DAN
TEKNIK
PENGACUA
N
WA C H I D N U G R O H O
MENGAPA BAHASA DALAM PERANCANGAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
PENTING?
Menjadi penghubung Pelaksanaan peraturan
antara kebijakan dan perundang-undangan
implementasi di menjadi mudah
masyarakat
Tidak multitafsir yang
menguntungkan pihak
tertentu
PRINSIP DALAM PERANCANGAN DALAM
KAITAN BAHASA DAN TEKNIK PENGACUAN
CONSISTENCY
SOUND ARRAGEMENT
NORMAL USAGE
CONSISTENCY
Perancang harus memastikan bahwa setiap kata atau terminologi yang digunakan
secara konsisten
Menghindari penggunaan kata atau terminologi yang sama untuk lebih dari satu
arti atau dikenal ultraquistic subterfuge
Hindari penggunaan kata yang berbeda untuk menyatakan ide yang sama atau
elegant variation
• PERANCANG HENDAKNYA SELALU MENYATAKAN IDE YG SAMA DG CARA YG SAMA DAN
SELALU MENYATAKAN IDE YG BERBEDA SECARA BERBEDA.
• PERANCANG MENERAPKAN PRINSIP KONSISTENSI DLM PENYUSUNAN FRASA, KALIMAT,
PARAGRAF, SISTEMATIKA, DAN FORMAT.
• JIKA DUA PARAGRAF/BAGIAN MEMILIKI KESAMAAN ISI, MAKA PERANCANG HARUS
MENYUSUN DG CARA YANG SAMA. KONSISTENSI PERUMUSAN MENJADI “GOLDEN RULE”
DALAM PERANCANGAN.
• TIDAK ADA SESUATU YG DAPAT DILAKUKAN UTK MENINGKATKAN AKURASI DARI SUATU
DRAF, KECUALI MENGIKUTI PETUNJUK TERSEBUT, DAN JIKA MENGABAIKANNYA MAKA
HASILNYA SUATU DRAF YANG KABUR DAN TIDAK AKURAT
Pasal 4
(1) Pancasila bertujuan untuk mengakhiri dan meleyapkan segala penderitaan lahir dan batin, serta memberikan
nikmat rohaniah dan badaniah kepada seluruh rakyat, dengan menciptakan tata kehidupan masyarakat dalam
wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(2) Tujuan perjuangan rakyat dan bangsa Indonesia untuk mewujudkan Pancasila dengan tercapainya keadilan
sosial, kemerdekaan individu dan kemerdekaan bangsa, sebagai perwujudan dari budi dan hati nurani, yang
menunjukkan derajat dan mutu kemanusiaan.
Draf 1 (12-02-2020) RUU tentang Pembinaan Haluan Ideologi Pancasila
SOUND ARRAGEMENT
Pasal 7
(1) Masyarakat Pancasila merupakan suatu msyarakat yang tertib, aman tenteram dan sejahtera yang
berkarakter ramah tamah, berjiwa kekeluargaan dan memiliki semangat gotong royong, serta
kesadran bekerja, untuk mewujudkan cita-cita setiap rakyat Indonesia, yang menggambarkan
suatu tata masyarakat Pancasila,
KELUGASAN
KEBAKUAN
KESERASIAN
Pasal 11
Misi dari Masyarakat Pancasila menjalankan pembangunan nasional untuk mewujudkan tata masyarakat
Indonesia berdasarkan Pancasila, sesuai dengan amanat penderitaan dan cita-cita rakyat Indonesia yang
terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yakni:
a. membentuk suatu Negara Republik Indonesia yang berbentuk negara kesatuan dan negara kebangsaan yang
demokratis, dengan wilayah kekuasaan dari Sabang sampai Merauke;
b. membentuk satu masyarakat adil dan Makmur, materiil dan sprirituil dalam wadah Negara Kesatuan
Republik Indonesia; dan
c. membentuk satu persahabatan yang baik antara Republik Indonesia dan semua negara di dunia atas dasar
hormat menghormati satu sama lain, serta kerja sama dalam membentuk satu dunia yang merdeka dari
segala bentuk penjajahan, menuju pada perdamaian dunia yang abadi.
Dalam merumuskan ketentuan Peraturan Perundang-undangan digunakan kalimat yang tegas, jelas, singkat, dan
mudah dimengerti.
Contoh:
Pasal 5
(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
Undang-Undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
(1) Permohonan beristri lebih dari seorang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
AMBIGUITAS
Ambiguitas dapat terjadi pada level kata dan kalimat. Ambiguitas pada level kata terjadi di bidang
hukum, karena hukum memberikan makna sendiri pada suatu kata yang artinya berbeda dengan
penggunaan sehari-hari.
