Anda di halaman 1dari 9

"Setelah mengetahui kejadian tersebut, terdakwa Febry yang berdiri di sekitar meja DJ Booth, atau di belakang samping kanan

Raafi langsung menusukkan pisau," papar Jaksa. Setelah itu, Febry memanggil saksi Sanuri. Dia menyerahkan sesuatu kepada Sanuri dan menyuruhnya turun. Setelah sampai di lift, Sanuri melihat benda yang diserahkan Febry ternyata pisau lipat dengan pegangan berlubang warna hitam dengan noda darah. Atas perbuatan itulah, terdakwa Febry diancam pidana dalam dakwaan pertama yakni pasal 338 KUHP dengan ancaman pidana 15 tahun atau Pasal 170 ayat (2) ke-3 KUHP, atau Pasal 351 ayat (3) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Dan dakwaan kedua Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP atau kedua Pasal 351 ayat (1) KUHP. Namun, ketika dikonfirmasi terkait kronologi itu, Febry membantahnya. Dia mengaku tidak mengetahui bentuk dan asal muasal pisau itu. "Saya tidak tahu bentuknya seperti apa, apalagi sampai disebutkan dalam dakwaan pisaunya memiliki pegangan warna hitam," ungkapnya. Mengenai keberadaan pisau itu, Febry juga mengaku tak tahu. "Pisau itu saya tidak tahu di mana, saya tidak pernah lihat pisau itu. Itu nanti pasti akan terbukti di sidang," tegasnya. "Saya tidak pernah titipkan pisau, kalau saya mau jahat, saya main sendiri. Sanuri itu aparat hukum, kalau saya berikan pisau berdarah kepadanya, dia sepatutnya tangkap saya."

Sher Muhammad Febri Awan, terdakwa kasus pembunuhan siswa Pangudi Luhur Raafi Raafi Aga Winasya Benjamin, divonis bebas oleh majelis hakim PN Jaksel. Lalu, siapa pelaku sebenarnya? Kepolisian Daerah Metro Jaya tak mau buru-buru membuka penyelidikan baru guna mencari pelaku sebenarnya. Polisi bersikukuh, sejumlah tersangka yang dibawa ke pangadilan adalah penusuknya. "Dalam hal ini silakan di persidangan itu urusan jaksa penuntut umum. Kalau kepolisian sudah selesai," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Rikwanto, saat dikonfirmasi, Sabtu (4/8/2012). Menurut Rikwanto, kepolisian saat mengajukan Febri dan tersangka lain sebagai tersangka sudah melalui berbagai tahapan pengujian. Bila hakim menyatakan tidak bersalah, ranah perjuangan itu ada di Kejaksaan. Apakah ada kemungkinan tersangka lain yang dibidik dalam kasus ini? Rikwanto mengaku belum tahu. Yang jelas, kasus ini bagi kepolisian selesai ketika dibawa ke meja hijau. "Masih terlalu pagi kalau tersangka lain. Silakan saja proses hukumnya dulu," jawab Rikwanto. Hakim sebelumnya menyatakan Febri tak bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan dan pengeroyokan terhadap Raafi. Minimnya bukti jadi alasan pertimbangan hakim. Sementara oleh jaksa penuntut umum, Feberi dituntut selama 12 tahun penjara. JPU menuntut anggota 234 SC ini dengan pasal berlapis mengenai pembunuhan dan penganiayaan.

