TOKSIKOLOGI
Metabolit Reaktif
11330047
11330048
11330049
11330051
11330052
11330053
11330058
11330059
Wahyudin
Siendy Restu N
Septi Damayanti
Darma Sangadji
Febry Eka S
Khanifah Dwi P
Dimas Ryan P
Farha E Kukihi
11330060
11330061
11330062
11330301
12330601
12330710
13330704
13330705
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga makalah ini bisa selesai dengan
baik. Makalah Metabolit Reaktif ini dibuat sebagai salah satu tugas untuk
memenuhi persyaratan dalam mata kuliah Toksikologi.
Makalah ini masih jauh untuk dikatakan sempurna baik dari segi materi
maupun dari teknik penulisan. Dalam penulisan makalah ini, kami merasa masih
banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi,
mengingat akan kemampuan yang kami miliki. Untuk itu kritik dan saran dari
semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan dan pengetahuan yang
lebih luas kepada pembaca khususnya mengenai Metabolit Reaktif dalam
toksikologi. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.
Hormat kami,
Jakarta, Oktober 2014
Penulis
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Suatu zat menyebabkan efek toksik ketika masuk ke dalam tubuh
diabsorpsi, didistribusikan kemudian berikatan di reseptor (toksodinamika)
lalu menyebabkan efek toksik, kemudian dimetabolisme dan diekskresi.
Proses metabolisme bertujuan untuk mengubah struktur toksikan secara
biokimia menggunakan enzim, menjadi senyawa yang tidak aktif lagi,
lebih polar dan dapat diekskresi oleh tubuh.
Namun ada juga zat asing inert yang masuk ke dalam tubuh, ketika
dimetabolisme justru membentuk metabolit yang aktif dan akhirnya
menyebabkan toksisitas pada tubuh atau disebut juga metabolit reaktif.
Antara pengambilan dari lingkungan dan ekskresi dari tubuh, banyak
senyawa
eksogen
(xenobiotik)
mengalami
metabolisme
menjadi
N, N-dimetil-4-aminoazobenzene (DAB),
bahan kimia ini merupakan bagian yang penting dari proses karsinogenik
ini.
Skema keseluruhan metabolisme untuk xenobiotik yang berpotensi
toksik diuraikan pada gambar di bawah ini.
1.2.2
Mahasiswa
mengetahui
tentang
metabolit
reaktif
yang
menyebabkan toksisitas
1.2.3
1.3.2
1.3.3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Toksikologi dan Racun
Secara sederhana dan ringkas, toksikologi dapat didefinisikan
sebagai kajian tentang hakikat dan mekanisme efek berbahaya (efek
toksik) berbagai bahan kimia terhadap makhluk hidup dan sistem biologik
lainnya. Toksikologi juga membahas penilaian kuantitatif tentang berat
dan kekerapan efek tersebut sehubungan dengan terpaparnya (exposed)
makhluk hidup.
Apabila zat kimia dikatakan berracun (toksik), maka kebanyakan
diartikan sebagai zat yang berpotensial memberikan efek berbahaya
terhadap mekanisme biologi tertentu pada suatu organisme. Sifat toksik
dari suatu senyawa ditentukan oleh: dosis, konsentrasi racun di reseptor
tempat kerja, sifat zat tersebut, kondisi bioorganisme atau sistem
bioorganisme, paparan terhadap organisme dan bentuk efek yang
ditimbulkan. Sehingga apabila menggunakan istilah
toksik
atau
istilah
relatif
yang
biasa
dipergunakan
dalam
informasi
tentang
mekanisme
biologi
yang
sedang
penekanan pada mekanisme efek berbahaya zat kimia itu dan berbagai
kondisi di mana efek berbahaya itu terjadi. Pada umumnya efek berbahaya
/ efek farmakologik timbul apabila terjadi interaksi antara zat kimia
(tokson atau zat aktif biologis) dengan reseptor. Terdapat dua aspek yang
harus diperhatikan dalam mempelajari interakasi antara zat kimia dengan
organisme hidup, yaitu kerja farmakon pada suatu organisme (aspek
farmakodinamik / toksodinamik) dan pengaruh organisme terhadap zat
aktif (aspek farmakokinetik / toksokinetik) aspek ini akan lebih detail
dibahas pada sub bahasan kerja toksik.
2.2 Perkembangan Toksikologi
Dalam perkembangan beradaban modern, masyarakat menuntut
perbaikan kondisi kesehatan dan kehidupan, diantaranya makanan bergizi,
mutu kesehatan yang tinggi, pakaian, dan sportasi. Untuk memenuhi
tujuan ini, berbagai jenis bahan kimia harus diproduksi dan digunakan,
banyak diantaranya dalam jumlah besar. Diperkirakan berribu-ribu bahan
kimia telah diproduksi secara komersial baik di negara-negara industri
maupun di negara berkembang. Melalui berbagai cara bahan kimia ini
kontak dengan penduduk, dari terlibatnya manusia pada proses produksi,
distribusi ke konsumen, hingga terakhir pada tingkat pemakai.