Tiper ambiguitas lainnya timbul karena kesalahan menempatkan klausul subordinasi.
Penggunaan kata penghubung “atau” dan “dan” yang dapat menimbulkan ambiguitas jika dalam
satu kalimat berisi kedua kata “atau’ dan “dan”
Ambiguitas yang umum ditemukan adalah ketidakpastian rujukan kata ganti. Untuk mengatasinya
disarankan agar menempatkan sedekat mungkin kata ganti tersebut dengan kata atau frasa yang
ditunjuk
Contoh 1:
(Pasal 48 ayat (1) UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan
Informasi Publik)
“Pengajuan gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1)
dan ayat (2) hanya dapat ditempuh apabila salah satu atau para pihak
yang bersengketa secara tertulis menyatakan tidak menerima putusan
ajudikasi dari Komisi Infornasi paling lambat 14 (empat belas) hari
kerja setelah diterimanya putusan tersebut.
Pertanyaan:
Dimana letak ambiguitas dari kalimat tersebut?
Ketentuan tersebut ambigu, karena dapat ditafsirkan bahwa tenggat
waktu paling lambat 14 (empat belas) hari dapat dimaknai sebagai
tenggat waktu untuk mengajukan keberatan secara tertulis atau untuk
mengajukan gugatan.
Contoh 2:
(Pasal 45 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi)
Penyidik adalah Penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang
diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pertanyaan:
Dimana letak ambiguitas dari kalimat tersebut?
Ketentuan tersebut ambigu, karena dapat ditafsirkan bahwa Komisi
Pemberantasan Korupsi mempunyai wewenang mengangkat Penyidik
selain Penyidik pejabat Polri sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6
ayat (1) huruf a UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, atau
Komisi Pemberantasan Korupsi hanya boleh mengangkat Penyelidik
yang berasal dari pejabat Penyidik Polri sebagaimana dimaksud dalam
Pasla 6 ayat (1) huruf a UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.
KALIMAT PASIF
Penggunaan kalimat pasif seringkali justru melemahkan penegakan dari ketentuan tersebut.
Contoh:
Pelatihan kerja diselenggarakan oleh Lembaga pelatihan kerja pemerintah dan/atau Lembaga pelatihan
lerja swasta. (Pasal 13, UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan).
Ketentuan diatas akan mempunyai daya persuasive yang kuat jika diubah menjadi kalimat aktif sebagai
berikut:
Lembaga pelatihan kerja pemerintah dan lembaga pelatihan kerja swasta menyelenggarakan
pelatihan kerja.
KALIMAT PANJANG
KALIMAT PANJANG SERING KEHILANGAN FOKUS DAN MELELAHKAN PEMBACANYA.
SEBUAH KALIMAT HARUS BERISIKAN SUATU GAGASAN ATAU IDE. AGAR GAGASAN ATAU IDE
KALIMAT UDAH DIPAHAMI PEMBACA, FUNGSI BAGIAN KALIMAT YANG MELIPUTI SUBYEK,
PREDIKAT, OBJEK DAN KETERANGAN HARUS TAMPAK JELAS. SELAIN KALIMAT HARUS LOGIS DAN
TERATUR.
KALIMAT YANG BAIK TERDIRI TIDAK LEBIH DARI 20 ATAU 25 KATA. KALIMAT YANG PANJANG DARI
ITU MENAMBAH BEBAN PADA SHORT-TERM MEMORY DARI PEMBACA. UNTUK KALIMAT YANG
BERISI INFORMASI HUKUM, SECARA RELATIF SEBAIKNYA DIBUAT PENDEK. KARENA KALIMAT
YANG PENDEK LEBIH EFEKTIF DARIPADA KALIMAT YANG PANJANG.
DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TIDAK JARANG BERBAGAI IDE ATAU GAGASAN
DITUANGKAN DALAM SATU PASAL ATAU AYAT, SEHINGGA PASA ATAU AYAT TERSEBUT
MENGGUNAKAN KALIMAT PANJANG.
CONTOH:
Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya akan
diperpanjang atau diperbaharui dan di perusahaan tersebut terdapat lebih dari 1 (satu)
serikat pekerja/serikat buruh dan serikat pekerja/serikat buruh yang dulu berunding
tidak lagi memenuhi ketentuan Pasal 120 ayat (1),maka perpanjangan atau pembuatan
pembaharuan perjanjian kerja bersama dilakukan oleh serikat pekerja/serikat buruh
yang anggotanya lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh
pekerja/buruh perusahaan bersama-sama dengan serikat pekerja/serikat buruh yang
membuat perjanjian kerja bersama terdahulu dengan membentuk tim perunding secara
proporsional.
KETENTUAN TERSEBUT TERDIRI ATAS
LEBIH DARI 70 KATA DAN MEMUAT
LEBIH DARI 5 GAGASAN/IDE.
