Anda di halaman 1dari 16

PEMANFAATAN UBI JALAR

PEMANFAATAN UBI JALAR


Latar belakang
Ubi jalar (Ipomoea batatas) merupakan salah satu tanaman yang mempunyai potensi besar di Indonesia. Areal
panen ubi jalar di Indonesia tiap tahun seluas 229.000 hektar, tersebar di seluruh propinsi, baik di lahan sawah
maupun tegalan dengan produksi rata-rata nasional 10 ton per hektar (Khudori, 2001). Penghasil utama ubi jalar di
Indonesia adalah Jawa dan Irian Jaya yang menempati porsi sekitar 59persen.Ubi jalar sangat penting dalam
tatanan penganekaragaman pangan. Ubi jalar merupakan komoditi yang potensial untuk bahan pangan dan bahan
baku industri apabila dilihat dari kandungan karbohidrat, umur panen yang relatif pendek, dan mudahnya tanaman ini
untuk
beradaptasi
terhadap
faktor
lingkungan
dibandingkan
tanaman
lain.
Peningkatan produksi ubi jalar di Indonesia pada umumnya dan pada khususnya dapat didorong melalui
pengembangan agroindustri pengolahan hasil panen menjadi produk-produk yang unggul, menarik, dan awet
sehingga
laku
di
pasaran,
baik
dalam
negeri
maupun
pasar
luar
negeri
(ekspor).
Saat ini usaha pengolahan ubi jalar di Indonesia relatif sedikit dan umumnya masih diusahakan dalam skala yang
relatif kecil dengan manajemen yang sederhana. Hal ini diakibatkan masyarakat kurang mengetahui potensi-potensi
yang ada pada usaha pengolahan ubi jalar serta proses penanganan ubi jalar yang baik dan benar untuk
meningkatkan kualitas produk. Berdasarkan hal tersebut di atas maka perlu adanya suatu upaya untuk menggali
potensi-potensi agroindustri atau usaha pengolahan ubi jalar agar usaha pengolahan ini dapat dikembangkan.
Ubi Jalar
Ubi jalar atau ketela rambat atau sweet potato diduga berasal dari benua Amerika. Para ahli botani dan pertanian
memperkirakan daerah asal tanaman ubijalar adalah Selandia Baru, Polinesia, dan Amerika bagian tengah. Ubijalar
menyebar ke seluruh dunia terutama negara-negara beriklim tropika, diperkirakan pada abad ke-16. Orang-orang
Spanyol dianggap berjasa menyebarkan ubijalar ke kawasan Asia terutama Filipina, Jepang dan Indonesia
(Direktorat Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, 2002). Sistematika (taksonomi) tumbuhan, tanaman ubijalar
diklasifikasikan
sebagai
berikut
(Rukmana,
1997):
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Convolvulales
Famili : Convolvulaceae
Genus : Ipomoea

Spesies : Ipomoea batatas.


Ubi jalar adalah tanaman yang tumbuh baik di daerah beriklim panas dan lembab, dengan suhu optimum 27C dan
lama penyinaran 11-12 jam per hari. Tanaman ini dapat tumbuh sampai ketinggian 1.000 meter dari permukaan laut.
Ubi jalar tidak membutuhkan tanah subur untuk media tumbuhnya. Umur panen ubi jalar pada dataran rendah adalah
16 minggu, sedangkan untuk dataran tinggi 24-25 minggu (Wargiono, 1989). Panen ubi jalar yang ideal dimulai
pada umur 3 bulan, dengan penundaan paling lambat sampai umur 4 bulan. Panen pada umur lebih dari 4 bulan,
selain resiko serangan hama boleng cukup tinggi, juga tidak akan memberikan kenaikan hasil ubi. Panen yang
dilakukan melebihi umur simpan optimal dapat menurunkan kualitasnya. Pemanenan diusahakan tidak
mengakibatkan luka dan memar pada umbi agar mendapat kualitas yang baik (Pantastico, 1986).
Pada tahun 1960-an penanaman ubi jalar sudah meluas ke seluruh provinsi di Indonesia. Pada tahun 1968
Indonesia merupakan negara penghasil ubi jalar nomor empat di dunia. Sentra produksi ubi jalar adalah Propinsi
Jawa
Barat,
Jawa
Tengah,
Jawa
Timur,
Irian
Jaya,
dan
Sumatra
Utara.
Jenis-jenis Ubi jalar
Varietas atau kultivar atau klon ubi jalar yang ditanam di berbagai daerah jumlahnya cukup banyak, antara lain:
lampeneng, sawo, cilembu, rambo, SQ-27, jahe, kleneng, gedang, tumpuk, georgia, layang-layang, karya, daya,
borobudur,
prambanan,
mendut,
dan
kalasan.
Varietas

yang

digolongkan

sebagai

varietas

unggul

harus

memenuhi

sebagai

persyaratan
berikut:

a) Berdaya hasil tinggi, di atas 30 ton/hektar.


