EPILEPSI
Disusun oleh:
Raditya Ramadan R
01.210.6247
Pembimbing:
Letkol CKM dr. Heriyanto, Sp.S
HALAMAN PENGESAHAN
Nama
: Raditya Ramadan
NIM
: 01.210.6247
Fakultas
: Kedokteran
Universitas
Tingkat
Bagian
: Ilmu Saraf
Judul
: Stroke Nonhemorrhagic
Pembimbing
BAB I
LAPORAN KASUS
Nama
: Nn.Dessy
Umur
: 19 tahun
No registrasi
Alamat
:
: Sarirejo, sidorejo lor, SALATIGA
SUBJEK
A. Keluhan Utama
Penurunan kesadaran
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan pingsan + 2,5 jam. Dengan keluhan seperti itu
pasien dibawa keluarganya ke RST tk II dr.Soedjono magelang. Setelah pingsan
pasien sadar tetapi tidak bisa menggerakan tubuhnya dan keempat anggota
geraknya, pasien sulit berkomunikasi, komunikasi dilkukan dengan gerakan bola
mata. Pusing -, mual muntah -, demam -.
C. Riwayat Penyakit Dulu
Riwayat serupa 1 minggu yang lalu. Pasien sudah pernah sering mengalami hal
tersebut. Riwayat DM dan HT disangkal
II OBJEK
A. Status interna
Kesadaran
: Compos Mentis
Anemis
:Ikterik
:Rhonki halus/ kasar
: -/Wheezing
: -/Bunyi jantung
: reguler
Abdomen
: peristaltik (+) normal
Nyeri lumbal
:-
Ekstremitas
Tekanan darah
RR
Nadi
Suhu (rectal)
B. Status neurologi
GCS
: E4V5M6
Meningeal sign
Kaku kuduk
:Kernig
:Brudzinski I-IV : Laseque
:Nervi craniales
1. N. Olfaktorius (N I)
: tidak dilakukan
2. N. Opticus (N II)
a. Visual acuity : tidak dilakukan
b. Visual field : tidak dilakukan
c. Warna
: tidak dilakukan
d. Funduskopi : tidak dilakukan
3. N. Oculomotor, N. Abducens, N. Trochlearis (N III, N IV, N VI)
a. Kedudukan bola mata saat diam
: DBN
B. Gerakan bola mata
: sulit dievaluasi
C. Pupil
Bentuk, lebar, perbedaan lebar
: DBN
l: DBN
: sulit dievaluasi
4. N. Trigeminus (N V)
a.
Sensorik
b.
Motorik
: sulit dievaluasi
Rapat gigi
: sulit dievaluasi
Buka mulut
: sulit dievaluasi
: sulit dievaluasi
Gerak rahang
: sulit dievaluasi
C. Refleks
I.
II.
Masseter/mandibular
Kornea
: sulit dievaluasi
: +/+
5. N. Facialis (N VII)
a. Motorik
I.
Diam
II.
Bergerak
: asimetris ke kiri
Kerut dahi
: sulit dievaluasi
Menutup mata
: (+) / (+)
: sulit dievaluasi
tersenyum
: sulit dievaluasi
B. Sensorik khusus:
Lakrimasi
: tidak dilakukan
Refleks stapedius
: tidak dilakukan
: normal
b. Palpasi
c. Perkusi
d. Tonus
e. Kekuatan otot
Ex atas
M. Deltoid
: Kanan 5 Kiri 5
M. Biceps brachii : Kanan 5 Kiri 5
M.Triceps
: Kanan 5 Kiri 5
M.Brachioradialis : Kanan 5 Kiri 5
M.Pronator teres : Kanan 5 Kiri 5
Genggaman tangan
: Kanan 5 Kiri 5
Ex bawah
M. Iliopsoas
: Kanan 5, Kiri 5
M. Quadriceps
: Kanan 5, Kiri 5
M. Hamstring
: Kanan 5, Kiri 5
M. Tibialis anterior
: Kanan 5, Kiri 5
M. Gastrocnemius
: Kanan 5, Kiri 5
M. Soleus
: Kanan 5, Kiri 5
Sensorik
a. Protopatik (nyeri/suhu, raba halus/kasar)
: sulit dievaluasi
b. Propioseptif (gerak/posisi, getar tekan)
: sulit dievaluasi
c. Kombinasi
a. Stereognosis
: sulit dievaluasi
b. Barognosis
: sulit dievaluasi
c. Graphestesia
: sulit dievaluasi
d. 2 point tactile discrimination : sulit dievaluasi
e. Sensory extinction
: sulit dievaluasi
f. Loss of body image
: sulit dievaluasi
Reflek fisiologis
Refleks superfisial
a. BHR
b. Cremaster
Reflek tendon/periosteum
I.
BPR/biceps
II.
TPR/triceps
III.
KPR/patella
IV. APR/achilles
V. Klonus
Lutut/patella
Kaki/ankle
Reflek patologis
::: +/+
: +/+
: +/+
: +/+
::-
a. Babinski
: -/b. Chaddock
: -/c. Oppenheim
: -/d. Gordon
: -/e. Gonda
: -/f. Schaeffer
: -/g. Rossolimo
: -/h. Mendel-bechtrew
: -/i. Hoffman
: -/j. Tromner
: -/Refleks primitif
a. Grasp reflex
: tidak dilakukan
b. Palmo-mental reflex : tidak dilakukan
Px cerebellum :
a. Koordinasi
b. Asinergia/disinergia
c. Diadokinesia
d. Metria
e. Tes memelihara sikap
f. Rebound phenomenon
g. Tes lengan lurus
B. Keseimbangan
I.
Sikap duduk
II.
Sikap berdiri
: sulit dievaluasi
: sulit dievaluasi
: sulit dievaluasi
: sulit dievaluasi
: sulit dievaluasi
: sulit dievaluasi
: sulit dievaluasi
: sulit dievaluasi
: sulit dievaluasi
Modifikasi romberg
: sulit dievaluasi
Dekomposisi sikap
: sulit dievaluasi
: sulit dievaluasi
: sulit dievaluasi
: sulit dievaluasi
Lari ditempat
: sulit dievaluasi
C. Tonus
D. Tremor
Px fungsi luhur
1. Aphasia
2. Alexia
3. Apraksia
: sulit dievaluasi
::Global
: sulit dievaluasi
: sulit dievaluasi
4. Agraphia
5. Akalkulia
6. Right-left disorientation
7. Fingeragnosis
Tes sendi sakro iliaka
a. Patricks
b. Kontra patricks
Tes provokasi n. Ischiadicus
a. Laseque
b. Sicards
c. Bragards
d. Minors
e. Neris
f. Doorbells
g. Kemp test
III. ASSESMENT
: sulit dievaluasi
: sulit dievaluasi
: sulit dievaluasi
: sulit dievaluasi
: sulit dievaluasi
: sulit dievaluasi
: sulit dievaluasi
: sulit dievaluasi
: sulit dievaluasi
: sulit dievaluasi
: sulit dievaluasi
: sulit dievaluasi
: sulit dievaluasi
Topis : Intrakranial
IV. PLANNING
Diagnosis
Tes darah (gula darah, kolesterol, koagulan)
CT scan kepala tanpa kontras
PLANNING TERAPI
Depacote 3x1
Infus NaCL 0.9 %
B6 3x1
Extrace 500mg 2x1
Tonicard 2x1
Monitoring
TTV
Perawatan luka (debridement)
d. Edukasi
Jauhkan dari benda bahaya atau jatuh
Beri bantalan di kepala
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
EPILEPSI
DEFINISI
EPIDEMIOLOGI
Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum
terjadi. Sekitar lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini.
Angka epilepsy lebih tinggi di negara berkembang. Insiden epilepsy di negara
apapun.
Penderita
laki-laki
umumnya
sedikit
lebih
banyak
ETIOLOGI
Etiologi Epilepsi kemungkinan disebabkan oleh:
A. Aktivitas
saraf
abnormal
akibat
proses
patologis
yang
mempengaruhi otak
B. Gangguan biokimia atau metabolik dan lesi mikroskopik di otak
akibat trauma otak pada saat lahir atau cedera lain
C. Pada bayi penyebab paling sering adalah asfiksi atau hipoksia
waktu lahir, trauma intrakranial waktu lahir, gangguan metabolik,
malformasi congenital pada otak, atau infeksi
D. Pada anak-anak dan remaja mayoritas adalah epilepsy idiopatik,
pada umur 5-6 tahun disebabkan karena febril
E. Pada usia dewasa penyebab lebih bervariasi idiopatik, karena
birth trauma, cedera kepala, tumor otak (usia 30-50 th), penyakit
serebro vaskuler (> 50 th)
Ditinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu :
sedikit.
Epilepsi simptomatik : disebabkan oleh kelainan / lesi pada susunan saraf
pusat. Misalnya : post trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat (SSP),
gangguan metabolic, malformasi otak kongenital, asphyxia neonatorum,
lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik serta kelainan
neurodegenerative.
Epilepsy kriptogenik : dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum
diketahui, termasuk disini adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut
dan epilepsy mioklonik.7
KLASIFIKASI
Epilepsi dapat diklasifikasikan menurut klasifikasi bangkitan epilepsi dan
klasifikasi sindroma epilepsi. Klasifikasi sindroma epilepsi berdasarkan faktorfaktor tipe bangkitan (umum atau terlokalisasi), etiologi (simtomatik atau
idiopatik), usia dan situasi yang berhubungan dengan bangkitan. Sedangkan
klasifikasi epilepsi menurut bangkitan epilepsi berdasarkan gambaran klinis dan
elektroensefalogram.
Klasifikasi ILAE (1981) untuk tipe bangkitan epilepsi adalah : 3
1. Bangkitan parsial/fokal
1) Bangkitan parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
a. Dengan gejala motorik
b. Dengan gejala sensorik
c. Dengan gejala otonomik
d. Dengan gejala psikik
2) Bangkitan parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)
a. Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran
Bangkitan parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran
Dengan automatisme
b. Dengan gangguan kesadaran sejak awal bangkitan
Dengan gangguan kesadaran saja
Dengan automatisme
3) Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder (tonik-klonik, tonik
atau klonik)
a. Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi bangkitan umum
b. Bangkitan parsial kompleks berkembang menjadi bangkitan umum
c. Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks,
dan berkembang menjadi bangkitan umum
2. Bangkitan Umum (Konvulsi atau Non-Konvulsi)
1) Bangkitan lena (absence)
Lena (absence), sering disebut petitmal. Serangan terjadi secara
tiba-tiba, tanpa di dahului aura. Kesadaran hilangselama beberapa
detik, di tandai dengan terhentinya percakapan untuk sesaat,
pandangan kosong, atau mata berkedip dengan cepat. Hampir
tiba-tiba
khas.
Berupa
pergerakan
tonik
satu
ekstrimitas
atau
kesadaran hilang
Klasifikasi ILAE (1989) untuk tipe epilepsy dan sindrom epilepsi adalah :
3
2. Epilepsi Umum
2.1. Idiopatik (sindrom epilepsi berurutan sesuai dengan usia awitan)
2.1.1. Kejang neonatus familial benigna
2.1.2. Kejang neonatus benigna
2.1.3. Kejang epilepsi mioklonik pada remaja
2.1.4. Epilepsi lena pada anak
2.1.5. Epilepsi lena pada remaja
2.1.6. Epilepsi mioklonik pada remaja
2.1.7. Epilepsi dengan bangkitan umum tonik klonik pada saat terjaga
2.1.8. Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah satu di atas
2.1.9. Epilepsi tonik klonik yang dipresipitasi dengan aktivasi yang spesifik
2.2. Kriptogenik atau Simtomatik (berurutan sesuai dengan peningkatan usia)
2.2.1. Sindrom West (spasme infantiil dan spasme salam)
2.2.2. Sindrom Lencox Gastaut
2.2.3. Epilepsi Mioklonik astatic
2.2.4. Epilepsi mioklonik lena
2.3. Simtomatik
3. Epilepsi dan Sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum
3.1. Bangkitan Umum dan fokal
3.1.1. Bangkitan neonatal
3.1.2. Epilepsi mioklonik berat pada bayi
3.1.3. Epilepsi dengan gelombang paku kontinyu selama tidur dalam
3.1.4. Epilepsi afasia yang didapat (Sindrom Landau Kleffner)
3.1.5. Epilepsi yang tidak termasuk dalam klasifikasi diatas
3.2. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum
4. Sindrom Khusus
4.1. Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu
4.1.1. Kejang demam
4.1.2. Bangkitan kejang / status epileptikus yang timbul hanya sekali( isolated)
4.1.3. Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian metabolic akut, atau
toksis, alcohol, obat-obatan, eklamsia, hiperglikemi non ketotik
4.1.4. Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesifik (epilepsi reflektorik)
PATOFISIOLOGI
Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih dominan dari
pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi, pergeseran
konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated ion channel opening, dan menguatnya
sinkronisasi neuron sangat penting artinya dalam hal inisiasi dan perambatan aktivitas
serangan epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion di dalam ruang ekstraseluler
dan intraseluler, dan oleh gerakan keluar-masuk ion-ion menerobos membran neuron.
Lima buah elemen fisiologi sel dari neuronneuron tertentu pada korteks serebri
penting dalam mendatangkan kecurigaan terhadap adanya epilepsi:
1. Kemampuan neuron kortikal untuk bekerja pada frekuensi tinggi dalam merespon
depolarisasi diperpanjang akan menyebabkan eksitasi sinaps dan inaktivasi konduksi Ca2+
secara perlahan.
2. Adanya koneksi eksitatorik rekuren (recurrent excitatory connection), yang memungkinkan
adanya umpan balik positif yang membangkitkan dan menyebarkan aktivitas kejang.