Meningkatnya jumlah penduduk dunia menuntut, salah satunya
meningkatnya jumlah produksi pangan. Dalam hal ini diperlukan bahan
kimia, seperti pupuk, pestisida, dan herbisida. Tidak jarang pemakaian
pestisida yang tidak sesuai dengan atuaran, atau berlebih justru memberi
beban pencemaran terhadap lingkungan, perubahan ekosistem, karena
pembasmian pada salah satu insteksida akan berefek pada rantai makanan
dari organisme tersebut, sehingga dapat juga mengakibatkan berkurangnya
atau bahkan musnahnya predator insek tersebut. Pemakaian pestisida, telah
ditengarai mengakibatkan mutasi genetika dari insektisida tersebut,
sehingga pada akhirnya melahirkan mutan insek yang justru resisten
terhadap pestisida jenis tertentu.
toksisitas
kronik
(menahun).
Petani
berkeinginan
dalam keadaan siap terabsorpsi menuju sistem sistemik. Fase ini sangat
ditentukan oleh faktor-faktor farmasetika dari sediaan farmasi.
Fase toksikinetik disebut juga dengan fase farmakokinetik. Setelah
xenobiotika berada dalam ketersediaan farmasetika, pada mana keadaan
xenobiotika siap untuk diabsorpsi menuju aliran darah atau pembuluh
limfe, maka xenobiotika tersebut akan bersama aliran darah atau limfe
didistribusikan ke seluruh tubuh dan ke tempat kerja toksik (reseptor).
Pada
saat
yang
bersamaan
sebagian
molekul
xenobitika
akan
Dari gambaran singkat di atas dapat digambarkan dengan jelas bahwa efek
toksik / farmakologik suatu xenobiotika tidak hanya ditentukan oleh sifat
toksokinetik xenobiotika, tetapi juga tergantung kepada faktor yang lain
seperti:
Bentuk farmasetika dan bahan tambahan yang digunakan,
Jenis dan tempat eksposisi,
Keterabsorpsian dan kecepatan absorpsi,
Distribusi xenobiotika dalam organisme,
Ikatan dan lokalisasi dalam jaringan,
Biotransformasi (proses metabolisme), dan
Keterekskresian dan kecepatan ekskresi, dimana semua faktor di atas
dapat dirangkum ke dalam parameter farmaseutika dan toksokinetika
(farmakokinetika).
10
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Enzim Aktivasi
Sebagian besar, jika tidak semua, enzim yang terlibat dalam metabolisme
xenobiotik membentuk metabolit reaktif (Tabel 1). Sistem enzim yang paling
sering terlibat dalam aktivasi xenobiotik adalah enzim yang mengkatalisis
reaksi oksidasi. Sitokrom P450 monooksigenase (CYP) merupakan enzim
paling penting yang terlibat dalam oksidasi xenobiotik. Hal ini disebabkan
karena banyaknya CYP450 (terutama di hati), banyaknya isozim dari
CYP450, dan kemampuan P450 untuk diinduksi oleh senyawa xenobiotik.
Tabel 1. Enzim-enzim Penting dalam Mengkatalisis Reaksi Aktivasi Metabolik
Jenis Reaksi
Oksidasi
Konjugasi
Dekonyugasi
Hidrolisis dan reduksi
Enzim
Sitokrom P450s
Prostaglandin sintetase (PGS)
Flavin Monooxygenases (FMO)
Alkohol dan Aldehida dehidrogenase
Transferase glutathion
Sulfotransferases
Glucoronidases
Sistein S-conjugate b-liase
Mikroflora usus: hidrolase reduktase
Meskipun enzim P450 yang paling melimpah dihati, enzim ini juga
terdapat dalam jaringan lain, termasuk pada kulit, ginjal, usus, paru-paru,
plasenta, dan mukosa hidung. Karena P450 ada dalam beberapa bentuk
isozim dengan kekhususan substrat yang berbeda, ada atau tidak adanya
isozim P450 tertentu dapat menyebabkan toksisitas pada jaringan tertentu.
Banyak obat dan senyawa asing lainnya diketahui bisa menginduksi satu atau
lebih dari isozim sitokrom P450, mengakibatkan peningkatan, penurunan atau
perubahan pada jalur metabolisme bahan kimia yang dimetabolisme oleh
isozim P450 yang terlibat. Contoh-contoh spesifik dari jenis interaksi
diberikan kemudian dalam bagian ini.