b) Berumur pendek (genjah) antara 3-4 bulan.
c) Rasa ubi enak dan manis.
d) Tahan terhadap hama penggerek ubi (Cylas sp.) dan penyakit kudis oleh cendawan Elsinoe sp.
e) Kadar karotin tinggi di atas 10 mg/100 gram.
f) Keadaan serat ubi relatif rendah.
Menurut Sumartono (1983), pemilihan klon biasanya disesuaikan dengan pemanfaatannya. Bila ubi jalar akan
dimanfaatkan sebagai bahan pangan, maka mutu tanak lebih diperhatikan dibanding hasil panen. Sebaliknya apabila
ubi jalar akan digunakan sebgai bahan baku industry maka dipilih ubi jalar yang memiliki hasil tinggi dan tahan factor
lingkungan
serta
tetap
stabil
dalam
penyimpanan.
Varietas unggul ubi jalar yang dianjurkan adalah daya, prambanan, borobudur, mendut, dan kalasan. Deskripsi
masing-masing
varietas
unggul
ubi
jalar
adalah
sebagai
berikut
:
a) Daya

Varietas ini merupakan hasil persilangan antara varietas (kultivar) putri selatan x jonggol.

Potensi hasil antara 25-35 ton per hektar.

Umur panen 110 hari setelah tanam.

Kulit dan daging ubi berwarna jingga muda.

Rasa ubi manis dan agak berair.

Varietas tahan terhadap penyakit kudis atau scab.

b) Prambanan

Diperoleh dari hasil persilangan antara varietas daya x centenial II.

Potensi hasil antara 25-35 ton per hektar.

Umur panen 135 hari setelah tanam.

Kulit dan daging ubi berwarna jingga.

Rasa ubi enak dan manis.

6. Varietas tahan terhadap penyakit kudis atau scab.

c) Borobudur

Varietas ini merupakan hasil persilangan antara varietas daya x philippina.

Potensi hasil antara 25-35 ton per ha.

Kulit dan daging ubi berwarna jingga.

Umur panen 120 hari setelah tanam.

Ubi berasa manis.

Varietas tahan terhadap penyakit kudis atau scab.

d) Mendut

Varietas ini berasal dari klon MLG 12653 introduksi asal IITA, Nigeria tahun 1984.

Potensi hasil antara 25-50 ton per ha.

Umur panen 125 hari ssetelah tanam.

Rasa ubi manis.

Varietas tahan terhadap penyakit kudis atau scab.

e) Kalasan

Varietas diintroduksi dari Taiwan.

Potensi hasil antara 31,2-42,5 ton/ha atau rata-rata 40 ton/ha.

Umur panen 95-100 hari setelah tanam.

Warna kulit ubi cokelat muda, sedangkan daging ubi berwarna orange muda (kuning).

Rasa ubi agak manis, tekstur sedang, dan agak berair.

Varietas agak tahan terhadap hama penggerek ubi (Cylas sp.).

Varietas cocok ditanam di daerah kering sampai basah, dan dapat beradaptasi di lahan marjinal.

Sifat fisik dan komposisi Kimia Ubi Jalar


Sifat fisik
Ubi jalar mempunyai sifat fisik seperti bentuk, warna kulit, dan daging serta tekstur yang bervariasi menurut
varietasnya. Bentuk dan ukuran umbi merupakan criteria mutu yang langsung mempengaruhi harga. Bentuk umbi
yang lonjong dan tidak banyak benjolan akan memudahkan proses pengupasan. Ukuran umbi yang sedang dengan
berat 200-250 gram dan seragam membutuhkan waktu pengupasan yang relatif cepat disbanding umbi yang kecil
atau
besar
(Darmadjati dkk.,1991).
Menurut Antarlina (1999), kulit umbi dibedakan tebal dan tipis. Kandungan getahnya ada yang bergetah banyak,
sedang, dan sedikit. Warna kulit umbi ada yang putih, kuning, merah, dan ungu. Bentuknya dapat dibedakan bulat
dan lonjong dengan permukaan rata dan tidak rata. Warna daging umbi menyebabkan perbedaan sifat sensoris, fisik,
dan
kimia
umbi
maupun
produk
olahannya.
Menurut

Onwueme

(1978),

berdasarkan

tekstur

umbinya

setelah

masak

dibedakan

menjadi

Umbi dengan tekstur kering dengan kandungan air kurang dari 60 %, bila direbus daging umbinya
berasa agak kering seperti bertepung (firm dry).

Umbi dengan tekstur lunak (soft, gelatinous) memiliki kandungan air lebih besar dari 70% yang
termasuk ubi jalar basah.

Tekstur sangat keras (coarse) yang hanya cocok untuk pakan ternak atau digunakan dalam
industry.

Komposisi Kimia

Tabel 1. Kandungan gizi dalam tiap 100 gram ubi jalar segar

No.

Kandungan gizi

Banyaknya dalam umbi


Putih

Merah

Kuning *)

Kalori (kal)

123,00

123,00

136,00

Protein (g)

1,80

1,80

1,10

Lemak (g)

0,70

0,70

0,40

Karbohidrat (g)

27,90

27,90

32,30

Kalsium (mg)

30,00

30,00

57,00

Fosfor (mg)

49,00

49,00

52,00

Zat besi (mg)

0,70

0,70

0,70

Natrium (mg)

5,00

Kalium (mg)

393,00

10

Niacin (mg)

0,60

11

Vitamin A (SI)

60,00

7.700,00

900,00

12

Vitamin B1 (mg)

0,90

0,90

0,10

13

Vitamin B2 (mg)

0,04

14

Vitamin C (mg)

22,00

22,0

35,00

15

Air (g)

68,50

68,50

16

Bagian yang dapat dimakan (%)

86,00

86,00

Keterangan : ) Food and Nutrition Research Center Handbook I, Manila


*

-) tidak ada data


Sumber : Direktorat Gizi depkes RI, 1981
Kandungan pati ubi jalar dipengaruhi oleh umur tanaman. Semakin meningkat umur panen, kandungan pati umbi
juga semakin meningkat, tetapi setelah mencapai titik tertentu kandungan patinya akan semakin menurun. Hal ini
sesuai dengan fase pertumbuhan ubi jalar di mana saat awal pertumbuhan terjadi pemanjangan dan pertumbuhan
cabang-cabang baru. Semakin banyak cabang, permukaan daun makin luas, sehingga penyerapan sinar matahari
semakin tinggi. Akibatnya, diperoleh hasil fotosintesa (berupa pati) yang cukup banyak. Namun, semakin tua umur
tanaman, aktifitas tanaman semakin menurun. Fenomena ini mengakibatkan kadar pati umbi akan menurun dengan
semakin
tua
umur
umbi
(Edmond andAmmerman,
1971 dalam Antarlina
1991).
Zat anti nutrisi
Ubi jalar juga mengandung beberapa zat anti gizi dan penurun cita rasa yang memberikan pengaruh negative
terhadap preferensi ubi jalar. Anti gizi utama dalam ubi jalar adalah tripsin inhibitor yang bersifat menghambat kerja
tripsin sebagai pemecah protein. Akibatnya adalah pencernaan protein dalam usus akan terhambat, sehingga
menurunkan
tingkat
pemecahan
protein
dalam
tubuh
(Bradbury et
al.,
1988).
Komponen lain yang kurang disukai dalam ubi jalar adalah senyawa penyebab flatulensi. Penyebab flatulensi
umumnya adalah senyawa karbohidrat yang tidak tercerna, kemudian difermentasi oleh bakteri perut menghasilkan

gas yang tidak tercerna, kemudian difermentasi oleh bakteri perut menghasilkan gas H 2dan
CO2 (Truong et.al., 1992). Hasil penelitian di AVRDC, Taiwan diketahui bahwa pati yang terisolasi dari ubi jalar,
kentang, dan pisang menunjukkan sifat penyebab flatulensi, tetapi dengan pemasakan, sifat pembentukan gas
tersebut dapat diturunkan. Diduga, penyebab timbulnya flatulensi dari ubi jalar rebus bukan dari pati, tetapi dari
komponen
lain
seperti
serat edible (Tsou et.
al.,
1989).
Pigmen ubi jalar
Ubi jalar mengndung sejumlah pigmen diantaranya adalah : karotenoid, antosianin, tannin, dan sebagainya.
Karotenoid
Menurut Winarno (1985), karotenoid merupakan kelompok pigmen yang berwarna kuning, oranye, merah oranye.
Karotenoid terdapat dalam kloroplas (0,5%) bersama-sama dengan klorofil, terutama pada permukaan atas daun,
dekat dengan dinding sel palisade. Karotenoid bersifat larut minyak, sehingga kerusakan karotenoid berkaitan
dengan
kerusakan
lemak
dalam
bahan
pangan.
Karotenoid pada ubi jalar terdapat pada kulit dan daging umbi. Ubi jalar yang mempunyai kulit berwarna merah muda
mempunyai -karoten sebagai pigmen karotenoid yang lebih besar dibandingkan umbi yang berkulit putih.
Karotenoid juga merupakan pigmen utama ubi jalar yang mempunyai daging umbi berwarna kuning sampai oranye
(Klaui and Baurernfiend,
1981).
Antosianin
Antosianin tergolong pigmen yang disebut flavonoid yang pada umumnya larut dalam air. Warna pigmen antosianin
adalah merah, biru, dan violet. Pigmen antosianin menyebabkan warna ungu pada buah, sayur, dan daging umbi.
Pada pH rendah pigmen ini berwarna merah dan pada pH tinggi berubah menjadi ungu dan kemudian biru (Winarno,
1985).
Pati
Menurut Cecil et. al. (1982). Karakteristik pati ubi jalar seperti pada tabel 2.
Karakteristik

Kuantitas

Bentuk granula

Poligonal

Ukuran granula ()

15 100

Amilosa (%)

24

Daya mengembang

1000
0

Suhu awal gelatinisasi ( C)

56

Sumber : Cecil et. al. (1982)


Kadar amilosa yang tinggi akan meningkatkan absorbsi air tetapi menyebabkan penurunan daya mengembang pati
selama pemasakan. Kapasitas absorbs air tergantung pada jenis pati. Kapasitas absorbsi dari pati yang berasal dari
batang atau umbi lebih besar dari pati biji-bijian, oleh karena itu daya mengembang pati ubi jalar semakin besar.
Factor lain yang berpengaruh pada absorbsi air adalah kandungan amilosa-amilopektin, ukuran dan bentuk granula

(Widowati, dkk.

1997).

Penyimpanan Ubi Jalar


Masalah utama kerusakan ubi jalar adalah karena tidak tahan lama dalam masa penyimpanan. Ubi jalar apabila
dibiarkan selama 10-14 hari setelah panen akan mengalami susut bobot, karena kehilangan air. Disamping itu juga
terjadi penurunan karbohidrat (pati), serta kerusakan akibat infeksi jamur maupun serangga sehingga dapat
menurunkan
kualitas
dan
tidak
layak
dikonsumsi
(Antarlina,
1988).
Tingkat kerusakan pasca panen sangat berbeda dan banyak sekali dipengaruhi oleh factor-faktor dalam, seperti klon,
umur panen. Tingkat kerusakan pasca panen juga dipengaruhi oleh factor luar, seperti kelembaban, suhu ruang
penyimpanan
dan
kecepatan
aliran
udara
(Kumalaningsih,
1990).
Penyimpanan pada suhu kamar dengan kelembaban sekitar 80 %, lebih baik dibanding kelembaban 87 % karena
akan terjadi penurunan rendemen sekitar 8-10 % akibat terbentuknya gula (Kumalaningsih, 1994). Collins dan Walter
(1985) mengatakan bahwa selama penyimpanan, kadar pati mengalami penurunan karena metabolisme sedangkan
gula sederhana mengalami peningkatan. Proses tersebut dipengaruhi adanya aktifitas enzim amilolitik yang ada
pada
ubi
jalar.
Menurut Wasetiawan (2010), ubi jalar dapat disimpan untuk beberapa waktu jika mereka disimpan dalam kondisi
baik,
misalnya:
1.

Semua

2.

umbi

Semua

yang

rusak

umbi-umbian

oleh

serangga

dengan

atau

kerusakan

penyakit

jamur

mekanis

harus
harus

dipisahkan.
dipisahkan.

3. Penyimpanan harus dilakukan di wadah 45 Kg di ruang penyimpanan dengan ventilasi yang baik dan
kelembaban rendah. Wadah harus ditaruh pada palet kayu, tidak langsung menempel di dasar ruang
penyimpanan. Tinggi tumpukan tidak boleh lebih dari 10 wadah dan masing-masing diberi ruang untuk sirkulasi
udara.
4.
Di

Setelah

ubi

negara-negara

dimasukkan
seperti

dalam
Amerika

wadah,

mereka

Serikat,

Uni

harus
Soviet,

diangkut
dan

dalam

Jepang,

waktu

beberapa

24

jam.

produsen

ubi jalar menyimpan produk mereka dalam lemari pendingin pada suhu 13-15 0C dengan kelembaban relatif 80%.
Dengan cara ini, umbi-umbian dapat disimpan selama 4 sampai 6 bulan (Wasetiawan, 2010).
APLIKASI UBI JALAR DAN PRODUK OLAHANNYA
Pati
Menurut Winarno (1980), proses pembuatan pati ubi jalar dilakukan dengan memberikan suasana alkali (pH 8,6)
menggunakan kapur. Ubi direndam dalam air kapur dan pati dipisahkan dari pulp dengan pencucian yang berlebih
pada penyaring. Suspensi pati dipucatkan dengan sodium hipoklorit jika diperlukan dan disentrifuse. Pati basah
disimpan dalam concreate tank atau dikeringkan dengan pengering vakum sampai kadar air 12 %, digiling dan
disaring.

proses pembuatan pati:

Pemanfaatan pati
1.

Sebagai pengental, mie, bahan bakery, cake, dan cookies.

Menurut Osman (1963) kegunaan pati dalam industry makanan sangat banyak. Pati dapat digunakan sebahai
pengental saus, pudding, dan pengisi pie. Pati ini juga digunakan dalam industry bakery, untuk membuat cake dan
beberapa jenis cookies. Pada pembuatan craker, pati tergelatinisasi kadang digunakan untuk membuat tepung
lebih keras dan hasil lebih renyah. Selain itu, juga bisa digunakan sebagai kombinasi pembuatan cone es krim.
Dalam permen khususnya permen lunak, pati dapat memberikan bentuk dan tekstur pada permukaan permen.
Permen
jeli
membutuhkan
pati
untuk
menguatkan
bentuk
dan
menjaga
kelembaban.
Penggunaan tepung ubi jalar sebagai bahan baku pembuatan kue bisa mencapai 100 persen. Pada pembuatan
cake dan cookies, penggunaan ubi jalar bisa mengurangi kebutuhan gula sampai 20 persen (Aini, Nur. 2004).

Untuk produksi gula hasil hidrolisis


Pati ubi jalar dapat digunakan untuk produksi gula hasil hidrolisis. Hidrolisis pati dilakukan secara enzimatis
dengan penambahan enzim amylase dan glukoamylase sehingga akan dihasilkan glukosa kasar yang
merupakan bahan untuk pembuatan sirup glukosa. Pati ubi jalar dapat digunakan sebagai bahan pembuatan
sirup glukosa karena pati ini memiliki suhu gelatinisasi rendah, relative lebih mudah dihidrolisis oleh enzim amilase
(Mahartanti,
2005).
Bahan industry kertas dan tekstil
Pada industry kertas, pati berperan sebagai pengikat bahan dan serat kertas sehingga penting untuk
meningkatkan kekuatan kertas. Menurut Compton (1967), peranan pati dalam industry tekstil adalah (1)
memberikan kekuatan dan resistensi terhadap gesekan pada kain, (2) tahap penyelesaian, untuk memperbaiki
struktur permukaan setelah proses bleaching, pencelupan dan pewarnaan, (3) pewarnaan, untuk meningkatkan
konsistensi pewarna, dan (4) merupakan komponen untuk proses pelapisan dan penghalusan permukaan kain.
Edible Film
Merurut Arpah (1997) dikutip Christsania (2008), edible packaging pada bahan pangan pada dasarnya dibagi
menjadi
tiga
jenis
bentuk,
yaitu: edible
film,
edible
coating,
dan
enkapsulasi.
Hal
yang
membedakan edible
coating dengan edible
film adalah cara pengaplikasiannya. Edible coating langsung dibentuk pada produk, sedangkan padaedible
film pembentukannya tidak secara langsung pada produk yang akan dilapisi/dikemas. Enkapsulasi
adalah edible packaging yang berfungsi sebagai pembawa zat flavor berbentuk serbuk.Edible
film didefinisikan sebagai lapisan yang dapat dimakan yang ditempatkan di atas atau di antara komponen
makanan

(Lee

dan

Wan,

2006

dalam

Hui,

2006).

Fungsi dari edible film sebagai penghambat perpindahan uap air, menghambat pertukaran gas, mencegah
kehilangan aroma, mencegah perpindahan lemak, meningkatkan karakteristik fisik, dan sebagai pembawa zat
aditif. Edible film yang terbuat dari lipida dan juga film dua lapis (bilayer) ataupun campuran yang terbuat
dari lipida dan protein atau polisakarida pada umumya baik digunakan sebagai penghambat perpindahan uap
air dibandingkn dengan edible film yang terbuat dari protein dan polisakarida dikarenakan lebih bersifat
hidrofobik

(Lee

dan

Wan,

2006

dalam

Hui,

2006).

Edible film dapat bergabung dengan bahan tambahan makanan dan substansi lain untuk mempertinggi
kualitas warna, aroma, dan tekstur produk, untuk mengontrol pertumbuhan mikroba, serta untuk meningkatkan
seluruh kenampakan. Asam benzoat, natrium benzoat, asam sorbat, potasium sorbat, dan asam propionate
merupakan beberapa antimikroba yang ditambahkan pada edible film untuk menghambat pertumbuhan
mikroba. Asam sitrat, asam askorbat, dan ester lainnya, Butylated Hydroxyanisole (BHA), Buthylated
Hydroxytoluen (BHT), Tertiary
Butylated Hydroxyquinone (TBHQ) merupakan beberapa antioksidan yang ditambahkan pada edible
film untuk meningkatkan kestabilan dan mempertahankan komposisi gizi dan warna makanan dengan
mencegah oksidasi ketengikan, degradasi, dan pemudaran warna (discoloration) (Cuppett, 1994 dalam
Krochta,
Metode Pembuatan

Baldwin,

Dan

Nisperos-Carriedo,

1994).

Metode casting merupakan salah satu metode yang sering digunakan untuk membuat film. Pada metode ini protein
atau polisakarida didispersikan pada campuran air dan plasticizer, yang kemudian diaduk. Setelah pengadukan
dilakukan pengaturan pH, lalu sesegera mungkin campuran tadi dipanaskan dalam beberapa waktu dan dituangkan
pada casting plate. Setelah dituangkan kemudian dibiarkan mengering dengan sendirinya pada kondisi lingkungan
dan waktu tertentu. Film yang telah mengering dilepaskan dari cetakan (casting plate) dan kemudian dilakukan
pengujian

terhadap

karakteristik

yang

dihasilkan.

(Lee

dan

Wan,

2006

dalam

Hui,

2006).

Pembuatan edible film berbasis pati pada dasarnya menggunakan prinsip gelatinisasi. Dengan adanya
penambahan sejumlah air dan dipanaskan pada suhu yang tinggi, maka akan terjadi gelatinisasi. Gelatinisasi
mengakibatkan ikatan amilosa akan cenderung saling berdekatan karena adanya ikatan hidrogen. Proses
pengeringan akan mengakibatkan penyusutan sebagai akibat dari lepasnya air, sehingga gel akan
membentuk film yang
stabil
(Careda,
Henrique,
Oliveira,
Ferraz,
dan
Vicentini,
2000).
Menurut Sarmento (1997) dikutip Careda et. al. (2000), suhu dimulainnya gelatinisasi pati yang digunakan pada
suhu 60,5C hingga 65,8C, dan pada suhu 61,2C hingga 66,5C merupakan rentan suhu pengentalan. Pada suhu
pendinginan hingga 50C akan sedikit menaikkan kekentalan, kecenderungan untuk terjadi retrogradasi kecil, dan
juga kecil kemungkinannya terjadi kristalisasi. Ketebalan film dapat diatur dengan memperhatikan rasio luas cetakan
dengan larutan edible film yang digunakan. Pembuatan larutan edible film komposit antara bahan bersifat
hidrofobik dengan hidrofilik, harus ditambahkan emulsifier agar larutan akan lebih stabil (Santoso dkk., 2004).

Nasi Instan Ubi Jalar


Menurut Antarlina dan Utomo (1999), semua jenis/ varietas ubi jalar dapat diolah menjadi nasi instan. Walaupun
demikian pilihlah ubi jalar yang tidak terlalu tua dipanen karena umbinya banyak berserat.

Cara membuat:

Cuci ubi jalar, kemudian pilih ubi jalar yang baik yang tidak terkena serangan hama boleng (Cylas
formicarius). Apabila umbi yang terkena terikut dalam pengolahan, maka hasilnya mempunyai rasa tidak
enak.
Pahit
dan
beraroma
hama
boleng.

Setelah

itu

kukus

Apabila
Cetak

ubi
dalam

hingga

masak

kira-kira

jalar

telah

matang,

bentuk

Keringkan

butiran

dengan

30

menit

kupas

dengan

setelah
kulitnya,

menggunakan

penjemuran

air

pengukus

lalu
alat

di

iris

penggiling
panas

mendidih.

iris.
daging.

matahari.

Cara Menyajikan:

Rendam

nasi

instan

Ditiriskan

dan

ubi

jalar
kukus

kering

dalam

hingga

air
lunak

dingin

selama
dan

kira-kira
siap

menit.

dikonsumsi.

Dalam penyajiannya nasi instan ubi jalar ini berbentuk butiran, apabila diolah menjadi produk makanan kecil,
hancurkan butiran-butiran tersebut dengan menggunakan sendok sehingga siap diolah menjadi panganan lain,
membentuk
suatu
adonan
yang
Cara Menyimpan:
Simpan nasi instan ubi jalar kering dalam kantong plastik, kaleng tertutup atau karung plastik.
Cara Mengkonsumsi:
Nasi instan ubi jalar dapat dikonsumsi sebagai sumber karbohidrat, dapat juga dikonsumsi tanpa atau dengan
sayur sebagai sumber vitamin dan mineral serta lauk pauk sumber protein (tahu, tempe, ikan, daging, telur dan lainlain)

Dapat di campur dengan nasi beras, nasi jagung, kacang hijau, atau jenis kacang-kacangan lainnya untuk
melengkapi gizinya.
Dapat digunakan sebagai bahan baku berbagai bentuk kue tradisional maupun berbagai roti.
Rasa dan hasilnya sama dengan kue yang menggunakan ubi jalar seperti getuk, donat kroket, kue lumpur dan lainlain.
Keripik Ubi Jalar
CARA PEMBUATAN
1) Pilih ubi yang baru dipanen lalu cuci. Kupas dan hilangkan bagian tunasnya;
2) Ubi jalar yang sudah dikupas cepat rendam dalam air untuk mencegah perubahan warna;
3) Iris tipis-tipis dengan ketebalan 1 ~ 2 mm;
4) Untuk memperbaiki warna keripik dan menghilangkan rasa getir dapat direndam dalam 10 liter air yang diberi
1 ons natrium metabisulfit;
5) Cuci dan tiriskan kemudian kukus selama 5 menit setelah air mendidih;
6) Tiriskan setelah dikupas;
7) Letakkan pada tampah lalu jemur. Irisan harus sering dibalik sebelum kering untuk mencegah supaya tidak
lengket;
8) Goreng irisan yang sudah kering. Irisan ubi yang dimasukkan jangan terlalu banyak dan api jangan terlalu
besar;
9) Keripik yang sudah digoreng biarkan beberapa lama, kemudian kemas dalam kantong plastik, tutup rapat,
dan simpan di tempat kering.
Catatan:
Ada beberapa cara dalam pembuatan keripik ubi jalar yaitu setelah penggorengan ada yang dicampur dengan
gula untuk menambah rasa manis. Ada juga yang mencampurnya dengan merica untuk membuat rasa keripil
lebih hangat. Atau ada pula yang dicampur dengan bumbu dan cabai agar mempunyai rasa pedas.

Sumber : Tri, Radiyati et.al., 1990

Es krim Ubi Jalar


Metode

pembuatan

Proses dasar dalam pembuatan es krim meliputi beberapa tahap, yaitu pencampuran bahan, pasteurisasi,
homogenisasi, pematangan (aging), pembekuan dan agitasi, pengemasan, pembekuan, dan penyimpanan
(Padaga,
M,
dkk,
2005).

Proses pembuatan es krim dimulai dengan pencampuran bahan-bahan yang dilakukan dengan cara melarutkan atau
mencampurkan bahan-bahan kering ke dalam bahan cair pada kondisi hangat (40C), lalu sambil dipanaskan
dimasukkan bahan penstabil dan bahan pengemulsi sampai diperoleh campuran homogen yang disebut ICM.
Campuran kemudian dipasteurisasi pada suhu 80C selama 25 detik, sambil terus diaduk. Pasteurisasi bertujuan
untuk membunuh mikroorganisme patogen, melarutkan bahan kering, dan meningkatkan citarasa. Selanjutnya ICM
didinginkan sampai suhu ruang untuk dihomogenisasi dengan tujuan memecah globula lemak sehingga ukurannya
lebih kecil dan dapat menyebar rata sehingga dihasilkan es krim dengan tekstur yang tidak kasar, mempunyai
citarasa yang merata, dan daya buih yang baik. Homogenisasi pada pembuatan es krim skala rumah tangga dapat
menggunakan blender atau mixer. Homogenisasi sebaiknya dilakukan saat kondisi ICM masih hangat (Padaga, M,
dkk,
2005).

ICM kemudian di-aging, yang merupakan proses pematangan ICM dalam refrigerator bersuhu 4C selama 4-12 jam.
Tujuan aging adalah untuk menghasilkan ICM yang lebih kental, lebih halus, tampak lebih mengkilap, dan
memperbaiki tekstur. Setelah proses aging, dilakukan proses homogenisasi kembali. Selanjutnya ICM dibekukan
dengan cepat untuk mencegah terbentuknya kristal es yang kasar. Pembekuan dilakukan dalam dua tahap, yaitu
tahap pertama pada suhu -5 sampai -8C dan tahap kedua pada suhu sampai 30 oC. Proses pembekuan yang
dikombinasi dengan proses agitasi bertujuan untuk memasukkan udara ke dalam ICM sehingga dihasilkan volume es
krim dengan over run yang sesuai standar es krim. Dalam skala rumah tangga, proses agitasi dapat dilakukan
dengan menggunakan mixer berulang-ulang diselingi dengan proses pembekuan di dalam freezer. Setelah itu, es
krim dapat dikemas dalah wadah-wadah kecil dan disimpan dalam freezer untuk proses pembekuan. Kualitas es krim
akan tetap stabil pada suhu penyimpanan -25 sampai -30C (Padaga, M, dkk, 2005).
DAFTAR PUSTAKA
Aini, Nur. 2004. Pengolahan Tepung Ubi Jalar dan Produk-produknya Untuk Pemberdayaan Ekonomi
Masyarakat Pedesaan.
Jurnal Pembangunan Pedesaan. III (3): 195-204.

Antarlina, S. S. 1988. Kerusakan Ubi Jalar Setelah Panen dan Usaha Pengendaliannya Dengan Cara
Pengolahan. Program Studi Ilmu Tanaman program Pasca Sarjana KPK UGM-Unibraw. Malang.
Antarlina, S.S. dan J. S. Utomo. 1999. Proses Pembuatan dan Pengembangan Tepung Ubi Jalar untuk
Produk Pangan. Edisi Khusus Balitkabi No. 15. Balai Penelitian Tanaman Kacang-Kacangan dan UmbiUmbian. Malang.
Bradbury, J. H. and W. D. Holloway. 1988. Chemistry of Tropical Root: Significance for Nutrition and
Agriculture in the Pasific. ACIAR. Canbera.
Cecil et. al. 1982. The Sago Starch Industry: A Technical Profil Base on a Preliminary Study Made in
Sarawak. Tropicana Product Institute Ovesear Development. London.
Collins, W. W. dan Walter, W. M. 1985. Fresh Roots for Human Consumption. CRC Press Inc.Florida.
Compton, Jack. 1967. Starch In The Textile Industry. Academic Press. New York.
Darmadjati, dkk.1991. Laporan Penelitian Pengembangan Model Agroindustri Tepung Cassava di
Pedesaan. Balilttan. Sukamandi.

Edmond, J. B. and G. R. Ammerman. 1971. Sweet Potatoes: Production, Processing, and


Marketing. Wesport, Connecticut. The AVI Publishing, Co. Inc.
Khudori, 2001. Menyulih terigu dengan tepung ubi jalar. http: //www.kompas..
Kumalaningsih, Sri. 1990. Teknologi Pangan (I). Jawa Pos. Surabaya.
Kumalaningsih. 1994. Peluang Pengembangan Agroindustri dari Bahan Baku Ubi Jalar. Edisi khusus
balittan page 26-35. Malang.
Onwueme, L. C. 1978. The Tropical Tuber Crops, Yams, Cassava, Sweet Potatoes, Cocoyams.John
Wiley and Sons. Chichester. New York.
Osman, Elisabeth. 1963. Starch In The Food Industry. Academic Press. New York.
Padaga, M. dan M. E. Sawitri. 2005. Es Krim yang Sehat. Trubus Agrisarana. Surabaya.
Pantastico, E. B. 1986. Susunan Buah-Buahan dan Sayur-sayuran. Fisiologi Lepas Panen. UGM Press.
Yogyakarta.
Rukmana, Rahmat. 1997. Ubi Jalar Budi Daya dan Pasca Panen. Kanisius. Yogyakarta.
Soemartono. 1983. Ubi Jalar. CV Yasaguna. Jakarta.
Truong, V. D. 1992. Transfer Of Sweet Potato Processing Technologies: Some Experiences and Key
Factors. Product Dev. For Root and Tuber Crops. USA.
Tsou et. al. 1989. Biochemical Studies on Sweet Potato for Better Utilization. Visca. Philiphines.
Wargiono. 1989. Budidaya Ubi Jalar. Bharatara. Jakarta.
Widowati, dkk. 1997. Ekatraksi dan Karakterisasi Sifat Fisiko Kimia dan Fungsional Pati Beberapa
Varietas Talas. Multi Pangan Selina. Jakarta.
Winarno, F. G. 1985. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai