DISUSUN OLEH:
Junila Rosa
030.11.151
Hunied Kautsar
030.10.125
Ghayatrie Healthania
030.10.114
Sanni Rizki
1320221149
Genni Putrianti
030.07.097
Mohammad Oksarian
1320221114
DOSEN PENGUJI
Saebani, SKM., Mkes
Residen Pembimbing
dr. Wian
Fakultas
Junila Rosa
030.11.151
Hunied Kautsar
030.10.125
Ghayatrie Healthania
030.10.114
Sanni Rizki
1320221149
Genni Putrianti
030.07.097
Mohammad Oksarian
1320221114
: Kedokteran Umum
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat,
hidayah, serta inayahNya kepada penulis dalam menyelesaikan referat yang berjudul
INTOKSIKASI NITRAZEPAM, sebagai salah satu tugas dalam kepaniteraan klinik Ilmu
Kedokteran Forensik dan Medikolegal di RSUP Dr. Kariadi Semarang.
Penulis juga ingin menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak
Saebani, SKM, Mkes sebagai dosen penguji dan dr.Wian, sebagai residen pembimbing dalam
penulisan referat ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari kesempurnaan, karen itu penulis
mohon maaf bila terdapat beberapa kesalahan di dalamnya. Penulis juga mengharapkan
kritik dan saran yang membangun untuk memperbaiki kekurangan referat ini di kemudian
hari.
Akhir kata, semoga referat ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Atas perhatian
yang diberikan, penulis mengucapkan terimakasih.
DAFTAR ISI
2.1.2. Kegunaan.....................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
data yang didapatkan Badan POM bekerjasama dengan POLRI, menunjukkan jenis
psikotropika yang paling sering disalahgunakan adalah psikotropika golongan III dan IV,
sejumlah 14 sample yang terdiri atas Nitrazepam (28,57%), alprazolam (28,57), Clonazepam
(7,14%), diazepam (21,43%), Estazolam (7,14%), Phenobarbital (7,14%). 4
Penelitian mengenai angka kematian terkait penyalagunaan nitrazepam yang
dilakukan oleh Departemen Kedokteran Forensik di Sydney selama tahun 1997-2012
didapatkan sebanyak 412 kematian. Dari angka tersebut, 80% samplemempunyai riwayat
penggunaan obat-obatan dan alkohol, 57% pecandu obat-obat dengan cara menyuntikan, 32%
didapatkan positif Hepatitis C.
Toksikologi forensik adalah salah satu dari cabang ilmu forensik. Menurut Saferstein
yang dimaksud dengan Forensic science adalah the application of science to law, maka
secara umum ilmu forensik dapat dimengerti sebagai aaplikasi untuk pemanfaatan ilmu
pengetahuan tertentu untuk penegakan hukum da peradilan. Ilmu toksikologi adalah ilmu
yang menelaah tentang kerja dan efek berbahaya zat kimia atau racun terhadap zat kimia atau
racun terhadap mekanisme biologis suatu organisme. 6
Gambaran kasus yang memerlukan pemeriksaan toksikologi forensik meliputi
kematian akibat keracunan., kecelakaan fatal maupun tidak fatal yang dapat mengancam
nyawa sendiri maupun orang lain (yang umumnya diakibatkan oleh pengaruh obat-obatan,
alkohol atau narkoba) dan penyalagunaaan narkoba dan kasus-kasu keracunan yang terkait
dengan pemakaian obat, makanan, kosmetik, alat kesehatan dan bahan berbahaya kimia
lainnya yang tidak memenuhi standar kesehatan.
Angkah kejadian intoksikasi Nitrazepam berdasarkan penelitian dari Departemen
Toksikologi Forensik di Swedia pada tahun 2013 melalui pemeriksaan otopsi, cenderung
lebih banyak terjadi pada jenazah dengan jenis kelamin laki-laki (74%) dibandingkkan
perempuan (26%) dan lebih dominan pada rentang umur 20-40 tahun dibandingkan rentang
umur 40-80 tahun. 7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Nitrazepam
dikategorikan sebagai
durasi dari tahap 2 tidur nonrapid eye movement (NREM) meningkat, (3) durasi
dari tidur REM menurun, durasi tahap 4 tidur NREM gelombang lambat menurun.
