Anda di halaman 1dari 26

MATA KULIAH:

HUKUM PAJAK
Dosen Pengampu: Dr. Iwan E. Joesoef, SH., Sp.N., M.Kn

UNIVERSITAS
PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN
JAKARTA
Dr. Iwan E. Joesoef, SH., Sp.N., M.Kn
Sejarah Perkembangan Pajak &
Definisi Hukum Pajak.
HUKUM PAJAK
Kuliah ke-1
Dosen: Dr. Iwan E. Joesoef, SH., Sp.n., M.Kn
Dr. Iwan E. Joesoef, SH., Sp.N., M.Kn
KONSEPSI PAJAK
Orang & Badan Hukum
Pemerintah (Fiskus) WAJIB PAJAK
Politik Hukum Pajak

NEGARA WARGA
NEGARA

Dr. Iwan E. Joesoef, SH., Sp.N., M.Kn


SEJARAH PENGENAAN PAJAK

 Pajak, ditinjau dari sejarahnya sudah ada sejak zaman dahulu kala
yang saat itu belum dinamakan “pajak” namun masih merupakan
pemberian yang bersifat suka rela dari rakyat kepada rajanya.
 Perkembangan selanjutnya pemberian itu berubah menjadi upeti yang
sifat pemberiannya dapat dipaksakan dalam arti bahwa pemberian itu
bersifat “wajib” dan ditetapkan secara sefihak oleh negara.
 Dalam konteks ini, konsepsi pajak seperti pemaksaan (“homo homini
lupus” – Thomas Hobbes “Leviathan”)

Dr. Iwan E. Joesoef, SH., Sp.N., M.Kn


SEJARAH PENGENAAN PAJAK

 Upeti berlangsung dari masa Kekuasaan Fir’aun, Zaman Romawi,


Zaman Yunani Kuno.
 Masa kini, fungsi pajak (upeti) yg diberikan rakyat tidak lagi hanya
utk kepentingan Raja tetapi sudah mulai mengarah kpd “kepentingan
umum” rakyatnya sendiri spt: utk biaya keamanan, memelihara jalan,
membangun sarana sosial dan umum.
 Sehingga akhirnya menuntut harus dibuatnya aturan2 (UU) yg lebih
baik agar “sifat memaksa” tetap ada, namun unsur “keadilan” lebih
diperhatikan. Untuk keadilan inilah rakyat diikutsertakan dalam
membuat UU Pajak (Pemerintah dan DPR).

Dr. Iwan E. Joesoef, SH., Sp.N., M.Kn


SEJARAH PENGENAAN PAJAK

 Dalam Sejarah Islam, masa Khulafaurrasyidin hingga Abbasiyah dgn


perkembangan luas cakupan wilayah serta kompleksitas kehidupan,
dikenal dgn jenis pungutan resmi serupa pajak:
1) Dharibah: dipungut secara temporer utk mengisi deficit anggaran (baitul
maal).
2) Kharra: sejenis pajak atas tanah dan bangunan serta hasil pertanian/
bumi.
3) Jizyah: sejenis pajak yg dipungut dari kaum non-muslim yg bermukim
diwilayah kekuasaan Islam.
4) Al-Ushur: sejenis bea masuk ekspor impor.
Dasar Pengenaan: berdasarkan istinbath hukum bersumber dari Nash Al-
Qur’an. Dr. Iwan E. Joesoef, SH., Sp.N., M.Kn
SEJARAH PENGENAAN PAJAK

 Dengan kata lain “pajak” yang semula merupakan pemberian berubah


menjadi pungutan, hal ini adalah wajar karena kebutuhan negara akan
dana yang semakin besar untuk memelihara kepentingan negara yaitu
untuk mempertahankan negara dan melindungi rakyatnya dari
serangan musuh maupun untuk melaksanakan pembangunan.
 Dengan demikian sejarah pemungutan pajak mengalami perubahan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan negara baik dibidang
ekonomi, sosial kenegaraan.

Dr. Iwan E. Joesoef, SH., Sp.N., M.Kn


MASA PENJAJAHAN BELANDA

Pada masa ini, sistem perpajakan menekankan fungsinya pada segi


pemasukan keuangan (budgeter) untuk keperluan penjajahan di negeri
Belanda:
a) Ordonansi Pajak Pertanahan: pajak “landrente” atas sewa tanah
b) Ordonansi Pajak Pendapatan: pajak orang pribadi.
c) Ordonansi Pajak Perseroan
d) Ordonansi Pajak Lainnya: pajak rumah tangga, pajak bea meterai,
pajak bea balik nama, pajak kendaraan, pajak upah (“loonbelasting”).

Dr. Iwan E. Joesoef, SH., Sp.N., M.Kn


MASA PENJAJAHAN BELANDA (regulasi)
 Dengan membentuk ordonantie (ordonansi) yaitu: peraturan per-UU-
an pemerintah atau surat ketetapan pemerintah. Ordonansi adalah
bentuk peraturan per-UU-an tertinggi yg dapat dikeluarkan di Hindia
Belanda (Indonesia dalam penjajahan Belanda).
 Ordonansi adalah dibuat oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda
bersama Volkstraad (Dewan Rakyat) Hindia Belanda, sbg lembaga
legislative tertinggi di Indonesia.
 Macam2 peraturan:
1. Peraturan2 Umum (Algemenee Verordeningen)
2. Peraturan2 Lokal (Locale Verordeningen)

Dr. Iwan E. Joesoef, SH., Sp.N., M.Kn


MASA PENJAJAHAN BELANDA (regulasi)
 Peraturan2 Umum (Algemenee Verordeningen)
1) Wet (sama dgn UU yg dikenal di Indonesia), dibuat oleh lembaga2 per-UU-an
pemerintah Hindia Belanda, yaitu: Mahkota (Raja atau Ratu bersama Menteri)
dan Staten Generale (Parlemen). Contoh: Indische Staatsregeling (IS).
2) Algemene Maatsregels van Bestuur (AMvB), dibuat oleh Mahkota Belanda
tanpa Parlemen, sama seperti PP (peraturan pemerintah).
3) Ordonantie, dibuat oleh Pemerintah Penjajahan Nederland (Hindia Belanda)
bersama Volksraad (Dewan Rakyat), secara hirarkis tidak boleh bertentangan
dgn Wet dan AMvB.
4) Regerings Verordenings (Rv), dibuat oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda
tanpa Volksraad (Dewan Rakyat).
 Peraturan2 Lokal: peraturan di wilayah hukum daerah spt: Residen, Bupati, dsb.

Dr. Iwan E. Joesoef, SH., Sp.N., M.Kn


MASA PENJAJAHAN JEPANG

 Pemerintah Jepang tidak sempat mengeluarkan berbagai macam


peraturan per-UU-an kecuali UU No. 1 Tahun 1942 ttg Undang-
undang Balatentara Jepang (Osamu Sirei), yg berisi pemberlakuan
kembali berbagai peraturan per-UU-an yg ada pada zaman Hindia
Belanda yg tidak bertentangan dgn kekuasaan militer Jepang, sbg
dasar masa transisi hukum dibawah pemerintahan Jepang yg berlaku
untuk pertama kalinya di wilayah Jawa dan Madura.
 Demikian pula dibidang hukum administrasi, masa pemerintahan
Jepang tidak banyak melakukan perubahan, lembaga2 atau badan
Negara yg ada pd masa Hindia Belanda hanya diubah namanya.

Dr. Iwan E. Joesoef, SH., Sp.N., M.Kn


MASA KEMERDEKAAN RI
 KEWAJIBAN KONSTITUSI WARGA NEGARA:
(KEWAJIBAN PAJAK & BELA NEGARA)
 Tercantum dalam pasal 23 A UUD 1945 yang berbunyi, "Pajak dan
pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan
Undang-Undang". dan dalam pasal 30 Ayat (1) UUD 1945 "tiap – tiap warga
Negara berhak dan wajib ikut serta dalam pertahan dan keamanan negara ".
Hanya dua pasal itulah, disebutkan tentang kewajiban warga Negara, yang
pertama adalah ikut serta dalam pertahanan dan keamanan Negara dan
kewajiban warga Negara untuk membayar. Karena dapat dikatakan
dimanapun juga bahwa kewajiban membayar pajak merupakan aturan
kewajiban dasar warga Negara.

Dr. Iwan E. Joesoef, SH., Sp.N., M.Kn


MASA KEMERDEKAAN RI

1) UU Pajak Hasil Bumi.


2) UU Pajak Dividen.
3) UU Tata Cara Pemungutan Pajak (MPS-MPO: menghitung pajak
sendiri – menghitung pajak orang lain).
4) Perubahan UU Pajak Pendapatan.
5) Perubahan UU Pajak Perseroan.
6) UU Pajak Peredaran/ Penjualan.
7) Perubahan UU Pajak lainnya.

Dr. Iwan E. Joesoef, SH., Sp.N., M.Kn


MASA MODIFIKASI HUKUM PAJAK NASIONAL

Pada th 1983 dunia perpajakan di Indonesia memasuki babak baru


(perubahan fundamental), yaitu dg melakukan penyesuaian thd amanat
Pancasila, UUD45, Tap MPR No. II/MPR/1983 tttg GBHN, dg diadakan
“Tax Reform” (pembaharuan per-UU-an Pajak yg lama):
1) UU KUP: UU No. 6 Th 1983 ttg Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
2) UU PPH: UU No. 7 Th 1983 ttg Pajak Penghasilan.
3) UU PPn dan PPNBM: UU No. 8 Th 1983 ttg Pajak Pertambahan Nilai Barang
dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
4) UU PBB: UU No. 12 Th 1983 ttg Pajak Bumi dan Bangunan.
5) UU BM: UU No. 13 Th 1983 ttg Bea Meterai.

Dr. Iwan E. Joesoef, SH., Sp.N., M.Kn


MASA MODIFIKASI HUKUM PAJAK NASIONAL

Arah dan Tujuan dg diadakan “Tax Reform” (pembaharuan per-UU-an


Pajak yg lama):
1) Menggalakkan partisipasi masyarakat utk bersama2 secara gotong royong
memikul beban pembiayaan dan pembangunan, dalam bentuk kontribusi
membayar pajak.
2) Menunjang kebijakan dan program pemerintah dlm rangka meningkatkan
pertumbuhan pemerataan, pembangunan, dan investasi di seluruh wilayah
NKRI.
3) Kepastian Hukum.
4) Kesatuan Hukum, dimana hukum pajak membahas ttg suatu objek pajak tertentu
secara spesifik tidak melebar ke objek lainnya.
5) Penegakkan Hukum.
Dr. Iwan E. Joesoef, SH., Sp.N., M.Kn
MASA REFORMASI HUKUM PAJAK NASIONAL

1) Tahap Reformasi Hukum Pajak: Tahun 1983-1985, Tahun 1994,


Tahun 1997, Tahun 2000, Tahun 2007-2009.
2) Perubahan Hukum Pajak Materiel: UU PPh, UU PPn, UU PBB, UU
BM, UU BPHTB.
3) Perubahan Hukum Pajak Formiel: UU KUP, UU Penyelesaian
Sengketa, Pengadilan Pajak.
4) Desentralisasi Objek Pemungutan Pajak.

Dr. Iwan E. Joesoef, SH., Sp.N., M.Kn


DESENTRALISASI OBJEK PEMUNGUTAN PAJAK

Termasuk upaya penyempurnaan hukum pajak materiel ini adalah


peralihan objek pajak dari pemerintah pusat menjadi objek pajak
pemerintah daerah (desentralisasi) utk menunjang terciptanya
perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah sesuai amanat UU
No. 33 Th 2004 ttg Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah, objek pemungutan pajak yg desentralisasi (menjadi
objek pajak pemerintah daerah):
1) Desentralisasi Objek PPh.
2) Desentralisasi Objek PBB dan BPHTB.
3) Desentralisasi Objek Pajak Daerah.

Dr. Iwan E. Joesoef, SH., Sp.N., M.Kn


DEFINISI HUKUM PAJAK

 Hukum pajak yang disebut juga hukum fiskal adalah keseluruhan dari
peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk
mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada
masyarakat dengan melalui kas negara, sehingga ia merupakan bagian
dari hukum publik, yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara
negara dan orang-orang atau badan-badan(hukum) yang berkewajiban
membayar pajak (selanjutnya sering disebut wajib pajak).
 Hukum pajak memuat pula unsur-unsur hukum tata negara dan hukum
pidana dengan acara pidananya.

Dr. Iwan E. Joesoef, SH., Sp.N., M.Kn


DEFINISI HUKUM PAJAK
 Batasan atau definisi pajak ada beberapa macam :
 (1) Salah satunya diantara batasan-batasan itu diajarkan oleh Prof.
Dr.P.J.A.Adriani (pernah menjabat guru besar dalam hukum pajak pada
Universitas Amsterdam, dan Pemimpin International Bureau of Fiscal
Documentation, juga di Amsterdam) berbunyi sebagai berikut:
 “Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang
terhutang kepada yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan,
dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk dan
yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum
berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan”.
 Dalam definisi ini, titik berat diletakkan pada fungsi budgetair dari pajak,
sedangkan pajak masih mempunyai fungsi lain yang tak kalah pentingnya,
yaitu fungsi mengatur atau regulerend.
Dr. Iwan E. Joesoef, SH., Sp.N., M.Kn
DEFINISI HUKUM PAJAK

 (2) Definisi Prancis, termuat dalam buku Leroy Beaulieu yang


berjudul Traite de la Science des Finances, 1906 sebagaimana dikutip
oleh R.Santoso Brotodihardjo dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum
Pajak, yang berbunyi “Limpot et la contribution, soit directe soit
dissimulee, que La Puissance Publique exige des habitants ou des
biens pur subvenir aux depenses du Gouvernment”. (“Pajak adalah
bantuan, baik secara langsung maupun tidak, yang dipaksakan oleh
kekuasaan publik dari penduduk atau dari barang, untuk menutup
belanja pemerintah ”).

