Anda di halaman 1dari 65

Cermin 1993

Dunia Kedokteran
International Standard Serial Number: 0125 – 913X

88. Beberapa Daftar Isi :


2. Editorial
Masalah 4. English Summary

Keganasan 5. Prinsip Penatalaksanaan Lekemia – A. Harryanto Reksodiputro,


Chairul Amal Nasution
10. Prinsip Penatalaksanaan Limfoma Non Hodgkin – A. Harryanto
Reksodiputro
13. Pengaruh Berbagai Faktor terhadap Hasil Pengobatan Regimen
Obat Generasi Ke dua pada Penderita Limfoma Non Hodgkin –A.
Harryanto Reksodiputro
16. Etoposide (Vp-16) – Sitostatik Oral untuk Kanker Paru –Achmad
Hudoyo
18. Reseptor Estrogen pada Karsinoma Payudara – Truly Djimahit
Dasril
20. Penyebab Nyeri Kanker dan Penatalaksanaannya – Dwi Djuwantoro
24. Mammografi – pro dan kontra – B. Susworo
26. Terapi Laser pada Tumor Trakeobronkus – M. Ali Hanafiah
31. Perhitungan Dosis Sinar X Diagnostik dengan Menggunakan
Faktor-faktor Paparan – Susetyo Trijoko, Suyati, Agung Nugroho
35. Efek Sinar X Dosis Tunggal terhadap Jumlah Anak Mencit (Fl)
yang Dilahirkan dari Perkawinan Satu Hari Pascairadiasi – Su-
hardjo
39. Some Immunological Aspects of Various Types of Specific
Acquired Deficient Immune Status (SADIS) following Various
Kinds of Microbial Infection – 3. the leukemia type (Lk-type) of
SADIS – RA Handojo, Anggraeni Inggrid Handojo
45. Nilai Klinis Uji ELISA Makro pada Penyakit Tuberkulosis Paru –
Indro Handojo, Anik Widijanti
49. Metoda Sederhana Pengukuran Kebisingan Lingkungan – Sukar 53.
Kandungan Cadmium (Cd) pada Ikan Laut Segar di Muara Baru,
Jakarta, 1991 – Djarismawati, Riris Nainggolan
57. Pola Pembiayaan Penderita Rawat Inap di Paviliun RSUD
Pamekasan – IN Dana Susadi
60. English Summary
61. Humor Kcdokteran
62. Abstrak
64. RPPIK
Kanker sampai saat ini masih merupakan penyakit yang sulit disembuhkan,
apalagi bila ditemukan pada stadium yang sudah lanjut; meskipun demikian ada
jenis kanker tertentu yang saat ini sudah dapat diatasi, terutama bila diobati
pada stadium dini; salah satu di antaranya ialah lekemia.
Edisi kali ini memuat beberapa tulisan dari pakar hematologi kita – Prof.
A. Harryanto Reksodiputro – mengenai beberapa kelainan darah, terutama
penyakit keganasan sistim hemopoetik. Kami harap rangkaian tulisan ini ber-
manfaat bagi para sejawat.
Ditambah dengan beberapa artikel lain yang tidak kurang pentingnya,
yaitu pandangan baru mengenai proses imunologi pada tuberkulosis, kami
yakin edisi ini dapat menambah wawasan para sejawat sekalian.

Redaksi

2 Cermin Dunia Kedokteran No. 101, 1995


Cermin 1995

Dunia Kedokteran
International Standard Serial Number: 0125 – 913X

KETUA PENGARAH REDAKSI KEHORMATAN


Prof. Dr Oen L.H. MSc
– Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro – Prof. DR. B. Chandra
KETUA PENYUNTING Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa Guru Besar Ilmu Penyakit Saraf
Dr Budi Riyanto W Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga,
Jakarta. Surabaya.
PEMIMPIN USAHA – Prof. Dr. R.P. Sidabutar
Rohalbani Robi Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam – Prof. Dr. R. Budhi Darmojo
Sub Bagian Ginjal dan Hipertensi Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam
PELAKSANA Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro,
Sriwidodo WS Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Semarang.
Jakarta.
TATA USAHA – Prof. Dr. Sudarto Pringgoutomo
Sigit Hardiantoro – Drg. I. Sadrach
Guru Besar Ilmu Patologi Anatomi Lembaga Penelitian Universitas Trisakti,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
ALAMAT REDAKSI Jakarta.
Majalah Cermin Dunia Kedokteran – Prof. DR. Sumarno Poorwo Soe-
P.O. Box 3105 Jakarta 10002 – DR. Arini Setiawati
darmo Bagian Farmakologi
Telp. 4892808 Kepala Badan Penlitian dan Pengembangan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Fax. 4893549, 4891502 Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta,
Jakarta
NOMOR IJIN
151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 REDAKSI KEHORMATAN
Tanggal 3 Juli 1976
– Dr. B. Setiawan Ph.D – Drs.Victor S. Ringoringo,SE,MSc.
PENERBIT
Grup PT Kalbe Farma
– DR. Ranti Atmodjo – Dr. P.J. Gunadi Budipranoto
PENCETAK
PT Midas Surya Grafindo
PETUNJUK UNTUK PENULIS

Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai sesuai dengan urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan
aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidang- yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk meng-
bidang tersebut. hindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan
Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated
diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila telah pernah dibahas atau di- Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Manuscripts Submitted
bacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh:
nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut. Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore. London:
Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan William and Wilkins, 1984; Hal 174-9.
bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms.
berlaku. Istilah media sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mecha-
yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak nisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974; 457-72.
mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus di- Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin
sertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pem- Dunia Kedokt. l990 64 : 7-10.
baca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih,
dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk.
berbahasa Inggris untuk karangan tersebut. Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran,
Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ Gedung Enseval, JI. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510
folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, lebih P.O. Box 3117 Jakarta.
disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto. Nama (para) pe- Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu
ngarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat secara tertulis.
bekerjanya. Tabel/skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelas- Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai
jelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis


dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat
kerja si penulis.
English Summary

CAUSES AND MANAGEMENT OF DOSE CALCULATION OF DIAG-


CANCER PAIN NOSTIC X-RAY USING EXPOSURE
FACTORS
Dwi Djuwantoro
SeJangkung Community Health Center, Susetyo Trijoko, Suyati, Agung
Sambas, West Kalimantan, Indonesia
Nugroho
Centre for Standardization and Radiation
Safety Research, BATAN, Pasar Jum'at,
Indonesia
Pain is a common symptom
of cancer. One-third of cancer
patients will present with pain and
the majority will experience pain Dose for diagnostic X-ray has
in the last weeks of life. Cancer been calculated by using expo-
pain is an important but neglect- sure factors of X-ray machine.
ed public issue in developed Diagnostic X-ray machine Tanka
and developing countries alike. model RTO-125 of the Centre for
Several million cancer patients Standardization and Radiation
suffer it each day through the use Safety Research (PSPKR), Batan,
a limited number of relatively was used in this experiment. The
inexpensive medications. It is vi- factors considered in this work
tal that all professionals involved include peak-voltage, electric
with the treatment of cancer current, time exposure, field-size,
patients, especially those who focus-detector distance, and
care for the high proportion who backscatter. Those measured
eventually die of their diesease, factors were then used to calcu-
be familiar with the basic prin- late doses for various treatments.
ciples of analysing and treating Experimental results showed that
their pain. the calculated doses agreed
well with the direct-measurement
doses, with maximum difference
Cermin Dunia Kedokt. 1993; 88: 20–3 of 5.2%. So it is concluded that this
Dd method is good and basically
could be applied for any X-ray
diagnostic machine.

Cermin Dunia Kedokt. 1993; 88:31–4


St, Sy, An

4 Cermin Dunia Kedokteran No. 101, 1995


Artikel

Prinsip Penatalaksanaan Lekemia


A. Harryanto Reksodiputro, Chairul Amal Nasution
Subbagian Hematologi-Onkologi Medik Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN ETIOLOGI
Lekemia dilaporkan sebagai suatu kesatuan penyakit pada Walaupun penyebab Ickemia bclum sepcnuhnya diketahui,
tahun 1845 oleh Bennet dan Virchow. Kedua orang ini mene- sejumlah faktor terbukti berpengaruh dan dapat menyebabkan
mukan adanya pembesaran limpa dan darah yang menyerupai lekemia, baik faktor intrinsik (host) ataupun faktor ekstrinsik
nanah pada otopsi penderita penyakit menahun dan progresif, (lingkungan).
dengan penyebab yang tidak diketahui. Virchow (tahun 1847)
A. Faktor intrinsik
menyebut penyakit ini sebagai lckemia.
– Keturunan
Penyakit lekemia ditandai oleh adanya proliferasi tak ter-
Lekemia tidak diwariskan, tetapi sejumlah individu me-
kendali dari satu atau beberapa jenis sel darah. Hal ini terjadi
miliki faktor predisposisi untuk mendapatkannya. Risiko ter-
karena adanya perubahan pada kromosom sel induk sistim
jadinya lekemia mcningkat pada kembar identik pcnderita
hemopoetik.
lekemia akut, demikian pula walaupun jarang, pada saudara
Pada orang dewasa set sistim hemopoetik dan limfoid ber-
lainnya.
asal dari scl induk multipotensial dalam sumsum tulang. Sel
– Kelainan kromosom
sistim hemopoctik adalah scl yang terus menerus berproliferasi,
Kejadian lckemia meningkat pada penderita dcngan ke-
karena itu set ini lcbih potensial untuk bcrtransformasi menjadi
lainan fragilitas kromosom (Sindrom Bloom dan Anemia
set ganas dan lebih peka terhadap obat toksik seperti sitostatika
Fanconi) atau pada pcndcrita dcngan jumlah kromosom yang
dan radiasi. Akibat proliferasi sel yang tidak terkendali ini tcrjadi
abnormal seperti pada Sindrom Down, Klinefcltcr, dan Turner.
kenaikan kadar satu atau beberapa jenis sel darah dan pengham-
– Defisiensi imun
batan pembentukan set darah lainnya dcngan akibat terjadinya
Sistim imunitas tubuh kita mcmiliki kemampuan untuk
anemi, trombositopeni dan granulositopcni.
mengidentifikasi scl yang berubah menjadi scl ganas. Ganggu-
Perubahan kromosom yang terjadi merupakan tahap awal
an pada sistim tersebut dapat menyebabkan beberapa sel ganas
onkogenesis dan prosesnya sangat kompleks, melibatkan faktor
lolos dan selanjutnya berproliferasi hingga menimbulkan pe-
intrinsik (host) dan ekstrinsik (lingkungan). Pengetahuan ten-
nyakit.
tang patogenesis terjadinya lekemia diperolch bcrkat hasil pene-
– Disfungsi sumsum tulang, scperti sindrom mielodisplastik,
litian bcrbagai disiplin ilmu, terutama ahli gcnctik, ahli biologi
mieloproliferatif, anemia aplastik dan hemoglobinuria noktur-
molekul, ahli virus dan ahli imunologi.
nal paroksismal.
Perkembangan teknik sitokimia, petanda imunologik sel,
teknik genetika sel, dan adanya mikroskop elektron me- B. Faktor Lingkungan
mungkinkan adanya pembagian atau subklasifikasi lekemia. – Radiasi

Dibacakan di Simposiwn Lekemia dan Limfome Malignum, Padang, 25 Ju1i 1992


Adanya efek lekemogenik dan ionisasi radiasi, dibuktikan M5 : Lekemia monoblastik
dengan tingginya insidens lekemia pada ahli radiologi (sebelum M6 : Eritrolekemia
ditemukannya alat pelindung), penderita dengan pembesaran M7 : Lekemia megakariositik
kelenjar timus, ankilosing spondilitis, dan penyakit Hodgkin
Lekemia limfoblastik akut
yang mendapat terapi radiasi. Diperkirakan 10 persen penderita
Penderita lekemia limfoblastik akut menunjukkan sekitar
lekemia memiliki latar belakang radiasi. Bukti yang kuat adalah
20 persen dari seluruh penderita lekemia dan pada anak-anak
tingginya insidens lekemia setelah peristiwa pemboman Hiro-
merupakan lekemia yang paling sering ditemukan. Sel ganasnya
shima dan Nagasaki.
dapat berasal dari sumsum tulang, tumor, dan kelenjar getah
– Bahan kimia dan obat-obatan
bening. Penyakit ini dibagi menurut sifat dan petanda imuno-
Pemaparan terhadap benzen dalam jumlah besar dan ber-
logis yang dimilikinya menjadi lekemia limfoblastik akut sub
langsung lama dapat menimbulkan lekemia. Kejadian ini akan
jenis sel T dan sel B. Menurut klasifikasi FAB, lekemia limfo-
sangat meningkat pada penderita anemia aplastik. Demikian
blastik akut dibagi menjadi 3 sub jenis, yaitu L1, L2 dan L3
pula halnya setelah pengobatan dengan obat golongan antra-
(Burkitt).
siklin.
Jangkitan di Iuar sumsum tulang lebih sering ditemukan
– Infeksi
pada lekemia limfoblastik akut dibandingkan dengan lekemia
Belum dapat dibuktikan bahwa penyebab lekemia pada
non limfoblastik akut. Organ yang sering terjangkit adalah su-
manusia adalah virus, walaupun ada beberapa penelitian yang
sunan saraf pusat dan testis (terutama pada anak).
menyokong teori tersebut antara lain dengan ditemukannya
enzim reverse transcriptase dalam darah penderita lekemia. Lekemia granulositik kronik
Kelainan paling mendasar dalam proses terjadinya kega- Penyakit lekemia granulositik kronik (LGK) terjadi akibat
nasan adalah kelainan genetik sel. Proses transformasi menjadi proliferasi ganas pada sekelompok sel induk multipotensial yang
sel ganas dimulai saat DNA gen suatu sel mengalami perubahan. mengalami translokasi kromosom yaitu translokasi sebagian
Perlu diingat bahwa adanya gangguan pada beberapa lengan panjang kromosom nomor 22 ke nomor 9. Kromosom
tingkatan dan aktifitas faktor-faktor yang diperlukan dalam gra- yang telah mengalami kelainan ini dinamakan kromosom
nulopoesis yang normal, merupakan faktor yang diperlukan Philadelphia. Secara klinis LGK dibagi dalam fase kronis,
untuk perkembangan dan progresifitas dari lekemia akut dan akselerasi dan krisis blastik, yang berbeda dalam penatalaksana-
menahun. Kejadian lekemia berbeda pada berbagai umur, pe- annya.
nampilan klinik, kelangsungan hidup dan respons terhadap
Lekemia limfositik kronik
pengobatan. Hal ini disebabkan adanya variasi respons pejamu-
Di negara banal lekemia limfositik kronik merupakan 25
nya.
persen dari seluruh penderita lekemia yang menyerang terutama
pada usia menengah dan lanjut. Di Indonesia belum diketahui
PEMBAGIAN LEKEMIA
berapa besar presentasinya, nampaknya lebih rendah apabila
Lekemia dibagi menjadi lekemia akut dan menahun. Pem-
dibanding dengan kejadian di negara Barat.
bagian ini tidak mencerminkan lamanya harapan hidup, tetapi
Lekemia limfositik menahun adalah satu-satunya jenis
masih menggambarkan kecepatan timbulnya gejala clan kom-
lekemia dimana pembagian menjadi beberapa stadium penyakit
plikasi. Lekemia yang terjadi akibat proliferasi set muda, perja-
bermanfaat untuk pengobatan penderita. Sesuai kepentingan
lanan penyakitnya cepat menjadi buruk dan fatal. Penyakit ini
pengobatan jenis lekemia ini dibagi menjadi stadium 0, 1, 2, 3,
digolongkan dalam kelompok lekemia akut; hal sebaliknya ter-
dan 4. Harapan hidup seluruh penderita adalah sekitar 5 tahun.
jadi pada lekemia menahun.
Sebagian kecil penderita lekemia limfositik kronik memiliki
Semua lekemia dibagi menurut set asalnya yaitu lekemia
petanda dari sifat set T pada sel lekemianya; disebut lekemia
yang berasal dari seri limfoid dan yang berasal dari seri bukan
limfositik kronik set T.
limfoid atau mielosit, yaitu sel yang hanya dapat dibentuk dan
berdiferensiasi dalam sumsum tulang. PERBEDAAN LEKEMIA AKUT DAN LEKEMIA KRO-
NIK :
Lekemia non limfoid akut
Lekemia non limfoid akut merupakan 25 persen dari seluruh Lekemia akut Lekemia kronik
penderita lekemia, yang menyerang golongan umur menengah – Umur Semua umur Dewasa
dan setengah tua. Harapan hidup median bila tidak diobati hanya – Onset penyakit Tiba-tiba Perlahan
1–2 bulan. – Perjalanan penyakit < 6 bulan 2–6 tahun
– Sel lekemia Sel-sel tidak Sel matang
Menurut klasifikasi French American British (FAB) lekemia
matang
non limfoblastik akut dibagi menjadi : – Anemi, trombositopeni Menonjol Ringan
Ml : Lekemia mieloblastik tanpa pematangan – Jumlah lekosit Bervariasi Meningkat
M2 : Lekemia mieloblastik dengan berbagai derajat pematangan – Pembesaran kelenjar Ringan Jelas
– Pembesaran limpa Ringan Jelas
M3 : Lekemia progranulositik
M4 : Lekemia mielo-monoblastik
GAMBARAN KLINIS penuh dan kadang-kadang sakit akibat limpa yang membesar.
Pada dasarnya sukar membedakan gejala klinis penderita Pada darah tepi didapatkan lekositosis yang amat mencolok
lekemia akut yang satu dengan yang lainnya, kecuali beberapa dengan pergeseran ke kiri. Promielosit dan mieloblas dapat
gejala spesifik seperti hipertropi gusi, ulkus rektum dan vagina mencapai 5–10 persen, sedang jumlah trombosit biasanya
yang ditemukan pada lekemia akut mielo-monositik. Pembesar- meningkat. Sumsum tulang hiperseluler dengan dominasi seri
an kelenjar getah bening ditemukan terutama pada lekemia akut granulositik. Pada 90% penderita dijumpai kromosom Phila-
limfoblastik. delphia.
Perasaan lelah, pucat, demam dan perdarahan adalah gejala Gejala klinis yang sering ditemukan pada lekemia limfosi-
utama pada penderita lekemia akibat terdcsaknya hemopoesis sel tik kronik adalah pembesaran kelenjar getah bening dan limpa.
normal di dalam sumsum tulang. Akibat terjadinya penurunan imunitas humoral, frekuensi ter-
Perdarahan gusi, epistaksis, ataupun perdarahan saluran jadinya infeksi bakterial meningkat. Pemeriksaan darah tepi
cema, cepat menarik perhatian dan tak jarang merupakan gejala menunjukkan kenaikan jumlah limfosit dan pada sumsum tulang
utama yang menyebabkan penderita memeriksakan diri. Pen- ditemukan dominasi sel limfosit tua. Sel ganas pada penyakit ini
derita lekemia progranulositik akut umumnya mengalami per- berada dalam tingkat pematangan yang cukup lanjut sehingga
darahan sedang sampai berat dengan adanya ekimosis yang luas bisa turut dalam sirkulasi.
di kulit serta cenderung mengalami koagulasi intravaskular
diseminata. Pada lekemia limfoblastik akut perdarahan biasanya DIAGNOSIS
ringan. Hal terpenting dalam menegakkan diagnosis lekemia, ter-
Infeksi, seperti abses piogenik dan atau adanya septikemia, utama pada jenis akut, adalah mengenal dan membedakan
biasanya sering terjadi, terutama pada lekemia non limfoblastik lekemia limfoblastik akut atau lekemia non limfoblastik akut,
akut yang dapat berakhir fatal dan merupakan keadaan yang karena keduanya berbeda pengobatannya. Penentuan jenis leke-
segera harus diatasi. Hal ini berhubungan dcngan terjadinya mia dapat melalui interpretasi gambaran morfologi sel dan reaksi
neutropeni dan adanya defisiensi imun. Infcksi yang sering pewarnaan histokimia.
dijumpai adalah infeksi saluran napas atas dan bawah, selulitis, Aktifitas Tdt pada inti sel lekemia sangat membantu, men-
paronikia, dan otitis media. diagnosis lekemia limfoblastik akut.
Adanya pembesaran kclenjargctah bening dan limpa dalam Lekemia dapat didiagnosis melalui pemeriksaan dan pe-
ukuran ringan sampai sedang, suing dijumpai pada penderita wamaan sediaan darah tepi pada sebagian besar kasus, namun
lekemia limfoblastik akut tapi jarang pada lekemia non limfo- pemcriksaan aspirasi sumsum tulang selalu dilakukan pada
blastik. penderita lekemia yang barn untuk mengetahui klasifikasi dan
Gangguan susunan saraf pusat dapat terjadi akibat adanya subklasifikasinya. Hal ini schubungan dengan banyaknya obat
perdarahan, infiltrasi sel lekemia atau infcksi. Perdarahan dalam atau regimen baru dengan spesifikasi tertentu.
susunan saraf pusat acapkali merupakan masalah gawat dan
biasanya terjadi akibat kenaikan jumlah lekosit dengan cepat, PENGELOLAAN
trombositopeni yang cepat dan adanya koagulopati intravaskular Pengelolaan penderita dengan kecurigaan lekemia adalah
diseminata. sebagai bcrikut :
Lekcmia meningeal suing terjadi padaanak dcngan lekemia – Membuat riwayat penyakit yang lengkap termasuk riwayat
limfoblastik akut. Gejala utama komplikasi ini berupa sakit pengobatan yang pernah diperoleh, pekerjaan, radiasi, dan pe-
kepala, muntah, gelisah, kelumpuhan saraf otak, meningitis, dan maparan dcngan bahan-bahan kimia.
edema papil. Pemeriksaan cairan serebrospinal perlu dilakukan. – Pemeriksaan fisik yang lengkap, dengan perhatian khusus
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan jumlah lekosit yang pada suhu, kelenjar getah bening, susunan saraf pusat, dan
umumnya normal atau meningkat, biasanya kurang dari 50.000/ tempat-tempat yang potensial terinfeksi (kulit, kaiak, mulut
mm3, atau dapat juga lekopcni. Pada lekemia limfoblastik akut termasuk gusi, paru-paru dan daerah perianal).
sckurangnya terdapat 50% limfoblas pada 2/3 kasus, sedangkan – Pemeriksaan darah tepi berupa hematokrit, lekosit, from-
pada non limfoblastik biasanya bias ditemukan kurang dari 10 bosh, dan hitung jenis lekosit.
perscn. Trombositopenia yang bcrat (< 20.000/mm3), suing di- – Pemcriksaan sumsum tulang, baik biopsi untuk mengetahui
jumpai pada pendcrita dengan lekemia akut non limfoblastik. scluleritas ataupun aspirasi sumsum tulang, dcngan pewarnaan
Pemeriksaan sumsum tulang menunjukkan hiperseluler, dengan Wright dan Sudan Black.
penurunan jumlah critrosit dan granulosit. Dapat juga ditemukan – Pemcriksaan kimia darah bcrupa elcktrolit, asam urat,
kcadaan hiposclulcr seperti pada pendcrita lekemia non limfo- urcum, krcatinin, dan hemostasis.
blastik yang berkembang dari anemia aplastik atau nokturnal – Pemeriksaan cairan scrcbrospinal pada kasus-kasus ter-
naroksismal hacmoglobinuria atau setclah pengobatan dengan tcntu.
radiasi atau kemoterapi. Umumnya terdapat peningkatan enzim − Foto toraks.
LDH dan asam urat scrum. − Pemeriksaan golongan darah pendcrita dan keluarganya.
Gambaran klinis pendcrita lekemia granulositik kronik ti- – Khusus pada penderita lekemia limfoblastik akut periling
dak jelas. Biasanya penderita mengeluh rasa lemas, perut terasa diperiksa petanda sel B dan T pada permukaannya. Bila hal ini
tidak memungkinkan, lakukan pewarnaan fosfatase asam sedia- * Diberikan profilaksis lekemia meningeal segera sebelum
an sumsum tulang. Hal ini periling untuk mengidentifikasikan atau sesudah pengobatan konsolidasi dcngan metotreaksat se-
adanya leukemia associated antigen yaitu B ALL, T ALL, Non cara intratekal.
B Non T, yang sangat berguna untuk mengetahui harapan hidup ∗ Maintenance, dengan 6 merkaptopurin dan methotrexat
dan prognosis penderita. selama 30 bulan.
∗ Bila terjadi relaps diberikan Amsacrine 75–90 mg/m2/hari
PROGNOSIS selama 7 hari atau Mitoxantron.
Telah dilaporkan bahwa penderita lekemia akut limfoblastik – Lekemia granulositik akut
dengan CALLA positif, baik pada anak atau dewasa, memiliki ∗ Induksi : daunorubisin dan sitosin arabinosida. Remisi
prognosis yang baik. komplit mencapai lebih 65% dalam 2–3 minggu.
∗ Post remisi : Sitosin arabinosida dengan 6 merkaptopurin
PENGOBATAN setiap 3 bulan selama 3 tahun.
Pengobatan lekemia akut bertujuan untuk mencapai keada- ∗ Profilaksis lekemia meningeal tidak diberikan.
an bebas penyakit (remisi sempurna), untuk waktu yang cukup Saat ini diketahui pula bahwa lekemia promielogranulositik
lama. Bila mungkin dicapai kesembuhan sempuma. akut sensitif terhadap daunorubisin, sedangkan lekemia mono-
Di antara penderita yang mencapai remisi sempurna 15 sitik akut sensitif terhadap etoposide. Juga diketahui pula bahwa
sampai 30 persen diharapkan akan sembuh, sedangkan di antara lekemia promieolositik akut juga responsif terhadap tretinoin
penderita yang telah berada dalam keadaan remisi sempurna (all-trans retinoic acid).
selama lima tahun, 40–50% diharapkan akan sembuh. Faktor
yang berperan dalam keberhasilan pengobatan pada penderita – Lekemia granulositik kronik
adalah : Pengobatan lekemia granulositik kronik bertujuan untuk
– Keadaan umum penderita. mengatasi gejala yang diakibatkan oleh sel lekemia, baik yang
– Usia penderita. terdapat dalam darah maupun dalam berbagai organ tubuh lain-
– Jenis lekemia. Angka kesembuhan lekemia limfoblastik nya (limpa, hati).
akut lebih besar dari pada lekemia akutnon limfoblastik. Progno- Pengobatan dengan obat hanya mampu memperbaiki kuali-
sis lekemia non limfoblastik akut bergantung pada subjenisnya. tas hidup penderita namun tidak banyak pengaruhnya pada per-
Ml (klasifikasi FAB) memiliki prognosis paling baik, sedangkan jalanan penyakit penderita. Yang dapat mengubah perjalanan
M7 paling buruk. penyakit penderita adalah transplantasi sumsum tulang. Trans-
– Jumlah lekosit sebelum diobati. Penderita dengan jumlah plantasi sumsum tulang alogenik dapat menyembuhkan sebagian
lekosit tinggi hasil pengobatannya kurang baik dibandingkan penderita. Tanpa transplantasi harapan hidup penderita lekemia
dengan lekosit rendah. granulositik kronik adalah 3–4 tahun.
Tahap pengobatan lekemia akut dengan sitostatika : Obat yang paling sering digunakan termasuk kelompok
– induksi : bertujuan untuk menurunkan jumlah sel lekosit obat-obat alkylating yaitu busulfan dan hidroksiurea. Radiasi
muda ke tingkat yang normal, atau disebut keadaan remisi dapat mengecilkan splenomegali.
lengkap. Tahap ini berlangsung 1–1,5 bulan. – Lekemia limfositik kronik
– konsolidasi : bertujuan untuk lebih menurunkan kadar sel Pengobatan lekemia limfositik kronik pada dasamya tidak
lekemia serendah mungkin. Berlangsung 1–1,5 bulan. akan mengubah harapan hidup, karena itu pengobatan bertujuan
– maintenance : bertujuan untuk menjaga agar kadar sel leke- untuk mengatasi gejala penyakit dan komplikasinya. Penyakit ini
mia tetap pada tingkat serendah-rendahnya. berespon terhadap kortikosterioid dan obat-obat alkylating
Alternatif pengobatan lekemia akut adalah sebagai berikut: (siklofosfamid, klorambusil).
– Pengobatan dengan sitostatika konvensional. Pengobatan sebaiknya dilakukan pada tempat yang me-
– Pengobatan dengan sitostatika, yang setelah dicapai keada- miliki kemampuan pengobatan suportif, misalnya sarana trans-
an remisi dilanjutkan dengan transplantasi sumsum tulang. Trans- fusi trombosit, di samping kelengkapan tenaga dan ruangan yang
plantasi sumsum tulang dimaksudkan untuk mencapai presentasi dapat mengurangi kejadian infeksi selama pengobatan dengan
kesembuhan yang lebih tinggi. sitostatika, terutama pada saat aplastik. Keberadaan ruangan
semi steril bahkan ruangan steril sangat menunjang keberhasilan
OBAT SITOSTATIKA YANG SERING DIPAKAI DALAM pengobatan.
LEKEMIA
KEPUSTAKAAN
– Lekemia Akut Limfoblastik :
∗ Induksi : Kombinasi vinkristin, daunorubisin, prednison 1. IsbiterJP. Clinical Haematology. A Clinical Oriented Approach. Williams &
asparaginase, (Remisi komplit mencapai 94%). Wilkins Adis Pty Limited. NSW, Australia, 1986.
∗ Konsolidasi, dengan komposisi yang sama seperti fase 2. Buchner T, Schellong G, Hidenman W, Urbanitz D, Rittu J (eds), Acute
induksi atau kombinasi tenoposide dengan sitosin arabinose Leukemias, Prognostic factors and treatment strategies. Berlin Heidelberg:
Springer-Verlag, 1987.
atau metotreksat dengan leucovorin. 3. Firkin F, Chesterman C, Penington D, Rush B. de Gruchy's Clinical Haema-
tology in Medical Practice. 5th eds. Oxford London Edinburg: Blackwei. 1809-24.
Scient Pub], 1989. 5. Fralkov RJ. Chronic Leukemia. p. 1816-1847. 5. Fralkov RJ, Chronic Leukemia, p. 1816–1847
4. Wiemik PH. Acute leukemias cancer. Principles and Practice of Oncology, 6. Roy ES. Leukemia. Fundamental of Clinical Hematology, Laurell and
in Vincent Devita Jr et al 3rd ed. Philadelphia: JB Lippincott CO, 1991, Thomp's, 5th ed. Philadelphia: WB Saunders Co, 1987, 578-606.
Prinsip Penatalaksanaan
Limfoma Non Hodgkin
A. Harryanto Reksodiputro
Subbagian Hematologi-Onkologi Medik Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN RSCM berusia antara 40 sampai 60 tahun. Tidak ada perbedaan


Limfoma malignum merupakan salah satu di antara 10 jenis berarti antara jumlah penderita yang berusia an tara 40 sampai 50
kanker yang tersering ditemukan di Indonesia. Kanker dibagi tahun dan yang berusia antara 50 sampai 60 tahun. Pria lebih
atas dua kelompok besar yaitu a) penyak:it Hodgkin, b) limfoma sering dijangkiti penyakit ini bila dibandingkan dengan wanita,
non-Hodgk in. Penyakit Hodgkin jarang ditemukan di Indonesia yaitu 1,7 kali lebih sering. Perbandingan antara pria dan wanita
karena itu pada kesempatan ini akan dibahas limfoma non- yang terlihat di Jakarta sesuai dengan apa yang terlihat pada
Hodgkin saja. orang Barat.
Karena termasuk salah satu di antara sekitar 10 jenis kanker Tempat jangkitan pertama penyakit ini adalah seperti ter-
yang dapat disembuhkan maka limfoma non-Hodgkin perlu lihat dari namanya, tentu saja kelenjar getah bening, yaitu pada
dikenali oleh dokter yang bertugas di fasilitas kesehatan terdepan sekitar 73%. Pada 53% penderita yang berobat di FKUI-RSCM,
agar dapat dirujuk pada stadium yang dini ke rumah sakit dengan penyakit ini mulai pada kelenjar Idler, pada 16% mulai pada
fasilitas yang memungkinkan penatalaksanaan penderita. kelen jar getah bening inguinal, dan 4% mulai pada kelenjar getah
Limfoma non-Hodgkin adalah kanker dari kelenjar getah baling aksila. Pada 19,0% penderita penyakit ini mulai pada
bening karena itu mudah menjalar ke tempat-tempat lain di- jaringan limfoid di luar kelenjar getah bcning yaitu 9% pada
sebabkan kelenjar getah bening dihubungkan satu dengan yang cincin Waldeyer, 10% pada traktus gastrointestinal (jejas
lain oleh saluran-saluran getah bening. Peycri). Hanya pada 8% penyakit ini mulai pada jaringan non-
Menurut golongan histologisnya limfoma dibagi atas 3 ke- limfoid (jaringan orbita, tulang dan lain-lain).
lompok besar yaitu : Dalam perjalanan penyakit penderita, metastasis pada daerah
LNH derajat keganasan rendah intratorakal timbul pada 12,6% penderita, pembcsaran limpa
LNH derajat keganasan menengah tcrjadi pada 10,7%, metastasis tulang terjadi pada 8%. Pada
LNH derajat keganasan tinggi 26,5% penderita, ukuran diameter sudah melebihi 10 cm. Lima
LNH derajat keganasan rendah tidak harus diobati sedangkan puluh dclapan pencil (58%) pendcrita tidak dapat lagi mengerja-
LNH derajat keganasan mencngah dan tinggi harus segera diobati kan pckerjaan schari-harinya dan harus berada di tempat tidur
karena dapat menimbulkan kematian dalam beberapa bulan saja. selama 50% dari waktunya atau lebih.
Karena itu pcncntuan golongan histologis dan stadium pe- Gejala klinis, yaitu demam (38°C tanpa gejala infeksi) dan
nyakit merupakan hal yang tcrpcnting dalam penatalaksanaan penurunan berg badan (10% dalam waktu 6 bulan), ditemukan
penderita limfoma non-Hodgkin. pada 35% penderita.

GEJALA KLINIK LIMFOMA NON-HODGKIN DEWASA CIRI KELENJAR GETAH BENING PADA LIMFOMA
Sekitar 50% pcndcrita LNH yang berobat di Subbagian Ciri kelenjar getah bening dapat membantu untuk menen-
Hematologi-Onkotogi Medik Bagian Itmu Penyakit Dalam FKUI- tukan penyebab pembesaran kelenjar getah bening. Ciri kelenjar

Dibacakan pada: Simposium Lekemia dan Limfoma Malignum, Padang, 25 Juli


1992
getah bening pada limfoma dapat dibedakan dari penyebab
lainnya (Tabel 1). Tabel 1. Ciri kelenjar getah boning pada limfoma dibandingkan dengan
pada penyakit Iainnya
Gambar 1. Skema pendekatan diagnostik pada limfadenopati
Limfoma Karsinoma Infoksi Respon imun

Perabaan Kenyal-keras Keras Nyeri Nyeri


seperti karet
Inflamasi – + Biasanya –
Fluktuasi – +/– –
Perlekatan
dengan jaringan/ – +
organ sekitar
Bebas & mudah
digerakkan + –

PENDEKATAN DIAGNOSTIK PADA LIMFADENOPATI


Pendekatan diagnostik penderita limfadenopati umumnya
sama dengan pendekatan penderita splenomegali dan/atau ke-
.lainan leukosit/imunoglobulin. Penderita dengan pembesaran
kelenjar getah bening dapat disebabkanoleh (1) infeksi mikro-
organisme (piogenik dan granulomatosa/parasit), (2) respon
imun terhadap infeksi atau terhadap bahan noninfeksius, (3) neo-
plasma (primer atau sekunder), dan (4) penyebab yang tidak jelas
(penyakit autoimin, reaksi obat, dan lain-lain).
Penderita limfadenopati mungkin tanpa keluhan, atau
mungkin pula dengan gejala infeksi. Umumnya penderita
mengeluh demam tanpa terbukti adanya infeksi, lemah, pem-
besaran kelenjar atau teraba massa tumor, perdarahan abnormal,
berat badan menurun, nyeri tulang dan sendi, serta gatal-gatal
seluruh tubuh. Pada penderita dengan gejala di atas perlu di-
lakukan pemeriksaan fisik yang teliti, terutama pemeriksaan
kelenjar getah bening dan limpa. Selanjutnya dilakukan pe-
meriksaan foto Rb toraks, analisis air seni, pemeriksaan darah
tepi, biopsi kelenjar getah bening, aspirasi sumsum tulang dan
pemeriksaan Iainnya alas indikasi (Gambar 1).