c. Anastesi
d. Anti-konvulsan
Obat yang digunakan untuk mencegah atau menurunkan keparahan kejang.
e. Antispasmodik
Obat yang dapat mensupresi spasme. Spasme biasanya disebabkan oleh kontraksi
otot polos, khususnya tubular organ. Efeknya mencegah spasme pada abdomen,
usus dan kandung kemih
f. Relaksasi otot
Dalam hal ini memberikan efek inhibisi reflex pada post-synaps dan transmisinya,
selain itu juga mendepresi transmisi pada skeletal neuromuscular junction dalam
dosis tinggi.
g. Efek pada fungsi pernafasan dan kardiovaskular
Sedasi-hipnotik dapat menyebabkan depresi pernafasan yang signifikan pada dosis
terapi, jika digunakan oleh pasien yang memiliki penyakit paru. Efeknya
tergantung dengan dosis yang diberikan. Depresi dari pusat pernafasan dapat
terjadi sehingga menyebabkan kematian jika terjadi kelebihan dosis pada obat
sedasi-hipnotik.
Dosis obat yang menyebabkan hipnotik, tidak memberikan efek pada sistem
kardiovaskular jika pada kondisi tubuh sehat. Akantetapi, keadaan hipovolemik, gagal
jantung, dan kelainan jantung lain, kemungkinan dapat menyebabkan depresi dari
kardiovaskular. Pada dosis toksik, kontraksi miokardium dan pembuluh darah keduanya
mengalami depresi yang menyebabkan kolapsnya sistem vaskular.
2.1.3. Farmakodinamika
Efek golongan benzodiazepine mempengaruhi susunan saraf pusat (SSP) dengan
memberi efek, sedasi, hipnotik, mengurangi anxietas, relaksasi otot dan anti-konvulsi.
a.
beberapa derivat benzodiazepine pengaruhnya lebih besar terhadap SSP dari derivat yang
lain. Benzodiazepine tidak mampu menghasilkan tingkat depresi saraf sekuat golongan
barbiturate atau anestesi umum lainnya. Semua benzodiazepine memiliki profil farmakologi
yang hampir sama, namun efek utamanya sangat bervariasi, sehingga indikasi kliniknya dapat
berbeda. Peningkatan dosis benzodiazepine menyebabkan depresi SSP yang meningkat dari
sedasi ke hipnotis, dan dari hipnosis ke stupor. Keadaan ini sering dinyatakan sebagai efek
anastesi, tapi obat golongan ini tidak benar-benar memperlihatkan efek anestesi umum yang
spesifik, karena kesadaran pasien tetap bertahan dan relaksasi otot yang diperlukan untuk
pembedahan tidak tercapai. Namun pada dosis preanestetik, benzodiazepine menimbulkan
amnesia anterograd terhadap kejadian yang berlangsung setelah pemberian obat. Sebagai
anestesi umum untuk pembedahan, benzodaizepin harus dikombinasikan dengan obat
pendepresi SSP lain. Belum dapat dipastikan, apakah efek ansietas benzodiazepine identik
dengan efek hipnotik sedatifnya atau merupakan efek lain.
Beberapa benzodiazepine menginduksi hipotonia otot tanpa gangguan gerak otot
normal, obat ini mengurangi kekakuan pada pasien cerebral palsy.
Mekanisme kerja dan tempat kerja pada SSP
Kerja benzodoazepin terutama merupakan interaksinya dengan reseptor
penghambat neurotransmitter yang diaktifkan oleh asam gamma amino butirat
(GABA). Reseptor GABA merupakan protein yang terikat pada membrane
dan dibedakan dalam 2 bagian besar sub-tipe, yaitu reseptor GABA A dan
reseptor GABAB.
Reseptor inotropik GABAA terdiri dari 5 atau lebih sub unit (bentuk
majemuk , , dan subunit) yang membentuk suatu reseptor kanal ion
klorida kompleks. Reseptor ini berperan pada sebagian besar besar
neurotransmitter di SSP.
Reseptor GABAB, terdiri dari peptide tunggal dengan 7 daerah
transmembran, digabungkan terhadap mekanisme signal transduksinya
oleh protein-G.
b.
Pernapasan
Benzodiazepin hanya berefek sedikit pada pernafasan, dosis hipnotik tidak berefek
pada pernafasan orang normal. Penggunaannya perlu diperhatikan pada anak-anak dan
individu yang menderita kelainan fungsi hati. Pada dosis yang lebih tinggi, misalnya pada
anestesi premedikasi atau preendoskopi, benzodiazepine sedikit mendepresi ventilasi alveoli
dan menyebabkan asidosis respiratoar, hal ini terjadikarena hipoksia lebih terangsang
daripada peransangan hiperkapnia; efek ini terutama terjadi pada pasien dengan PPOK yang
dapat mengakibatkan menurunkan ventilasi alveolar dan Po2, serta peningkatan Pco2 dan
menyebabkan narcosis CO2. Obat ini dapat menyebabkan apnea selama anestesi atau bila
diberi bersama opiat. Gangguan pernapasan yang berat pada intoksikasi benzodiazepine
biasanya memerlukan bantuan pernapasan hanya bila pasien juga mengkonsumsi obat
pendepresi SSP yang lain, terutama alkohol.
c.
Sistem Kardiovaskuler
Pada dosis praanestesia semua benzodiazepine dapat menurunkan tekanan darah dan
meningkatkan denyut jantung.
d.
Saluran cerna
Diduga dapat memperbaiki berbagai gangguan saluran cerna yang berhubungan
dengan adanya ansietas. Diazepam secara nyata menurunkan sekresi cairan lambung waktu
malam.
2.1.4 Farmakokinetik
1.
Absorpsi
Nitrazepam diserap cukup cepat dari saluran pencernaan. Waktu untuk konsentrasi
puncak adalah sekitar 2 jam (0,5 sampai 5 jam). Penyerapan makanan bersamaan dengan
nitrazepam berkurang sekitar 30%. Kurva penyerapan nitrazepam pada relawan muda dan
pada pasien usia lanjut yang sakit disajikan pada Gambar 2. Bioavailabilitas bervariasi dari
54% (oral) sampai 94% (iv). Rasio rata-rata penggunaan secara oral / intravena daerah di
bawah
2.
kurva
waktu
konsentrasi
sekitar
0,9.
Distribusi
Nitrazepam adalah obat lipofilik dan melintasi hambatan membran tubuh secara
mudah. Konsentrasi di cairan serebrospinal, sekitar 10% dari total tingkat plasma, mirip
dengan fraksi protein bebas dari plasma. Meskipun terdapat variasi dari masing-masing
individu, rasio CSF / plasma meningkat secara signifikan. Hal ini terjadi mungkin karena
memperlambat kehilangan nitrazepam dari kompartemen lipid dari CNS (perkiraan paruh di
CSF 68 jam, dalam plasma 27 jam). Konsentrasi nitrazepam dalam plasma yang secara
signifikan lebih rendah daripada yang terikat protein dalam serum 4 jam setelah pemberian
obat. Oleh karena itu paruh dalam plasma secara signifikan lebih lama (rata-rata 40 jam)
dibandingkan serum (berarti 30 jam). Farmakokinetik pada distribusi terlihat rumit oleh
karena terjadinya konsentrasi maksimum kedua mungkin dalam plasma sekitar 4 sampai 8
jam. Tingginya 'sensitivitas' untuk nitrazepam mungkin dijelaskan dengan perubahan
distribusi obat dan memberikan alasan untuk mengurangi dosis nitrazepam pada orang tua.
3. Metabolisme
Metabolisme terjadi di hati untuk 7-aminonitrazepam menjadi 7-acetamidonitrazepam
dan hydroxylated. Nitrazepam tidak menyebabkan induksi enzim hati atau inhibisi dengan
pengobatan jangka panjang.
4.Eliminasi
Fase eliminasi dari nitrazepam terjadi sekitar 4 sampai 12 jam setelah pemberian obat.
Nitrazepam ditandai dengan kehilangan yang lambat dari tubuh manusia. Pada usia yang
berbeda dengan paruh mirip, kecuali untuk pasien lansia, yang menunjukkan waktu paruh
berkepanjangan (sekitar 40 jam). Ini mungkin disebabkan oleh peningkatan volume
distribusi. Hilangnya nitrazepam sebagian dibatasi oleh distribusi dari jaringan ke darah
(mirip dengan flunitrazepam).
5.Eksresi
Urin
Nitrazepam terutama diekskresikan sebagai metabolit urin. Penghapusan total ginjal
selama 120 jam setelah pemberian oral pertama merupakan sekitar 70%. Para peneliti yang
sama menemukan 93% setelah pemberian intravena. Hanya sekitar 1% dari dosis
diekskresikan dalam urin sebagai nitrazepam tidak berubah. Metabolit utama dalam urin
manusia 7 -aminonitrazepam dan 7-acetamidonitrazepam yang bebas dan terkonjugasi.
Variasi antarindividu total metabolit diekskresi sangat besar, berkisar antara 17 dan 99% dari
dosis yang diberikan. Dari jumlah ini, jumlah metabolit terkonjugasi rata-rata 57%.
Feses
Ekskresi fekal dari nitrazepam sekitar 14-26% ditemukan dalam feses setelah dosis
30mg, tetapi hanya 2% setelah dosis 4mg. Dengan dosis klinis biasa, ekskresi feses
tampaknya kurang terlihat.
2.1.5. Dosis
Dosis yang biasa digunakan untuk anak < 1 mg/kg/hari dan pada dewasa < 0,5
mg/kg/hari. Pada kebanyakan pasien, dosis yang digunakan berkisar 1,25 10 mg/hari.
Berikut adalah kadar dan jumlah dosis Nitrazepam dalam organ tubuh:
Sumber
Dosis Terapi
Dosis Toksik
Dosis Lethal
Darah
0.01-0.06 mg/L
0.2 mg/L
0.5-9 mg/L
Urin
6-10 mg/L
Liver
0.06-4 mg/kg
Ginjal
0.08-0.7 mg/kg
Otak
0.4 mg/kg
Otot Skeletal
2.1 mg/kg
penggunaan dengan dosis maksimum, bahkan dapat juga terjadi dengan dosis terapi yang
normal atau dapatjuga terjadi ketika dikombinasikan dengan pemakain obat-obatan depresn
SSP lainnya. Laporan yang sangat jarang terjadi dapat mengakibatkan angioedema dan reaksi
anafilaksis pada penggunaan Nitrazepam ini. Nitrazepam (dan benzodiazepin lainnya) dapat
meningkatkan depresi, dan tidak direkomendasikan sebagai pengobatan lini pertama. Obatobatan ini juga dapat menyebabkan kebingungan dan gejala psikotik pada skizofrenia serta
mania. Beberapa laporan juga mengatakan dapat terjadi reaksi paradoks seperti agitasi,
halusinasi dan agresi.
2.2 Intoksikasi
2.2.1 Definisi intoksikasi
Intoksikasi menurut WHO adalah kondisi yang mengikuti masuknya suatu zat
psikoaktif yang mengikuti masuknya suatu zat pasikoaktif yang menyebabkan gangguan
kesadaran, kognisi, persepsi, afek, perilaku, fungsi, dan respon psokologis.
Intoksikasi sangat bergantung pada tipe dan dosis dari zat tersebut dan dipengaruhi
oleh toleransi masing-masing individu dan faktor lainnya. Sering kali, sebuah zat di gunakan
untuk mencapai derajat tertentu keracunan. Intoksikasi akut sebutan ICD 10 untuk gejala
klinik intoksikasi . Komplikasi dapat berupa trauma, vomitus, delirium, coma, dan konvulsi,
tergantung dari substansi dan metode penggunaan.
www.who.int/substance_abuse/terminology/acute_intox/en/
2.2.2 Gejala Intoksikasi Nitrazepam
Tabel. 1 Adverse reactions attributed to nitrazepam
Site disturbance
Manifestasi Klinis
hallucinations,
insomnia,
excitation
agitation
Cutaneus reactions
Rash, Pruritus
biasanya terjadi pada awal pengobatan dan mengilang dengan penurunan dosis. Nitrazepam
juga cenderung untuk berkurang durasi pengobatannya dikarenakan adanya peningkatan dari
toleransi.
Sedasi / Drowsiness
Gejala ini adalah gejala yang paling sering dikeluhkan pasien dan dilaporkan lebih
Ataxia
Gerakan tidak terkoordinasi atau ataxia kemungkinan adalah gejala nomor dua yang
paling sering ditemukan pada penderita intoksikasi. Menurut penelitian ataxia ditemukan
pada 5 -50 % pasien yang mengkonsumsi nitrazepam pada long term terapi penggunaan
nitrazepam.
behavioral Abnormalities
Perubahan perilaku dan personalitas yang signifikan seperti hiperaktif, perhatian mudah
teralih, restlessness (kurang butuh istirahat), iritabilitas dan agresive dapat terjadi dengan
penggunaan jangka panjang dari benzodiasepin. Nitrazepam juga menginduksi gejala lain
seperti nightmare, insomnia, dan agitasi
Kelemahan otot, fatigue, dan hipotonia terkadang dilaporkan muncul setelah penggunaan
nitrazepam.Benzodiazepin tidak boleh diberikan pada pasien dengan myasthenia gravis.
Gangguan visual , penglihatan buran dan diplopia juga dapat terjadi pada penggunaan
benzodiazepine tetapi jarang terjadi.
Anti Epileptic Drugs .Levy RH. Mattson RH. Benzodiazepine Adverse Effect. 5th editions.
Philladelpia. Lippincot Willians and Wilkins. Pg 215-219
Pemeriksaan Luar
Kasus keracunan merupakan kasus yang cukup rumit, karena gejala sebelum kematian
dan tanda-tanda setelah kematian umumnya samar-samar, sedangkan keterangan dari
penyidik pun kadang sangat minim.
Nitrazepam dilaporkan berhubungan dengan kejadian kematian yang tidak dapat
dijelaskan pada 6 anak-anak dengan umur rata-rata 27,8 bulan yang menerima terapi inisial
nitrazepam dengan dosis 0,3-06 mg/kg/hari. 6 kasus yang terjadi overdosis telah dilaporkan,
satu diantaranya di akibatkan konsumsi 250 mg nitrazepam. Biasanya pada kasus-kasus
keracunan nitrazepam, akan ditemukan kemasan obat tersebut yang berserakan di sekitar
pasien.
Anamnesa atau pun aloanamnesa merupakan komponen yang cukup penting, pada
keracunan oleh nitrazepam biasanya didapatkan riwayat psikiatri khususnya gangguan cemas,
gangguan panik, gangguan tidur dan depresi pada korban. Kadang perlu ditanyakan juga
riwayat penggunaan obat jangka panjang nitrazepam atau obat-obat lain. Informasi diatas
juga bisa didapatkan melalui catatan rekam medis rumah sakit, informasi dari keluarga,
teman, maupun saksi-saksi yang berkaitan. Keterangan-keterangan ini akan diperkuat dengan
temuan pada pemeriksaan luar.
Pada pemeriksaan luar, biasanya dapat ditemukan pupil menjadi miosis atau sering
disebut dengan istilah pin point. Pin point adalah keadaan dimana pupil menjadi miosis
karena kontraksi dari pupil yang di sebabkan oleh efek dari obat atau racun tersebut. Keadaan
pin point ini akan bertahan walaupun kaku mayat sudah muncul.
Pemeriksaan Dalam
Tandatanda yang khas pada intoksikasi nitrazepam sukar didapat, namun masih ada
beberapa petunjuk yang dapat dipakai sebagai acuan. Pada pemeriksaan dalam, dapat
ditemukan kongesti viseral dan otak serta edema paru.
Pada pemeriksaan patologi anatomi, paru-paru menunjukan kongesti
pseudohemoragik. Pada mesencephalon, ditemukan thrombosis kapiler dengan infiltrasi
granulosit, dikelilingi oleh jaringan yang edema dan sel saraf yang degenerasi.
Gambar. Mesencephanlon, terdapat infiltrat thrombi dikelilingi oleh area yang edema.
Sangat sering dalam analisis toksikologi forensik pada kasus keracunan tidak
ditemukan senyawa induk, melainkan metabolitnya. Sehingga dalam melakukan analisis
toksikologi forensik, senyawa metabolit juga merupakan target analisis. Nitrazepam dan
metabolitnya dapat ditemukan di dalam beberapa organ di akibatkan proses distribusinya di
dalam tubuh. Dapat ditemukan di darah, serum, vitreus humour, hati, pankreas, dan urin, dan
terutama pada jaringan otak. Para dokter hendaknya mengetahui dengan baik bahan apa yang
harus di ambil, cara mengawetkan dan cara pengiriman.1
Darah jantung diambil secara terpisah dari sebelah kanan dan sebelah kiri masingmasing sebanyak 50 ml. darah tepi sebanyak 30-50 ml, di ambil dari vena iliaka komunis,
bukan darah dari vena porta. Organ lain yang di ambil yaitu otak, jaringan lipoid di dalam
otak mempunyai kemampuan untuk menahan racun. Hati, hati merupakan tempat detoksikasi
tubuh terpenting. Organ ini mempunyai kemampuan untuk mengkonsentrasikan racun-racun
sehingga kadar racun dalam hati bisa sangat tinggi. Urin, penting karena tempat ekskresi
sebagian besar racun sehingga dapat untuk tes pendahuluan (spot test). Sebagai contoh
temuan yang muncul pada pemeriksaan salah satu kasus intoksikasi nitrazepam di bawah ini.
1
Keterangan
Pemeriksaan Penunjang
Walaupun nitrazepam memiliki kadar terapeutik yaitu 0,01-0,06 mg/L dalam darah,
namun dapat menimbulkan kadar toksik dalam darah apabila mencapai kadar 0,2 mg/L.
Kemudian kadar yang dapat mengakibatkan kematian atau dosis letal dalam darah adalah 0,59 mg/L. Kadar letal ini pun dapat ditemukan apabila dalam urin 6-10 mg/L, kadar di hati
0,06-4 mg/kg, ginjal 0,08-0,7 mg/kg, otak 0,4 mg/kg, dan otot skeletal 2,1 mg/kg. data
tersebut tergambarkan dalam tabel di bawah ini.2
on
articlekey=58913
Accesed on; July 4th 2015.
www.emedicinehealth.com/script/main/mobilearth-emh.asp?
Monitoring Jantung
Terapi oksigen dan airway support
IV akses
Penentuan glukosa sewaktu dan pemberian D5 jika perlu
Naloxone dapat diberikan pada pasien dengan dosis yang sangat rendah (0.05 mg
dengan peningkatan secara bertahap) , jika diagnosis masih tidak jelas dan diduga
mengkonsumsi opiate ( misal jika pasien memiliki depresi pernafasan ). Pada
penelitian dikatakan Naloxone adalah antagonis dari respetor Gama Aminobutyric
Acid (GABA) . Lebih jauh dikatakan naloxone dapat mengantagonize berbagai
macam gangguan tingkah laku yang di induksi oleh benzodiazepine.
Flumazenil adalah antagonis reseptor GABA yang dapat digunakan sebagai
manajemen
dari
persistent
withdrawal symptom
dari
penggunaan
benzodiazepine. Dosis yang di gunakan adalah antara 1.0 sampai 2.0 mg flumazenil
bolus iv selama 1 sampai 3 jam .Obat ini kontraindikasi pada pasien yang berada
dalam penggunaan benzodiazepine jangka panjang , atau pada pasien yang memiliki
takikardi, kompleks QRS yang melebar pada EKG , tanda-tanda anti kolinergik.
Karena kontra indikasi ini dan kemungkinan dapat menyebabkan efek samping
pusing, mual , muntah,sampai gejala berat termasuk kejang dan efek pada jantung.
disebagian besar kasus tidak ada indikasi untuk pengggunaan flumazenil dalam
pengelolaan overdosis benzodiazepine karena risiko pad umumnya lebih besar
daripad manfaat.
Hood SD. Norman A. Hince DA. Benzodiazepine dependence and its treatment
with dose flumazenil. British Journal Of Clinical Pharmacology. 2012.77:2.285294
2.3. Aspek medikolegal intoksikasi nitrazepam
PSIKOTROPIKA
Menurut UU RI No 5/1997, Psikotropika adalah: zat atau obat, baik alamiah maupun
sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan
saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.3
Psikotropika terdiri dari 4 golongan:
1. Golongan I : Psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan
dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan
sindroma ketergantungan. Contoh: Ekstasi.
