TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pulpotomi
Pulpotomi adalah pengambilan jaringan pulpa pada bagian koronal yang
telah mengalami infeksi (Rasinta dan Gita, 2013). Pulpotomi dilakukan pada gigi
sulung dengan karies yang menyebabkan pulpa terbuka tanpa adanya kelainan
patologis pada akar maupun periapikal (Praveen et al., 2014). Tujuan perawatan
ini adalah mempertahankan pulpa pada bagian akar, menghindari rasa sakit dan
bengkak, mempertahankan gigi sulung hingga gigi permanen pengganti erupsi,
serta menjaga integritas rahang (Fuks, 2008).
Indikasi pulpotomi adalah sebagai berikut (Rasinta dan Gita, 2013).
a. Pulpa vital, bebas dari pernanahan atau tanda nekrosis lainnya.
b. Pulpa terbuka karena faktor mekanis selama preparasi kavitas yang kurang
hati-hati atau tidak sengaja.
c. Pulpa terbuka karena trauma dan sudah lebih dari 24 jam, tanpa terlihat
adanya infeksi pada bagian periaplikal.
d. Gigi masih dapat diperbaiki dan minimal didukung lebih dari dua pertiga
panjang akar.
e. Tidak ada kehilangan tulang pada bagian interradikular.
f. Pada gigi posterior yang ekstirpasi pulpa sulit dilakukan.
Kontraindikasi pulpotomi adalah sebagai berikut (Rasinta dan Gita, 2013).
a.
b.
c.
d.
e.
freeze-dried bone, dan mineral trioxide aggregate (MTA) (Ingle dan Bakland,
2002: 876).
Prosedur perawatan pulpotomi secara umum adalah sebagai berikut.
a. Menyiapkan instrumen dan bahan serta isolasi daerah kerja. Sebelum
memulai perawatan gigi vital yang dicurigai mengalami pulpa terbuka,
diperlukan anastesi lokal untuk menghindari rasa sakit saat perawatan.
b. Preparasi kavitasdan membuang atap pulpa menggunakan bur bulat yang
diarahkan menuju oklusal seperti gerakan menarik. Untuk memberikan jalan
masuk yang mudah ke kamar pulpa, penting untuk memperluas bagian
oklusal pada kavitas. Selanjutnya, gunakan bur fissure dengan menggerakkan
ke arah mesial distal untuk membuang seluruh atap pulpa.
c. Ekskavasi karies yang dalam dengan perlahan-lahan karies dibersihkan
dengan ekskavator, mula-mula dengan menghilangkan karies tepi, kemudian
berlanjut ke arah pulpa.
d. Buang pulpa bagian koronal dengan ekskavator besar atau dengan bur bulat
dengan kecepatan rendah.
e. Cuci dan keringkan kamar pulpamenggunakan larutan saline steril atau
aquades steril dan keringkan serta kontrol perdarahan menggunakan kapas
kecil steril.
f. Aplikasi medikamen pulpotomi.
1. Jika menggunakan formokresol,
mengaplikasikan
formokresol
pada
berikan
kapas
formokresol
bulat
kecil,
dengan
kelebihan
powder
MTA dengan
aquades
steril.
Selanjutnya,
MTA
jaringan keras. Kalsium hidroksida juga bereaksi dengan ion fosfat untuk
membentuk kalsium fosfat amorf yang akhirnya menghasilkan hidroksiapatit
(Woo Chang, 2012).
Sejumlah penelitian telah melaporkan tingkat keberhasilan MTA pada
perawatan pulpotomi. Penelitian Aeinehchi et al. (2003) tentang perawatan
pulpotomi menggunakan MTA menunjukkan evaluasi histologis tidak terdapat
inflamasi, hiperemi maupun nekrosis serta terbentuk lapisan odontoblas dan
penebalan dentinal bridge. Penelitian Miles et al. (2010) menyatakansetelah
kontrol satu tahun pasca pulpotmi, tingkat keberhasilan perawatan menggunakan
MTA sebesar 67,7% dan setelah 2 tahun sebesar 56,2%.
2.3. Formokresol
Formokresol mulai diperkenalkan pada tahun 1904 oleh Buckley. Ia
berpendapat bahwa formalin dan kresol akan bereaksi secara kimiawi dengan
akhir produk akhir inflamasi untuk membentuk komponen yang tidak berbahaya
(Ingle dan Bakland, 2002: 876). Komposisi formokresol terdiri dari 19%
formaldehid, 35% kresol, dan 46% air dan gliserin. Formokresol banyak
digunakan sebagai medikamen atau dressing pulpotomi untuk fiksasi sisa jaringan
pulpa (Nisha dan Amit, 2014: 229).
Keberhasilan formokresol dalam perawatan pulpotomi telah banyak
dilaporkan. Dilusi formokresol 1:5 pada pulpotomi menunjukkan tingkat
keberhasilan 94,3% pada evaluasi menggunakan radiografi 4 sampai 36 bulan.
Evaluasi radiografi formokresol full-strength pada pulpotomi setelah 24-87 bulan
menunjukkan tingkat keberhasilan 93,8%. Namun, penelitian lainnya juga
menyatakan selain 80% tingkat keberhasilan pulpotomi menggunakan medikamen
formokresol, ditemukan juga resorpsi akar yang lebih awal setelah pulpotomi
(Ingle dan Bakland, 2002: 878).