KALIMAT MAJEMUK
KALIMAT YG DIGUNAKAN DALAM MERUMUSKAN NORMA DALAM PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN TIDAK SELALU BERBENTUK KALIMAT TUNGGAL ATAU
KALIMAT YG MEMILIKI SATU SUBJEK DAN SATU PREDIKAT. TIDAK SEDIKIT NORMA
DIRUMUSKAN DENGAN MENGGUNAKAN KALIMAT MAJEMUK YAG MERUPAKAN
GABUNGAN BEBERAPA KALIMAT TUNGGAL SEHINGGA KALIMAT TERSEBUT
MEMPUNYAI DUA SUBYEK ATAU LEBIH, DUA PREDIKAT ATAU LEBIH.
KALIMAT MAJEMUK ADA DUA MACAM: KALIMAT MAJEMUK SETARA DAN KALIMAT
MAJEMUK BERTINGKAT.
KALIMAT MAJEMUK
BEBERAPA YANG HARUS DIPERHATIKAN DALAM PERUMUSAN KALIMAT MAJEMUK
(TERUTAMA KALIMAT MAJEMUK BERTINGKAT)
Kalimat majemuk bertingkat selalu terdiri atas induk kalimat dan anak kalimat.
Induk kalimat adalah inti gagasan, sedangkan anak kaliat merupakan keterangan.
Induk kalimat dapat berdiri sendiri sebagai kalimat, sedangkan anak kalimat tidak dapat berdiri sendiri.
Induk kalimat tidak didahului kata penghubung, sedangkan anak kalimat selalu didahului oleh kata
penghubung penanda anak kalimat.
Kata penghubung penanda anak kalimat: ialah, jika, karena, apabila, seandainya, agar, supaya, bahwa,
Ketika, sewaktu, sebelum, sesudah, karena, sebab, maka, sehingga
CONTOH:
Setelah LPS mengambil alih segala hak dan wewenang RUPS, kepemilikan,
kepengurusan, dan/atau kepentingan pada bank tersebut sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 40 huruf a, LPS dapat melakukan Tindakan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26.
Pasal 41 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2004 tentang LPS.
RUMUS:
a. IK + AK : Acara itu diundur karena hujan.
b. AK + IK : Karena Hujan, acara itu diundur.
c. AK menyisip pada IK : Acara itu, karena hujan, diundur.
KALIMAT MAJEMUK
Ketentuan yang juga sering dilanggar
a. bila/apabila oleh pemakai Bahasa ialah dua kata penghubung anak
…………………………………………., kalimat
maka
sering……………………………………………….
digunakan sekaligus. Kata penghubung pertama melekat pada kalimat kesatu (sebelah kiri)
b. kata
dan jika penghubung………………………………………………………,
kedua melekat pada kalimat lainnya (sebelah kanan). maka
……………………………………………….
c. kalau …………………………………………………..., maka
………………………………………………
d. agar ………………………………………………………, maka
……………………………………………..
e. supaya …………………………………………………., maka
……………………………………………..
f. ketika ……………………………………………………, maka
……………………………………………...
g. karena ………………………………………………….., maka
………………………………………………
h. karena ……………………………………………………, sehingga
…………………………………………
PENGUNGKAPAN YANG TIDAK
LOGIS
Terjadi sebagai akibat kesalahan penataan penalaran.
Penalaran adalah sebuah proses berpikir untuk menghubungkan fakta yang ada
sehingga sampai pada kesimpulan.
Kalimat yang diucapkan atau dituliskan haruslah dilandasi suatu pemikiran
yang jernih. Jika kalimat yang dituliskan berwal dari pemikiran yang kusut,
kalimat yang lahir adalah kaliat yang tidak logis.
CONTOH:
Setiap orang yang melakukan kebohongan publik melalui media elektronik atau media cetak diancam
dengan…..
Makna kebohongan publik adalah kebohongan milik public seperti halnya ranah publik, ranah milik publik,
atau kesiapan public kesiapan milik publik.
Setelah ditelusuri konteks situasi pengucapannya, ternyata kebohongan publik berarti kebohongan terhadap
publik, tentang bohong terhadap public atau perbuatan bohong kepada publik. Jika demikian perhatikan kalimat
di bawah ini:
a. Setiap orang yang melakukan kebohongan kepada publik melalui media elektoronik atau media…
b. Setiap orang yang berbohog kepada publik melalui media elektronik atau media cetak diancam….
Perhatikan kalimat berikut ini:
Ketentuan tersebut tidak logis karena larangan ditujukan kepada “Setiap kendaraan
bermotor yang dioperasikan di jalan “untuk” memasang perlengkapan yang dapat
menganggu kselematan berlalu lintas.”