2. Golongan II : Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam
terapi dan atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat
mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh: Amphetamine.
3. Golongan III : Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam
terapi dan atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang
mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh: Phenobarbital.
4. Golongan IV : Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan
dalam terapi dan atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan
mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh: Diazepam, Nitrazepam.
hal- hal penting menyangkut psikotropika tercantum pada UU no.5 tahun 1997 tentang
psikotropika:
Pasal 2
(1) Ruang lingkup pengaturan di bidang psikotropika dalam undang-undang ini adalah segala
kegiatan yang berhubungan dengan psikotropika yang mempunyai potensi mengakibatkan
sindroma ketergantungan.
(2) Psikotropika yang mempunyai potensi mengakibatkan sindroma ketergantungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digolongkan menjadi :
a. psikotropika golongan I;
b. psikotropika golongan II;
c. psikotropika golongan III;
d. psikotropika golongan IV.
(3) Jenis-jenis psikotropika golongan I, psikotropika golongan II, psikotropika golongan III,
psikotropika golongan IV sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk pertama kali ditetapkan
dan dilampirkan dalam undang-undang ini, yang merupakan bagian yang tak terpisahkan.
(4) Ketentuan lebih lanjut untuk penetapan dan perubahan jenis-jenis psikotropika
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur oleh Menteri.
Pasal 3
Tujuan pengaturan di bidang psikotropika adalah :
a. menjamin ketersediaan psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu
pengetahuan;
b. mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika;
c. memberantas peredaran gelap psikotropika.
Pasal 4
(1) Psikotropika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau
ilmu pengetahuan.
(2) Psikotropika golongan I hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan.
(3) Selain penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), psikotropika golongan I
dinyatakan sebagai barang terlarang.
Pasal 59
(1) Barang siapa:
a. menggunakan psikotropika golongan I selain dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); atau
b. memproduksi dan/atau menggunakan dalam proses produksi psikotropika golongan
I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6; atau
c. mengedarkan psikotropika golongan I tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 12 ayat (3); atau
d. mengimpor psikotropika golongan I selain kepentingan ilmu pengetahuan; atau
e. secara tanpa hak milik, menyimpan dan/ atau membawa psikotropika golongan I.
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun, paling lama 15 (lima belas)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara terorganisasi
dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama 20
(dua puluh) tahun dan denda sebesar Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
(3) Jika tindak pidana dalam pasal ini dilakukan oleh korporasi, maka disamping dipidananya
pelaku tindak pidana, kepada korporasi dikenakan pidana denda sebesar Rp.
5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
Pasal 62
Barangsiapa yang secara tanpa hak, memiliki, menyimpan dan/ atau membawa psikotropika
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 64
Barangsiapa:
a. menghalang-halangi penderita sindroma ketergantuan untuk menjalani pengobatan dan/
atau perawatan pada fasilitas rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37; atau
b. menyelenggarakan fasilitas rehabilitas yang tidak memiliki izin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 39 ayat (3);
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/ atau pidana denda paling
banyak Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).
Pasal 65
Barangsiapa tidak melaporkan adanya penyalahgunaan dan/ atau pemilikan psikotropika
secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp. 20.000.000,00
(dua puluh juta rupiah).
Pasal 72
Jika tindak pida Psikotropika dilakukan dengan menggunakan anak yang belum berumur 18
(delapan belas) tahun dan belum menikah atau orang yang dibawah pengampuan atau ketika
melakukan tindak pidana belum lewat dua tahun sejak selesai menjalani seluruhnya atau
sebagian pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, ancaman pidana ditambah sepertiga
pidanya yang berlaku untuk tindak pidana tersebut.
Bab III
PENUTUP
1. Kesimpulan
2. Saran
1. Bagi mahasiswa
Diharapkan mahasiswa dapat meningkatkan pengetahuan dan
pemahaman mengenai intoksikasi nitrazepam
2. Bagi institusi pendidikan
Memberikan pembekalan materi dan keterampilan mengenai kasus intoksikasi
nitrazepam, cara mendeteksi, memberi terapi serta pengetahuan aspek medikolegalnya
Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA