Anda di halaman 1dari 89

MEKANISME KETAHANAN

MIKROORGANISME
TERHADAP PROSES
PENGOLAHAN
Pengantar
Proses pengolahan dilakukan terhadap
bahan pangan dengan berbagai tujuan
:
1. Memperpanjang masa simpan atau
mengawetkan,
2. Membuat produk menjadi lebih
baik, baik yang setengah jadi maupun
yang siap untuk dikonsumsi,
1. Meningkatkan daya cerna dan
penerimaan,
2. Untuk mencegah kerusakan
fisik, kimia, atau kerusakan
biologis, serta kerusakan
mikroorganisme.
 Dari berbagai proses pengawetan
yang telah dilakukan, beberapa belum
diketahui dengan jelas mekanismenya
secara biofisika, biokomia maupun
secara molekuler.
 Akan dijelaskan mekanisme
pengawetan yang ditujukan untuk
mencegah kerusakan mikrobiologis
pada bahan pangan dan ketahanan
mikroorganisme terhadap proses
pengawetan tersebut.
proses pengawetan antimikrobial dapat dibedakan
atas tiga kelompok berdasarkan mekanisme
kerjanya, yaitu :

1. Proses pengawetan yang bersifat “membunuh”


mikroorganisme.
2. Proses pengawetan yang bersifat “menghambat”
atau “memperlambat” pertumbuhan
mikroorganisme tanpa membunuhnya secara
langsung, meskipun sel yang terhambat
pertumbuhannya tersebut pada proses
pengawetan yang lama mungkin akan mati.
3. Proses pengawetan yang mencegah masuknya
mikroorganisme ke dalam bahan pagnan.
 Faktor pengawetan yang paling banyak
digunakan dengan tujuan membunuh
mikroorganisme adalah pemanasan
 Proses pengawetan yang diterapkan
dengan tujuan menghambat atau
memperlambat pertumbuhan
mikroorganisme sangat bervariasi,
termasuk
proses yang melalui mekanisme fisik
seperti
pendinginan, pembekuan,
pengurangan
aktivitas air melalui pengeringan atau
penambahan bahan terlarut,
Proses kimia seperti penambahan
asam, alkohol, antibiotik, bahan
pengawet lainnya, atau melalui
proses fermentasi.
Pencegahan masuknya
mikroorganisme ke dalam
bahan pangan yang paling
umum dilakukan adalah
dengan cara
pengepakan, yang biasanya
dikombinasi dengan cara
A. Ketahanan Mikroorganisme
terhadap Panas

 Penggunaan suhu tinggi


dalam
pengawetan makanan dipengaruhi oleh
tujuan pengawetan, yaitu pengaruhnya
terhadap mikroorganisme yang ada di
dalam makanan, dan mutu makanan
yang diawetkan.
 Dua cara pengawetan
dengan
pemanasan yang umum dilakukan
adalah “pasteurisasi dan sterilisasi”.
 Pasteurisasi dengan panas bertujuan
untuk membunuh semua organisme
patogen, misalnya pada pateurisasi sari
buah atau minuman lainnya.
 Pasteurisasi dilakukan dengan cara
memanaskan susu pada suhu 62,8oC
selama 30 menit yang dikenal dengan
metode LTLT (low temperature long
time), atau pada suhu 71,7oC selama 15
detik yang disebut metode HTST (high
temperature short time).
Pemanasan tersebut cukup
membunuh
bateri patogen yang paling tahan panas
dan tidak membentuk spora, yaitu
Mycobacterium tuberculosis dan Coxiella
burnetti. Suhu Pasteurisasi susu juga
cukup untuk membunuh semua
khamir, kapang, bakteri gram
negatif, dan kebanyakan sel vegetatif
bakteri gram positif.
 Kelompok mikroorganisme yang
tahan
terhadap susu pasteurisasi dapat
dibedakan atas dua kelompok, yaitu
bakteri termodurik dan thermofilik.
 Bakteri termodurik adalah bakteri yang
tahan
relatif terhadap pemanasan pada suhu
tinggi, misalnya
pasteurisasi, tetapi tidak harus tumbuh
pada suhu relatif tinggi.
 Bakteri yang tergolong termodurik dan
tahan suhu pasteurisasi susu misalnya
beberapa spesies Streptococcus dan
Lactobacillus.
 Bakteri thermofilik adalah bakteri yang
tidak hanya tahan terhadap
pemanasan pada suhu relatif
tinggi, tetapi juga membutuhkan suhu
tinggi untuk pertumbuhannya. Bakteri
yang tergolong thermofilik misalnya
beberapa spesies dari Bacillus dan
Clostridium.
 Proses sterilisasi adalah salah satu
cara pengawetan dengan suhu tinggi
untuk membunuh semua
mikroorganisme yang ada.
 Dalam pengawetan makanan dikenal
istilah “sterilisasi komersial”, yaitu
sterilisasi untuk membunuh semua
mikroorganisme pembusuk yang
dapat tumbuh pada kondisi
penyimpanan yang normal.
 Contoh makanan kaleng bukan
merupakan makanan yang steril
absolut tetapi bersifat steril
komersial, dimana di dalamnya
mungkin masih mengandung
sejumlah mikroorganisme tetapi
tidak dapat tumbuh dan
menyebabkan kebusukan
karena kondisi pH, atau suhu
penyimpanan yang tidak
memungkinkan
 selama penyimpanan pH makanan
berubah dan suhu penyimpanan juga
berubah, maka mikroorganisme yang
ada di dalamnya mungkin dapat tumbuh
dan menyebabkan kebusukan makanan
kaleng.
 Suhu dan waktu sterilisasi yang
diterapkan pada bahan pangan
dipengaruhi oleh sifat-sifat bahan
pangan, terutama pH nya.
 Semakin rendah pH makanan atau
semakin tinggi keasamannya diperlukan
suhu dan waktu sterilisasi yang semakin
rendah.
 Seperti halnya proses pasteurisasi,
proses
sterilisasi dapat dilakukan
menggunakan
suhu relatif rendah dengan waktu relatif
lama, misalnya 121oC selama 15 menit
menggunakan suhu tinggi dengan relatif
singkat, misalnya pada suhu 135-150oC
dalam waktu 2-6 detik, misalnya pada
sterilisasi susu menggunakan system
1. Ketahanan Panas Diantara Spesies
Mikroorganisme

 Pada umumnya ketahanan panas diantara spesies


mikroorganisme dipengaruhi oleh suatu suhu
optimum untuk pertumbuhannya.
 Mikroorganisme yang bersifat psikrofilik
merupakan
organisme yang paling sensitif terhadap
pemanasan, diikuti oleh mikroorganisme
mesofilik, dan paling tahan panas adalah
mikroorganisme thermofilik.
 Bakteri pembentuk spora pada umumnya
lebih tahan panas dibandingkan dengan
bakteri yang tidak membentuk spora, dan
bakteri pembentuk spora yang bersifat
thermofilik lebih tahan panas daripada
bakteri pembentuk spora yang bersifat
mesofilik.
 Jika dilihat dari sifat pewarnaan
gramnya, bakteri gram negatif,
dan bakteri berbentuk bulat
(kokus) lebih tahan panas dari
pada bakteri berbentuk batang
yang
tidak membentuk spora.
 Kapang dan khamir termasuk
mikroorganisme yang sensitif terhadap
panas dimana askospora khamir sedikit
lebih tahan dibandingkan dengan sel
vegetatif khamir.
 Spora aseksual kapang sedikit lebih
tahan panas dari pada kapang kecuali
skerotia, yaitu miselium kapang yang
paling tahan panas dan sering
menimbulkan masalah pada
pengalengan buah-buahan.
 Ketahanan panas endospora bakteri
sangat penting dalam perhitungan proses
termal yang diterapkan pada makanan.
Bakteri yang sering ditemukan pada
makanan dan memproduksi endospora
terutama Bacillus dan Clostridium.
 Endospora bakteri biasanya diproduksi
pada saat kondisi pertumbuhan untuk sel
vegetatif tidak optimum, misalnya pada
keadaan kekurangan nutrien, keadaan
kering dan sebagainya.
 Setiap sel hanya memproduksi
satu
endospora dengan berbagai bentuk dan
ukuran tergantung dari spesies
organismenya.
 Endospora bakteri tidak hanya
tahan
terhadap panas tetapi juga tahan
terhadap keadaan
kering, pendinginan, senyawa kimia dan
kondisi yang tidak baik lainnya.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Ketahanan Panas Mikroorganisme

 Selain ketahanan panas yang berbeda


diantara spesies
mikroorganisme, ketahanan panas juga
dipengaruhi oleh berbagai parameter
yang terdapat pada mikroorganisme
maupun parameter lingkungan.
 Contoh bakteri dalam jumlah yang sama
jika dipanaskan dalam larutan garam
fisiologis dan di dalam nutrient broth
tidak akan mengalami destruksi panas
dengan kecepatan yang sama.
Faktor-faktor mikroorganisme maupun
lingkungan yang berpengaruh terhadap
ketahanan panas suatu mikroorganisme

a. Jumlah Sel Mikroorganisme


Berbagai percobaan telah
membuktikan bahwa semakin tinggi
jumlah sel mikroorganisme semakin
tinggi ketahanannya terhadap panas.
 Mekanisme perlindungan sel terhadap
panas di dalam suatu populasi sel yang
tinggi disebabkan sel memproduksi
komponen-komponen
pelindung, diantaranya protein yang
diketahui mempunyai sifat sebagai
pelindung.
 Kemungkinan lain dari peningkatan
ketahanan panas dengan
meningkatkannya populasi sel
adalah
karena peluang untuk mendapatkan
sel
yang mempunyai ketahanan panas
b. Umur Sel
 Sel mikroorganisme akan lebih tahan
panas pada saat pertumbuhannya
mencapai
fase statis, dimana sel-selnya merupakan
logaritmik. Demikian juga spora bakteri
 yang
tua lebih tahan panas dibandingkan
dengan
spora bakteri yang lebih muda.
Dari keadaan tersebut dapat diambil
kesimpulan bahwa semakin berkurang
aktivitas sel mikroorganisme, semakin
meningkat ketahanan panasnya.
c. Suhu Pertumbuhan
 Ketahanan panas suatu mikroorganisme
biasanya meningkat dengan semakin
tingginya
suhu inkubasi. Ketahanan panas spora B.
subtilis dan B. coagulans akan meningkat
 dengan semakin tingginya suhu sporulasi
atau
pembentuk spora.
Walaupun mekanisme pengaruh suhu
inkubasi terhadap ketahanan panas sel
 mikroorganisme ini belum jelas, tetapi
diduga
bahwa pada suhu inkubasi yang tinggi
terjadi
seleksi genetik yang merangsang
d. Air
 Ketahanan panas suatu sel
mikroorganisme meningkat dengan
menurunnya kelembaban atau kandungan air.
 Contoh kumpulan sel mikroorganisme
dalam keadaan kering yang ditempatkan
di
dalam tabung reaksi dan dipanaskan di
dalam
 penangas air, akan lebih tahan panas
dibandingkan dengan sel-sel basah pada
kondisi yang sama.
Keadaan ini diduga disebabkan oleh
denaturasi protein yang terjadi lebih cepat
jika
dipanaskan di dalam air, dibandingkan
 Pemanasan basah terhadap protein
menyebabkan terbentuknya gugus
sulfhidril (SH) yang mengakibatkan
peningkatan kapasitas mengikat air oleh
protein.
 Adanya air yang terikat pada protein
mempermudah pemecahan ikatan-
ikatan peptida. Pada keadaan kering
diperlukan energi yang lebih tinggi untuk
memecah ikatan-ikatan peptida, atau
protein lebih sukar terdenaturasi, oleh
karena itu sel mikroorganisme juga lebih
tahan terhadap panas.
e. Lemak

 Adanya lemak di dalam medium


pemanasan pada umumnya akan
meningkatkan ketahanan panas
mikroorganisme.
 Dalam hal ini lemak dianggap
sebagai
 pelindung sel terhadap panas.
Asam-asam lemak berantai panjang
lebih bersifat protektif terhadap
Clostridium botulinum daripada asam-
asam lemak berantai pendek.
f. Garam
 Pengaruh garam terhadap ketahanan
panas sel mikroorganisme sangat
bervariasi tergantung dari jenis
garam, konsentrasi, spesies
mikroorganisme, dan faktor-faktor
lainnya.
 Beberapa garam mungkin mempunyai
pengaruh melindungi terhadap suatu
mikroorganisme, sedangkan garam
lainnya mungkin mengakibatkan sel
lebih sensitif terhadap panas.
 Mekanisme pengaruh garam terhadap
ketahanan panas bakteri ini disebabkan
beberapa garam bersifat menurunkan
aktivitas air sehingga dapat
meningkatkan ketahanan panas sel
dengan mekanisme yang sama seperti
pengeringan
 sedangkan garam-garam lainnya seperti
garam kalsium, (Ca++) dan magnesium
(Mg++) dapat menyebabkan peningkatan
aktivitas air, sehingga mengakibatkan
penurunan ketahanan sel terhadap
panas,
 penambahan CaCl2 ke dalam medium
pertumbuhan untuk spora Bacillus
megaterium menghasilkan spora yang
lebih tahan panas, sedangkan
penambahan L-glutamat, L-prolin, atau
fosfat menurunkan ketahanan panas
spora bakteri tersebut.
 Garam NaCl bersifat sangat
melindungi
Staphylococcus terhadap panas.
g. Karbohidrat
 Medium pemanasan yang mengandung
gula akan meningkatkan ketahanan
panas mikroorganisme yang terdapat di
dalamnya.
 Pengaruh ini terutama disebabkan gula
bersifat mengikat air yang terdapat di
dalam medium maupun sel sehingga
menurunkan aktivitas airnya, akibatnya
sel menjadi lebih tahan panas seperti
mekanisme yang terjadi pada
pengeringan.
 Pengaruh karbohidrat terutama gula
terhadap ketahanan panas sel
mikroorganisme sangat bervariasi
tergantung dari jenis gulanya dan spesies
mikroorganisme.
 contoh glukosa mempunyai pengaruh
melindungi sel Escherichia coli dan
Pseudomonas fluorescens terhadap
panas
lebih baik dibandingkan dengan garam
NaCl
pada aW mendekati minimum untuk
pertumbuhan.
 Sebaliknya glukosa tidak mempunyai
pengaruh melindungi bahkan berbahaya
bagi Staphylococcus aureus.
 Pada aW medium pemanasan yang
sama
yang diatur menggunakan gliserol dan
berbagai jenis gula, terdapat perbedaan
dalam ketahanan panas Salmonella
senftenberg, sukrosa dapat
meningkatkan
ketahanan panas bakteri tersebut lebih
dari
karbohidrat lainnya, dan dilihat berturut-
turut dari yang besar ke yang terkecil
pengaruhnya adalah sukrosa glukosa
Nilai pH
 Mikroorganisme mempunyai
ketahanan
panas tertinggi pada pH optimum untuk
pertumbuhannya yaitu biasanya sekitar
pH 7,0.
 Jika pH diturunkan atau
dinaikkan
menjauh pH optimum tersebut, maka
ketahanan panas mikroorganisme akan
menurun.
 Oleh karena itu makanan yang berasam
tinggi, yaitu yang mempunyai pH rendah
membutuhkan panas yang lebih sedikit
untuk sterilisasi dibandingkan dengan
makanan yang mempunyai pH sekitar
 netral.
Meskipun dengan menurunkan atau
menaikkan pH makanan menjauhi netral
dapat mengurangi panas yang
dibutuhkan
untuk mengawetkan makanan, tetapi
beberapa komponen makanan juga
akan
rusak dengan pemanasan pada pH
 Contoh misalnya pasteurisasi
putih telur yang mempunyai pH
sekitar 9,0. Pada pH tersebut
pasteurisasi putih telur pada
suhu 60-60oC selama 3,5 – 4,0
menit akan menyebabkan
koagulasi protein yang
mengakibatkan viskositasnya
meningkat.
 Perubahan tsb akan berpengaruh
terhadap volume pengembangan
maupun tekstur kue yang dibuat dari
putih telur yang dipasteurisasi.
 Oleh karena itu untuk meningkatkan
ketahanan panas protein putih telur, pH
putih telur harus diatur supaya
mendekati netral, meskipun dengan
perlakuan ini mikroorganisme yang
terdapat di dalamnya juga lebih tahan
panas.
 Sensitivitas bakteri terhadap
panas
pada pH rendah juga dipengaruhi oleh
jenis asam yang digunakan untuk
menurunkan pH medium.
 Penurunan pH menggunakan asam
asetat atau asam laktat akan lebih
menurunkan ketahanan panas sel
dibandingkan dengan penurunan pH
menggunakan HCl.
Protein
 Protein yang terdapat di dalam
medium pemanasan dapat bersifat
melindungi mikroorganisme terhadap
panas.
 Oleh karena itu makanan berprotein
tinggi memerlukan pemanasan yang
lebih tinggi untuk mengawetkan
dibandingkan dengan makanan yang
kandungan proteinnya rendah.
 Contoh diperlukan suhu pemanasan yang
lebih tinggi dalam waktu sama untuk
membunuh sejumlah sel yang sejenis di
dalam susu skim dibandingkan dengan
pemanasan di dalam air.
 Pengaruh melindungi dari protein
tersebut disebabkan protein bersifat
sebagai koloid di dalam larutan, dimana
bahan-bahan koloidnya biasanya
menurunkan hantaran panas.
Senyawa Antimikroba

 Adanya senyawa-senyawa
antimikroba yang terdapat di dalam
medium pemanasan dapat
menurunkan ketahanan panas
mikroorganisme.
 contoh penambahan antibiotik
yang tahan panas, SO2 atau nitrit di
dalam
makanan sebelum pemanasan saja
tanpa penambahan bahan
pengawet.
Suhu dan Waktu Pemanasan
 Pada suhu yang sama, maka waktu
pemanasan lebih besar pengaruhnya
terhadap kematian sel mikroorganisme.
 Tetapi yang lebih besar pengaruhnya
sebenarnya adalah suhu
pemanasan, dimana suhu pemanasan
yang semakin tinggi lebih besar
pengaruhnya terhadap kematian sel.
 Pada suhu yang lebih tinggi, waktu
pemanasan yang diperlukan untuk
membunuh sejumlah sel semakin
singkat.
Ketahanan Mikroorganisme
terhadap Aktivitas Air Rendah
 Salah satu cara untuk menghambat
pertumbuhan sel vegetatif mikroorganisme
adalah dengan menurunkan aktivitas
air, yaitu dengan cara
pengeringan, penambahan
garam, gula, atau bahan-bahan lainnya
meskipun sebagian mikroorganisme
mungkin akan mati selama proses
pengeringan,

proses ini sebenarnya tidak bersifat
letal
terhadap mikroorganisme, sehingga
beberapa jenis mikroorganisme
 Bakterimemerlukan aW relatif tinggi
untuk pertumbuhan, sedangkan khamir
memerlukan aW minimal lebih rendah
daripada bakteri, kapang memerlukan
aW minimal paling rendah.
 Bakteri memerlukan aW lebih dari
0.90 untuk pertumbuhannya, oleh
karena itu pada bahan pangan
dengan aW sekitar
0,90 mikroba yang sering tumbuh
terutama adalah kapang dan khamir.
 Khamir pada umumnya tidak dapat
tumbuh pada aW di bawah 0,88
kecuali beberapa khamir yang bersifat
osmofilik, misalnya Saccharomyces
cerevisiae yang dapat tumbuh pada
aW sekitar 0,65 pada aW
0,80 – 0,085 mikroorganisme yang
dapat tumbuh terutama kapang.
 Kebusukan makanan dapat dicegah
dengan pengaturan aW di bawah
0,70 – 0,75.
 Mekanisme ketahanan mikroorganisme
pada keadaan aW rendah diduga
disebabkan oleh sel mikroorganisme dapat
mengimbangi tekanan osmotik di luar sel
dengan cara memproduksi senyawa-
senyawa tertentu yang dapat
meningkatkan tekanan osmotik di dalam
sel.
 Contoh Bacillus subtilis akan
memproduksi asam amino prolin jika
aW medium pertumbuhannya
diturunkan misalnya dengan
penambahan NaCl.
 Bakteri lain yang mungkin memproduksi
asam glutamat, asam gama-amino
butirat dan / atau prolin, dan
kemungkinan konsentrasi kalium dan
glukosa intraseluler juga naik untuk
mengimbangi tekanan osmotik di luar
sel.
 Dengan kenaikan komponen-komponen
tersebut maka sel akan menyerap air
kembali dan dapat tumbuh berkembang
biak.
 Tetapi sintetis komponen-komponen
intraseluler tersebut memerlukan energi
tinggi, oleh karena itu kecepatan
pertumbuhan sel pada aW rendah
menjadi lambat karena sebagian energi
digunakan untuk mensistesis
komponen- komponen tersebut.
 Jika bakteri terutama menggunakan
asam-asam amino, K+ dan glukosa
untuk mengatur tekanan osmotik di
dalam sel, khamir menggunakan
senyawa lain yaitu alkohol polihidrat
untuk tujuan yang sama.
 Beberapa khamir jika ditempatkan pada
aW rendah akan memproduksi etanol
dan gliserol di dalam selnya, dan
kadang-kadang produksinya sedemikian
tingginya sehingga mempengaruhi
viabilitas sel.
 Beberapa ganggang laut misalnya
Dunaliela memproduksi gliserol dalam
jumlah tinggi pada aW rendah.
 Komponen pengikat air yang dapat
menembus sel, misalnya gliserol yang
dapat menembus membran sel
bakteri, tidak terlalu berpengaruh
terhadap sintetis komponen-komponen
pengatur aliran air ke atau dari sel.
 Oleh karena itu bakteri dapat
mengatur aliran air ke atau dari sel jika
ditempatkan di dalam larutan gliserol.
 Mesakipun sel mikroorganisme dapat
mengimbangi perubahan aW di
sekelilingnya, tetapi kemampuan sel
terbatas sehingga pada aW yang sangat
rendah atau tekanan osmotik yang sangat
tinggi, pertumbuhan sel akan berhenti.
 Salah satu hal yang perlu
dipertimbangkan dalam pengawetan
makanan dengan aW rendah adalah
karena sel mikroorganisme yang
kehilangan air atau mengalami
pengeringan tersebut menjadi lebih tahan
panas.
 Salmonella typhimurium ketahanan
panasnya akan meningkat menjadi 700
kali setelah sel-selnya ditempatkan di
dalam larutan-larutan
sukrosa, glukosa, fruktosa atau
sorbital, yaitu komponen-komponen yang
tidak dapat menembus membran sel
sehingga menyebabkan dehidrasi
sitoplasma.
 Perendaman sel di dalam larutan gliserol
yaitu komponen-komponen yang dapat
menembus membran sel sehingga tidak
menarik air dari sel, mempunyai
pengaruh
yang kecil tehadap ketahanan panas sel
 Hasil penelitian telah membuktikan
pengaruh yang sama terhadap
 Oleh karena khamir.
ituketahanan panas dapat diduga
sel yang bahwa
mengalami
dehidrasi mungkin mempunyai
mekanisme yang sama seperti halnya
spora yang juga mempunyai
kandungan air jauh lebih rendah
daripada sel vegetatif.
 Pada beberapa makanan yang
mempunyai kadar garam
tinggi, misalnya ikan
asin, kecap, tauco, sering ditemukan
bakteri yang tahan garam.
 Bakteri semacam ini dapat
dibedakan atas dua kelompok yaitu
bakteri halofilik dan halodurik.
 Bakteri halofilik adalah bakteri yang
tahan terhadap konsentrasi garam
tinggi, dan untuk pertumbuhannya
juga memerlukan garam dengan
konsentrasi garam tertentu,
 bakteri halodurik adalah bakteri yang
tahan terhadap konsentrasi garam
tinggi tetapi untuk pertumbuhannya
tidak memerlukan konsentrasi garam
tinggi.
 Pada beberapa makanan
yang
mempunyai kadar gula tinggi sering kali
ditemukan khamir yang tahan akan
tekanan osmotik tinggi.
 Seperti halnya bakteri yang tahan
terhadap konsentrasi gula tinggi, khamir
yang tahan terhadap konsentrasi gula
tinggi juga dapat dibedakan atas khamir
osmofilik dan osmodurik.
 Khamir osmofilik adalah khamir yang
selain tahan terhadap tekanan osmotik
tinggi juga memerlukan konsentrasi gula
tinggi untuk pertumbuhannya, sedangkan
khamir osmodurik meskipun tahan
terhadap tekanan osmotik tinggi tetapi
tidak memerlukan tekanan osmotik tinggi
 untuk pertumbuhannya.
Salah satu contoh khamir yang bersifat
osmofilik misalnya Saccharomyces rouxii
yang sering ditemukan pada sirup atau
madu. Dimana khamir ini masih dapat
tahan sampai konsentrasi gula mencapai
60%.
Ketahanan Mikroorganisme terhadap
Keasaman Tinggi dan Senyawa
Lipofilat
 Pengasaman adalah salah satu
cara pengawetan makanan yang
telah dilakukan sejak dahulu
 Proses pengasaman atau
penurunan pH makanan dapat
dilakukan dengan cara menambahkan
asam atau melalui cara fermentasi
asam.
 Asam yang umum ditambahkan ke dalam
makanan terutama adalah asam cuka
(asam asetat), sedangkan asam yang
terbentuk selama fermentasi misalnya
asam laktat pada produk-produk susu
dan
pikel, serta asam asetat pada produk-
 produk lainnya.
Berbeda dengan proses adaptasi terhadap
aW rendah, sel vegetatif mikroorganisme
yang tiba-tiba dipindahkan ke dalam
medium dengan pH rendah tidak
menunjukkan proses adaptasi, tetapi
kecepatan pertumbuhannya akan segera
berubah.
 Apakah yang terjadi
selama
sel tumbuh di dalam medium
dengan pH yang tidak
optimal tersebut ?
 Sel pada umumnya
bereaksi
untuk mempertahankan pH
konstan di dalam sel.
 Pada waktu pH diturunkan proton
yang terdapat dalam jumlah tinggi di
dalam medium akan masuk ke dalam
sitoplasma sel, dan proton ini harus
dihilangkan dari dalam sel untuk
mencegah terjadinya pengasaman
dan denaturasi komponen-komponen
sel.
 Oleh karena itu pertumbuhan sel
menjadi sangat lambat, bahkan
terhenti sama sekali pada pH yang
sangat rendah.
 Untuk menghilangkan proton ke luar
sel dimana terjadi gradien konsentrasi
tinggi yang besarnya beberapa ratus
atau ribu kali, diperlukan energi.
 Jadi semakin rendah pH semakin
banyak energi yang dibutuhkan untuk
mempertahankan pH konstan di
dalam sel, akibatnya energi yang
tersedia untuk sintesis komponen-
komponen sel berkurang.
 Pada kecepatan pertumbuhan sel yang
sangat lambat maka persediaan energi
untuk mempertahankan hidup dan
mengeluarkan proton ke luar sel sangat
terbatas, akibatnya sel-sel menjadi mati
karena homeostatik yang memerlukan
energi, maka pembatasan suplai energi
akan menyebabkan pengawetan
makanan dengan pH rendah menjadi
lebih efektif.
 Contoh kombinasi pengasaman dengan
penurunan aW atau dengan pengepakan
vakum yang lebih efektif untuk
mengawetkan makanan, karena kedua
proses tersebut membatasi produksi
energi oleh mikroorganisme.
 Mikroorganisme mempunyai pH
minimal, optimal dan maksimal yang
berbeda-beda untuk pertumbuhannya.
 Bakteri pada umumnya mempunyai pH
optimal sekitar netral, dengan pH
minimal 3 – 5, dan pH maksimal 8 – 10.
 Khamir mempunyai pH optimal lebih
rendah daripada bakteri, yaitu berkisar
antara 4,5 dan 5,5 dengan pH minimal
2 – 3 dan pH maksimal 7 –
8, sedangkan kapang pada umumnya
mempunyai pH minimal lebih rendah
yaitu sekitar pH 1 – 2.
 Mekanisme pH homeostatik juga
terjadi dalam pengawetan pangan
menggunakan asam lipofilat lemah
seperti asam sorbat, benzoat, dan
propionat.
 Asam-asam lipofilat tersebut dapat
mencegah kerusakan
mikrobiologis karena beberapa
sifatnya yang unik yaitu
kelarutannya dalam bentuk tidak
terdisosiasi di dalam larutan
membran sel dan aktivitasnya
sebagai ionofor proton.
 Senyawa semacam ini
mengakibatkan
proton lebih cepat masuk ke dalam sel
sehingga meningkatkan kebutuhan
energi untuk mempertahankan pH
alkali di dalam sel
 Asam lipofilat meningkatkan aliran
proton ke dalam sel ekuivalen dengan
terjadinya pada pH rendah.
 Gangguan aliran proton menembus
membran mengganggu fungsi
kimiostatik sel, misalnya transform
asam amino.
 Hal ini dibuktikan dengan
penelitian yang melaporkan
bahwa sorbat dapat menghambat
germinasi spora Bacillus cereus
dan Clostridium botulinum secara
kompetetif dengan asam amino
yang berfungsi sebagai germanian
yatu L-alanin.
 Semakin rendah pH semakin tinggi
presentase asam lipofilat yang terdapat
dalam bentuk tidak terdisosiasi, sehingga
semakin banyak proton yang dapat
menembus membran sel.
 Peggunaan asam lipofilat sebagai bahan
pengawet makanan lebih efektif pada pH
rendah dibandingkan dengan pH tinggi.
Sebagai contoh pada pH 6,0 sebanyak
1,5% asam benzoat terdapat dalam
bentuk tidak terdisosiasi, sedangkan pada
pH 4.0 sebanyak 60% terdapat dalam
bentuk tidak terdisosiasi.
 Demikian pula asam sorbat dan
propionat, dimana sebanyak 6% asam
sorbat dan 6,7% asam propionat tidak
terdisosiasi pada pH 6,0 sedangkan pada
pH 4,0 sebanyak 86% asam sorbat dan
88% asam propionat terdapat dalam
bentuk tidak terdisosiasi.
 Berbagia senyawa lipofilat lainnya juga
bersifat efektif sebagai pengawet, misalnya
asam-asam lemak, lipid dan lain-
lainnya, beberapa antosianin dan
fenol, alkohol dan glikol, ester, amida, dan
amina.
 Struktur alifatik dari komponen-
komponen tersebut biasanya
mempunyai aktivitas optimun pada
panjang rantai sekitar C12, dan
umumnya lebih efektif terhadap
bakteri gram negatif dibandingkan
dengan gram positif.
 Mekanisme pengawetannya
mungkin serupa dengan
mekanisme pengawetan asam
lipofilat lemah, yaiu mengganggu
fungsi membran.
 Beberapa mikroorganisme lebih tahan
terhadap asam-asam lipofilat tersebut
dibandingkan dengan mikroorganisme
lainnya.
 Mekanisme ketahanan atau
kemampuan sel untuk beradaptasi
dengan senyawa-senyawa tersebut
diduga melalui proses
homeostatis, yaitu melalui suatu
system yang secara efektif dapat
mengeluarkan asam-asam tersebut
keluar sel.
Pengeluaran senyawa-senyawa
tersebut dari sel juga dipengaruhi oleh
tersedianya energi, dimana semakin
tinggi sember energi yang
ditambahkan ke dalam
system, semakin berkurang efektifitas
senyawa-senyawa tersebut sebagai
pengawet.
 Bahan-bahan pengawet
asam
organik, misalnya sulfit dan nitrit seperti
halnya asam organik yang juga lebih
efektif pada pH rendah dibandingkan
dengan pH mendekati netral.
 Hal ini juga disebabkan bentuk
antimikroba yang efektif adalah dalam
bentuk tidak terdisosiasi.
Ketahanan Mikroorganisme
terhadap Suhu Rendah

 Penggunaan suhu rendah dalam pengawetan


makanan didasarkan pada kenyataan bahwa
aktivitas mikroorganisme dapat diperlambat
atau dihentikan pada suhu di atas suhu
pembekuan, dan biasanya aktivitasnya
berhenti sama sekali pada suhu pembekuan.
 Hal ini desebabkan reaksi-reaksi metabolisme
di dalam sel mikroorganisme dikatalis oleh
enzim, dan kecepatan reaksi yang dikatalis
oleh enzim sangat dipengaruhi oleh suhu.
 Penyimpanan makanan pada suhu
rendah dapat dilakukan pada tiga cara
atau taraf suhu yang berbeda, yaitu
sauhu chilling sekitar 10-15oC,
misalnya untuk beberapa buah-
buahan dan sayuran, suhu refrigerator
yaitu 0 – 2 sampai 5 – 7oC, dan suhu
yaitu di bawah 0oC. Mikroorganisme
pembekuan
yang dapat tumbuh dengan baik pada
suhu refrigerator dan suhu chilling
disebut sebagai mikroorganisme
psikrofilik.
 Beberapa ahli membedakan
mikroorganisme yang dapat tumbuh
pada suhu rendah dalam dua grup
yaitu psikrofilik untuk mikroorganisme
yang mempunyai suhu maksimum
pertumbuhan 35oC dan psikrotrof
untuk mikroorganisme mesofil yang
dapat tumbuh pada suhu 5oC atau
kurang.
 Kebanyakan bakteri psikrofil yang
terdapat di dalam makanan termasuk
dalam jenis Pseudomonas, dan beberapa
termasuk dalam jenis
Acinetobacter, Alcaligenes, dan
Flavobacterium, dan jenis lainnya.
 Kapang yang sering tumbuh pada
makanan yang disimpan pada suhu
rendah misalnya jenis
Penicillium, Mucor, Cladosporium, Botrytis
dan Geotrichun, sedangkan khamir yang
bersifat psikrofil adalah
Debariomyces, Torulopsis, Candida, Rhod
otorula dan beberapa jenis lainnya.
 Proses pembekuan dapat
menyebabkan kematian atau
kerusakan subletal pada sebagian sel.
 Kematian sebagian sel terjadi segera
setelah pembekuan, dan jumlah sel
yang mati tergantung dari ketahanan
mikroorganisme terhadap pembekuan.
 contoh bakteri berbentuk bulat (kokus)
pada umumnya lebih tahan terhadap
proses pembekuan dibandingkan
dengan bakteri gram negatif berbentuk
batang.
 Sel-sel yang masih hidup selama
pembekuan mungkin akan mengalami
kematian secara lambat selama
penyimpanan beku. Suhu pembekuan
yang paling letal, dimana jumlah sel
yang mati paling tinggi adalah diantara
suhu -2 sampai -20oC.
 Selain dipengaruhi oleh spesies
mikroorganisme, ketahanan
mikroorganisme terhadap proses
pembekuan juga dipengaruhi oleh
komposisi medium pembekuan.
 Beberapa komponen makanan
seperti
putih telur, sukrosa, sirup, gliserol
dan
ekstrak daging mempunyai
pengaruh
melindungi sel terhadap
Pengaruh proses pembekuan
terhadap sel mikroorganisme
 Selama pembekuan, air bebas akan
membeku dan membentuk krital
es, sedangkan air terikat tetap tidak
membeku.
 Pada kecepatan pembekuan yang
lambat, kristal es yang terbentuk umumnya
terdapat di luar sel
(ekstraseluler), sedangkan pada kecepatan
pembekuan cepat terbentuk kristal-kristal
es di dalam sel (intraseluler).
 Karena air bebas membeku, maka selama
pembekuan sel mengalami dehidrasi.
 Pembekuan air menyebabkan
peningkatan viskositas komponen-
komponen sel.
 Pembekuan menyebabkan lepasnya
gas-gas yang terdapat di dalam
sitoplasma seperti O2 dan CO2 karena
kelarutannya di dalam air menurun.
 Kehilangan O2 pada sel-sel aerobik
mengakibatkan reaksi respirasi
menurun.
 Pembekuan menyebabkan perubahan
pH dari komponen-komponen sel.
 Beberapa peneliti melaporkan
perubahan pH selama pembekuan
mencapai 0.3 – 2.0 unit.
 Pembekuan meningkatkan konsentrasi
elektrolit di dalam sel karena air bebas
membeku membentuk kristal es.
 Pembekuan merusak system koloidal
dari protoplasma misalnya system
koloid protein.
 Pembekuan menyebabkan denaturasi
protein di dalam sel. Hal ini disebabkan
oleh beberapa hal, diantaranya
hilangnya grup sulfhidril (-SH) selama
pembekuan, pecahnya lipoprotein dan
meningkatnya konsentrasi elektrolit
 selama pembekuan.
Pembekuan tiba-tiba menyebabkan
shok
terhadap mikroorganisme, dan
pengaruh
terbesar shok ini terjadi pada
organisme
thermofilik kemudian mesofilik dan
 Pembekuan menyebabkan
kerusakan
subletal terhadap sebagian sel
mikroorganisme.
 Ketahanan sel mikroorganisme
terhadap proses pembekuan
dipengaruhi oleh kemampuan
mikroorganisme tersebut untuk tetap
hidup selama dehidrasi pada waktu
medium membeku.
 Ukuran sel mikroorganisme yang
demikian kecil mengakibatkan sel
mengalami dehidrasi selama
pembekuan.
 Oleh karena itu mekanisme
ketahanan sel terhadap proses
pembekuan mungkin sama
dengan mekanisme ketahanan
sel terhadap dehidrasi atau aW
rendah.

Anda mungkin juga menyukai