Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN KASUS

STRUMA MULTI NODOSA NON TOKSIKA INTRATHORAKAL


Apa pilihan approach operasinya? Haruskah dilakukan Median Sternotomy?
Mochamad Aleq Sander, dr., M.Kes., SpB., FinaCS
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang
Jl. Bendungan Sutami 188A Malang 65145
e-mail: aleq.sander@yahoo.com
blog: bedahunmuh.wordpress.com
Abstract
Intrathoracal non toxic multi nodular struma is lumpy enlargement of thyroid gland
without hypothyroidism that extend from cervical thyroid gland into thoracal cavity. According
to anatomy location of thyroid, their name were substernal, retrosternal, mediastinal,
intrathoracal, plunging, anterior and posterior mediastinal, and aberrant mediastinal. The
origin of blood supply of mediastinal struma was inferior thyroidea artery, especially cases
from aorta, subclavia artery, internal mammary artery, or ima thyroidea artery. According to
Study got that seven patients with mediastinal struma had intrathoracal blood supply directly.
Surgery could cervical approach and/or thoracotomy according to anatomic location and
type of intrathoracal struma.
Keywords: intrathoracal struma
Abstrak
Struma multi nodosa non toksika intratorakal adalah pembesaran kelenjar tiroid yang tampak
berbenjol-benjol tanpa disertai tanda-tanda hipertiroidisme yang mengalami ekstensi kearah
inferior dari kelenjar tiroid servikal hingga masuk ke dalam rongga thoraks. Jaringan tiroid
yang berada di rongga toraks diberi nama sesuai tempat anatominya yaitu substernal, retrosternal,
mediastinal, intrathorakal, plunging, anterior dan posterior mediastinum, serta mediastinum
aberrant. Suplai darah untuk struma mediastinum biasanya dari arteri tiroidea inferior, pada
kasus tertentu suplai darah dapat berasal dari aorta, arteri subklavia, arteri mamaria interna,
atau dari arteri tiroidea ima. Hasil penelitian didapatkan bahwa dari tujuh orang yang mengalami
struma mediastinum ternyata memiliki sumber perdarahan langsung dari intrathorakal. Tindakan
operasinya bisa melalui cervical approach dan/atau thoracotomy, hal ini tergantung dari lokasi
anatomis dan tipe struma intratorakal yang diderita oleh pasien.
Kata kunci: struma intratorakal

PENDAHULUAN
Struma adalah setiap pembesaran
kelenjar tiroid yang disebabkan oleh
penambahan jaringan kelenjar tiroid yang
menghasilkan hormon tiroid dalam jumlah
banyak, sedangkan struma nodosa non
toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid
yang secara klinik teraba nodul satu atau

lebih tanpa disertai tanda-tanda


hipertiroidisme.
a.
Anatomi
Kelenjar tiroid mempunyai dua lobus
dan merupakan struktur yang kaya
vaskularisasi. Lobus yang terletak di sebelah
lateral trakea tepat dibawah laring dan
dihubungkan dengan jembatan jaringan

tiroid, disebut isthmus, yang terlentang pada


permukaan anterior tr akea. Secara
mikroskopik, tiroid terutama terdiri atas
folikel steroid, yang masing-masing
menyimpan materi koloid dibagian
pusatnya.
Folikel
memproduksi,
menyimpan, dan mensekresi kedua hormon
utama T3 (triodotironin) dan T4 (tiroksin).
Jika kelenjar secara aktif mengandung folikel
yang besar, yang masing-masing mempunyai
jumlah koloid yang disimpan dalam jumlah
besar sel-selnya, sel-sel parafolikular
mensekresi hormon kalsitonin. Hormon ini
dan dua hormon lainnya mempengaruhi
metabolisme kalsium (Brunicardi et al,
2010).
b.
Etiologi
Adanya gangguan fungsional dalam
pembentukan hormon tiroid merupakan
faktor penyebab pembesaran kelenjar tiroid
antara lain:
1. Defisiensi iodium
Pada umumnya, penderita penyakit
struma sering terdapat di daerah
yang kondisi air minum dan
tanahnya kurang mengandung
iodium,
misalnya
daerah
pegunungan.
2. Kelainan metabolik kongenital yang
menghambat sintesis hormon tiroid.
3. Penghambatan sintesis hormon oleh
zat kimia (seperti substansi dalam
kol, lobak, dan kacang kedelai).
4. Penghambatan sintesis hormon oleh
obat-obatan
(misalnya:
thiocarbamide, sulfonylurea, dan
lithium) (Brunicardi et al, 2010).
c.
Patofisiologi
Iodium merupakan semua bahan utama
yang dibutuhkan tubuh untuk pembentukan
hormon tiroid. Bahan yang mengandung
iodium diserap usus, masuk ke dalam
sirkulasi darah dan ditangkap paling banyak
oleh kelenjar tiroid. Dalam kelenjar, iodium
dioksida menjadi bentuk yang aktif yang
distimuler oleh Tiroid Stimulating Hormone
(TSH) kemudian disatukan menjadi molekul
tiroksin yang terjadi pada fase sel koloid.