3. Kepadatan komponen dan keutuhan dari pandangan umum terhadap sel-sel piramidal pada
daerah tertentu di korteks, termasuk pada hippocampus, yang bias dikatakan sebagai tempat
paling rawan untuk terkena aktivitas kejang. Hal ini menghasilkan daerah-daerah potensial
luas, yang kemudian memicu aktifitas penyebaran nonsinaptik dan aktifitas elektrik.
4. Bentuk siap dari frekuensi terjadinya potensiasi (termasuk juga merekrut respon NMDA)
menjadi ciri khas dari jaras sinaptik di korteks.
5. Efek berlawanan yang jelas (contohnya depresi) dari sinaps inhibitor rekuren dihasilkan
dari frekuensi tinggi peristiwa aktifasi.
Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal
mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan potensial aksi secara
tepat dan berulang-ulang. Secara klinis serangan epilepsi akan tampak apabila cetusan listrik
dari sejumlah besar neuron abnormal muncul secara bersamasama, membentuk suatu badai
aktivitas listrik di dalam otak. Badai listrik tadi menimbulkan bermacam-macam serangan
epilepsi yang berbeda (lebih dari 20 macam), bergantung pada daerah dan fungsi otak yang
terkena dan terlibat. Dengan demikian dapat dimengerti apabila epilepsi tampil dengan
manifestasi yang sangat bervariasi.
Sebagai penyebab dasar terjadinya epilepsi terdiri dari 3 kategori yaitu :
1. Non Spesifik Predispossing Factor ( NPF ) yang membedakan seseorang peka tidaknya
terhadap serangan epilepsi dibanding orang lain. Setiap orang sebetulnya dapat dimunculkan
bangkitan epilepsi hanya dengan dosis rangsangan berbeda-beda.
2. Specific Epileptogenic Disturbances (SED). Kelainan epileptogenik ini dapat diwariskan
maupun didapat dan inilah yang bertanggung jawab atas timbulnya epileptiform activity di
otak. Timbulnya bangkitan epilepsi merupakan kerja sama SED dan NPF.
3. Presipitating Factor (PF). Merupakan faktor pencetus terjadinya bangkitan epilepsi pada
penderita epilepsi yang kronis. Penderita dengan nilai ambang yang rendah, PF dapat
membangkitkan reactive seizure dimana SED tidak ada.
Ketiga hal di atas memegang peranan penting terjadinya epilepsi sebagai hal dasar.
Hipotesis secara seluler dan molekuler yang banyak dianut sekarang adalah :
Membran neuron dalam keadaan normal mudah dilalui oleh ion kalium dan ion
klorida, tetapi sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan ion kalsium. Dengan demikian
konsentrasi yang tinggi ion kalium dalam sel ( intraseluler ), dan konsentrasi ion natrium dan
kalsium ekstraseluler tinggi. Sesuai dengan teori dari Dean (Sodium pump), sel hidup
mendorong ion natrium keluar sel, bila natrium ini memasuki sel, keadaan ini sama halnya
dengan ion kalsium. Bangkitan epilepsi karena transmisi impuls yang berlebihan di dalam
otak yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls.
Sinkronisasi ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara serentak,
secara teori sinkronisasi ini dapat terjadi.
1. Fungsi jaringan neuron penghambat ( neurotransmitter GABA dan Glisin ) kurang optimal
hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan.
2. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik ( Glutamat dan Aspartat ) berlebihan
hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan juga.
Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila konsentrasi GABA
(gamma aminobutyric acid ) tidak normal. Pada otak manusia yang menderita epilepsi
ternyata kandungan GABA rendah. Hambatan oleh GABA dalam bentuk inhibisi potensial
postsinaptik ( IPSPs = inhibitory post synaptic potentials) adalah lewat reseptor GABA.
Suatu hipotesis mengatakan bahwa aktifitas epileptic disebabkan oleh hilang atau kurangnya
inhibisi oleh GABA, zat yang merupakan neurotransmitter inhibitorik utama pada otak.
Ternyata pada GABA ini sama sekali tidak sesederhana seperti yang disangka semula. Riset
membuktikan bahwa perubahan pada salah satu komponennya bias menghasilkan inhibisi tak
lengkap yang akan menambah rangsangan. Sinkronisasi dapat terjadi pada sekelompok kecil
neuron saja, sekelompok besar atau seluruh neuron otak secara serentak. Lokasi yang berbeda
dari kelompok neuron ini menimbulkan manifestasi yang berbeda dari serangan epileptik.
Secara teoritis ada 2 penyebabnya yaitu fungsi neuron penghambat kurang optimal ( GABA )
sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan, sementara itu fungsi jaringan
neuron eksitatorik ( Glutamat ) berlebihan. Berbagai macam penyakit dapat menyebabkan
terjadinya perubahan keseimbangan antara neuron inhibitor dan eksitator, misalnya kelainan
heriditer, kongenital, hipoksia, infeksi, tumor, vaskuler, obat atau toksin. Kelainan tersebut
dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi,
sehingga mudah timbul epilepsi bila ada rangsangan yang memadai. Daerah yang rentan
terhadap kerusakan bila ada abnormalitas otak antara lain di hipokampus. Oleh karena setiap
serangan kejang selalu menyebabkan kenaikan eksitabilitas neuron, maka serangan kejang
cenderung berulang dan selanjutnya menimbulkan kerusakan yang lebih luas. Pada
pemeriksaan jaringan otak penderita epilepsi yang mati selalu didapatkan kerusakan di daerah
hipokampus. Oleh karena itu tidak mengherankan bila lebih dari 50% epilepsi parsial, fokus
asalnya berada di lobus temporalis dimana terdapat hipokampus dan merupakan tempat asal
epilepsi dapatan. Pada bayi dan anak-anak, sel neuron masih imatur sehingga mudah terkena
efek traumatik, gangguan metabolik, gangguan sirkulasi, infeksi dan sebagainya. Efek ini
dapat berupa kemusnahan neuron-neuron serta sel-sel glia atau kerusakan pada neuron atau
glia, yang pada gilirannya dapat membuat neuron glia atau lingkungan neuronal
epileptogenik. Kerusakan otak akibat trauma, infeksi, gangguan metabolisme dan sebagainya,
semuanya dapat mengembangkan epilepsi. Akan tetapi anak tanpa brain damage dapat juga
menjadi epilepsi, dalam hal ini faktor genetik dianggap penyebabnya, khususnya grand mal
dan petit mal serta benigne centrotemporal epilepsy. Walaupun demikian proses yang
mendasari serangan epilepsi idiopatik, melalui mekanisme yang sama.
Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan
transmisi pada sinaps. Tiap sel hidup, termasuk neuron-neuron otak mempunyai
kegiatan listrik yang disebabkan oleh adanya potensial membrane sel. Potensial
membrane neuron bergantung pada permeabilitas selektif membrane neuron,
yakni membrane sel mudah dilalui oleh ion K dari ruang ekstraseluler ke
intraseluler dan kurang sekali oleh ion Ca, Na dan Cl, sehingga di dalam sel
terdapat kosentrasi tinggi ion K dan kosentrasi rendah ion Ca, Na, dan Cl,
sedangkan keadaan sebaliknya terdapat diruang ekstraseluler. Perbedaan
konsentrasi ion-ion inilah yang menimbulkan potensial membran.
Ujung terminal neuron-neuron berhubungan dengan dendrite-dendrit dan
badan-badan neuron yang lain, membentuk sinaps dan merubah polarisasi
membran
neuron
berikutnya.
Ada
dua
jenis
neurotransmitter,
yakni
neuron
lebih
stabil
dan
tidak
mudah
melepaskan
listrik.
Diantara
amino butyric acid (GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis lepas
muatan listrik dan terjadi transmisi impuls atau rangsang. Hal ini misalnya terjadi
dalam keadaan fisiologik apabila potensial aksi tiba di neuron. Dalam keadaan
istirahat, membrane neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan berada
dalam keadaan polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi
membrane neuron dan seluruh sel akan melepas muatan listrik.
Oleh berbagai factor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau
mengganggu fungsi membaran neuron sehingga membrane mudah dilampaui
oleh ion Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan
mencetuskan
letupan
depolarisasi
membrane
dan
lepas
muatan
listrik
berlebihan, tidak teratur dan terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh
sejumlah besar neuron secara sinkron merupakan dasar suatu serangan epilepsy.
Suatu sifat khas serangan epilepsy ialah bahwa beberapa saat serangan berhenti
akibat pengaruh proses inhibisi. Di duga inhibisi ini adalah pengaruh neuronneuron sekitar sarang epileptic. Selain itu juga system-sistem inhibisi pra dan
pasca
sinaptik
yang
menjamin
agar
neuron-neuron
tidak
terus-menerus
menyebabkan aktivasi ritmik korteks saat sadar, dimana secara normal aktivitas
ritmik pada korteks terjadi pada saat tidur non-REM.
Patofisiologi epilepsi yang lain adalah disebabkan adanya mutasi genetik.
Mutasi genetik terjadi sebagian besar pada gen yang mengkode protein kanal ion
(pada tabel berikut). Contoh: Generalized epilepsy with febrile seizure plus,
benign familial neonatal convulsions.
Tabel 3. Mutasi kanal ion pada beberapa jenis epilepsi 4-6
Kanal
Voltage-gated
Kanal Natrium
Gen
Sindroma
SCN1A, SCN1B
Generalized
Kanal Kalium
SCN2A, GABRG2
KCNQ2, KCNQ3
Kanal Kalsium
CACNA1A, CACNB4
convulsions
Episodic ataxia tipe 2
Kanal Klorida
ACNA1H
CLCN2
epilepsies
with
neonatal
with
grand
mal
seizure on awakening
Ligand-gated
Reseptor asetilkolin CHRNB2, CHRNA4
Autosomal
Reseptor GABA
lobe epilepsy
Juvenile
GABRA1, GABRD
dominant
frontal
myoclonic
epilepsy
Pada kanal ion yang normal terjadi keseimbangan antara masuknya ion
natrium (natrium influks) dan keluarnya ion kalium (kalium efluks) sehingga
terjadi aktivitas depolarisasi dan repolarisasi yang normal pada sel neuron. Jika
terjadi mutasi pada kanal Na seperti yang terdapat pada generalized epilepsy
with febrile seizures plus, maka terjadi natrium influks yang berlebihan
sedangkan kalium efluks tetap seperti semula sehingga terjadi depolarisasi dan
repolarisasi yang berlangsung berkali-kali dan cepat atau terjadi hipereksitasi
pada neuron.
Hal yang sama terjadi pada benign familial neonatal convulsion dimana
terdapat mutasi kanal kalium sehingga terjadi efluks kalium yang berlebihan dan
menyebabkan hipereksitasi pada sel neuron.
pada
gangguan
pertumbuhan
ataupun
plastisitas
di
sinapsis.
sekarang
masih
tetap
dalam penelitian
kaitan
dengan
epilepsi,
GEJALA
gerakan
yang
tidak
jelas
artinya,
atau
berjalan
DIAGNOSIS
Untuk dapat mendiagnosis seseorang menderita epilepsi dapat dilakukan melalui
anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasilpemeriksaan EEG dan radiologis. Namun
demikian, bila secara kebetulan melihat serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi
(klinis) sudah dapat ditegakkan.8
1. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena pemeriksa
hampir tidak pemah menyaksikan serangan yang dialami penderita. Penjelasan perihal segala
sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan (meliputi gejala dan lamanya
serangan) merupakan informasi yang sangat berarti dan merupakan kunci diagnosis.
Anamnesis juga memunculkan informasi tentang trauma kepala dengan kehilangan
mengalami
kejang
tonik. otot-otot
berkontraksi sangat
hebat,
penderita terjatuh, lengan fleksi dan tungkai ekstensi. Udara paru-paru terdorong
keluar dengan deras sehingga terdengar jeritan yang dinamakan jeritan epilepsi.
Kejang tonik ini kemudian disusul dengan kejang klonik yang seolah-olah
mengguncang-guncang dan membanting-banting tubuh si sakit ke tanah. Kejang
tonik-klonik berlangsung 2 -- 3 menit. Selain kejang-kejang terlihat aktivitas
vegetatif seperti berkeringat, midriasis pupil, refleks cahaya negatif, mulut
berbuih dan sianosis. Kejang berhenti secara berangsur-angsur dan penderita
dalam keadaan stupor sampai koma. Kira-kira 4-5 menit kemudian penderita
bangun, termenungdan kalau tak diganggu akan tidur beberapa jam. Frekuensi
bangkitan dapat setiap jam sampai setahun sekali.
Minor :
Epilepsi petit mal yang sering disebut pykno epilepsi ialah epilepsi umum
yang idiopatik. Meliputi kira-kira 3 -- 4% dari kasus epilepsi..
Bangkitan mioklonus. Bangkitan berupa gerakan involunter misalnya
anggukan kepala, fleksi lengan yang terjadi berulang-ulang. Bangkitan terjadi
demikian cepatnya sehingga sukar diketahui apakah ada kehilangan kesadaran
atau tidak. Bangkitan ini sangat peka terhadap rangsang sensorik. (9)
Bangkitan akinetik. Bangkitan berupa kehilangan kelola sikap tubuh
karena menurunnya tonus otot dengan tiba-tiba dan cepat sehingga penderita
jatuh atau mencari pegangan dan kemudian dapat berdiri kembali. Ketiga jenis
bangkitan ini(petit mal, mioklonus dan akinetik) dapat terjadi pada seorang
penderita dan disebut trias Lennox-Gastaut.
Spasme infantil. Jenis epilepsi ini juga dikenal sebagai salaam spasm atau
sindroma West. Timbul pada bayi 3 -- 6 bulan dan lebih sering pada anak lakilaki. Penyebab yang pasti belum diketahui, namun selalu dihubungkan dengan
kerusakan otak yang luas seperti proses degeneratif, gangguan akibat trauma,
infeksi dan gangguan pertumbuhan. Bangkitan dapat berupa gerakan kepala
kedepan atau keatas, lengan ekstensi, tungkai tertarik ke atas, kadang-kadang
disertai teriakan atau tangisan,miosis atau midriasis pupil, sianosis dan
berkeringat.
Bangkitan
motorik.
Fokus
epileptogen
terletak
di
korteks
motorik.
Bangkitan kejang pada salah satu atau sebagian anggota badan tanpa disertai
dengan hilang kesadaran. Penderita seringkali dapat melihat sendiri gerakan otot
yang misalnya dimulai pada ujung jari tangan, kemudian ke otot lengan bawah
dan akhirnya seluruh lengan.Manifestasi klinik ini disebut Jacksonian marche
Epilepsi parsial ( 20% dari seluruh kasus epilepsi). 9
Bangkitan sensorik
membaca,
halusinasi
dengan
automatisme
penglihatan,
kulit
bercak putih, dan adenoma seboseum pada muka pada sklerosi tuberose.
Hemangioma pada muka dapat menjadi tanda adanya penyakit Sturge-Weber.
Pada toksoplasmosis, fundus okuli mungkin menunjukkan tanda-tanda korio
renitis. Mencari kelainan bawaan, asimetri pada kepala, muka, tubuh,ekstrimitas.
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan
magnesium,
Laboratorium
natrium,
timbulnya kejang
hiponatremia,
Perlu
bilirubin,
ialah keadaan
hypernatremia,
diperiksa
ureum
kadar
glukosa,
dalamdarah. Yang
hipoglikemia,
hypokalemia,
hiperbilirubinemia,
kalsium,
memudahkan
hipomagnesia,
dan uremia.
Penting pula
susunan
tumor ganas,
saraf
sentral,
adanya
leukemia
perdarahan
yang
otak
menyerang
atau
otak,
perdarahan
subaraknoid.10,11
a. Pemeriksaan radiologis
Arteriografi dan
pneumoensefalografi
dilakukan
bila
perlu.
runcing
lambat,
paku
lambat.
Pemeriksaan tambahan
lain
adalah
bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter. Penentuan lokasi fokus epilepsi
parsial dengan prosedur ini sangat diperlukan pada persiapan operasi.
PENATALAKSANAAN
Tujuan utama dari terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup penderita yang
optimal. Ada beberapa cara untuk mencapai tujuan tersebut antara lain menghentikan
bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan tanpa efek samping ataupun dengan efek samping
seminimal mungkin serta menurunkan angka kesakitan dan kematian.10
Prinsip
penanggulangan
bangkitan
epilepsi
dengan
terapi
farmaka
mendasar pada beberapa faktor antara lain blok kanal natrium, kalsium,
penggunaan potensi efek inhibisi seperti GABA dan menginhibisi transmisi
eksitatorik
glutamat.
Sekarang
ini
dikenal
dengan
pemberian
kelompok
inhibitorik GABAergik. Beberapa obat antie- pilepsi yang dikenal sampai sekarang
ini
(Tegretol),
valproat
(Depakene,
Convulex)
(Brodie
and
Dichter,
1996).
Protokol
adalah
satu-satunya
protein
yang
mempunyai
ikatan
dengan
Setelah bangkitan terkontrol dalam jangka waktu tertentu, OAE dapat dihentikan
tanpa kekambuhan. Penghentian sebaiknya dilakukan secara bertahap setelah 2 tahun bebas
dari bangkitan kejang.
Ada 2 syarat yang penting diperhatikan ketika hendak menghentikan OAE yakni:
STATUS EPILEPTIKUS
Definisi
Pada konvensi Epilepsy Foundation of America (EFA) 15 tahun yang lalu,
status epileptikus didefenisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau
lebih rangkaian kejang tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau
aktivitas kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit. Secara sederhana dapat
dikatakan bahwa jika seseorang mengalami kejang persisten atau seseorang
yang tidak sadar kembali selama lima menit atau lebih harus dipertimbangkan
sebagai status epileptikus.11,12
Klasifikasi
Klasifikasi status epileptikus penting untuk penanganan yang tepat, karena
penanganan yang efektif tergantung pada tipe dari status epileptikus. Pada
umumnya status epileptikus dikarakteristikkan menurut lokasi awal bangkitan
area tertentu dari korteks (Partial onset) atau dari kedua hemisfer otak
(Generalized onset)- kategori utama lainnya bergantung pada pengamatan klinis
yaitu, apakah konvulsi atau non-konvulsi.
