Anda di halaman 1dari 23

I.

PENDAHULUAN
A. PERKEMBANGAN KODIFIKASI HUKUM
PIDANA
B. FUNGSI UNDANG-UNDANG PIDANA
DI LUAR KUHP
C. PENGERTIAN DAN PEMBAGIAN
HUKUM PIDANA
Tujuan Instruksional Umum
(Kompetensi Dasar):

• Mahasiswa mampu memahami


tentang:
A. PERKEMBANGAN KODIFIKASI HUKUM PIDANA
B. FUNGSI UNDANG-UNDANG PIDANA DI LUAR
KUHP
C. PENGERTIAN DAN PEMBAGIAN HUKUM
PIDANA
Tujuan Instruksional Khusus
(Indikator):

• Mahasiswa mampu memahami


PERKEMBANGAN KODIFIKASI
HUKUM PIDANA.
• Mahasiswa mampu menjelaskan
FUNGSI UNDANG-UNDANG PIDANA
DI LUAR KUHP.
• Mahasiswa mampu menjelaskan secara
singkat PENGERTIAN DAN
PEMBAGIAN HUKUM PIDANA.
A. PERKEMBANGAN KODIFIKASI
HUKUM PIDANA

• Kodifikasi Peraturan (Hukum Pid, Perdt, Dagang)


secara sistematik dimulai pada Pemerintahan
NAPOLEON BONAPARTE di Perancis.
• Masa ini telah dikodifikasi kitab hukum
diantaranya:
* CODE CIVIL (Hk. Perdt) th 1804;
* CODE de COMMERCE (Hk. Dagang) th 1803
* CODE de PROCEDURE CIVIL (Hk. Acara Perdata) th 1807
* CODE d’instruction Criminelle (Hk. Acara Pidana) th 1808
* CODE PENAL (Hk. Pidana) th 1810
(Sudarto, 1981: 53 dlm Tri Andrisman, 2008: 1)
• Pembentukan peraturan dalam KITAB HUKUM
atau KITAB UNDANG-UNDANG:
Menitik beratkan pada PANDANGAN
”KEPASTIAN HUKUM”
Kepastian Hukum Sebagai Reaksi Terhadap
Zaman “ancien regiem” sebelum Revolusi
Perancis (1789), ketika itu rakyat menderita
akibat tidak adanya kepastian hukum dlm
menjalankan peradilan.
(Peradilan tanpa peraturan yang jelas, berdasarkan selera penguasa
dan pejabat yg berkuasa. Tidak ada peraturan pasti bagi hakim
dalam menjalankan peradilan tergantung dari perintah-perintah raja,
dimana perintah itu dapat berbeda-beda)
• Setelah Revolusi Perancis: Peraturan-
peraturan Dibukukan Dalam Bentuk
Peraturan Tertulis Dikenal Sebagai
Kodifikasi Peraturan-peraturan Hukum
• Pengertian Kodifikasi:
“menghimpun segala aturan hukum dari
bahan hukum tertentu, yg disusun secara
sistematis, lengkap dan tuntas”
• SISTEMATIS: dalam suatu sistem hukum diantara bagian-bagiannya yang
berupa aturan-aturan hukum itu, tidak boleh ada pertentangan satu sama
lain;
• LENGKAP dan TUNTAS: demi kepastian hukum, di luar kodifikasi itu tidak
diakui adanya aturan hukum, sehingga hukum yg diterapkan oleh hakim
hanya apa yang tercantum dalam kitab undang-undang hukum saja.

• Masa CODE PENAL: Hakim bertindak sebagai corong UU, hakim memutus
berdasarkan apa yang ditentukan oleh UU, tanpa interpretasi terhadap
ketentuan dlm UU tsb. Sehingga dianggap kaku OKI akan membawa
kelemahan dan penerapannya. Mis: ada orang yg mencuri karena
terpaksa utk memberi makan anaknya yg kelaparan, tetap saja dihukum
tanpa keringanan pidana. Keadaan tsb membawa ketidakpuasan sehingga
perlu perubahan thd CODE PENAL tsb. (pelajari Teori Pemidanaan dan
Aliran-aliran dlm hk. pidana)
CIVIL LAW

