dalam bentuk gigitan yang tidak bisa dikesampingkan.
d. Definite Bitemark, tidak ada alasan yang meragukan bahwa gigi tersebut yang menyebabkan pola
gigitan pada korban.
Tehnik perbandingan dalam analisis Bitemark bisa diklasifikasikan menjadi metode langsung dan metode tidak
langsung:
a) Pada metode langsung, model gigi dari tersangka dapat diletakan langsung diatas foto Bitemark untuk
menunjukkan titik-titik yang sesuai (Gambar 4).
b) Metode tidak langsung membutuhkan pembuatan permukaan oklusal dan insisal gigi di atas lembaran
trasnparan seperti mika yang kemudian diletakan di atas skala perbandingan 1:1 terhadap foto jejas gigitan
dan perbandingan kemudian dilakukan (Bhargava dkk.,2012)
Kelas I : Bite mark terdapat jarak dari gigi insisivus bite mark insisivus, kaninus dan premolar baik
dan kaninus. pada rahang atas maupun bawah.
Kelas II : Bite mark kelas II seperti bite mark kelas I, Kelas VI : Bite mark kelas VI memperlihatkan luka dari
tetapi terlihat cusp bukalis dan palatalis maupun cusp seluruh gigitan dari rahang atas dan rahang bawah dan
bukalis dan cusp lingualis tetapi derajat bite marknya jaringan kulit serta jaringan otot terlepas sesuai dengan
kekerasan oklusi dan pembukaan mulut.
masih sedikit.
Kelas III : Bite mark kelas III derajat luka lebih parah
dari kelas II yaitu permukaan gigi insisivus telah
menyatu akan tetapi dalamnya luka gigitan mempunyai
derajat lebih parah dari bite mark kelas II.
Kelas IV : Bite mark kelas IV terdapat luka pada kulit
dan otot di bawah kulit yang sedikit terlepas atau
rupture sehingga terlihat bite mark irregular.
Kelas V : Bite mark kelas V terlihat luka yang menyatu
Karakteristik kelas bekas gigitan
• Empat gigi depan atas akan membuat bekas berbentuk -Hipotesa yang mengatakan tentang pergerakan
persegi panjang jaringan
• Gigi taring atas akan membuat bekas berbentuk bulat atau • Area diantara gigitan gigi yang menunjukkan tanda
ovoid signifikan seperti memar yang samar gigitansesuai
dengan bagian gigi yang tidak bersentuhan dengan
• Empat gigi depan bawah akan membuat bekas berbentuk
kulit sesuai dengan beberapa gambaran giginya saat
persegi panjang
itu. Perbedaan garis bentuk jaringan akan lebih jelas
• Gigi taring bawah akan membuat bekas berbentuk bulat terlihat pada photograph bekas
atau ovoid
• Celah yang terlihat jelas antara bekas gigitan menandakan
4 kemungkinan :
- Kemungkinan tidak punya gigi
- Gigi terlalu pendek atau ada kerusakan gigi
sebelumnya
- Ada sebuah objek yang menghalangi gigi saat
berkontak dengan kulit
• Alasan untuk “gigi hilang” pada luka • Gigitan ganda
gigitan dapat disebabkan oleh : • Bekas gigitan sebagian
- Penggigit tidak memiliki gigi yang • Bekas gigitan buram/kabur
dimaksud.
• Penyatuan lengkungan
- Kulit dengan suatu cara memutar /
• Jejas gigitan penuh
memelintir untuk menghindari
kontak dengan gigi • Lengkungan tertutup
• Tersembunyi
Ciri-ciri tambahan yang terlihat pada Gigitan berulang (Superimposed
kulit yang luka di sekitar jejas gigitan : bites)
Ekimosis sentral (luka memar sentral) Gigitan avulsif
• Abrasi, kontusio linear
Tanda yang mengidikasikan Jejas Gigitan pada kulit
• Pola ovoid/eliptikal.
Suatu seri dari memar yang berbentuk huruf “C” yang menghadap satu sama
lain membentuk pola ovoid pada garis luarnya.
1. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S, Winardi T, Mun’im A, Sidhi et al. Ilmu Kedokteran Forensik.
Edisi pertama, cetakan kedua. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 1997.
2. Dimaio, V.J. Forensic Pathology : Second Edition. PRACTICAL ASPECTS OF CRIMINAL AND
FORENSIC INVESTIGATIONS. CRC Press, Boston. 2005
3. Forensic Autopsy of Blunt Force Trauma. Diunduh dari : http://emedicine.medscape.com/article/1680107-
overview#a5 diakses tanggal 2 Juli 2017. 21.44 WIB.
4. Life Cycle of a Bruise; Understanding Bruises. Diunduh dari: http://itpandme.com/the-life-cycle-of-a-bruise-
understanding-bruises/ diakses tanggal 2 Juli 2017. 21.42 WIB.
5. Bhargava K, Bhargava D, Rastogi P, Paul M, Paul R, Jagadeesh HG, dan Singla A. 2012. Review research
paper: An overview of Bitemark analysis. J Indian Acad Forensic Med. 34(1): 61-6.