PENATALAKSANAAN PENDERITA LIMFOMA NON- Tabel 2. Prosedur penetapan tingkat penyakit LNH
HODGKIN Tahap I a. Riwayat penyakit yang terinci
Penatalaksanaan penderita LNH bergantung pada golongan b. Pemeriksaan fisik yang lengkap dengan perhatian khusus
histologisnya. Karenapengobatannya bersifat simptomatis maka pada cincin Waldeyer (diteliti kembali oleh Bag. THT)
penderita LNH derajat keganasan rendah tidak perlu ditentukan c. Pemeriksaan laboratorium lengkap :
– hemogram lengkap
tingkat penyakitnya. Pengobatan hanya diberikan untuk menghi- – sediaan hapus darah tepi
langkan gejala klinis akibat tumornya. – uji fungsi hati/ginjal rutin
Penderita LNH derajat keganasan tinggi harus diobati de- d. Pemeriksaan radiologis toraks dengan proyeksi posterior/
ngan kemoterapi apabila penyakitnya telah mencapai stadium 2 anterior dan survei radiologis kerangka.
e. Biopsi jarum dengan cara aspirasi pada kelenjar getah be-
atau lebih, karena itu prosedur diagnostik hanya dilakukan pada ning yang berada pada pihak diafragma lain yang dicurigai.
mereka yang setelah pemeriksaan fisik dan laboratorium mem- f. Uji kulit tuberkulin.
beri kesan masih mungkin berada pada stadium 1.
Prosedur diagnostik lengkap dilakukan pada penderita LNH Tahap II Pada semua penderita yang seolah-olah berada pada tingkat
derajat keganasan menengah yang setelah pemeriksaan fisik dan penyakit ke I LNH derajat keganasan tinggi atau tingkat
penyakit ke I dan II LNH derajat keganasan menengah, di-
laboratorium memberi kesan masih mungkin berada pada sta- lakukan biopsi sumsum tulang bilateral pada krista iliaka
dium 2. posterior superior.

Tahap III Pada penderita-penderita dengan jangkitan pada cincin Wal-


PENGOBATAN LIMFOMA NON-HODGKIN deyer yang seolah-olah masih berada pada tingkat penyakit ke
Pengobatan penderita LNH bergantung pads jenis histolo- I pada LNH derajat keganasan tinggi atau tingkat penyakit ke
I dan II pada LNH derajat keganasan menengah setelah biopsi
sumsum tulang, dilakukan penelitian radiologis traktus gastro-
intestinal.
Cara lain untuk mempertinggi harapan hidup adalah dengan
Tahap IV Pada penderita yang seolah-olah masih berada pada tingkat transplantasi sumsum tulang autologus atau alogenik pada pen-
penyakit ke I pada LNH derajat keganasan tinggi atau tingkat derita LNH yang sudah mengalami remisi sempurna.
penyakit ke I dan II LNH derajat keganasan menengah setelah
prosedur-prosedur di alas dilakukan limfangiografi. 3) LNH derajat keganasan tinggi
Limfoma imunoblastik sangat resisten terhadap baik ira-
diasi maupun kemoterapi yang ada. Angka harapan hidup rata-
gisnya. Perlu diketahui bahwa berdasarkan gambaran histologis rata berkisar 4'/Z bulan pada penelitian terhadap 54 penderita.
tumor LNH dibagi menjadi 3 kelompok besar yaitu : Limfoma limfoblastik hanya merupakan 4% dari limfoma
– LNH derajat keganasan rendah pada orang dewasa. Kemoterapi konvensional pada jenis ini
– LNH derajat keganasan menengah kurang memuaskan. Dari 32 kasus yang diobati dengan regimen
– LNH derajat keganasan tinggi CHOP, 34% mencapai remisi sempurna, tetapi lamanya remisi
Penelitian di Jakarta menunjukkan bahwa 10% penderita sempurna rata-rata 9 bulan. Jangkitan ulang pada susunan saraf
LNH yang berobat di FKUI-RSCM menderita LNH derajat pusat terjadi path 42% kasus. Pengobatan dengan CHOP ditam-
keganasan rendah, 59% menderita LNH derajat keganasan bah prednison kontinyu dan vinkristin pada fase induksi, mem-
menengah, 28% menderita LNH derajat keganasan tinggi, 3% berikan angka kesembuhan yang lebih tinggi. Penggunaan pro-
menderita LNH yang tidal( dapat digolongkan dalam ketiga tokol pengobatan leukemia pada anak-anak pada penderita LNH
kelompok di atas. derajat keganasan tinggi meninggikan persentase dan lamanya
1) LNH derajat keganasan rendah remisi, bahkan harapan hidupnya. Dengan menggunakan pro-
LNH follicular limfosit kecil berlekuk (small cleaved cells) tokol tersebut pada limfoma limfoblastik, 94% di antaranya
adalah jenis yang paling umum pada LNH derajat keganasan mencapai remisi sempurna. Peneliti lain melaporkan bahwa
rendah. Lebih kurang 90% penderita LNH-R berada pada tingkat dengan regimen tersebut 61,5% kasus limfoma limfoblastik
penyakit III atau IV, dengan harapan hidup rata-rata 7 tahun. bertahan hidup lebih dari 4 tahun.
Pada kelompok ini bila tidak diberikan pengobatan, ternyata Limfoma sel kecil tidak berlekuk (small non-cleaved cells);
hanya separuhnya (50%) yang memerlukan pengobatan dalam termasuk limfoma Burkitt yang jarang pada orang dewasa tetapi
waktu 3 tahun. Sisanya tidak memerlukan pengobatan sampai 10 sering pada anak-anak, merupakan jenis limfoma yang paling
tahun. Pengobatan radiasi lokal dan kemoterapi non agresif agresif dibandingkan dengan limfoma lainnya. Dengan peng-
(klorambusil, siklofosfamida, vinkristin, prednison atau, inter- obatan yang tepat dapat dicapai angka kesembuhan sebesar
feron) hanyalah bersifat paliatif. 40-50%. Kemoterapi kombinasi dianjurkan untuk semua tingkat
Sebaliknya LNH folikular sentrositik-sentroblastik, yang penyakit. Regimen yang paling efektif adalah vinkristin, meto-
merupakan LNH derajat keganasan menengah, memerlukan treksat dan siklofosfamida dosis tinggi. Tindakan bedah dan
pengobatan yang lebih cepat, karena harapan hidup dapat ber- iradiasi sangat menolong pada penderita dengan tumor intra-
tambah dengan pengobatan iradiasi tubuh total atau oleh kemo- abdominal.
terapi (CVP, C-MOPP dan sebagainya). KEPUSTAKAAN
2) LNH derajat keganasan menengah 1. Chabner BA, Johnson RE, Young RC, Canellos GP, Hubbard SP et al.
LNH difusa sel besar (diffuse large cells) merupakan jenis Sequential non surgical and surgical staging of non-Hodgkin's Lymphoma.
Ann Intern Med 1977; 85 (2).
yang paling sering ditemukan pada LNH derajat keganasan
2. Coleman CN, Cohen JR, Rosenberg SA. Adult Lymphoblastic lymphoma.
menengah, 30-45% di antaranya berada pada tingkat penyakitke Result of a pilot protocol. Blood 1981; 4: 679-84.
I dan ke II, tetapi prognosisnya lebih buruk daripadaLNH derajat 3. Lennert K, Mohri N. Histopathology and Diagnosis of non-Hodgkin Lym-
keganasan rendah. Program pengobatan yang aktif diberikan phomas. Dalam: Malignant Lymphoma other than Hodgkin's Disease, eds.
Lennert K, H. Stein, N. Mohri, E. Kaiserling, UK Muller-Hemerlink. New
tanpa memandang tingkat pcnyakitnya. York: Springer-Verlag : 111-469.
Penderita LNH menengah tingkat penyakit ke I dapat disem- 4. Portlock CS, Rosenberg SA. Chemotherapy of the non-Hodgkin's Lym-
buhkan dengan radioterapi. Penderita dengan tingkat penyakit ke phomas. The Stanford Experience. Cancer Treat Rep 1977; 61: 1049-55.
II, I11, dan IV harus diobati dengan kēmoterapi kombinasi, seperti 5. Reksodiputro AR. Limfoma non-Hodgkin dan saran mengenai altematif
penatalaksanaan di Indonesia. Tesis, Universitas Indonesia, Jakarta, 21 Juli
CHOP, BACOP, C-MOPP dan sebagainya. Pengobatan dengan
1984.
regimen tersebut menghasilkan angka remisi sempurna berkisar 6. Voakes JB, Jones SE, Mc Kelvey EM. The Chemotherapy of
antara 40 sampai 60%, 30-50% di antara yang mengalami remisi Lymphoblastic Lymphoma. Blood 1981; 57 (1).
sempurna bertahan hidup dalam jangka waktu yang lebih lama. 7. Weinstein HJ, Vance ZB, Joffe N, Buck D, Sassady JR, Nathan DG.
Improved prognosis for patients with mediastinal lymphoblastic
Akhir-akhir ini telah dikembangkan regimen kemoterapi lymphoma. Blood 1979; 53: 687-694.
yang lebih agresif, yang diperkirakan menghasilkan persentase 8. Wintrobe MM, Lee GR, Boggs DR et al. Diagnostic steps in the evaluation
remisi sempurna yang lebih tinggi dan kenaikan angka harapan of the patient with abnormalities of leukocytes or immunoglobulin, or
hidup. Pada penggunaan regimen generasi ke dua, seperti COP- lymphadenopathy, splenomegaly, fever of unknown origin, or recurrent
infection. Dalam: Clinical Hematology (ed. VII), ed. MM Wintrobe.
BLAM, Pro Mace-MOPP dan M-BACOD, telah dicapai angka Tokyo: Igaku Shoin Ltd, 1974, hal. 1255-65.
kesembuhan antara 55-60%. Sedangkan dengan regimen kemo- 9. Wollner N, Exelby PR, Lieberman PH. Non-Hodgkin's Lymphoma in
terapi generasi ke 3 seperti COPBLAM III, Pro MACE-Cyta Children. A Progress report on the original patients treated with LSA2=L2
BOM, MACP-B dapat mencapai angka kesembuhan 70%. protocol. Cancer 1979: 44: 1992-99.
Pengaruh Berbagai Faktor
terhadap Hasil Pengobatan
Regimen Obat Generasi Ke dua
pada Penderita Limfoma Non Hodgkin
A. Harryanto Reksodiputro
Subbagian Hematologi-Onkologi Medik Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN Saat ini regimen pengobatan generasi kesatu, yakni protokol


Berbagai faktor telah dilaporkan dapat mempengaruhi hasil CVP di mana obat-obat siklofosfamid, vinkristin dan prednison
pengobatan limfoma non-Hodgkin (LNH). Dengan memper- diberikan selama satu minggu tiap 3 (tiga) minggu, tidak diberi-
hitungkan faktor di atas para klinisi dapat meramalkan hasil yang kan lagi pada penderita LNH derajat keganasan menengah dan
akan dicapai. Hal ini amat penting untuk menentukan sikap tinggi di Sub bagian Hematologi-Onkologi Medik Bagian
dokter yang akan mengobati, lebih-lebih bila harus menentukan Penyakit Dalam FKUI/RSCM.
penerima bantuan pengobatan dengan persediaan obat yang Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah faktor yang
terbatas. berperan terhadap prognosis pada penderita LNH yang diobati
Horwich(1) dan Koziner(2) memperlihatkan pengaruh umur dengan regimen generasi kesatu masih berpengaruh terhadap
terhadap hasil pengobatan. Horwich melaporkan bahwa mereka harapan hidup penderita LNH derajat keganasan menengah dan
yang berumur < 65 tahun mempunyai harapan hidup lebih baik, tinggi yang diobati dengan regimen pengobatan generasi kedua.
sedangkan Koziner melaporkan mereka yang berumur kurang Dalam penelitian ini dinilai mereka yang diobati dengan empat
atau sama dengan 40 tahun mempunyai harapan hidup yang lebih jenis sitostatika dalam dosis tinggi.
lama daripada yang berumur > 40 tahun. Horwich(1) melaporkan
pula adanya demam yang disebabkan oleh proses keganasan itu BAHAN DAN CARA
sendiri (bukan karena infeksi atau sebab lain) dan penurunan Diteliti 25 orang penderita LNH derajat keganasan me-
berat badan melebihi 10% dalam kurun waktu 6 (enam) bulan, nengah atau tinggi tingkat II B ke atas yang diobati dengan
merupakan gejala yang berpengaruh terhadap prognosis. Ca- regimen CHOP atau CEOP. Kedua regimen ini termasuk regi-
banillas(3) dan Fisher(4) melaporkan bahwa penderita yang memiliki men pengobatan LNH generasi kedua. Dalam laporan penulis
tumor berukuran besar mempunyai prognosis yang lebih buruk. terdahulu telah dilaporkan bahwa kurva harapan hidup kedua
Jones(5) dan Peczalska(6) telah menunjukkan pengaruh penurunan regimen ini tidak menunjukkan perbedaan yang berarti(8),
reaksi imunitas selular penderita terhadap prognosis. Keduanya menghasilkan kurva harapan hidup yang sama. Pen-
Penulis telah melaporkan adanya pengaruh umur, tingkat derita yang diobati dengan regimen CHOP mendapat siklofosfa-
penyakit, gejala sistemis, adanya sel ganas dalam darah tepi mida 750 mg/m2, adriamisin 50 mg/m2, vinkristin 1,4 mg/m1,
(akibat jangkitan pada sumsum tulang), tingkat kemampuan path hari kesatu, dan prednison 60/m2 per hari pada hari kesatu
berperan dan penurunan reaksi imunitas selular terhadap harapan sampai dengan hari kelima. Setelah itu penderita diberi istirahat
hidup penderita LNH yang diobati dengan salah satu regimen tanpa sitostatik selama dua minggu; daur pengobatan seperti di
pengobatan gencrasi kesatu, yakni yang menggunakan siklofosfa- atas diulang lagi pada hari ke-22 dan seterusnya.
mida, vinkristin dan prednison(7). Oleh penulis telah dilaporkan Mereka yang diobati dengan regimen pengobatan CEOP
pula bahwa walaupun dapat menyebabkan remisi, pengobatan mendapat pengobatan sama seperti mereka yang diobati dengan
dengan regimen pengobatan yang termasuk generasi kesatu, regimen CHOP, namun di sini penderita mendapat epirubisin
tidak akan memperpan jang harapan hid up penderita LNH derajat dengan dosis 75 mg/m2 sebagai pengganti adriamisin.
keganasan menengah dan tinggi. Seperti telah dikemukakan kedua regimen ini tidak menun-
jukkan perbedaan kurva harapan hidup maupun efek samping,
dalam pengobatan penderita :LNH derajat keganasan menengah
dan derajat keganasan tinggi. Dalam penelitian ini dinilai pe-
ngaruh faktor usia, ukuran tumor, tingkat kemampuan berperan,
gejala sistemik, jangkitan sumsum tulang, dan imunitas selular
terhadap harapan hidup penderita LNH yang diobati dengan
regimen pengobatan generasi kedua.

HASIL DAN DISKUSI


Gambar 1 (hubungan usia penderita tumor dengan harapan
hidup), gambar 2 (hubungan ukuran tumor dengan harapan
hidup), gambar 3 (hubungan tingkat kemampuan berperan me-
nurut kesepakatan Swiss), dan gambar 4 (hubungan gejala
sistemik dengan harapan hidup), menunjukkan bahwa sebagian
besar faktor-faktor yang mempengaruhi hasil pengobatan pen- Gambar 3. Hubungan faktor tingkat kemampuan berperan dengan ha-
derita LNH yang mendapat regimen pengobatan generasi kesatu rapan hidup
tidak mempengaruhi harapan hidup mereka yang diobati dengan (Keterangan: X2 = 2,344529, df = 3, p = 0,5040441)
regimen yang telah agresif ini.
Sedangkan gambar 5 (hubungan jangkitan sumsum tulang
dengan harapan hidup) dan gambar 6 (hubungan reaksi imuni-
tas selular/PPD dengan harapan hidup), walaupun memper-
lihatkan kurva yang berbeda nyata antara 2 kelompok yang di-
perbandingkan, ternyata secara statistik tidak dapat dinilai
(gambar 5) dan tidak berbeda bermakna (gambar 6). Hal ini
terjadi karena jumlah penderita yang sedikit pada satu kelompok
(gambar 5) dan karena beberapa penderita tidak dapat dipantau
lebih lanjut setelah kurun waktu tertentu (gambar 6).

Gambar 4. Hubungan faktor gejala sistemik dengan harapan hidup


(Keterangan: x2 = 0,874643, df = 4, p = 0,9281702

Gambar 1. Hubungan faktor usia dengan harapan hidup


(Keterangan: X2 = 0,793994, df = 4, p = 0,9392514)

Gambar 5. Hubungan faktor jangkitan sumsum tulang dengan harapan


hidup

Hasil tersebut di atas, di mana semua penderita mcmperolch


Gambar 2. Hubungan faktor ukuran tumor dengan harapan hidup regimen pengobatan generasi kedua, berbeda dengan hasil peng-
(Keterangan: X2 = 0,244254, df = 4, p = 0,9931227)
obatan dengan regimen generasi kesatu, scperti yang telah di-
sebagainya.
Banyak peneliti yang melaporkan hasil pengobatan yang
memuaskan dengan regimen yang lebih agresif, bahkan sebagian
meneruskan pengobatan agresif ini dengan melakukan trans-
plantasi sumsum tulang untuk meningkatkan kesembuhan. Bukan
mustahil bahwa faktor-faktor yang dikemukakan di atas tetap
tidak mempengaruhi harapan hidup setelah dilakukan penelitian
lebih lanjut. Bila ini benar maka hal tersebut justru menunjukkan
keberhasilan pengobatan dengan sitostatik agresif tadi, atau
malahan sebaliknya.
Perlu kiranya diingatkan bahwa untuk memberikan peng-
obatan agresif ini diperlukan fasilitas pengobatan suportif yang
memadai. Selama memberi pengobatan dengan regimen gene-
rasi kedua ini penderita mendapat pengobatan suportif secara
Gambar 6. Hubungan faktor imunitas selular dengan harapan hidup
(Keterangan: X2 = 2,114426, df = 4, p = 0,7147225)
cermat, misalnya transfusi komponen darah, nutrisi tambahan
(bila perlu ditambah nutrisi parenteral), pencegahan infeksi (bila
laporkan pada penelitian terdahulu(7). perlu merawat penderita dalam ruang isolasi khusus saat kadar
Perlu kiranya diingat bahwa faktor usia, ukuran tumor, granulosit rendah), mengobati setiap infeksi yang terjadi secara
tingkat kemampuan berperan, dan gejala sistemik, tampaknya cepat dan tepat, dan sebagainya. Memang sebelum memulai
tidakberpengaruh terhadap prognosis penderitaLNH yang diobati mengobati seseorang dengan regimen sitostatik yang agresif
dengan regimen pengobatan generasi kedua, hanya selama dua seperti ini harus dipastikan terlebih dahulu adanya jaminan
tahun pertama. Karena tujuan mengobati penderita dengan regi- bahwa penderita dapat memperoleh pengobatan suportif yang
men yang lebih agresif ini adalah untuk mencapai masa bebas memadai, yang akan diperlukan selama masa pengobatan sito-
penyakit yang lama, bahkan kesembuhan, maka kiranya diper- statik.
lukan penelitian selama jangka waktu pengamatan yang lebih Usaha mengidentifikasi faktor yang berpengaruh terhadap
lama, misalnya selama lima sampai dengan sepuluh tahun. prognosis memang diperlukan untuk memudahkan seleksi pen-
Memang pengamatan selama dua tahun relatif pendek apa- erima santunan pada saat permintaan santunan melebihi dana
bila dibandingkan dengan masa pengobatan yang lamanya yang tersedia. Walaupun demikian, di samping faktor di atas,
antara empat sampai dengan enam bulan. Selama empat sampai masih banyak faktor lain yang dapat dipakai sebagai pegangan
enam bulan tersebut selain telah dikeluarkan biaya yang mahal, untuk menentukan penerima santunan.
si sakit harus menahan efek samping yang tidak ringan, bahkan
dapat menyebabkan kematian apabila tidak ditangani dengan
cermat. Karena itu menilai harapan hidup selama dua tahun
KEPUSTAKAAN
pertama menjadi kurang bermanfaat apabila dibandingkan
dengan segala pengorbanan penderita yang telah dialami selama 1. Horwich A, Peckham M. "Badri sk" non Hodgkin lymphomas. Semin Haema-
empat sampai enam bulan tersebut. Penilaian ini memang tol 1983; 20:35-56.
dimaksudkan sebagai penelitian pendahuluan. Dari hasil yang 2. Koziner B, Fllipa D, Mertelsman R dkk. Characterization of malignant
diperoleh jelas terlihat perlunya melanjutkan penelitian ini. lymphomas in leukemic phase by multiple differentiation markers of
mono-nuclear cells. Correlations with clinical features and conventional
Di samping diperlukan masa pengamatan yang lebih lama, morphology. Am J Med 1977; 63: 556-567.
diperlukan jumlah penderita yang lebih banyak, terutama karena 3. Cabanillas F, Burke JS, Smith TL dkk. Factors predicting for response
sebagian penderita tidak kembali memeriksakan diri dan tidak survival in adults with advance non-Hodgkin's lymphomas. Arch Intern
dapat ditelusuri lebih lanjut keadaan kesehatannya. Hal ini ter- Med 1978; 138: 413-8.
4. Fisher RI, DeVita VT Jr., Johnson BL dkk. Prognostic factors for
lihat pada kurva harapan hidup yang membandingkan penderita advanced diffuse histiocytic lymphoma following treatment with
dengan dan tanpa jangkitan sumsum tulang (gambar 5) dan combination chemotherapy. Am J Med 1977; 63: 177-82.
kurva harapan hidup yang membandingkan penderita dengan 5. Jones SE, Griffith K, Dombrowski P, Gaines A. Immunodeficiency in
dan tanpa imunitas selular yang menurun (gambar 6). Walaupun patients with non-Hodgkin's lymphoma. Blood 1977; 49: 335-44.
6. Gajl-Peczalska KJ, Bloomfield CD, Coccia PF dkk. Analysis of blood and
tampak seolah-olah ada perbedaan (seperti terlihat pada gambar lymph nodes in 87 patients. Am J Med 1975; 59: 674-684.
5 dan 6), akibat banyaknya penderita yang tidal( dapat diamati 7. Reksodiputro AH. Limfoma non-Hodgkin dan saran mengenai altematif
lagi kesehatannya karena tidak melanjutkan pemeriksaan kese- penatalaksanaannya di Indonesia. Jakarta, Indonesia, Fakultas Kedokteran
hatannya di rumah sakit, penilaian statistik tidak menunjukkan Universitas Indonesia, 1984, Tesis, hal. 1-171.
8. ReksodiputroAH, Atmakusuma D. Pengobatan epirubisin dalam protokol
perbedaan bermakna. "CEOP" pada penderita limfoma non-Hodgkin di Rumah Sakit Dr Cipto
Selain melanjutkan penelitian ini, perlu dinilai peranan Mangunkusumo, Makalah diajukan pada "The First National Congress of
faktor lain, seperti kadar LDH, tingkat penyakit lanjut dan Indonesian Society of Oncology", Jakarta, 12 Oktober 1989.
Etoposide (Vp-16)
- Sitostatik Oral untuk Kanker Paru
Achmad Hudoyo
Bagian Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas IndonesialUPF Paru
Rumah Sakit Umum Pusat Persahabalan, Jakarta

PENDAHULUAN latum dan Podophyllum emodi yang mengandung zat beracun


Pengobatan kanker paru tergantung dari jenis dan derajat podophyllotoxin yang dapat membunuh cacing. Pada tahun
kanker paru. Pada derajat atau stadium I dan I1, pilihan terbaik 1966 setelah diekstrasi dan disintesis secara kimiawi didapatlah
adalah operasi. Pengobatan pada stadium III atau IV dapat berupa Etoposide atau Vp-16-213 yang setelah dianalisis, ternyata
radioterapi dan sitostatika. mempunyai efek dapat menghambat pertumbuhan sel-sel neo-
Di RSUP Persahabatan, Jakarta yang merupakan pusat plastik.
rujukan untuk penyakit paru di Indonesia, hanya 11 dari 125 Pada tahun 1973 telah dipublikasikan hasil riset fase II oleh
(< 10%) penderita kanker paru menjalani pembedahan pada organisasi riset kanker Eropa yang tclah berhiisil menggunakan
tahun 1987 (stadium I dan II). Ini terjadi karena penderita datang obat ini untuk pengobatan stadium lanjut leukemia akut. Selain
dalam keadaan terlambat, yakni pada derajat III atau IV(1). Pada itu dilaporkan juga obat ini dapat digunakan untuk kanker-
stadium III dan IV ini hanya dapat dilakukan radioterapi atau kanker lain, seperti Hodgkin's, melanoma, payudara, testis,
kemoterapi atau kombinasi radioterapi dan sitostatika. tiroid dan kanker ginjal(1). Obat ini belum digunakan untuk terapi
Pemberian obat sitostatika sering tidak disukai oleh pende- kanker paru, sampai Tucker dick melaporkan keberhasilannya
rita, karena banyak menimbulkan efek samping dan pemberian- mengobati kanker paru jenis sel kecil(3).
nya yang melalui infus. Selain itu bagi yang kurang mampu
tentu saja merupakan hambatan utama, karena umumnya obat- KOMPOSISI DAN MEKANISME KERJA
obat sitostatika harganya mahal (di RSUP Persahabatan, ke- Etoposide atau Vp-16 adalah derivat semisintetik dari podo-
banyakan penderita yang mendapat sitostatika adalah peserta phyllotoxin yang mempunyai rumus kimia C29H32013 dengan
Askes atau yang mendapat bantuan dari Yayasan Kanker Indo- berat moleku1588,57. Obat ini berupa bubuk atau kristal putih,
nesia). larut dalam kloroform atau metanol dan sedikit larut dalam
Obat sitostatika yang relatif masih baru, bernama Etoposide alkohol(2).
atau Vp-16 ini memiliki kelebihan dapat diberikan per oral yang Mekanisme kerja podophyllotoxin seperti colchicine dan
tidak berbeda efektivitasnya dibanding pemberian per infus, vinca alkaloids, yaitu menghambat metaphase sell-sal kanker.
sehingga mempunyai harapan lebih banyak dipilih oleh pende- Awal aksi kerjanya mengganggu sistem enzimatik DNA(4,5).
rita kanker paru yang tidak mau menjalani pengobatan dengan
cam lain. DOSIS DAN CARA PEMBERIAN ETOPOSIDE ORAL
Dosis per oral yang dianjurkan 50 mg/m2 per hari, dcngan
PENEMUAN Vp-16 SEBAGAI SITOSTATIKA dosis ini bioavailabilitas yang dicapai cukup bcsar (91 – 96%).
Pada mulanya, obat yang terkandung pada tumbuh-tum- Setiap siklus diberikan selama 21 hari. Siklus berikutnya diberi-
buhan famili Beriberidacceae ini digunakan oleh orang-orang kan pada hari ke-28. Dengan cara ini konsentrasi minimal dalam
Indian di Amerika dan beberapa suku di pegunungan Himalaya plasma cukup dapat dipertahankan sebesar 1 ug/ml(6).
sebagai obat pencahar dan obat cacing. Dikenal 2 macam turn- Untuk memantau efek samping pada sistim hemopoetik
buhan yang termasuk Beriberidacceae, yaitu Podophyllum pe- dilakukan pemeriksaan setiap minggu berupa pemeriksaan Hb,
leukosit dan trombosit. Bila toleransi cukup baik, siklus dapat Davis dkk(9) mengobati 39 penderita kanker paru jenis ini
diulang sampai 6 kali (± 6 bulan), atau 1 sekuen. Selanjutnya dengan kombinasi sitostatika yang mengandung etoposide,
sekuen inipun dapat diulang sampai seberapa mampu penderita mendapatkan respon sebesar 39% dan angka tengah tahan
menerimanya. hidup sebesar 340 hari atau > 11 bulan. Peneliti-peneliti lain yang
menggunakan etoposide oral sebagai obat tunggal mendapatkan
PEMBERIAN ETOPOSIDE PADA KANKER PARU response rate sebesar 7 – 27%(6,7).
Etoposide per oral dapat diberikan pada kanker paru, baik
karsinoma sel kecil (small cell carcinoma) maupun bukan sel EFEK SAMPING
kecil (non small cell carcinoma); dapat sebagai obat tunggal Seperti obat-obat sitostatika lainnya, etoposide yang diberi-
maupun kombinasi dengan obat sitostatika lainnya. kan secara oral juga memberi efek samping, akan tetapi karena
Kankerparu jenis karsinoma sel kecil (KPKSK) merupakan diberikan dengan dosis rendah maka efek samping yang terjadi
jenis kanker paru yang paling ganas, karena sifatnya yang tidak begitu akut. Dari penelitian terhadap 341 kasus yang
mempunyai pertumbuhan dan metastasis paling cepat. Apabila mendapat etoposide oral di jumpai efek samping sebagai berikut:
kanker paru jenis sel kecil ini dibiarkan, secara statistik rata-rata alopesia (67,5%), anoreksia (41,1%), nausea (38,1%), vomitus
umur penderita hanya ± 3 bulan. Kanker jenis ini mempunyai (12,6%), diare (6,7%), stomatitis (6,2%), malaise (13,5%), demam
sifat sangat sensitif terhadap pemberian kemoterapi, jadi apa- (4,7%), rash (3,2%) dan neuropati puffer
bila diberikan pengobatan dengan sitostatika akan memberikan
respon yang baik dan akan meningkatkan kualitas hidup serta KESIMPULAN
daya tahan hidup penderita. Etoposide atau Vp-16 adalah sitostatika baru yang dapat
Dari beberapa penelitian telah dibuktikan pemberian eto- digunakan untuk kanker paru. Obat ini dapat diberikan secara
poside oral memberikan manfaat pada pengobatan terhadap oral sehingga mempunyai kelebihan dibanding sitostatika lain-
kanker paru jenis karsinoma sel kecil ini. Pemberian etoposide nya, dan memungkinkan lebih banyak diterima oleh penderita-
oral yang dikombinasi dengan obat lain memberi respon sebesar penderita kanker pant stadium lanjut di Indonesia.
51 – 82%, sedang etoposide oral sebagai obat tunggal memberi
respon 23 – 80%(6,7). KEPUSTAKAAN
Smit dkk(8) dalam penclitiannya terhadap penderita KPKSK 1. Anwar Jusuf. Kanker Pam, Diagnosis dan Terapi. Dalam Faisal J. dkk (Eds)
yang berumur lebih dari 70 tahun dan mendapat etoposide oral Pulmonologi Klinik. Bagian Pulmonologi FKUI, 1992.
sebanyak 12 siklus mendapatkan response rate sebesar 71% 2. Anti Tumor Agent. Laster, Etoposide preparation. Nippon Kayaku Co Ltd.
serta angka rata-rata daya tahan hidup 9 bulan bagi penderita 3. Tucker RO, Ferguson A, Van Wyk C. et al. Chemotherapy of small
cellCaof the lung with Vp-16-231. Cancer 1978; 41: 1710-4.
kanker yang menyebar, serta 16 bulan bagi penderita dengan 4. Wozniali AJ, Ross WE. DNA Damage as basic for H dimethyl of epipodo-
kanker yang masih terbatas. phylotoxin cytotoxicity. Cancer Res 1983; 43: 120-4.
Pemberian sltostatika untuk karsinoma paru jenis bukan sel 5. GriederA, MaurerR, Stahelin H. Effect of an epipodophylotoxin derivate
kecil memang masih kontroversial. Kanker paru jenis ini pada on macromolecular synthesis and mitosis in mastocytoma cells in vitro.
Cancer Res 1974; 34: 1788-93.
stadium III dan IV, secara statistik sisa umur penderita ± 6 bulan, 6. Greco AF. Chronic Oral Etoposide. Bristol Myers Squibb Co, 1991.
jarang yang dapat bertahan hidup sampai 1 tahun. Pemberian 7. Oral Etoposide Low Dose Administration. Nippon Kayaku, 1993.
radioterapi maupun kemoterapi tidak banyak mengubah angka 8. Smit EF, Comey DN, Harford P et al. A phase II study oral etoposide in elderly
tahan hidup ini, tetapi pada penderita dengan kanker yang belum patients with small cell lung cancer. Thorax 1989; 44: 631-3.
9. Davis S, Tonato N, Crino L, Colozza MA et al. Cisplatin, etoposide and
tumbuh besar dan menyebar pemberian kemoterapi dapat mem- mitomycin in the treatment of non-small cell Ca of the lung. Cancer 1986;
beri harapan. 58: 1018-9.
Reseptor Estrogen pada
Karsinoma Payudara
Truly Djimahit Dasril
Bagian Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Ujungpandang

PENDAHULUAN Penilaian RE positif berdasarkan warna kemerahan/orange


Karsinoma payudara merupakan neoplasma yang heterogen pada sitoplasma sel dan terdiri atas derajat, yaitu negatif (–),
dengan variasi gejala klinik, perubahan patologi dan biokimia; ringan (+), sedang (++) dan positif kuat (+++).
menyebabkan intensifnya usaha mendeteksi beberapa parameter
Cara kerja
untuk menentukan prognosis dan sekaligus menentukan peng-
obatan selanjutnya penderita karsinoma payudara(1). Beberana • Sediaan 6 mikron diletakkan di obyek gelas yang telah
diolesi albumin, dikeringkan di oven 55°C selama 2 jam. Tiap
penelitian akhir-akhir ini menunjukkan adanya Reseptor Estro-
sampeI dibuat 2 slide, 1 test slide dan 1 negative control slide.
gen di jaringan karsinoma payudara yang mempunyai arti penting
dalam menentukan prognosis dan tindakan pengobatannya(2,3,4). • Deparafinasi menggunakan Xylol, dengan meletakkan slide
Untuk mendeteksi Reseptor Estrogen ini, terdapat berbagai langsung ke dalam Xylene Bath dan diinkubasi selama 5 menit.
cara antara lain dengan pemeriksaan biokimia. Tetapi cara ini • Tiriskan kelebihan cairan, letakkan slide ke dalam Fresh
memerlukan waktu lama & biaya yang sangat mahal. Beberapa Absolute Ethyl Alcohol bath selama 3 menit. Ulangi rehidrasi ini
peneliti telah melakukan pemeriksaan Reseptor Estrogen dengan dengan etil alkohol absolut yang baru, kemudian ke dalam
teknik immunohistokimia dari sediaan parafin. Immunohisto- larutan etil alkohol 95%, dua kali 3 menit. Cuci slide dengan air
kimia yang menggunakan enzim memberi hasil yang baik. Teknik kran mengalir selama 1 menit, singkirkan kelebihan cairan dengan
ini mudah dilakukan dan mempunyai anti spesifik karena meng- tissue tetapi perhatikan potongan jaringan jangan sampai kering.
gunakan antibodi monoklonal. • Teteskan 2–3 tetes Peroxidase Blocking Reagent pada selu-
Tujuan penelitian ini untuk melihat apakah Reseptor Estro- ruh potongan jaringan, inkubasi 5 menit pada suhu kamar dalam
gen hanya terdapat di karsinoma payudara dan tidak terdapat humidity chamber. Singkirkan reagen yang berlebihan, cuci slide
pada tumor jinak payudara, sehingga pemeriksaan Reseptor dalam Buffered Wash Working Solution (BWWS) dua kali 5
Estrogen dari setiap karsinoma payudara dapat benar-benar ber- menit.
manfaat untuk tindakan pengobatannya. • Teteskan 2–3 tetes Nonspecific Blocking Reagent ke tiap
slide dan inkubasi 20 menit. Cuci slide dalam BWWS selama 5
PENELITIAN menit.
Telah dilakukan pemeriksaan Reseptor Estrogen (RE) pada • Teteskan 1–2 tetes Monoclonal Estradiol Rabbit Primary
37 kasus karsinoma payudara dan 36 kasus fibroadenoma Antibody pada test slide, dan negative control reagent ke nega-
mamma yang diambil secaraacakdari seluruh kasus tumorganas tive control slide. Inkubasi selama 60 menit dalam humidity
dan jinak yang diperoleh pada tahun 1988 di Laboratorium chamber. Cuci dalam BWWS selama 5 menit.
Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran UNHAS Ujung Pan- • Teteskan 2–3 tetes Linking Reagent ke tiap slide, inkubasi 30
dang. menit, cuci dalam BWWS selama 5 menit.
Pemeriksaan dilakukan pada jaringan blok parafin dengan • Teteskan 2–3 tetes Strept - Avidin Enzyme Label ke tiap
menggunakan teknik Immunoperoxidase Strep-Avidin Biotin slide, inkubasi 30 menit. Cuci slide dalam BWWS selama 5
enzim kompleks, menggunakanEstrad iol sebagai antibodi primer. menit.
• Teteskan beberapa tetes AEC working colour reagent, dengan 4 kasus positif sedang.
inkubasi 10–15 menit, cuci dengan sempurna di air kran. Tabel 3. Distribusi Usia Penderita dengan RE Positif
• Counterstain dengan Hematoxylin Mayer selama 30–60
detik, celupkan slide dalam Ammonia Water 0,3%. Cuci slide di RE + Karsinoma mammae Fibroadenoa mammae
air ban, teteskan Aqueous Mounting Medium sebelum ditutup < 35 tahun 8 3
dengan degglas. > 35 tahun 11 –

HASIL DISKUSI
Hasil pemeriksaan Reseptor Estrogen path 37 kasus karsi- Penelitian ini menunjukkan bahwa RE dapat dideteksi se-
noma mammae menunjukkan hasil positif sebanyak 19 kasus cara rutin pada sediaan blok parafin dengan memakai metode
(51,4%), 18 kasus (48,6%) negatif. Dari 19 kasus positif terdapat Immunohistokimia yang menggunakan Estradiol sebagai anti-
6 kasus positif dengan intensitas lebih tinggi yaitu positif 2 (++). bodi monoklonal. Keuntungan metode ini dibandingkan dengan
Hasil pemeriksaan RE path 37 kasus fibroadenoma me- metode biokimiawi, adalah dapat menilai bahwa setiap tumor
nunjukkan 2 kasus (6,5%) positif, 31 kasus dengan hasil negatif mammae mempunyai sifat yang heterogen.
dan 3 kasus tidak dapat dinilai (tabel 1). Pada penelitian ini jumlah RE positif dibandingkan dengan
Sel yang positif sering terdapat mengelompok path area RE negatif pada karsinoma mammae, tidak begitu jauh perbe-
tertentu, walaupun secara histologik tumornya nampak homogen. daannya. Hal ini disebabkan pada proses blok parafin banyak
Pada kelompok fibroadenoma mammae, terdapat 3 kasus yang immunoreaktivitas dari jaringan yang hilang; dan ini sesuai
tidak dapat diinterpretasi. Hal ini karena blok parafin sangat dengan hasil penelitian Kamby C.cs(10) bahwa sebagian Reseptor
keras akibat kesalahan pembuatan sehingga pada pemotongan, Estrogen pada jaringan rusak selama proses fiksasi formalin dan
jaringan hancur; akibatnya deparafinasi tidak terjadi sempurna. parafin embedding. Sehingga berdasarkan hal ini tak dapat di-
Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Reseptor Estrogen pastikan berapa sampel/kasus yang mengalami negatif palsu.
RE positif RE negatif Jumlah
Tumor Mammae
n % n % n % KEPUSTAKAAN
Karsinoma Mammae 19 51,4 18 48,6 37 100
Fibroadenoma Mammae 2 6,5 31 93,5 33 100 1. Wrba F, Chaotta, Reiner A. K-67 Immunoreactivity in breast carcinomas
in relation to transferrin receptor expression, estrogen receptor status and
Jumlah 21 49 70 morphological criteria. Oncology 1989; 46: 255–9.
2. Horsfall DJ, Jarvis LR, Gimbaldeston MA. Immunocytochemical assay for
Keterangan : p < 0 .001 estrogen receptor in fine needle aspirates of breast cancer by video image
analysis. Br. J. Cancer 1989; 59: 129-34.
3. Cohen C, Unger ER, Bradley N. Automated immunohistochemical estro-
RE (+) pada karsinoma mammae j auh lebih tinggi secara
gen receptor in fixed embedded breast carcinoma. Am. J. Clin. Pathol.
bermakna daripada RE (+) pada fibroadenoma mammae. 1989; 92: 669-72.
Menurut derajat sitoplasma sel yang positif di karsinoma 4. Bouzubar N, Walker KJ, Griffiths K. Ki 67 immunostaining in primary
mammae, terdapat 13 kasus positif ringan dan 6 kasus derajat breast cancer: pathological. Br. J. Cancer 1989; 59: 943–7.
5. Diagnostic products Corp. Immunostain. Euro/DPC 1988; 26: 1-18.
positif sedang. Pada kelompok fibroadenoma mammae, terdapat
6. CooperJA, Rohan TE, Cant EL Risk factors for breast cancer by oestrogen
2 dengan derajat positif ringan (tabel 2). receptor status : a population - based case - control study. Br. J. Cancer 1989;
Tabel 2. Derajat Scl Sitoplasma 119-25.
7. Shintaku P, Said JW. Detection of estrogen receptors with monoclonal
Tumor mammae Positif ringan (+) Positif sedang (++) antibodies in routinely processed formalin-fixed paraffin sections of breast
carcinoma. Am. J. Clin. Pathol. 1987; 161-7.
Karsinoma mammae 13 6 8. Hiort 0, Kwan PWL, Delellis RA. Immunohistochemistry of estrogen
Fibroadenoma mammae 2 – receptor protein in paraffin sections. Am. J. Clin. Pathol. 1988; 559-63.
9. Helin HJ, Helle MJ, Helin ML. Immunocytochemical detection of estrogen
Jumlah 15 6 and progesterone receptors in 124 human breast cancers. Am. J. Clin.
Pathol. 1988; 90: 137-142.
Distribusi umur RE positif karsinoma mammae, terlihat 10. Kamby C, Rasmussen BB, Kristensen B. Oestrogen receptor status of
pada umur di bawah 35 tahun, 8 kasus (72,7%) dengan 2 kasus primary breast carcinomas and their metastases. Relation to pattern of
spread and survival after recurrence. Br. J. Cancer 1989; 60: 252–7.
positif sedang. Di atas 35 tahun, 11 kasus positif ringan (42,3%)
Penyebab Nyeri Kanker
dan Penatalaksanaannya
Dr. Dwl Djuwantoro
Puskesmas Sejangkung, Sambas, Kalimantan Barat

PENDAHULUAN PRINSIP-PRINSIP UMUM


Nyeri merupakan gejala Minis yang lazim ditemukan. Se- Sering kali ditemukan bahwa penderita dan dokter meng-
pertiga penderita kanker menunjukkan manifestasi klinis nyeri gunakan kata-kata yang berbcda untuk menjelaskan gejala klinis
dan sebagian besar kasus mengalami nyeri di minggu-minggu yang sama. Jika penderita menyatakan tidak mengalami nyeri,
terakhir kehidupannya. Di negara-negara sedang berkembang, sebaiknya ditanya apakah mengalami rasa tidak enak, rasa ter-
meskipun nyeri merupakan gejala klinis yang panting, namun bakar, rasa tebal atau gejala lainnya yang menimbulkan ganggu-
sering kali tidak diperhatikan. Beberapa juta penderita kanker an tidur atau konsentrasi. Sebaliknya, jika penderita meng-
yang mengalami nyeri mendapatkan pengobatan media yang ungkapkan bahwa mereka mengalami nyeri, maka keluhan ini
terbatas dan relatif tidak mahal. perlu diterima secara sahib. Hanya dengan analisis yang cermat,
penyebab-penyebab nyeri dapat diobati dengan tepat (Tabel 1).
NYERI TOTAL
Nyeri didefinisikan sebagai perasaan yang tidak menye- Tabel 1. Penyebab-penyebab nyeri pada penderita kanker
nangkan dan pengalaman emosional yang berkaitan dengan ke-
Nyeri yang tidak berkaitan langsung dengan kanker
rusakan jaringan yang sebenarnya atau yang potensial. Nyeri
selalu bersifat subyektit(3). Faktor-faktor psikologis memegang Konstipasi
peranan panting dalam persepsi nyeri yang disampaikan oleh Ulkus dekubitus
Retensi urin
penderita dan frase nyeri total' digunakan untuk menunjukkan Trombosis vena profunda
asal nyeri yang bersifatmultifaktor: emosional, spiritual,keuang- Artritis penyerta
an dan sosial, serta fisik. Rasa yang tidak menyenangkan dan
Nyeri akibat kanker yang tidak, atau hanya sebagian yang memberi
perasaan takut pada penderita kanker stadium lanjut dapat diper- respon terhadap opium
berat oleh tekanan keuangan, sosial dan dcsakan kcluarga. Di
samping itu, nyeri fisik sendiri dapat menyebabkan penderita Nyeri tulang
Nyeri radikuler
mengalami depresi atau gelisah yang dimanifestasikan sebagai Nyeri disestetik
gangguan tidur, pcnurunan nafsu makan dan gangguan kon- Sakit kepala akibat tumor otak
sentrasi. Nyeri akibat regangan kapsul hati
Dengan demikian, perlu diperhatikan scmua faktor yang Nyeri akibat ulkus ganas yang tcrinfeksi
Spasme otot
berkaitan dengan nyeri total. Banyak faktor yang dapat diper- Nyeri akibat peradangan panggul
baiki dengan diskusi terbuka dengan pendcrita dan anggota
keluarga mengenai kelainan ini dan efrk-efeknya terhadap Nyeri akibat kanker yang memberi respon terhadap opium
keluarga(2). Nyeri dari jaringan lunak
Nyeri dari organ dalam
Naskah ini kupersembahkan boat rekanku yang tercinta: Trifonia Mance
ANALISIS NYERI Bila mungkin, penatalaksanaan anti-kanker seperti pembe-
Terlalu mudah untuk menilai bahwa nyeri disebabkan oleh dahan, radioterapi, hormon atau kemoterapi perlu dipertimbang-
kanker, hanya karena penderita menderita kanker. Penilaian kan karena cara terbaik untuk mengatasi nyeri akibat kanker
kedua yang salah adalah bahwa semua nyeri akibat kanker adalah mengangkat atau menghilangkan kanker. Bagaimana-
memberi respon terhadap opium. Penatalaksanaan blanket pun, terapi farmakologis masih berperan dalam penatalaksanaan
nyeri pada penderita kanker dengan opium lemah atau kuat nyeri akibat kanker. Sekalipun penatalaksanaan anti-kanker
adalah tidak tepat dan tidak beralasan. mungkin dapat dilakukan, namun sebagian besar respon tidak
Perlu dilakukan anamnesis pada penderita untuk menilai didapatkan dengan segera dan analgetik perlu dilanjutkan ber-
nyeri dan penjalaran nyeri (Gambar 1). Hal ini segera dapat sama-sama.
menentukan penyebab nyeri yang mendasarinya, dan jenis Sedapat mungkin dilakukan pemberian per-oral. Cara
nyeri (membakar, atau menusuk), intensitas nyeri dalam pemberian lainnya, terutama parenteral kurang menyenangkan
skala 1 sampai 4, serta faktor-faktor pencetus. Pemeriksaan dan sebaiknya diberikan untuk indikasi tertentu (Tabel 2).
klinis dan penilaian status psikologis penderita akan Tabel 2. Indikasi pemberian parenteral
memperjelas gambaran klinis, danpemeriksaan selanjutnya
seperti foto rontgen mungkin perlu dilakukan(2). Gangguan menelan karena kelemahan akibat kanker yang telah lanjut Muntah
yang membandel
Disfagia
Obstruksi intestinalis
Koma

TERAPI FARMAKOLOGIS
Metode 'tangga berjenjang' (Gambar 2) dapat memberikan
hasil yang nyata dan efektif(6). Metode ini dapat mulai diberikan
seraya menunggu diagnosis. Analgetik non-opium dapat mulai
diberikan, kemudian dilanjutkan dengan opium ringan jika nyeri
tidak terkontrol, dan selanjutnya opium kuat bila kedua langkah
sebelumnya tidak efektif.
Hasil penatalaksanaan biasanya ditunggu selama 24 jam
sebelum dinilai kembali dan selanjutnya meningkatkan dosis
atau mengganti ke jenjang atasnya. Bagaimanapun, nyeri perlu
diberantas dengan cepat jika nyeri yang terjadi berat atau pen-
derita sangat lemah dan hampir meninggal.

Deskripsi/beratnya (1–4) Penyebab

Nyeri A :
Nyeri B :
Nyeri C:

Gambar 1. Diagram nyeri.

PRINSIP PENATALAKSANAAN
Langkah pertama dalam penatalaksanaan nyeri akibat kan-
ker adalah melakukan penilaian setiap nyeri secara menyeluruh.
Hal ini dapat mengalami kesulitan karena penderita kanker
sering kali menutupi gejala-gejala klinisnya dalam usaha untuk
menyangkal bahwa kanker merupakan penyebabnya. Di sam- Gambar 2. Pemberian analgetik dengan metode 'berjenjang'
ping itu, nyeri akibat kanker biasanya tidak disertai dengan
reaksi akut seperti takikardi, kepucatan dan berkeringat. 1) Analgetik non-opium
Analgetik sebaiknya mulai diberikan seraya menunggu a) Parasetamol dapat diberikan per-oral scbagai tablet, kapsul
hasil pemeriksaan atau konsultasi dokter ahli. Analgetik tidak atau eliksir, atau per rektal. Dosis yang lazim adalah 1.000 mg.
mengganggu proses diagnostik. setiap 4 jam, meskipun dosis setiap 6 jam lebih tepat untuk orang
tua(7). – Dosis analgetik adalah 50% dosis oral ekuivalen. Pemberian subkutan
lebih baik dibanding dengan intramuskuler.
b) Obat anti-inflamasi non-steroid (AINS) memegang peranan 11. Tidak ada batas atas dosis morfin; dosis analgetik adalah dosis bera-
yang sangat penting dalam penatalaksanaan nyeri akibat kanker, papun yang dapat menghilangkan nyeri.
terutama nyeri akibat metastasis ke tulang. Karena penderita
kanker sering memerlukan beberapa jenis pengobatan, sebaik- 4) Opium Kuat lain
nya dipilih AINS yang diberikan satu kali sehari. Bila penderita a) Metadon tersedia sebagai tablet 5 mg dan tingtur 2 mg/5 ml,
tidak dapat menelan, obat temp diberikan per rektal atau paren- dan dapat dibuat eliksir. Untuk menghindari sedasi yang ber-
teral untuk mempertahankan kualitas analgetik. lebihan, penderita sebaiknya diberi dosis 5 mg yang diulangi
setiap 30 sampai 60 menit hingga nyeri hilang.
2) Opium lemah b) Oksikodon adalah opium semisintetis yang tersedia dalam
Dekstropropoksifen tersedia dalam kombinasi dengan para- bentuk supositoria 30 mg. Dosis yang lazim 30 mg setiap 8 jam
setamol. Dosis harian maksimum yang dianjurkan adalah 600 ekuivalen dengan 20 mg morfin oral setiap 4 jam.
mg. Orang tua lebih peka terhadap efek toksik SSP dari dekstro- c) Dekstromoramid adalah opium kerja cepat yang dapat di-
propoksifen, terutama kebingungan dan halusinasi. berikan per oral. Obat ini bermanfaat untuk penderita nyeri yang
Beberapa dokter menggunakan kodein atau dehidrokodein mengalami nausea berat akibat pemberian eliksir morfin.
sebagai opium lemah. Dosis analgetik kodein adalah 50 sampai
100 mg setiap 4 jam. 5) Steroid
Prinsip dasar penggunaan steroid adalah untuk mengurangi
3) Opium kuat edema peritumor yang dijumpai di sekitar sebagian besar tumor
Morfin temp merupakan opium kuat pilihan untuk kanker primer atau sekunder. Deksametason merupakan obat pilihan
yang telah lanjut. Tidak ada dosis standar morfin; morfin harus karena obat ini mempunyai efek mineralokortikoid ringan dan
diberikan dari dosis rendah(5,6) Morfin paling baik diberikan berbentuk tablet kecil yang mudah diminum sekalipun diper-
dalam bentuk eliksir (5 mg/5 ml atau 10 mg/5 ml) berdasarkan lukan dosis besar (Tabel 4).
pedoman tabel 3.
Tidak perlu takut terhadap adiksi atau depresi pernafasan
akibat pemberian morfin yang lama. Penderita dapat menghen- Tabel 4. Penggunaan dcksametason pada kanker stadium terminal
tikan morfin jika nyeri berkurang dengan beberapa cara sekali-
pun telah menggunakannya dalam beberapa bulan. Nyeri dapat Untuk analgetik
Dosis lazim
(dalam 24 jam)
bertindak sebagai suatu antidotum terhadap efek depresi per-
Tumor otak 8–16 mg
nafasan. Tekanan radiks saraf 8–12 mg
Tabel 3. Pedoman terapi morfin Kompresi medula spinalis 8–12 mg
Nyeri akibat regangan kapsul hati 6 mg
Untuk mengurangi tekanan
1. Dosis pemula yang lazim untuk eliksir morfin adalah 10 mg. Obstruksi trakea atau bronkus utama 6–12 mg
– Dosis dikurangi hingga 5 mg pada penderita tua (65 sampai 80 Obstruksi vena kava superior 6–12 mg
tahun) dan penderita yang sangat takut akan morfm. Obstruksi esofagus 6–12 mg
– Dosis dikurangi hingga 2,5 mg pada penderita yang sangat tua (> 80 Limfedema 6– 8 mg
tahun) dan penderita yang disertai dengan kelainan saluran per- Paralisis atau disfagia akibat tumor otak 8–16 mg
nafasan kronis. Lain-lain
2. Frekuensi dosis yang lazim adalah sctiap 4 jam. Perangsangan nafsu makan 2 mg
– Frekuensi dikurangi pada orang tua (setiap 6 sampai 8 jam), ganggu-
an fungsi ginjal dan sirosis.
3. Frekuensi dosis untuk gangguan fungsi ginjal dan hati tergantung pada
durasi analgetik. PENGOBATAN NON-FARMAKOLOGIS
4. Hasil pengobatan ditunggu selama 24 jam sebclum mcningkatkan dosis. Bcberapa metode blok saraf dapat bermanfaat, terutama
– Waktu untuk mendapatkan status yang mcnetap lebih panjang pada blok pleksus soliakus untuk nyeri akibat kanker pankreas, sim-
orang tua, gangguan fungsi ginjal atau sirosis. patektomi lumbalis untuk tenesmus, dan blok nervus sakralis
5. Cara meningkatkan dosis :
100% untuk dosis kurang dari 20 mg untuk nyeri perineum pada penderita yang mengalami gangguan
50% untuk dosis 20 hingga 100 mg fungsi buli-buli dan usus(1).
33% untuk dosis lebih dari 100 mg
6. Perubahan ke tablet morfin lepas lambat bila kebutuhan eliksir telah
PENGOBATAN PSIKOLOGIS
ditentukan; yaitu: dosis tablet lepas lambat setiap 12 jam = 50% dosis
eliksir harian total. Nyeri kanker dapat mencetuskan keadaan yang menyedih-
7. Eliksir morfm harus tersedia untuk mengontrol serangan nyeri: dosis kan. Rasa takut dan ansietas dapat menurunkan ambang nyeri dan
'penyelamat' = 20% dosis morfin harian total dengan meningkatkan mengurangi keefektifan pengobatan. Penderita sering kali
konsentrasi eliksir, jika perlu hingga 50 mg/5 ml. mengeluh kurang tidur tetapi pemberian ansiolitik sebaiknya
8. Jika serangan nyeri terjadi berulang kali, dosis tablet lepas lambat da-
pat dinaikkan; frckuensi pemberian tidak ditambah. berhati-hati. Insomnia sering kali merupakan gejala ketakutan,
9. Prinsip pcnggunaan supositoria morfin sama seperti eliksir morfin. terutama takut meninggal di malam hari, sedangkan hipnotik
10. Prinsip pemberian morfin parenteral sama seperti eliksir morfm, ke dapat memperberat rasa takut.
cuali :
KEPUSTAKAAN
ronide in normal volunteer after 4 route of administration. BrJ Cancer (Suppl)
1. Foley KM. The treatment of cancer pain. N Engl J Med 1980; 313: 209. 1987; 227.
2. Framptom DR. The hospice: a challenge to our style of care. Med Progr 5. Owen JA et al. Age-related morphine kinetics. Clin Pharmacol Therapeut
Korean ed 1990; 12(1): 7. 1983; 34: 364.
3. International Association for Study of Pain. Sub-commitee on taxonomy of 6. Schug SA et al. Cancer pain management according to WHO analgetics
pain term: a list with definitions. Pain 1979; 6: 249. guidelines. J Pain and Symptom Management 190; 5: 27.
4. Osboume RJ et al. The pharmacokinetics of morphine and morphine glucu- 7. Tan, Kirana. Analgetik. Obat-obat penting 1986; 4: 236-240.
Mammografi Pro dan Kontra
B. susworo
Bagian Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Mammografi adalah pemeriksaan payudara dengan meng- oleh kesimpulan bahwa mammografi dapat mendeteksi adanya
gunakan sinar-X yang terutama bertujuan untuk menyaring ada- kanker payudara dini(2). Pada studi ini didapat 4485 kanker
nyakelainan neoplasma ganas, namun lebih dari itu mammografi payudara pada 4257 wanita dari populasi tersebut di atas; dengan
juga bermanfaat untuk mendeteksi kelainan lain selain kega- pemeriksaan penyaring dapat dideteksi sebanyak 3557 kanker
nasan. Pemeriksaan penyaring didefinisikan sebagai evaluasi payudara. Sebanyak 800 kanker tidak tersaring pada penelitian
terhadap suatu populasi wanita 'normal', tanpa keluhan atau ini, para peneliti menyebutnya sebagai interval cancers, yaitu
gejala yang mengarah ke tumor payudara dalam usaha men- kanker yang timbul di antara pemeriksaan penyaring dan 1 tahun
deteksi kanker dini. setelah proyek penelitian ini dihentikan. Jadi pada saat pe-
Secara tidak langsung tindakan ini merupakan upaya untuk meriksaan penyaring dalam periode penelitian, tidak diperoleh
menekan mortalitas yang disebabkan oleh kanker payudara. bukti adanya kanker ini oleh karena ukurannya masih terlalu
Karena seperti diyakini bahwa makin dini kanker payudara di- kecil untuk dapat dideteksi.
temukan, makin baik prognosisnya(1). Namun masih banyak Penelitian ini membuktikan pula pentingnya peranan
suara-suara yang tidak menyetujui atau meragukan pendapat di mammografi. Dari seluruh kanker yang dijumpai 88% dapat
atas, terutama peranan mammografi dalam mendeteksi kelainan dideteksi oleh mammografi, sedangkan 42% ditemukan hanya
payudara pada pasien tanpa gejala. dengan pemeriksaan mammografi saja sebelum kelainan ini
Sebuah penelitian telah dilakukan oleh HIP (Health In- cukup besar untuk dapat dipalpasi. Tiadanya kelompok kontrol
surance Plan) di New York yang melibatkan 62000 wanita yang pada penelitian ini menimbulkan keraguan sementara orang akan
diacak menjadi dua kelompok. Kelompok pertama menjalani kesahihan hasil penelitian. Tetapi dari studi epidemiologik ter-
pemeriksaan mammografi rutin setiap 4 tahun sekali di samping bukti bahwa dengan pemeriksaan mammografi terdapat pe-
pemeriksaan penyaring fisik biasa, sedangkan pada kelompok nurunan angka mortalitas wanita pada semua usia.
kontrol hanya dilakukan pemeriksaan fisik biasa. Pada follow-up Hampir 9% kanker payudara yang dijumpai pada penelitian
jangka panjang, yakni 18 tahun sejak dimulainya penelitian ini ini tidak dapat dideteksi dengan mammografi sekalipun secara
diperolch angka kematian karena kanker payudara pada kelom- klinis dapat dipalpasi. Dengan demikian hasil mammografi yang
pok yang menjalani pemeriksaan penyaring sebanyak 126 negatif tidak boleh sekali-kali mengabaikan temuan klinik yang
sedangkan dari kelompok kontrol ditemukan sebanyak 163 wanita. positif. Demikian pula sebaliknya kelainan yang ditemukan
Jadi terdapat penurunan angka mortalitas sebanyak 23% pada pada mammografi tetap harus diperhatikan pada kasus tanpa
kelompok pertama. keluhan atau tanpa teraba adanya tumor. Pemeriksaan klinik dan
Penelitian lain dilakukan oleh NCI (National Cancer Insti- mammografi akan melengkapi satu sama lain.
tute) yang bekerja sama dengan American Cancer Society pada
tahun 70-an. Pcnelitian berskala besar ini melibatkan 29 pusat INDIKASI MAMMOGRAFI
kanker di seluruh Amerika dan mengikutsertakan 280 ribu wa- Mammografi dapat dilakukan sebagai pemeriksaan penya-
nita. Tidak dilakukan pemeriksaan acak dan semata-mata hanya ring tanpa kelainan klinis ataupun sebagai konfirmasi setelah
ingin membuktikan efektifitas pemeriksaan penyaring. Diper- pada pemeriksaan ditemukan kecurigaan adanya kelainan.
Dari berbagai penelitian diperoleh tiga kelompok wanita memperlihatkan kemungkinan terjadinya kanker akibat radiasi.
risiko tinggi untuk timbulnya kanker payudara(3). Dikatakan bahwa sebuah populasi yang terdiri atas satu juta
1) Kelompok pertama adalah mereka yang pada anamnesis wanita yang terpapar pada dosis radiasi setinggi 1 rad (100 cGy)
terbukti pernah mengidap kanker payudara. pada payudara, berdacarkan model di atas, akan mengakibatkan
Kelompok ini mempunyai risiko untuk timbulnya penyakit kanker payudara pada 6 orang lebih dari populasi normal setiap
ini jauh lebih tinggi daripada populasi normal. tahunannya, setelah 10 – 15 tahun (periode laten).
2) Kelompok wanita dengan benjolan atau penebalan pada Sebagai bahan penilaian dapat dikemukakan bahwa di
payudara; mastitis kronika sistika; cairan dari puting susu; ter- Amerika, sebanyak 800 kanker payudara baru ditemukan setiap
dapat keluarga (ibu atau saudara wanita kandung) yang pernah tahunnya dari satu juta penduduk berusia di atas 40 tahun. Selain
mengalami menderita kanker payudara. itu perlu dipertimbangkan pula, 6 kasus kanker yang diperkira-
Kelompok ini mempunyai risiko dua kali lebih besar dari- kan timbul sebagai akibat radiasi apakah bukan merupakan
pada populasi normal. akibat non radiologik? Hal tersebut tidak pernah dapat dibukti-
3) Kelompok lain adalah wanita nulipara atau mengalami kan secara histopatologik mengingat morfologi kanker yang
kehamilan pertama pada usia lebih dari 30 tahun; menarke diperkirakan tumbuh akibat induksi radiasi adalah sama dengan
sebelum usia 12 tahun. kanker yang spontan.
Kelompok ini mempunyai risiko sedikit lebih tinggi dari Dosis yang digunakan pada pembuatan mammografi adalah
populasi normal. 0,2 rad (20 cGy) pada payudara. Dengan menggunakan model di
Di samping itu pemeriksaan mammografi juga penting pada atas, dosis ini akan mengakibatkan hanya satu kasus kanker
follow-up guna melihat kemungkinan kambuh setelah pengobat- persatu juta wanita. Analisis terbaru memperoleh fakta bahwa
an. risiko radiasi bukanlah suatu yang mutlak namun relatif. Potensi
karsinogenik pada radiasi terjadi terutama pada wanita muda,
RISIKO RADIASI makin Ian jut usia wanita (dekade 3 – 4) pada saat pemaparan,
Suara-suara yang bernada kontra tidak hanya meragukan makin rendah kemungkinan terjadinya hal di atas.
kemampuan mammografi untuk mendeteksi kelainan keganasan Data Kanada dari kasus tuberkulosis wanita berusia 35 – 40
tetapi juga meragukan keamanan penggunaan sinar-X pada pe- tahun yang terpapar radiasi dan tindakan fluoroskopi, tidak
meriksaan ini. memperlihatkan adanya risiko apapun dan path dosis berapa-
Adalah Bailan(4) yang mengemukakan hasil analisisnya pun.
mengenai kemungkinan terjadinya kanker payudara setelah di- Jadi mammografi sebagai tindakan penyaring mempunyai
lakukan mammografi selama tahun enam puluhan. Isu adanya kemungkinan yang kecil sekali untuk menginduksi terjadinya
radiasi karsinogenik ini dimulai setelah diketahui tingginya tumor payudara.
prevalensi kanker payudara pada populasi yang terpapar radiasi
pada kejadian : KESIMPULAN
– Peristiwa Hiroshima & Nagasaki(5). Pemeriksaan mammografi merupakan tindakan yang efektif
– Wanita yang pemah mengalami terapi radiasi payudara dalam mendeteksi adanya kanker dini.
karena kelainan jinak. Kemungkinan terjadinya kanker payudara akibat pe-
– Wanita yang mengalami fluoroskopi berulang guna me- meriksaan mammografi adalah kecil, terlebih pada usia di atas
mantau hasil pengobatan kavitas tuberkulosis dengan pneumo- 30 an:
toraks.
Patut dicatat bahwa pada ketigakejadian di atas dosis radiasi
yang diterima jauh lebih tinggi dari dosis yang diperlukan untuk KEPUSTAKAAN
mammografi. Sehingga muncul berbagai pendapat apakah efek
1. Adair F, Berg J, Joubert Let al. Long-term follow up of breast cancer patients:
tersebut juga terjadi pada radiasi dosis rendah. The 30-year report. Cancer 1974; 33: 1145.
Pada tahun 1980 National Research Council di Amerika 2. Baker LH. Breast cancer detection demonstration project : Five-year
menerbitkan sebuah laporan berupa suatu tulisan mengenai efek summary report. Ca 1982; 32(4): 194.
radiasi ionisasi pada populasi yang terpapar pada radiasi dosis 3. Zwaveling A. Mammatumoren. Dalam: Oncologie. Zwaveling A; Zonneveld
V; Schaberg A. (eds). SWU. Leiden 1978. hal: 271–290.
rendah. Dengan perhitungan teoritis berdasarkan data catatan 4. Bailar JC. Mammography : A contrary view. Ann Intern Med 1976; 84: 77.
efek biologik yang timbul karena radiasi, dibuat sebuah ekstra- 5. Mc Gregor DH, Land CE, Choi Ket al. Breast cancer incidence among atomic
polasi linier yang dapat digunakan sebagai model absolut yang born survivors, Hiroshima and Nagasaki, 1950 – 1969. J. Note Cancer Inst
1977; 59: 799.
Terapi Laser
pada Tumor Trakeobronkus
M. Ali Hanafiah
Bagian Pulmonologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Unit Paru Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta

PENDAHULUAN SIFAT-SIFAT LASER


Tumor trakeobronkus menimbulkan gejala obstruksi, ko- LASER (Light Amplification by Stimulated Emission of
laps paru dan perdarahan(1). Tumor trakea sulit penatalaksana- Radiation) dikenal sejak tahun 1917, yaitu ketika Albert Einstein
annya. Diagnosis seringkali baru bisa ditegakkan pada stadium membuat konsep emisi yang distimulasi, absorbsi yang distimu-
lanjut, yaitu saat timbulnya obstruksi jalan napas, sehingga pem- lasi dan emisi spontan. LASER mempunyai 3 sifat utama
bedahan tidak dapat dilakukan(2). yaitu(7) :
Pengobatan konvensional dengan reseksi, radiasi dan kemo- 1) Koherensi, yaitu semua gelombang berada dalam fase yang
terapi sangat ditentukan oleh stadium tumor, respon pengobatan sama baik waktu maupun ruangan.
dan batas aman dosis yang dapat digunakan. Pada keadaan 2) Kolimasi, yaitu semua gelombang bergerak dalam arah yang
darurat dapat timbul risiko yang cukup besar dan membawa ke- hampir sejajar.
matian(3,4). Kekambuhan (relaps) mungkin timbul pada pasien 3) Monokromatik, yaitu semua gelombang mempunyai pan-
yang telah diberikan terapi konvensional dan kebanyakan pasien jang gelombang sama.
tersebut tidak responsif lagi terhadap radioterapi. Pasien tumor Sifat LASER ini dapat digunakan untuk memotong dan
trakeobronkus dengan keluhan sesak napas sangat berat, bila menguapkan jaringan hidup dengan kecepatan dan ketepatan
tidak diterapi mungkin meninggal karena asfiksi secara per- yang sangat tinggi, karena sinar ini mempunyai intensitas yang
lahan-lahan(2). tinggi.
Pada awal 1980 LASER telah digunakan untuk terapi tumor Suhu jaringan hidup yang dikenai LASER akan meningkat
trakeobronkus. Terapi LASER melalui bronkoskop merupakan sampai 60°C. Beberapa detik kemudian terjadi denaturasi pro-
alternatif lain untuk membuka saluran napas, mengurangi sesak tein dan koagulasi. Jika suhu mencapai 100°C terjadi evaporasi
napas dan meningkatkan kualitas hidup penderita atau sebagai yang mengakibatkan nekrosis. Jika suhu naik melebihi 100°C
terapi paliatif pada tumor trakeobronkus(1,5). Khususnya pada terjadi pembakaran, akibatpenguapan dari panas yang dihasilkan-
saluran napas, LASER telah digunakan untuk membakar tumor, nya(7,8).
lesi stenosis jinak dan mengontrol perdarahan superfisial(6). Te- Ada tiga jenis LASER yang sering digunakan sekarang ini,
naga panas yang dihasilkan dapat digunakan untuk reseksi, yaitu CO2, Ar dan Nd-YAG. Masing-masing sinar ini punya
membakar dan koagulasi tumor intralumen pada trakeobronkus. karakteristik yang berbeda yaitu(5,7,9,10) :
Tindakan ini meringankan sesak napas serta hemoptisis(1,5). CO2 :
Dalam tinjauan pustaka ini akan dibahas sifat-sifat LASER, • Paling tepat sebagai alat pemotong sehingga dikenal juga
indikasi penggunaan LASER, kontra indikasi, teknik pemberian, sebagai pisau optik, karena energinya diserap sempurna pada
komplikasi, beberapa hasil penggunaan LASER pada tumor daerah target dan penyebaran ke daerah sekitar hanya sedikit.
trakeobronkus dan masa tahan hidup. Penetrasi ke dalam jaringan tidak lebih dari 0,1 mm.
• Dapat menaikkan suhu sampai 100°C, sehingga mudah vensional, terdiri dari tumor jinak, tumor ganas dan tumor
membakar pipa trakea atau bronkoskop serat optik. dengan prognosis yang tidak pasti.
• Dibutuhkan pandangan langsung pada daerah sasaran, tidak 2) Perdarahan yang ringan.
dapat digunakan untuk reseksi jaringan di dinding trakeobronkus 3) Pengangkatan benda asing.
karena kekurang mampuannya mengontrol perdarahan dan ke-
tajamannya. KONTRA INDIKASI
Argon : Terapi LASER Nd-YAG tidak dilakukan pada penderita
• Mudah menembus jaringan yang luas, dapat menyebabkan tumor trakeobronkus dengan lesi kompresif ekstrinsik, lesi ganas
perforasi. sangat ekstensif dan obstruksi segmen yang lama(3,6,12).
• Dapat mengontrol perdarahan pembuluh darah kecil.
• Efek terapeutik berdasarkan pada lokalisasi tumor dan foto- TEKNIK LASER
aktivitas cairan hematoporfirin yang diinjeksikan pada tumor Sebelum terapi LASER dilakukan perlu disiapkan ruangan,
menyebabkan kerusakan sel ganas. peralatan yang digunakan dan pasien.
Nd-YAG (Neodymium Yttrium Aluminium Garnet) :
• Dapat mengantarkan energi dengan tepat dan efektif pada Persiapan Ruangan
massa tumor. Terapi LASER dilakukan pada ruangan dengan kondisi
sebaik mungkin dan suci hama. Ruang pemulihan hendaklah
• Energinya dapat digunakan untuk kauterisasi perdarahan
tersedia, dilengkapi alat resusitasi dan sebaiknya terletak di
pada trakeobronkus.
sebelah ruang tindakan. Ruang pemulihan ini berguna untuk
• Sangat baik untuk memanaskan jaringan kurang dari 100°C.
pengawasan pasien pasca tindakan, sekurang-kurangnya 1 jam
• Efek koagulasinya baik, sehingga perdarahan dapat diatasi
setelah dilakukan tindakan(12).
dengan baik.
• Ujung/tip fiber tidak kontak langsung dengan massa tumor. Persiapan Alat
• Lapangan pandang yang jelas dapat diperoleh. Alat yang digunakan untuk terapi LASER terdiri dari :
• Pada koagulasi lesi, hanya terbatas pada permukaan, tidak 1) Alat LASER Nd-YAG, menggunakan He-Ne sebagai pe-
menyebar ke dalam. nuntun, sebuah inti kuarsa yang dikelilingi karet silikon dan
• Pada tenaga rendah dapat menyusutkan dan menggumpal- dibungkus teflon membentuk serat LASER, kemudian dibungkus
kan jaringan, sedangkan pada tenaga tinggi dapat menguapkan dalam kateter polietilen(5).
jaringan. 2) Bronkoskop
LASER Nd-YAG aman, sangat kuat dan mudah pengguna- Ada dua jenis bronkoskop yang digunakan yaitu bronko-
annya. Peranan paliatif LASER Nd-YAG pada penatalaksanaan skop kaku dan serat optik. Sembilan puluh persen terapi LASER
tumor trakeobronkus telah terbukti(1,4). Untuk selanjutnya jenis menggunakan bronkoskop kaku(14). Dengan menggunakan
LASER yang dimaksud adalah Nd-YAG. bronkoskop kaku dapat diamankan jalan napas pasien. Diguna-
kan anestesi umum sehingga tingkat imobilitas jalan napas
Tabel 1. Penggunaan LASER dengan Bronkoskop seoptimal mungkin dapat dicapai(5).
Panjang Kedalaman Juga dapat digunakan untuk tiga tindakan secara bersamaan,
Jenis gelombang penetrasi
Aksi Jenis yaitu melihat, memberikan terapi dan menghisap(15). Beberapa
Utama Bronkoskop
(nm) (mm) peneliti menggunakan bronkoskop serat optik(3,4,6,13,16). Ada yang
CO2 10.600 0,1 Pemotong Kaku menggunakan bronkoskop kaku dan serat optik(2,5,6,17). Bronkoskop
YAG 1.060 4 Koagulasi, Kaku atau kaku dapat dipakai untuk tumor trakea, karina, bronkus utama
Tunable 630 1–2 penguapan dan fleksibel serta keadaan akut. Bronkoskop serat optik dan kaku dapat di-
penyusutan
Mengikat hematopor- fleksibel
gunakan secara bersamaan pada keadaan di atas atau tersendiri
Argon 405 1 phyrin: menyebabkan
pada kasus yang mengenai bronkus lobus dan segmen(14).
nekrosis
Koagulasi; menyebab- fleksibel Persiapan Pasien(12)
kan floorescencehe- • Anamesis riwayat kesehatan, penggunaan obat dan terapi
matoporphyrins untuk
deteksi tumor ukuran sebelumnya.
kecil • Pemeriksaan laboratorium darah (pembekuan K).
• Penilaian status pulmonologik (Ro, CT-Scan, AGDA).
dikutip dari 9 • Pemeriksaan endoskopi untuk menentukan letak lesi.

INDIKASI Teknik Pelaksanaan


Indikasi penggunaan LASER Nd-YAG pada tumor trakeo- Sebelum dilakukan tindakan terapi LASER, pasien dipuasa-
bronkus antara lain pada kasus-kasus(1,3,6,11,12) : kan, diberi premedikasi atropin dan sedasi diazepam. Pasien
1) Tumor yang tidak dapat dibedah, kambuh setelah terapi disiapkan dalam keadaan berbaring. Anestesi dilakukan secara
konvensional atau tidak memberikan respon dengan terapi kon- lokal dengan larutan lidocain 4% dan 2% pada laring dan pipa
trakeobronkus atau anestesi umum. 5) Pneumotoraks
Pasien diusahakan bernapas spontan. LASER digunakan Toty dkk(5) melaporkan 2 dari 164 kasus yang diterapi
dengan tenaga yang tidak lebih dari 45 W, ujung/tip sejajar LASER mengalami pneumotoraks karena penggunaan ventilasi
dengan dinding saluran napas, berjarak 5–10 mm dari sasaran jet. Cavaliere dkk juga mendapatkan 4 penderita pneumotoraks
dengan bidikan 0,5–1 detik. Bila untuk koagulasi digunakan pasca tindakan dari 1000 penderita yang diterapi LASER(11).
tenaga yang lebih rendah dan bidikan lama. Untuk reseksi di- 6) Kematian
gunakan tenaga tinggi dan waktu singkat. Konsentrasi oksigen Penyebab utama kematian selama atau setelah terapi adalah
yang diberikan sebaiknya tidak lebih dari 50%. Kepingan hipoksemi dan perforasi(12,20). Risiko kematian karena perda-
tumor yang terbakar diangkat dengan forsep, perdarahan dihisap rahan adalah 2%(14). Dumon dkk melaporkan tingkat kematian
dengan suction(4,5,6,11,12,17). 0,4% dari 839 penderita yang diterapi(12).
7) Infeksi pasca tindakan
Infeksi timbul setelah pengembangan paru yang kolaps(22).

KOMPLIKASI PENGAMANAN PADA TERAPI LASER


Komplikasi terapi LASER dapat terjadi saat atau pasca Penggunaan terapi LASER pada tumor trakeobronkus perlu
terapi. Komplikasi dipengaruhi oleh jenis lesi, lokasi, luasnya hati-hati. Prinsip keamanan adalah menjauhi perforasi dan ke-
lesi dan penyakit yang menyertai serta keadaan umum pasien. bakaran. Hal tersebut ditentukan oleh pasien, operator dan tim-
Komplikasi tersebut adalah : nya serta cara, alat dan teknik penggunaan LASER(19).
1) Perdarahan(3,5,12,18,19)
Pasien
Merupakan komplikasi utama selama terapi, terutama pada
Dibedakan tiga kelompok pasien yang akan diterapi
lesi intrabronkus. Ada tiga bentuk perdarahan yang terjadi
LASER :
yaitu :
1) Pasien dengan kondisi baik, lesi minimal.
• Perdarahan dari massa tumor, tidak berbahaya, hanya se-
2) Pasien dengan kondisi sedang, obstruksi lebih besar tapi
mentara, dapat dikontrol dengan pemberian epinefrin topikal dan
masih dapat melakukan kompensasi.
koagulasi LASER. 3) Pasien gawat/akut.
• Perdarahan arteri bronkus, merupakan komplikasi yang Pasien kondisi pertama dan kedua perlu diskrining sebelum
tidak diinginkan. ditindak, sedangkan kondisi ketiga merupakan risiko tinggi.
• Perforasi arteri paru, biasanya terjadi selama terapi pada
dinding bronkus. Operator dan timnya
Umumnya perdarahan dalam jumlah kecil (10–20 ml) tapi Harus ada kerja sama yang baik antara operator dan timnya
perdarahan trakea dan perdarahan masif pada bronkus merupa- sebelum dan saat tindakan tentang prosedur dan keamanannya;
kan situasi yang berbahaya dan membawa kematian(12). Hetzel operator sudah terlatih dalam pemakaian alat serta mengetahui
dkk(1), mendapatkan 2 dari 100 penderita tumor trakeobronkus komplikasinya(19).
yang diterapi LASER mengalami perdarahan, mengakibatkan Cara, alat dan teknik LASER(19,20,21,23)
asfiksi dan kematian. – Untuk pasien risiko tinggi digunakan bronkoskop kaku.
2) Hipoksemi – Untuk menghindari perforasi digunakan penyinaran inter-
Hipoksemi dapat terjadi karena akumulasi sekret miten (0,5–1 detik) dengan tenaga tidak lebih dari 45 W.
trakeobronkus atau darah, akibat anestesi atau perdarahan. – Selama reseksi, konsentrasi oksigen tidak boleh > 50%.
Hipoksemi yang tidak terkendalikan akan mengakibatkan – Nilai FiO2 sebanyak < 0,4 dan tidak lebih dari 0,5.
gangguan kardiovaskuler(12,19,20). – Sebaiknya menggunakan oximetry untuk pemberian oksi-
3) Perforasi gen.
Bagian belakang trakea (tidak memiliki cincin) dan 1 inci
pertama bronkus utama kiri yang menempel pada esofagus
merupakan daerah potensial terjadinya perforasi. Perforasi dapat BEBERAPA HASIL PENGGUNAAN LASER PADA
menyebabkan kematian dengan segera karena diikuti kebocoran TUMOR TRAKEOBRONKUS
paru dan aorta atau arteri yang terangkat serta pneumotoraks. Respon terapi LASER pada tumor trakeobronkus ditentu-
Kematian perlahan-lahan dapat karena mediastinitis atau fistel kan oleh lokasi tumor dan jenis histologinya(1,11). Terapi LASER
esofagus(12,19,20). paling efektif untuk membersihkan tumor trakea atau karina.
4) Terbakarnya trakeobronkus Tumor trakea dan bronkus utama kanan lebih baik responnya
Penggunaan LASER terus menerus dengan tenaga tinggi dari tumor bronkus utama kiri atau bronkus lobus, dan tumor
> 45 W dapat menimbulkan kebakaran. Juga dapat terjadi bila endolumen lebih baik karena terlihat jelas. Hetzel dkk(1) men-
pemakaian oksigen kosentrasi > 50%. Penyebab utama adalah dapatkan perbaikan objektif pada 56 penderita tumor
FiO2 > 0,5. trakeobronkus dan perbaikan simptomatik pada 68 dari 100
Komplikasi biasanya terjadi selama fototerapi LASER un- penderita yang diterapi LASER. Juga diperoleh hasil bahwa
tuk lesi obstruksi trakeobronkus ganas (Casey dkk)(21). tumor pada trakea dan karina paling baik responnya daripada
bronkus lobus. Pada Tabel 2 dapat dilihat pengaruh letak tumor dapatkan 6 dari tumor trakeobronkus (papilloma, hemangioma,
terhadap respon pengobatan dengan LASER. lipoma, myoblastoma dan granuloma) yang diterapi LASER,
Tabel 2. Pengaruh Letak Tumor terhadap Respon Pengobatan dengan
semuanya berhasil baik. Pada tumor trakeobronkus ganas derajat
LASER rendah yaitu karsinoid (14 kasus) dan karsinoma adenokistik
(15 kasus) yang diterapi LASER, didapatkan 15 dari 19 penderita
Respon membaik. Tumor dengan prognosis yang tidak pasti (adeno-
Letak tumor N Simptomatik Objektif kistik, muko epidermoid, mixer tumor) membutuhkan lebih dari
n % n % satu kali tindakan karena sering menyebar dan cenderung
kambuh(17).
Trakea 13 12 92 10 77
Karina 17 13 76 11 65
Respon objektif terapi LASER dinilai dengan uji fungsi
Bronkus utama 22 17 77 13 59 paru. Hetzel dkk meneliti 100 penderita tumor trakeobronkus,
Bronkus lobus 7 3 43 3 43 diperoleh peningkatan arus puncak ekspirasi (APE) 25% pada 37
dan mixed (63%) dari 59 penderita obstruksitll. Perbaikan simptomatik
lebih dari 76% dan 5 dari 17 penderita yang mengalami kolaps
Total 59 45 76 37 63
paru, mengembang kembali.
dikutip dari (1) Gelb dkk(27) meneliti volume ekspirasi paksa detik pertama
(VEP1) dan kapasitas vital (KV). Dua puluh tiga dari 27 pen-
Cavaliere dkk(11) juga mendapatkan tingkat respon yang derita obstruksi sebahagian, VEP1 meningkat 52% – 74% dan
tinggi pada trakea, karina dan bronkus utama kanan. Pada Gam- KV meningkat 64% – 77%. Pada kolaps paru, 6 dari 19 penderita
bar 1 dapat dilihat pengaruh terapi LASER pada berbagai letak mengalami perbaikan gejala dan kapasitas vital paksa (KVP)
tumor. meningkat 46% – 59%.
Penelitian pada 21 penderita tumor trakeobronkus yang
menjalani reseksi dengan LASER, 11 dari 14 penderita me-
merlukan terapi secara cepat, diperoleh perbaikan tiga hari ke-
mudian. Nilai APE meningkat 26% – 512%, rata-rata 36% dan 6
dari 7 penderita dengan kondisi elektif terjadi peningkatan APE
18% – 117%(2) (Gambar 2).

Gambar 1. Hasil terapi LASER pada berbagai letak tumor. Jumlah lesi
pada masing-masing lokasi dan prosentase hasil

Gelb dkk(24) meneliti tumor trakeobronkus yang menimbul-


kan obstruksi dan kolaps paru; didapatkan keberhasilan terapi
LASER pada tumor ganas ini yaitu di karina 90%, bronkus utama
kanan (91%) lebih besar dari bronkus utama kiri (67%) pada
obstruksi. Pada kolaps paru keberhasilan bronkus utama kanan
38% dan bronkus utama kiri 27%. Perbaikan simptomatik lebih Gambar 2. Nilai APE sebelum (o) dan 3 hari setelah (•) terapi LASER pada
berhasil pada tumor yang menyebabkan obstruksi sebahagian kondisi akut atau selektif dikutip dari (2)
yaitu 70–80% dan kurang berhasil pada penderita obstruksi total
endobronkus(25). George dkk(1) melakukan penelitian dengan menggunakan
Berdasarkan histologinya, terapi LASER dilakukan pada anestesi lokal dan umum pada 1500 terapi LASER, diperoleh
tumor jinak, tumor ganas dan tumor dengan prognosis yang respon objektif lebih baik pada anestesi umum daripada anestesi
tidak pasti. Terapi LASER pada tumor jinak (leiomiofibrom, (Tabel 3).
kondroma) sangat baik dan aman(11). Pada tumor ganas terapi Lima puluh satu dari 97 penderita yang diterapi LASER
LASER dapat mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas dengan anestesi lokal dan 46 dengan anestesi umum, didapatkan
hidup penderita terutama pada tumor trakea atau bronkus utama banyak pengobatan rata-rata 1,97 pada anestesi lokal dan hanya
yang menyebabkan dispnea. Pengangkatan tumor jinak endolu- 1 pada anestesi umum.
men secara sempurna memungkinkan(26). Dumon dkk(17) men- Terapi LASER juga meningkatkan nilai perfusi dan venti-
Tabel 3. Indikasi terapi LASER dan Respon Penderita yang Menggunakan cheobronchial tumours. Thorax 1985; 40: 341-5.
Anestesi Lokal dan Umum(13) 2. George PJM, Garrett CPO, Hetzel MR. Role of the neodymium-YAG in
the management of tracheal tumours. Thorax 1987; 42: 440-4.
Respon objektif 3. Arabian A, Spagnolo SV. Laser therapu in patients with primary lung
Kelompok No cancer. Chest 1984; 86: 519-23.
n % 4. Hetzel MR, Millard FJC, Ayesh R et al. Laser treatment for carcinoma of
Anestesi lokal the bronchus. BMJ 1983; 286: 12-6.
Obstruksi sebahagian 34 19 56 5. Toty L, Personnec C, Colchen A, Vourch G. Bronchoscopic management
Obstruksi sempurna 4 1 25 of tracheal lessions using the neodymium Yttrium Aluminium Garnet
Pendarahan 13 7 54 Laser. Thorax 1981; 36: 175-8.
6. Kvale PA, Eichenhorn MS, Radke JR, Miks VR. YAG laser
Total 51 27 53 photoresection of lessions obstructing the central airway. Chest 1985; 87:
283-8.
Anestesi umum 7. Trigt PV, Wolfe WG. Laser therapy for palliation of bronchogenic and
Obstruksi sebahgaian 30 22 73 esophageal carcinoma. Dalam: Roth JA, Ruckdeschel JC, Weisenburger
Obstruksi sempuma 6 2 33 TH, eds. Thoracic oncology. Philadelphia: WB Saunders Co. 1989: 704-
Pendarahan 10 7 70 10.
8. Karlan MS, Ossoff RH. Laser surgery for benign laryngeal disease: Con-
Total 46 31 67 servation and ergonomics. Dalam: North America. Philadelphia: WB
Saunders Co. 1984; 64: 981-1000.
lasi pada tumor trakeobronkus yang telah direseksi. George 9. Haponik EF, Kvale P, Wang K. Bronchoscopy and related procedures.
dkk(26) mendapatkan 23 (82%) dari 28 penderita mengalami Dalam: Fishman AP, ed. Pulmonary Diseases and Disorder. New York:
McGraw-Hill Book Co. 1988; 1: 456-8.
peningkatan nilai perfusi dan ventilasi. Nilai ventilasi rata-rata 10. Vincent RG. Laser therapy for advanced carcinoma of the trachea and
meningkat 24 – 36 dan perfusi 25 – 36. bronchus. Chest 1983; 84: 509-10.
11. Cavaliere S, Faccoli P, Farina PL. Nd-YAG laser bronchoscopy. A five-
MASA TAHAN HIDUP year experience with 1396 application in 1000 patients. Chest 1988; 94:
Denton dkk(19) mendapatkan masa tahan hidup selama 22 15-21.
bulan pada penderita tumor ganas dengan obstruksi hampir total 12. Dumon JF. Principles for safety in application of Nd-YAG laser in bron-
yang diterapi LASER. Pada tumor ganas derajat rendah yang chology. Chest 1984; 86: 163-8.
13. George PJM, Garrett CPO, Nixon G, Hetzel MR, Nanson EM, Millard
difotoreseksi LASER, 14 dari 19 penderita mengalami obstruksi PJC. Laser treatment for tracheobronchial tumours: local or general
karena karsinoid dan 5 oleh karsinoma adenokistik, diperoleh anesthesia ?. Thorax 1987; 42: 656-60.
hasil 15 penderita membaik dan sisanya 6 bulan dan 4 tahun 14. Brutinel WM, Cortese DA, McDougall JC, Gilio RG, Bergstrahl El. A
setelah terapi(15). two-year experience with the neodymium-YAG laser endobronchial
obstruction. Chest 1987; 91: 159-65.
George dkk)2) meneliti 10 penderita tumor primer dan 11 15. Diaz Jimenez JP, Canela Cardona M, Mastre Alcacer J, Nd:YAG laser
penderita tumor sekunder, 8 penderita tumor primer masih hidup photoresection of low-grade malignant tumours of the tracheobronchial
6 – 21 bulan sisanya meninggal setelah 2 dan 5 bulan terapi tree. Chest 1990; 97: 920-2.
LASER. Dua penderita tumor sekunder masih hidup 7 dan 15 16. Micks VM, Kvale PA, Riddle JM, Lewis Jr JW. Broncholith removal
using the YAG laser. Chest 1986; 90: 295-6.
bulan, sisanya meninggal setelah terapi dengan masa tahan 17. Dumon JF, Reboud E, Garbe L, Aucomte F, Mere B. Treatment of
hidup rata-rata 52 hari. tracheobronchial lessions by laser photoresection. Chest 1982; 81: 278-84.
Cavaliere dkk(11) mendapatkan terapi LASER pada kasus 18. Joyner LR, Maran AG, Sarama R, Yakaboski A. Neodymium-YAG laser
tumor jinak bersifat kuratif; 34 dari 81 penderita tertolong dan treatment of intrabronchial lessions. A new mapping technique via flexible
fiberoptic bronchoscope. Chest.1985; 87: 418-27.
pada kasus ganas bersifat paliatif yaitu, memperbaiki jalan nafas 19. Denton RA, Dedhia HV, Abrons HL, Jain PR, Lapp NL, Teba L. Long-
(92%). Masa tahan hidup 1 tahun sebesar 26% dan 6 bulan 50%. term survival after endobronchial fire during treatment of severe malignant
airway obstruction with the Nd:YAG laser. Chest 1988; 94: 1086-8.
KESIMPULAN 20. Brutinel WM, Cortese DA, Edell ES, McDougall JC, Prakash UBS,
1) LASER Nd-YAG merupakan pilihan untuk terapi pada pipa Rochester MN. Complication of Nd:YAG laser therapy. Chest 1988; 94:
trakeobronkus. 902-3.
21. Dedhia HV, Lapp LR, Jain AC, Withers A. Complication due to Nd:YAG
2) Terapi LASER Nd-YAG pada tumor trakeobronkus me-
laser therapu. Chest 1984; 85: 837.
rupakan salah satu pilihan pada kasus yang tidak dapat dibedah, 22. Hetzel MR, Smith SGT. Endoscopic palliation of tracheobronchial
tumor yang berulang dan yang tidak respon pada pengobatan malignancies. Thorax 1991; 46: 325-33.
konvensional. 23. Schiffman PL, Wilhelm J, Parisi RA. Arterial oxygen saturation during
Nd:YAG laser photoresection of endobronchial tumors under local
3) Terapi LASER Nd-YAG merupakan terapi paliatif pada
anesthesia. Use of intermittent supplemental oxygen with pulse oxymetry
tumor trakeobronkus. guidance. Chest 1988; 94: 1300-1.
4) Tumor di trakea, di karina dan bronkus utama kanan mem- 24. Gelb AF, Epstein JD. Laser in treatment of lung cancer. Chest 1984; 86:
berikan respon lebih baik daripada tumor di bronkus utama kiri 662-6.
25. George PJM, Pearson MC, Edwards D, Rudd RM, Hetzel MR. Broncho-
dan bronkus lobus serta tumor jinak lebih baik responnya dari- graphy in the assessment of patients with lung collaps for endoscopic laser
pada tumor ganas. therapy. Thorax 1990; 45: 503-8.
26. George PJM, Clarke G, Tolfree S, Garrett CPO, Hetzel MR. Changes in
regional ventilation and perfusion of the lung after endoscopic laser
KEPUSTAKAAN treatment. Thorax 1990; 45: 248-53.
27. Gelb AF, Epstein JD. Nd-YAG laser in lung cancer. Ann Thorax Surg
1. Hetzel MR, Nixon C, Edmoston WM et al. Laser therapy in 100 Ira- 1987; 43: 164-7.
Perhitungan Dosis Sinar X Diagnostik
dengan Menggunakan
Faktor-faktor Paparan
Susetyo Trijoko, Suyatl, Agung Nugroho
Pusat Standardisasi dan Penelitian Keselamatan Radiasi (PSPKR) BATAN, Pasar Jumat

ABSTRAK

Telah dilakukan perhitungan dosis sinar-X diagnostik dengan menggunakan faktor-


faktor yang mempengaruhi paparan pesawat. Dalam penelitian ini digunakan pesawat
sinar-X diagnostik Tanka Model RTO-125 yang berada di PSPKR, Batan. Faktor-faktor
yang diperhitungkan meliputi tegangan puncak, kuat arus, waktu paparan, lapangan
radiasi, jarak fokus-detektor, dan hamburan balik. Hasil pengukuran faktor-faktor pa-
paran tersebut kemudian digunakan untuk membuat perhitungan dosis pada berbagai
perlakuan. Hasil percobaan menunjukkan bahwa dosis menurut perhitungan tidak jauh
berbeda dengan pengukuran langsung, dengan perbedaan maksimum 5,2%. Maka dapat
disimpulkan bahwa metoda perhitungan ini cukup baik dan pada dasarnya bisa digunakan
untuk pesawat sinar-X diagnostik pada umumnya.

PENDAHULUAN Pengukuran dosis masuk dapat dilakukan dengan meng-


Pemeriksaan menggunakan sinar-X telah menjadi salah satu gunakan dosimeter termoluminesensi (TLD) yang ditempatkan
alat penunjang yang sangat penting dalam dunia kedokteran, di permukaan kulit(6,7). Pengukuran menggunakan TLD selain
walaupun penggunaan radiasi sinar-X itu sendiri bukanlah tanpa memerlukan persiapan waktu lama untuk studi karakteristik,
risiko(1). Untuk itu, semua pemakaian sinar-X diagnostik harus anealing, kalibrasi dan pembacaan, juga dengan sendirinya
selalu melalui proses justifikasi dan optimisasi(2), agar pasien memerlukan fasilitas peralatan yang memadai. Schingga dalam
mendapatkan keuntungan sebesar mungkin dengan risiko sekecil banyak hal, pengukuran langsung dengan TLD ini menjadi
mungkin. Pengkajian risiko akibat paparan sinar-X diagnostik kurang praktis dan memerlukan biaya tinggi. Untuk mengatasi
biasanya didasarkan pada konsep dosis efektif yang diterima kendala-kendala tadi, perhitungan dosis masuk dapat dilakukan
oleh tubuh. dengan cara tidak langsung, yaitu dengan memperhitungkan
Interaksi berkas sinar-X dengan tubuh selalu menghasilkan nilai paparan di udara.
suatu distribusi dosis dalam organ tubuh yang sangat sulit diukur Makalah ini akan membahas metoda perhitungan dosis
secara langsung. Dosis yang diterima organ akibat paparan masuk pasien diagnostik sinar-X, dengan penekanan pada
sinar-X diagnostik relatif terhadap dosis masuk (entrance dose) pemakaian faktor-faktor yang mempengaruhi nilai paparan di
telah dihitung dengan menggunakan teknik perhitungan Monte udara. Salah satu contoh penggunaan faktor-faktor paparan
Carlo(3) atau dengan fantom ukuran rnanusia(4,5). pesawat sinar-X diagnostik adalah untuk perhitungan dosis

Telah diseminarkan dalam Pertemuan dan Presentasi llmiah, di Pusat Peneliti-


an Nuklir Yogyakarta, 27 – 29 April 1993
retrospektif bilamana diminta oleh pasien yang sedang hamil dan itu, permukaan tubuh pasicn juga mendapatkan kontribusi
ingin mengetahui dosis yang diterimanya akibat pemeriksaan. radiasi hamburan balik yang berasal dari tubuh. Schingga hu-
bungan antara dosis masuk terhadap dosis scrap udara dapat di-
PERUMUSAN tuliskan :
Skema cara penentuan dosis masuk permukaan kulit pasien
(µen/⌠)otot
diperlihatkan pada Gambar 1.
Dmasuk = Dudara x ––––––––– x BSF (3)
(µen/⌠)udara
dimana Dmasuk : dosis masuk kulit (mrad)
(µen/⌠)otot
–––––––– : nisbah koefisien serap energi otot terhadap
(µen/⌠)udara udara
BSF : faktor hamburan balik
Untuk berkas sinar-X diagnostik, Jaeger dkk.(11) memberi-
kan nilai nisbah koefisien serap energi otot terhadap udara 1,052
dan nisbah koefisien scrap energi tulang terhadap udara 4,665.
Sementara itu Hubbell(12) memberikan nisbah koefisien serap
energi air terhadap udara 1,018. Faktor hamburan balik (BSF)
sinar-X untuk terapi, telah dipublikasikan(13). Data dalam BJR
tersebut bisa digunakan sebagai acuan apabila kita tidak me-
lakukan pengukuran sendiri. Dalam penelitian ini nilai BSF di-
tentukan dengan pengukuran menggunakan TLD dan fantom air.

PERALATAN DAN TATA KERJA


Gambar 1. Ilustrasi cara penentuan dosis masuk
Peralatan
Berkas sinar-X dari pesawat berinteraksi dengan udara dan 1) Pesawat sinar-X diagnostik Tanka, Model RTO-125, de-
menghasilkan suatu kuantitas radiasi terukur yang disebut pa- ngan filter bawaan 0,5 mmAl.
paran(8). Paparan tergantung pada beberapa parameter inde- 2) Detektor bilik pengionan bervolume 40 cc., Merk ALOKA,
penden, yaitu tegangan puncak, kuat arus, waktu paparan, la- Model RIC-DRM, Serial No. 201-2.
pangan radiasi dan jarak fokus ke titik pengukuran. Paparan (X) 3) Elektrometer, Merk ALOKA, Model DRM-201, Serial
pada bcrbagai kondisi penyinaran dapat diperhitungkan dari No. 07R041.
paparan acuan (Xr) dengan rumus berikut ini : 4) Fantom air dengan dinding plexiglass berdimensi luar 32
cm x 32 cm x 32 cm.
X = Xr x FkvP x FmA x Ft x FFS x FFDD (1) 5) TLD-100 berbentuk chip, ukuran 3,2 x 3,2 x 0,9 mm3.
X : paparan di udara (mR) 6) Sistim alat baca TLD Harshaw, Model 2000A dan 2000B.
Xr : paparan acuan (mR) Tata Kerja
FkvP : faktor tegangan puncak Paparan acuan (Xr) diukur di pusat berkas sinar-X dengan
FmA : faktor kuat arus menggunakan detektor bilik pengionan yang dihubungkan ke
Ft : faktor waktu paparan elektrometer ALOKA. Paparan acuan diukur pada kondisi pe-
FFS : faktor lapangan radiasi nyinaran: tegangan puncak 70 kVp, kuat anus 20 mA, waktu 1,5
FFDD : faktor jarak fokus-detektor detik, lapangan radiasi 20 cm x 20 cm, dan jarak fokus-detektor
Nilai paparan (X) dapat dikonversikan ke dosis scrap udara 75 cm.
(Dudara) dcngan menggunakan rumus di bawah ini(9) : Faktor tegangan puncak, FkvP, diukur di titik acuan dengan
Dudara = (W/e) x X (2) menggunakan detektor bilik pengionan dan elektrometer ALOKA.
Pengukuran FkvP dilakukan dengan cara mengubah tegangan
Dudara : dosis sErap udara (mrad) puncak, sedangkan parameter-parameter yang lain dibuat tetap
(W/e) : energi rata-rata yang diperlukan untuk membentuk satu pada kondisi acuan. Nilai bacaan elektrometer pada bcrbagai
pasangan ion per satuan muatan elektron di udara, be- vaniasi tegangan puncak dinormalisasikan ke kondisi acuan.
sarnya 33,97 joule/coulomb(10) atau 0,876 mrad/mR. Pengukuran faktor kuat anus (FmA), faktor waktu (Ft), dan
Untuk tujuan dosimetri, permukaan tubuh pasien dapat di- faktor lapangan radiasi (FFS) dilakukan seperti halnya pada cara
anggap hanya terdiri atas jaringan otot. Dosis scrap jaringan otot pengukuran FkvP di atas. Dalam penelitian ini dilakukan variasi
dapat dihitung dari dosis scrap udara dengan menggunakan sebagai berikut :
nisbah koefisien scrap energi otot terhadap udara. Di samping – tegangan puncak (kVp) : 60, 65, 70, 75, 80.
− kuat arus (mA) : 20, 30, 40, 50. Tabel 2. Nilai faktor lapangan-radiasi (FS), FFS
− waktu paparan (detik) : 0,1; 0,2; 0,5; 1,0; 1,5; 2,0. Lapangan radiasi
− lapangan radiasi (cm x cm) : 10x10, 15x15, 20x20, 25x25, (cm x cm)
FFS
30x30. 10 x 10 0,958
Faktor jarak fokus-detektor (FFDD) ditentukan berdasarkan 15 x 15 0,981
hukum kuadrat terbalik, dengan jarak 75 cm sebagai acuan. 20 x 20 1,000
Faktor hamburan balik (BSF) diukur dengan menggunakan 25 x 25 1,019
TLD dan fantom air. TLD disinari dengan variasi sebagai berikut: 30 x 30 1,038
− tegangan puncak (kVp) : 60, 65, 70, 75, dan 80. Faktor jarak fokus-detektor, FFDD, dihitung menggunakan
− lapangan radiasi (cm x cm) : 10x10, 15x15, 20x20, 25x25, hukum kuadrat terbalik. Normalisasi dilakukan terhadap jarak
30x30. fokus-detektor 75 cm. Ketelitian nilai FFDD sangat tergantung
Nilai BSF ditentukan dari perbandingan bacaan TLD yang di- pada ketelitian penentuan jarak fokus-detektor dan dalam per-
sinari di permukaan fantom air terhadap bacaan TLD yang hitungan ini diasumsikan memiliki koefisien variasi 1,0%.
disinari di udara.
Untuk mengkaji metoda perhitungan ini, fantom air yang FFDD = (75/FDD)2
mewakili tubuh pasien disinari sinar-X pada beberapa variasi Hasil pengukuran faktor hamburan balik (BSF) dengan
tegangan puncak, lapangan radiasi, dan jarak fokus-detektor. menggunakan fantom air ditunjukkan pada Tabel 3.
Variasi parameter penyinaran fantom disesuaikan dengan kon-
disi penyinaran yang biasa dilakukan pada mat pemeriksaan Tabel 3. Faktor hamburan balik (BSF) yang tergantung pada tegangan
puncak (kVp) dan lapangan radiasi (FS)
dengan sinar-X. Dosis masuk diukur dengan menggunakan TLD
yang telah dikalibrasi. Tegangan puncak Lapangan radiasi (cm x cm)
(kVp) 10x10 15x15 20x20 25x25 30x30
HASIL DAN PEMBAHASAN
60 1,260 1,280 1,290 1,300 1,300
Hasil pengukuran paparan acuan menggunakan detektor
65 1,280 1,305 1,315 1,325 1,335
bilik pengionan ALOKA bervolume 40 cc., didapatkan nilai 70 1,290 1,320 1,335 1,345 1,355
paparan sebesar 176,3 mR, dengan koefisien variasi 1,0%. 75 1,305 1,335 1,355 1,365 1,375
Normalisasi nilai FkvP dilakukan terhadap tegangan puncak 80 1,310 1,350 1,370 1,380 1,390
acuan, yaitu 70 kVp. Nilai-nilai FkVp memiliki koefisien variasi
rata-rata 3,3%. Hubungan antara fkvP dengan kVp dapat di- Nilai-nilai BSF dalam Tabel 3 digunakan untuk perhitungan
nyatakan dengan persamaan berikut : dosis masuk yang diminta oleh persamaan (3). Hasil pengukuran
BSF tidak berbeda jauh dengan data BJR Supplement No.17(13),
FkvP = 0,00024 (kVp)2 – 0,198 dengan perbedaan terbesar 3%. Hal ini bisa disebabkan karena
Hasil ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Bushong(14), bahwa kombinasi filter disebutkan dalam Tabel BJR tidak sama dengan
kuantitas radiasi pesawat sinar-X diagnostik bervariasi mendekati pesawat Tanka RTO-125.
kuadrat tegangan puncaknya. Hasil pengukuran dosis secara langsung dan hasil perhi-
Hasil pengukuran FmA ditunjukkan pada Tabel 1, dengan tungan dapat dilihat pada Tabel 4. Pengukuran dosis dilakukan
koefisien variasi rata-rata 2,2%. Penurunan FmA pada kuat arus 40 dengan menggunakan TLD. Sensitivitas seluruh TLD yang
dan 50 mA mencerminkan terjadinya 'blooming' yang menye- digunakan memiliki koefisien variasi 3,5%. Vaniasi sensitivitas
babkan ukuran focal spot melebar lebih dari dua kali(15) sehingga ini tercermin pada hasil pengukuran dosis yang memiliki koefisien
paparan turun sampai kurang dari setengahnya. vaniasi sekitar 3% (lihat angka dalam kurung Tabel 4).
Tabel 1. Nilai faktor kuat arus (mA), FmA Tabel 4. Dosis masuk (Dmasuk) fantom menurut perhitungan dan peng-
ukurtan langsung
Kuat arus (mA) FmA
20 1,000 Dmasuk (mrad)
Perlakuan kVp mA t FS FDD
30 1,034 Perhitungan Pengukuran
40 0,534 1 62,0 40 1,2 25,0 102,0 34,90 36,82 (±2%)
50 0,467 2 64,0 40 1,2 26,0 100,0 39,79 39,90 (±1%)
3 66,0 40 1,2 27,0 95,0 48,15 39,63 (±3%)
Hasil pengukuran faktor waktu paparan, Ft, memiliki 4 68,0 40 1,2 28,0 90,0 58,36 59,32 (±3%)
koefisien variasi rata-rata 1,6%. Antara FmA dan waktu (t) memiliki 5 71,0 40 1,2 24,0 85,0 71,85 70,51 (±3%)
hubungan tinier dan dinyatakan dengan persamaan berikut.
FmA = 0,661 t + 0,001 Perhitungan dosis dilakukan menggunakan faktor-faktor
yang telah diuraikan di atas dan paparan acuan. Dengan memper-
Hasil pengukuran faktor lapangan-radiasi, FFS, ditunjukkan hitungkan koefisien vaniasi : paparan acuan (1,0%), Fkv (3,3%),
pada Tabel 2, dengan koefisien vaniasi rata-rata 2,9%. FmA (2,2%), Ft (1,6%), FFS (2,9%), FFDD (1,0%), dan BSF (3,0%),
maka hasil perhitungan dosis yang dituliskan dalam Tabel 4 3. Jones DG, Wall BF. Organ doses from medical X-ray examinations
calculated using Monte Carlo techniques, NRPB-R186, London, 1985.
memiliki koefisien variasi 6,1%. Sedangkan dari Tabel 4 terlihat 4. Huda W, Sandison GA. Estimation of mean organ doses in diagnostic
bahwa untuk lima jenis perlakuan yang diambil dalam penelitian radiology from Rando Phantom measurements, Health Physics, 1984; 47:
ini, dosis hasil perhitungan sedikit lebih kecil daripada hasil 463.
pengukuran, dengan perbedaan maksimum 5,2%. 5. Jankowski J. Organ doses in diagnostic X-ray procedures, Health Physics,
1984; 46: 228.
6. Wall BF, Harrison RM, Spiers FW. Patient Dosimetry Techniques in
KESIMPULAN Diagnostic Radiology. The Institute of Physical Sciences in Medicine
1) Perhitungan dosis masuk pasien sinar-X diagnostik dapat (IPSM), Report No. 53, London 1988.
dilakukan dengan menggunakan faktor-faktor paparan yang 7. Fitzgerald M. Dosimetry in Diagnostic Radiology, The Hospital Physicists'
Association (HPA), Conference Report Series No. 40, London, 1984.
tergantung pada tegangan puncak, kuat arus, waktu paparan, 8. ICRU. Radiation Dosimetry: X-rays generated at potentials of 5 to 150 kV,
lapangan radiasi, jarak fokus-detektor, dan hamburan balik. ICRU Report 17, Washington, 1970.
2) Rumah sakit atau klinik radiologi perlu menyediakan alat 9. IAEA. Absorbed-dose determination in photon and electron beam, Techn
ukur paparan radiasi atau R-meter. Rep Ser No. 27, Vienna, 1987.
10. Niatel MT, Perroche-Roux AM, Boutin on M. Two deterrninations of W in
3) Cara perhitungan dosis ini bisa dijadikan sebagai pedoman dry air, Physics in Medicine and Biology, 1985; 30: 30.
bagi para fisikawan medik dalam rangka pelaksanaan program 11. Jaeger SS, Hamisch BD. Corrected f factors for photons from 10 keV to 2
jaminan kualitas radiologi diagnostik. MeV. Medical Physics, 1983; 10: 714.
12. Hubbell JH. Photon mass attenuation and energy-absorption coefficients
KEPUSTAKAAN from 1 keV to 20 MeV, Intemat J Radiation and Isotope, 1982; 33: 1269.
13. Central axis depth dose data for use in radiotherapy – Br J Radiol 1983
1. Faulkner K, Wall BF. Are X-rays Safe Enough? Patients Doses and Risks (suppl. 17).
in Diagnostic Radiology. The Institute of Physical Sciences in Medicine 14. Bushong SC. Radiologic Science, Second Ed. St. Louis: Mosby Company,
(IPSM) Report No. 55, London, 1988. 1981.
2. ICRP. 1990 Recommendations of the International Commission on Radio- 15. Curry IS. Christensen's Introduction to the Physics of Diagnostic Radio-
logical Protection, ICRP Pub160, New York, 1991. logy. Philadelphia: Lea and Febiger, 1984.

The time to relax is when you don't have the time for it
Efek Sinar X Dosis Tunggal terhadap
Jumlah Anak Mencit (F1) yang Dilahirkan
dari Perkawinan Satu Hari Pascairadiasi
Suhardjo
Laboratorium Radiologi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran, Bandung

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian efek sinar-X dosis tunggal terhadap jumlah anak mencit (Fl)
yang dilahirkan dari perkawinan satu hari pascairadiasi adalah untuk melihat besarnya
efek biologis yang ditimbulkannya yaitu berupa efek somatik akibat iradiasi sinar-X pada
tubuh mencit dewasa umur 2,5 bulan, berat badan lebih kurang 30 gram strain Quacker
Bush (CSL). Dosis iradiasi sebesar 1X200 rad, 2X200 rad dan 3X200 rad yang dihasilkan
dari pesawat sinar-X jenis DT merek Stabiliphan buatan pabrik Siemens.
Metoda penelitian yang yang digunakan adalah dengan cara mengelompokkan
menjadi empat, yaitu : kelompok I adalah hanya mencit betinanya saja yang mendapat
iradiasi, kelompok II mencit jantan saja yang mendapat iradiasi, kelompok III mencit
betina dan jantan yang mendapat iradiasi, dan kelompok IV binatang kontrol yang tidak
mendapat iradiasi. Tiap-tiap kelompok mendapat perlakuan sebesar dosis iradiasi ter-
sebut di atas, dan tiap perlakuan diberikan kepada 5 ekor mencit.
Untuk melihat besarnya efek biologis yang ditimbulkannya, maka satu hari pasca-
iradiasi mencit-mencit tersebut dikawinkan dan setelah hamil, maka dihitung jumlah
anak yang dilahirkan hidup.
Hasil penelitian yang diperoleh berdasarkan perhitungan statistik dengan uji ANOVA,
faktorial 4X3 dengan alfa 5% dan 1%, maka pengelompokan berdasarkan jenis kelamin,
sangat nyata berpengaruh (sangat signifikan). Pengelompokan berdasarkan besarnya
dosis iradiasi, adalah nyata berpengaruh (signifikan).

Karena sistem biologi kira-kira 80% terdiri dari air, proses


PENDAHULUAN ionisasi banyak terjadi pada molekul-molekul air. Radikal-
Sinar-X adalah merupakan radiasi pengion yang berbentuk radikal bebas H°, OH° dan HO2° yang dibentuk oleh radiasi pada
gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang berki- molekul air dapat menimbulkan bermacam-macam efek pada
sar 10-11 sampai 10-7 cm. Sinar-X dihasilkan dari dalam tabung molekul lainnya yang terdapat pada sistem biologi.
tempat elektron dipercepat dalam keadaan hampa udara dengan Efek radiasi pengion pada molekul protein diperlihatkan
energi kinetik yang tinggi dalam suatu medan listrik(1). oleh terjadinya perubahan seperti denaturasi dan koagulasi akibat
Sinar-X terdiri atas berkas kecil dan energi yang semata- absorbsi energi oleh sel; efek radiasi pengion pada asam nukleat
mata disebut foton atau kuanta, tidak mempunyai massa atau akan mengakibatkan terjadinya perubahan kimia, berupa ter-
berat, tidak kelihatan dan tidak dapat dirasakan karena perja- lepasnya gugus fosfat dan kerusakan DNA yang dilanjutkan
lanannya pada kecepatan cahaya(2). dengan beberapa penyimpangan proses metabolisme yang diatur
dan dikontrol oleh gen yang rusak tersebut(3). dosis 504 rad, hal ini menunjukkan tanda radiosensitif oosit yang
Radiasi sinar-X dapat menimbulkan perubahan pada materi kurang dewasa(13,14).
genetik sel, perubahan pada kromosom seperti inversi, delesi, Russel dan Russel (1954, 1956) menyinari mencit betina
duplikasi, translokasi, non-disjunction dan bcrbagai bentuk ploidi dengan sinar-X secara akut dengan dosis 400 rad, menemukan
yang semuanya sebanding dengan jumlah radiasi yang diterima. rasio embrio hidup/korpus luteum terus-menerus turun(15,16).
Aberasi kromosom seringkali menghasilkan efek fenotipe yang Searle dan Beechey (1974) telah mempelajari penyebab ter-
muncul pada generasi pertama setelah iradiasi(4). jadinya kerusakan kromosom pada oosit oleh sinar-X, yang
Reaksi terpenting akibat iradiasi lipid adalah pada kompo- menyebabkan kematian dominan dan semi steril. Mereka juga
nen asam lemaknya, terutama pada asam lemak yang tidak jenuh menemukan frekuensi aberasi pada oosit meningkat sejalan
dengan dua atau lebih ikatan rangkap. Iradiasi pada molekul dengan dosis (pada dosis sebesar 400 rad) dan waktu setelah
polisakarida mengakibatkan terjadinya degradasi atau putusnya iradiasi. Pada oosit yang kurang matang, frekuensi terjadinya
rantai; pengurangan viskositas pada cairan sinovial yang di- aberasi kromosom terus meningkat setelah iradiasi sehingga hal
iradiasi dikaitkan dengan terjadinya depolimerisasi bagian poli- ini menunjukkan penambahan kematian yang dominan dan
sakarida dari kompleks asam hialuronik protein(5). penambahan pelepasan telur yang tidak dibuahi.
Struktur paling radiosensitifdari sel terletakdidalam intinya Kirk dan Lyon (1984) dalam percobaan pertamanya pada
dan gangguan DNA akan menimbulkan gangguan dalam peng- mencit jantan menggunakan berbagai dosis sinar-X (108 – 504
aturan aktifitas seluler(6). Goldfeder (1963) menyatakan bahwa rad) yang kemudian dikawinkan pada berbagai interval waktu
terjadi beberapa perubahan permeabilitas membran mitokhon- (1–7, 8–14, 15–21 dan 64–80 hari setelah iradiasi)(12). Kematian
dria dan permeabilitas plasma membran, sehingga memungkin- post implantasi bertambah sejalan dengan dosis dan paling tinggi
kan cairan ekstraseluler memasuki ruang intraseluler dan di- dicapai dalam minggu ke tiga. Tingkat radiosensitivitasnya
tafsirkan scbagai intracellular fluid droplet. Fosforilasi atau diketahui lebih besar pada tahap spermatid awal.
produksi Adenosin Tri Phosphat (ATP) berkurang setelah pe-
nyinaran dosis sedang. Hilangnya fosforilasi dan oksidasi me-
rupakan efek primer radiasi yang dapat mengarah kepada kema- BAHAN DAN CARA
tian sel(7). Pada penelitian ini hewan percobaan yang digunakan adalah
Radiasi dapat menunda kegiatan mitosis sehingga meng- mencit Mus Muskulus dewasa jantan dan betina strain Quacker-
akibatkan pengurangan sintesis DNA. Hal ini merupakan efek Bush (CSL), berasal dari laboratorium pemeliharaan Bio Farma,
tidak langsung pada molekul DNA, sehingga tidak sanggup umur 2,5 bulan,. berat badan 30 gram.
untuk berfungsi sebagai template untuk menghasilkan RNA. Makanan berupa pelet untuk anak babi 551, yang diproduksi
Penelitian terakhir menunjukkan bahwa penyebab utama ke- oleh PT. Charoen Pokphand Indonesia, Animal Feed Mill Co.
lambatan mitosis karena terdapatnya hambatan pada tingkat G2 Ltd. Air minum yang digunakan adalah air biasa, berasal dari
yang disebut G2 Block(6). PDAM Cimahi. Pemberian makanan dan minuman dilakukan
Berbagai jaringan menunjukkan perbedaan respon terhadap secara adlibitum.
iradiasi. Beberapa di antaranya dapat menerima dosis besar Kandang terbuat dari plastik berbentuk bak, berukuran 35 x
tanpa memperlihatkan kerusakan. Variasi radiosensitivitas 30 cm yang terbagi atas lima ruangan. Masing-masing ruangan
dihubungkan dengan perbedaan sensitivitas sel yang menyusun dipergunakan untuk sepasang mencit. Kandang ditutup dengan
jaringan(7). kawat kasa yang dirancang sedemikian rupa sehingga dapat
Secara kualitatif ciri-ciri umum respon sel dan jaringan ter- digunakan untuk menyimpan pelet dan botol air minum mencit.
hadap iradiasi baik dalam bentuk gelombang elektromagnetik Sampel yang digunakan dalam penelitian sebanyak 100 ekor
maupun partikel adalah sama dan manifestasi umum dari efek mencit dengan ketentuan sebagai berikut :
radiasi pada bahan hidup bergantung pada arah dan aksi(8). 5 o + 0 rad dikawinkan dengan 5 o + (1x200) rad.
Iradiasi pada mencit jantan dan betina sebelum pembuahan 5 o + 0 rad dikawinkan dengan 5 o + (2x200) rad.
menunjukkan suatu peningkatan cacad bawaan (congenital 5 o + 0 rad dikawinkan dengan 5 o + (3x200) rad.
malformation) pada keturunannya(9,10,11,12). 5 o + (1x200) rad dikawinkan dengan 5 o + 0 rad.
Kirk dan Lyon (1982) menyatakan bahwa terjadinya kema- 5 o + (2x200) rad dikawinkan dengan 5 o + 0 rad.
tian janin awal (dominant lethality) dan cacad seperti kerdil 5 o + (3x200) rad dikawinkan dengan 5 o + 0 rad.
(dwarfism) dan exencephaly adalah akibat iradiasi mencit betina 5 o + (1x200) rad dikawinkan dengan 5 o + (1x200) rad.
dengan berbagai dosis absorbsi sinar-X (108–504 rad) yang 5 o + (2x200) rad dikawinkan dengan 5 o + (2x200) rad.
dikawinkan dengan interval waktu yang berlainan (1–7, 8–14, 5 o + (3x200) rad dikawinkan dengan 5 o + (3x200) rad.
15–21 dan 22–28 hari). Bentuk kelainan tersebut cenderung 5 o + 0 rad dikawinkan dengan 5 o + 0 rad.
muncul dengan bertambahnya dosis dan waktu setelah iradiasi. Metoda pengumpulan data dengan cara menghitung jumlah
Efek yang timbul untuk kedua macam kelainan itu tercapai pada anak mencit (F1) yang dilahirkan hidup.
minggu ketiga 59 ± 4,7% untuk kematian dominan dan 12,5 ± Pesawat sinar-X yang digunakan adalah Pesawat jenis DT
3,1% untuk janin yang abnormal setelah iradiasi sinar-X dengan merek Stabilipan, buatan Siemens.
HASIL Rata-rata 8.400 7.600 6.400 7.467
Efek sinar-X terhadap jumlah anak mencit (F1) yang dilahirkan
dart perkawinan satu hart pascairadiasi 7 8 7
0x0 8 6 7
(X) 7 8 4
10 9 3
7 5 8
Jumlah 30.000 36.000 29.000 104.000
Rata-rata 7.800 7.200 5.800 6.933
7 7 3
0x0 5 6 2
(X) (X) 5 6 2
7 5 4
8 7 5
6 6 7
Jumlah 33.000 31.000 21.000 25.000
Rata-rata 6.600 6.200 4.200 5.667
12 12 12
0x0 11 11 11
10 10 10
10 10 10
11 11 11
Jumlah 54.000 54.000 54.000 162.000
Rata-rata 10.800 10.800 10.800 10.800
Jumlah 168.000 159.000 136.000 436.000

Rata-rata 8.4 7.95 6.8 7.717

Perhitungan :
1) Jumlah Y2 = 3925
2) Jumlah Ry = 3572.8166
3) Jumlah Ay = 215.78333
4) Jumlah By = 27.233333
5) Jumlah Jab = 252.98333
6) Jumlah ABy = 9.9666666
7) Jumlah Ey = 99.2

Anova Eksperlmen Faktorial 4 x 3


Lima observasi setiap sel

Sumber
dk jk Rjk F Ket.
Variasi
Rata-rata 1 3572.8166 3572.8166 –
Perlakuan A 3 215.78333 71.927777 34.803763 **)
B (Dosis) 2 27.233333 13.616666 6.5887096 **)
Keterangan : X : lradiasi sinar X (R8) AB 6 9.9666666 1.6611111 0.8037634 o)
Satuan bilangan dalam ekor. Kekeliruan 48 99.2 2.0666666 –
Analisis efek sinar-X terhadap jumlah anak mencit (F~) yang dilahirkan
60 3.925 – –
dari perkawinan satu hari pascairadiasi

Sinar-X (B) Dari Tabel Distribusi F diperoleh :


Kelompok = 5% = 2,8 (3; 48)
Rata-
Mencit 1x200 rad 2x200 rad 3x200 rad Jumlah
rata 1% = 4,22
(A)
= 5% = 3,19 (2; 48) dan 2,29 (6; 48)
10 9 8
1% = 5,08 3,2
0x0 9 8 6
(X) 8 8 4
Hasil pengujian bersifat :
7 8 5 *) Nyata berpengaruh
8 5 9 **) Sangatnyata berpengaruh
Jumlah 42.000 38.000 32.000 112.000 o) Tidak berpengaruh
DISKUSI pada mencit dewasa strain Quacker Bush (CSL), yaitu berupa
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan pada kelom- pengurangan jumlah anak mencit (F1) yang dilahirkan hidup dari
pok mencit berdasarkan jenis kelamin yang mendapat iradiasi perkawinan satu hari pascairadiasi.
seluruh tubuh mencit parental (A), nilai Fhitung yang diperoleh − Efek sinar-X pada mencit betina berbeda dengan efek sinar-
adalah sebesar 34,803763 yang jika dibandingkan dengan Ftabel X pada mencit jantan dalam hal kemampuannya untuk bere-
dengan a = 5%, dk (3,48) = 2,8 dan a = 1%, dk (3,48) = 4,22 produksi.
bersifat sangat nyata berpengaruh (sangat signifikan), sedangkan − Efek sinar-X dengan dosis 1X200 rad berbeda dengan efek
untuk perlakuan pada kelompok berdasarkan besarnya dosis sinar-X dcngan dosis 2X200 rad. Demikian pula efek sinar-X
iradiasi yang diberikan pada seluruh tubuh mencit parental (B), dengan dosis 2X200 rad berbeda dengan efek sinar-X dengan
nilai Fhitung yang diperoleh adalah sebesar 6,5887096 yang jika dosis 3X200 rad.
dibandingkan Ftabel, dengan α = 5%, dk (2,48) = 3,19 dan α = 1%,
dk (2,48) = 5,08 bersifat nyata berpengaruh (signifikan).
Dengan demikian, penelitian ini memberikan hasil bahwa Saran
pengelompokan mencit parental berdasarkan jenis kelamin yang Untuk melihat efek biologis yang ditimbulkan, dalam hal ini
mendapat iradiasi seluruh tubuh memberikan efek yang sangat ditandai dengan pengurangan jumlah anak mencit (F1) yang
nyata berpengaruh (sangat signifikan), artinya sangat nyata dilahirkan, maka perlu pengamatan yang seksama karena sifat
memberikan pengaruh terhadap jumlah anak mencit (F1) yang kanibalismenya sehingga data yang diperoleh tidak akurat.
dilahirkan. Akan tetapi; berdasarkan besarnya dosis iradiasi yang
diberikan pada seluruh tubuh, memberikan efek yang nyata
berpengaruh (signifikan), artinya nyata memberikan pengaruh
terhadap jumlah anak mencit (F1) yang dilahirkan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata jumlah KEPUSTAKAAN
anak mencit (F1) yang dilahirkan dari kelompok mencit parental
betina yang diiradiasi sebesar 7,467 ekor lebih besar dibandingkan 1. Lindell B. Radiation and Health. WHO 1987; 65(2): 139.
2. De Lyre WR, Johnson ON. Essentials of Dental Radiography for Dental
dengan rata-rata jumlah anak mencit (F1) yang dilahirkan dari Assistants and Hygienist 3rd ed. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice
kelompok mencit parental jantan yang diiradiasi yaitu sebesar Hall Inc. 1985.
6,933 ekor. Hal ini diasumsikan bahwa testis terletak di dalam 3. Dennison C. Low level radiations and genetics risk estimation in man.
rongga tubuh bagian posterior, yaitu dalam kantung skrotal dan Ann. Rev. Genet. 1972; 16: 329-355.
4. Rubin P, Bakemeier RF, Krackon SR. Clinical Oncology for Medical
ovarium terletak pada kutub postero lateral dari ginjal dan testis Student and Physicians; A Multidisciplinary Approach. 6th ed., American
diikat oleh mesovarium pada dinding bagian dorsal tubuh dan Cancer Society Inc. 1983.
ditutup oleh suatu kapsul elastik tipis yang transparan (Green, 5. Kuzin AB. Radiation Biochemistry Jerusalem, 1964.
1966). Karena ovarium terletak pada kutub posterolateral dan 6. Billings a. (Effect of Physical Agent), Pathologic-Physiologic Mechanism
of Disease. 5th ed., Asian Ed. Philadelphia-London-Toronto: WB
ginjal, maka koefisien perlemahan lebih besar dibanding testis Saunders Co. and Tokyo: Igaku Shoin Ltd. 1974.
yang terletak di dalam rongga tubuh bagian posterior dan harga 7. Cassanett AP. Radiation Biology. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice
koefisien perlemahan berkurang dengan bertambahnya energi Hall Inc. 1968.
foton dan bertambah dengan bertambahnya nomor atom bahan 8. Behrens CF. Atomic Medicine. Baltimore: William & Wilkins Co. 1959.
9. Edwards C, Sherer MAS, Ritenour ER. Radiation Protection for Dental
(Gibilisco, 1985). Radiographer. St. Louis: C.V. Mosby, 1984.
Penelitian ini membuktikan juga bahwa sinar-X dapat 10. ––––. Parental exposure to X-rays and chemical induces heritable tumours
menimbulkan efek biologi (Thompson dan Asworth, 1970). and anomalies in mice. Nature (London), 1982; 296: 575-577.
Perubahan konsentrasi ion hidrogen adalah akibat interaksi foton 11. Kirk MK, Lyon MF. Induction of congenital anomalies in offspring of
female mice exposed to varying Dose of X-rays. Mutation Res 1982; 106:
sinar-X yang mengionisasi molekul air dan protein, sehingga 73-83.
mengakibatkan derajat keasaman sel meningkat(17). 12. –––––. Induction of congenital malformation in the offspring of male mice
Perubahan konsentrasi ion hidrogen mengakibatkan per- treated with X-rays at Pre-Meiotic and Past-Meiotic stage. Mutation Res
ubahan pH, yang selanjutnya mengakibatkan perubahan moti- 1984;125:75-85.
13. Beir Report. Effect on. Population of Exposure to low level of Ionising
litas dan kecepatan gerak spermatozoa. Pada keadaan yang ter- Radiation. Natl. Acad. Sci., Washington DC, 1980.
lalu asam (pH = 5) motilitas dan kecepatan gerak spermatozoa 14. Ehling VH. Evaluation of Genetic Hazard in Man from Radiation and
rendah, bahkan spermatozoa berhenti bergerak dan motilitas Chemical Mutagens. In: Radiobiological Equivalent of Chemical Pollut-
serta kecepatan spermatozoa meningkat sejalan dengan kenaikan ants. Vienna: International Atomic Energy Agency, 1980.
15. Russel LB, Russel WL. Pathirays of radiation effect in mother and the
pH netral yang kemudian akan menurun lagi sesuai dengan embryo cold spring. Symp. Quant. Biol. 1954; 19: 50-59.
makin alkalinya keadaan lingkungan(18). 16. ––––. The Sensitivity of different stages in oogenesis to the radiation
induction of dominant lethal and mother changes in the mouse. In:
KESIMPULAN DAN SARAN Mitchell JS, Holmes BE, Smith CC (eds). Progress in Radiobiology.
Edinburg: Oliver Boyd, 1956; 187-192.
Kesimpulan 17. Sulaeman S. Pengaruh pH terhadap Motilitas dan Kecepatan Geraak Sper-
matozoa Pria Fertil. Bul Androl Indon 1990; 10(1): 37-46.
− Sinar-X dosis tunggal dapat menimbulkan efek biologis
Some Immunological Aspects of
Various Types of
Specific Acquired Deficient
Immune Status (SADIS) following
Various Kinds of Microbial Infection
- 3. the leukemia type .(Lk-type) of SADIS
R.A. Handojo*, Anggraeni Ingg rid Handojo**
* The Indonesian Association of Pulmonologists
** The TB Centre of Surabaya

Like the Tb-type of SADIS, the leukemia-type (Lk-type) of points of view(3). Chronic lymphocytic leukemias are charac-
SADIS may produce primary malignancies and unlike the Tb- terized by the existence of progressive accumulation of small
type of SADIS, the Lk-type of SADIS may produce hematologic lymphocytes that have abnormally long lifespan in blood, lymph
malignancies located in tissues of organs of the host. nodes, bone marrow, spleen and in other tissues(3). The leukemic
The primary hematologic malignancies as disease expres- cells in chronic lymphocytic leukemia most often appear as small
sion of the Lk-type of SADIS are characterized by the existence but otherwise normal lymphocytes which have low mitotic rates.
of malignant proliferation of immuno-competent cells. Depend- In about 95% of cases, the leukemic cells are B-lymphocytes
ing on location of the proliferating cells, the Lk-type of SADIS and in the remainder these cells are T-lymphocytes(3). There is
produces leukemia when malignant proliferation of cells takes evidence that abnormal cells in B-cell cases of leukemia derive
place in blood, often also in bone marrow, and malignant lym- from a single clone. Abnormalities of both B- and T-cell func-
phomas when malignant proliferation of cells occurs in lym- tions have been observed in patients suffering from chronic
phatic organs such as lymph nodes. lymphocytic leukemia(3).
The diagnosis of hematologic malignancies can be based on The human T-cell lymphotropic virus type I (HTLV-I) is the
cytologic examination of smear preparation obtained from blood prototype of microbial pathogens that may produce the Lk-type
or bone marrow and on histopathologic examination of biopsy of SADIS. This virus was discovered by the group led by Gallo
tissue obtained from lymph nodes- or bone marrow(1). The at the National Cancer Institute in 1980. This human oncogenic
leukemias are characterized by the existence of neoplastic pro- RNA-virus which is also termed the adult T-cell leukemia virus
liferation of one of the blood-forming cells(2) and of abnormal is a member of the retroviruses (Scheffer 1984; quoted from
maturation and accumulation of white blood cells(3). The differ- Daenen S: Nederl. Tijdschr. v. Geneesk. 1984, 128, 957-960).
ent types of leukemia are classified according to the cell type This RNA-virus was isolated from lymphocytes of a patient that
involved and as acute or chronic depending on the duration of the had a T-cell lymphoma located in the skin in 1980(4). Retroviruses
disease(2). are characterized by the possession of the enzyme "reverse
Leukemias can be divided into the acute and chronic transcriptase". By means of this enzyme, a DNA copy can be
leukemias also on the basis of clinical and hematologic features. produced from viral genome during the replication cycle which
A block in maturation of lymphoid or granulocytic cells at the in this way can be integrated into the genome of the infected
primitive blast stage is characteristic for the acute leukemias. cells(). The oncogenic retroviruses are at present classified into
These cells accumulate in bone marrow, peripheral blood and at the B-type, the C-type and the D-type. The C-type of viruses are
times in other tissues(3). Chronic leukemias are also disorders of the most important. These C-type of viruses are discovered as the
maturation of cells resulting in accumulation of abnormal leukemic causative agents for several kinds of leukemia, lymphomas and
cells in bone marrow, lymph nodes, peripheral blood, liver, sarcomas in animals. The HTLV-I is a retrovirus of the C-type.
spleen and occasionally in other organs. These abnormal cells in (Scheffer 1984: quoted from Daenen S: NTvG 1984, 128, 957-
chronic leukemias are better differentiated than are the abnormal 960). There have been numerous reports on finding of type C
cells in acute leukemias from morphological and functional virus particles as based on electron microscopic examination in

Naskah ini merupakan lanjutan dari naskah berjudul soma yang telah dimuat
dalam Wellcome Journal of Health edisi no. 5, Januari 1993 dan edisi nio. 6,
Mares 1993.
plasma pellets or tissues obtained from patients suffering from cytotoxic drugs especially alkylating agents(3). The risk of con-
leukemia(3). tracting the acute non-lymphocytic leukemia appears to be
Shortly after the discovery of HTLV-I in 1980 by Gallo et al., greater with combined irradiation plus chemotherapy(3). The
the adult T-cell leukemia virus (ATLV) was discovered in Japan above finding indicates also that progression of HTLV-I disease
in patients suffering from an endemic form of leukemia. This following primary infection to the development of the adult
ATLV is now considered to be the same as or strongly related to T-cell leukemia is a multistep process. Antibodies against
the HTLV-I. Striking concentrations of ATLV are detected in HTLV-I are detected in various populations in seesawing rates.
some islands in south-west Japan (Scheffer 1984; quoted from A relatively high seroprevalence was observed among others in
Daenen S: NTvG 1984, 128, 957–960). Soon after the isolation many parts of Africa where seroprevalence is seesawing between
of HTLV-I as the first retrovirus, a causal relationship can be 5–20%(11).
established between the virus and an aggressive form of leukemia, In approximately 100% of a group of Japanese patients
the socalled "adult T-cell leukemia"(6). Beside the adult T-cell suffering from the adult T-cell leukemia, antibodies against
leukemia, HTLV-I is associated with the development of the HTLV-I were found in serum°) and in 20–50% of their healthy
"tropical spastic paraparesis", which is a consequence of a relatives as well. Antibodies against various parts of the virus
progressive myelopathy caused by the virus(7). The development have, as can be expected, the same pattern of dissemination as the
of myelopathy has been described a few months following virus itself. In endemic areas in Japan, 30% of the adult popula-
seroconversion(8). The concomitant appearance of tropical spastic tion have antibodies against the virus (Scheffer 1984; quoted
paraparesis and the adult T-cell leukemia in one patient is rare from Daenen S.: NTvG 1984, 128, 957–960).
but has been described(9). The incubation period is estimated to be Observations done to date indicate that HTLV is not a
15–20 years(8). ubiquitary virus that is transmitted vertically through germ cells.
Assuming that immune spectrum of individual cases of It was reported that although the route of transmission is not clear,
HTLV-I disease is (almost) identical to that of individual cases of horizontal transmission of the disease to healthy subjects has to
tuberculosis, acute HTLV-I disease represents the L-type be considered possible. Intimate contact is needed for trans-
immune status, chronic form of HTLV-I disease the K-type mission, and direct cell to cell contact is crucial for the spread of
immune status and the adult T-cell leukemia the KK-type the virus(12). Transmission of HTLV-I takes place through sexual
immune status, which is termed the Lk-type of SADIS. (fig. 1). contact, by means of blood(13) and from mother to child(7). It has
to be noted that HTLV-I has been isolated in patients from cell
Fig. 1 The Immune Spectrum of individual cases of HTLV-I disease culture of mononuclear cells from blood and from cerebrospinal
Immune status LL L K KK
fluid(14).
It is interesting to note that HTLV-I can be detected only in
Stage of disease: acute acute chronic Lk-type
HTLV-I HTLV-I HTLV-I of T-cells, Neither the virus nor its RNA or proviral RNA has been
disease disease disease SADIS detected in the B-cells (Scheffer 1984; quoted from Daenen S.:
Disease express: among others: adult T-cell NTvG 1984, 128, 957–960). There is long period of latency of the
tropical leukemia disease. Being infected doesn't necessarily mean that a malignant
spastic
paraparesis lymphoma will develop(15).
Patients with the adult T-cell leukemia from Japan(16) and the
West Indies(17) had similar disease expression but almost all had
lymphadenopathy. There were often several patients found in
It is interesting to note that adult T-cell leukemia as disease one family suffering from the adult T-cell leukemia(16). Patients
expression of the Lk-type of SADIS is found in only 1–4% of dually infected with the human immunodeficiency virus type 1
HTLV-I infected individuals over their life time (Gallo; quoted (HIV-1), formerly designated the human T-cell lymphotropic
from Asian Med. News, August 8, 1989). The risk to contract the virus type III (HTLV-III), and HTLV-I tend to develop frank
disease following infection with HTLV-I is estimated to be about AIDS more rapidly (Gallo; quoted from Asian Med. News,
4% when seroconversion has taken place before the age of 20 August 8, 1989).
years". This implies that the greater part of HTLV-I infected A few years following the discovery of HTLV-I by Robert
individuals maintain their LL-type, their L-type or their K-type Gallo in 1980, a related virus was isolated from a patient suffering
immune status over their life time and that a few may show from the "hairy cell leukemia", designated the human T-cell
progression of their K-type immune status to the Lk-type of lymphotropic virus type II (HTLV-II)(18). The pathway through
SADIS, resulting in the development of the adilt T-cell leukemia. which the HTLV-II produce the Lk-type of SADIS is supposed
Contributory factors to this down-grading reaction in the to be similar to that of HTLV-I (fig. 2).
immune spectrum of HTLV-I disease are reported to be ionizing Hairy cell leukemia also termed leukemic reticuloendo-
radiation and some chemicals(7). theliosis is a chronic leukemia. This RNA-virus affects mainly
There are numerous reports on the finding of an increased older adult males with presenting symptoms such as fatigue,
incidence of acute non-lymphocytic leukemia in patients with malaise, pancytopenia, splenomegaly and at times lymphade-
non-neoplastic diseases that have been put under treatment with nopathy(3). Pathologic findings are mainly found in bone marrow,
Fig. 2 The Immune Spectrum of individual cases of HTLV-II disease disease, influenza B disease(21). Beside the lymphocytosis,
Immune status LL L K KK
neutropenia is found in approximately two third of patients
suffering from mononucleosis infectiosa(22). Superinfection in
Stage of disease: acute acute chronic Lk-type
HTLV-lI HTLV-II HTLV-11 of mononucleosis infectiosa could be accounted for by the
disease disease disease SADIS neutropenia together with T-cell suppression(22). Oedema of the
Disease express: hairy cell eyelids plus painful swollen fingers which might be observed
leukemia during the early stage of the disease are unusual manifestation
of mononucleosis infectiosa(23).
liver, spleen and peripheral blood. Abnormal cells are found in Histologic examination reveals the presence of marked
peripheral blood. Light microscopic examination reveals the lymphoproliferation in almost all lymphoid tissues which is
presence of irregular fingerlike projections of cytoplasm from secondary to the entry of EBV into B-cells. This induces a short-
which the term hairy cell leukemia originates. These findings are lived increase in B-lymphocytes which is followed by a marked
confirmed by electron microscopy(3). and prolonged T-lymphocyte response(3).
Disease expression of the Lk-type of SADIS other than Elevation of soluble CD25 (sCD25) levels are used to assess
leukemia, is the malignant lymphoma. The prototype of micro- the degree of lymphocyte activation in patients(24). Stimulation of
bial pathogen that may produce the Lk-type of SADIS that gives T-lymphocytes in vitro gives rise to a rapid increase in CD25
rise to the development of malignant lymphoma is the Epstein- membrane expression(24). Nelson and coworkers showed in 1985
Barr virus (EBV) (fig 3). Like the adult T-cell leukemia and the that in vitro activated T-lymphocytes also produce a soluble form
hairy cell leukemia, the malignant lymphomas brought about by of CD25(25). Soluble CD25 is the soluble fragment of Interleukin-
EBV are primary hematologic malignancies which means that 2 receptor also known as the soluble membrane receptor. It can
EBV is the causative microbial pathogen of the mentioned be shown by means of ELISA that the in vitro production of
malignancy. Primary infection with EBV results in the develop- sCD25 is a reflection of the degree of T-cell activation(24). In
ment of acute mononucleosis infectiosa, which may occur at any serum of patients with infectious mononucleosis elevated soluble
age. The vast majority of population are infected with this EBV CD25 levels are encountered(26). In serum of healthy individuals,
during childhood or adolescence. This EBV-infection often low levels of sCD25 can be found which are considered products
doesn't produce any symptoms, but in approximately 50% of of a normally functioning immune system. The normal values of
adolescents and young adults, infection with the virus gives rise sCD25 are in a rather narrow range of 325-405 U/ml(24). Macro-
to the development of infectious mononucleosis, also known as phages and B-lymphocytes produce sCD25 only in small amounts
the disease of Pfeiffer(17). This virus infects preferably the B- in vitro(24) .
lymphocytes. Like other herpes viruses, this EBV shows lifelong In patients with the adult T-cell leukemia, the hairy cell
persistence in EBV-infected individuals, particularly in the B- leukemia and the non-Hodgkin lymphoma, there is a strong
cells, the glandula parotis and the nasopharynx(19). CD25 expression on the cell membrane and the molecule is
continuously excreted in large amounts(27). Serum levels up to
Fig. 3 The Immune Spectrum of individual cases of EBV-disease 15000 U/mI have been reported(24).
There is decreased delayed skin hypersensitivity to antigens
Immune status LL L K KK
during the acute phase of mononucleosis infectiosa(3). Recent
Stage of disease: acute acute chronic Lk-type
EBV- EBV- EBV- of
studies suggest that the T-cell lymphocytosis which is found in
disease disease disease SADIS response to primary EBV-infection of B-cells is a suppressor T-
Disease express: acute acute chronic NHL* cell response thereby limiting the proliferation of B-cells and
mononucleo- mononucleo- mononucleo- HD** possibly preventing the development of malignant transforma-
sis infect. sis infect. sis infect.
tion(3).
Note : Following infection with EBV, antibodies of the IgG and the
* NHL = Non-Hodgkin lymphoma IgM classes are produced against the viral capside antigen
** HD = Hodgkin's disease (EBVCA)(16). The presence of IgM antibodies against the capside
antigen ofEBV indicates that primary infection with the virus has
Acute infectious mononucleosis has fever, headache, pha- taken place(21). The 1gM antibodies disappear following primary
ryngitis, generalized lymphadenopathy, splenomegaly, myalgia infection; IgG antibodies on the other hand, show lifelong persis-
and articular swelling as characteristic symptoms and signs(16). tence(16) . Antibodies against the early antigen complex (EBVEA)
Peripheral blood examination reveals the existence of absolute are also found following infection with EBV. This early antigen
T-celland B-cell lymphocytosis. Atypical lymphocytes are found complex consists of proteins which are synthesized by the virus
up to 56% in peripheral blood(16). Mononucleosis is a name during primary infection(16). Most interesting to note is the
derived from the atypical mononuclear cells in blood like those persistent presence of antibodies against EBVEA, often in high
which were described for the first time by Downey and Mc- titers. Positive EBVEA titers are found in patients who have the
Kintey(20). These cells are especially related to a primary infection Burkitt lymphoma and some forms of nasopharynx carcinoma.
with EBV, although they are also found in cytomegalo virus Also in healthy individuals, positive titers of EBVEA can be
observed in periods of decreased immunoprotective capacity, lymphoma and evidence of infection with EBV(33). There is high
such as in the elderly, during pregnancy or during the advent of incidence of antobodies to EBV antigens especially the EBV
immunosuppressive agents(20). Antibodies against the nuclear early antigen (EBVEA) in Burkitt lymphoma(3). Positive EBVEA
antigen (EBVNA) are synthesized late following primary infec- titers are also found in patients suffering from some forms of
tion. These antibodies are produced in the nucleus of EBV- nasopharynx carcinoma(20).
infected B-lymphocytes and remain lifelong in the body of the There are NHLs of the B-cell as well as of the T-cell type.
hose(16). The greater part of NHLs are of the B-cell type(33) and that most
The diagnosis of mononucleosis infectiosa is confirmed by of the B-cell lymphoma derive from lymphocytes which are
the presence of striking lymphocytosis with atypical lympho- present in the follicle centre of the cortex of lymph nodes(34). Non-
cytes as a rule, the presence of specific heterophyl antibodies Hodgkin lymphomas are reflections of the stages of differentia-
(reaction of Paul Bunnell) and the presence of specific antibodies tion of T- and of B-cells(35,36). The prognosis of T-cell lymphomas
against the viral antigens (EBVCA, EBVEA, EBVNA)(28). is in general poorer than that of B-cell lymphomas(34).
In general, spontaneous recovery from EBV-disease has In order to know whether NHL is of B-cell or of T-cell type,
been observed in the vast majority of patients suffering from immunophenotyping has to be carried out beside the histopa-
primary mononucleosis infectiosa. In a few however, symptoms thologic examination of the malignancy(21). Phenotyping of tumors
of primary EBV-disease may persist for several months to of the lymphatic system is based on the insight that they consist
several years. Members of families with the recessive immu- pretty much of uninhibited growing cells which belong to one
nodeficiency syndrome, the Duncan syndrome which is an clone (monoclonal proliferation), that cells of this clone are
x-linked immunodeficiency syndrome, die due to overwhelming almost all in the same stage of maturation (differentiation arrest)
infection during the acute stage of mononucleosis infectiosa, or and that this stage can be located somewhere in the normal
they get agammaglobulinemia subsequently, or malignant development of the lymphatic system(1).
lymphoma many years later(29). It is sometimes difficult to differentiate between a reactive
Multiple and repeated endogenic and/or exogenic reinfec- process and a malignancy based on histopathologic abnormality
tions with EBV following primary acute EBV-disease, may give in lymph node follicles. Tumors are (almost always) monoclonal
rise to the development of a downgrading reaction in the immune and the existence of a monoclonal pattern is of direct diagnostic
spectrum of the disease, resulting in the progression from the L- value(1). There are nodal and extranodal locations of NHL, i.e. in
type to the K-type and further to the KK-type immune status central nervous system and the gastro-intestinal tract(33).
which may be either the Tb-type or the Lk-type of SADIS. It is Approximately 40% of NHLs are located extranodally(37). The
intriguing to speculate that when smoking is the contributory median survival is best for patients with B-cell lymphoma, less
factor for immune status of chronic EBV-disease to progress to for patients with T-cell lymphoma and least for patients with non-
the Tb-type of SADIS, ionizing radiation and some chemicals are T-non-B- cell lymphoma(38). The Burkitt lymphoma is a B-cell
the potential contributory factors for immune status of chronic lymphoma(3). There is strong expression of CD25 on cell
EBV-disease to progress to the Lk-type of SADIS. Disease membrane in patients with NHL; this molecule is continuously
expression of the Tb-type of SADIS due to EBV is the epithelial excreted in great numbers(27). Serum levels of sCD25 is a reflec-
malignancy known as the nasopharynx carcinoma and that of tion of the total tumor mass and that serum levels decrease to
the Lk-type of SADIS due to EBV is the lymphoid malignancy normal values following successful cytostatic therapy(24).
which may be either the non-Hodgkin lymphoma (NHL) or the Hodgkin's disease (HD) is a lymphoproliferative disorder
Hodgkin's disease (HD). Chemotherapy using cyclosporine may which means there is neoplas tic proliferation in lymph nodes(39).
in the long run lead to the development of malignancies due to The cause of HD is unknown, but a number of features point to
aspecific immunosuppression(30). Of the 661 patients with a viral aetiology perhaps with altered protective immunity. At
nephrotic syndrome under treatment with cyclosporine, five present, the most likely causative agent appears to be the Epstein-
were found to contract malignancy(31). Of the five patients that Barr virus(39). The disease is characterized histopathologically by
contracted malignancy following- prolonged treatment with the presence of the Reed-Sternberg cells. It is generally accepted
cyclosporine for nephrotic syndrome, two had the Hodgkin's that the malignant cell is the Reed-Sternberg cell(39). The origin
disease and three had carcinoma(31). of the Reed-Sternberg cell and its mononuclear variants remains
Lymphoid malignancy or lymphoma malignum is a malig- controversial. Different investigators have presented evidence
nant disease of the lymphoid .system which comprises the non- implicating the T- and the B-cell and the macrophage-monocyte
Hodgkin lymphoma, the Hodgkin's disease and the multiple as the cell of origin in Hodgkin's disease. Current evidence
myeloma. The adult T-cell leukemia is a variant of the lymphoma favours the macrophage-monocyte as the primary malignant
malignum(15). Non-Hodgkin lumphoma is defined as auto- cell(3). Cabanillas et al. suggested that the malignant cell of HD
nomously growing and clonal proliferation of lymphocytes(32). is a B-cell(40). The Reed-Sternberg cell is also reported to be
The NHLs are a heterogeneous group of malignancies which lymphocytic in origin and may be of T-cell or of B-cell pheno-
primarily involve lymphoid tissue. Relation between EBV and type(39).
the malignant lymphoma was established(15). It appears that there Lymphocyte predominance which may be diffuse or no-
is an association between a form of NHL in Africa, the Burkitt dular, is encountered in about 10% of cases of Hodgkin's disease.
The nodular form of HD has now been shown to be a B-cell direction of the disease of Hodgkin(42). The chances of survival of
lymphoproliferative disease. Depletion of lymphocytes is com- HD are much better than that of non-Hodgkin lymphoma(34).
paratively rare in Hodgkin's disease(39). Lymphocyte predomi- Disease expression of the Lk-type of SADIS is the primary
nance type is encountered in younger patients, is usually limited hematologic malignancy located in tissues of organs of the host.
in extent and has an excellent prognosis. Most investigators The development of primary hematologic malignancy is based
believe that the lymphocytic infiltrate found in histopathologic on the existence of malignant proliferation of immunocompetent
lesions of HID represents host cellular immune response against cells. Like in the solid malignancy as disease expression of the
the tumor and correlation with a favourable prognosis. Patients Tb-type of S ADIS which has lymphocyte predominance, entrap-
with lymphocytic predominance therefore have a strong host ment of microbial pathogens in the histopathologic lesions of the
immune response against the tumor(3). malignancy likely occurs in the primary hematologic malignan-
Lymphocyte depletion type is at the opposite end of the cies which makes the disease not any more infectious except
spectrum of HD, usually presenting with widespread disease and probably in the lymphocyte depletion tupe of Hodgkin's disease.
constitutional symptoms and having a poor prognosis. Patients
with the lymphocyte depletion type of HD show a failure of
response of the immune system to the tumor(3). REFERENCES
In the spectrum of chronic infectious diseases which may
1. Bast EJEG, GC de Gast, HJ Schuurman. Maligne aandoeningen van het
progress to SADIS, the lymphocyte depletion type of HD is lymfatische systeem. Nederl. Tijdschr. v. Geneesk. 1986; 139: 1695–9.
located nearer to the leprosy-type of SADIS than to the tuber- 2. Bayard Clarkson. The acute leukemias. In: Harrison's Principles of Internal
culosis-type of SADIS. (fig. 4). Defects in cell-mediated immu- Medicine, 10th Ed. Ed: Petersdorf, Adams, Braunwald, Isselbacher,
nity are found in HD which can be demonstrated by doing skin Martin, Wilson. Mei Ya Publications, Inc. Taipei. McGraw-Hill Book
Company, New York. p 798–808.
testing and in vitro transformation testing in response to mitogens 3. Vivian Wells J, Curt A Ries. Hematologic diseases. In: Basic and Clinical
and antigens(3). Immunology, 4th Ed. Ed: DP Stites, JD Stobo, HH Fudenberg, JV Wells.
Maruzen Asian Edition, Lange Medical Publications, Maruzen Asia (Ptc)
Fig. 4 The spectrum of various types of SADIS Ltd. p 460-97.
4. Poiesz BJ, Ruscetti FW, Gazdar AE et al. Detection and isolation of type C
Microbial Type of Disease Lympho- retrovirus particles from fresh and cultured lymphocytes of a patient with
pathogen SADIS expression cytes cutaneous T-cell lymphoma. Proc. Natl. Acad. Sci USA 1980; 77: 7415–9.
– M. tuberc. Tb-type epithelial predominance Quoted from: Portegies P, Goudsmit J. Nederl. Tijdschr. v. Geneesk. 1991;
Helicob. pylori carcinoma 135: 1302–6.
– EBV, HBV, HCV, Tb-type epithelial predominance 5. Varmus H. Retrovirus. Science 1988; 240: 1427–35. Quoted from: Por-
HPV, HSV carcinoma tegies P, Goudsmit J. NTvG 1991; 135: 1302–6.
– HTLV-I, HTLV-U Lk-type leukemia predominance 6. Yoshida M, Miyoshi I, Hinuma Y. Isolation and characterization of retro-
– EBV Lk-type NHL* predominance virus from cell lines of human adult T-cell leukemia and its implication in
Hodgkin's dis.: predominance the disease. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 1982; 79: 2031–35. Quoted from:
depletion Portegies P, Goudsmit J. NTvG 1991; 135: 1302-6.
– HTLV-III(HIV-1) Lp-type AIDS** depletion 7. Portegies P, Goudsmit J. Human T-cell lymphotroop virus type I (HTLVI)
– M. leprae Lp-type LL-type leprosy depletion als oorzaak van progressieve myelopathie. Nederl. Tijdschr. v. Geneesk.
1991; 135: 1302–6.
8. Gout 0, Baulac M, Gessain A et al. Rapid development of myelopathy
* NHL = Non-Hodgkin Lymphoma after HTLV-I infection acquired by transfusion during cardiac
** AIDS = Acquired Immuno Deficiency Syndrome transplantation. N. Engl. J. Med. 1990; 332: 383–5. Quoted from:
Portegies P, Goudsmit J. NTvG 1991; 135: 1302–6.
9. Yoshida M, Osame M, Kawai H et al. Increased replication of HTLV-I in
It is important to note that patients must be tested before HTLV-I associated myelopathy. Ann Neurol. 1989; 2: 331–5. Quoted
chemotherapy and radiotherapy which are themselves immuno- from: Portegies P, Goudsmit J. NTvG 1991; 135: 1302-6.
suppressive(3), especially when dealing with patients suffering 10. Murphy EL, Hanchard B, Figueroa JP et al. Modelling the risk of ATL in
persons infected with HTLV-I. Int. J. Cancer 1989; 43: 250–3. Quoted
from HD of the lymphocyte depletion type. The defect in from: Portegies P, Goudsmit J. NTvG 1991; 135: 1302–6.
advanced HD includes a disproportionate excess of suppressor 11. Levone PH, Blattner WA, Clark Jet al. Geographic distribution of HTLVI
lymphocytes despite tje existence of overall lymphocyte deple- and identification of a new high risk population. Int. J. Cancer 1988; 42:
tion with frequent lymphopenia(3). 7–12.
12. Gallo RC. In: Marx IL. Human T-cell leukemia virus linked to AIDS.
As was postulated by Boveri in 1914, transition of normal to Science 1983; 200: 806–9. Quoted from: Nieweg H.O., de Wolf J.: NTvG
malignant proliferation of cells is brought about by chromosome 1984; 128: 961–2.
aberrations(41). There are a lot of correlations between specific 13. Sato H, Okochi K. Transmission of human T-cell leukemia virus (HTLVI)
chromosome abnormalities and disease characteristics in the in blood transfusion; demonstration of proviral DNA in recipients' blood
lymphocytes. Int. J. Cancer 1986; 37: 395–400. Quoted from: Portegies P,
NHL and the disease of Hodgkin(42). It can be assumed that Goudsmit J. NTvG 1991; 135: 1302–6.
aberrations found in both the disease of Hodgkin and the non- 14. Jacobson S, Raine CS, Mingioli ES, McFalin DE. Isolation of an HTLV-I-
Hodgkin lumphoma play a role in the emergence of unregulated like retrovirus from patients with tropical spactic paraparesis. Nature 1988;
growth in general and that aberrations found in either one of the 331: 540–3. Quoted from: Portegies P, Goudsmit J. NTvG 1991; 135:
1302–6.
above diseases play a role in the development of the ultimate 15. Nieweg H.O. de Wolf J. Lymphoma malignum en virus. Ned. Tijdschr. v.
phenotype of the disease, either in the direction of NHL or in the Geneesk. 1984; 128: 961–2.
16. Kulberg BJ, Van der Meer JWM, Bolk JI I. Ilct zal welcen virus zijn. infectious diseases 3rd edition. New York, Churchill: Livingstone 1990;
Ned. Tijdschr. v. Gencesk. 1988; 132: 193-5. p. 1172-85. Quoted from: Spcldc AGA, GJHM Ruys, JW Steffelaar, NC
17. Ilcnlc G, Henle W, Diehl V. Relation of Burkitt's tumor associated Bakker. NTvG 1992; 136: 1471-3.
herpes-type virus to infectious mononucleosis. Proc. Natl. Acad. Sci. 30. Cockbum ITR, Krupp P. The risk of neoplasms in patients treated with
USA 1968; 59: 94-101. Quoted from: Kulberg BJ, JWM Van der Meer, cyclosporine A. : J. Autoimmun. 1989; 2: 723-31. Quoted from: R.
JH Bolk. NTvG 1988; 132: 193-5. Zietze, Weimar W. NTvG 1992; 136: 1737-53.
18. Kalyanaraman VS, Samgadharant MG, Robert-Guroff M et al. A new 31. Collaborative Study Group of Sandimmun in nephrotic syndrome. Safety
subtype of human T-cell leukemia virus (HTLV-II) associated with a T- and tolerability of cyclosporine A in idiopathic nephrotic syndrome. Clin.
cell variant of a hairy cell leukemia. Science 1982; 218: 571-3. Quoted Nephrol. 1991; 35: S48-60. Quoted from: R. Zietse, W. Weimar. NTvG
from: Portegies P, Goudsmit J. NTvG 1991; 135: 1302-6. 1992; 136: 1747-53.
19. Geelen SPM, Kuis W, Roord JJ et al. Epstein-Barr virus infectie; immu- 32. Lennert K, Feller AC. Histopathologie der non-Hodgkin lymphome 2.
nologie en immunopathologie. Ned. Tijdschr. v. Geneesk. 1986; 130: 63-7. Aufl. Berlin: Springer 1990; 13-50. Quoted from: IHJM van Krieken,
20. Sumaya CV, Henle W, Henle Get al. Seroepidemiologic study of Epstein- Kluin PH M. NTvG 1992; 136: 1200-3.
Barr virus infections in a rural community. J. Infect. Dis. 1975; 131: 403- 33. Whitehouse M. Non-Hodgkin's lymphomas. Medicine Internat. 1991; 4:
8. Quoted from: Kulberg BJ, Van der Meer JWM en Bolk JH. NTvG 3878-81.
1988; 132: 193-5. 34. Van den Tweel JG. De classificatie van non-Hodgkin lymphomas;
21. Hagenbeek A, WAM Mellink. De behandeling van het non-Hodgkin overwegingen bij de "working formulation". Ned. Tijdschr. v. Geneesk.
lymfoom anno 1991: is meer betel.? Ned. Tijdschr. v. Geneesk. 1991; 1990; 134: 2327-30.
135: 2213-8. 35. Lennert K, Mohri N, Stein H et al. The histopathology of malignant
22. Piertulo DT. Immunopathology of infectious mononucleosis and other lymphoma. Br. J. Haematol. 1975; 31: 193-203. Quoted from: JG Van
complications of Epstein-Barr virus infection. In: Sommers SC, Rosen den Tweel. NTvG 1990; 134: 2327-30.
PP, eds. Pathology annual 1980 Part 1. New York Appleton 1980; 15: 36. Lukas RI, Collins RD. Immunologic characterization of human malignant
253-99. Quoted from: De Herde L, BP Hazenberg: NTvG 1987; 131: lymphomas. Cancer 1974; 34: 1488-503. Quoted from: JG Van den
2281-3. Tweel. NTvG 1990; 134: 2327-330.
23. Van den Bosch WJHM. Een ongebruikelijke verschijningsvorm van 37. Haak HL, Kluin Ph M, Meyer CJLM et al. A population based registry of
mononucleosis infectiosa. Ned. Tijdschr. v. Geneesk. 1987; 131: 2314-6. non-Hodgkin lymphoma in the region covered by the Comprehensive
24. Hitzen RQ, Van Lier RAW. Oplosbare T-cell membraan moleculen; een Cancer Centre West. Netherl. J. Med., 1986; 29: 105-110. Quoted from:
maat voor T-cell activatie in vivo. Ned. Tijdschr. v, Geneesk. 1992; 136: JL Kluin-Nelemans et al. NTvG 1992; 136: 1185-8.
1442-5. 38. Bloomfield CD, Gajl-Peczalska KJ, Frizzera G et al. Clinical utility of
25. Rubin LA, Kunnan CC, Fritz ME et al. Soluble interleukin-2 receptors lymphocyte surface markers combined with the Lukas Collins histologic
are released from activated human lymphoid cells in vitro. J. Immunol. classification in adult lymphoma. N. Engl. J. Med. 1979; 301: 512-8.
1985; 135: 3172-7. Quoted from: Hintzen RQ, RAW Van Lier. NTvG Quoted from: Bast EJEC, GC de Gast, HJ Schuurman. NTvG 1986; 139:
1992; 136: 1442-5. 1645-9.
26. Rubin LA, Nelson DL. The soluble interleukin-2 receptor: biology, func- 39. Graham (Ben)Mead. Hodgkin's disease.Medicinelntemat 1991; 4: 3875-7.
tion and chemical application. Ann. Intern. Med. 1990; 113: 619-27. 40. Cabanillas F, Pathak S, Trujillo J et al. Cytogenic features of Hodgkin's
Quoted from: Hintzen RQ, RAW Van Lier. NTvG 1992; 136: 1442-5. disease suggest possible origin from a lymphocyte. Blood 1988; 71:
27. Piu CH. Serum interleukin-2 receptor. Clinical and biological 1615-7. Quoted from: HC Schouten: NTvG 1992; 136: 913-7.
implications. Leukemia 1989; 3: 323-7. Quoted from: Hintzen RQ, RAW 41. Boveri T. Zur Frage der Einstehung maligner Tumoren. Jena: Fischer,
Van Lier. NTvG 1992; 136: 1442-5. 1914. Quoted from: Schouten HC: NTvG 1992; 136: 913-7.
28. De Herde L, Hazenberg BP. Mononucleosis infectiosa, anders dan 42. Schouten HC. Chromosomale afwijkingen bij het non-Hodgkin lumfoom
meestal. Ned. Tijdschr. v. Geneesk. 1987; 131: 2281-3. en de ziekte van Hodgkin. Ned. Tijdschr. v. Geneesk. 1992; 136: 913-7.
29. Schooley RT, Dolin R. Epstein-Barr virus (infectious mononucleosis). In:
Mandell GL, Douglas RG, Bennett JE eds. Principles and practice of

Proper words in proper places make the true definition of a style


Nilai Klinis Uji ELISA Makro
pada Penyakit Tuberkulosis Paru
Dr. dr. Indro Handojo*, dr. Anik Widijanti**
* Laboratorium/Instalasi Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
RSUD Dr. Sutomo, Surabaya
* * Instalasi Patologi Klinik RSUD Dr. Syaiful Anwar, Malang

PENDAHULUAN spesifik terhadap hasil TB secara kuantitatif (dalam absorbance


Dari hasil survei terdahulu, penyakit tuberkulosis (TB) sam- unit).
pai dewasa ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat
yang penting di Indonesia(1,2,3). Pencarian kasus yang diikuti BAHAN DAN CARA KERJA
dengan pengobatan adekuat adalah unsur utama dalam pembe- Penelitian klinis ini dilakukan terhadap 59 penderita TB
rantasan penyakit TB, yang membutuhkan sarana diagnostik paru aktif dewasa (lebih dari 15 tahun) dengan hasil tahan asam
yang andal(4). (BTA) dahak positif (Ziehl Neelsen); 35 penderita dengan biakan
Handojo(4) melaporkan hasil yang amat baik dari penggunaan dahak dan uji PAP-TB positif dan 24 penderita dengan uji PAP-
uji Peroksidase-Antiperoksidase (PAP-TB) pada penyakit tu- TB positif dan biakan dahak negatif, yang datang berobat di Balai
berkulosis paru. Sayangnya uji serologik ini hanya menentukan Pemberantasan Penyakit Paru di Malang.
kadar IgG spesifik terhadap hasil TB secara semikuantitatif. Dari Diagnosis TB paru ditegakkan atas dasar kriteria berikut :
hasil penelitian Kardjito(5) yang menggunakan uji ELISA mikro 1) pada x-foto paru ditemukan adanya kelainan yang relevan
pada penyakit TB paru, didapatkan sensitivitas sebesar 62% dan untuk tuberkulosis yang aktif,
spesifisitas sebesar 74%. Cara tersebut bersifat kuantitatif 2) BTA dahak positif dan
(absorbance unit), cukup praktis (masih butuh mikro-ELISA 3) biakan dahak atau/dan uji PAP-TB yang positif.
reader) namun membutuhkan jumlah sampel yang cukup banyak Kriteria lain yang harus dipenuhi untuk penerimaan kasus
(40) untuk tiap seri pemeriksaan. Dengan demikian tes ini lebih TB dalam penelitian ini ialah :
tepat digunakan iuntuk survei epidemiologis daripada untuk ke- a) belum pernah mendapatkan pengobatan anti-TB,
perluan pemeriksaan klinis. b) tidak mendapatkan pengobatan kortikosteroid atau obat
Pemeriksaan kuantitatif kadar IgG spesifik terhadap TB imunosupresif yang lain,
dengan cara radioimmunoassay (RIA) memberikan sensitivitas c) keadaan umum baik dan tidak menderita penyakit lain.
yang lebih tinggi daripada uji ELISA tetapi membutuhkan per- Untuk menentukan batas atas nilai rujukan uji ELISA di-
alatan yang canggih dan menggunakan bahan radioisotop dengan pakai 34 prang perawat sehat yang merawat penderita TB paru,
waktu paruh yang relatif pendek(5). Uji ELISA makro walaupun sedangkan untuk penentuan spesifisitas dari tes dipakai 36 orang
mempunyai prinsip yang sama dengan uji ELISA mikro, namun penderita penyakit lain yang bukan TB (kusta, artritis rematoid
lebih praktis untuk dipakai di klinik sebab untuk satu seri pe- dengan faktor rematoid positif, ibu hamil dan penderita penyakit
meriksaan tidak dibutuhkan jumlah sampel tertentu. Di samping paru lain yang non-TB).
itu dengan penggunaan permukaan tabung yang lebih luas di- Cara ELISA makro yang dipakai dalam penelitian ini pada
harapkan dapat menjaring lebih banyak antibodi dan dengan prinsipnya sama dengan cara ELISA mikro yang dipakai oleh
demikian dapat meningkatkan sensitivitasnya. Kardjitoo). Perbedaannya hanya terletak pada volume reagen
Permasalahan ini mendorong pelaksanaan penelitian ini yang 3 kali lebih besar dan tabung polistiren yang dipakai pada
dengan tujuan untuk menentukan nilai diagnostik dari uji ELISA ELISA makro (bukan sumuran polistiren seperti pada ELISA
makro pada penyakit tuberkulosis paru, melalui penentuan IgG mikro). Secara singkat cara ELISA makro tersebut adalah se-
bagai berikut : dikategorikan sebagai penderita TB paru aktif.
Ke dalam tabung polistiren dimasukkan 0,6 ml antigen Dari 59 penderita tersebut di atas, 35 penderita (59,32%)
sitoplasmik dari M. tuberculosis var bovis BCG (ultrasonicated) menunjukkan kadar IgG spesifik di atas batas atas nilai rujukan
dengan pengenceran 1 : 100 dan diinkubasikan dalam kotak dengan uji ELISA mikro dan 50 penderita (84,75%) dengan uji
lembab pada 4°C selama semalam. Setelah waktu inkubasi, ELISA makro. Dengan demikian sensitivitas dari uji ELISA
tabung dicuci dengan larutan dapar fosfat salin-tween (PBS- makro adalah 84,75% dan untuk uji ELISA mikro 59,32%.
tween) sebanyak 3 kali. Dengan uji statistik Mc Nemar perbedaan tersebut amat ber-
Dalam tahap berikutnya 0,6 ml serum (pengenceran 1: 500) makna (p < 0,005).
dimasukkan ke dalam tabung dan diinkubasikan selama 2 jam Dari 36 penderita penyakit lain atau ibu hamil yang bukan
dalam suhu ruang, lalu dilakukan pencucian seperti tersebut di TB, 31 penderita (86,11%) menunjukkan hasil uji ELISA mikro
atas. Dalam tahap selanjutnya, 0,6 ml konjugat (anti-human IgG negatif (di bawah batas atas nilai rujukan) dan 30 penderita
berlabel enzim) dengan pengenceran 1 : 1000, dimasukkan ke (83,33%) menunjukkan hasil uji ELISA makro yang negatif. Jadi
dalam tabung polistiren dan diinkubasikan selama semalam spesifisitas uji ELISA makro adalah 83,33% dan uji ELISA
pada 4°C. Setelah inkubasi, sisa konjugat dibuang dan dilakukan mikro 86,11%. Secara statistis perbedaan tersebut tidak ber-
pencucian seperti tersebut di atas. Selanjutnya dimasukkan 0,6 makna (p > 0,05). Dengan demikian efisiensi diagnostik (kebe-
ml substrat (H2O2 0,03% dan ABTS) dan diinkubasikan selama naran diagnostik) dari uji ELISA makro adalah 84,21% sedang-
30 menit lalu ditambahkan 0,150 ml NaF 1 N sebagai larutan kan dari ELISA mikro adalah 69,47%. Secara statistis perbedaan
penghenti reaksi. Pembacaan dilakukan dengan spektrofotome- tersebut amat bermakna (p < 0,005).
ter pada lambda 420 nm. Nilai ramal positif diagnostik dari uji ELISA makro (89,28%)
Dalam tiap seri pemeriksaan dipakai serum kontrol yang hampir tidak berbeda dengan nilai ramal positif dari uji ELISA
sama untuk menentukan faktor koreksi(6). mikro (87,5%). Sebaliknya nilai ramal negatif dari uji ELISA
Untuk menentukan batas atas nilai rujukan dari uji ELISA makro yaitu 76,82% jauh lebih tinggi daripada nilai ramal negatif
mikro dan makro dipakai rumus mean + 2 SD(7). Untuk menen- uji ELISA mikro (56,36%).
tukan sensitivitas, spesifisitas, efisiensi diagnostik, nilai ramal
negatif dan nilai ramal positif dari uji PAP-TB dipakai rumus dari PEMBAHASAN
Galen(8), sedangkan untuk membandingkan karakteristik dari uji Dalam dunia ilmu Kedokteran Laboratorium, akseptabilitas
ELISA makro dan mikro dipakai uji statistik Mc Nemar(7). suatu uji laboratorik perlu ditinjau dari beberapa segi :
1) Validitas
HASIL 1.1 Validitas interna (laboratoris)
Dari hasil penelitian terhadap 34 perawat sehat yang mera- 1.2 Validitas eksterna (klinis).
wat penderita TB paru, didapatkan batas atas nilai rujukan untuk 2) Kepraktisan
uji ELISA mikro 0,199 dan untuk uji ELISA makro 0,574. Kadar 3) Biaya pemeriksaan
IgG spesifik yang dideteksi oleh uji ELISA makro pada semua Validitas interna atau laboratoris dari suatu tes adalah validitas
perawat sehat tersebut (x = 0,300) lebih tinggi secara bermakna dari tes tersebut yang diuji di laboratorium dan meliputi faktor-
(p < 0,001) daripada yang terdeteksi oleh uji ELISA mikro (x = faktor :
0,109). a) detektabilitas
Dengan demikian, detektabilitas dari uji ELISA makro se- b) presisi atau reprodusibilitas dan
cara bermakna lebih tinggi danipada detektabilitas uji ELISA c) akurasi dari tes.
mikro.
Detektabilitas uji ELISA-TB
Koefisien vaniasi dalam satu seri pemeriksaan (within run)
Seperti dikemukakan dalam hasil penelitian ini, detektabili-
dari uji ELISA macro (13,02%) sedikit lebih rendah daripada uji
tas dari uji ELISA makro secara bermakna lebih tinggi daripada
ELISA makro (16,11%), namun koefisien vaniasi antar seri
uji ELISA mikro (p < 0,001).
pemeriksaan (between run) dani uji ELISA mikro (40,40%) jauh
Makin besan detektabilitas dari suatu uji laboratorium, makin
lebih tinggi danipada uji ELISA makro (28,77%).
besar pula kemampuan dari tes tersebut untuk dapat memantau
Dan 61 penderita tersangka TB aktif dengan BTA dahak
perubahan-perubahan kecil yang mungkin terjadi pada kadar
positif yang terjaring dalam penelitian ini, 35 penderita menun-
IgG spesifik yang ditentukannya(9). Hal ini dinilai menguntung-
jukkan hasil biakan dahak dan uji PAP-TB yang positif. Dari 26
kan dari segi kegunaan klinis, teristimewa untuk keperluan
penderita yang menunjukkan hasil biakan dahak yang negatif,
pemantauan hasil pengobatan penyakit TB.
pada 25 penderita dilakukan uji PAP-TB. Hasil yang positif
didapatkan pada 24 dani 25 penderita tersebut. Jadi dari 60 Reprodusibilitas uji ELISA-TB
penderita tersangka TB paru aktif dengan BTA dahak positif, 59 Besarnya koefisien vaniasi antar seri pemeriksaan, baik
penderita menun jukkan hasil uji PAP-TB positif (98,3%) dan 35 dari uji ELISA mikro maupun ELISA makro, mengurangi nilai
di antaranya, biakan dahaknya juga positif. Dengan demikian dari kedua tes tersebut dalam pemantauan hasil pengobatan dari
hanya 59 penderita yang menurut kriteria penelitian ini dapat penyakit TB. Perbedaan yang amat mencolok dani koefisien
variasi antar seri pemeriksaan uji ELISA mikro dan uji ELISA sasi antigen dalam suasana asam yang merupakan ikatan dari
makro mungkin disebabkan oleh perbedaan volume reagensia molekul-molekul antigen yang kecil menjadi polimer yang besar
dari kedua tes tersebut. Perubahan kecil volume reagensia atau dengan pemaparan determinan antigen pada permukaannya
serum akibat pemipetan yang kurang akurat akan memberikan sehingga dengan demikian memperbesar permukaan kontak
dampak yang relatif lebih besar pada uji ELISA mikro diban- antara antigen dan antibodinya, dapat meningkatkan sensitivitas
dingkan dengan uji ELISA makro. dari tes secara bermakna.
Akurasi uji ELISA-TB
Spesifisitas uji ELISA-TB
Untuk menentukan akurasi dari suatu uji laboratorik biasa-
Spesifisitas dari uji ELISA makro (83,33%) hampir tak
nya dipakai uji recovery dengan menggunakan accuracy control
berbeda (p > 0,05) dengan uji ELISA mikro (86,11%). Spesifisi-
sample yaitu serum atau larutan yang mengandung bahan yang
tas dari suatu uji serologik dipengaruhi oleh kemumian antigen-
sama dengan bahan yang akan ditentukan dalam kadar tertentu
nya, profil spesifisitas dari antiseranya dan derajat pengenalan
yang telah diketahui. Dalam penelitian ini tidak dilakukan uji
antara konjugat dan lawan imunnya(10). Oleh karena ketiga faktor
recovery, sebab kami tidak berhasil untuk mendapatkan accu-
yang mempengaruhi spesifisitas dari suatu tes adalah sama pada
racy control sample.
uji ELISA makro maupun uji ELISA mikro, maka spesifisitas-
Validitas eksterna atau klinis dari suatu tes adalah bagian
nya juga tak berbeda bermakna.
dari validitas tes yang diuji di klinik dan meliputi faktor-faktor
Bila dibandingkan dengan spesifisitas dari uji aglutinasi
sebagai berikut :
(74%), spesifisitas dari uji ELISA makro maupun mikro masih
a) sensitivitas diagnostik,
sedikit lebih tinggi(12). Akan tetapi bila dibandingkan dengan uji
b) spesifisitas diagnostik,
imunofluoresens (96%)13) dan uji PAP-TB (94,17%)(4), maka
c) efisiensi diagnostik (kebenaran diagnostik),
spesifisitas uji ELISA masih lebih rendah. Pada uji ELISA yang
d) nilai ramal positif diagnostik dan
menggunakan mycobacterium antigen S didapatkan spesifisitas
e) nilai ramal negatif.
sebesar 95,5% pada daerah dengan prevalensi TB rendah dan
Dalam penelitian ini hanya 35 penderita di antara 61 pen-
sebesar 79,9% pada daerah dengan prevalensi TB tinggi(l4).
derita dengan BTA dahak positif dan kelainan radiografis yang
Spesifisitas dari uji ELISA-TB di Indonesia di mana prevalensi
relevan untuk TB yang menunjukkan hasil biakan dahak positif
BTA positif tergolong sedang(2,3) diperkirakan terletak di antara
serta uji PAP-TB yang juga positif. Pada 26 penderita yang
kedua angka tersebut.
menunjukkan hasil biakan dahak yang negatif, 24 di antara 25
Walaupun spesifisitas dari kedua uji ELISA-TB tersebut se-
penderita yang dilakukan uji PAP-TB menunjukkan hasil tes
cara keseluruhan tidak berbeda bermakna, namun bila disimak
yang positif. Dengan demikian 24 penderita dengan BTA dahak
spesifisitasnya pada masing-masing golongan penyakit yang
positif, kelainan radiografis paru yang relevan untuk TB dan uji
diteliti, terdapat beberapa perbedaan yang mencolok. Menarik
PAP-TB yang positif namun biakan dahak negatif, dianggap
untuk diungkapkan bahwa pada uji ELISA mikro dalam peneli-
menderita TB paru aktif. Penyebab dari hasil biakan dahak yang
tian ini, hasil positif semu terutama didapatkan pada kelompok
negatif pada 24 penderita tersebut belum diketahui dengan tepat.
penderita kusta tipe L (50%) yang disusul oleh kelompok pen-
Kemungkinan besar hasil TB yang diekskresikan ke dalam dahak
derita artritis rematoid dengan faktor rematoid yang positif
penderita adalah kuman yang man atau kuman menjadi mati
(9,1%). Sebaliknya pada uji ELISA makro, hasil positif semu
dalam perjalanan dari tempat pengambilan sampel ke gedung
terutama didapatkan pada kelompok penderita artritis rematoid
laboratorium yang mengerjakan biakan dahak. Kemungkinan
dengan faktor rematoid yang positif (45,5%) yang disusul oleh
lain ialah keadaan media perbenihan yang dipakai untuk biakan
kelompok ibu hamil non-TB (11,1%) sedangkan pada penderita
dahak dalam penelitian ini, kurang baik.
kusta tipe L, tak seorangpun (0%) yang menunjukkan hasil uji
Sensitivitas uji ELISA-TB ELISA makro yang positif.
Sensitivitas dari uji ELISA makro (84,75%) yang diperoleh Perbedaan hasil pada kelompok penderita kusta tipe L ter-
dalam penelitian ini, lebih tinggi secara bermakna (p < 0,005) bila sebut belum diketahui dengan tepat. Walaupun kelompok pen-
dibandingkan dengan sensitivitas dari uji ELISA mikro (59,32%). derita kusta yang dipakai dalam penelitian ini sudah pernah
Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh perbedaan luas fase mendapatkan pengobatan sebelumnya, namun pada pengobatan
padat, volume reagensia dan volume serum antara kedua uji kusta yang berhasil, hanya antibodi kelas IgM yang menurun
ELISA tersebut. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan secara bermakna, sedangkan IgG dan IgA kadarnya tak berubah
oleh Schuurs dan Van Weeman(10) yang mengatakan bahwa bermakna(15). Pada kelompok penderita artritis rematoid dengan
salah satu faktor yang mempengaruhi sensitivitas dari suatu uji faktor rematoid yang positif, memang terdapat aktivasi poli-
serologik adalah besarnya molekul antigen yang dipakai. De- klonal dari limfosit B, sehingga rangsangan ringan oleh antigen
ngan lebih luasnya permukaan kontak antara antigen dan serum TB yang pada orang normal hanya menyebabkan pembentukan
atau reagensia pada uji ELISA makro, bertambah besar pula IgG spesifik sampai batas atas nilai rujukan, pada penderita
kemungkinan antigen untuk mengikat antibodi yang sesuai pada dengan faktor rematoid yang positif menyebabkan pembentukan
uji ELISA makro. IgG spesifik sampai di atas batas atas nilai rujukannya.
Adimasta(11) dan Handojo(1) membuktikan bahwa polimeri- Hasil positif semu dengan uji ELISA makro ditemukan pada
seorang ibu hamil (11,1%); ternyata pada pemeriksaan radio- Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan
grafis sesudah melahirkan, didapatkan lesi minimal di parunya bahwa uji ELISA makro memiliki sensitivitas diagnostik
dan memberikan hasil uji PAP-TB yang juga positif. (84,75%) yang lebih tinggi secara bermakna (p < 0,005) daripada
Pada kelompok penderita penyakitparu lain, baik uji ELISA uji ELISA mikro (59,32%) spesifisitas (83,33%) yang tak ber-
makro maupun uji ELISA mikro tak memberikan hasil positif beda bermakna (p > 0,05) daripada uji ELISA mikro (86,11%),
semu. efisiensi diagnostik (84,21%) yang lebih tinggi secara bermakna
(p <0,05) daripada uji ELISA mikro (69,47%), nilai ramal positif
Efisiensi diagnostik uji ELISA-TB
diagnostik (89,28%) yang hampir tak berbeda dengan uji ELISA
Efisiensi adalah gabungan dari sensitivitas dan spesifisitas
mikro (87,5%) dan nilai ramal negatif (76,92%) yang jauh lebih
dari suatu uji laboratorik. Efisiensi uji ELISA makro (84,21%)
tinggi daripada uji ELISA mikro (56,36%).
dalam penelitian ini, secara bermakna lebih tinggi daripada
Dari hasil analisis data yang diperoleh dan pembahasan yang
efisiensi uji ELISA mikro (69,47%) dan hampir sama dengan
dilakukan dapat ditarik kesimpulan bahwa uji ELISA makro-
efisiensi uji imunoperoksidase tak langsung (IIPO; 82,35%).
TB merupakan sarana diagnostik yang cukup andal untuk diagnosis
Walaupun nilai ramal positif dari kedua uji ELISA ini hampir tak
tuberkulosis paru, namun interprestasi hasilnya pada penderita-
berbeda, nilai ramal negatif dari uji ELISA makro jauh lebih
penderita dengan penyakit kusta tipe L dan penderita-penderita
tinggi daripada uji ELISA mikro.
dengan faktor rematoid positif perlu dilakukan dengan hati-hati.
Dan hasil analisis data yang diperoleh dan pembahasan
yang dilakukan dalam penelitian ini, dapat ditarik kesimpulan KEPUSTAKAAN
bahwa uji ELISA makro-TB merupakan sarana diagnostik yang
cukup andal untuk TB paru dengan sensitivitas diagnostik 1. WHO Regional Office for South-East Asia. Tuberculosis control in Indo-
(84,75%) yang lebih tinggi secara bermakna (p < 0,005) daripada nesia 1952 – 1965. Report on WHO Project: SEARO 0003 and Indonesia
uji ELISA mikro-TB (59,32%), dengan spesifisitas diagnostik 0050, 1968.
2. Handojo RA. Review hasil-hasil penelitian mengenai tuberkulosis para.
(83,33%) yang hampir tak berbeda (p> 0,05) daripada uji ELISA Laporan kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
mikro (86,11%) dan dengan efisiensi diagnostik (84,21%) yang Dep. Kes. RI Balai Pemberantasan PenyakitParu-Paru (BP4) Malang 1978.
lebih besar secara bermakna (p < 0,005) daripada uji ELISA 3. Gunardi AS. Pemberantasan Penyakit TB pant di Indonesia. Maj Kedokt
mikro (69,47%). Walaupun demikian, penulis menekankan bahwa Indon 1984; 34: 61-65.
4. Handojo I. Ujiperoksidasc-antiperoksida se (PAP) pada penyakit tuberkulosis
evaluasi hasil uji ELISA makro-TB perlu dilakukan dengan hati- pans. Surabaya, Indonesia: Universitas Airlangga, 198. 213 pp. Disertasi.
hati, terutama bila menyangkut penderita dengan penyakit kusta 5. Kardjito T, Handojo I, Grange JM, Mauch H. Elisa sebagai alat pengukur
tipe L dan penderita dengan artritis rematoid atau dengan faktor antibodi terhadap antigen Mycobacterium pada tuberkulosis pam. Kum-
rematoid yang positif. pulan Naskah Ilmiah Konas IAPI ke VIII. 1984.
6. Voller A, Bidwell DE, Barlett A. The enzyme linked immunosorbent assay
(ELISA). A guide with abstracts of microplate application. 1st ed. London:
RINGKASAN Dynatech Europe, Borough House, 1979: 35–38.
7. Tijssen P. Practice and theory of enzyme immunoassay. 1st ed.
Penelitian klinis ini dilakukan terhadap 59 penderita TB Amsterdam: Elsevier, 1985 : 88–89 and 393-411.
8. Galens RS. Application of the predictive value model in the analysis of test
paru aktif dewasa (lebih dan 15 tahun) dengan BTAdahak positif effectiveness. Cllin Lab Med 1982; 2: 685-690.
(35 dengan biakan dahak dan uji PAP-TB positif dan 24 dengan 9. Handojo I. Recent development in the clinical usage of peroxidase-anti-
biakan dahak negatif dan uji PAP-TB positif), 34 perawat sehat peroxidase (PAP) test in pulmonary tuberculosis. Proc Intemat Symp.
dan 36 penderita penyakit lain bukan TB yang datang berobat ke Update on pulmonary diseases. 1989 : 47-61.
10. Schuurs AHMW, Van Weeman BK. Enzyme Immunoassay (Review). Clin
Balai Pemberantasan Penyakit Paru (BP4) di Malang atau pusat Chem Acta 1977; 81: 1–140.
kesehatan yang lain. Tujuan dari penelitian ini ialah untuk 11. Adimasta MR. Studi perbandingan antara polimerdan non-polimer antigen
mengetahui nilai klinis dari uji ELISA makro-TB pada penyakit pada hasil uji immunoperoksidase dalam serodiagnosa penyakit tuberkulosis
TB paru. pan'. Skripsi di Fakultas Farmasi Universitas Airlangga Surabaya 1984.
12. Chaparas SD. Immunity in tuberculosis. Bull WHO 1982; 60(4): 447-462.
Pada sera dari semua penderita dan perawat tersebut di atas, 13. Nassau E, Merrick AJ. The fluorescent antibody test in human
dilakukan uji ELISA makro dan uji ELISA mikro, untuk menen- tuberculosis. A pilot study. Tubercle 1970; 51: 430–436.
tukan kadar IgG spesifik terhadap M. tuberculosis dengan 14. Benyamin RG, Daniel TM. Serodiagnosis of tuberculosis using the enzyme-
menggunakan sitoplasma dari ultrasonicated M. tuberculosis linked immunosorbent assay (ELISA) of antibody to mycobacterium
tuberculosis antigen 5. Am Rev Respir Dis 1982; 126: 1013–1016.
var bovis BCG sebagai antigen dan dengan metoda dari Kardjito 15. Ivanyi J. Pathogenic and protective interactions in mycobacterial infec-
sebagai cara pemeriksaan uji ELISA. tions. Clin Immunol Allerg 1986; 6: 127–157.
Metoda Sederhana
Pengukuran Kebisingan Lingkungan
Sukar
Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUAN BEBERAPA PENGERTIAN


Dalam rangka pelaksanaan Program Penyehatan Lingkung- 1) Sound level meter atau SLM adalah alat ukur kebisingan.
an Pemukiman (PLP) periode Repelita V, Direktorat Penyehatan 2) Weighting network atau pembobotan adalah rangkaian
Lingkungan Pemukiman, Dep Kes. mengupayakan peningkatan elektronik yang kepekaannya berubah-berubah sesuai dengan
pengawasan kualitas lingkungan. Pokok kegiatan yang dilak- perubahan frekuensi telinga manusia.
sanakan adalah melakukan pemantauan parameter kualitas Ada 3 macam pembobotan yang telah distandarisasi secara
lingkungan yang dapat menimbulkan dampak negatif terhadap intemasional yaitu A, B dan C. Pembobotan A mendekati ke-
kesehatan. samaan pada tingkat kebisingan rendah, sedang B pada tingkat
Salah satu parameter kualitas lingkungan yang perlu segera kebisingan sedang dan C pada tingkat kebisingan tinggi.
dipantau adalah kebisingan lingkungan. Berdasarkan laporan Dewasa ini hanya pembobotan A digunakan secara meluas,
tahunan Direktorat PLP Dep Kes. tentang adanya gangguan ke- karena B dan C tidak mencerminkan hubungan yang sesuai
bisingan di berbagai tempat seperti kegiatan pabrik pendinginan dengan pengujian-pengujian subjektif.
udang di Ujung Pandang, Pabrik Ban di Bogor, Penggilingan 3) Background noise level atau tingkat kebisingan sekitar
padi di Cianjur, bengkel sepeda motor di Medan menunjukkan adalah tingkat kebisingan suatu zona yang belum terpengaruhi
bahwa terdapat berbagai sumber potensial penyebab kebisingan oleh kebisingan buatan, dengan kata lain adalah tingkat bunyi
lingkungan yang merisaukan masyarakat(1). alami.
Kebisingan merupakan salah satu polutan yang sering 4) Noise mapping atau pemetaan kebisingan adalah suatu
mendapat protes dan pada umumnya merupakan hasil samping sketsa yang sangat teliti yang menggambarkan letak relatif dari
pemanfaatan teknologi(2). semua titik sampling kebisingan. Ke dalam sketsa ini ditambah-
Sumberkebisingan dapat berasal dari mesin-mesin di pabrik, kan data tingkat kebisingan di sekitar titik sampling kebisingan.
pesawat terbang yang melintas di angkasa hingga sistim suara di 5) Noise dose atau dosis kebisingan adalah potensi kebisingan
rumah kita sendiri; di daerah perkotaan khususnya di daerah yang merusak pendengaran yang tidak tergantung kepada
pemukiman telah diketahui bahwa sumber utama kebisingan tingkatnya, melainkan juga kepada lamanya kebisingan ber-
adalah lalu lintas jalan, terutama kendaraan bermotor. langsung.
Secara umum setiap pengukuran kebisingan akan melibat- 6) DeciBel (dB) adalah satuan tingkat kebisingan. Jumlah dB
kan tiga aktifitas yaitu sumber kebisingan, pengukuran kebis- adalah 10 kali logarithma (dasar 10) dari perbandingan.
ingan dan penerima kebisingan. Ketiga aktifitas itu, satu sama 7) dBA adalah satuan tingkat kebisingan; diperoleh bila
lain saling berkaitan, sehingga pengertian ketiganya diperlukan menggunakan alat ukur SLM pada filter pembobotan A, dengan
sebelum kita mencoba menyelesaikan masalah pengukuran ke- respons terhadap frekuensi SLM mendekati respon telinga.
bisingan(1,3,4). 8) Level Equivalent (Leq) atau tingkat kebisingan sinambung
Dalam tulisan ini akan diperkenalkan metoda sederhana setara adalah tingkat kebisingan ajeg (steady noise) yang sama
pengukuran, perhitungan dan laporan kebisingan lingkungan. dengan kebisingan fluktuatif dalam suatu periode/interval waktu
pengukuran tersebut(4,5). lain dengan frekuensi lain, harap diperhatikan koreksi terhadap
rangkaian pembobotan A. Bila dipakai piston phone 124 dBA,
ALAT UKUR KEBISINGAN 250 Hz, maka penunjukan alat ukur haruslah (124–8.6) = 115,4
Untuk mengukur tingkat kebisingan dipakai alat yang di- dBA.
sebut sound level meter atau SLM. SLM memberikan respons Mat ukur dan kalibrasi seperti tersebut di atas merupakan
kira-kira sama dengan respons telinga manusia dan memberikan peralatan yang dipakai untuk pengukuran. Peralatan lain seperti
pengukuran objektif serta bisa diulang-ulang tiap tingkat ke- octave filter, level recorder, tape recorder, statistical analyzer
bisingan. Pada umumnya SLM mempunyai pembobotan atau dipakai untuk keperluan rekayasa pengendalian kebisingan,
skala A, B dan C. Untuk pengukuran tingkat kebisingan dipakai sepanjang alat-alat tambahan tersebut tidak akan membebani
skala A. Dalam penggunaannya SLM kadang-kadang di- SLM bila disambungkan. Peralatan tambahan tersebut tidak
hubungkan dengan frequency analyzer. Alat ini berfungsi se- boleh dipakai untuk menganalisis hasil pengukuran di lapangan
bagai filter yang akan memberikan informasi tentang frekuensi dengan tujuan membandingkan dengan baku mutu.
dominan kebisingan. Informasi ini sangat berguna terutama
2. Titik Ukur dan Teknik Pengukuran
dalam rangka pengendalian kebisingan(5).
Titik Ukur
1) Pada dasarnya pengukuran dilakukan di tempat di mana ter-
METODA PENGUKURAN
dapat keluhan, atau di mana dilakukan pemantauan secara per-
Metoda pengukuran kebisingan lingkungan dan kasus kebi-
manen. Tidak diizinkan untuk melakukan pengukuran di tempat
singan di masing-masing zona peruntukan, dilaksanakan sesuai
di mana sehari-hari sama sekali tidak pernah ada orang lalu
dengan Keputusan Dirjen PPM dan PLP No. 70-I/PD.03.04.LP
lalang.
tahun 1992 tentang Petunjuk Pengawasan Kebisingan yang
2) Pengukuran harus dilakukan di tempat terbuka, berjarak 3
Berhubungan dengan Kesehatan, dan metoda pengukuran dan
meter dari dinding-dinding untuk menghindari pantulan. Kalau
analisis kebisingan lingkungan Puslitbang KIM-LIPI(4,5).
hal ini tidak mungkin, maka diizinkan untuk melakukan peng-
ukuran pada jarak 0,5 meter di depan jendela terbuka.
ANALISIS HASIL PENGUKURAN
3) Tinggi alat ukur sekitar 1,2 meter di atas tanah, harus dipa-
Kebisingan lingkungan umumnya adalah kebisingan yang
sang pada statif. Dalam keadaan apapun tidal( diizinkan untuk
berubah-ubah dengan waktu, maka harus dianalisis selama 24
memegang alat ukur terus menerus, kecuali pada saat mengubah
jam. Artinya tingkat kebisingan sinambung setara harus dihitung
control attenuator pada alat ukur. Jarak antara badan operator
24 jam, yang selanjutnya level siang-malam disebut Lsm. Nilai
dan alat ukur harus cukup jauh agar tidak terjadi pantulan.
Lsm inilah yang kemudian dibandingkan dengan nilai baku
Teknik Pengukuran
tingkat kebisingan seperti pada Permenkes No. 718/1987. Lsm
1) Cara pengukuran sederhana memerlukan 2 orang operator,
dapat dihitung dengan rumus :
satu orang untuk membaca alat ukur, dan satu orang untuk
1 0,1Ls 0,1(Lm+10) memberi aba-aba membaca dan mencatat hasil pengukuran.
Lsm = 101og –––– [ 16.10 + 8.10 ] dBA
24
2) Pengukuran dilakukan pada pembobotan "A" dan waktu
di mana : Lsm = Leq selama 24 jam fast. Sebelum pengukuran, alat harus dikalibrasi dengan sound
Lm = nilai Leq pada siang hari (16 jam) level calibrator (SLC) atau piston phone dan baterai harus pada
Ls = nilai Leq pada malam hari (8 jam) kondisi penuh atau masih diizinkan (normal).
Lm + 10 menyatakan bahwa hasil pengukuran di malam hari ditambah 10 dB
sebagai pembebanan atau koreksi khusus.
3) Pengukuran dilakukan dengan cara pengambilan sampel
sebagai berikut :
Mengingat kebisingan lingkungan bersifat fluktuatif ter- • Sampel sebanyak 120 diperoleh dari waktu pembacaan tiap
hadap waktu, maka untuk menghitung Ls dan Lm, harus diambil 5 detik selama 10 menit, pada selang waktu tertentu. Misal antara
sampel-sampel pengukuran selang waktu tertentu, yang dipan- puku106.00–07.00 atau L6,7.
dang mewakili tingkat kebisingan sinambung setara. • Jumlah sampel sepanjang hari minimal sebanyak 120 sam-
pel, dengan perincian 9 sampel siang hari dan 3 sampel malam
0,1L1 0,1L6
Ls = 10 log 1/16 [ T110 + ... T610 ] dBA
hari (Tabel 1).
0,1L7 0,1L9 Dalam hal kebisingan diduga amat fluktuatif sehingga sulit
Lm = 10 log 1/8 [ T710 + ... T910 ] dBA untuk menetapkan sampel mana yang dapat mewakili suatu
interval waktu tertentu, dianjurkan agar sampel diambil setiap
METODA PENGUKURAN SEDERHANA
jam, sehingga jumlah keseluruhan 24 sampel.
1. Standar Alat Ukur, Peralatan dan Kalibrasi 4) Pengukuran harus dilakukan pada cuaca yang cerah, tidak
Cara ini memerlukan alat SLM dan 2 orang operator. Di- hujan, kecepatan angin tidak terlalu besar. Sebagai pengaman,
anjurkan agar SLM yang digunakan kelas 1 (precision) atau pada mikropon harus selalu dipasang pelindung angin (wind-
serendah-rendahnya kelas 2 dan memenuhi standar SII-2025-86. screen).
Kalibrasi dilakukan setiap kali akan melakukan pengukuran. 5) Bila pada saat mengukur terjadi gangguan yang semestinya
Alat untuk kalibrasi dianjurkan adalah dari jenis piezoelectric tak terjadi, misalnya suara pesawat terbang (kecuali di daerah
yang menghasilkan 94 dB pada 1.000 Hz. Bila digunakan alat sekitar lapangan terbang) dan suara geledek, maka sampel di-
Tabel 1. Waktu dan Jumlah Pengambilan Sampel 1 8 0,1.Le
Lm = 10 log ––– є te.10 dBA
Siang Hari Malam Hari 8 e=1
No. Lm = tingkat kebisingan malam hari (8 jam)
Antara Pukul Jumlah Sampel Antara Pukul Jumlah Sampel te = jumlah jam di mana tingkat kebisingan Lm berlangsung.
1. 06.00–09.00 2 22.00–24.00 1
2. 09.00–12.00 2 24.00–03.00 1
3. 12.00–14.00 1 03.00–06.00 1 • Menghitung Lsm, dengan rumus :
4. 14.00–16.00 1
5. 16.00–18.00 1 1 0,1.Ls 0,1(Lm+10)
6. 18.00–20.00 1 Lsm = 10 log ––– [ 16.10 + 8.10 ] dBA
7. 20.00–22.00 1 24

Jumlah 9 3 Catatan
1. Bunyi kejut yang nyata terdengar misalnya bunyi palu, harus dibaca
langsung, dan tidak perlu penambahan koreksi 6 dB.
2. Bunyi kejut yang ada, namun tak terukur (misalnya ketukan pada mesin
batalkan dan harus diambil sampel baru path interval waktu itu generator) harus ditambah koreksi 3 dB. Nilai koreksi ini ditambahkan pada nilai
Li.J pada jam i dan j di mans ketukan terdengar.
juga, atau keesokan harinya. 3. Bunyi nada murni harus ditambah koreksi 6 dB, dan penambahan dilaku-
6) Hasil pengukuran untuk tiap sampel dituliskan dalam format kan pada nilai Li j pada interval i dan j di mana bunyi nada mumi terdengar.
seperti terlihat pada Tabel 2. 4. Bila dalam interval waktu tertentu, terdengar bunyi sesaat (single event)
yang melampaui 30 dB di atas tingkat gbising Li j pada siang hari, atau me-
Tabel 2. Tingkat kebisingan L6.7 lampaui 20 dB di malam hari, maka bunyi sesaat tersebut dipandang sudah
melampaui baku mutu.
Ke Tingkat Kebisingan (dBA)
1 60 61 62 63 65 68 70 71 72 73 75 78 PELAPORAN
2 65 62 65 67 63 64 61 62 59 67 57 77 Pengukuran di daerah industri, baku mutu 70 dBA.
3 63 72 70 71 59 58 61 62 60 63 64 58 Keluhan : Generator selalu dihidupkan antara pukul
4 70 68 62 65 72 73 75 77 78 67 68 69 10.00-14.00. Akan dihitung Lsm dan dibandingkan dengan baku
5 72 66 59 59 58 59 59 61 59 71 68 70
6 57 60 70 69 57 62 64 66 68 69 70 59
mutu.
7 55 59 63 70 71 73 56 57 58 64 61 60 Pemecahan : Ditetapkan untuk diambil sampel tiap jam. Di
8 72 62 65 59 60 61 57 58 59 60 65 68 sini hanya diberikan suatu contoh saja untuk menghitung L6,7
9 70 64 67 61 60 59 58 72 73 74 59 70 (i=6, j=7), selanjutnya untuk menghitung Lsm(4,6-9).
10 68 65 68 62 61 60 58 57 59 64 65 67 1) Tingkat kebisingan L6,7, dimasukkan ke dalam Tabel 2.
2) Data dikelompokkan dengan interval 5 dBA (Tabel 3).
Tabel 3. Pengelompokan Data Interval 5 dBA
3. Menghitung Tingkat Kebisingan tiap jam (Li,j), siang
Nomor Interval Frekuensi
hari (Ls), malam hari (Lm), dan siang-malam (Lsm).
1) Setelah hasil pengambilan sampel dimasukkan ke dalam 1 55 – 60 29 sampel
Tabel 2, maka harga Li,j dihitung sebagai berikut : 2 60 – 65 32 sampel
– Kelompokkan ke-120 sampel dalam interval 5 dB. Li,j dapat 3 65 – 70 29 sampel
4 70 – 75 24 sampel
dihitung dari rumus : 5 75 – 80 6 sampel

1 N 0,1.Lk 3) Lij dihitung dengan rumus :


Lij = 10 log –––– є nk.10 dBA
120 k=1
Lij : tingkat kebisingan interval jam i dan j 7,75 7,25 6,75 6,25
nk : jumlah sampel yang mempunyai nilai Lk. L6,7 = 10 log 1/120 [ 6.10 + 24.10 + 29.10 + 32.10 +
Untuk selanjutnya ulangi untuk harga Lij pada interval waktu yang lain. 5,75
29.10 ] dBA = 59,88 dBA

2) Setelah semua harga Lij dihitung maka harga Ls, Lm dan


Untuk penghitungan Lsm, maka dapat diberikan contoh seperti
Lsm dapat diselesaikan.
di bawah sesuai dengan teknik pengukuran; setelah dihitung
• Menghitung Ls (siang hari), selama 16 jam dengan rumus :
1 16 0,1.Le dengan cara di atas didapat sebagai berikut (Tabel 4) :
Ls = 10 log ––– є te.10 dBA 4) Menghitung Ls dan Lm dari contoh data di atas.
16 e=1
Ls = tingkat kebisingan siang hari (16 jam) 6,92 70,4 7,52 7,54 95,2 6,43
te = jumlah jam di mana tingkat kebisingan Ls berlangsung. Ls = 10 log 1/16 [10 +10 +10 +10 +10 +10 +
7,02 6,85 6,28
10 +10 +10 ] = 65,1dBA
• Menghitung Lm (malam hari), selama 8 jam dengan ru- 5,54 5,04 6,15
mus : Lm = l0 log l/8 [10 + 10 + 10 ] = 46,8 dBA
0,1.Ls 0,1(Lm+10) nya laporan tersebut data yang didapat tidak akan berguna.
Lsm = 10 log 124 [16.10 + 8.10 ] = 56 dBA
Dari kesimpulan di atas, dapat disarankan bahwa dengan
peralatan dan perhitungan sederhanapun akurasi hasil tidak kalah
Tabel 4. Hasil Perhitungan Tingkat Kebisingan
dengan penggunaan alat automatik. Selanjutnya dengan mem-
Siang Malam bandingkan harga SLM automatis tiga kali harga alat sederhana,
Nomor diharapkan para pelaksana memilih alat sederhana, dengan catat-
Interval dBA Interval dBA
an perhitungannya benar. Dan dengan SLM sederhana data yang
1 06.00-07.00 69,2 22.00-24.00 55,8
didapat lebih banyak, sehingga kesalahan sampling dan per-
2 08.00-09.00 70,4 24.00-03.00 50,4
3 09.00-10.00 75,2 03.00-06.00 61,5 hitungan dapat terabaikan.
4 11.00-12.00 75,4
5 12.00-14.00 95,2 KEPUSTAKAAN
6 14.00-16.00 64,3
7 16.00-18.00 70,2 1. Dir-Jen PPM & PLP, Dep.Kes. Rencana Kegiatan Pengawasan Kebisingan
8 18.00-20.00 68,5 yang Berhubungan dengan Kesehatan Masyarakat, Pelatihan Petugas
9 20.00-22.00 62,8 Pengawas Tingkat Kebisingan, KLKM-Kalasan, Yogyakarta, 13-31
Oktober 1992.
2. Subagio. Pen gukuran dan Penilaian Kebisingan, Staf PengajarJurusan
Teknik Mesin, UGM, Yogyakarta, 13-31 Oktober 1992.
KESIMPULAN DAN SARAN 3. Menteri Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia,
tentang Kebisingan yang Berhubungan dengan Kesehatan,
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa : No.718/Men.Kes/ Per/XI/1987.
• Untuk melaksanakan pengukuran kebisingan lingkungan 4. Dir-Jen. PPM dan PLP, Dep.Kes. Keputusan Dir-Jen PPM & PLP-
perlu mendalami beberapa istilah yang berhubungan dengan Dep.Kes, tentang Petunjuk Penyelenggaraan Pengawasan Kebisingan yang
Berhubungan dengan Kesehatan, 1992.
pengukuran. 5. Perwakilan Bruel & Kjaer. Pengukuran Suara, P.T.P.D. Bah Bolon
• Harus mampu memilih dan membandingkan alat mana Trading Co, J1. Tanah Abang IV/17, Jakarta, 1985.
yang seharusnya digunakan. Hal ini akan menentukan metoda 6. Balai Pelayanan Ergonomi Kesehatan dan Keselamatan Kerja, Departemen
mana yang harus digunakan, sehingga akan memudahkan dalam Tenaga Kerja Propinsi D.I. Yogyakarta. Teknik Pemeriksaan Kebisingan
di Perusahaan, Pelatihan Petugas Pengawas Tingkat Kebisingan, KLKM
menganalisis. Kalasan, Yogyakarta, 13-31 Oktober 1993.
• Langkah-langkah dan persyaratan dalam melakukan peng- 7. International Organization for Standardization. ISO Recommandation R-
ukuran harus dipahami benar. Sebab kesalahan lokasi pemasang- 19996, Acoustics, Assesment of Noise, With Respect to Community Re-
an, peralatan, perhitungan akan menyebabkan kesalahan data sponse, 1st Ed, Switzerland. May, 1971.
8. Koesoemawardana M. Lokakarya Baku ukur Air, Udara dan Kebisingan
selanjutnya. Lingkungan, Makalah I, Penerapan Baku Ukur Kebisingan Lingkungan di
• Setelah melakukan sampling, data dikelompokkan, dihitung Surabaya, Denpasar, Kupang, Ujung Pandang dan Medan, Puslitbang
tingkat kebisingan sinambung setara. Setelah itu baru di- KIM-UPI, Jakarta 19-20, 1992.
9. Koesoemawardana M. Pengembangan Baku Mutu dan Upaya Pemantauan
bandingkan dengan baku mutu yang masih berlaku. Kebisingan, Getaran dan Cahaya, Bidang Metrologi Akustik, Puslitbang
• Laporan akhir dari semua kegiatan harus dibuat, tanpa ada- KIM-UPI, Jakarta, 19-20 Februari 1992.

Never fear shadows, they simply means there's fight shining


somewhere nearby
Kandungan Cadmium (Cd)
pada Ikan Laut Segar
di Muara Baru, Jakarta, 1991
Djarismawati, Riris Nainggolan
Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK

Ikan laut segar merupakan bahan makanan yang banyak digemari masyarakat; oleh
karena itu antara lain perlu dicari informasi untuk mengetahui seberapa jauh kandungan
Cadmium (Cd) di dalarrr tubuh ikan. Dengan demikian masyarakat yang gemar makan
ikan laut segar dapat terhindar dari kontaminasi logam Cadmium (Cd).
Penelitian ini bersifat eksploratif untuk mengetahui tingkat kontaminasi logam
Cadmium (Cd) pada ikan laut segar dan melihat adanya hubungan antara berat ikan
dengan kandungan Cadmium. Sampel ikan yang diambil dari tempatpelelangan di Muara
Baru diberi es dan dimasukkan ke dalam thermos, kemudian dibawa ke Laboratorium.
Sebelum pemeriksaan dilakukan destruksi dengan penambahan H2SO4, H2O2 dan akua-
des. Kemudian kadar Cadmium diukur dengan AAS.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar Cadmium berkisar antara 0,21 ppm –
0,70 ppm pada ikan bawal yang sudah melebihi Nilai Ambang Batas (0,2 ppm). Kadar
Cadmium pada ikan bandeng sebagian besar juga sudah melampaui Nilai Ambang Batas,
yaitu berkisar antara 0,15 ppm – 0,35 ppm; demikian pula kadar Cadmium (Cd) pada
sebagian besar ikan kembung yang berkisar antara 0,15 ppm – 0,35 ppm. Hasil uji
statistik dengan korelasi product moment antara berat ikan dengan besarnya kandungan
Cadmium ternyata tidak ada hubungan.
Dari penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa beberapa jenis ikan laut segar
yang dijual di tempat pelelangan ikan Muara Baru Jakarta sudah banyak yang terkon-
taminasi dengan logam berat Cadmium (Cd). Untuk itu perlu peningkatan pengawasan
oleh pemerintah atas industri yang membuang limbahnya ke sungai.

PENDAHULUAN bandingkan dengan tingkat konsumsi ikan darat segar(1).


Ikan laut segar merupakan bahan makanan yang banyak Di lain pihak diketahui adanya kecenderungan meningkat-
digemari oleh masyarakat dan merupakan sumber protein yang nya pencemaran logam berat dari tahun ke tahun di perairan
sangat baik sebagai bahan pelengkap yang ideal bagi jenis Teluk Jakarta. Hal ini dapat berakibat meningkatnya kandungan
makanan biji-bijian dan serat yang pada umumnya banyak di- logam berat pada ikan di sekitar perairan Teluk Jakarta yang
konsumsi masyarakat Indonesia. Ikan juga merupakan sumber banyak dikonsumsi oleh masyarakat.
vitamin dan lemak tidak jenuh yang cukup baik dan dapat me- Salah satu logam berat yang berbahaya bagi tubuh manusia
ningkatkan gizi masyarakat. Tingkat konsumsi ikan laut segar dan terkandung dalam bahan makanan yang tercemar adalah
menurut survai Dinas Pertanian Jakarta mencapai 57% di- Cadmium (Cd). Bila ikan yang dikonsumsi masyarakat mengan-
dung Cadmium (Cd) dan dikonsumsi dalam jangka waktu yang Tabel 1. Kandungan Cadmium Ikan Bawal di Muara Baru Jakarta, 1991
lama, maka akan terjadi akumulasi logam Cadmium (Cd) pada Pemeriksaan I Pemeriksaan II Pemeriksaan III
tubuh manusia, yang kemungkinan besar dapat menimbulkan
keracunan, kerusakan ginjal, kerusakan pada sistem saraf dan Nomor Urut Berat Kadar Berat Kadar Berat Kadar
ikan Ikan Cd titan Cd Ikan Cd
hilangnya kalsium pada tubuh(2,3). (g) (ppm) (g) (ppm) (g) (ppm)
Meningkatnya pencemaran perairan Teluk Jakarta terutama
di Muara Baru tidak terlepas dari kemajuan pembangunan di 1 84 0,70 100 0,29 120 0,40
bidang industri. Keadaan ini sebenarnya dapat dihindari melalui 2 82 0,50 98,5 0,21 119 0,35
3 80 0,40 102 0,29 119 0,30
pembangunan berwawasan lingkungan yang dikenal dengan 4 80,5 0,50 100 0,25 120 0,30
pembangunan berkelanjutan. Dalam hal ini pembangunan dapat 5 81,5 0,40 100 0,25 120 0,35
terlaksana secara berkesinambungan, sehingga dapat me-
Edible Part 45 60 60
ningkatkan kesejahteraan penduduk dan masyarakat, tanpa
mengurangi kemampuan sumber alam dan lingkungan untuk Rata-rata 81,6 0,50 100,1 0,26 119,6 0,34
menghidupi generasi masa depan. Dalam konsep ini terlihat
keterkaitan timbal balik yang sangat erat antara tiga unsur yaitu: Dari 15 sampel yang diperiksa, terlihat 100% sampel ikan
manusia, lingkungan hidup dan pembangunan(4). Sehubungan Bawal mengandung kadar Cadmium yang telah melebihi Nilai
dengan itu perlu dilihat kecenderungan peningkatan logam Ambang Batas yang sudah ditentukan FAO/WHO (0,2 ppm)(5)
berat Cadmium pada ikan laut segar yang banyak dikonsumsi (Tabel 1).
manusia, jenis ikan laut segar yang memiliki kandungan logam Hasil penelitian (tabel 2) menunjukkan kadar Cadmium
Cadmium lebih besar dan hubungan antara berat ikan dengan tertinggi adalah 0,35 ppm dengan berat ikan antara 79-102 gram,
kadar Cadmium. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk sedangkan kadar Cadmium terendah 0,15 ppm dengan berat ikan
menentukan langkah yang harus dilakukan untuk mencegah 78 gram. Hampir semua (93,3%) sampel ikan Bandeng me-
timbulnya masalah kesehatan pada manusia yang mengkon- nunjukkan kadar Cadmium yang sudah melewati Nilai Ambang
sumsi ikan tersebut. Batas (0,20 ppm).
Tabel 2. Kandungan Cadmium Ikan Bandeng di Muara Baru Jakarta,
BAHAN DAN CARA 1991
Pengambilan sampel ikan laut segar dilakukan di Tempat
Pelelangan Wan di Muara Baru Jakarta Utara berupa jenis ikan Pemeriksaan I Pemeriksaan II Pemeriksaan III
Bawal, Bandeng dan Kembung. Wan yang diambil sebagai Nomor Urut Berat Kadar Berat Kadar Berat Kadar
sampel mempunyai berat antara 40-120 gram. Jumlah sampel titan Ikan Cd Ikan Cd Ikan Cd
yang diperiksa45 ikan dengan 3 jenis dan frekuensi pemeriksaan (g) (ppm) (g) (ppm) (g) (ppm)
3 kali. Sampel ikan yang diambil pada pagi hari dimasukkan ke 1 60 0,28 80 0,35 102 0,35
dalam peti es agar ikan tetap segar. Di laboratorium, dilakukan 2 61 0,28 78 0,15 101 0,25
destruksi bagian yang dapat dimakan, ditimbang kemudian 3 61 0,33 80 0,30 101 0,35
dimasukkan ke dalam botol Erlenmeyer, lalu ditambahkan 25 ml 4 60 0,28 79 6,25 101,5 0,35
H2SO4 pekat dan didihkan dengan penambahan batu didih selama 5 60,5 0,28 79 0,35 100 0,30
4 jam; untuk mempercepat oksidasi ditambahkan N2S2 sedikit Edible Part 45 50 50
demi sedikit yang berfungsi sebagai oksidator. Kemudian di- Rata-rata 60,5 0,29 79,2 0,28 101,1 0,32
dinginkan dan disaring dengan kertas saring.
Selanjutnya diukur kadar logam berat Cadmium dengan Tabel 3. Kandungan Cadmium Ikan Kembung di Muara Baru Jakarta,
Atomic Absorbtion Spectrophotometer (AAS) yang dikonversi- 1991
kan dalam satuan ppm dengan rumus sebagai berikut :
Pemeriksaan I Pemeriksaan II Pemeriksaan III
250 ml 1000 gram
Nomor Urut
ppm Cd terdeteksi x ––––– x –––––––––––––– titan Berat Kadar Berat Kadar Berat Kadar
1000 ml gram edible part titan Cd Ikan Cd Ikan Cd
(g) (ppm) (g) (ppm) (g) (ppm)
1 40 0,28 61 0,25 79 0,35
HASIL DAN PEMBAHASAN 2 42 0,44 64 0,30 78 0,20
3 41 0,28 62 0,25 78 0,15
Hasil penelitian kandungan Cadmium pada ikan taut segar 4 38 0,22 62 0,25 79 0,25
di Muara Baru Jakarta dapat dilihat pada tabel 1. 5 38 0,30 61 0,25 81 0,30
Berat sampel ikan yang diperiksa berbeda setiap waktu
Edible Part 25 50 50
pengambilan karena akan dilihat korelasi antara berat ikan de-
ngan kandungan Cadmium. Kadar Cadmium tertinggi pada ikan Rata-rata 39,8 0,30 62 0,26 79. 0,25
Bawal ialah 0,70 ppm dengan berat ikan 84 gram, sedangkan
kadar Cadmium terendah 0,21 ppm pada ikan Bawal dengan Pada tabel 3 terlihat kadar Cadmium tertinggi 0,44 ppm
berat 98,5 gram. pada Kembung yang beratnya 42 gram, sedangkan kadar
Cadmium tcrendah 0,15 ppm dcngan berat Kembung 78 gram. Dari gambaran di alas dapat dilihat bahwa hasil nilai per-
Hampir semua sampel ikan Kembung (93,3%) menunjukkan 0,36 0,30
kadar Cadmium di atas Nilai Ambang Batas (0,20 ppm). bandingan untuk ikan Bawal–––– = 0,0036, Bandeng–––– =
Dari hasil penelitian kandungan Cadmium pada ikan laut 100,45 80,26
segar di Muara Baru Jakarta terlihat bahwa semua sampel ikan 0,27
laut segar sudah terkontaminasi dengan logam Cadmium. Dari 0,0037 dan Kembung ––––– = 0,0045.
45 sampel ikan (Bawal, Bandeng dan Kembung), hanya 2 sampel 60,26
(4,4%) yang tidak melewati Nilai Ambang Batas (0,2 ppm). Dari hasil perbandingan tersebut dapat diketahui bahwa ikan
Unsur logam berat Cadmium dapat masuk ke dalam tubuh Bawal lebih aman untuk dikonsumsi bila dibandingkan dengan
ikan melalui rantai makanan, insang dan diffusi permukaan Bandeng dan Kembung. Ikan laut segar yang sudah terkontami-
kulit(6). Tingginya kadar Cadmium dalam tubuh ikan laut segar nasi dengan logam Cadmium dalam kadar yang cukup tinggi dan
tidak terlepas dari tingginya kadar Cadmium di dalam air laut dan dimakan oleh masyarakat secara terus-menerus dapat meng-
endapannya. Logam berat Cadmium di perairan akan meningkat akibatkan gangguan kesehatan antara lain merusak ginjal, te-
bila limbah yang banyak mengandung logam berat masuk ke kanan darah tinggi, kerusakan pada hati, gangguan sistem saraf
perairan. Limbah ini bisa berasal dari aktivitas taut dan darat. pusat serta berkurangnya sel-sel darah merah.
Salah satu aktivitas di darat ialah industri, karena banyaknya Dampak akumulasi Cadmium pada manusia sangat lama
industri yang menggunakan logam berat Cadmium sebagai ba- yaitu antara 5–10 tahun bahkan yang terjadi di Jepang setelah 30
han baku, maka limbah dari industri pun banyak mengandung tahun(9).
logam berat Cadmium(7).
Dari hasil uji statistik dengan korelasi product moment yaitu KESIMPULAN DAN SARAN
dengan mengkorelasikan berat ikan dengan besarnya kandungan Dari hasil dan pembahasan penelitian kandungan Cadmium
Cadmium menghasilkan koefisien korelasi pada ikan Bawal pada ikan segar di Muara Baru Jakarta ini dapat diambil kesim-
sebesar: -0.1604, Bandeng +0,04666, Kembung -0,01290. De- pulan sebagai berikut :
ngan melihat angka koefisien korelasi tersebut ternyata tidak ada 1) Ikan laut segar dari TPI Muara Baru Jakarta yang dikon-
hubungan antara berat ikan segar dengan besarnya kandungan sumsi oleh masyarakat, terutama ikan Bawal, Bandeng dan
Cadmium walaupun beberapa hasil penelitian menunjukkan Kembung telah mengandung logam berat Cadmium yang telah
adanya korelasi. Namun demikian tidak berarti bahwa logam melebihi Nilai Ambang Batas sebanyak 95,6%.
berat Cadmium tidak terakumulasi dalam tubuh ikan. Akumulasi 2) Kandungan Cadmium pada ikan Bawal lebih besar bila
Cadmium yang terjadi dalam tubuh ikan lebih kecil bila di- dibandingkan dengan ikan Bandeng dan Kembung sesuai dengan
bandingkan dengan pertambahan berat ikan karena mendapat berat ikan Bawal. Tapi dari hasil perbandingan kadar Cadmium
pengenceran dari proses pertumbuhan(8). dalam ikan dengan berat ikan, ternyata ikan Bawal dan Bandeng
Pada tabel 1, 2, 3 dapat dilihat bahwa kadar logam berat relatif lebih aman, bila dibandingkan dengan ikan Kembung.
Cadmium pada ikan taut segar sudah melampaui Nilai Ambang 3) Korelasi antara berat ikan dengan besarnya kandungan
Batas; namun demikian dapat ditentukan ikan taut segar mana Cadmium dalam ikan Bawal, Bandeng dan Kembung -0,1604,
yang paling banyak mengandung logam berat Cadmium, dengan +0.4666, -0,0129 yang berarti berat ikan tidak ada hubungannya
memperbandingkan antara rata-rata kadar Cadmium dengan dengan besar kandungan Cadmium.
rata-rata berat badan masing-masing jenis ikan. Berdasarkan kesimpulan di atas dapat diberikan saran-
Gambar 1. Kandungan Cadmium dibandingkan dengan berat ikan
saran :
1) Perlu ditingkatkan pengawasan terhadap pengolahan lim-
bah industri.
2) Perlu diadakan penelitian lebih lanjut mengenai logam
Cadmium pada ikan laut segar berdasarkan areal penangkapan.
3) Sanitasi bahan makanan perlu digalakkan terutama di
tempat-tempat umum agar tidak memperburuk kondisi bahan
makanan yang tersedia.

KEPUSTAKAAN

1. Divas Perikanan Jakarta; Konsumsi Ikan tahun 1989.


2. Sutamihardja RM. Limbah Industri dan Kesehatan Masyarakat Widyapura
No. 3 th VII Juli–Agustus 1990.
3. Forstuer U. Metal Pollution in Aquatic Environment. Berlin-Heilterberg-
New York: Springer Verlag, 1981.
4. M. Alwi Dahlan. Kesehatan dan Pembangunan Berkelanjutan. Seminar
Nasional HAKLI. Jakarta, 29 Januari 1991.
5. World Health Organization. Fish and Shellfish Hygiene. Report of WHO, 8. Horas P Hutagalung. Hubungan antara Kadar Logam Berat dengan Panjang,
Expert Commiue Convemed in Cooperation with FAO, Geneva, 1975. Berat Dian Samgeh. Kongres Nasional Biologi VII, Palembang 29–31 Juli
6. Mandelli E. Monitoring of Trace Elements other than Radio-Nuclides.FAO 1985.
Fisheries Technical Paper No. 150 Part II 1976. 1. Sitting Marshal. Handbook of Toxic and Hazardous Chemical. Park Ridge,
7. Sofyan Yatim. Distribusi Unsur Logam Berat dalam Air Laut Permukaan New Jersey, USA: Novys Publ 1981.
Teluk Jakarta. Laporan Penelitian PAIR BATAN 1980.
Pola Pembiayaan Penderita Rawat Inap
di Paviliun RSUD Pamekasan
IN. Dana Susadi
UPF Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Daerah Pamekasan

ABSTRAK
Pola pembiayaan pemakai jasa rumah sakit pada umumnya terbagi atas 4 kategori,
yaitu : penderita yang membayar sendiri, penderita yang ditanggung olch asuransi
kesehatan pemerintah, penderita yang ditanggung oleh asuransi kesehatan swasta, dan
penderita yang ditanggung olch perusahaan tempat dia bckcrja.
Penelitian terhadap 1098 penderita yang dirawat inap di Paviliun RSUD Pamekasan
pada periode 1 tahun, antara 1 April 1991 sampai dengan 31 Maret 1992, menunjukkan
bahwa pola pembayaran masih didominasi oleh kelompok penderita yang membayar
sendiri, yaitu 903 penderita (82,24%). Secara ekonomis kelompok ini tergolong kelom-
pok yang memiliki risiko tinggi untuk menyebabkan bad debt. Sedangkan 2 kelompok
lainnya, kelompok penderita yang dibayar PHB dan kelompok dibayar perusahaan,
jumlahnya masih jauh lebih sedikit, yaitu masing-masing 187 penderita (17,03%) dan 8
penderita (0,72%).
Masih belum jelas sebabnya mengapa penderita yang pembiayaannya ditanggung oleh
asuransi PHB punya rata-ratahari rawat lebih tinggi, yaitu 7,17 hari, dibandingkan dengan
rata-rata hari rawat penderita yang membayar sendiri (4,33 hari) dan pendcrita yang
ditanggung perusahaan (4,1 hari).

PENDAHULUAN cenderung untuk mempunyai rnasalah dalam pembiayaan ke-


Pola pembiayaan pcmakai jasa rumah sakit pada umumnya giatan operasionalnya.
terbagi atas 4 kategori, yaitu : penderita yang membayar sendiri, Di negara maju yang pembiayaan keschatannya didasarkan
penderita yang ditanggung oleh asuransi kesehatan pemerintah, alas penggantian pihak ketiga, ternyata kelompok pembayar
penderita yang ditanggung oleh asuransi kesehatan swasta, dan sendiri ini memang merupakan masalah dalam pembiayaannya.
penderita yang ditanggung oleh perusahaan tempat dia bekerja. Oleh karena iiu, Rumah Sakit di negara maju tersebut akan ber-
Penderita yang membayar sendiri ditandai dengan tingkat keti- usaha sebanyak mungkin menjaring penderita yang memiliki
dak pastian pembayaran yang relatif lebih tinggi dari ketiga asuransi kesehatan(1). Di Indonesia khususnya, dan di Asia
golongan lainnya. Ini berarti bahwa secara ekonomis kelompok umumnya (selain Jepang), perkembangan asuransi kesehatan le-
ini sebetulnya tergolong kelompok yang memiliki risiko tinggi bih lambat dibandingkan dengan negara-negara Amerika Latin.
untuk menyebabkan bad debt. Dcngan demikian, rumah sakit Hal ini tidak lepas dari faktor sosial ekonomi masyarakat. Dalam
yang memiliki pola pembiayaan penderita dengan dominasi keadaan sosial ekonomi yang masih lemah, kesehatan belum
kelompok pembayar sendiri tersebut sccara teoritis akan merupakan kebutuhan pokok mereka(2).
TUJUAN PENFLITIAN Dari kctiga kclompok ini, kclompok yang mcmbayar sendiri
Penelitian ini dilakukan dengan maksud untuk mengetahui merupakan jumlah yang tcrbesar, yaitu sebanyak 903 pcndcrita
pola pcmbiayaan penderita yang menjalani rawat inap di Pa- (82.24%). Sedangkan 2 kelompok lainnya, kelompok dibayar
viliun RSUD Pamckasan sclama kurun waktu satu tahun, antara PHB dan kelompok dibayar perusahaan, jumlahnya masih jauh
1 April 1991 sampai dengan 31 Maret 1992. lcbih sedikit, yaitu masing-masing 187 pcndcrita (17.03%) dan 8
pcndcrita (0.72%). (lihat tabel 1). Data ini tampaknya tidak
BAHAN DAN CARA PENELITIAN berbeda jauh dengan data terbatas di Jakarta yang juga menun-
Penclitian dilakukan secara retrospektif, dan bahan peneli- jukkan bahwa polapembiayaan penderita masih didominasi oleh
tian diambil dari arsip rincian pembayaran pcndcrita-pcndcrita kelompok pembayar scndiri (Tabel 2). Pola pembayaran scperti
yang menjalani rawat inap di Paviliun RSUD Pamekasan antara ini tentunya menimbulkan risiko terjadinya bad debt. Di Jakarta,
1 April 1991 sampai dengan 31 Maret 1992. bad debt tersebut sekitar 5-20%(2).
Tabel 2. Pola Pembiayaan Penderita di Beberapa Rumah Sakit di Jakarta
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Tahun 1990
Selama kurun waktu saw tahun, antara 1 April sampai
dengan 31 Marct 1992, telah dirawat 1098 pcndcrita di Paviliun Cara Pembayaran RS A RS B RS C
RSUD Pamckasan, yang mencakup pcnderita-pcndcrita yang A. Bayar sendiri 43% 83% 71%
mendapat layanan bidang bedah, penyakit dalam, anak, mata, B. Dibayar perusahaan 40% 109'0 14%
saw kebidanan dan pcnyakit kandungan. C. Dibayar Askes/PIIB 7% – 6%
D. Dibayar Askes swasta 10% 7% 9%
POLA PEMBAYARAN Keterangan :
Masalah biaya senantiasa menjadi penghalang bagi pen- a. Tingkat akurasi data masih perlu dipertajam akibat lerbatasnya data ke-
derita untuk mendapatkan pengobatan dan perawatan di Rumah uangan yang tersedia.
Sakit. Bagi penderita yang dibiayai oleh pihak ketiga, tentunya b. RS A, RS B, dan RS C adalah rumah sakit swasta.
(Dikutip dari : 2).
halangan di was kurang dirasakan bila dibandingkan dengan
mereka yang harus membiayai sendiri biaya Rumah Sakit. Pihak
Dengan belum berkembangnya asuransi keschatan (swasta)
ketiga yang dimaksud di atas dapat berupa majikan atau per-
maka dapat dipahami kalau pembiayaan pcnderita dengan cara
usahaan tempatpenderitabekerja, atau berupa asuransi atau dana
ini masih relatif kecil. Meskipun demikian, pembayaran olch
upaya pemeliharaan kesehatan.
pihak ketiga ternyata tidak lepas dari kelemahan. Tagihan yang
diajukan ke perusahaan rata-rata dilunasi dalam waktu cukup
Tabel 1. Pola Pembiayaan Penderita Rawat Inap di Paviliun RSUD
lama, yaitu dua bulan, sedangkan PHB rata-rata melunasi sekitar
Pamekasan 2-4 bulan. Adanya kesenjangan waktu pelunasan tersebut me-
rupakan suatu hal yang patut diperhatikan oleh manager ke-
Penanggung Biaya uangan rumah sakit(2).
Bulan Sendiri PHB Perusahaan Jumlah
Jumlah % Jumlah % Jumlah %
JUMLAH HARI PERAWATAN
April '91 58 78,37 14 18,91 2 2,70 74
Penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata hari perawatan
Mei'91 64 77,10 18 21,68 1 1,20 83
Juni '91 69 83,13 13 15,66 1 1,20 83
penderita yang pembiayaannya ditanggung oleh asuransi PHB
Juli'91 61 85,91 10 14,08 – – 71 jauh lebih tinggi dibandingkan dengan penderita yang membayar
Agustus '91 55 77,46 14 19,71 2 2,81 71 sendiri maupun penderita yang ditanggung oleh perusahaan.
September'91 63 81,81 14 18,18 – – 77 Rata-rata hari rawat penderita PHB adalah 7,17 hari, sedangkan
Oktober '91 76 80,85 17 18,08 1 1,06 94
rata-rata hari rawat pendcrita yang membayar sendiri dan pen-
November'91 84 86,59 13 13,40 – – 97
Desember'91 94 93,06 7 6,93 – – 101 derita yang ditanggung perusahaan masing-masing 4,33 hari dan
Januari '92 122 85,91 20 14,08 – – 142 4,1 hari (Tabel 3).
Februari '92 91 73,98 31 25,20 1 0,81 123
Maret '92 66 80,48 16 19,51 – – 82 Tabel 3. Jumlah Hari Perawatan dan Rata-rata Hari Perawatan Pen-
derita Rawat Inap di Paviliun RSUD Pamekasan
Jumlah 903 82,24 187 17,03 8 0,72 1098
Penanggung Jumlah Jumlah Rata-rata
Biaya Penderita Hari Rawat Hari Rawat
Sendiri
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pola pembayaran PHB
903 3914 4,33
penderita yang dirawat inap di Paviliun RSUD Pamekasan dapat 187 1342 7,17
Perusahaan 8 33 4,1
dibagi atas 3 kelompok, yaitu kelompok pertama : penderita yang
membayar sendiri, kelompok kedua : penderita yang ditanggung Jumlah 1098 5289 4,81
asuransi Per= Husada Bakti (PHB) dan kelompok ketiga :
penderita yang ditanggung perusahaan. Masih belum jelas kenapa hari rawat rata-rata penderita pe-
serta PHB tersebut begitu tinggi dibandingkan dengan penderita sih didominasi oleh kelompok penderita yang membayar sendiri
yang membayar sendiri maupun penderita yang dibayar perusa- (82.24%). Sedangkan dua kelompok lainnya, kelompok pen-
haan. Kemungkinan bahwa penderita peserta PHB lebih merasa derita yang dibayar PHB dan kelompok dibayar perusahaan,
terlindungi oleh PHB dalam pembayaran biaya Rumah Sakit, jumlahnya masih jauh lebih sedikit, yaitu masing-masing 187
sehingga mercka lebih siap meskipun terpaksa harus dirawat penderita (17.03%) dan 8 penderita (0.72%).
lebih lama di Rumah Sakit, yang tentunya akan menyebabkan Dilihat dari rata-rata hari rawat, kelompok penderita yang
membengkaknya biaya perawatan. Tapi kemungkinan ini me- pembiayaannya ditanggung olch asuransi PHB punya rata-rata
ngandung kelemahan, sebab kelompok penderita yang biayanya hari rawat lebih tinggi, yaitu 7,17 hari, sedangkan rata-rata hari
ditanggung oleh perusahaan ternyata rata-rata hari perawatannya rawat penderita yang membayar sendiri dan penderita yang di-
jauh lebih rendah dibandingkan dengan peserta PHB. tanggung perusahaan masing-masing 4,33 hari dan 4,1 hari.
Di Amerika Serikat, rata-rata hari perawatan penderita yang
dirawat di Rumah Sakit swasta adalah 6,6 hari, sedangkan di KEPUSTAKAAN
Rumah Sakit Pemerintah Lokal (District) adalah 7,8 hari(4). Di
1. Amal C. Sjaaf. Struktur Pembiayaan Rumah Sakit. Cermin Dunia Kedokt
RSI Surabaya, Abdul Mukty(1), mendapatkan bahwa rata-rata (Edisi khusus), 1991; 71: 80.
lamanya dirawat di Unit Paviliun adalah 4 hari untuk Penyakit 2. Sulastomo. Upayit-upaya pengembangan jaminan kesehatan di berbagai
Anak, 7 hari untuk Penyakit Dalam, 8 hari untuk Penyakit Bedah negara Asia. Bungs Rampai beberapa masalah Kesehatan. Badan Penye-
dan 7 hari untuk Penyakit Kandungan. lenggara Dana Pemeliharaan Kesehatan Pusat. Jakarta, 1984, hal. 33.
3. Abdul Mukty. Biaya perawatan di Rumah Sakit swasta. Bull Persi 1991;
32: 42.
KESIMPULAN 4. Sulastomo. Klinik spesialis, permasalahan dan masa depannya. Bungs
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pola pembayaran Rampai beberapa masalah Keschatan. Badan Penyelenggara Dana Peme-
penderita yang dirawat imp di Paviliun RSUD Pamekasan ma- liharaan Kesehatan Pusat. Jakarta, 1984, hal. 119.
English Summary

THE CINICAL VALUE OF ELISA (p <0,005) higher degree of diag- PATTERN OF PAYMENT OF HOS-
MACKO TEST IN PULMONARY TU- nostic efficiency (84,21%) than the PITAL BILLS IN RSUD PAMEKASAN
BERCULOSIS respective characteristics of the
micro ELISA test for TB (sensitivity IN Dana Susadi
Indro Handoyo, Anik Widijanti
Dept. of Clinical Phahology, Airlangga 59,32%, specificity 86,21% and Department of Internal Medicine, Pa-
mekasan Regional Hospital, Pamekasan,
University, Surabaya Indonesia efficiency 69A7%). The positive
Indonesia
Dept. of Clinical Pathology, SyaifulAnwar predictive value of the macro
General Hospital, Malang, Indonesia ELISA test for TB (89,28%) did not Payment of hospital bills are
differ significantly from the posi- generally taken care of by a
This clinical study was carried tive predictive value of micro
out on 59 new cases (aged 15 Government Insurance Agency,
ELISA test for TB (87,5%) but the a private insurance company,
years) of bacteriologically con- negative predictive value of the
firmed (positive acid fast bacilli) the company where the patient
macro ELISA test for TB (76,9%) is employed or by the patient
pulmonary tuberculosis (35 of was obviously higher than the
which showed positive sputum himself if he is not covered by
ones (56,36%) of the micro ELISA health insurance.
culture and PAP-TB test while the test for TB.
remaining 24 showed only posi- A survey at the General Hos-
Based on the results of data pital (RSUD) Pamekasan showed
tive PAP-TB test), 34 healthy para- analysis and the discussion in this
medical personnel in the tuber- that the majority (903 out of 1098
study, it can be concluded that patients - 82,24%) of the patients
culosis ward and 36 patients with the macro ELISA test for TB is a
other non-TB diseases attending paid their own bills. This group
reliable test for the diagnosis of (self-paying group) is considered
the TB Centre in Malang or other pulmonary TB. However, in pa-
treatment centres. to be a financially high risk group
tients with leprosy of the L type in causing bad debt. Hospital
The aim of the study was to and patients with positive rheu-
assess the clinical value of the bills for the rest of the patients
matoid factor, the results of the were paid by the Government
macro ELISA method for TB in test should be interpreted care-
pulmonary tuberculosis. Insurance (18 patients - 17,03%)
fully. and by their employers (8 pa-
The concentration of specific
IgG against M. tuberculosis of the tients - 0,72%).
Cermin Dunia Kedokt. 1993; 88: 45–8
sera of the above mentioned Ih, Aw No explanation could be pro-
patients and paramedical per- posed as to the higher average
sonnel was determined by the of hospitalization period of
macro and the micro ELISA patients under government
method of Karjito using the cyto- insurance (7,17 days) compared
plasm of ultrasonicated M. tuber- to patients paying for them-
culosis var bovis BCG as the anti- selves (4,33 days) and those paid
gen. for by their employers (4,1 days).
The result obtained in this study
Cermin Dunia Kedokt. 1993; 88: 57–9
have shown that the macro ELISA ssz
test for TB had a significantly (p <
0,005) higher degree of diagnos-
tic sensitivity (84,75%), an almost
equal degree (p > 0,05) of speci-
ficity (83,33%) and significantly
HUMOR
ILMU KEDOKTERAN

DIPATUK ULAR DIARE


Seorang pelatih Palang Merah Re- Ibu pasien : Bagaimana nih dokter, bayi saya masih mencret terus, sudah segala obat
maja (PMR) sedang menguji salah diminum, pil ciba, jamu cap kupu-kupu, daun jambu biji dan
seorang siswanya. Dokter : Siapa yang minum obat ??????
Pelatih : "Seandainya temanmu di- Ibu pasien : Saya dokter (dengan keyakinan penuh).
patuk ular di betisnya, apa Dokter : Oh. . . . o . . . . o (mensyukuri bukan bayinya yang minum obat-obat
yang akan segera dilaku- tersebut dan memahami kenapa masih mencret).
kan?" Emilia Tjitra
Siswa : "Cepat-cepat ikat pahanya, Jakarta
agar racun ular tidak me-
nyebar ke seluruh tubuh." BERISTRI EMPAT
Pelatih : "Kalau yang dipatuk siku Seorang dokter sedang mengadakan penyuluhan KB pada kelompok PKK Remaja.
tangannya?" "Adik-adik, marilah kita sukseskan program KB. Anak cukup dua saja," kata dokter
Siswa : "Ikat lengannya." mengakhiri ceramahnya.
Pelatih : "Kalau yang dipatuk ke- Kemudian seorang anggota PKK Remaja mengajukan pertanyaan : "Maaf Dok.
palanya?" Sebenarnya Dokter punya berapa anak, sib?"
Siswa : "Ikat lehernya!" Dokter berpikir sejenak, kemudian menjawab : "Delapan anak."
Pelatih : ??? "Artinya Pak Dokter tidak mensukseskan program KB, dong!" komentar mereka
serempak.
"Ah, tidak juga," jawabnya kalem, kemudian : "Istriku ada empat. Masing-masing
beranak dua."
Yon
Bandung Yon
Bandung
CONTOH
Seperti biasanya, setiap penderita DHF yang mondok selalu diperiksa hematokrit-
nya secara serial. Kebetulan ada seorang penderita (anak) yang selalu ketakutan dan
sulit sekali diambil darahnya. Konsisten yang bertugaspun berusaha membujuk,
"
Diambil darahnya sedikit yang Dik? Tidak sakit kok, cuma seperti digigit semut!"
Anak tersebut masih menangis sambil mengulurkan tangannya, tapi ketika jarum
lancet ditusukkan, tiba-tiba ia menarik tangannya, sehingga jarum tersebut justru
mengenai tangan koasisten. Ibu penderita tampak kaget (mungkin malu). Tapi koasisten
dengan tenangnya berkata kepada penderita, "Nah, ini contohnya, tidak sakit!
Kakak ditusuk juga tidak menangis!" (sambil menunjukan tangannya yang tertusuk).
akhirnya bujukan sang koasisten pun berhasil.
Hardi C.
Yogyakarta
ABSTRAK
PROGNOSIS EPILEPSI LAMOTRIGIN – OBAT ANTI- demam.
Sebuah artikel di Medicine Digest EPILEPSI BARU Selama 1,9 tahun masa pemantauan,
yang membahas epilepsi, menyatakan Lamotrigin merupakan obat anti- analisis intention-to-treat menunjukkan
bahwa 50 – 70% kejang akan berulang epilepsi baru yang bekerja melalui bahwa diazepam menurunkan risiko
setelah seseorang mengalami kejang mekanisme hambatan atas pelepasan kejang demam sebesar 44% (relative
untuk pertama kalinya, sedangkan 20 – neurotransmiter eksitatorik. risk 0,56; 95%CI : 0,38 - 0,81, p =
40% pasien epilepsi akan relaps bila Obat ini terutama dicoba sebagai obat 0,002) sedangkan analisis yang hanya
obatnya dihentikan, meskipun peng- tambahan pada kejang parsial yang re- dilakukan atas anak yang menderita
obatan antiepilepsi dapat menghasilkan sisten; penambahan obat ini dilaporkan kejang selama penelitian (7 anak dari
remisi pada 60 – 100% pasien. dapat mengurangi kejang antara 17– kelompok diazepam dan 29 anak dari
Faktor-faktor yang memperburuk 59%; 13–67% pasien merasakan pengu- kelompok plasebo) menunjukkan pe-
prognosis antara lain tipe kejang – par- rangan frekuensi kejang lebih dari 50%. nurunan risiko sebesar 82% (relative
siil atau multipel, epilepsi simtomatik, Dosis yang digunakan berkisar an- risk : 0,18; 95%CI : 0,09 - 0,37, p <
retardasi mental, lamanya penyakit dan tara 25 mg. perhari sampai 400 mg. 0,001).
adanya defisit neurologik seperti hemi- perhari; sedangkan anak sebesar 0,2–0,5 Efek samping yang diamati meliputi
paresis. mg/kg.bb/hari sampai maksimum 15mg/ ataksia, letargi atau iritabilitas yang di-
Epilepsi jenispetit-mal,Rolandikdan kg.bb/hari. jumpai pada 39% anak yang menerima
juvenilke myoclonic mempunyai prog- Efek samping yang dilaporkan me- diazepam sedikitnya satu kali; efek
nosis lebih baik, sedangkan sindrom liputi dizziness, ataksia dan gejala su- samping ini menghilang bila dosis dia-
West, sindrom Lennox-Gastaut dan sunan saraf lainnya; rash diderita oleh zepam diturunkan.
epilepsi fokal simtomatik mempunyai ± 10% pasien dan dapat cukup berat se- Diazepam oral yang diberikan di saat
prognosis buruk. hingga memerlukan penghentian peng- demam agaknya merupakan alternatif
Med. Digest 1993 (Feb); 11(2): 4–9 obatan pada 1% pasien. yang aman untuk pencegahan kejang
Brw Kombinasinya dengan obat anti- demam.
epilepsi lain inemerlukan penyesuaian N. Engl. J. Med. 1993; 329: 79–84
dosis. Hk
MIGRAINE-STROKE Adanya obat ini memberikan alter-
Diagnosis migraine-stroke hanya natif baru pada pengobatan epilepsi, ter-
dibuat bila gejala infark serebri muncul utama pada kasus-kasus yang resisten
di tengah serangan migren yang khas, terhadap obat-obat yang telah ada. HEPARIN UNTUK PROFILAKSIS
karena bukan tidak mungkin seorang Drugs 1993; 46(1): 152–76 ASMA
penderita migren terserang stroke pada Brw Inhalasi heparin mungkin dapat men-
suatu saat. cegah serangan asma.
Migraine-stroke dijumpai pada 5 – DIAZEPAM ORAL SEBAGAI PRO- Percobaan yang membandingkan
25% stroke pada usia muda; sebuah pe- FILAKSIS KEJANG DEMAM inhalasi 1000 U heparin dengan 20 mg.
nelitian menunjukkan bahwa penyakit Untuk mengurangi penggunaan feno- sodium kromolin dan plasebo path 12
ini ditemukan pada 20% pasien stroke barbital sebagai profilaksis kejang orang dengan riwayat exercise-induced
berusia 16 – 30 tahun dan pada 12% demam, sekelompok peneliti di AS asthma menunjukkan bahwa heparin
pasien stroke berusia 31 – 45 tahun. telah mencoba efektivitas diazepam juga dapat mencegah serangan asma.
Infark ini did uga akibat dari vasokon- untuk maksud yang sama. Percobaan Efek ini diduga melalui mekanisme
striksi yang dialami pada saat serangan dilakukan secara acak, buta ganda atas modulasi atas mediator-release, bukan
migren yang berkepanjangan, dan tidak 406 anak dengan usia rata-rata 24 bulan melalui efek terhadap otot polos.
dikaitkan dengan penyakit jantung atau yang menderita sedikitnya satu kali N. Engl. J. Med. 1993; 329: 90–5
pembuluh darah lain. kejang demam; anak-anak tersebut me- Hk
Neurol. Clin.1992; 10(1): 118 nerima 0,33 mg/kg.bb diazepam atau
Brw plasebo per oral setiap 8 jam selama
ABSTRAK
VITAMIN UNTUK PROTEKSI Ternyata rasio kelahiran hidup tidak atas pengaruh pemeriksaan ultra-
KANKER berbeda bermakna antara kedua ke- sonografi terhadap perkembangan otak
Untuk menguji hipotesis yang me- lompok tersebut (odds ratio : 0,99; yang diukur melalui handedness dari
nyatakan bahwa vitamin dapat melin- 95%aCl: 0,88 – 1,12) meskipun kemati- anak-anak yang dilahirkan; anak-anak
dungi seseorang terhadap kanker, an perinatal lebih rendah di kelompok tersebut diperiksa lagi pada saat berusia
peneliti di Boston, AS mempelajari pola ultrasonografi rutin (odds ratio : 0,64; 8 – 9 tahun. Ternyata analisis statistik
diet dari 89.494 wanita berusia 34–59 95%CI: 0,43 – 0,97); morbiditas (Apgar menunjukkan bahwa anak-anak yang
tahun pada tahun 1980; mereka meng- score kurang dari 7 pada 1 menit) juga kidal lebih suing di jumpai di kelompok
analisis asupan vitamin C, E dan A, baik tidal( berbeda bermaknba (odds ratio : yang ibunya menjalani pemeriksaan
dari makanan maupun suplementasi 1,05; 95%CI: 0,93 – 1,19). ultrasonografi pada saat kehamilannya
lainnya pada awal studi dan pada tahun Hasil penelitian ini menunjukkan (odds ratio: 1,32; 95%CI: 1,02–1,71).
1984. Kejadian kanker dibandingkan bahwa ultrasonografi tidak bermanfaat Belum jelas apakah pemeriksaan
antarakelompok dengan quintile asupan dalam hal memperbaiki angka kelahiran ultrasonografi mempengaruhi perkem-
tertinggi dengan kelompok quintile hidup ataupun mengurangi morbiditas bangan otak, tetapi yang jelas tidak ter-
asupan terendah. perinatal; cara pemeriksaan ini hanya dapat kaitan antara pemeriksaan terse-
Selama masa penelitian selama 8 ta- berguna untuk mendeteksi adanya but dengan gangguan perkembangan
hun, kanker payudara didiagnosis pada kemungkinan malformasi janin. nēurologis anak.
1439 wanita, dan perhitungan statistik BMJ 1993; 307: 13–7 BMJ 1993; 307: 159-64
menunjukkan risiko kelompok quintile Brw Brw
asupan vitamin E tertinggi dibanding-
kan dengan risiko kelompok quintile TETRAPLEGI AKIBAT HIPO- RISIKO RADIOTERAPI
asupan vitamin C terendah adalah se- GLIKEMI Selama ini radioterapi dianggap po-
besar 1,03 (95%CI: 0,83 – 1,19); untuk Para dokter di Spanyol telah menu- tensial dapat mengubah sifat genetik
vitamin E adalah sebesar 0,99 (95%CI: liskan pengalamannya menjumpai kasus sel; para peneliti di Ontario, Canada
0,83 – 1,19), sedangkan untuk vitamin tetraplegi akibat hipoglikemi. Keadaan ingin mengetahui pengaruh radioterapi
A adalah sebesar 0,84 (95%CI: 0,71 – tersebut dialami oleh pria diabetik ber- terhadap anak-anak dari orang-orang
0.98). Di antara kelompok asupan vita- usia 71 tahun yang menggunakan yang pernah menjalani radioterapi.
min A terendah, suplementasi vitamin A glibenklamid 5 mg/hari selama 3 tahun. Untuk itu, selama April 1979 – De-
dihubungkan dengan penurunan risiko Pria tersebut dibawa ke unit gawat sember 1986 diteliti para orangtua yang
(p = 0,03). darurat dalam keadaan lumpuh keempat anaknya menderita anomali kongenital
Mereka menyimpulkan bahwa suple- ekstremitas; sebelumnya didahului de- pada tahun pertama (45.200 ibu dan
mentasi vitamin C dan vitamin E tidak ngan rasa lesu dan banyak berkeringat. 41.158 ayah), dibandingkan dengan para
melindungi wanita terhadap kanker Kesadaran pasien tetap baik. Pe- orangtua yang anaknya normal (45.200
payudara, sedangkan suplementasi vita- meriksaān laboratorik menunjukkan ibu dan 41.158 ayah). Di antara para ibu,
min A hanya bermanfaat pada kelom- kadar gula darah sebesar 29 mg/dl., dan didapatkan 54 kasus radioterapi di ke-
pok yang asupan vitamin A nya me- pemberian 10 ml. glukosa 33% meng- lompok kasus dan 52 kasus radioterapi
mang rendah. has ilkan perbaikan hanya dalam 3 menit di kelompok kontrol; sedangkan di ka-
dan seluruh defisit neurologik hilang langan ayah, terdapat 61 kasus di kelom-
N Engl J Med. 1993; 329: 234-40 sama sekali. pok kasus dan 65 kasus di kelompok
Hk
Stroke 1993; 24(1): 143 kontrol.
MANFAAT ULTRASONOGRAFI Brw Analisis statistik menunjukkan per-
PADA KEHAMILAN bedaan yang tidak bermakna; risiko
Suatu meta-analisis atas 4 penelitian RISIKO ULTRASONOGRAFI anomali kongenital di kalangan anak-
yang melibatkan 15.935 kehamilan Selama tahun 1979 – 1981, peneliti- anak yang orangtuanya menjalani ra-
telah dilakukan untuk menilai manfaat an dilakukan atas 2428 kelahiran yang dioterapi tidak lebih tinggi dibandingkan
ultrasonografi pada kehamilan. Dari tercatat di 60 klinik di Norwegia; dari dengan risiko di kalangan populasi nor-
sejumlah kehamilan tersebut, 7992 sejumlahkelahiran tersebut,2161(89%) mal.
menjalani ultrasonografi rutin dan 7943 kelahiran dapat dianalisis. BMJ 1993; 307: 164–8
hanya secara selektif. Penelitian ini ingin mendapatkan data Brw
Ruang
Penyegar dan Penambah
Ilmu Kedokteran
Dapatkah saudara menjawab
pertanyaan-pertanyaan di bawah ini?
1. Faktor etiologi lekemia adalah sebagai berikut, kecuali : 5. Gejala spesifik yang menjurus ke diagnosis lekemia :
a) Kelainan kromosom. a) Perdarahan.
b) Faktor kimia. b) Epistaksis.
c) Faktor radiasi. c) Hipertrofi gusi.
d) Defisiensi imun. d) Ulkus rektum.
e) Tanpa kecuali. e) Ekimosis.
2. Salah satu ciri pembesaran kelenjar getah bening pada 6. Obat yang tidak dapat digunakan untuk mengatasi nyeri
limfoma : kanker:
a) Lunak. a) Analgesik nonsteroid.
b) Kenya]. b) Morfin.
c) Nyeri. c) Kortikosteroid.
d) Berfluktuasi. d) Metadon.
e) Melekat ke jaringan sekitar. e) Sernua dapat.
3. Pembesaran kelenjar getah bening pada limfoma tersering 7. Pemberian morfin untuk mengatasi nyeri kanker dapat se-
ditemukan di : cara berikut, kecuali :
a) Leher. a) Oral.
b) Aksila. b) Supositoria.
c) Inguinal. c) Injeksi subkutan.
d) Mesenterium. d) Injeksi intravena.
e) Jaringan non limfoid. e) Tanpa kecuali.
4. Gejala susunan saraf pusat pada limfoma dapat berupa : 8. Jenis pasien yang berisiko tinggi menyebabkan bad debt :
a) Nyeri kepala. a) Pasien yang membayar sendiri.
b) Muntah. b) Pasien yang ditanggung oleh perusahaan.
c) Radang selaput otak. c) Pasien yang ditanggung oleh asuransi.
d) Edema papil. d) Pasien pegawai negeri.
e) Semua mungkin. e) Semua mina risikonya.

Anda mungkin juga menyukai