Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

TOKSIKOLOGI

Metabolit Reaktif

Dosen : Drs. Tahoma Siregar, M.Si.,Apt.


Disusun oleh :
Agustina Hesti W
Ayu Syuhada
Kiki Nurmaya
Rina T Wardani
Retha Elfrida N
Helmayeni
Firqotun Najiyah
Lenni Tri Y

11330047
11330048
11330049
11330051
11330052
11330053
11330058
11330059

Wahyudin
Siendy Restu N
Septi Damayanti
Darma Sangadji
Febry Eka S
Khanifah Dwi P
Dimas Ryan P
Farha E Kukihi

11330060
11330061
11330062
11330301
12330601
12330710
13330704
13330705

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS MATEMATIKA dan ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
JAKARTA - 2014

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga makalah ini bisa selesai dengan
baik. Makalah Metabolit Reaktif ini dibuat sebagai salah satu tugas untuk
memenuhi persyaratan dalam mata kuliah Toksikologi.
Makalah ini masih jauh untuk dikatakan sempurna baik dari segi materi
maupun dari teknik penulisan. Dalam penulisan makalah ini, kami merasa masih
banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi,
mengingat akan kemampuan yang kami miliki. Untuk itu kritik dan saran dari
semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan dan pengetahuan yang
lebih luas kepada pembaca khususnya mengenai Metabolit Reaktif dalam
toksikologi. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.

Hormat kami,
Jakarta, Oktober 2014

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ i


DAFTAR ISI ...................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................................ 1
1.2 Tujuan Penulisan .................................................................................................... 3
1.3 Rumusan Masalah .................................................................................................. 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................................... 4
2.1 Pengertian Toksikologi dan Racun ....................................................................... 4
2.2 Perkembangan Toksikologi .................................................................................... 5
2.3 Kerja Toksik ........................................................................................................... 8
BAB III PEMBAHASAN ................................................................................................ 11
3.1 Enzim Aktivasi ..................................................................................................... 11
3.2 Sifat dan Stabilitas Metabolit Reaktif ................................................................... 12
3.3 Nasib Metabolit Reaktif ....................................................................................... 15
3.4 Contoh Reaksi Aktivasi ....................................................................................... 16
3.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Toksisitas
Dari Metabolit Reaktif ......................................................................................... 21
3.6 Perkembangan Masa Depan ................................................................................. 22
BAB IV KESIMPULAN ................................................................................................ 24
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 25

ii

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Suatu zat menyebabkan efek toksik ketika masuk ke dalam tubuh
diabsorpsi, didistribusikan kemudian berikatan di reseptor (toksodinamika)
lalu menyebabkan efek toksik, kemudian dimetabolisme dan diekskresi.
Proses metabolisme bertujuan untuk mengubah struktur toksikan secara
biokimia menggunakan enzim, menjadi senyawa yang tidak aktif lagi,
lebih polar dan dapat diekskresi oleh tubuh.
Namun ada juga zat asing inert yang masuk ke dalam tubuh, ketika
dimetabolisme justru membentuk metabolit yang aktif dan akhirnya
menyebabkan toksisitas pada tubuh atau disebut juga metabolit reaktif.
Antara pengambilan dari lingkungan dan ekskresi dari tubuh, banyak
senyawa

eksogen

(xenobiotik)

mengalami

metabolisme

menjadi

intermediet sangat reaktif. Metabolit ini dapat berinteraksi dengan


konstituen selular dalam berbagai cara, seperti pengikatan kovalen dengan
makromolekul dan / atau merangsang peroksidasi lipid. Biotransformasi
bahan kimia yang relatif inert menjadi metabolit intermediet yang sangat
reaktif sering disebut sebagai aktivasi metabolik atau bioaktivasi dan
dikenal sebagai kejadian awal dalam banyak toksisitas secara kimiawi.
Beberapa toksikan

bekerja langsung dan tidak memerlukan aktivasi,

sedangkan bahan kimia lain dapat diaktifkan secara non-enzimatik.


Di tahun 1940-an dan 1950-an studi dari James dan Elizabeth
Miller memberikan bukti awal untuk konversi in-vivo karsinogen kimia
menjadi metabolit reaktif. Mereka menemukan bahwa metabolit reaktif
dari zat warna aminoazo

N, N-dimetil-4-aminoazobenzene (DAB),

hepatokarsinogen pada tikus, akan berikatan kovalen dengan protein dan


asam nukleat. Istilah aktivasi metabolik digunakan untuk menggambarkan
proses ini. Selain itu, mereka menunjukkan bahwa pengikatan kovalen

bahan kimia ini merupakan bagian yang penting dari proses karsinogenik
ini.
Skema keseluruhan metabolisme untuk xenobiotik yang berpotensi
toksik diuraikan pada gambar di bawah ini.

Gambar 1. Skema metabolism xenobiotik yang berpotensi toksik


Dapat dilihat dari diagram ini, metabolisme bahan kimia tidak
hanya dapat menghasilkan metabolit yang non-toksik, yang lebih polar dan
siap diekskresikan (detoksifikasi), tetapi juga metabolit yang sangat
reaktif, yang bisa berinteraksi dengan makromolekul intraseluler yang vital
dan menyebabkan toksisitas. Sebagai tambahan, metabolit reaktif ini dapat
didetoksifikasi, sebagai contoh, melalui interaksi glutation. Pada
umumnya, metabolit reaktif ini adalah elektrofil (molekul yang
mengandung pusat positif). Elektrofil ini pada gilirannya dapat bereaksi
dengan nukleofil selular (molekul yang mengandung pusat negatif), seperti
glutathione, protein, dan asam nukleat. Metabolit reaktif lainnya bisa
berupa radikal bebas atau bertindak sebagai pembangkit radikal yang
berinteraksi dengan oksigen untuk menghasilkan spesies oksigen reaktif
yang dapat menyebabkan kerusakan membran, DNA, dan makromolekul
lainnya.

Meskipun bahan kimia dapat dimetabolisme dengan beberapa rute,


jalur aktivasinya sering melalui rute minor yang sisanya mengakibatkan
detoksifikasi. Aktivasi, bagaimanapun, dapat menjadi jalur yang lebih
dominan dalam situasi tertentu, sehingga mengarah ke toksisitas. beberapa
istilah penting yang sering digunakan ketika membahas aktivasi meliputi:
senyawa induk, kadang-kadang disebut sebagai prokarsinogen dalam
kasus karsinogen atau prodrug untuk senyawa farmakologis; metabolit
toksik proksimat atau karsinogen utama untuk spesies reaktif yang
mengikat makromolekul dan DNA.
Terdapat begitu banyak metabolit reaktif yang dapat menyebabkan
toksisitas pada tubuh sehingga perlu diketahui bagaimana mekanisme
terbentuk metabolit reaktif, bahan apa saja yang bisa dimetabolisme
menjadi metabolit reaktif yang toksik.

1.2 Tujuan Penulisan


1.2.1

Mahasiswa mengetahui pengertian toksikologi

1.2.2

Mahasiswa

mengetahui

tentang

metabolit

reaktif

yang

menyebabkan toksisitas
1.2.3

Mahasiswa mengetahui mekanisme terbentuknya metabolit reaktif

1.3 Rumusan Masalah


1.3.1

Bagaimana mekanisme terbentuknya metabolit reaktif?

1.3.2

Faktor apa saja yang mempengaruhi toksisitas metabolit reaktif?

1.3.3

Apa saja contoh metabolit reaktif yang menyebabkan toksisitas?

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Toksikologi dan Racun
Secara sederhana dan ringkas, toksikologi dapat didefinisikan
sebagai kajian tentang hakikat dan mekanisme efek berbahaya (efek
toksik) berbagai bahan kimia terhadap makhluk hidup dan sistem biologik
lainnya. Toksikologi juga membahas penilaian kuantitatif tentang berat
dan kekerapan efek tersebut sehubungan dengan terpaparnya (exposed)
makhluk hidup.
Apabila zat kimia dikatakan berracun (toksik), maka kebanyakan
diartikan sebagai zat yang berpotensial memberikan efek berbahaya
terhadap mekanisme biologi tertentu pada suatu organisme. Sifat toksik
dari suatu senyawa ditentukan oleh: dosis, konsentrasi racun di reseptor
tempat kerja, sifat zat tersebut, kondisi bioorganisme atau sistem
bioorganisme, paparan terhadap organisme dan bentuk efek yang
ditimbulkan. Sehingga apabila menggunakan istilah

toksik

atau

toksisitas, maka perlu untuk mengidentifikasi mekanisme biologi di mana


efek berbahaya itu timbul. Sedangkan toksisitas merupakan sifat relatif
dari suatu zat kimia, dalam kemampuannya menimbulkan efek berbahaya
atau penyimpangan mekanisme biologi pada suatu organisme. Toksisitas
merupakan

istilah

relatif

yang

biasa

dipergunakan

dalam

memperbandingkan satu zat kimia dengan lainnya. Adalah biasa untuk


mengatakan bahwa satu zat kimia lebih toksik daripada zat kimia lain.
Perbandingan sangat kurang informatif, kecuali jika pernyataan tersebut
melibatkan

informasi

tentang

mekanisme

biologi

yang

sedang

dipermasalahkan dan juga dalam kondisi bagaimana zat kimia tersebut


berbahaya.
Oleh sebab itu, pendekatan toksikologi seharusnya dari sudut
telaah tentang berbagai efek zat kimia atas berbagai sistem biologi, dengan