Senyawa yang terbentuk dalam molekul


diiodotironin membentuk tiroksin (T4) dan
molekul triiodotironin (T3). Tiroksin (T4)
menunjukkan pengaturan umpan balik
negatif dari sekresi TSH dan bekerja
langsung pada tirotropihypofisis, sedang
triiodotironin (T3) merupakan hormon
metabolik tidak aktif. Beberapa obat dan
keadaan dapat mempengaruhi sintesis,
pelepasan, dan metabolisme tiroid sekaligus
menghambat sintesis tiroksin (T4) dan
melalui rangsangan umpan balik negatif
meningkatkan pelepasan TSH oleh kelenjar
hipofisis. Keadaan ini menyebabkan
pembesaran kelenjar tiroid (Brunicardi et al,
2010).
d.
Gejala-gejala
Pada penyakit struma nodosa nontoksik
tiroid membesar dengan lambat. Awalnya
kelenjar ini membesar secara difus dan
permukaan licin. Jika struma cukup besar,
akan menekan area trakea yang dapat
mengakibatkan gangguan pada respirasi dan
juga esofagus tertekan sehingga terjadi
gangguan menelan (Brunicardi et al, 2010).
e.
Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan atas dasar
adanya struma yang bernodul dan tidak
toksik, melalui:
1. Pada palpasi teraba batas yang
jelas, bernodul satu atau lebih,
konsistensinya kenyal.
2. Pada pemeriksaan laboratorium,
ditemukan serum T4 (tiroksin) dan
T3 (triiodotironin) dalam batas
normal.
3. Pada
pemer iksaan
USG
(ultrasonografi) dapat dibedakan
padat atau tidaknya nodul.
4. Kepastian histologi dapat
ditegakkan melalui biopsi yang
hanya dapat dilakukan oleh seorang
tenaga ahli yang berpengalaman
(Brunicardi et al, 2010).
f.
Pencegahan
Dengan pemberian kapsul minyak
beriodium terutama bagi penduduk di daerah
endemik sedang dan berat.

Edukasi, pr ogram ini bertujuan


merubah prilaku masyarakat, dalam hal pola
makan dan memasyarakatkan pemakaian
garam beriodium.
Penyuntikan lipidol dengan sasaran
adalah penduduk yang tinggal di daerah
endemik diberi suntikan 40% tiga tahun
sekali dengan dosis untuk orang dewasa dan
anak di atas enam tahun 1 cc, sedang kurang
dari enam tahun diber i 0,2-0,8 cc
(Brunicardi et al, 2010).
g.
Tindakan operasi
Pada struma nodosa non toksik yang
besar dapat dilakukan tindakan operasi bila
pengobatan tidak berhasil atau terjadi
gangguan misalnya: penekanan pada organ
sekitarnya, indikasi kosmetik, dan indikasi
keganasan yang pasti akan dicurigai
(Brunicardi et al, 2010).

LAPORAN KASUS
Seorang wanita usia 36 tahun
datang ke poli bedah RS Hasta Brata tingkat
IV Kota Batu Jawa Timur dengan keluhan
benjolan di leher bagian kiri depan sejak 3
tahun yang lalu. Benjolan awalnya sebesar
telor puyuh lalu membesar hingga sebesar
telor bebek. Keluhan tanpa disertai nyeri
menelan ataupun gangguan perubahan suara
menjadi serak. Pada pemeriksaan fisik
(gambar 1) tampak massa di leher kiri depan
dengan ukuran 10x7x4 cm, permukaan
berbenjol, konsistensi padat kenyal, batas
atas dan samping kanan-kiri tegas namun
batas bawah tidak jelas, nyeri tekan (-), dan
ikut bergerak saat penderita menelan. Pada
pemeriksaan kelenjar getah bening leher
tidak didapatkan pembesaran. Hasil
pemeriksaan laboratorium fungsi tiroid
didapatkan FT3 3,38 pg/mL, FT4 1,06 ng/
dL, dan TSH 0,728 IU/mL, ini
menunjukkan bahwa fungsi tiroid dalam
batas normal. Foto r onsen toraks
menunjukkan adanya soft tissue di
paratrakeal kiri setinggi C7-T4 yang
mendesak trakea ke kanan dan disimpulkan
suatu cervico thoracal struma. Pada

pemeriksaan USG didapatkan pembesaran


kelenjar tiroid bilateral dengan kalsifikasi (+)
di kedua lobus (gambar 2). Dari
pemeriksaan USG tersebut maka diputuskan
untuk dilakukan FNAB (Fine Needle
Aspiration Biopsy) untuk memperoleh
diagnosis patologi anatomi dan hasilnya
adalah suatu adenomatous goiter dengan
kelompok sel-sel atipik dan ahli PA
menyarakan untuk dilakukan konfirmasi
diagnostik dengan VC (Vries Coupe) saat
tindakan operasi. Berdasarkan pemeriksaan
fisik dan penunjang diatas maka disimpulkan
bahwa pasien tersebut menderita Struma
Multi Nodosa Non Toksika Bilateral
Intratorakal dengan diagnosis banding
(differential diagnosis) suatu keganasan
tiroid dan setelah dilakukan informed
consent kepada pasien dan keluarga maka
diputuskan untuk dilakukan operasi Sub
Total Thyroidectomy.
Operasi dilakukan dengan insisi
transverse sesuai lipatan kulit leher 2 jari
dari sternal notch sepanjang 7,5cm. Insisi
diperdalam lapis demi lapis sampai tampak
kelenjar tiroid. Hasil temuan operasi
didapatkan pembesaran bilateral kelenjar
tiroid dengan konsistensi sebagian padat
kenyal dan sebagian padat keras, berbenjolbenjol, batas tegas, dan berwarna kemerahan
(gambar 3). Dilakukan pengangkatan
sebagian besar kelenjar tiroid (Sub Total
Thyroidectomy) dengan membebaskan
kelenjar tiroid mulai dari pole atas dan
meligasi arteri tiroidea superior, lalu lobus
kanan dan kiri tiroid dengan mempreservasi
nervus laringus rekuren dan meligasi arteri
tiroidea ima. Kesulitan mulai dirasakan saat
membebaskan pole bawah kelenjar tiroid.
Hal ini disebabkan pole bawah tidak tampak
pada area operasi dan kelenjar tiroid
membesar kearah inferior menuju substernal sejauh 7cm. Diputuskan untuk
menambah posisi ekstensi leher pasien dan
memasang wound retractor pada sternum
serta posisi semifowler guna mendapatkan
lapangan operasi yang lebih leluasa untuk
melakukan pembebasan kelenjar tiroid sub-

sternal dari jaringan sekitarnya. Operator


sempat berpikir untuk melakukan
parasternal torakotomi untuk membebaskan
pole bawah kedua lobus kelenjar tiroid.
Namun setelah hamper 30 menit dicoba
untuk membebaskan kelenjar tiroid melalui
approach sub-sternal akhirnya kelenjar
tiroid dapat diangkat dengan menyisakan
pole atas lobus kanan kelenjar tiroid untuk
kebutuhan metabolisme tubuh serta jaringan
paratiroid. Setelah jaringan tiroid terangkat
didapatkan ukuran 14x7x5cm, tampak
permukaannya berbenjol-benjol, dan setelah
dibelah didapatkan bagian-bagian yang
keras (kalsifikasi) berwarna putih
disekeliling kelenjar serta fokus-fokus

nekr osis didalamnya (gambar 4).


Per darahan
dihentikan
dengan

electrocautery dan luka operasi dicuci


dengan NaCl 0,9% steril sampai bersih,
kemudian dijahit lapis demi lapis dengan
meninggalkan 1 buah vaccum drain dan
operasi selesai (gambar 5).

DISKUSI
Untuk menegakkan diagnosis
apakah suatu tumor kelenjar tiroid
merupakan tumor jinak atau ganas
diperlukan pemeriksaan patologi anatomi
dengan teknik FNAB (Fine Needle
Aspiration Biopsy). Namun demikian
ada keterbatasan penggunaan FNAB
yaitu apabila hasilnya adalah suatu
Karsinoma Tiroid Folikular maka hasil
PA tersebut tidak bisa digunakan sebagai
patokan karena gambaran keganasan
tersebut juga dijumpai pada Adenoma
Folikular maupun Adenomatous Goiter,
yang membedakan jinak atau ganas
adalah adanya invasi sel-sel kanker ke
intrakapsular atau int ravascular
(Brunicardi et al, 2010).
Pada kasus ini sudah diketahui
bahwa pasien menderita struma
intratorakal (substernal struma) dari hasil
pemeriksaan klinis dan radiologis yang
menyatakan suatu cervico-thoracal
struma. Sejak awal sudah diperkirakan
kemungkinan kesulitan operasi yang
akan dihadapi terutama saat
membebaskan pole bawah kelenjar tiroid
yang masuk ke dibawah sternum. Ahli
bedah sudah melakukan informed
consent kepada keluarga unt uk
kemungkinan dilakukan t indakan
torakotomi sebagai alternatif terakhir
apabila terjadi perlengketan hebat
substernal. Namun demikian perlu
diwaspadai adanya kalsifikasi pada
kelenjar tiroid baik dari hasil foto ronsen
soft tissue leher dan USG, hal ini
merupakan pertanyaan besar bagi ahli
bedah apakah kalsifikasi tersebut
menunjukkan tanda keganasan kelenjar
tiroid atau apakah kalsifikasi tersebut
menunjukkan kronisitas dari struma.
Mengapa demikian? karena apabila
ternyata itu suatu keganasan maka akan
sangat berbahaya dalam proses
pembebasan massa tumor mengingat

ikatan antar sel kanker sangat lemah dan


mudah lepas lalu mengadakan infiltrasi
ke jaringan disekitarnya bahkan
metast asis jauh. Sehingga perlu
dilakukan pembuatan diagnosis pasti
sebelum tindakan operasi yaitu dengan
FNAB, dan ternyata hasilnya adalah
suatu adenomatous goiter (pembesaran
jinak kelenjar tiroid). Namun demikian
ternyata ahli Patologi Anatomi (PA) juga
menemukan adanya sel-sel atipik yang
biasanya sering dit emukan pada
keganasan, sehingga menyarankan untuk
dilakukan tindakan vries coupe (frozen
section) saat operasi, karena dicurigai
kemungkinan adanya fokus-fokus
keganasan dalam massa tumor. Atas
rekomendasi tersebut maka ahli bedah
memberitahukan kepada ahli PA bahwa
tidak perlu dilakukan tersebut karena
pada pasien akan dilakukan sub total
thyroidect omy yaitu pengambilan
sebagian besar kelenjar tiroid dengan
menyisakan 2-4 gram kelenjar dimana hal
ini dilakukan juga untuk keganasan
kelenjar t iroid. Kalaupun hasil
pemeriksaan PA terhadap jaringan tiroid
pasca operasi adalah keganasan maka
bisa dilakukan ajuvant therapy berupa
radioterapi (ablasio I131). Ternyata hasil
pemeriksaan PA jaringan tiroid pasca
operasi tidak ditemukan sel-sel ganas,
sehingga tidak diperlukan radioterapi.
Penting unt uk diperhatikan
adalah saat pembebasan massa tumor
kelenjar tiroid substernal, disini harus
diusahakan sedapat mungkin ahli bedah
dapat leluasa melihat massa tumor dan
jaringan disekitarnya mengingat bahwa
di samping kanan-kiri massa tumor
terdapat arteri dan vena mamaria interna
(internal thoracic artery) dan di
posterior massa tumor t erdapat
pembuluh darah besar yang masuk ke
jantung yaitu vena cava superior, dimana
bila terjadi ruptur pada pembuluh darah

