Anda di halaman 1dari 43

KEPATUHAN ODHA DENGAN KEBERHASILAN TERAPI

ANTIRETROVIRAL (ARV) DI LANTERA MINANGKABAU


SUPPORT PADANG TAHUN 2011
HUBUNGAN KEPATUHAN ODHA DENGAN KEBERHASILAN
TERAPI ANTIRETROVIRAL (ARV) DI LANTERA
MINANGKABAU SUPPORT PADANG
TAHUN 2011
Skripsi S1
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan
Pendidikan Strata 1 Keperawatan

Diajukan Oleh
SYAFRIZAL
0710105033

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ALIFAH


PADANG
2011
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ALIFAH
PADANG
Skripsi, September 2011
Syafrizal
Hubungan Kepatuhan ODHA dengan Keberhasilan Terapi Antiretroviral (ARV) di
Lantera Minangkabau Support Padang Tahun 2011
xi + 64 halaman + 8 tabel + 6 lampiran
ABSTRAK
HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak negara
diseluruh dunia. Data UNAIDS menggambarkan perkiraan sebaran orang dewasa dan anak

A.
B.
C.
D.
E.
A.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
B.

terinfeksi HIV/AIDS pada akhir tahun 2008 secara global sekitar 33,4 juta. Secara komulatif
pengidap infeksi HIV/AIDS di Indonesia dari Januari 2005 sampai Desember 2010 berjumlah
24.131. Salah satu langkah penting menanggulangi HIV/AIDS adalah dengan meningkatkan
kepatuhan ODHA untuk minum obat ARV. Tingkat keberhasilan terapi ARV sangat
tergantung pada tingkat kepatuhan ODHA. Kepatuhan diatas 95% hanya 81% orang
mencapai viral load yang tidak terdeteksi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
hubungan kepatuhan ODHA dengan keberhasilan terapi Antiretroviral di Lantera
Minangkabau Support Padang Tahun 2011.
Desain penelitian ini adalah deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional
study yang dilakukan di Lantera Minangkabau Support dari tanggal Januari September
2011. Populasi penelitian ini adalah sukarelawan dan pengurus yang terinfeksi HIV/AIDS
sebanyak 162 ODHA dengan sampel berjumlah 32 ODHA. Data dikumpulkan dengan
menggunakan kuesioner. Data dianalisis secara univariat dan bivariat dengan komputer
menggunakan uji statistik chi-square.
Hasil penelitian didapat 23 (71,9 %) responden patuh menjalankan terapi
Antiretroviral, 24 (75,0 %) responden berhasil menjalankan terapi Antiretroviral, ada
hubungan bermakna atausignifikan antara kepatuhan ODHA dengan keberhasilan terapi
Antiretroviral (ARV) (p value 0,000).
Kesimpulannya adalah sebagian besar ODHA patuh menjalankan terapi Antiretroviral
dan sebagian besar ODHA berhasil dengan terapi Antiretroviral. Ada hubungan bermakna
atau signifikanantara kepatuhan ODHA dengan keberhasilan terapi Antiretroviral (ARV).
Saran untuk pengurus agar dapat memotivasi anggota bimbingan untuk meningkatkan
kepatuhan terapi ARV, salah satu caranya adalah mengirim sms berantai untuk meminum obat
ARV.
Daftar bacaan : 16 (2000-2010)
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL
PERNYATAAN PERSETUJUAN
ABSTRAK .......
i
KATA PENGANTAR .......
iii
DAFTAR ISI ...
v
DAFTAR TABEL .... ix
DAFTAR LAMPIRAN ..... x
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang ......
1
Rumusan Masalah ....
8
Tujuan Penelitian ......
8
Manfaat Penelitian ...... 9
Ruang Lingkup ....... 9
BAB II TINJAUAN TEORITIS
Human Immunodeficiency Virus (HIV)/Acqured Immuno Deficiency Syindrome (AIDS)
Pengertian HIV/AIDS .... 11
Penyebab HIV/AIDS..... 11
Sejarah HIV/AIDS ... 12
Epidemiologi HIV/AIDS ...... 12
Patofisiologi HIV/AIDS ... 13
Manifestasi Klinis .... 14
Terapi Antiretroviral

1. Pengertian Terapi Antiretroviral (ARV) .. 18


2. Tujuan Terapi Antiretroviral (ARV) 18
3. Klasifikasi Terapi Antiretroviral (ARV) ...... 19
4. Pemberian Antiretroviral (ARV) .. 22
5. Efek Samping Antiretroviral (ARV) . 25
6. Resistensi ARV ........ 30
7. Keberhasilan Terapi Antiretroviral (ARV) .. 34
C. Kepatuhan
1. Pengertian Kepatuhan ...... 35
2. Variabel yang Mempengaruhi Tingkat Kepatuhan .. 35
3. Jenis Ketidakpatuhan (Non Compliance) . 36
4. Faktor yang Mempengaruhi Ketidakpatuhan .. 37
5. Faktor yang Berhubungan dengan Ketidakpatuhan . 38
6. Akibat Ketidakpatuhan . 38
7. Cara untuk Mengetahui Ketidakpatuhan .. 38
8. Mengukur Tingkat Kepatuhan ..... 39
9. Strategi untuk Meningkatkan Kepatuhan . 39
10. Kepatuhan Terhadap Terapi Antiretroviral (ARV) .. 40
D. Hubungan Kepatuhan Penderita HIV/AIDS dengan Keberhasilan Terapi Antiretroviral (ARV)
.. 42
E. Kerangka Konseptual .... 44
F. Definisi Operasional .. 44
G. Hipotesa .. 45
BAB III METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian 46
B. Tempat dan Waktu Penelitian . 46
C. Populasi dan Sampel ...... 46
D. Pengumpulan Data .... 47
E. Pengolahan Data . 48
F. Analisa Data ... 49
A.
B.
C.
1.
2.
D.
a.
A.
1.
2.
B.
1.

BAB IV HASIL PENELITIAN


Gambaran Lantera Minangkabau Support Padang...... 51
Karakteristik Responden..... 51
Analisis Univariat
Karakteristik responden berdasarkan kepatuhan ODHA.. 52
Karakteristik responden berdasarkan keberhasilan terapi ARV... 52
Analisa Bivariat
Hubungan Kepatuhan ODHA dengan keberhasilan Terapi Antiretroviral
.... 53
BAB V PEMBAHASAN
Analisa Univariat
Distribusi frekuensi kepatuhan ODHA..... 55
Distribusi frekuensi keberhasilan terapi Antiretroviral (ARV)..... 57
Analisa Bivariat
Hubungan kepatuhan ODHA dengan keberhasilan terapi Antiretroviral
....... 58
BAB VI PENUTUP

(ARV)

(ARV)

A. Kesimpulan.......... 62
B. Saran ....... 62
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syindrome) dapat diartikan sebagai kumpulan
gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh
Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang termasuk family retroviridae. AIDS merupakan
tahap akhir dari infeksi HIV. (Zubairi Djoerban, 2006 : 1803)
Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak
Negara di seluruh dunia. Demikian pesatnya penularan dan penyebaran HIV/AIDS
perhitungannya bukan pertahun, perbulan, perminggu, perhari atau perjam melainkan
permenit yaitu setiap menit 5 orang terinfeksi HIV/AIDS dikenal dengan fenomena gunung
es, artinya bila ada satu kasus yang tercatat maka diasumsikan terdapat 200 kasus yang sama
yang tidak tercatat. (Dadang Hawari, 2006 : 3)
Saat ini tidak ada Negara yang terbebas dari HIV/AIDS dan merupakan suatu
pandemic di seluruh dunia. The Joint United Nations Program on AIDS (UNAIDS), Badan
WHO yang mengurusi masalah AIDS, memperkirakan jumlah Orang Dengan HIV/AIDS
(ODHA) di seluruh dunia pada Desember 2004 adalah 35,9 44,3 juta orang, dengan kata
lain AIDS merupakan krisis kesehatan dan AIDS memerlukan respons dari masyarakat dan
memerlukan layanan pengobatan dan perawatan untuk individu yang terinfeksi HIV. (Zubairi
Djoerban, dkk, 2006 : 1803)
Data dari The Joint United Nations Program on AIDS (UNAIDS) menggambarkan
perkiraan sebaran orang dewasa dan anak yang terinfeksi oleh HIV dan AIDS pada akhir
tahun 2008 dengan total global 33,4 juta dalam tabel penyebaran sebagai berikut :
Orang yang hidup
dengan HIV

Orang yang terinfeksi


selama tahun 2008

Sub-Sahara Afrika

22,4 juta

1,9 juta

Asia selatan & tenggara

3,8 juta

280.000

Asia Timur

850.000

75.000

Amerika latin

2,0 juta

170.000

Amerika Utara

1,4 juta

55.000

Eropa Tengah & barat

850.000

30.000

Eropa Timur & Asia Tengah

1,5 juta

110.000

Karibia

240.000

20.000

Timur Tengah dan Afrika


Utara

310.000

35.000

Oceania

59.000

3.900

Tabel 1.1 Sebaran Orang Dewasa dan Anak yang Terinfeksi HIV/AIDS di Dunia Pada Akhir Tahun 2008
Sumber : The Joint United Nations Program on AIDS (UNAIDS).
HIV dapat ditularkan melalui cairan tubuh yang mengandung virus HIV yaitu melalui
hubungan seksual, baik hubungan homoseksual maupun heteroseksual, jarum suntik pada
pengguna narkotika, tranfusi komponen darah, dan dari ibu yang terinfeksi HIV kepada bayi
yang dilahirkannya. (Zubairi Djoerban, dkk, 2006 : 1803)
Dalam tubuh ODHA partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga satu
kali seseorang terinfeksi HIV seumur hidup tetap terinfeksi. Setelah infeksi awal oleh HIV,
pasien mungkin tetap seronegatif selama beberapa bulan, namun pasien dapat menularkan
kepada orang lain dan fase ini disebut window period (masa jendela). Infeksi akut terjadi
pada tahap serokonveksi dari status antibodi negative menjadi positif, selama periode ini
dapat terdeteksi HIV dengan kadar tinggi di darah perifer. Kemudian setelah beberapa
minggu setelah fase akut pasien masuk ke fase asimtomatik, pada fase ini kadar limfosit
CD4+ menurun dibawah 300 sel/ml. Dijumpai gejala-gejala yang menunjukkkan
imunosupresi dan gejala ini berlanjut sampai pasien memperlihatkan penyakit-penyakit
terkait AIDS. (Silvia Anderson,2006:232)
Pengobatan setelah terjadi pajanan infeksi HIV pada seseorang adalah terapi
Antiretroviral, yang berarti mengobati infeksi HIV dengan beberapa obat. Karena HIV adalah
retrovirus maka obat ini disebut sebagai obat Antiretroviral (ARV). ARV tidak membunuh
virus itu, namun hanya dapat memperlambat laju pertumbuhan virus, begitu juga penyakit
HIV. (Spiritia,2006:403)

HIV merupakan salah satu penyakit yang belum ditemukan obatnya. Virus yang ada
di dalam tubuh penderita ini tidak bisa keluar, sehingga seseorang harus mengonsumsi obat
ARV seumur hidup dan tepat waktu. Jadwal ketat minum obat HIV ini tidak boleh meleset
agar bisa menekan jumah virus di tubuhnya. Jika tidak disiplin maka obat akan menjadi
resisten terhadap tubuh. HIV adalah retrovirus yang menginfeksi sel sistem kekebalan tubuh
manusia, terutama sel T CD4 dan makrofag yang merupakan komponen vital dari sistem
kekebalan tubuh. Hal inilah yang membuat ODHA memiliki sistem kekebalan tubuh lemah
dan mudah terkena infeksi. Karenanya seseorang harus mengonsumsi obat ARV untuk
mempertahankan kekebalan tubuhnya. (www.detik.com)
Perluasan akses pada ARV di Indonesia sejak program pemberian ARV dengan
subsidi penuh oleh pemerintah yang diluncurkan pada tahun 2004, maka semakin banyak
ODHA mendapatkan ARV, dengan harapan mutu hidupnya menjadi lebih baik, dan dapat
bertahan hidup seperti orang lain, asalkan terapi ARV dipakai terus-menerus secara patuh.
(Komisi Penanggulangan AIDS, 2007)
Kepatuhan menentukan seberapa baik pengobatan antiretroviral (ARV) dalam
menekan jumlah viral load. Ketika lupa meminum satu dosis, meskipun hanya sekali, virus
akan memiliki kesempatan untuk menggandakan diri lebih cepat. Hasil yang tidak dapat
dielakkan dari semua tantangan ini adalah ketidakpatuhan, perkembangan resistensi,
kegagalan terapi dan resiko pada kesehatan masyarakat akibat penularan jenis virus yang
resistan. Obat ARV perlu diminum sesuai petunjuk dokter baik dosis maupun waktunya.
Mengingat bahwa HIV adalah virus yang selalu bermutasi, maka jika tidak mematuhi aturan
pemakaian obat ARV, obat yang dikonsumsi tidak bisa lagi memperlambat laju HIV menuju
ke tahap AIDS, sehingga perlu diganti dengan obat lain yang mungkin lebih mahal atau lebih
sulit diperoleh. (www.mautau.com)
Hasil penelitian Herlambang Sasmita A (2010) di RSUP Dr. Kariadi Semarang
menyimpulkan bahwa pengetahuan tentang terapi ARV merupakan factor yang paling kuat
mempengaruhi kepatuhan terapi ARV. Hasil penelitian Junaidy (2009) di Lantera
Minangkabau menyimpulkan bahwa kepatuhan dari penderita ODHA berhubungan dengan
keberhasilah terapi Antiretroviral.
HIV/AIDS di Indonesia secara resmi dilaporkan sejak 19 tahun lalu. Selama kurun
waktu itu, kecendrungannya tidak pernah berkurang atau berhenti. Penelitian terkini tentang
HIV dan AIDS menunjukkan tingkat penyebaran virus HIV di Indonesia adalah salah satu
yang paling cepat penyebarannya di Asia. (Lokakarya Nasional, 2007). Berdasarkan data

statistik kasus HIV/AIDS di Indonesia dilaporkan dari 1 Januari sampai dengan 31 Desember
2010, jumlah pengidap infeksi HIV dan kasus AIDS adalah sebanyak 4.158. Secara komulatif
pengidap infeksi HIV dan kasus AIDS dari Januari 2005 sampai dengan Desember 2010,
berjumlah 24.131. (Depkes RI, 2011)
Dari data yang terkumpul, dapat dilihat jumlah komulatif kasus AIDS berdasarkan
provinsi di Indonesia dilaporkan sampai dengan 31 Desember 2010, menunjukkan Sumatera
Barat menduduki peringkat ke 12 dari 33 provinsi di seluruh Indonesia dengan jumlah kasus
AIDS sebanyak 305 kasus, sedangkan jumlah yang terbanyak di Kota Padang adalah
sebanyak 85 kasus AIDS (Depkes RI, 2011)
Dengan meningkatnya kepatuhan ODHA, saat ini tercatat ada banyak Kelompok
Dukungan Sebaya (KDS) yang terbentuk melalui Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang
ada di berbagai provinsi di Indonesia. Kelompok ini juga berasal dari berbagai latar belakang
resiko, seperti kelompok pecandu narkoba jarum suntik (IDU), kelompok waria, gay,
perempuan dan kelompok non-ODHA (OHIDHA). Masing-masing kelompok ini memiliki
kegiatan yang berbeda-beda, tetapi satu tujuan yang diharapkan yaitu memberikan dukungan
bagi sesama ODHA. (Spiritia, 2006 : 211)
Di Sumatera Barat terdapat LSM yang bergerak dalam bidang penanggulangan
HIV/AIDS dan memberikan dukungan serta bimbingan terhadap orang yang telah terinfeksi
HIV/AIDS bernama Lantera Minangkabau Support, didirikan pada tanggal 24 Oktober 2004,
yang dibentuk atas dasar semangat membantu diri sendiri, teman dan keluarga untuk bisa
duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan orang lain yang sehat.
Lantera Minangkabau Support dibantu oleh Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) yang
tersebar di beberapa daerah di Sumatera Barat. Saat ini Lantera Minangkabau Support beserta
KDS memberikan dukungan dan bimbingan terhadap 162 ODHA yang ada di Sumatera
Barat. Untuk Kota Padang terdapat sebanyak kurang lebih 85 ODHA yang aktif dan menjadi
bimbingan Lantera Minangkabau Support.
Banyak ODHA yang sudah menjalani terapi tetapi masih belum mengerti secara jelas
mengenai semua aspek pengobatannya, termasuk dampak dari kepatuhan, efek samping, dan
kombinasi obat, atau bagaimana menjangkau obat tersebut. Namun pengetahuan dan
kesadaran tinggi yang dibutuhkan agar Terapi Antiretroviral (ARV) tetap efektif memang
tantangan yang luar biasa. Jadi sebelum mulai memakai ARV sangat penting untuk mengerti
mengenai dasar ARV, bagaimana obat ini bekerja, bagaimana virus dapat menjadi kebal atau

resistan terhadap obat yang dipakai, dan apa yang dapat dilakukan untuk mencegah
timbulnya resistansi. (Spiritia, 2007 : 414)
Dari survey pendahuluan yang dilakukan peneliti yang telah dilaksanakan di Lantera
Minangkabau Support pada Bulan Februari 2011 dengan melakukan wawancara langsung
kepada 10 ODHA, didapatkan bahwa mereka telah mendapatkan terapi Antiretroviral ARV,
semua ODHA mengetahui tentang dasar terapi Antiretroviral ARV, 2 ODHA diantaranya
menjalankan terapi sesuai petunjuk dokter dan 8 ODHA lainnya menyatakan tidak penting
adanya kepatuhan dalam menjalankan terapi ARV dan kontrol kepada petugas kesehatan bila
ada keluhan saja.
Oleh sebab itu, berdasarkan data diatas mendorong penulis untuk meneliti hubungan
kepatuhan penderita HIV/AIDS terhadap keberhasilan terapi Antiretroviral (ARV) di Lantera
Minangkabau Support Padang tahun 2011.

B. Rumusan Masalah
Apakah ada hubungan kepatuhan ODHA dengan keberhasilan terapi Antiretroviral
(ARV) di Lantera Minangkabau Support Padang tahun 2011.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan kepatuhan ODHA dengan keberhasilan terapi Antiretroviral
(ARV) di Lantera Minangkabau Support Padang tahun 2011
2. Tujuan khusus
a. Diketahuinya distribusi frekuensi kepatuhan ODHA dengan terapi ARV di Lantera
Minangkabau Support Padang pada tahun 2011
b. Diketahuinya distribusi frekuensi keberhasilan terapi ARV di Lantera Minangkabau Support
Padang pada tahun 2011
c. Diketahuinya hubungan kepatuhan ODHA dengan keberhasilan terapi antiretroviral (ARV) di
Lantera Minangkabau Support Padang pada tahun 2011

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Lantera Minangkabau Support Padang
Sebagai bahan masukan bagi Lantera Minangkabau Support dalam menganalisa dan
menciptakan strategi untuk meningkatkan kepatuhan ODHA tentang terapi Antiretroviral
ARV dengan keberhasilan terapi Antiretroviral (ARV) di Lantera Minangkabau Support
Padang pada tahun 2011.
2. Bagi Peneliti
Diharapkan penelitian ini dapat memperluas wawasan peneliti tentang konsep-konsep
penelitian dan meningkatkan ilmu pengetahuan peneliti dalam mengaplikasika ilmu-ilmu
hasil studi yang telah peneliti terima di perkuliahan.
3. Bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan penelitian ini menjadi bahan contoh dalam pembelajaran yang
berhubungan dengan masalah yang di bahas oleh peneliti.
E. Ruang Lingkup
Penelitian ini membahas tentang hubungan kepatuhan ODHA dengan keberhasilan
terapi antiretroviral (ARV) di Lantera Minangkabau Support pada tahun 2011. Design
penelitian ini adalah deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional study. Penelitian
ini dilakukan di Lantera Minangkabau Support pada bulan Januari - September 2011.
Populasi dari penelitian adalah ODHA yang berjumlah sebanyak 162 orang, teknik
pengambilan

sampel

dilakukan

dengan

menggunakan

metode accidental

sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan memberikan kousioner terhadap responden,


dengan pengujian data dilakukan dengan uji chi square.

BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
A. Human Immunodeficiency Virus (HIV) / Acquired Immuno Deficiency Syindrome (AIDS)
1. Pengertian HIV/AIDS
AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syindrome) dapat diartikan sebagai kumpulan
gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi
olehHuman Immunodeficiency Virus (HIV) yang termasuk family retroviridae. (Zubairi
Djoerban, 2006 : 1803), AIDS adalah suatu kumpulan kondisi klinis tertentu yang
merupakan hasil akhir dari infeksi oleh HIV. (silvia Anderson, 224 : 2006), Secara klinis,
seseorang didefinisikan mengidap AIDS jika hitungan sel CD4+ limfosit T <200/mm3 atau di
bawah 14%, atau jika terkena satu macam atau lebih infeksi oportunistik. ( www.mautau.com
)
2. Penyebab HIV/AIDS
Penyebabnya adalah golongan virus retro yang disebut human immunodeficiency
virus. (www.Rusari.com/askepHIV-AIDS) HIV yang dulu disebut virus limfotrofik sel T
manusia tipe III (HTLV-III) atau virus limfadenopati (LAV), adalah suatu retrovirus manusia
sitopatik dari family lentivirus. Retrovirus merubah asam ribonukleat (RNA) menjadi asam
deoksiribonukleat (DNA) setelah masuk kedalam sel penjamu, HIV-1 dan HIV-2 adalah

lentivirus sitopatik, dengan HIV-1 menjadi penyebab utama AIDS di seluruh dunia. (Silvia
Anderson,2006 : 224)
3. Sejarah HIV/AIDS
AIDS menarik perhatian komunitas kesehatan pertama kali pada tahun 1981
setelahterjadi secara tidak lazim, kasus-kasus pneumocystis carinii (PPC) dan Sarkoma
Kaposi(SK) pada laki-laki muda homoseks di California (Gottlieb, 1981) dalam (Silvia
Anderson,2006 : 225). Kasus pertama AIDS di Indonesia dilaporkan secara resmi oleh
Departemen Kesehatan pada tahun 1987 yaitu pada seorang warga Negara Belanda di Bali.
Sebenarnya sebelum itu telah ditemukan kasus pada bulan Desember 1985 yang secara klinis
sesuai dengan diagnosis AIDS dan hasil tes Elisa tiga kali diulang, menyatakan positif. Hanya
hasil tes Western Blot, yang saat itu di lakukan di Amerika Serikat, hasilnya negatif sehingga
tidak dilaporkan sebagai kasus AIDS. (Zubari Djoerban, 2006 : 1803)
4. Epidemiologi HIV/AIDS
Penularan HIV/AIDS terjadi melalui cairan tubuh yang mengandung HIV yaitu
melalui hubungan seksual, baik homoseksual maupun heteroseksual, jarum suntik pada
pengguna narkoba, transfusi komponen darah dan dari ibu yang terinfeksi HIV kepada bayi
yang dilahirkannya. Oleh karena itu kelompok paling tinggi terhadap HIV/AIDS misalnya
pengguna narkoba, pekerja seks komersil dan pelanggannya, serta narapidana. (Zubari
Djoerban, 2006 : 1803)
Namun infeksi HIV/AIDS saat ini juga mengenai semua golongan masyarakat, baik
kelompok resiko tinggi maupun masyarakat umum. Jika pada awalnya, sebagian besar
ODHA berasal dari kelompok homoseksual, maka kini telah terjadi pergeseran dimana
persentase penularan secara heteroseksual dan pengguna narkoba semakin meningkat.
Beberapa bayi yang terbukti tertular HIV dari ibunya menunjukkan tahap yang lebih lanjut
dari penularan heteroseksual. (Zubari Djoerban, 2006 : 1803)
Sejak 1985 sampai 1996 kasus AIDS masih sangat jarang ditemukan di Indonesia.
Sebagian besar ODHA pada periode itu berasal dari kelompok homoseksual, kemudian
jumlah kasus HIV/AIDS semakin meningkat dan sejak pertengahan tahun 1999 mulai terlihat
peningkatan tajam terutama disebabkan karena penularan melalui narkoba suntik. Sampai
dengan akhir Maret 2005 tercatat 6789 kasus HIV/AIDS yang dilaporkan, jumlah itu masih
sangat jauh dari jumlah sebenarnya. Departemen Kesehatan RI pada tahun 2002

memperkirakan jumlah penduduk Indonesia yang terinfeksi HIV adalah antara 90.000 sampai
130.000 orang. (Zubari Djoerban, 2006 : 1803)
5. Patofisiologi HIV/AIDS
HIV dapat ditularkan melalui cairan tubuh yang mengandung virus HIV yaitu melalui
hubungan seksual, baik hubungan homoseksual maupun heteroseksual, jarum suntik pada
pengguna narkotika, tranfusi komponen darah, dan dari ibu yang terinfeksi HIV kepada bayi
yang dilahirkannya. (Zubairi Djoerban, dkk, 2006 : 1803) Dalam tubuh ODHA, partikel virus
bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur
hidup akan tetap terinfeksi. Dari semua orang yang terinveksi HIV, sebagian berkembang
masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi pasien AIDS sesudah 10
tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS,
dan kemudian meninggal. Perjalanan penyakit tersebut menunjukkan gambaran penyakit
kronis, sesuai dengan perusakan sistem tubuh yang juga bertahap. (Zubari Djoerban, 2006 :
1804)
6. Manifestasi Klinis HIV/AIDS
AIDS adalah stadium akhir dalam suatu kelainan imologik dan klinis kontinum yang
dikenal sebagai spectrum infeksi HIV. Perjalanan penyakit di mulai saat terjadi penularan
dan pasien terinfeksi, setelah infeksi awal oleh HIV pasien mungkin tetap serogatif selama
beberapa bulan, namun pasien dapat menularkan kepada orang lain dan fase ini disebut
window period (masa jendela). (Silvia Anderson, 2006 : 232)
Fase akut terjadi pada tahap serokonveksi dari status negative menjadi positif dan
sebagia orang dapat mengalami sakit mirip penyakit virus yang berlangsung beberapa hari
seperti malaise, demam, diare, limfadenopati, dan ruam makulopapular. Selama periode ini
dapat terdeteksi HIV dengan kadar yang tinggi di dalam darah perifer, kadar limfosit CD4+
turun dan kemudian kembali ke kadar sedikit di bawah semula. (Silvia Anderson, 2006 : 232)
Dalam beberapa minggu setelah fase infeksi akut pasien masuk ke fase asimtomatik,
yaitu kadar limfosit CD4+ umumnya sudah kembali mendekati normal, namun akan menurun
secara bertahap seiring dengan waktu dan kemudian pasien masuk ke dalam fase simtomatik,
dimana hitung sel CD4+ pasien biasanya telah turun di bawah 300 sel/ml dan dijumpai
gejala-gejala yang menunjukkan imunosupresi dan gejala ini berkelanjutan sampai pasien
memperlihatkan penyakit-penyakit terkait-AIDS. (Silvia Anderson, 2006 : 232)

Sistem Stadium WHO untuk infeksi dan penyakit HIV pada dewasa dan remaja
menurut The Joint United Nations Program on AIDS (UNAIDS) dapat dibagi menjadi
(Spiritia, 2008 : 232) :
1)

Stadium Klinis I :

a. Tanpa gejala (asimtomatis).


b. Limfadenopati generalisata.
Skala penampilan 1 : tanpa gejala, kegiatan normal
2)

Stadium Klinis II :

a. Berat badan menurun < 10 %.


b. Kelainan kulit dan mukosa yang ringan, misalnya dermatitis seboroik, prurigo, infeksi jamur
di kuku, ulkus di mulut yang kambuhan, kheilitis angularis.
c. Herpes zoster, dalam lima tahun terakhir.
d. Infeksi saluran nafas bagian atas yang kambuhan, misalnya sinusitis bakterialis.
Skala penampilan 2 : ada gejala, kegiatan normal
3)

Stadium Klinis III :

a. Berat badan menurun >10 %.


b. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan
c. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan.
d. Kandidiasis mulut (thrush).
e. Oral hairy leukoplakia.
f. Tuberkulosis paru dalam tahun terakhir.
g. Infeksi bakterial yang berat, misalnya pneumonia, piomiositis.
Skala penampilan 3 : terbaring di tempat tidur <50 % hari selama bulan terakhir

4)

Stadium Klinis IV :

a. Sindrom wasting HIVa


b. Pneumonia Pneumocystis
c. Toksoplasmosis otak
d. Diare kriptosporidiosis lebih dari 1 bulan
e. Kriptokokosis di luar paru
f. Penyakit sitomegalovirus (Cytomegalovirus/CMV) pada organ selain hati, limpa atau
kelenjar getah bening (misal : retinitis)
g. Infeksi virus herpes simplex (HSV) mukokutan (>1 bulan)
h. Progressive multifocal leukoencephalopathy (PML)
i. Mikosis misalnya histoplasmosis
j. Kandidiasis di esophagus, trakea, bronkus dan paru
k. Mikobakteriosis atipikal diseminata
l. Septisemia salmonelosis nontifoid
m. Tuberculosis di luar paru
n. Limfoma
o. Sarcoma Kaposi (SK)
p. Ensefalopati HIVb
Skala penampilan 4 : terbaring di tempat tidur > 50% hari selama bulan terakhir.
B. Terapi Antiretroviral (ARV)
1. Pengertian Terapi Antiretroviral (ARV)
Terapi antiretroviral berarti mengobati infeksi HIV dengan obat-obatan. Obat tersebut
(yang disebut ARV) tidak membunuh virus itu, namun dapat memperlambat pertumbuhan
virus, waktu pertumbuhan virus diperlambat, begitu juga penyakit HIV. Karena HIV adalah
retrovirus, obat-obat ini biasa disebut sebagai terapi antiretroviral (ARV). (Spiritia, 2006 :
414)

2. Tujuan Terapi Antiretroviral (ARV)


Tujuan utama terapi antiretrovirus adalah penekanan secara maksimum dan
berkelanjutan terhadap jumlah virus, pemulihan atau pemeliharaan fungsi imunologik,
perbaikan kualitas hidup, dan pengurangan morbiditas dan mortalitas HIV. (Silvia Anderson,
2006 : 240)
Pemberian ARV telah menyebabkan kondisi kesehatan ODHA menjadi jauh lebih
baik. Infeksi kriptosporidiasis yang sebelumnya sukar diobati, menjadi jauh lebih mudah
ditangani. Infeksi penyakit oppurtunistik lainnya yang berat, seperti infeksi virus sitomegalo
dan infeksi mikobakterium aptikal, dapat disembuhkan. Pneumonia Pneumocystis carinii
pada ODHA yang hilang timbul, biasanya mengharuskan ODHA minum obat infeksi agar
tidak kambuh. Namun sekarang dengan minum ARV teratur, banyak ODHA yang tidak
memerlukan minum obat profilaksis terhadap pneumonia. (Zubari Djoerban, 2006 : 1805)
3. Kasifikasi Terapi Antiretroviral (ARV)
Obat ARV terdiri dari golongan seperti nucleoside reverse transcriptase inhibitor,
nucleotide

reverse

transcriptase

inhibitor,

non

nucleoside

reverse

transcriptase

inhibitor, dan inhibitor protease. Tidak semua ARV yang ada telah tersedia di Indonesia.
(Zubari Djoerban 2006 : 1806)
Di Amerika Serikat (2001), US Food and Drug Administration (FDA) telah
menyetujui tiga golongan obat untuk infeksi HIV :
a. nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NRTI)
b. non nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI)
c. inhibitor protease (PI)
NRTI menghambat enzim DNA polymerase dependen RNA HIV (reverse
transcriptase) dan menghentikan pertumbuhan untai DNA. Contoh-contoh NRTI adalah
zidovudin, didanosun, zalsitabin, stavudin, lamivudin dan abakavir. NRTI menghambat
transkripsi RNA HIV-1 menjadi DNA, suatu langkah penting dalam proses replikasi virus.
Obat jenis ini menurunkan jumlah HIV dalam darah (viral load) dan meningkatkan limfost
CD4+. Nevirapin, delaviridin, dan efavirenz adalah contoh-contoh NNRTI. P1 menghambat
aktivitas protease HIV dan mencegah pemutusan poliprotein HIV yang esensial untuk
pematangan HIV. Yang terbentuk bukan HIV matang tetapi partikel virus imatur yang tidak

menular. Contoh obat PI adalah indinavir, ritonavir, nelfinavir, sakuinavir, amprenavir, dan
lopinavir.
Kelimabelas obat antiretroviral ini diberikan dalam dua sampai tiga kombinasi
berbeda sesuai temuan riset dan petunjuk spesifik yang dikembangkan oleh the Panel on
Clinical Practice and Treatment of HIV Infection yang dibuat oleh US Departement of
Health and Human Service (DHHS) dan Kaiser Family Foundation. Pemberian dua sampai
tiga ARV disebut terapi antiretrovirus yang sangat efektif (Highly Active Antiretroviral
Therapy;HAART). Data mengenai efektivitas dan daya tahan HAART mengungkapkan
bahwa pada banyak pasien yang telah terinfeksi virus HIV efektivitas cara ini terbatas karena
resistensi obat dan kurangnya kepatuhan akibat regimen yang rumit. (Silvia Anderson, 2006 :
240)
Tabel 2.1 Terapi Antiretroviral yang Sangat Aktif (Highly Active Antiretroviral Therapy;
HAART)
Golongan Obat

Contoh

Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI)


Zidovudin

ZDV, Retrovir

Didanosin

Ddl, Videx

Zalsitabin

ddC, HIVID

Stavudin

d4T, Zerit

Lamivudin

Epivir

Abacavir

Ziagen

Non Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor(NNRTI)


Nevirapin

Viramune

Delavirdin

Rescriptor

Efavirenz

Sustiva

Inhibitor Protease (PI)


Indinavir

Crixivan

Ritonavir

Norvir

Nelvinavir

Viracept

Sakuinavir

Ivirase, Fortovase

Amprenavir

Agenerase

Lopinavir

Kaletra

Sumber : Silvia Anderson (2006)


4. Pemberian Antiretroviral (ARV)
Waktu memulai ARV harus dipertimbangkan dengan seksama karena obat ARV akan
diberikan dalam jangka panjang. Obat ARV direkomendasikan pada semua pasien yang telah
menunjukkan gejala yang termasuk dalam kriteria diagnosis AIDS atau menunjukkan gejala
yang termasuk dalam kriteria diagnosis AIDS atau menunjukkan gejala yang sangat berat,
tanpa melihat jumlah CD4+. Obat ini juga direkomendasikan pada pasien asimptomatik
dengan jumlah lomfosit CD4+ kurang dari 200 sel/mm 3 . Pasien dengan jumlah limfosit
CD4+ 200-350 sel/mm3 dapat ditawarkan untuk memulai terapi. Pada pasien asimptomatik
dengan jumlah lomfosit CD4+ lebih dari 350 sel/mm 3 dan viral load lebih dari 100.000
kopi/ml terapi ARV dapat dimulai, namun dapat pula ditunda. Terapi ARV tidak dianjurkan
dimulai pada pasien dengan jumlah lomfosit CD4+ lebih dari 350 sel/mm 3 dan viral load
kurang dari 100.000 kopi/ml. (Zubari Djoerban, 2006:1806)
Penggunaan ARV juga rawan resistensi. Bila hal itu terjadi, obat ARV tidak akan lagi
berpengaruh pada tubuh ODHA bersangkutan. Resiko resisten tidak hanya bisa terjadi pada
proses penghentian obat, tetapi juga pada kesalahan pemakaian. Karenanya, Departemen
Kesehatan mengharuskan pemakaian minimal 3 kombinasi obat. Kombinasi yang digunakan
juga berbeda-beda untuk setiap ODHA, tergantung pada kondisi tubuhnya. (Spiritia,
2007:414)
Tabel 2.2 Pemberian Obat ARV yang Beredar di Indonesia
Nama

Nama

Generik

Dagang

Dosis

Jumlah Pil

Aturan

Harian

Makan

Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI)


Duviral

Tablet,
kandungan
Zidovudin 300
mg,
lamifudin
150 mg, 2x/hari

Sesudah
makan

Lamividun
(3TC)
Zidovudin
(ZDV,AZT)

Retrovir
Adovir

1 pil
2x/hari

150mg,

--

1 pil
2x/hari

300mg

--

Berat badan 60
kg : 1 pil 40 mg,
2x/hari

--

Pakai 2 jam
sebelum atau 1
jam
sesudah
makan

Avirzid
Stavudin
(d4T)

Stavir
Zerit

Berat badan < 60


kg : 1 pil 30 mg,
2x/hari
Didanosin
(ddl)

Videx

Berat badan 60
kg : 2 tablet 200
mg, 1x/hari
Berat badan < 60
kg : 2 tablet 125
mg, 1x/hari

Non Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI)


Efavirenz
(EFV, EFZ)

Stocrin

1 kapsul 600 mg,


1x/hari

Malam
hari,
hindari
makanan yang
berlemak

Nevirapine
(NVP)

Viramune
Neviral

1 tablet 200 mg,


2x/hari

--

Inhibitor Protease (PI)


Nelfinavir
(NFV)

Nelvex
Viracept

5 tablet 250
mg, 2x/hari

10

Pakai dengan
makan

(Sumber : Zubari Djoerban, 2006)


Obat ARV juga diberikan pada beberapa kondisi khusus seperti pengobatan
profilaksis pada orang yang terpapar cairan tubuh yang mengandung virus HIV (postesposure prophylaxis) dan pencegahan penularan dari ibu ke bayi. Program pencegahan dari
ibu ke anak dengan pemberian obat ARV penting untuk mendapat perhatian lebih besar
mengingat sudah ada beberapa bayi di Indonesia yang tertular HIV dari ibunya. Efektivitas
penularan HIV dari ibu ke anak adalah sebesar 10-30 %. Artinya dari 100 ibu hamil yang
terinfeksi HIV, ada 10 sampai 30 bayi yang akan tertular. Sebagian besar penularan terjadi

pada waktu proses persalinan dan sebagian kecil melalui plasenta selama kehamilan dan
sebagian lagi melalui air susu ibu. (Zubari Djoerban, 2006: 1806).
5. Efek Samping Antiretroviral (ARV)
Efek samping adalah dampak dari obat yang tidak diinginkan, biasanya dampaknya
merugikan bagi tubuh pengguna obat tersebut. Mulai dari yang ringan seperti sakit kepala
ringan, sampai pada kerusakan pada organ dalam tubuh seperti kerusakan hati. Efek samping
dapat dirasakan setelah pemakaian obat tersebut dan dapat bertahan selama beberapa hari,
bahkan terkadang masih bisa dirasakan walaupun obat sudah tidak digunakan lagi. Sebagian
besar

pemakai

obat

ARV

akan

mengalami

beberapa

efek

samping.

(www.spiritia.co.id/efeksamping,2008)
Faktor faktor yang mempengaruhi tubuh merespon efek samping, antara lain (spiritia,
2007 : 554) :
a.

Jumlah obat yang digunakan, semakin banyak akan semakin parah efeknya.

b. Besar kecilnya ukuran tubuh kita, jika tubuh kita lebih kecil dari rata-rata maka kemungkinan
mengalami efek samping yang lebih banyak.
c.

Kemampuan tubuh untuk menguraikan obat, sehingga membuat kadar obat dalam darah
menjadi tinggi dapat mengakibatkan banyak efek samping.
Daftar efek samping akibat obat yang dipakai dapat dilihat dalam kemasan obat tersebut,
tidak semua efek yang tercantum dirasakan oleh penggunanya. Efek samping yang paling
umum dialami, antara lain (Spiritia, 2007 : 550) :

a.

Kelelahan
ODHA sering melaporkan sering melaporkan kadang-kadang merasa lelah. Mengetahui
penyebab lelah dan menanganinya adalah penting.

b. Anemia
Obat ARV seperti duviral dapat menyebabkan anemia. Dengan melakukan tes darah rutin
dapat mengetahui ada tidaknya anemia, gejalanya badan menjadi cepat lelah. Konsultasikan
hal ini pada dokter untuk menentukan tindakan yang harus dilakukan karena anemia dapat
diobati, tapi tidak boleh dianggap enteng.

c.

Gangguan Pencernaan
Beberapa obat ARV dapat mengakibatkan perut terasa nyeri, mual, kembung, bahkan bisa
berakibat muntah dan diare. Pengobatan yang lazim dipakai dirumah termasuk : makan
sedikit tapi sering, makan sup dan makanan yang lunak, minuman jahe dan sering
berolahraga. Jika mengalami diare, harus banyak minum untuk menghindari dehidrasi.

d. Gangguan Pada Kulit


Beberapa obat menyebabkan benjolan (ruam) yang terasa gatal. Kulit biasanya akan
menjadi kering, maka sebaiknya gunakan pelembab. Jika ruam yang timbul sangat banyak di
sekujur tubuh, sebaiknya konsultasikan dengan dokter.
e.

Gangguan Saraf Kecil


Sering kesemutan pada telapak kaki atau tangan bisa diindikasikan sebagai gejala
gangguan saraf kecil. Mengkonsumsi vitamin B dapat mengurangi rasa kesemutan tersebut,
tapi tidak ada salahnya untuk memeriksakan diri ke ahli saraf karena jika dibiarkan terlalu
lama akan menyebabkan kerusakan saraf yang lebih parah.

f.

Masalah Tulang
Baru diketahui pada orang HIV. Mineral tulang dapat hilang dan tulang menjadi rapuh.
Kehilangan aliran darah dapat menyebabkan masalah pinggul. Pastikan konsumsi cukup zat
kalsium dalam makanan dan suplemen.

g. Lipodistrofi
Banyak ODHA yang kehilangan lemak pada bagian lengan, kaki, terutama pada wajah
(pipi terlihat cekung). Tentunya jika ada penumpukan lemak, maka ada peningkatan kadar
gula dan kolesterol dalam darah yang dapat mengakibatkan stroke maupun serangan jantung.
Tabel 2.3 Efek Samping berdasarkan Jenis Obat ARV
Nama Generik

Nama Dagang

Efek Samping

Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor(NRTI)


Lamivudin (3TC)

Umum : mual/diare; sakit kepala;


neutropenia; kelelahan; ruam;
sakit perut

Parah : pancreatitis (jarang)


Zidovudin
AZT)

(ZDV, Retrovir
Adovi
Avirzid

Umum : mual/muntah; sakit


kepala; neutropenia; kelelahan;
anoreksia; SGPT/SGOT tinggi;
miopati dan miotosis (jarang)
Parah : Anemia

Stavudin (d4T)

Stavir
Zerit

Umum : mual/muntah/diare; sakit


kepala;
kelelahan;
ruam;
SGPT/SGOT tinggi
Parah :
neuropati
perifer;
pancreatitis; amilase tinggi

Didanosin (ddl)

Videx

Umum : mual/muntah/diare, sakit


kepala, ruam; halusinasi
Parah : pankreatitis; neuropati
perifer, amylase tinggi

Non Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI)


Efavirenz (EFV, EFZ) Stocrin

Umum : mual/diare; sakit kepala;


ruam; SGPT/SGOT tinggi
Parah : gejala system saraf pusat;
sindrom Stevens-Johnson (jarang)

Nevirapine (NVP)

Viramune
Neviral

Umum : mual/diare; sakit kepala;


kelelahan; ruam
Parah : ruam parah/sindrom
Stevens-Johnsons; SGPT/SGOT
tinggi; hepatitis

Inhibitor Protease (PI)


Nelfinavir (NVF

Nelvex
Viracept

Umum : mual/diare; sakit perut;


ruam;gas

(sumber : Spiritia, 2006)


6. Resistensi Antiretroviral (ARV)
Obat ARV perlu diminum sesuai petunjuk dokter baik dosis maupun waktunya.
Mengingat bahwa HIV adalah virus yang selalu bermutasi, maka jika kita tidak mematuhi
aturan pemakaian obat ARV, HIV yang berada di dalam tubuh kita bisa menjadi resisten
terhadap obat itu. Dengan kata lain, obat yang kita konsumsi tidak bisa lagi memperlambat

laju penyakit HIV menuju ke tahap AIDS, sehingga perlu diganti dengan obat lain yang
mungkin lebih mahal atau lebih sulit diperoleh. (www.mautau.com )
HIV juga dapat menjadi resisten terhadap sejenis obat bila tingkat darah obat tersebut
terlalu rendah untuk menghentikan reproduksi virus. Selagi HIV terus bereproduksi, jenisjenis virus yang mampu reproduksi tanpa terpengaruh obat (jenis yang resisten terhadap obat)
menjadi lebih unggul dari pada jenis yang sensitive terhadap obat dan akan menjadi dasar
bagi populasi HIV yang baru di dalam tubuh. (Spiritia, 2006 :414)
Resistensi HIV terjadi apabila terjadi mutasi atau perubahan pada struktur genetic HIV,
sehingga HIV menjadi kuat melawan obat antiretroviral (ARV) tertentu. Dengan kata lain,
terjadinya perubahan genetic yang memungkinkan HIV terus melakukan replikasi walaupun
pasien menjalani terapi antiretroviral. Idealnya, setiap sel baru hasil proses replikasi yang
terjadi didalam tubuh sama persis seperti sel awal yang direplikasi. Tapi kadang-kadang
terjadi kesalahan kecil di dalam sebuah sel yang kemudian terbawa pada sel baru. Sampai
pada suatu saat, sel-sel yang mengandung kesalahan-kesalahan kecil ini menjadi banyak.
Perubahan kecil di dalam komposisi genetic sel disebut mutasi. Mutasi sering terjadi pada
HIV karena cepatnya proses replikasi sel berlangsung dan ketidak hadirannya mekanisme
untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan ini. (Spiritia. 2007 : 414)
Mutasi menyebabkan HIV menjadi mampu melawan obat ARV. Dengan kata lain, telah
terjadi resistensi HIV. Biasanya, mutasi terjadi di dalam sel apabila terjadi kondisi tertentu
atau disebabkan oleh faktor tertentu. Misalnya stress akibat lingkungan, paparan terhadap
toksin (racun di dalam tubuh), paparan terhadap berbagai obat secara berulang-ulang. Tapi
seringkali, resistensi timbul akibat ketidak patuhan terhadap ARV atau terputusnya terapi
ARV. Terputusnya terapi ini bisa disebabkan karena pasien merasa lebih fit sehingga
beranggapan tidak perlu meneruskan terapinya, atau bisa juga karena penyediaan obat
terhenti. Walaupun kebanyakan replikasi HIV dapat dicegah oleh obat ARV, beberapa virus
tetap mengalami mutasi sehingga mengakibatkan berlipat gandanya salah satu lini (strain)
yang resisten ini, maka obat ARV menjadi berkurang efektifitasnya. (Spiritia, 2007 : 414)
Di Negara-negara maju, di mana banyak pilihan obat ARV, hal ini bisa mengakibatkan
sulitnya mencari kombinasi obat ARV yang tepat. Berkat tersedianya obat ARV, banyak orang
yang terkena HIV bisa hidup lebih lama. Tapi dengan mereka hidup lebih lama dengan HIV.
Kemungkinan untuk virus bermutasi atau menjadi kuat melawan obat ARV juga menjadi
lebih besar. Resistensi HIV merupakan masalah yang sering terjadi, yang banyak berpengaruh
pada pasiennya yang menjalani terapi antiretroviral.

Di Indonesia, sesuai pendekatan Kesehatan Masyarakat yang dianjurkannya oleh WHO


dalam hal pemakaian obat ARV di negara berkembang jika terapi lini pertama dirasakan
mulai gagal(bukan disebabkan oleh ketidak patuhan terhadap terapi antiretroviral), maka
rejimen pengobatan akan dialihkan ke lini-2, dengan mengganti semua obat yang dipakai
untuk mengobati HIV lini-1. Di negara-negara maju, jika telah terjadi resistensi HIV, dokter
biasanya melakukan tes resistensi HIV (berupa tes darah) untuk mengetahui obat ARV yang
mana kiranya yang paling efisien untuk melawan virus yang telah bermutasi dan yang mana
perlu dihindari. Ada dua macam tes resistensi yang tersedia, yaitu (Spiritia, 2007 : 414) :

a. Genotypic Testing
Tes ini meneliti HIV yang ada di dalam darah pasien dan memeriksa apakah telah terjadi
mutasi. Jika dokter mengetahui bahwa mutasi genetik tertentu telah terjadi, maka ia bisa
mengetahui virus telah menjadi resisten terhadap obat ARV yang mana atau jenis obat ARV
yang mana secara spesifik. Jenis tes ini cepat hasilnya dan terjangkau harganya (di negara
maju).
b. Pheonotypic Testing
Tes ini berbeda dengan Genotypic Testing karena tes ini mengambil virus dan
memaparkannya terhadap obat ARV dengan konsentrasi yang berbeda-beda untuk
memastikan obat ARV yang mana yang efektif. Metode ini dipakai pada tahap dini
pengembangan sebuah obat itu dibolehkan dikonsumsi oleh manusia. Tes ini lambat
prosesnya dan mahal harganya sehingga hanya sedikit orang yang bisa memanfaatkannya.
Seperti disebut di atas, tes resistensi HIV bisa membantu dokter merancang jenis
terapi yang cocok untuk pasien yang terpapar pada berbagai macam kombinasi obat ARV.
Namun dewasa ini banyak terjadi kasus dimana orang yang baru saja didiagnosa mengidap
HIV ternyata sudah terinfeksi oleh virus yang resisten. Dengan kata lain, pasien tertular oleh
virus yang sudah dalam keadaan resisten terhadap obat ARV tertentu. Tentu saja hal ini
merupakan masalah, baik di negara-negara berkembang di mana pilihan obat ARV tidak
banyak maupun di negara-negara maju karena membuat sulit memilih terapi mana yang
paling baik, mengingat bahwa kombinasi obat ARV tertentu yang biasanya diberikan kepada
orang yang baru saja terinfeksi HIV menjadi tidak bisa diberikan kepada orang yang virusnya
sudah resisten terhadap obat ARV tertentu ini. Padahal. Seperti kita ketahui, bagaimana

seorang pasien mendapatkan pengobatan pada tahap awal infeksi sangat mempengaruhi jalan
penyakitnya atau prognosisnya. (Spiritia, 2007 : 414)
7. Keberhasilan Terapi Antiretroviral (ARV)
Keberhasilan terapi dapat dilihat dari tanda-tanda klinis pasien yang membaik setelah
terapi, salah satunya infeksi oppurtunistik tidak terjadi. Ukuran jumlah sel CD4+ menjadi
predictor terkuat terjadinya komplikasi HIV. Jumlah CD4+ yang menurun diasosiasikan
sebagai perbaikan yang lambat dalam terapi, meski pada kenyataannya pasien yang memulai
terapi pada saat CD4+ rendah, akan menunjukkan perbaikan yang lambat. Namun jumlah
CD4+ di bawah 100 sel/mm3 menunjukkan resiko yang signifikan untuk terjadinya penyakit
HIV yang progresif. Maka, kegagalan imunologik dikatakan terjadi jika jumlah CD4+ kurang
dari angka tersebut.
Selain itu, uji viral load merupakan cara yang informatif dan sensitive untuk
mengidentifikasikan kegagalan terapi. Pengobatan dikatakan sukses secara virulogik jika
tingkat RNA plasma HIV-1 berada di bawah 400 kopi/ml atau 50 kopi/ml setelah 6 bulan
terapi. Jika gagal, maka dapat dipertimbangkan untuk mengganti regimen atau masuk ke
terapi lini kedua.(Zubari Djoerban, 2006 :1806)
C. Kepatuhan
1. Pengertian Kepatuhan
Kepatuhan adalah derajat dimana pasien mengikuti anjuran klinis dari dokter yang
mengobatinya (Kaplan, 2007). Menurut Sacket dalam Niven (2000) menjelaskan bahwa
kepatuhan adalah sejumlah mana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan
oleh professional kesehatan. Kepatuhan berarti memakai obat persis sesuai dengan aturan,
yaitu obat yang benar, pada waktu yang benar, dengan cara yang benar (Spiritia, 2002 :416)
2. Variabel yang Mempengaruhi Tingkat Kepatuhan
Beberapa variabel yang mempengaruhi tingkat kepatuhan menurut Suddart dan
Brunner (2002) adalah :
a.

Variabel demografi seperti usia, jenis kelamin, suku bangsa, status sosio ekonomi dan
pendidikan.

b. Variabel penyakit seperti keparahan penyakit dan hilangnya gejala akibat terapi.

c.

Variabel program terapeutik seperti kompleksitas program dan efek samping yang tidak
menyenangkan

d. Varibel psikososial seperti intelegensia, sikap terhadap tenaga kesehatan, penerimaan, atau
penyangkalan terhadap penyakit, keyakinan agama atau budaya dan biaya finansial.
3. Jenis Ketidakpatuhan (Non Compliance)
a.

Ketidakpatuhan yang disengaja (Intentional non Compliance)


Kepatuhan yang disengaja dapat disebabkan oleh :
1) Keterbatasan biaya pengobatan
2) Sikap apatis pasien
3) Ketidakpercayaan pasien akan efektifitas obat

b. Ketidakpatuhan yang tidak disengaja (Unitional non Compliance)


Ketidakpatuhan yang tidak disengaja dapat disebabkan karena :
1) Pasien lupa minum obat
2) Ketidaktahuan akan petunjuk pengobatan
3) Kesalahan dalam hal pembacaan etiket

4. Faktor yang Mempengaruhi Ketidakpatuhan


Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan dapat digolongkan menjadi empat
bagian menurut Niven (2002) antara lain :
a. Pemahaman tentang intruksi
Tak seorang pun dapat mematuhi intruksi jika ia salah paham tentang intruksi yang diberikan
kepadanya.
b. Kualitas Interaksi
Kualitas interaksi antara professional kesehatan dan pasien merupakan bagian yang penting
dalam menentukan derajat kepatuhan.

c. Isolasi sosial dan keluarga


Keluarga dapat menjadi factor yang sangat berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan
nilai kesehatan individu serta juga dapat menentukan tentang program pengobatan yang dapat
mereka terima.
d. Keyakinan, sikap dan kepribadian
Becker et al (1979) dalam Niven (2002) telah membuat suatu usulan bahwa model keyakinan
kesehatan berguna untuk memperkirakan adanya ketidakpatuhan.

5. Faktor yang Berhubungan dengan Ketidakpatuhan


Lima faktor yang perlu diperhatikan untuk menghindari ketidakpatuhan pasien
adalah :
a.

Penyakit pasien

b. Individu pasien
c.

Sikap dokter

d. Obat yang diberikan


e.

Lingkungan pengobatan

6. Akibat Ketidakpatuhan
Ketidakpatuhan dapat memberikan akibat pada program terapi yang sedang
dijalankan, diantaranya :
a.

Bertambah parahnya penyakit atau penyakit cepat kambuh lagi

b. Terjadinya resistensi
c.

keracunan
7. Cara Untuk Mengetahui Ketidakpatuhan
Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengetahui ketidakpatuhan,
yaitu :

a.

Melihat hasil terapi secara berkala

b. Memonitor pasien kembali datang untuk membeli obat pada periode selanjutnya setelah obat
itu habis
c.

Melihat jumlah sisa obat

d. Langsung bertanya kepada pasien mengenai kepatuhannya terhadap pengobatan.


8. Mengukur Tingkat Kepatuhan
Tingkat ketidakpatuhan seseorang dalam menjalankan terapi dapat diukur dengan
beberapa metode :
a.

Metoda pengukuran langsung (pengukuran konsentrasi obat atau metabolitnya dalam darah
atau urin)

b. Metoda pengukuran tidak langsung meliputi wawancara dengan pasien, penilaian hasil
pemeriksaan klinis
9. Strategi untuk Meningkatkan Kepatuhan
Menurut Smet (1994) dalam Niven (2000:15) berbagai strategi telah dicoba untuk
meningkatkan kepatuhan adalah :
a. Dukungan profesional kesehatan
Dukungan professional kesehatan sangat diperlukan untuk meningkatkan kepatuhan, contoh
yang paling sederhana dalam hal dukungan tersebut adalah dengan adanya teknik
komunikasi. Komunikasi memegang peranan penting karena komunikasi yang baik diberikan
oleh professional kesehatan baik dokter/perawat dapat menanamkan ketaatan bagi pasien.
b. Dukungan sosial
Dukungan social yang dimaksud adalah keluarga. Para professional kesehatan yang dapat
meyakinkan keluarga pasien untuk menunjang peningkatan kesehatan pasien maka
ketidakpatuhan dapat dikurangi.
c. Perilaku sehat
Modifikasi perilaku sehat sangat diperlukan. Untuk pasien dengan hipertensi diantaranya
adalah tentang bagaimana cara untuk menghindari dari komplikasi lebih lanjut apabila sudah

menderita hipertensi. Modifikasi gaya hidup dan control secara teratur atau minum obat anti
hipertensi sangat perlu bagi pasien hipertensi.
d. Pemberian informasi
Pemberian informasi yang jelas pada pasien dan keluarga mengenai penyakit yang
dideritanya serta cara pengobatannya.
10. Kepatuhan terhadap Terapi Antiretroviral (ARV)
Memastikan mengkonsumsi obat pada waktu yang tepat, dengan dosis yang tepat dan
dengan cara yang tepat merupakan factor penting dalam keberhasilan pengobatan
antiretroviral. Agar obat bekerja dengan baik, harus dikonsumsi dengan semestinya. (Zubari
Djoerban, 2006 :1806).
Kurangnya kepatuhan terhadap ARV sering merupakan kegagalan pengobatan karena
banyaknya obat yang harus dikonsumsi (8 sampai 9 jenis obat sehari) dengan waktu khusus
dan retriksi makanan serta keadaan-keadaan misalnya kecanduan obat dan tidak memiliki
rumah. (Silvia Anderson, 2006 : 241). Banyak penelitian menunjukkan bahwa hanya dengan
kelupaan satu atau dua dosis obat ARV dalam satu minggu dapat memberikan dampak besar
terhadap pengobatan HIV/AIDS. Dari penelitian yang dilakukan di AS dapat dilihat bahwa
walau dengan kepatuhan diatas 95 %, hanya 81 % orang mencapai viral load yang tidak
terdeteksi (kepatuhan 95% ini berarti hanya lupa atau telat memakai 3 dosis per bulan dengan
jadwal dua kali sehari). (Spiritia, 2007 :414)
Tabel 2.4 Persentase Viral load yang Tidak Terdeteksi dengan Tingkat
Kepatuhan Terhadap Terapi ARV
NO
1 95%
2
3
4
5 70 %

TINGKAT KEPATUHAN
90-95 %
80-90 %
70-80 %

ODHA Dengan Viral Load


Tidak Terdeteksi (%)
81
64
50
25
6

(Sumber : Spiritia, 2007 :414)


D. Hubungan Kepatuhan ODHA dengan Keberhasilan Terapi Antiretroviral (ARV)
Menurut Sacket dalam Niven (2002) menjelaskan bahwa kepatuhan adalah mana
perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh professional kesehatan.
Kepatuhan adalah derajat dimana pasien mengikuti anjuran klinis dari dokter yang

mengobatinya (Kaplan, 2007). Kepatuhan berarti memakai obat persis sesuai dengan aturan,
yakni obat yang benar, pada waktu yang benar, dengan cara yang benar (Spiritia, 2002 : 414)
Memastikan mengkonsumsi obat pada waktu yang tepat, dengan dosis yang tepat
dan dengan cara yang tepat merupakan factor penting dalam keberhasilan pengobatan
antiretroviral. Agar obat bekerja dengan baik, harus dikonsumsi dengan semestinya. (Zubari
Djoerban, 2006 : 1806)
Keberhasilan terapi dapat dilihatdari tanda-tanda klinis pasien yang membaik
setelah terapi, salah satunya dengan infeksi oppurtunistik tidak terjadi. Ukuran jumlah sel
CD4+ menjadi predictor terkuat terjadinya komplikasi HIV. Namun jumlah CD4+ di bawah
100 sel/mm3 menunjukan resiko yang signifikan untuk terjadinya penyakit HIV yang
progresif. Selain itu, uji viral load merupakan cara yang informative dan sensitive untuk
mengidentifikasikan keberhasilan terapi. Pengobatan dikatakan sukses secara virulogik jika
tingkat RNA plasma HIV-1 berada di bawah 400 kopi/ml atau 50 kopi/ml setelah 6 bulan
terapi.(Zubari Djoerban, 2006 : 1807).
BENAR CARA
BENAR OBAT
BENAR WAKTU
Berdasarkan tinjauan pustaka diatas yang menjadi kerangka teoritis dari penelitian ini
adalah :

KEPATUHAN
TERAPI
ANTIRETROVIRAL

KEBERHASILAN
TERAPI
ANTIRETROVIRAL

TIDAK TERJADI
RESISTENSI ARV

TIDAK MUNCUL
INFEKSI
OPPURTUNISTIK
BERAT BADAN
MENINGKAT
CD4+
MENINGKAT

Keterangan

:
: variabel yang di teliti
: ada hubungan

E. Kerangka Konseptual
Berdasarkan tinjauan kepustakaan dan tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui
kepatuhan ODHA dengan keberhasilan terapi antiretroviral (ARV) di Lantera Minangkabau
Support Padang pada tahun 2011. Maka variabel-variabel dalam penelitian ini adalah ;
variabel kepatuhan ODHA terhadap terapi yang merupakan variabel independen penelitian,
dan mempengaruhi variabel dependen yaitu ; keberhasilan terapi Antiretroviral (ARV).
Varibel Independen

KEBERHASILAN
TERAPI ARV

KEPATUHAN
ODHA

Variabel Dependen

F. Defenisi Operasional
No

Variabel

1. Kepatuhan
ODHA

2. Keberhasilan
Terapi
Antiretroviral
atau ARV

Definisi
Operasional

Cara Ukur Alat Ukur

Adalah perilakuAngket
ODHA
sesuai
dengan ketentuan
(benar
obat,
benar cara, benar
waktu)
yang
diberikan
oleh
professional
kesehatan

Hasil Ukur

Skala

Kuisioner -patuh apabilaNominal


nilainya >95%

Keberhasilan
Observasi Format
terapi
ARV
observasi
merupakan suatu
keadaan dimana
tidak terjadinya
resistensi
HIV
terhadap
ARV,
dengan kriteria :
- Pemeriksaan
darah;CD4+ naik
- Tidak
munculnya
infeksi
oppurtunistik
lagi

-tidak
patuh
apabila nilainya
95%

-berhasil (jikaNominal
semua
pertanyaan
mengalami
peningkatan)
-tidak berhasil
(resisten ARV
dengan criteria :
CD4+ semakin
turun,
munculnya
infeksi
oppurtunistik,
penurunan
Berat Badan)

- Peningkatan
Berat Badan

G. Hipotesis
Adapun hipotesis dari hubungan kepatuhan ODHA dengan keberhasilan terapi
antiretroviral (ARV) di Lantera Minangkabau Support Padang tahun 2011 adalah sebagai
berikut :
Ha = Ada hubungan kepatuhan ODHA dengan terapi Antiretroviral (ARV) di Lantera
Minangkabau Support Padang 2011.
BAB III

METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross sectional study,yang bertujuan
untuk meneliti hubungan antara variabel terikat (dependen) dengan variabel bebas
(independen) dalam waktu yang bersamaan atau point time approach. Pendekatan CrossSectional Study, artinya tiap subjek penelitian hanya diobservasi sekali saja terhadap
beberapa variabel dalam waktu yang bersamaan. (Notoadmodjo, 2010)
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Lantera Minangkabau Support Padang pada bulan Januari
September 2011, dan pengambilan data dilakukan pada tanggal 08 Agustus 08 September
2011.
C. Populasi dan Sampel
a. Populasi
Populasi penelitian ini adalah seluruh pengurus dan sukarelawan (voulenteer) yang
terinfeksi HIV/AIDS yang tergabung dalam Lantera Minangkabau Support Padang sebanyak
162 orang.
b. Sampel
Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
metode accidental sampling, dengan jumlah sampel yang ditemui berjumlah 32 orang dalam
kurun waktu 1 bulan.
c. Kriteria Sampel
1. Bersedia menjadi responden
2. Dapat berkomunikasi dengan baik
3. Penderita yang telah terdiagnosis HIV/AIDS
4. ODHA yang sedang menjalankan terapi ARV
5. ODHA yang tidak sedang sakit atau dirawat
6. Setiap ODHA hanya satu kali diambil datanya sebagai responden

D. Pengumpulan Data
1. Data Primer
Peneliti terlebih dahulu mengajukan izin pengambilan data penelitian ke Lantera
Minangkabau Support Padang. Setelah mendapat persetujuan, selanjutnya peneliti melakukan
penelitian dengan terlebih dahulu memberikan informed consent kepada calon responden dan
menjelaskan tujuan penelitian yang akan dilakukan. Bila responden setuju maka
dipersilahkan untuk menandatangani lembar persetujuan.
Peneliti mulai membagikan kuesioner kepada responden dan memberikan penjelasan
tentang cara pengisian kuesioner. Peneliti mendampingi responden selama pengisian
kuesioner. Kuesioner yang telah diisi, kemudian dikumpulkan kepada peneliti.
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari catatan Lantera Minangkabau Support
Padang, berupa jumlah anggota yang telah tergabung dalam bimbingan Lantera Minangkabau
Support Padang dan anggota bimbingan yang telah mendapatkan terapi Antiretroviral.
E. Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan computer dengan tahap sebagai
berikut :
1. Editing (pemeriksaan data)
Kuesioner yang dikembalikan kepada peneliti, dilakukan pengecekan (editing)
kelengkapan data diantaranya kelengkapan identitas pengisi, kelengkapan lembar kuesioner
dan kelengkapan isian. Editing dilakukan ditempat pengumpulan data sehingga apabila
terdapat ketidaksesuaian dapat dilengkapi dengan segera.
2. Coding (pengkodean data)
Setelah melakukan pengecekan lalu peneliti mengkode data untuk memudahkan
pengolahan data.
Kepatuhan
Kode 0

: tidak patuh

Kode 1

: patuh

Keberhasilan
Kode 0

: tidak berhasil

Kode 1

: berhasil

3. Entry (memasukan data)


Setelah dilakukan pengkodean selanjutnya peneliti memasukan data kekomputer agar
dapat dianalisis dengan menggunakan aplikasi program SPSS 15.00.
4. Cleaning
Peneliti melakukan pengecekan kembali untuk memastikan data yang sudah di-entry
apakah ada kesalahan atau tidak.
F. Analisa Data
Data yang sudah di edit, diolah dan dianalisis secara komputerisasi. Adapun analisa
yang dilakukan adalah dengan cara:
1. Analisa Univariat
Analisa yang dipergunakan untuk mendapatkan gambaran distribusi frekuensi dari
variabel independen maupun variabel dependen. Data pada analisa univariat ini dijadikan
dalam bentuk data kategorik dengan peringkasan data menggunakan distribusi frekuensi
dengan ukuran persentase (%) atau proporsi dengan menggunakan rumus :
p=

x 100 %

Keterangan :
p : nilai persentase
f : frekuensi jawaban yang benar
n : jumlah sampel
2. Analisa Bivariat
Analisa bivariat ini dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan variabel
independen dengan variabel dependen. Analisis ini menggunakan uji statistik yaitu uji Chi-

square(X2) dengan nilai = 0,05. Ada hubungan bermakna apabila p < 0,05 sebaliknya jika p
> 0,05 maka hasil penelitian tidak bermakna.

BAB IV
HASIL PENELITIAN

A. Gambaran Lantera Minangkabau Support Padang


Lantera Minangkabau Support Padang merupakan LSM yang bergerak dalam bidang
penanggulangan HIV/AIDS yang didirikan pada tanggal 24 Oktober 2004, yang dibentuk atas
dasar

semangat

membantu

diri

sendiri.

Lantera

Minangkabau

bergerak

dalam

penanggulangan HIV/AIDS dan memberikan dukungan serta bimbingan terhadap orang


yang terinfeksi HIV/AIDS. Saat ini Lantera Minangkabau memberikan dukungan dan
bimbingan terhadap 162 ODHA yang ada di Sumatera Barat.
B. Karakteristik Responden

Dari hasil pengumpulan data yang telah dilakukan di Lantera Minangkabau Support
Padang pada tanggal 08 Agustus 08 September 2011. Dari 32 ODHA yang menjadi
responden penelitian, diketahui umur terbanyak adalah >30 tahun sebanyak 17 responden
(53,1%), walaupun umur terbanyak >30 tahun, namum peneliti memperkirakan ODHA
mulai terinfeksi pada umur <30 karena rata-rata ODHA telah terinfeksi selama 2 dan 4 tahun
yang lalu. Pada usia ini biasanya seseorang bersikap tidak peduli kepada dirinya dan hanya
berfokus kepada pekerjaannya masing-masing, sehingga pada umur <30 tahun atau sering
disebut usia dewasa muda ini dapat mempengaruhi kepatuhan ODHA untuk terapi ARV yang
di sebabkan oleh kurang memperdulikan dirinya.
Jenis kelamin terbanyak adalah laki-laki sebanyak 19 responden (59,4%), biasanya
pada laki-laki tampak sikap tidak patuh pada peraturan yang ada, karena banyak hal yang
dikerjakan dari berbagai pekerjaan untuk menafkahi diri sendiri dan bahkan yang telah
mempunyai keluarga sehingga ODHA laki-laki sering lupa akan pentingnya terapi ARV yang
sedang dijalaninya.
Pendidikan responden terbanyak adalah Sekolah Menengah Atas (SMA) sebanyak 26
responden (81,3%). Tingkat pendidikan mempengaruhi seseorang untuk dapat menganalisa
apa yang dijelaskan oleh orang lain, sehingga dengan tingkat pendidikan sedang untuk
menyerap hal seperti penjelasan tentang kepatuhan terhadap ARV seseorang ODHA tidak
akan dapat mengerti dengan mudah, oleh sebab itu pada saat memberikan pendidikan tentang
ARV harus digunakan cara yang mudah dan sesuai dengan tingkat pendidikan ODHA.
Riwayat infeksi responden terbanyak adalah PENASUN 18 responden (56,3%) dan
dari 9 responden yang tidak patuh terdapat 6 responden yang riwayat infeksinya dari
PENASUN. Sikap yang dapat kita lihat pada seseorang pemakai narkoba biasanya mereka
lebih peduli dengan narkoba di banding diri sendiri, sensitive dan cepat bosan, malas dan
sering melupakan tanggung jawab dan tugas rutinnya, sehingga mereka sering melalaikan
minum ARV walaupun mereka tahu terapi ARV itu penting, apalagi disaat mereka sakaw
yang pada saat itu merasakan penderitaan yang luar biasa, yang kemudian mereka akan lupa
meminum terapi ARV tersebut.
Terdapat 4 responden (12,5%) yang meminum obat selain ARV, dengan adanya
ODHA meminum obat selain ARV seperti Cotrimoxazole dan obat-obat TB sangat
mempengaruhi ODHA dalam minum ARV itu sendiri, hal ini dikarenakan efek samping dari
obat tersebut menambah parah efek samping dari pemakaian terapi ARV. Dapat kita ketahui
efek samping dari Cotrimoxazole seperti alergi, mual dan diare, sedangkan obat-obat

TB mempunyai efek samping seperti mual, muntah, dan gangguan pencernaan, sehingga
ODHA merasa tidak nyaman dengan bertambahnya efek samping dari pemakain obat selain
ARV.
C. Analisis Univariat
1. Kepatuhan ODHA
Tabel 4.1
Distribusi Frekuensi Kepatuhan ODHA Dengan
Terapi ARV di Lantera Minangkabau
Support Padang Tahun 2011
Kepatuhan
Tidak Patuh
Patuh
Total

Frekuensi
9
23
32

%
28,1
71,9
100

Berdasarkan tabel 4.1 dari 32 responden didapatkan 9 (28,1%) responden tidak patuh
menjalankan terapi ARV.
2. Keberhasilan Terapi ARV
Tabel 4.2
Distribusi Frekuensi keberhasilan terapi ARV
di Lantera Minangkabau Support
Padang Tahun 2011
Keberhasilan Terapi
Tidak Berhasil
Berhasil
Total

Frekuensi
8
24
32

%
25,0
75,0
100

Berdasarkan tabel 4.2 dari 32 responden didapatkan 8 (25,0%) responden tidak


berhasil menjalankan terapi ARV.
D. Analisis Bivariat
a.

Hubungan Kepatuhan ODHA dengan Keberhasilan Terapi Antiretroviral

(ARV)
Tabel 4.3
Hubungan Kepatuhan ODHA dengan Keberhasilan Terapi
Antiretroviral (ARV) di Lantera Minangkabau
Support Padang Tahun 2011

Keberhasilan Terapi
Jumlah

Tidak
Berhasil

Berhasil

Tidak Patuh

77,8

22,2

100

Patuh

4,3

22

95,7

23

100

Total

25,0

24

75,0

32

100

Kepatuhan

p value

0,000

Berdasarkan tabel 4.4 dapat dianalisa bahwa dari 9 responden yang tidak patuh,
terdapat 7 (77,8%) responden tidak berhasil, dan terdapat 2 (22,2%) responden berhasil terapi
ARV, sedangkan 23 responden yang patuh, terdapat 1 (4,3%) responden tidak berhasil, dan
terdapat 22 (95,7) responden berhasil dengan terapi ARV.
Dari hasil uji statistik chi-square didapatkan nilai p value sebesar 0,000 (p<0,05),
dengan

demikian

dapat

disimpulkan

bahwa ada

hubungan

yang

bermakna

atau signifikanantara kepatuhan ODHA dengan keberhasilan terapi Antiretroviral (ARV).


.

BAB V
PEMBAHASAN
A. Analisa Univariat

1. Distribusi Frekuensi kepatuhan ODHA


Bedasarkan hasil penelitian tentang kepatuhan ODHA , dari 32 responden didapatkan
23 (71,9%) responden patuh dalam menjalankan terapi Antiretroviral (ARV).
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Herlambang Sasmita Aji
(2010) di RSUP Dr.Kariadi Semarang, didapatkan sebesar 71,4 % ODHA patuh menjalankan
terapi Antiretroviral. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Aggipita Budi Mahardining
di LSM Graha Mitra Semarang, didapatkan sebesar 59,1 % ODHA patuh menjalankan terapi
Antiretroviral.
Kepatuhan adalah derajat dimana pasien mengikuti anjuran klinis dari dokter yang
mengobatinya (Kaplan, 2007). Menurut Sacket dalam Niven (2000) menjelaskan bahwa
kepatuhan adalah sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh
professional kesehatan. Kepatuhan berarti memakai obat persis sesuai dengan aturan, yaitu
obat yang benar, pada waktu yang benar, dengan cara yang benar. (Spiritia, 2002 :416)
HIV merupakan salah satu penyakit yang belum ditemukan obatnya. Virus yang ada di
dalam tubuh penderita ini tidak bisa keluar, sehingga seseorang harus mengonsumsi obat
ARV seumur hidup dan tepat waktu. Jadwal ketat minum obat HIV ini tidak boleh meleset
agar bisa menekan jumah virus di tubuhnya. Jika tidak disiplin maka obat akan menjadi
resisten terhadap tubuh. HIV adalah retrovirus yang menginfeksi sel sistem kekebalan tubuh
manusia, terutama sel T CD4 dan makrofag yang merupakan komponen vital dari sistem
kekebalan tubuh. Hal inilah yang membuat ODHA memiliki sistem kekebalan tubuh lemah
dan mudah terkena infeksi. Karenanya seseorang harus mengonsumsi obat ARV untuk
mempertahankan kekebalan tubuhnya.
Penggunaan obat ARV diperlukan tingkat kepatuhan tinggi untuk mendapatkan
keberhasilan terapi dan mencegah resistensi yang terjadi. Untuk mendapatkan respon
penekanan jumlah virus sebesar 85% diperlukan kepatuhan penggunaan obat 90-95%, dalam
hal ini ODHA harus minum obat rata-rata sebanyak 60 kali dalam sebulan maka pasien
diharapkan tidak lebih dari 3 kali lupa minum obat. Data WHO tahun 2006 menunjukkan
bahwa kepatuhan rata-rata pasien pada terapi jangka panjang terutama HIV/AIDS di negara
maju hanya sebesar 50%, sedangkan di negara berkembang, jumlah tersebut bahkan lebih
rendah. Adanya ketidakpatuhan terhadap terapi ARV dapat memberikan efek resistensi obat
sehingga obat tidak dapat berfungsi atau gagal. Berdasarkan penelitian pada tahun 2004, di
Amerika Serikat dan Eropa didapatkan 10% dari infeksi baru HIV/AIDS menunjukkan
resistensi terhadap ARV (Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Depkes RI, 2006).

Dari analisa peneliti didapatkan bahwa kepatuhan ODHA bimbingan di Lantera


Minangkabau dipengaruhi banyak penyebab, diantaranya adalah efek samping dari kombinasi
obat yang digunakan, ditambah lagi dengan pemakaian obat selain ARV yang juga
mempunyai efek samping tersendiri, sehingga membuat efek samping menjadi bertambah.
Hal ini tampak pada hasil penelitian, didapatkan bahwa dari 9 responden yang tidak patuh
terdapat 4 responden yang sedang minum obat selain ARV, yang pada akhirnya ODHA itu
sendiri bertambah tidak patuh menjalankan terapi Antiretroviral (ARV).
Selain itu sikap dan tingkah laku dari masing-masing ODHA dari berbagai riwayat
infeksi sangat mempengaruhi kepatuhan dalam terapi ARV, hal ini tampak bahwa sebahagian
besar responden mempunyai riwayat infeksi dari PENASUN. Dapat kita ketahui sikap dan
tingkah laku dari pemakai narkoba ini biasanya tidak memperdulikan diri sendiri dan tidak
bisa lepas dari narkoba, sensititif dan cepat bosan dan sering melupakan tanggung jawab dan
tugas rutinnya, sehingga ODHA yang riwayat infeksinya dari PENASUN sering lalai dalam
terapi ARV, tampak dari 9 responden yang tidak patuh terdapat 6 responden yang merupakan
PENASUN. Kemudian ditambah dengan berapa lama ODHA telah meminum tarapi ARV,
kerena lama terapi mempengaruhi kepatuhan yang disebabkan ODHA belum mampu
beradaptasi dengan efek samping ARV yang sangat berat.
2. Distribusi Frekuensi keberhasilan terapi Antiretroviral (ARV)
Berdasarkan hasil penelitian tentang keberhasilan terapi Antiretroviral (ARV), dari 32
responden terdapat 24 (75,0%) responden berhasil menjalankan terapi Antiretroviral (ARV).
Penelitian ini sejalan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Junaidy (2009) di Lantera
Minangkabau, didapatkan sebesar 70 % responden berhasil menjalankan terapi Antiretroviral.
Memastikan mengkonsumsi obat pada waktu yang tepat, dengan dosis yang tepat dan
dengan cara yang tepat merupakan faktor penting dalam keberhasilan pengobatan
antiretroviral. Agar obat bekerja dengan baik, harus dikonsumsi dengan semestinya. (Zubari
Djoerban, 2006 : 1806)
Dengan keberhasilan terapi ARV, ODHA dapat hidup tanpa mengalami penyakit yang
disebabkan oleh infeksi dari virus HIV seperti Infeksi Opportunistik. Namun lain halnya
dengan ODHA yang yang tidak berhasil menjalankan terapi Antiretroviral, mereka akan
mengalami penyakit Infeksi Opportunistik dan juga resistens obat yang sedang digunakan,
sehingga ODHA harus meminum banyak obat ataupun membeli obat yang lebih mahal
harganya.

Berdasarkan analisa peneliti bahwa ketidakberhasilan terapi Antiretroviral pada ODHA


disebabkan oleh kepatuhan yang rendah, sehingga mengakibatkan resistensi obat atau efek
obat menjadi berkurang dikarenakan virus telah kebal terhadap kombinasi obat yang
digunakan, sehingga kombinasi obat yang biasa digunkan tidak mampu lagi memperlambat
laju pertumbuhan virus HIV, pada akhirnya kombinasi obat yang digunakan perlu ditambah
atau ditingkatkan.
B. Analisa Bivariat
1.

Hubungan Kepatuhan ODHA dengan Keberhasilan Terapi Antiretroviral (ARV)


Berdasarkan hasil penelitian tentang hubungan kepatuhan ODHA dengan keberhasilan
terapi Antiretroviral (ARV) didapat bahwa 9 responden yang tidak patuh terdapat 7 (77,2%)
responden tidak berhasil dan 2 (22,7%) responden berhasil dalam menjalankan terapi
Antiretroviral, sedangkan 23 responden yang patuh terdapat 1 (4,3%) responden tidak
berhasil dan 22 (95,7%) responden yang berhasil dalam menjalankan terapi Antiretroviral.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Junaidy yang dilakukan di Lantera Minangkabau
Support pada tahun 2008, menyatakan bahwa ada hubungan bermakna antara kepatuhan
responden dengan keberhasilan terapi Antiretroviral (ARV) dengan p value (0,002).
Dari hasil uji statistik chi-square didapatkan nilai p value sebesar 0,000 (p<0,05),
dengan

demikian

dapat

disimpulkan

bahwa ada

hubungan

yang

bermakna

atau signifikanantara kepatuhan ODHA dengan keberhasilan terapi Antiretroviral (ARV).


Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan adalah golongan virus retro yang
mengakibatkan menurunnya sistem kekebalan tubuh. Partikel virus HIV akan bergabung
dengan sel DNA pasien sehingga sekali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup akan
terinfeksi, Oleh karena itu virus akan terus bermutasi dan menyerang seluruh system
kekebalan tubuh sampai seseorang menjadi AIDS, sehinga diperlukan Antiretroviral untuk
memperlambat laju perkembangan virus HIV. Walaupun ARV tidak bisa membunuh virus
HIV, namun ARV dapat memperlambat laju petumbuhan Virus ARV dan pasien tidak sampai
ke tahap AIDS.
Kepatuhan sangat menentukan seberapa berhasilnya pengobatan Antiretroviral dalam
meningkatkan CD4+, karena jika seseorang lupa meminum satu dosis maupun sekali maka
virus akan menggandakan diri. Oleh karena itu sangat diperlukan kepatuhan yang tinggi
mengingat bahwa HIV adalah virus yang selalu bermutasi, jika tidak mematuhi aturan

pemakaian obat ARV, obat yang dikonsumsi tidak dapat lagi memperlambat virus, sehingga
perlu diganti dengan dosis yang lebih tinggi.
Keberhasilan terapi dapat dilihat dari tanda-tanda klinis pasien yang membaik setelah
terapi, salah satunya dengan infeksi oppurtunistik tidak terjadi. Ukuran jumlah sel CD4+
menjadi prediktor terkuat terjadinya komplikasi HIV. Namun jumlah CD4+ di bawah 100
sel/mm3 menunjukan resiko yang signifikan untuk terjadinya penyakit HIV yang progresif.
Selain itu, uji viral load merupakan cara yang informative dan sensitive untuk
mengidentifikasikan keberhasilan terapi. Pengobatan dikatakan sukses secara virulogik jika
tingkat RNA plasma HIV-1 berada di bawah 400 kopi/ml atau 50 kopi/ml setelah 6 bulan
terapi.(Zubari Djoerban, 2006 : 1807).
Berdasarkan analisa peneliti di dapatkan bahwa ada responden yang tidak patuh namun
berhasil terapi Antiretroviral, hal ini dikarenakan responden hanya kelupaan atau telat minum
obat 1-3 dosis per bulannya, secara teoritis telah dijelaskan bahwa kepatuhan 95 % ini berarti
hanya lupa atau telat meminum 3 dosis sebulan dari jadwal yang ditentukan. Selain itu ada
juga ditemukan responden yang patuh minum obat tetapi masih tidak berhasil, hal ini
mungkin dikarenakan responden tidak meminum dengan dosis yang tepat dan cara yang
benar dalam terapi, walaupun responden selalu minum obat tepat waktu, namun dosis dan
cara yang benar merupakan factor penting dalam keberhasilan terapi Antiretroviral, agar obat
dapat bekerja dengan baik.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa untuk menentukan keberhasilan dari terapi
Antirtroviral dibutuhkan kepatuhan yang tinggi sehingga terapi yang dilalukan berhasil dan
sesuai dengan harapan dan dapat membuat hidup ODHA menjadi lebih lama dari pada
ODHA yang tidak berhasil, hal ini dapat dilihat dari kondisi kesehatan ODHA yang semakin
membaik dan jumlah CD4+ semakin meningkat.

BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan

Berdasarkan dari hasil penelitian, analisa dan pembahasan mengenai hubungan


kepatuhan ODHA dengan keberhasilan terapi Antiretroviral (ARV) di Lantera Minangkabau
Support Padang tahun 2011, maka dapat disimpulkan sebagai berikut ;

1. Sebagian besar (71,9%) ODHA patuh menjalankan terapi Antiretroviral (ARV) di Lantera
Minangkabau Support Padang Tahun 2011.
2. Sebagian besar (75,0%) ODHA berhasil dengan terapi Antiretroviral (ARV) di Lantera
Minangkabau Support Padang Tahun 2011.
3. Adanya hubungan bermakna antara kepatuhan dengan keberhasilan terapi Antiretroviral
(ARV) di Lantera Minangkabau Support Padang Tahun 2011 ditandai dengan (p value 0,000).
B. Saran
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan maka peneliti menyarankan sebagai berikut :

1. Bagi Lantera Minangkabau Support Padang


Agar pengurus dapat memperhatikan dan memotivasi anggota bimbingan agar dapat
lebih meningkatkan kepatuhan meminum obat ARV. Ada beberapa cara yang mungkin bisa
digunakan untuk mengingatkan dan meningkatkan kepatuhan ODHA, diantaranya adalah :
a.

Sering mengadakan pertemuan untuk mengevaluasi perkembangan anggota bimbingan.

b. Bentuk suatu tim yang efektif dan dapat masuk ke lingkungan dari masing-masing faktor
resiko infeksi, sehingga dapat mengingatkan mendidik mereka dengan benar.
c.

Mengirim pesan berantai untuk mengingatkan minum obat setiap waktunya.


2. Untuk Peneliti Selanjutnya
Penelitian ini hanya membahas tentang kepatuhan ODHA dengan keberhasilan terapi
Antiretroviral (ARV) saja, untuk peneliti selanjutnya diharapkan dapat membahas tentang
Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan ODHA terhadap keberhasilan terapi
Antiretroviral (ARV). Agar penelitian ini dapat diteruskan dan berguna untuk Lantera
Minangkabau Support Padang sendiri.

Anda mungkin juga menyukai