penekanan pada mekanisme efek berbahaya zat kimia itu dan berbagai
kondisi di mana efek berbahaya itu terjadi. Pada umumnya efek berbahaya
/ efek farmakologik timbul apabila terjadi interaksi antara zat kimia
(tokson atau zat aktif biologis) dengan reseptor. Terdapat dua aspek yang
harus diperhatikan dalam mempelajari interakasi antara zat kimia dengan
organisme hidup, yaitu kerja farmakon pada suatu organisme (aspek
farmakodinamik / toksodinamik) dan pengaruh organisme terhadap zat
aktif (aspek farmakokinetik / toksokinetik) aspek ini akan lebih detail
dibahas pada sub bahasan kerja toksik.
2.2 Perkembangan Toksikologi
Dalam perkembangan beradaban modern, masyarakat menuntut
perbaikan kondisi kesehatan dan kehidupan, diantaranya makanan bergizi,
mutu kesehatan yang tinggi, pakaian, dan sportasi. Untuk memenuhi
tujuan ini, berbagai jenis bahan kimia harus diproduksi dan digunakan,
banyak diantaranya dalam jumlah besar. Diperkirakan berribu-ribu bahan
kimia telah diproduksi secara komersial baik di negara-negara industri
maupun di negara berkembang. Melalui berbagai cara bahan kimia ini
kontak dengan penduduk, dari terlibatnya manusia pada proses produksi,
distribusi ke konsumen, hingga terakhir pada tingkat pemakai.
Meningkatnya jumlah penduduk dunia menuntut, salah satunya
meningkatnya jumlah produksi pangan. Dalam hal ini diperlukan bahan
kimia, seperti pupuk, pestisida, dan herbisida. Tidak jarang pemakaian
pestisida yang tidak sesuai dengan atuaran, atau berlebih justru memberi
beban pencemaran terhadap lingkungan, perubahan ekosistem, karena
pembasmian pada salah satu insteksida akan berefek pada rantai makanan
dari organisme tersebut, sehingga dapat juga mengakibatkan berkurangnya
atau bahkan musnahnya predator insek tersebut. Pemakaian pestisida, telah
ditengarai mengakibatkan mutasi genetika dari insektisida tersebut,
sehingga pada akhirnya melahirkan mutan insek yang justru resisten
terhadap pestisida jenis tertentu.

Pemakaian pestisida yang tidak benar juga merupakan salah satu


penginduksi

toksisitas

kronik

(menahun).

Petani

berkeinginan

mendapatkan keuntungan yang tinggi dari hasil pertaniannya, tidak jarang


penyemprotan pestisida berlebih justru dilakukan pada produk pertanian
satu-dua hari sebelum panen, dengan tujuan buah atau daun sayuran tidak
termakan insek sebelum panen, dengan jalan demikian akan diperoleh
buah atau sayuran yang ranun, tidak termakan oleh insek. Namun tindakan
ini justru membahayakan konsumen, karena pestisida kemungkinan dapat
terakumulasi secara perlahan di dalam tubuh konsumen, melalui konsumsi
buah atau sayuran yang sebelumnya diberikan pestisida sebelum panen.
Banyaknya kasus keracunan masif akut dan keracunan kronis, yang
diakibatkan oleh pencemaran lingkungan akibat proses produksi. Seperti
pada tahun 1930 di Detroit, Mich. kontaminasi ginger jake oleh Tri-okresil, mengakibatkan neurotoksis, telah mengakibatkan keracunan syaraf
pada 16 ribu penduduk.
Di London, pada tahun 1952, terjadi peningkatan jumlah kematian
penduduk akibat penyakit jantung dan paru-paru. Hal ini disebabkan oleh
kontaminasi udara oleh belerang dioksida dan partikel tersuspensi, yang
merupakan limbah buangan pabrik di Ingris pada saat itu. Penyakit
Minamatadi Jepang pada tahun 1950-an diakibatkan karena pembuangan
limbah industri yang mengandung metil merkuri ke teluk Minamata, yang
mengakibatkan ikan di teluk tersebut terkontaminasi oleh metil merkuri.
Ikan terkontaminasi ini dikonsumsi oleh penduduk disekitar teluk,
mengakibatkan deposisi (pengendapan) metil merkuri di dalam tubuh.
Metil merkuri adalah senyawa toksik yang mengakibatkan penyakit
neurologik berat, salah satunya mengakibatkan kebutaan.
Pada akhir 1950-an sampai awal tahun 1960-an, di Eropa Barat
terjadi kasus keracunan yang dikenal dengan kasus Talidomid. Talidomid
adalah senyawa kimia yang pertama disintesa untuk obat menekan rasa
mual dan muntah. Karena efeknya tersebut pada waktu itu banyak

diresepkan pada ibu-ibu hamil, dengan tujuan menekan mual-mutah yang


sering muncul masa trimester pertama pada kehamilan.
Efek samping yang muncul dari pemakaian ini adalah terlahir janin
dengan pertumbuhan organ tubuh yang tidak lengkap, belakangan
diketahui bahwa salah satu dari bentuk rasemat Talidomid ini memberikan
efek menghambat tertumbuhan organ tubuh pada janin di masa
kandungan. Salah satu contoh, kasus pencemaran lingkungan di Indonesia
akibat proses produksi adalah kasus teluk Buyat. Sampai saat ini masih
kontropersial didiskusikan.
Kejadian-kejadian di atas dan peristiwa tragis keracunan masif
lainnya telah menghasilkan program pengujian yang lebih intensif, yang
telah mengungkapkan beragamnya sifat dan sasaran efek toksik. Pada
gilirannya ini menuntut lebih banyak penelitian pada hewan, lebih banyak
indikator toksisitas, persyaratan yang lebih ketat sebelum suatu bahan
kimia baru dapat dilepas pemakaiannya ke masyarakat, serta melakukan
evaluasi dan pemantauan efek toksik senyawa kimia yang telah beredar
dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Oleh karena itu, ada kebutuhan untuk
mempermudah tugas penilaian toksikologik atas begitu banyak bahan
kimia, dimana prosedur pengujian toksisitasnya menjadi semakin
komplek. Untuk memenuhi kebutuhan ini, beberapa kreteria telah diajukan
dan dipakai untuk memilih menurut prioritasnya bahan kimia yang akan
diuji. Disamping itu, sistem penilaian berlapis memungkinkan
keputusan dibuat pada berbagai tahap pengujian toksikologik, sehingga
dapat dihindarkan penelitian yang tidak perlu. Prosedur ini sangat berguna
dalam pengujian karsinogenisitas, mutagenisitas, dan imunotoksisitas
karena besarnya biaya yang terlibat dan banyaknya sistem uji yang
tersedia.