tersebut akan menyebabkan perdarahan


hebat sampai syok hipovolemik.
Sebagaimana kita ketahui
bersama bahwa struma (goiter) terjadi
karena inadequate kelenjar tiroid dalam
menghasilkan hormon tiroid, disini juga
terjadi peningkatan sekresi Thyroid
Stimulating Hormone (TSH). Insidensi
terjadinya substernal goiter bervariasi
0,121%, faktor yang berpengaruh
antara lain: endemic goiter, kekurangan
iodium, dan keterlambatan dalam
penanganan pembedahan (Devita et al,
2008).
Pada penelitian di Universitas
Michigan (19721982) dari 872 orang
yang dilakukan thyroidectomy (Allo &
Thompson), ada 50 pasien dengan
substernal goiter, dan hampir semua
pasien mengeluh goiter untuk waktu
yang cukup lama (Devita et al, 2008).
Jaringan tiroid yang berada di
rongga toraks diberi nama sesuai tempat
anatominya: substernal, retrosternal,
mediastinal, intrathoracal, plunging,
anterior dan posterior mediastinum,
mediastinum aberrant.
Falor et al membagi klasifikasi
untuk substernal goiter menjadi goiter
intratorakal sekunder, jika goiter berasal
dari cervical dan menerima vaskularisasi
dari arteri tiroidea inferior. Goiter
intratorakal primer jika terjadi dari
kelenjar tiroid ektopik yang terdapat di
mediastinum dan mendapatkan
vaskularisasi dari arteri intratorakal dan
drainase ke vena intratorakal. Masingmasing dibagi lagi menjadi anterior dan
posterior mediastinal goiter (Devita et
al, 2008).
Berdasarkan klasifikasi ini Falor
et al menarik kesimpulan bahwa semua
goiter intratorakal sekunder anterior dan
kebanyakan goiter intratorakal sekunder
posterior dapat dikeluarkan/dioperasi
melalui cervical approach. Hampir

semua goiter intratorakal primer


memerlukan tindakan thoracotomy
(torakotomi kanan posterolateral atau
sternotomi) (Devita et al, 2008).
Higgins membaginya menjadi:
intratorakal murni tanpa komponen
cervical, parsial intratorakal (>50 %
intratorakal) dan substernal dimana
memiliki komponen mediastinum dan
cervical (>50 % di cervical) (Devita et
al, 2008).
Gambaran patologi dari
substernal goiter pada umumnya adalah
jinak (mayoritas adalah multinodular
goiter) diikuti follicular adenoma dan
thyroiditis. Katlic et al meneliti dimana
dari 80 kasus ternyata 51% adalah
multinodular goiter, 45% follicular
adenoma, 5% Hashimotos thyroiditis
dan hanya 2 orang pasien yang
patologinya adalah papillary carcinoma
(Devita et al, 2008).
Ellis et al melaporkan ternyata
goiter intratorakal terdapat lebih banyak
sebelah kanan terutama jika terletak di
mediastinum posterior yaitu sebanyak 18
dari 24 kasus yang mereka t elit i.
Demikian juga menurut Rietz dan
Werner, Johnston dan Twente, Falor et
al, dan Lindskog bahwa lobus kanan
justru ebih sering (Devita et al, 2008).
Menurut Deandrade, goiter
mediastinum kebanyakakan terletak di
anterior, dimana hanya 9,9% kasus yang
ia teliti terletak di mediastinum posterior
(128 kasus) dari jumlah seluruh kasus
1300. Hal ini juga disetujui oleh
Georgiadis et al, Cho et al, Sand et al,
Rietz dan Werner (Devita et al, 2008).
Kebanyakan pasien dengan
substernal goiter tidak mengeluhkan
adanya gejala (asymptomatic) yaitu
sebanyak 28% dari 29 kasus menurut
Lamke et al dan 41% dari 70 kasus
menurut Cho et al. Gejala yang timbul