Banyak
mengklasifikasikan
status
epileptikus
merupakan
salah
satu
kondisi
neurologis
yang
penatalaksanaan
status
epileptikus
pada
makalah
ini
diambil
penanganan
status
epileptikus
menggunakan
Benzodiazepin.
Diazepam (Valium),
Lorazepam (Ativan), dan Midazolam (Versed). Ketiga obat ini bekerja dengan
peningkatan
inhibisi
dari g-aminobutyric
acid (GABA)
oleh
ikatan
pada
antikonvulsan
masa
kerja
lama
seharusnya
dengan
glove
syndrome.
Larutan
dekstrosa
tidak
digunakan
untuk
rekuren,
atau
hipokalsemia
persisten.
Kesalahan
diagnosis
Bersihkan jalan nafas, jika ada sekresi berlebihan segera bersihkan (bila
perlu intubasi)
a.
b.
c.
d.
e.
2.
Kirim sampel serum untuk evaluasi elektrolit, Blood Urea Nitrogen, kadar
4.
2.
BAB IV
KESIMPULAN
Epilepsi adalah gangguan pada otak yang menyebabkan terjadinya kejang berulang.
Kejang terjadi ketika aktivitas listrik dalam otak tiba-tiba terganggu. Gangguan ini dapat
menyebabkan perubahan gerakan tubuh, kesadaran, emosi dan sensasi.
Tidak semua kejang disebabkan epilepsy. Kejang juga dapat disebabkan oleh kondisi
tertentu seperti meningitis, ensefalitis atau trauma kepala. Ada banyak tipe kejang pada
epilepsy. Kejang dapat digolongkan menjadi kejang parsial dan kejang umum, tergantung
pada banyaknya area otak yang terpengaruh.
Ada beberapa komplikasi pada epilepsy seperti status epileptikus dan sudden
unexpected death in epilepsy. Status epileptikus ini terjadi jika terdapat kejang lebih dari 30
menit tanpa adanya pemulihan kesadaran. Biasanya status epileptikus adalah kedaruratan
medis pada kejang tonik klonik. Sedangkan SUDEP sangat jarang terjadi.
Gejala epilepsy dapat dikontrol dengan menggunakan obat anti kejang. Hamper
delapan dari sepuluh orang dengan epilepsy gejala kejang yang mereka alami dapat dikontrol
dengan baik oleh obat anti kejang. Pada awal pengobatan akan diberikan satu jenis obat untuk
mengatasi kejang. Apabila kejang tidak dapat dikontrol maka akan digunakan dua atau lebih
kombinasi dari obat anti kejang.
DAFTAR PUSTAKA
1. Accessed
on
February
22th
2014
http://www.searo.who.int/LinkFiles/Technical_documents_Ment-134.pdf
2. Tjahjadi,P.,Dikot,Y,Gunawan,D. Gambaran Umum Mengenai Epilepsi.
In : Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press.2005. p119-127.
3. Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
(Perdossi).
Pedoman
Perdossi;2012.
Tatalaksana
Epilepsy.
Jakarta:
Penerbit
2014:
http://www.who.int/mental_health/neurology/epilepsy_atlas_introdion.pdf
6. Accessed
on
February
22th
2014:
http://www.epilepsyfoundation.org/about/statistics.cfm
7. Accessed
on
February
22th
2014
http://epilepsiindonesia.com/pengobatan/epilepsi-dan-anak/pahamigejala-epilepsi-pada-anak-2
8. Shorvon SD. HANDBOOK OF Epilepsy Treatment Forms, Causes and The
rapy in Children and Adults. 2nd ed. America: Blackwell Publishing Ltd.2005
9 . P r i c e d a n W i l s o n . 2 0 0 6 . Patofisiologi: Konsep Klinis Proses
-Proses Penyakit. Ed: 6. Jakarta: EGC
10. Aminoff MJ dkk. Clinical Neurology. 6th ed. New York: McGraw-Hill.
11. Wilkinson I. Essential neurology. 4th ed. USA: Blackwell
200515.PERDOSSI. Pedoman
Tatalaksana
Epilepsi.
Publishing.
Ed.
3. Jakarta.
200816.http://www.medscape.com/viewarticle/726809
12.Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Penerbit Dian
Rakyat; 2009.p.439.
13.Utama H. Antiepilepsi dan Antikonvulsi dalam Farmakologi dan terapi.
5th ed. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2005.
14.Lumbantobing SM. Epilepsy. Jakarta : Balai Penerbit FKUI;2006.