2.3 Kerja Toksik


Suatu kerja toksik pada umumnya merupakan hasil dari sederetan
proses fisika, biokimia, dan biologik yang sangat rumit dan komplek.
Proses ini umumnya dikelompokkan ke dalam tiga fase yaitu: fase
eksposisi toksokinetik dan fase toksodinamik. Dalam menelaah interaksi
xenobiotika/tokson dengan organisme hidup terdapat dua aspek yang perlu
diperhatikan, yaitu: kerja xenobiotika pada organisme dan pengaruh
organisme terhadap xenobiotika. Yang dimaksud dengan kerja tokson pada
organisme adalah sebagai suatu senyawa kimia yang aktif secara biologik
pada organisme tersebut (aspek toksodinamik). Sedangkan reaksi
organisme terhadap xenobiotika/tokson umumnya dikenal dengan fase
toksokinetik.
Fase eksposisi merupakan kontak suatu organisme dengan
xenobiotika, pada umumnya, kecuali radioaktif, hanya dapat terjadi efek
toksik/ farmakologi setelah xenobiotika terabsorpsi. Umumnya hanya
tokson yang berada dalam bentuk terlarut, terdispersi molekular dapat
terabsorpsi menuju sistem sistemik. Dalam konteks pembahasan efek obat,
fase ini umumnya dikenal dengan fase farmaseutika. Fase farmaseutika
meliputi hancurnya bentuk sediaan obat, kemudian zat aktif melarut,
terdispersi molekular di tempat kontaknya.

Sehingga zat aktif berada

dalam keadaan siap terabsorpsi menuju sistem sistemik. Fase ini sangat
ditentukan oleh faktor-faktor farmasetika dari sediaan farmasi.
Fase toksikinetik disebut juga dengan fase farmakokinetik. Setelah
xenobiotika berada dalam ketersediaan farmasetika, pada mana keadaan
xenobiotika siap untuk diabsorpsi menuju aliran darah atau pembuluh
limfe, maka xenobiotika tersebut akan bersama aliran darah atau limfe
didistribusikan ke seluruh tubuh dan ke tempat kerja toksik (reseptor).
Pada

saat

yang

bersamaan

sebagian

molekul

xenobitika

akan

termetabolisme, atau terekskresi bersama urin melalui ginjal, melalui


empedu menuju saluran cerna, atau sistem eksresi lainnya.

Fase toksodinamik adalah interaksi antara tokson dengan reseptor


(tempat kerja toksik) dan juga proses-proses yang terkait dimana pada
akhirnya muncul efek toksik/farmakologik. Interaksi tokson-reseptor
umumnya merupakan interaksi yang bolak-balik(reversibel). Hal ini
mengakibatkan perubahan fungsional, yang lazim hilang, bila xenobiotika
tereliminasi dari tempat kerjanya (reseptor). Selain interaksi reversibel,
terkadang terjadi pula interaksi tak bolak-balik (ireversibel) antara
xenobiotika dengan subtrat biologik. Interaksi ini didasari oleh interaksi
kimia antara xenobiotika dengan subtrat biologi dimana terjadi ikatan
kimia kovalen yang bersbersifat irreversibel atau berdasarkan perubahan
kimia dari subtrat biologi akibat dari suatu perubaran kimia dari
xenobiotika, seperti pembentukan peroksida. Terbentuknya peroksida ini
mengakibatkan luka kimia pada substrat biologi.
Secara keseluruhan deretan proses sampai terjadinya efek toksik /
farmakologi dapat digambarkan dalam suatu diagram seperti pada gambar
2.

Gambar 2. Proses Terjadinya Efek Toksik


9

Dari gambaran singkat di atas dapat digambarkan dengan jelas bahwa efek
toksik / farmakologik suatu xenobiotika tidak hanya ditentukan oleh sifat
toksokinetik xenobiotika, tetapi juga tergantung kepada faktor yang lain
seperti:
Bentuk farmasetika dan bahan tambahan yang digunakan,
Jenis dan tempat eksposisi,
Keterabsorpsian dan kecepatan absorpsi,
Distribusi xenobiotika dalam organisme,
Ikatan dan lokalisasi dalam jaringan,
Biotransformasi (proses metabolisme), dan
Keterekskresian dan kecepatan ekskresi, dimana semua faktor di atas
dapat dirangkum ke dalam parameter farmaseutika dan toksokinetika
(farmakokinetika).

10

BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Enzim Aktivasi
Sebagian besar, jika tidak semua, enzim yang terlibat dalam metabolisme
xenobiotik membentuk metabolit reaktif (Tabel 1). Sistem enzim yang paling
sering terlibat dalam aktivasi xenobiotik adalah enzim yang mengkatalisis
reaksi oksidasi. Sitokrom P450 monooksigenase (CYP) merupakan enzim
paling penting yang terlibat dalam oksidasi xenobiotik. Hal ini disebabkan
karena banyaknya CYP450 (terutama di hati), banyaknya isozim dari
CYP450, dan kemampuan P450 untuk diinduksi oleh senyawa xenobiotik.
Tabel 1. Enzim-enzim Penting dalam Mengkatalisis Reaksi Aktivasi Metabolik
Jenis Reaksi
Oksidasi

Konjugasi

Dekonyugasi
Hidrolisis dan reduksi

Enzim
Sitokrom P450s
Prostaglandin sintetase (PGS)
Flavin Monooxygenases (FMO)
Alkohol dan Aldehida dehidrogenase
Transferase glutathion
Sulfotransferases
Glucoronidases
Sistein S-conjugate b-liase
Mikroflora usus: hidrolase reduktase

Meskipun enzim P450 yang paling melimpah dihati, enzim ini juga
terdapat dalam jaringan lain, termasuk pada kulit, ginjal, usus, paru-paru,
plasenta, dan mukosa hidung. Karena P450 ada dalam beberapa bentuk
isozim dengan kekhususan substrat yang berbeda, ada atau tidak adanya
isozim P450 tertentu dapat menyebabkan toksisitas pada jaringan tertentu.
Banyak obat dan senyawa asing lainnya diketahui bisa menginduksi satu atau
lebih dari isozim sitokrom P450, mengakibatkan peningkatan, penurunan atau
perubahan pada jalur metabolisme bahan kimia yang dimetabolisme oleh
isozim P450 yang terlibat. Contoh-contoh spesifik dari jenis interaksi
diberikan kemudian dalam bagian ini.
11

Selain aktivasi dikatalisis oleh sitokromP450, konjugasi fase dua, cooksidasi selama biosintesis prostaglandin, oksidasi oleh flavin yang
mengandung monooksigenase (FMO), dan metabolisme oleh mikroflora usus
juga dapat menyebabkan pembentukan produk beracun yang reaktif. Dengan
beberapa bahan kimia, hanya satu reaksi enzimatik yang terlibat, sedangkan
dengan senyawa lain, beberapa reaksi sering melibatkan beberapa jalur, yang
diperlukan untuk produksi metabolit reaktif utama.

3.2 Sifat dan Stabilitas Metabolit Reaktif


Metabolit reaktif termasuk kelompok

yang beragam seperti epoksida,

kuinon, radikal bebas,oksigen jenis reaktif dan konjugasi tidak stabil. Gambar
3 memberikan contoh beberapa reaksi aktivasi, metabolit reaktif dibentuk dan
enzim yang mengkatalisa metabolit tersebut.

12

Gambar 3. Contoh reaksi aktivasi


Akibat reaktivitas tinggi, metabolit reaktif sering dianggap berumur
pendek. Ini tidak selalu benar, namun karena intermediet reaktif (Intermediet
adalah sifat suatu individu yang pemunculannya merupakan gabungan antara
sifat kedua induk yang dipersilangkan) dapat diangkut dari satu jaringan ke
jaringan lain tanpa berefek merusak intermediet reaktif. Dengan demikian,
intermediet reaktif dapat dibagi menjadi kategori tergantung pada seberapa
jauh intermedit reaktif tersebut diaktivasi.

13

Ultra short lived metabolites


Metabolit ini utamanya berikatan pada enzim asal. Dalam kategori ini
termasuk substrat yang membentuk intermediet yang terikat enzim yang
bereaksi dengan tempat aktif dari enzim. Bahan kimia ini dikenal sebagai
suicide substrats.Banyak senyawa yang diketahui bereaksi dengan CYP
dengan cara ini, dan senyawa-senyawa tersebut sering digunakan dalam
percobaan sebagai inhibitor CYP. Senyawa-senyawa lain, walaupun bukan
true suicide substrates, menghasilkan metabolit reaktif yang utamanya
berikatan ke enzim aktivasi atau protein perbatasan yang mengubah fungsi
dari protein.

Short-lived metabolites
Metabolit ini tetap dalam sel atau berpindah hanya ke sel-sel yang dekat
saja. Pada kasus ini, pengikatan kovalen terbatas pada sel asal dan ke sel
terdekat.

Banyak xenobiotik masuk dalam kelompok ini dan

menyebabkan peningkatan kerusakan jaringan yang terjadi pada tempat


aktivasi. Sebagai contoh, sel-sel Clara mengandung konsentrasi CYP450
yang tinggi dan beberapa toksikan paru-paru yang membutuhkan aktivasi
sering menghasilkan kerusakan terutama pada sel-sel Clara.
-

Longer-lived metabolites
Metabolit ini dapat diangkut ke sel dan jaringan lain sehingga walaupun
situs aktivasinya di hati, tempat target bisa saja pada organ yang letaknya
jauh. Intermediet reaktif juga dapat diangkut ke jaringan-jaringan lain,
tidak dalam bentuk aslinya tetapi sebagai konjugat, yang kemudian
melepaskan intermediat reaktif di bawah kondisi tertentu pada jaringan
target. Sebagai contoh, amina aromatik karsinogenik dimetabolisme di hati
menjadi derivate N-hidroksilasi, yang setelah konjugasi glukuronida,
diangkut ke kandung kemih, di mana derivate N-hidroksi dilepaskan di
bawah kondisi asam dari urin.

14

3.3 Nasib Metabolit Reaktif


Jika produksi metabolit reaktif adalah proses awal dalam peran metabolit
reaktif dalam toksisitas, maka nasib metabolit ini adalah langkah selanjutnya
untuk memahami dalam proses. Dalam jaringan, berbagai reaksi dapat terjadi
tergantung pada sifat dari spesies reaktif dan fisiologi organisme.
3.3.1. Mengikat Makromolekul Seluler
Seperti yang disebutkan sebelumnya, metabolit yang paling reaktif
adalah elektrofil yang dapat berikatan kovalen ke tempat nukleofilik
pada makromolekul seluler seperti protein, polipeptida, RNA dan
DNA. Pengikatan kovalen ini dianggap sebagai kejadian awal bagi
banyak proses keracunan seperti mutagenesis, karsinogenesis dan
nekrosis seluler.
3.3.2.

Peroksidasi lipid
Radikal seperti CCl dihasilkan selama oksidasi karbon tetraklorida
yang dapat menyebabkan peroksidasi lipid dan kerusakan membran
lipid. Karena sifat kritis dari berbagai membran sel (inti, mitokondria,
lisosom, dll), peroksidasi lipid menjadi peristiwa penting dalam
nekrosis seluler.

Gambar 4. Metabolisme tetraklorometana (CCl4).

15

3.3.3

Penjebakan dan Penghilangan (Trapping and Removal): Peran dari

Glutathion
Setelah metabolit reaktif terbentuk, mekanisme dalam sel dapat
membawa penghapusan cepat atau inaktivasi. Toksisitas kemudian
tergantung

pada

keseimbangan

antara

kecepatan

pembentukan

metabolit dan tingkat pengeluarannya. Dengan beberapa senyawa,


reduksi glutation memainkan peran protektif yang penting dengan
menjebak metabolit elektrofilik dan mencegahnya mengikat protein dan
enzim hati. Meskipun reaksi konjugasi terkadang mengakibatkan
bioaktivasi

senyawa,

asetil-,

glutathione-,

glukuronil-,

atau

sulfotransferase biasanya menghasilkan pembentukan metabolit yang


kurang toksik, larut dalam air dan siap diekskresikan. Dengan demikian,
ketersediaan bahan kimia terkonyugasi merupakan faktor penting dalam
menentukan nasib intermediet reaktif.

3.4

Contoh Reaksi Aktivasi


3.4.1

Aflatoxin B1
Alfatoxin B1 (AFB1) adalah salah satu mycotin yang
diproduksi oleh Aspergillus flavus sebagai bagian dari kelompok
parasit dan merupakan hepatotoksikan (racun pada organ hati)
terkenal dan hepatokarsinogen (zat karsinogenik pada organ hati).
Hal ini diterima secara umum bahwa zat aktif dari AFB1 yang
mengikat kovalen dengan DNA adalah 2,3-epoksida (Gbr. 4.2).
AFB1 diinduksi hepatotoksisitas dan karsinogenisitas yang
diketahui bervariasi antara spesies ternak dan hewan laboratorium.
Toksisitas selektif AFB1 tampaknya tergantung pada perbedaan
kuantitatif dalam pembentukan 2,3-epoksida, yang berhubungan
dengan komplemen enzim organisme tertentu.

16

Tabel 2 menunjukkan tingkat relatif metabolisme AFB1


oleh mikrosom hati dari spesies yang berbeda. Karena epoksida
dari senyawa asing sering dimetabolisme lanjut oleh hidrolase
epoksida atau dikonversi secara non-enzimatik menjadi dihidrodiol
yang sesuai, keberadaan dihydrodiol dianggap sebagai bukti
pembentukan sebelumnya dari epoksida. Karena pembentukan
epoksida dikatalisis oleh enzim CYP450, jumlah AFB1 dihidrodiol
yang diproduksi oleh mikrosom mencerminkan komplemen isozim
CYP450 yang terlibat dalam metabolisme AFB1. Pada tabel 4.2,
misalnya, dapat dilihat bahwa dalam mikrosom tikus di mana
isozim CYP450 tertentu telah diinduksi oleh Fenobarbital (PB),
pembentukan dihidrodiol jauh lebih tinggi dibandingkan mikrosom
kontrol.
Tabel 2. Pembentukan Dihidrodiol Aflatoksin B1 oleh
Mikrosom Hati
Sumber Mikrosom

Pembentukan Dihidrodiol

Tikus

0.7

Mencit C57

1.3

Marmut

2.0

Tikus diinduksi

3.3

Fenobarbital
Ayam

3.4.2

4.8

Asetilaminfluoren
Dalam kasus hepatokarsinogen 2-asetilaminofluorene (2AAF), dua langkah aktivasi diperlukan untuk membentuk
metabolit reaktif (gbr. 4.3). Reaksi awal, N-hidroksilasi, adalah
reaksi fase I tergantung CYP450, di mana sebagai reaksi kedua ,
menghasilkan pembentukan ester sulfat tidak stabil, adalah reaksi

17

fase II konjugasi yang menghasilkan pembentukan intermediet


menengah. Reaksi fase II yang lain, konjugasi glukuronida,
merupakan tahap detoksifikasi, menghasilkan produk konjugasi
yang

siap

diekskresikan.

Dalam beberapa spesies hewan 2-AAF dikenal karsinogenik,


sedangkan pada spesies lain non-karsinogenik.
Potensi karsinogenik dari 2-AAF dapat dikorelasikan
dengan kemampuan organisme untuk membentuk N-hidroksilasi
diikuti dengan ester sulfat. Oleh karena itu pada hewan seperti
marmot, yang tidak menghasilkan metabolit N-hidroksilasi, 2-AAF
tidak

karsinogenik

Sebaliknya,

tikus

jantan

dan

betina

menghasilkan metabolit N-hidroksilasi, tetapi hanya tikus jantan


yang kecepatan pembentukan tumor tinggi. Hal ini disebabkan
karena, tikus jantan memiliki ekspresi 1C1 sulfotransferase sepuluh
kali lipat lebih besar dibandingkan tikus betina, yang akibatnya
pada

konyugasi

sulfat

2-AAF

menghasilkan

pembentukan

metabolit karsinogenik yang lebih tinggi.


Berbagai isozim sitokrom P450 akan mempengaruhi
keseimbangan

antara

aktivasi

dan

detoksifikasi

dan

juga

karsinogenesitas senyawa. Misalnya, 2-AAF tidak karsinogenik


pada kelinci percobaan, hewan yang tidak membentuk metabolit Nhydroksilasi.

18

Gambar 4. Bioaktivasi 2-asetilaminfluoren

3.4.3. Asetaminofen
Contoh yang baik tentang pentingnya ketersediaan jaringan
bahan kimia konjugasi ditemukan dengan Asetaminofen. Pada
dosis terapi normal, Asetaminofen aman, tetapi dapat hepatotoksik
pada dosis tinggi. Bagian utama dari Asetaminofen terkonjugasi
baik dengan sulfat atau asam glukuronat untuk membentuk
metabolit larut dalam air dan siap dikeluarkan dan hanya sejumlah
kecil yang produk antara reaktif yang diyakini quinoneimine
dibentuk oleh enzim CYP450.
Ketika dosis terapi Acetaminophen yang tertelan, sejumlah
kecil produk antara reaktif yang terbentuk secara efisien
dinonaktifkan oleh konjugasi dengan glutation. ketika dosis besar
tertelan, kofaktor sulfat dan glukuronida (PAPS dan UDPGA)
menjadi habis, sehingga lebih banyak Acetaminophen yang
dimetabolisme menjadi produk antara reaktif.
Selama glutation (GSH) tersedia sebagian besar produk
antara reaktif dapat didetoksifikasi. ketika konsentrasi glutathione
dalam hati juga menjadi habis, ikatan kovalen pada gugus sulfhidril
19

(-SH) berbagai protein seluler meningkat, sehingga terjadi nekrosis


hati. jika jumlah yang cukup besar Acetaminophen yang tertelan,
seperti pada overdosis narkoba dan upaya bunuh diri, bisa
menyebabkan kerusakan hatiyang parah dan kematian.

Gambar 5. Metabolisme Asetaminofen dan Pembentukan Metabolit Reaktif

3.4.4

Cycasin
Ketika tepung dari cycad nut yang hanya digunakan oleh
penduduk pulau-pulau Pasifik Selatan diberikan pada tikus,
menyebabkan kanker hati, ginjal dan saluran pencernaan. Senyawa
aktif pada cycasin adalah -glukosida dari metilazoksimetanol. Jika
senyawa ini diinjeksikan secara intraperitonial, dibandingkan

20

diberikan oral, atau jika senyawa diberikan pada tikus bebas


kuman, tidak ada tumor yang terbentuk. Mikroflora usus memiliki
enzim -glukosidase yang diperlukan untuk membentuk senyawa
aktif metilazoksimetanol yang kemudian diabsorpsi ke dalam
tubuh.

Gambar 6. Bioaktivasi cycasin oleh mikroflora usus menjadi


metilazoksimetanol yang karsinogen

Senyawa asal, cycasin, karsinogenik hanya jika diberikan


secara oral karena -glucosidase tidak terdapat pada jaringan
mamalia tetapi terdapat di usus. Bagaimanapun, hal ini
menunjukkan

bahwa

metabolit,

metilazoksimetanol,

bisa

menyebabkan tumor baik pada hewa normal dan bebas kuman


tanpa memperhatikan rute pemberian.

3.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi Toksisitas dari Metabolit Reaktif


Sejumlah faktor dapat mempengaruhi keseimbangan antara laju
pembentukan metabolit reaktif dan tingkat pemindahan, sehingga
mempengaruhi toksisitas. Faktor utama yang dibahas dalam makalah ini
adalah sebagai berikut.

Kadar Enzim Pengaktivasi


Isozim sitokrom P450 yang spesifik seringnya penting dalam
menentukan aktivasi metabolik senyawa asing. Seperti yang
disebutkan sebelumnya, banyak xenobiotik menginduksi bentuk-

21

bentuk spesifik isozim CYP450. adalah xenobiotik yang terlibat dalam


metabolisme zat penginduksi. Dengan demikian, zat karsinogen atau
toksikan lainnya memiliki potensi untuk menginduksi aktivasinya
sendiri. Selain itu, perbedaan jenis spesies dan jenis kelamin
mempengaruhi kadar enzim serta perbedaan spesifik dalam ekspresi
isozim tertentu.

Kadar Enzim Penkonyugasi.


Tingkat konjugasi enzim, seperti glutation transferase, juga diketahui
dipengaruhi oleh perbedaan gender dan spesies serta obat-obatan dan
faktor lingkungan lainnya. Semua faktor ini akan, pada gilirannya,
mempengaruhi proses detoksifikasi.

Kadar Kofaktor atau Bahan Kimia Pengkonyugasi.


Pengobatan hewan dengan N-acetylcysteine, prekursor glutation,
melindungi hewan terhadap nekrosis hati yang diinduksi oleh
asetaminofen, mungkin dengan cara mengurangi pengikatan kovalen
dengan makromolekul jaringan. Namun, menipisnya glutathion
berpotensi pengikatan kovalen mengikat dan hepatotoksisitas.

3.6.

Perkembangan Masa Depan


Prosedur yang ada untuk menilai keamanan dan potensi
karsinogenik dari bahan kimia menggunakan studi pada hewan
merupakan prosedur yang mahal dan juga menjadi kurang diterima oleh
masyarakat. Lagipula validitas ilmiah dari beberapa pengujian untuk
penilaian resiko pada manusia juga dipertanyakan.
Sekarang ini pengujian mutagenitas jangka pendek digunakan
secara luas sebagai alat prediksi awal dari mutagenisitas dan
karsinogenitas yang mungkin terjadi. Kebanyakan dari sistem ini
menggunakan pengujian organisme, sebagai contoh, bakteri yang
sistem enzimnya kurang cocok untuk bioaktivasi bahan kimia, dan oleh
karena itu sistem aktivasi eksogen digunakan. Biasanya fraksi post-

22

mitokondrial dari hati tikus, mengandung baik enzim fase I dan fase II,
digunakan sebagai sistem aktivasi.
Pertanyaan yang sangat penting adalah, seberapa banyak sistem
dari tikus ini mewakili situasi in-vivo yang sebenarnya, khususnya pada
manusia? Jika tidak menggunakan sistem ini, kemudian apa alternatif
yang lebih baik? Seperti yang disampaikan pada beberapa contoh,
bahan kimia yang toksik atau karsinogenik pada satu spesies atau
gender bisa saja tidak aktif pada yang lain, dan fenomena ini sering
berhubungan dengan komplemen dari enzim-enzim, baik aktivasi atau
detoksifikasi, yang diekspresikan pada organisme yang terpapar.
Faktor lain untuk mempertimbangkan kemampuan dari banyak
senyawa asing untuk secara selektif menginduksi enzim-enzim CYP
yang terlibat dalam metabolismenya, khususnya jika induksi ini
menghasilkan aktivasi dari senyawa. Dengan teknik molecular yang
kini tersedia, perkembangan yang memungkinkan sedang dibuat untuk
menggambarkan komplemen enzim dan isozim pada manusia dan
spesies laboratorium dan memahami mekanisme kontrolnya.
Area lainnya dari penelitian yang aktif dilakukan adalah
penggunaan sistem penggambaran in-vitro untuk meneliti oksidasi dari
bahan kimia asing (contohnya , bakteri yang mengandung gen-gen
untuk isozim CYP manusia yang khusus).
Kesimpulannya, dalam mempelajari toksisitas bahan kimia, jalur
dan kecepatan metabolisme demikian juga efek yang dihasilkan dari
faktor-faktor toksokinetik dan afinitas reseptor adalah sangat pentng
pada pemilihan spesies hewan dan desain percobaan. Oleh karena itu
sangat penting bahwa spesies hewan yang dipilih sebagai model bagi
manusia pada evaluasi keamanan, memetabolisme bahan kimia
pengujian dengan rute yang sama seperti pada manusia, dan lebih jauh
lagi, perbedaan-perbedaan kuantitatif dipertimbangkan pada interpretasi
data toksisitas hewan.

23

Metode penilaian resiko termasuk ekstrapolasi bahan kimia yang


toksik atau berpotensi karsinogenik dari satu spesies ke spesies yang
lain harus mempertimbangkan sifat-sifat metabolik dan toksokinetik
dari kedua spesies.

24

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Suatu zat menyebabkan efek toksik ketika masuk ke dalam tubuh
diabsorpsi, didistribusikan kemudian berikatan di reseptor (toksodinamika)
lalu menyebabkan efek toksik, kemudian dimetabolisme dan diekskresi.
Metabolisme bahan kimia tidak hanya dapat menghasilkan metabolit yang
non-toksik, yang lebih polar dan siap diekskresikan (detoksifikasi), tetapi juga
metabolit yang sangat reaktif, yang bisa berinteraksi dengan makromolekul
intraseluler yang vital dan menyebabkan toksisitas.
Sitokrom P450 monooksigenase (CYP) merupakan enzim paling penting
yang terlibat dalam oksidasi xenobiotik. Hal ini disebabkan karena banyaknya
CYP450 (terutama di hati), banyaknya isozim dari CYP450, dan kemampuan
P450 untuk diinduksi oleh senyawa xenobiotik.

25

DAFTAR PUSTAKA
Hodgson,E. 2004. A Textbook of Modern Toxicology, Third edition. WileyInterscience. New Jersey
Wirasuta,I. Niruri,R. 2006. Buku Ajar Toksikologi Umum. Jurusan Farmasi
FMIPA Universitas Udayana. Bali.

26

Anda mungkin juga menyukai