• Asas Kodifikasi ciri khas dari Sistem Hukum Eropa Kontinental (Civil
Law)
• Negara penganut menganggap sumber hukum hanya pd hk tertulis sj mis:
uu, pp dsb. Di luar hk tertulis, hukum tdk tertulis atau hk kebiasaan td dpt
dijadikan sumber hk.
• Negara penganut EROPA KONTINENTAL : Perancis, Belanda, Jerman,
Swiss, Indonesia) yg dipandang sbg satu-satunya sumber hukum hanyalah:
”Undang-undang/Hukum yg Tertulis”

COMMON LAW

• Negara ANGLO SAXON sebaliknya sumber hk berdasarkan “Hukum TIDAK


TERTULIS/Hukum Kebiasaan”
• Dikenal dengan SISTEM HUKUM “COMMON LAW” (Hukum kebiasaan yg
dikembangkan lewat putusan pengadilan)
• Masalah hukum diselesaikan atau diputuskan berdasarkan hukum tidak
tertulis yaitu kebiasaan atau adat istiadat yg dikembangkan dlm
praktik pengadilan (berupa putusan pengadilan)
COMMON LAW
• Hasil putusan dikembangkan & diunifikasi dalam bentuk YURISPRUDENSI
(MERUPAKAN ACUAN UTK MEMECAHKAN MASALAH HK DI MASA YG
AKAN DATANG)
• Sistem ini mengenal ASAS “Stare Decisis atau ASAS “The Binding Force
of Precedents” (Asas keterikatan hakim pada putusan-putusan
sebelumnya)
• Kekuatan mengikat berlaku bagi keputusan pengadilan yg lebih tinggi,
namun dapat juga berlaku untuk putusan pengadilan yg setingkat asal tidak
ada preseden yg saling bertentangan dan preseden itu tidak terjadi secara
“per incurian” artinya tidak terjadi karena kekeliruan dalam hukum.
• Pada awalnya dalam Sistem Hukum ANGLO SAXON/COMMON LAW
sumber hukum yg tertinggi adalah hukum tidak tertulis, namun karena
perkembangan masyarakat dan ilmu pengetahuan & teknologi maka lambat
laun hukum tertulis diakui pula sebagai sumber hukum. Walaupun hukum
tertulis ini tidak dikodifikasikan/dihimpun dalam satu kitab undang-undang,
tetapi tersebar dlm berbagai Per Undang-undngan. Sumber hukum tertulis
ini di Inggris disebut sebagai “STATUTE LAW”
• JADI negara yg menganut sistem hukum ANGLO SAXON/COMMON LAW sumber
hukumnya ada 2 yaitu:
1. HUKUM TIDAK TERTULIS (COMMON LAW);
2. HUKUM TERTULIS (STATUTE LAW)

CIVIL LAW

* Perancis menjajah Belanda akibatnya hukum Perancis diberlakukan di Belanda. Begitu


juga di Indonesia yang diberlakukan sistem hukum Belanda berdasarkan ASAS
KONKORDANSI (ASAS Persamaan )
• ASAS KONKORDANSI diatur dalam Pasal 75 RR (Regering Reglement), menetapkan:
“peraturan-peraturan yg mengatur peradilan terhadap golongan Eropa dalam perkara-perkara
pidana, sebanyak mungkin harus disesuaikan dengan uu yg terdapat di negeri Belanda”.
• Berdasarkan asas konkordansi ini kemudian di Hindia Belanda dibuat Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana yg mencontoh hukum pidana yg ada di Belanda.
• Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht) Belanda dibuat th 1886.
• Berdasarkan asas KONKORDANSI di Indonesia dibuat Wetboek van Strafrecht voor Nederland
Indie selesai tahun 1915 berlaku th 1918.
• JADI sistem hukum CIVIL LAW mendasarkan hukumnya pada hukum tertulis dan harus
dikodifikasikan, maksudnya dihimpun dalam satu kitab hukum (Misalnya: KUHP)
Oleh karena itu:

• Peraturan di bidang hukum harus dihimpun dalam satu kitab hukum


(misalnya masalah kejahatan atau tindak pidana diatur dalam KUHP), maka
dlm kenyataannya sebagai akibat perkembangan masyarakat, ilmu
pengetahuan dan teknologi, kejahatan juga berkembang dan memunculkan
kejahatan jenis baru. Di mana kejahatan-kejahatan jenis baru ini tidak
dapat dijangkau oleh KUHP, sehingga ditakutkan ada kekosongan hukum
dlm menanggulangi kejahatan jenis baru tsb.
B. Fungsi Undang-Undang Pidana di Luar
KUHP
• Alasan; Mengantisipasi kejahatan jenis baru maka pembentuk UU memberi
kemungkinan utk mengancam dgn pidana kejahatan jenis baru ini dgn cara
membuat aturan per-UU-an di luar KUHP.
• Dasar hukum diperbolehkannya dibentuk UU di luar KUHP adalah PASAL
103 KUHP, yg menyatakan:
“Ketentuan-ketentuan dlm Bab I sampai dgn Bab VIII buku ini juga
berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-
undangan lainnya diancam dgn pidana, kecuali jika oleh uu ditentukan
lain”
• Dengan Pasal 103 KUHP dimungkinkan dibentuk UU pidana di luar KUHP.
• Dengan ketentuan cara berlakunya mengacu pada Pasal 103 KUHP, yaitu:
“pada dasarnya ketentuan-ketentuan tentang pidana UU Pidana di luar ,
KUHP tunduk pada yg ditentukan dalam Buku I (Ketentuan Umum) KUHP,
kecuali UU Pidana di luar KUHP itu menentukan atau mengatur sendiri
ketentuan-ketentuan mengenai pidananya.
• Diperbolehkannya UU pidana di luar KUHP menentukan lain (mengatur
sendiri) dari apa yang ditentukan dalam KUHP dimungkinkan
berdasarkan ASAS “LEX SPECIALIS DEROGAT LEGI GENERALI”
(Aturan khusus mengesampingkan aturan yg umum)

Ketentuan Pasal 103 KUHP disimpulkan:

1. ketentuan-ketentuan dlm KUHP berlaku juga bagi ketentuan perundang-


undangan pidana di luar KUHP, selama peraturan perundang-undangan
pidana di luar KUHP itu tidak menentukan sendiri. Ketentuan KUHP yg
berlaku itu meliputi Bab I s.d VIII Buku I KUHP tentang ketentuan Umum;
2. Dalam hal peraturan perundangan di luar KUHP itu menentukan sendiri,
maka berlakulah Asas”LEX SPECIALIS DEROGAT LEGI GENERALI”

Pasal 103 KUHP ini dikenal dengan nama “PASAL JEMBATAN” maksudnya:
“Pasal yg memungkinkan dibentuknnya UU pidana di luar KUHP dan
berdasarkan Pasal 103 ini ketentuan-ketentuan dalam KUHP dalam Bab
I s.d Bab VIII Buku I berlaku pula bagi UU pidana di luar KUHP, kecuali
UU pidana di luar KUHP itu menentukan lain”.
BUKU I KUHP DISEBUT KETENTUAN UMUM YG MENGATUR:

• Bab I tentang batas-batas berlakunya aturan pidana;


• Bab II tentang pidana;
• Bab III tentang hal-hal yang menghapuskan, meringankan dan;
memberatkan pidana;
• Bab IV tentang percobaan;
• Bab V tentang penyertaan dalam melakukan tindak pidana;
• Bab VI tentang perbarengan tindak pidana
• Bab VII tentnag mengajukan dan menarik kembali pengaduan;
• Bab VIII tentang hapusnya kewenangan menuntut dan menjalankan pidana.

DELIK-DELIK KHUSUS DI LUAR KUHP Ad UU PIDANA DI LUAR KUHP:


yaitu segala peraturan perundang-undangan di luar KUHP yg didalamnya
ada ketentuan yang mengancam pidana atas pelanggaran terhadap
peraturan perundang-undangan tsb.
Mis: UU TP Korupsi, UU TP Terorisme, UU TP Pencucian Uang, dsb.
C. PENGERTIAN DAN PEMBAGIAN HUKUM PIDANA
1. Pengertian Hukum Pidana

Dibedakan secara Umum:


 Hukum pidana materiil dan Hukum pidana formil (ditambah hukum pelaksanaan
pidana) atau:
 Hukum pidana umum dan Hukum pidana khusus.

HUKUM PIDANA MATERIIL

Adalah “aturan-aturan yg menetapkan dan merumuskan perbuatan-perbuatan yg dapat


dipidana, aturan-aturan yg memuat syarat-syarat untuk dapat menjatuhkan pidana
dan ketentuan mengenai pidana”.

Hukum Pidana Materiil, substansi atau materi:


• perbuatan-perbuatan yg dilarang; ketentuan ini ada dlm KUHP
• Syarat-syarat untuk menjatuhkan pidana; atau UU Pidana di luar KUHP
• Ketentuan mengenai pidana. Mis: KUHPM, UU TPK, UU Narkotika,
UU lingk hidup, UU pencucian uang
HUKUM PIDANA FORMIL
• Biasa disebut “HUKUM ACARA PIDANA”
yaitu:”aturan-aturan yang menetapkan bagaimana negara dengan
perantaraan alat-alat perlengakapannya melaksanakan haknya untuk
mengenakan pidana”

• Dengan kata lain HUKUM PIDANA FORMIL merupakan “aturan-aturan yg


menjadi dasar bagi penegak hukum untuk melaksanakan HUKUM PIDANA
MATERIIL”

• Ketentuan HP FORMIL di KUHAP yg utama dan: di luar KUHP:


• JADI UU Pidana di luar KUHP (UU Korupsi, UU Narkotika, UULH, UU
Pencucian Uang) di samping memuat ketentuan2x peraturan di bidang
hukum pidana materiil juga memuat ketentuan2x peraturan di bidang Hukum
pidana formil/HUKUM ACARA PIDANA. Dasar Pasal 103 KUHP
• Hal ini berarti dlm UU Pidana di Luar KUHP, diatur juga ketentuan tentang:
* perbuatan yg dilarang (tindak pidana)
* jenis pidana Hk. Pid Materiil
* ketentuan penyidikan, pembuktian, alat bukti Hk. Pid Formil
(ketentuan beracara dlm perkara pid)
• Ini berarti: UU Pidana di luar KUHP diatur tentang perbuatan yg
dilarang (TP), jenis pidana (hukum pid materiil), juga diatur ketentuan
beracara dalam perkara pidana (siapa yg berhak melakukan
penyidikan, sistem pembuktian, maupun alat bukti, yg biasa
menyimpang ketentuan beracara dalam KUHAP (hk pid formil)

HUKUM PIDANA UMUM dan HUKUM PIDANA KHUSUS

Hukum Pidana UMUM

“Ketentuan-ketentaun HP yg berlaku sec UMUM bagi setiap org”


(KUHP & KUHAP)

KUHAP: HP Formil termasuk HP Umum, krn merupakan ketentuan beracara


berlaku umum utk setiap org pelaku TP
Hukum Pidana KHUSUS

“ketentuan-ketentuan HP yg ditetapkan berlaku utk golongan org ttt


atau yg berhubungann dgn perbuatan-perbuatan ttt”
(KUHPM, UU Peradl Militer, UU TP Ekonomi, UU Narkotika, UU TPK dsb)

KHUSUS: mengatur kekhususan pelaku/orgnya yg melakukan TP maupun


perbuatan ttt yg dilarang

Exs: ORANG tertentu MILITER HPid Khususnya:


KUHPM

PERBUATAN tertentu Merugikan Keuangan Neg HP


Khususnya:
UU No. 31/1999 jo
UU No.20/2001 ttg
Pemberantasan TPK
Memakai/mengedarkan Narkotika HP khususnya:
UU No.22/1997
HUBUNGAN HUKUM PIDANA UMUM
dan
HUKUM PIDANA KHUSUS

SANGAT ERAT, karena Hukum Pidana UMUM merupakan INDUK/payung bg


HP KHUSUS, yang mana tetap berlaku HP UMUM apabila HP KHUSUS
tidak mengatur secara KHUSUS

• Dasar Hukum PASAL 103 KUHP:


“Ketentuan-ketentuan dlm Bab I s.d Bab VIII Buku ini jg berlaku bagi
perbuatan-perbuatan yg oleh ketentuan perundang-undangan lainnya
diancam dgn pidana, kecuali jika oleh UU ditentukan lain”.

Asas “LEX SPECIALIS DEROGAT LEGI GENERALI”


“Apabila ada dua ketentuan hukum/uu yg kedudukannya setingkat dan
mengatur materi yg sama, maka hukum/uu yang khusus menyampingkan
hukum/uu yang umum”.
II. SEKILAS TENTANG
TINDAK PIDANA DI BIDANG PEREKONOMIAN

• PENDAHULUAN (Latar Belakang)


* Era pasar bebas perlu perlindungan atas perekonomian Indonesia
* termasuk gejolak mata uang menyebabkan beberapa bank
dilikuidasi
* Pandangan masyarakat: Pemerintah yang salah (kurang bijaksana
dlm melakukan policy dibidang perekonomian
* nasabah bank mejadi korban menganggap PEMERINTAH
Penyebabnya.
* Hal ini juga yg dipergunakan Pimpinan Bank bersangkutan utk
mencari kambing hitam.
Alasan lain: *persoalan likuidasi perbankan orang mencari tahu apakah
telah terjadi tindak pidana didalamnya;
*nasabah tidak rela uang yg disimpan di bank tdk dpt kembali
* tuduhan mereka mengarah ke tindakan yg berupa TP
Berdasarkan hal tsb menjadi kajian ILMUWAN untuk mengatasi masalah
perekonomian di Indonesia. Bidang hukum ikut melakukan analisis
yuridis terhahap perekonoimian Indonesia.

TENTANG PENGERTIAN

A. Apakan Tindak Pidana Ekonomi

*Istilah TPE lebih diartikan sebagai TP yg termuat dalam UU No.7/Drt/1955.


*Di sini dikenal PENYELUNDUPAN sebagai TPE

Tiga Kaedah TPE:


1. Pelanggaran thd peraturan perundag-undangan yg dimuat dlm Pasal 1
sub 1 e, yaitu meliputi pelanggaran sesuatu ketentuan berdasarkan yg
tersebut dlm ayat itu, dimulai dr a sd o (sebagian telah dicabut);
2. Pelanggaran thd pasal 26, 32, dan 33 uu tsb;
3. Pelanggaran ketentuan dlm per-uu-an lain sepanjang uu tsb
menyebutkan sebagai TPE.
• TPE yang termuat dlm uu di atas, dalam TEORI dikenal sebagai TPE dlm
ARTI SEMPIT.
• TPE dalam ARTI LUAS adalah: seluruh TP di bid perekonomian di luar
UU tsb, yakni ketentuan dalam per-uu-an non hukum pidana di bidang
EKONOMI yg memuat aturan pidana di dalamnya.
• Suatu kebiasaan dalam per-uu-an mencantumkan ketentuan pidana dalam
menjaga ditaatinya beberapa ketentuan di dalamnya.
• Contoh: UU Perpajakan nyata UU di bid Perekonomian di dalamnya
ada ketentuan pidana, sehingga pelanggarannya disebut telah melakukan
TPE
Tidak semua ketentuan pelanggaran dalam per-uu-an non pidana dianggap
sebagai TPE.
Ex: Ketentuan pidana dalam uu Keimigrasian jelas bukan sebagai TPE, karena
uu Keimigrasian bukan merupakan per-uu-an di bidang perekonomian

 Berdasarkan hal di atas masih dirasakan sulit untuk mencari suatu definisi
TPE kecuali TPE dlm arti SEMPIT (karena jelas ditentukan dalam uu yang
ada)

 Kesulitan tsb ditambah dgn terdapatnya beberapa ketentuan HP KHUSUS di


luar KUHP
• Sebagai contoh: seseorang memanipulasi pajak, apakah dia melakukan
TP fiskal atau telah melakukan TPE?...
(dlm ilmu hukum pidana hal demikian dianggap sbg “concursus idealis”
seseorang melakukan satu perbuatan sekaligus melanggar beberapa
ketentuan pidana

Contoh di atas masih dpt dicari argumentasinya bahwa manipulasi pajak


meskipun dpt dituntut melakukan TPK juga melakukan Kejahatan
Ekonomi. Karena pada hakekatnya UU Pemberantasan TPK ad sebagai
UU di Bid Perekonomian: Pasal 2 ayat (1) UU No. 31/1999 jo UU No.
20/2001: yang dirugikan ad keuangan atau PEREKONOMIAN Negara.
Sehingga dapat dikatakan “mereka yang memperkaya diri dgn merugikan
keuangan dan perekonomian negara bukan saja dianggap telah
melakukan korupsi akan tetapi juga telah melakukan TPE (dalam arti
LUAS)

SELANJUTNYA:

1. TEORI ABSOLUT/SUBYEKTIF
2. TEORI PREDOMINAN

Anda mungkin juga menyukai