bergantung dari organ aerodigestif mana


yang tertekan oleh massa (Falk S, 1997).
Meskipun kebanyakan pasien
akan mengeluh adanya benjolan di leher,
namun pada sebagian kasus bisa saja
tidak terdapat massa di leher namun
semua berada di mediastinum (goiter
plongeont) dalam hal ini pasien hanya
mengeluh sulit menelan atau batukbatuk. Beberapa pasien akan mengeluh
nocturnal choking, batuk, sesak, asma,
dan penyakit paru obstruksi. Kadang
dapat terjadi paralisis dari pita suara, jika
nervus recurrent laryngeus teregang,
terutama bila goiter terjadi di sebelah
kanan, namun paralisis ini biasanya
reversible setelah goiter diterapi secara
bedah (diangkat) (Falk S, 1997).
Menurut Thompson, 48 dari 50
kasus memiliki gejala antara lain: batuk,
wheezing, sesak saat berbaring,
disphagia, suara serak, penurunan berat
badan, thyrotoxicosis, dan sindroma vena
cava superior (Falk S, 1997).
Mayoritas pasien dengan
substernal goiter adalah euthyroid.
Hanya sedikit yang menunjukan gejala
hyperthyroid (Falk S, 1997).
Diferensial diagnosis dari massa
di mediastinum anterior termasuk
thymoma, lymphoma, substernal goiter,
teratoma, lesi vaskular, metastasis
karsinoma, kista dermoid, tumor
neurogenik, kista bronkogenik (Falk S,
1997)
CT scan sangat baik dilakukan
karena dapat melihat apakah massa di
intratorakal berhubungan dengan yang di
cervical, dapat melihat jelas batasnya,
melihat jelas adanya kalsifikasi, dan dapat
menentukan approach operatif yang
akan dilakukan (Falk S, 1997)
Hampir
sebagian
besar
substernal goiter dapat diangkat secara
bedah (resectable) lewat sayat an

cervical, hanya kasus tertentu yang


memerlukan sternotomy atau kombinasi
sayatan cervical dan sternotomy. Adam
membuat kriteria untuk indikasi
dilakukan sternotomi pada substernal
goiter yaitu:
1.

Substernal goiter yang sangat


besar.
2.
Kemungkinan suatu karsinoma.
3.
Adanya sindroma vena cava
superior.
4.
Perlu untuk dilakukan
eksplorasi rongga toraks terhadap
kelainan lainnya.
Sand et al menambahkan
kriteria sternotomy ini sebagai berikut:
1.
Goiter intrathoracal recurrent.
2.
Bila dipikirkan tindakan traksi
dapat membahayakan nervus
recurrent laryngeus, arteri dan vena
tiroidea inferior, atau paratiroid.
3.
Pada kasus dimana batas bawah
dari massa tidak dapat dipalpasi
4.
Pasien dengan obstruksi jalan
nafas (Falk S, 1997).
KESIMPULAN
1. Struma (Goiter) multinodosa
intratorakal dapat dilakukan
tindakan operasi melalui cervical
approach (insisi di daerah leher
ant erior)
apabila
t ipe
anatomisnya adalah goiter
int ratorakal sekunder baik
anterior ataupun posterior.
2. Thoracotomy atau sternotomy
dilakukan
pada
goiter
intratorakal sekunder apabila
massa tumor di substernal sangat
besar atau apabila ada komplikasi
berupa vena cava superior
syndrome atau obstruksi jalan
napas.
3. Kalsifikasi yang terjadi pada
massa tumor bisa terjadi akibat
degenerasi keganasan (kanker)
ataupun kronisitas dari tumor

jinak kelenjar tiroid, sehingga


diperlukan pemeriksaan patologi
anatomi untuk membuktikan
jinak atau ganas.
SARAN
1. Untuk menegakkan diagnosis
tumor kelenjar t iroid harus
digunakan pemeriksaan patologi
anatomi baik pre-op, intra-op,
ataupun post-op.
2. Struma intratorakal dapat
dilakukan operasi melalui
cervical approach asalkan ahli
bedah dapat melihat secara jelas
lapangan operasi (massa tumor
dan jaringan sekitarnya).
Pembebasan massa tumor dilakukan
mulai pole atas, thyroid body, dan
dilanjutkan menyusuri pole
bawah kelenjar tiroid yang
berada di substernal dengan
mempreservasi pembuluh darah
besar di mediastinum anterior.

DAFTAR PUSTAKA
Brunicardi JH, Andersen DK, Billiar TR,
Dunn DL, Hunter JG, Matthews JB.
Thyroid, Parathyroid, and Adrenal
in Schwartz Principles of Surgery. 9th
ed. the McGrawHill Companies,
Chapter 38; 2010.
Devita, Hellman, Rosenbergs.
Neoplasm of The Mediastinum in
Principles and Practice of
Oncology. 8th ed, Lippincott
Williams & Wilkins, 2008.
Falk S. Management Substernal
Thyroid in Thyroid Disease in
Endocrinology, Surgery, Nuclear
Medicine, and Radiotherapy. 2nd
edi, Lippincott Raven Publisher,
1997.

Anda mungkin juga menyukai