11
Selain aktivasi dikatalisis oleh sitokromP450, konjugasi fase dua, cooksidasi selama biosintesis prostaglandin, oksidasi oleh flavin yang
mengandung monooksigenase (FMO), dan metabolisme oleh mikroflora usus
juga dapat menyebabkan pembentukan produk beracun yang reaktif. Dengan
beberapa bahan kimia, hanya satu reaksi enzimatik yang terlibat, sedangkan
dengan senyawa lain, beberapa reaksi sering melibatkan beberapa jalur, yang
diperlukan untuk produksi metabolit reaktif utama.
kuinon, radikal bebas,oksigen jenis reaktif dan konjugasi tidak stabil. Gambar
3 memberikan contoh beberapa reaksi aktivasi, metabolit reaktif dibentuk dan
enzim yang mengkatalisa metabolit tersebut.
12
13
Short-lived metabolites
Metabolit ini tetap dalam sel atau berpindah hanya ke sel-sel yang dekat
saja. Pada kasus ini, pengikatan kovalen terbatas pada sel asal dan ke sel
terdekat.
Longer-lived metabolites
Metabolit ini dapat diangkut ke sel dan jaringan lain sehingga walaupun
situs aktivasinya di hati, tempat target bisa saja pada organ yang letaknya
jauh. Intermediet reaktif juga dapat diangkut ke jaringan-jaringan lain,
tidak dalam bentuk aslinya tetapi sebagai konjugat, yang kemudian
melepaskan intermediat reaktif di bawah kondisi tertentu pada jaringan
target. Sebagai contoh, amina aromatik karsinogenik dimetabolisme di hati
menjadi derivate N-hidroksilasi, yang setelah konjugasi glukuronida,
diangkut ke kandung kemih, di mana derivate N-hidroksi dilepaskan di
bawah kondisi asam dari urin.
14
Peroksidasi lipid
Radikal seperti CCl dihasilkan selama oksidasi karbon tetraklorida
yang dapat menyebabkan peroksidasi lipid dan kerusakan membran
lipid. Karena sifat kritis dari berbagai membran sel (inti, mitokondria,
lisosom, dll), peroksidasi lipid menjadi peristiwa penting dalam
nekrosis seluler.
15
3.3.3
Glutathion
Setelah metabolit reaktif terbentuk, mekanisme dalam sel dapat
membawa penghapusan cepat atau inaktivasi. Toksisitas kemudian
tergantung
pada
keseimbangan
antara
kecepatan
pembentukan
senyawa,
asetil-,
glutathione-,
glukuronil-,
atau
3.4
Aflatoxin B1
Alfatoxin B1 (AFB1) adalah salah satu mycotin yang
diproduksi oleh Aspergillus flavus sebagai bagian dari kelompok
parasit dan merupakan hepatotoksikan (racun pada organ hati)
terkenal dan hepatokarsinogen (zat karsinogenik pada organ hati).
Hal ini diterima secara umum bahwa zat aktif dari AFB1 yang
mengikat kovalen dengan DNA adalah 2,3-epoksida (Gbr. 4.2).
AFB1 diinduksi hepatotoksisitas dan karsinogenisitas yang
diketahui bervariasi antara spesies ternak dan hewan laboratorium.
Toksisitas selektif AFB1 tampaknya tergantung pada perbedaan
kuantitatif dalam pembentukan 2,3-epoksida, yang berhubungan
dengan komplemen enzim organisme tertentu.
16
Pembentukan Dihidrodiol
Tikus
0.7
Mencit C57
1.3
Marmut
2.0
Tikus diinduksi
3.3
Fenobarbital
Ayam
3.4.2
4.8
Asetilaminfluoren
Dalam kasus hepatokarsinogen 2-asetilaminofluorene (2AAF), dua langkah aktivasi diperlukan untuk membentuk
metabolit reaktif (gbr. 4.3). Reaksi awal, N-hidroksilasi, adalah
reaksi fase I tergantung CYP450, di mana sebagai reaksi kedua ,
menghasilkan pembentukan ester sulfat tidak stabil, adalah reaksi
17
siap
diekskresikan.
karsinogenik
Sebaliknya,
tikus
jantan
dan
betina
konyugasi
sulfat
2-AAF
menghasilkan
pembentukan
antara
aktivasi
dan
detoksifikasi
dan
juga
18
3.4.3. Asetaminofen
Contoh yang baik tentang pentingnya ketersediaan jaringan
bahan kimia konjugasi ditemukan dengan Asetaminofen. Pada
dosis terapi normal, Asetaminofen aman, tetapi dapat hepatotoksik
pada dosis tinggi. Bagian utama dari Asetaminofen terkonjugasi
baik dengan sulfat atau asam glukuronat untuk membentuk
metabolit larut dalam air dan siap dikeluarkan dan hanya sejumlah
kecil yang produk antara reaktif yang diyakini quinoneimine
dibentuk oleh enzim CYP450.
Ketika dosis terapi Acetaminophen yang tertelan, sejumlah
kecil produk antara reaktif yang terbentuk secara efisien
dinonaktifkan oleh konjugasi dengan glutation. ketika dosis besar
tertelan, kofaktor sulfat dan glukuronida (PAPS dan UDPGA)
menjadi habis, sehingga lebih banyak Acetaminophen yang
dimetabolisme menjadi produk antara reaktif.
Selama glutation (GSH) tersedia sebagian besar produk
antara reaktif dapat didetoksifikasi. ketika konsentrasi glutathione
dalam hati juga menjadi habis, ikatan kovalen pada gugus sulfhidril
19
3.4.4
Cycasin
Ketika tepung dari cycad nut yang hanya digunakan oleh
penduduk pulau-pulau Pasifik Selatan diberikan pada tikus,
menyebabkan kanker hati, ginjal dan saluran pencernaan. Senyawa
aktif pada cycasin adalah -glukosida dari metilazoksimetanol. Jika
senyawa ini diinjeksikan secara intraperitonial, dibandingkan
20
bahwa
metabolit,
metilazoksimetanol,
bisa
21
3.6.
22
mitokondrial dari hati tikus, mengandung baik enzim fase I dan fase II,
digunakan sebagai sistem aktivasi.
Pertanyaan yang sangat penting adalah, seberapa banyak sistem
dari tikus ini mewakili situasi in-vivo yang sebenarnya, khususnya pada
manusia? Jika tidak menggunakan sistem ini, kemudian apa alternatif
yang lebih baik? Seperti yang disampaikan pada beberapa contoh,
bahan kimia yang toksik atau karsinogenik pada satu spesies atau
gender bisa saja tidak aktif pada yang lain, dan fenomena ini sering
berhubungan dengan komplemen dari enzim-enzim, baik aktivasi atau
detoksifikasi, yang diekspresikan pada organisme yang terpapar.
Faktor lain untuk mempertimbangkan kemampuan dari banyak
senyawa asing untuk secara selektif menginduksi enzim-enzim CYP
yang terlibat dalam metabolismenya, khususnya jika induksi ini
menghasilkan aktivasi dari senyawa. Dengan teknik molecular yang
kini tersedia, perkembangan yang memungkinkan sedang dibuat untuk
menggambarkan komplemen enzim dan isozim pada manusia dan
spesies laboratorium dan memahami mekanisme kontrolnya.
Area lainnya dari penelitian yang aktif dilakukan adalah
penggunaan sistem penggambaran in-vitro untuk meneliti oksidasi dari
bahan kimia asing (contohnya , bakteri yang mengandung gen-gen
untuk isozim CYP manusia yang khusus).
Kesimpulannya, dalam mempelajari toksisitas bahan kimia, jalur
dan kecepatan metabolisme demikian juga efek yang dihasilkan dari
faktor-faktor toksokinetik dan afinitas reseptor adalah sangat pentng
pada pemilihan spesies hewan dan desain percobaan. Oleh karena itu
sangat penting bahwa spesies hewan yang dipilih sebagai model bagi
manusia pada evaluasi keamanan, memetabolisme bahan kimia
pengujian dengan rute yang sama seperti pada manusia, dan lebih jauh
lagi, perbedaan-perbedaan kuantitatif dipertimbangkan pada interpretasi
data toksisitas hewan.
23
24
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Suatu zat menyebabkan efek toksik ketika masuk ke dalam tubuh
diabsorpsi, didistribusikan kemudian berikatan di reseptor (toksodinamika)
lalu menyebabkan efek toksik, kemudian dimetabolisme dan diekskresi.
Metabolisme bahan kimia tidak hanya dapat menghasilkan metabolit yang
non-toksik, yang lebih polar dan siap diekskresikan (detoksifikasi), tetapi juga
metabolit yang sangat reaktif, yang bisa berinteraksi dengan makromolekul
intraseluler yang vital dan menyebabkan toksisitas.
Sitokrom P450 monooksigenase (CYP) merupakan enzim paling penting
yang terlibat dalam oksidasi xenobiotik. Hal ini disebabkan karena banyaknya
CYP450 (terutama di hati), banyaknya isozim dari CYP450, dan kemampuan
P450 untuk diinduksi oleh senyawa xenobiotik.
25
DAFTAR PUSTAKA
Hodgson,E. 2004. A Textbook of Modern Toxicology, Third edition. WileyInterscience. New Jersey
Wirasuta,I. Niruri,R. 2006. Buku Ajar Toksikologi Umum. Jurusan Farmasi
FMIPA Universitas Udayana. Bali.
26