Dr. Iwan E. Joesoef, SH., Sp.N., M.Kn


DEFINISI HUKUM PAJAK
 (3) Definisi Prof. Edwin R.A. Seligman dalam Essay in Taxation (New
York, 1925), sebagaimana dikutip oleh R.Santoso Brotodihardjo
dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum Pajak, berbunyi : “Tax is
compulsary contribution from a person, to the government to defray
the expenses incurred in the common interest of all, without reference
to special benefit conferred.” (Pajak adalah kontribusi wajib dari
seseorang kepada pemerintah untuk membayar pengeluaran-
pengeluaran untuk kepentingan publik tanpa balas jasa).

Dr. Iwan E. Joesoef, SH., Sp.N., M.Kn


DEFINISI HUKUM PAJAK
 (4) Definisi Mr. Dr.N.J.Feldmann, dalam bukunya De
overheidsmiddelen van Indonesia, Leiden, 1949 sebagaimana dikutip
oleh R.Santoso Brotodihardjo dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum
Pajak adalah: “Belastingen zijn aan de Overheid (volgens algemene
door haar vastgestelde normen) verschuldigde afdwingbare prestties,
waar geen tegenprestatie tegenover staat en uitsluitend dienen tot
decking van publieke uitgaven.”
 “Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terhutang
kepada penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkannya secara
umum), tanpa adanya kontra-prestasi, dan semata-mata digunakan
untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum.”
Dr. Iwan E. Joesoef, SH., Sp.N., M.Kn
DEFINISI HUKUM PAJAK
 (5) Definisi dari Prof.Dr.M.J.H. Smeets dalam bukunya De
Economische Betekenis der Belastingen, 1951 sebagaimana dikutip
oleh R.Santoso Brotodihardjo dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum
Pajak, adalah: “Belastingen zijn aan de overhead (volgens normen)
verschuligde, afdwingbare pretties, zonder dat hiertegenover, in het
individuele geval, aanwijsbare tegen-prestaties staan, zij strekken tot
decking van publieke uitgaven.”
 “Pajak adalah prestasi kepada pemerintah melalui norma-norma
umum, dan yang dapat dipaksakan, tanpa adanya kontra-prestasi yang
dapat ditunjukkan dalam hal yang individual : maksudnya untuk
membiayai pengeluaran pemerintah”.
Dr. Iwan E. Joesoef, SH., Sp.N., M.Kn
DEFINISI HUKUM PAJAK
 (6) Definisi Dr. Soeparman Soemahamidjaja dalam disertasinya yang
berjudul: ”Pajak Berdasarkan Asas Gotong Royong”, Universitas
Padjadjaran, Bandung, 1964 sebagaimana dikutip oleh R.Santoso
Brotodihardjo dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum Pajak sebagai
berikut :
 “Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut
oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutupi
biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai
kesejahteraan umum.”

Dr. Iwan E. Joesoef, SH., Sp.N., M.Kn


DEFINISI HUKUM PAJAK
 (7) Definisi Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH dalam bukunya: Dasar-
dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan adalah sebagai berikut:
”Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-
undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa-jasa
timbal balik (kontra-prestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan
yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.”

Dr. Iwan E. Joesoef, SH., Sp.N., M.Kn


CIRI-CIRI PAJAK
Dari berbagai definisi pengertian pajak sebagaimana diuraikan diatas, dapat ditarik kesimpulan
beberapa ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak yaitu:
 Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan
pelaksanaannya.
 Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontra-prestasi individual oleh
pemerintah.
 Pajak dipungut oleh negara baik oleh pemerintah pusat maupun daerah.
 Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari
pemasukkannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk public investment.
 Pajak dapat pula mempunyai tujuan yang tidak budgetair, yaitu untuk mengatur (regurelend).
Pemungutan pajak di Indonesia dilakukan berdasarkan kesepakatan antara wakil rakyat
dengan pemerintah sebagaimana diatur di Pasal 23A Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia 1945 (perubahan keempat) yang dituangkan dalam undang-undang perpajakan dan
peraturan pelaksanaannya.

Dr. Iwan E. Joesoef, SH., Sp.N., M.Kn

Anda mungkin juga menyukai