JAKARTA - Kasus pembunuhan terhadap siswa SMA Pangudi Luhur, Raafi Aga Winasya Benjamin sudah masuk persidangan. Namun, pisau yang digunakan pelaku untuk membunuh Raafi masih menjadi misteri. Polisi mengaku masih mencari pisau tersebut. "Kalau sudah kita tidak dapatkan, kan kita katakan bahwa masih dalam pencarian dalam daftar pencarian barang di situ (berkas perkara)," kata Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Kombes Pol Toni Harmanto di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Jumat (3/8/2012). Toni mengaku tidak yakin jika hanya karena tidak adanya bukti pisau hakim memvonis bebas terdakwa Sher Mohammad Febryawan. Pasalnya, kata dia, hakim bisa saja mepertimbangkan bukti dan fakta lain yang dihadirkan di persidangan. "Kan ada saksi yang menjadi tersangka dalam kasus itu. Ada hasil visum ditegaskan di situ. Kalau masalah pisau yang menjadi alasan kan ada pertimbangan lain dari hakim. Nah itu yang sedang di kasasi jaksa," ungkapnya.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut hukuman 12 tahun penjara kepada Sher Muhammad Febryawan dalam kasus pembunuhan terhadap Raafi Aga Winasya Benjamin (17), siswa SMU Pangudi Luhur di Kafe Shy rooftop, Kemang, silam. "Menyatakan Sher Muhammad Febryawan terbukti bersalah melakukan pembunuhan dan penganiayaan dan menjatuhkan pidana 12 tahun penjara," ujar JPU Dedi Sukarno saat membacakan tuntutan dalam sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (12/7/2012). Jaksa menuntut hukuman 12 tahun penjara lantaran Febry telah memenuhi unsur pembunuhan terhadap korban Raafi. Menurut jaksa, keterangan dua saksi yang dihadirkan dalam persidangan mengatakan bahwa terdakwa menyerahkan pisau kepada Sanuri, saksi di lokasi kejadian dan Sanuri pun membenarkan menerima pisau dari Febry dalam keadaan penuh noda darah. Sidang ini pun ditunda. Majelis Hakim, Muhammad Razzad, memutuskan untuk menunda sidang ini dan melanjutkan sidang selanjutnya dengan agenda pembacaan surat pembelaan atau pleidoi pada 19 Juli 2012. Sementara itu, ditemui usai sidang, Febry mengatakan tidak terima dengan tuntutan jaksa ini. Dia mengaku tidak bersalah melakukan pembunuhan. Banyak hal, kata dia, yang sengaja dibuat rekayasa dalam kasus ini. "Ini sebuah sandiwara hukum yang sangat lucu," kata dia. Dia sendiri akan terus memperjuangkan kasus ini. Pasalnya, menurut dia, apa yang dikatakan jaksa tidak bisa dibuktikan semua. "Saya akan lawan terus nanti kita akan bicarakan dengan kawan-kawan," tuturnya. Sidang kasus ini sudah dimulai sejak April lalu, namun sidang yang sudah menghadirkan 41 orang saksi dari Jaksa Penuntut umum, tidak ada yang melihat Febry sebagai penusuk Raafi. Begitu juga barang bukti berupa baju kotakkotak berwarna biru milik Febry yang dikatakan ada noda darah tidak bisa dibuktikan. Febry sendiri didakwa dengan pasal 338 KUHP tentang pembunuhan, 170 ayat 2 ke 1 KUHP tentang kekerasan yang mengakibatkan luka, pasal 170 ayat 2 ke 3 KUHP tentang kekerasan yang mengakibatkan luka, 351 ayat 1 KUHP tentang penganiayaan dan 351 ayat 3 KUHP tentang penganiayaan dengan ancaman 15 tahun penjara.

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis bebas Sher Mohammad Ferbryawan, terdakwa pembunuh siswa SMA Pangudi Luhur, Raafi Aga Winasya Benjamin lantaran tidak adanya alat bukti berupa pisau. Namun, kepolisian mempunyai pendapat berbeda. Direktur Reserse Kriminal Umum, Kombes Pol Toni Harmanto, mengamini jika pisau untuk menusuk Raafi memang

tidak ditemukan. Namun, menurutnya pisau bukanlah satu-satunya alat bukti. "Kalau hanya dikatakan tidak ada senjata tajam pertimbangannya bukan itu, kan fakta bukti yang lain ada tidak hanya bukti materiil pisau," kata dia di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Jumat (3/8/2012). Bukti lain yang dimaksud adalah hasil visum luka di tubuh korban dan saksi yang mengatakan penyebab luka tersebut. Menurtunya, jika memang proses pencarian pisau sampai dengan berkas dilimpahkan tak kunjung ditemukan, maka itu bisa jadi pertimbangan hakim. "Sekarang begini saja ada luka ditubuh korban, ada visum menegaskan bawa itu luka dari senjata tajam, ada saksi yang mengatakan penyebab itu kena apa kan itu," ungkapnya.