Formokresol bertindak melalui kelompok aldehid formaldehid, membentuk
ikatan dengan kelompok sisi asam amino dari protein bakteri dan jaringan pulpa
yang tersisa. Oleh karena itu formokresol dapat berfungsi sebagai bakterisidal dan
bahan devitalisasi. Formokresol membunuh dan mengubah bakteri dan jaringan
pulpa menjadi senyawa inert. Fungsinya adalah untuk memperpanjang masa hidup
pulpa, memelihara pulpa tetap inert dan mempertahankan gigi sampai saatnya
tanggal secara fisiologis (Chandrashekar dan Sashidar, 2014).
Dengan formokresol sebagai obat pulpotomi, zona fiksasi biasanya adalah
pulpa yangberkontak langsung dengan obat tersebut. Koagulasi nekrosis jaringan
terjadi di lokasi amputasi dan didukung oleh fakta bahwa koagulasi nekrosis
diproduksi oleh fenol, formaldehid atau merkuri klorida, yang mendenaturasi
protein sel. Hal ini juga menunjukkan bahwa formokresol menginaktivasi enzim
oksidatif dalam jaringan pulpa yang berdekatan dengan bagian amputasi. Hal ini
juga mungkin memiliki beberapa efek pada aksi hialuronidase. Oleh karena itu,
protein pengikat dan penghambatan enzim yang dapat memecah jaringan pulpa
juga dapat menghasilkan fiksasi dari jaringan pulpa dengan formokresol
(Chandrashekar dan Sashidar, 2014).
Formokresol adalah racun bagi jaringan hidup karena komponen
formaldehid. Formokresol yang diaplikasikan pada pulpa mudah diserap ke dalam
sirkulasi sistemik dan didistribusikan ke seluruh tubuh. Sebagian dari formokresol
dimetabolisme dan diekskresikan oleh ginjal dan paru-paru, sisanya adalah
jaringan yang terikat dengan hati, ginjal dan paru-paru (Chandrashekar dan
Sashidar, 2014).
Studi histologis menunjukkan kerusakan biologis setelah perawatan
menggunakan formokresol. Secara fisiologis, dengan kerusakan pembuluh darah,
keseimbangan antara tekanan osmotik dan tekanan hidrostatik terganggu dalam
jaringan. Akibatnya, ada penyerapan cairan inflamasi oleh jaringan pulpa dan
penurunan tekanan osmotik. Jadi keseimbangan hemostatik harus dikembalikan.
Ketika ini terjadi, rongga pulpa yang terbatas harus menghilangkan perubahan
tekanan. Jika ini tidak terjadi, nekrosis tekanan dari pulpa terjadi. Selain itu,
limfatik dan aliran pembuluh darah vena dari pulpa koronal harus menghilangkan
cairan inflamasi berlebihan ini. Kelebihan ini didistribusikan menuju apikal dan
pembuluh vaskular regional. Oleh karena itu, kerusakan lokal ini dapat
menyebabkan distribusi sistemik (Chandrashekar dan Sashidar, 2014).
Bahan aktif kedua dari formokresol, kresol, tidak banyak dilaporkan dapat
masuk dalam sirkulasi sistemik. Kresol sangat lipofilik dan telah terbukti dapat
menghancurkan integritas selular. Hal ini akan memungkinkan jaringan yang lebih
dalam difiksasi oleh komponen formaldehid dari formokresol. Benzil alkohol
adalah produk sampingan dari oksidasi tricresol. Benzil alkohol teroksidasi
dengan cepat menjadi asam benzoat, terkonjugasi dengan glisin dalam hati, dan
dikeluarkan sebagai asam hipurat. Produk ini tidak memiliki potensi karsinogenik
atau mutagenik, dan asupan harian yang diijinkan yang ditetapkan oleh WHO
adalah 5 mg / kg (Chandrashekar dan Sashidar, 2014).
Studi pada terapi formokresol telah menunjukkan tingkat keberhasilan klinis
pulpotomi dengan medikamen formokresol antara 70% hingga 90%. Namun hasil
histologis dilaporkan berbeda dengan tingkat keberhasilan klinis. Secara histologi
formokresol tidak menjaga jaringan pulpa, tetapi menyebabkan peradangan kronis
dan ditemukan jaringan nekrotik. Masalah lain dengan formokresol adalah
distribusi sistemik yang berasal dari pulpotomi. Sebuah penelitian menyatakan
hubungan antara gigi sulung yang diobati dengan formokresol dan ditemukannya
enamel cacat pada gigi permanen pengganti. Sifat alergi dan mutagenik
formaldehid telah dibuktikan pada model binatang, tapi tidak pada manusia. Kista
juga telah ditemukan terkait dengan pulpotomi menggunakan formokresol
(Chandrashekar dan Sashidar, 2014).
Studi lain menunjukkan bahwa formokresol dengan 48,5% formaldehid
diserap dari beberapa daerah pulpotomi dapat memulai cedera jaringan di ginjal
dan hati hewan percobaan. Penulis menunjukkan bahwa studi longitudinal
diperlukan untuk menentukan apakah sel-sel ginjal dan hati yang terluka akan
sembuh karena ada cedera sel saja, dan tidak ada bukti timbulnya reaksi inflamasi.
Penelitian ini tidak dapat membuat dampak klinis langsung mengenai toksisitas
formokresol (Chandrashekar dan Sashidar, 2014).