Indra Hadiyanto, jaksa penuntut umum dalam perkara pembunuhan siswa SMA Pangudi Luhur, Raafi Aga Winasya Benjamin, mengaku yakin, terdakwa Sher Muhammad Febryawan adalah pembunuh Raafi. Karena itu kami ajukan kasasi, katanya Kamis 2 Agustus 2012. Menurutnya, vonis bebas yang dijatuhkan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan disebabkan oleh pengabaian sejumlah kesaksian penting. Indra lalu menunjuk dua kesaksian yang sebenarnya bisa membuktikan keterlibatan Febry yang juga anggota senior geng 234 SC sebuah ormas bentukan Pemuda Pancasila. Kesaksian pertama adalah keterangan Sunari, anggota Pasukan Pengaman Presiden yang ada di lokasi pembunuhan di Caf Shy Rooftop, lantai 5, Gedung The Papilion, Kemang. Sunari mengaku dititipi pisau yang digunakan oleh Febry menusuk Raafi pada malam nahas 5 November 2011 itu. Kesaksian kedua berasal dari Roby Syarif Hatim, yang mengatakan pernah mendengar Febry mengaku telah menusuk mati seorang pemuda di kafe. Masalahnya, kata Indra, begitu majelis hakim mengesampingkan kesaksian Sunari, kesaksian Robby jadi ikut tidak bernilai karena berdiri sendiri (testimonium de auditu). Majelis hakim sendiri memutus bebas Febry karena pisau yang disebut-sebut sebagai senjata pembunuhan, tidak bisa ditunjukkan di persidangan. Selain itu, barang bukti lain, yakni baju Febry, bersih dari percikan noda darah. Enam terdakwa lain dalam kasus ini: Maratoga, Helmy, Fajar Eddy Putra, Ali Abel, dan Violetta Caecilia Maria Constanza alias Connie, masih menjalani persidangan. Mereka dijerat dengan pasal pengeroyokan dan penganiayaan yang menyebabkan korban tewas.

Sidang kasus pembunuhan Raafi Aga Winasya dengan terdakwa Sher Muhammad Febri Awan alias Febri (42) telah memasuki tahap akhir. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan akan menggelar sidang pembacaan putusan pada Selasa (31/7/2012) sore ini.

"Ya, sidangnya pembacaan vonis jadi hari ini," kata Aidy Johan, penasihat hukum terdakwa yang dihubungi Kompas.com, Selasa (31/7/2012). Dalam sidang dua pekan lalu, Febri dituntut 12 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum Indra Hidayanto karena dinilai terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana diatur Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan dan Pasal 351 Ayat 1 KUHP tentang penganiayaan. Tuntutan tersebut dibantah oleh Febri dan tim penasihat hukumnya. Ada dua alasan utama yang dikemukakan dalam sidang di tempat yang sama pada pekan lalu. Yang pertama alat bukti pokok berupa pisau atau belati yang dipakai untuk melakukan penusukan tidak bisa dihadirkan di persidangan. Selain itu, Febri memiliki alibi. Menurut keterangan beberapa saksi, pada saat terjadi keributan di lantai dansa Shy Rooftop, Sabtu (6/11/2012) yang berujung kematian Raafi, terdakwa sedang berada di balkon untuk membantu temannya yang mabuk. Febri sendiri mengaku siap mendengarkan vonis. "Saya yakin hakim akan memutuskan dengan adil. Saya tidak melakukan pembunuhan itu," kata Febri Kuasa hukum Sher Muhammad Febri Awan (42), terdakwa kasus pembunuhan dan penganiayaan, menyatakan kliennya tidak layak dituntut pidana 12 tahun penjara. Febri, disebutkan, memiliki alibi kuat untuk tidak dituntut demikian. "Keributan dan penusukan terjadi di dance floor. Sedangkan Febri saat itu sedang menolong temannya, Teddy, yang mabuk. Banyak saksi yang sebut seperti itu tapi tidak dipertimbangkan jaksa," kata Aidy Johan, penasihat hukum Febri seusai sidang pembacaan duplik di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (24/4/2012). Sebagaimana terungkap dalam persidangan maupun dakwaan jaksa penuntut umum (JPU), keributan yang berujung penusukan Raafi Aga Winasya Benjamin dan terlukanya Gian Yoshua Valderama, keduanya siswa SMA Panggudi Luhur, terjadi di dance floor Shy Rooftop, Kemang, Minggu, 6 November 2011 dini hari. Menjelang terjadinya keributan, seorang rekan Febri terlihat mabuk dan muntah-muntah. Melihat kondisinya semakin parah, Febri pun memapahnya ke arah balkon. Teddy didudukkan di kursi sofa di balkon, kemudian dipijat dan lehernya ditempeli es oleh Febri. Ia pun sempat memesan jus lemon kepada waitress untuk diberikan kepada temannya yang mabuk. Beberapa saksi yang dihadirkan di persidangan membenarkan Febri sedang berada di balkon saat keributan terjadi. Saksi Jamaluddin, sekuriti kafe menerangkan bahwa dia melihat Febri menolong Teddy dengan membawanya ke balkon. Saksi Albert Kaunang, waiter Kafe malah memberi kesaksian bahwa dia sempat mendatangi Febri di balkon untuk memberitahukan terjadinya keributan di balkon.

"Beberapa saksi lainnya juga menyatakan hal yang sama. Siswa-siswa PL juga menyatakan tidak melihat Febri di dance floor," tambah Aidy. Alibi tersebut menguatkan pendapat pihak penasihat hukum bahwa JPU terlalu memaksakan dakwaan dan tuntutan. Alur dakwaan dianggap sekadar mengikuti keterangan yang diberikan oleh salah seorang saksi yang diketahui memegang pisau di Shy-Rooftop. Pihak Febri berharap hakim dapat mempertimbangkan dengan bijak keterangan seluruh saksi dan tidak terpaku pada dakwaan dan tuntutan JPU. Namun, dalam persidangan enam terdakwa lain dalam kasus yang sama, salah satu terdakwa, Robby Syarif. "Saya yang bantu Teddy, saya disuruh Bang Febri untuk bantu temannya," tandas Robby dalam persidangan di PN Jaksel hari ini. Ia menerangkan, bersama Sanuri, saksi dari Paspampres, ia membantu Teddy ke balkon lantai 5. Mereka berada di sana selama beberapa menit. Kemudian kembali masuk ke kafe. "Itupun terjadi jauh sebelum keributan di dance floor," terang Robby. Febri didakwa bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan sebagaimana disebutkan Pasal 338 KUHP dan tindak pidana penganiayaan sebagaimana diatur Pasal 351 KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Atas dasar itu, JPU meminta pengadilan menjatuhkan pidana penjara selama 12 tahun dipotong masa tahanan. Dalam sidang pembacaan duplik hari ini, majelis hakim memutuskan akan melangsungkan sidang pembacaan vonis pada Selasa (31/7/2012). Kuasa hukum Sher Mohammad Febri Awan (42), menilai tuntutan 12 tahun penjara yang disampaikan penuntut umum kepada kliennya terlalu dipaksakan. Dengan hanya keterangan satu saksi yang mengarah ke Febri, kuasa hukum berpandangan JPU belum mendapatkan bukti cukup untuk menuntut kliennya. "Rujukannya hanya keterangan satu saksi, Sanuri, yang menyebutkan menerima pisau dengan noda darah dari Febri. Jadi, jaksa terlalu memaksakan tuntutan," kata Aidy Johan, Kuasa Hukum Febri seusai persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (12/7/2012). Ia menjelaskan, ada prinsip hukum yang tidak bisa diabaikan dalam setiap persidangan. Prinsip tersebut adalah unus testis, nullus testis atau satu saksi = tidak ada saksi. "Yang menyebut ada penyerahan pisau dari Febri hanya Sanuri (saksi, anggota Paspampres). Robbie (Syarif, terdakwa dalam kasus yang sama) tahunya dari Sanuri. Saksi lain tidak ada yang lihat," ujar Aidy.

Selain itu, menurut Aidy, JPU membuat tuntutan dengan garis besar keterangan dua saksi. Padahal, ada 41 saksi yang dihadirkan di persidangan, dari 47 orang yang di-BAP penyidik. Apalagi keterangan kedua saksi tersebut memiliki banyak pertentangan. "Contohnya, kata Sanuri saat kejadian dia berdiri di dekat DJ (disc jockey). Tapi, kata Robbie, yang berdiri di dekat DJ itu Febri, bukan Sanuri. Yang kedua, Robbie ngaku nggak melihat ada pisau. Tapi kata si Sanuri dia tunjukkin pisau ke Robbie pas di lift," kata Aidy. Ia berharap, kliennya tidak hanya mendapat vonis yang lebih ringan dibandingkan tuntutan 12 tahun penjara dari JPU. Aidy juga menilai Febri layak mendapat vonis bebas. "Nggak ada satu saksi pun yang melihat ada penusukan oleh pelaku. Siswa Panggudi Luhur tak satu pun lihat, Sanuri tidak tahu, Robbie tidak tahu, yang lain juga begitu. Jadi, kalau saya sih melihat dia (Febri) bukan lagi divonis lebih rendah. Harusnya bebas," tandas Aidy. Febri dituntut 12 tahun penjara, dipotong masa tahanan. Menurut JPU, terdakwa terbukti bersalah dalam dakwaan pembunuhan atas Raafi Aga Winasya Benjamin, siswa SMA Panggudi Luhur, dan penganiayaan atas dua rekan Raafi.

Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan kemarin memvonis bebas terdakwa kasus pembunuhan siswa Raafi Aga Winasya Benjamin, Sher Muhammad Febry Awan. Saksi-saksi yang dihadirkan selama persidangan nyatanya cukup membuktikan bahwa Febry memang tak ada sangkut pautnya dalam pembunuhan siswa Pangudi Luhur itu. "Menyatakan terdakwa Sher Muhammad Febry Awan, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana pembunuhan, tindak pidana pengeroyokan, tindak pidana penganiayaan," ucap Ketua Majelis Hakim, M Razad, di PN Jaksel, Selasa (31/7) kemarin. Putusan akhir hakim setidaknya menguak cerita baru dalam kasus ini. Jika Febry yang selama ini dianggap sebagai eksekutor utama pembunuhan Raafi dinyatakan tak terbukti bersalah, lalu siapa pembunuh siswa berusia 17 tahun itu? Siapa pula dalang dari perbuatan keji malam itu? Aroma adanya rekayasa dalam kasus ini memang sudah tercium sejak awal penyelidikan. Polisi merasa sulit mengungkap si pelaku karena pihak manajemen Shy Rooftop sudah menghilangkan barang bukti yaitu berkas darah Raafi yang berceceran di lantai pada 5 November 2011. Ditambah lagi dalam setiap keterangannya, Febry selalu menyatakan dia tidak bersalah dan tidak tahu menahu soal pembunuhan itu. Tapi JPU tak mempercayai begitu saja. Akhirnya jaksa pun tetap menilai Febry bersalah membunuh Raafi karena terbukti memegang pisau yang digunakan untuk menusuk Raafi. Febry pun didakwa dengan pasal berlapis karena diduga telah menghilangkan nyawa Raafi. Dia didakwa dengan Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan, Pasal 170 ayat 2 KUHP tentang Pengeroyokan dan juga Pasal 351 ayat 3 Junto 55 KUHP tentang Penganiayaan dan dituntut. Tindakan pembunuhan yang dilakukan Febry telah membuat perut dan hati Raafi sobek, dengan panjang luka lima belas centimeter, kemudian menimbulkan pendarahan hebat hingga akhirnya Raafi pun tewas.

Atas dakwaan itu, jelas Febry yang awalnya ingin melaporkan kasus ini ke polisi, tidak terima. Dia menyebut isi dakwaan mengada-ada. "Kembalikan nama baik saya dan keluarga saya, kembalikan hidup saya. Saya bukan pelaku, saya akan buktikan ini di persidangan. Saya tidak pernah memegang pisau, saya tidak memberikan pisau" kata Febry di persidangan eksepsinya pada Senin 9 April lalu. Tak kehabisan akal, JPU pun menghadirkan sekitar 18 saksi yang dinilai tahu persoalan itu. Ternyata, semuanya mengaku tak pernah melihat kehadiran Febry saat kejadian. Bahkan seorang teman Raafi, Gian Joshua Valderama, yang ada di malam kejadian juga tak tahu siapa yang menusuk sahabatnya itu. Gian hanya mengingat pelaku berbaju putih. "Berbadan agak gemuk, berbaju putih dan berambut rapi," ujar Gian yang bersaksi di persidangan beberapa waktu lalu. "Saya melihat sekitar 1 meter di belakang Martoga, saya tidak melihat adanya perempuan dan saya melihat terdakwa hanya berdiri saja," ujar M Kamal Haviz, rekan Raafi lainnya yang ada di malam berdarah itu dalam kesaksiannya. Tapi JPU bergeming Febry tetap penusuk Raafi. JPU lantas menuntut Febry 12 tahun penjara. Rupanya, perjuangan JPU untuk menjebloskan Febry ke penjara tak membuahkan hasil. Hakim malah membebaskan Febry dari segala tuduhan terkait kasus itu. Suasana haru langsung terasa di ruang sidang PN Jaksel Selasa kemarin saat hakim mengetuk palu tanda Febry dibebaskan. Febry yang ditemani keluarganya di sidang kali ini tak mampu menyembunyikan rasa senangnya. Pengunjung sidang yang tampaknya sadar ada rekayasa dalam kasus ini langsung menyambut kebebasan Febry dengan tepuk tangan. "Saya percaya hukum masih ada, kepada saudara jaksa saya ucapkan terima kasih," kata Febry singkat usai sidang. Selain Fabry, dalam kasus ini PN Jaksel juga sedang menyidang enam orang yang diduga membantu Febry menghilangkan nyawa Raafi. Satu dari enam terdakwa itu ada istri Febry, Violetta Caecilia Maria Constanza alias Connie. Dalam dakwaan JPU, keenam terdakwa yaitu Maratoga alias Toga, Helmy, Fajar Eddy Putra alias Bacol alias Babi, Ali Abel bin Hasan Basalamah, Robby Syarif alias Robby alias Oby, dan Connie dinilai telah bersama-sama menyebabkan Raafi tewas dengan cara kekerasan. "Dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang yang mengakibatkan maut, maka diancam pidana Pasal 170 ayat (2) ke-3 KUHP," terang JPU Indra Hidayanto pada persidangan Selasa (8/5) lalu. Mereka juga didakwa dengan tindakan pengeroyokan atau Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP. Atas dakwaan tersebut, keenam terdakwa terancam hukuman penjara maksimal 5 tahun. Saat ini keenam terdakwa ditahan di Rutan Cipinang Jakarta.

Dengan kebebasannya, Febry pun meminta istrinya Connie juga dilepas dari tahanan. Karena, vonis bebas pada dirinya cukup membuktikan bahwa penetapan dia dan enam orang lainnya sebagai tersangka dalam kasus Raafi terlihat memaksa dan syarat rekayasa. Kasus ini sendiri bermula pada 5 November 2011 di Shyrooftop Kemang, Jakarta Selatan. Raafi diduga dikeroyok oleh kelompok Febry. Dalam insiden tersebut Raafi mengalami luka tusuk di bagian perut yang menembus pada hatinya. Ia tidak bisa terselamatkan ketika dibawa menuju rumah sakit. Lantas pada tanggal 14 November atau seminggu setelah kejadian, Febry bersama lima rekannya datang ke Mapolres Jaksel untuk melaporkan tindak pidana di Shy Roof Top ke Mapolres Jakarta Selatan. Ironisnya ke enam orang tersebut dipreasure oleh 30 orang anggota polisi untuk mengakui perbuatan yang tidak mereka lakukan untuk mendapat pengakuan. Bahkan menurut salah satu kuasa Febry, Endy Martono, saat mereka dihadirkan dalam rekonstruksi di Tempat Kejadian Perkara (TKP), kliennya juga masih dicecar dengan berbagai pertanyaan untuk mengakui sebagai orang yang melakukan tindakan keji itu. Padahal saat itu tidak satu pun dari mereka didampingi penasehat hukum. "Di lokasi rekonstruksi mereka dicecar dengan berbagai pertanyaan yang sangat memojokan agar mengakui sebagai orang yang melakukan perbuatan keji tersebut," jelas Endy. Unik memang kasus ini. Tapi jika bukan Febry pembunuh Raafi, lantas apa langkah kepolisian? Benarkan polisi merekayasa? Jika ia, siapa sosok bersalah yang dilindungi polisi?

JAKARTA, KOMPAS.com Kapolres Metro Jakarta Selatan Komisaris Besar Imam Sugianto menyayangkan pihak manajemen Shy Rooftop yang menghapus bercak darah dalam peristiwa penusukan Raafi Aga Winasya Benjamin (17) pada Sabtu (5/11/2011) lalu. Meski demikian, polisi tidak menemukan adanya upaya penghilangan bukti yang sengaja dilakukan manajemen tempat hiburan itu "Pendalaman dari kami belum ada (dugaan penghilangan barang bukti). Ternyata darah yang dipel itu hanya darah yang berceceran," ujar Imam, Rabu (9/11/2011), di Mapolda Metro Jaya. Menurut Imam, bercak darah itu memang berkaitan dengan kasus penusukan Raafi, tetapi tidak signifikan pengaruhnya pada proses penyelidikan. Tidak signifikan, karena bisa dengan barang bukti lain. Sampel darah, kata Imam, sudah bisa didapatkan dan sekarang sedang diperiksa di laboratorium. Sampel darah yang didapat penyidik ditemukan pada karpet Shy Rooftop dalam olah TKP ulang, Senin (7/11/2011) lalu. Sementara motif manajemen Shy Rooftop menghapus bercak darah, kata Imam, lebih pada ketakutan pihak manajemen kasus itu bisa berpengaruh pada bisnisnya. "Mereka lakukan itu (mengepel bercak darah) karena ketidaktahuannya. Mereka bilang, pengunjung masih banyak, jadi tidak mau rugi secara ekonomi. Itu saja motif mereka, tidak ada upaya hilangkan barang," papar Imam.

Seperti diberitakan, siswa kelas III SMA Pangudi Luhur, Raafi Aga Winasya Benjamin (17), tewas ditusuk di Shy Rooftop, Kemang, Jakarta Selatan, pada Sabtu (5/11/2011). Kejadian itu diduga terjadi pada rentang waktu 02.00-03.00 WIB. Namun, polisi baru tiba di lokasi pada pukul 03.30 setelah mendapat informasi dari masyarakat. Saat polisi tiba, bekas darah Raafi sudah dirapikan. Sementara Raafi sudah dilarikan ke Rumah Sakit Siaga, Pasar Minggu. Namun, dalam perjalanan ke rumah sakit, nyawa Raafi tak tertolong lagi.

Anda mungkin juga menyukai