Anda di halaman 1dari 15

Teknik Implementasi Rencana Kebutuhan Bahan

Dalam Sistem Produksi Job Shop (Setya Murdapa, Hadi Santono dan PK.Dewa Soetrisna Putra)

TEKNIK IMPLEMENTASI RENCANA KEBUTUHAN BAHAN


DALAM SISTEM PRODUKSI JOB/BATCH SHOP

Setya Murdapa, PK Dewa Soetrisna Putra dan Hadi Santono

ABSTRAK
Tulisan ini disampaikan untuk mempertegas kejelasan prosedur tentang bagaimana
mengimplementasikan rencana kebutuhan material kepada kegiatan operasional
produksinya. Secara keseluruhan materi yang dikaji terbagi atas dua bagian. Bagian pertama
adalah penyusunan rencana kebutuhan material (RKM) atau material requirement plan
(MRP). Sedangkan bagian yang kedua adalah penyusunan rencana operasional aktivitas
produksi didasarkan hasil MRP. Prosedur Higgins, yang dalam penyusunan prioritas
pengurutan pekerjaan didasarkan pada metode earliest due time, telah dimodifikasi sedikit,
dan dianut dalam tulisan ini untuk dimplementasikan ke dalam penyusunan rencana operasi
produksi. Kejelasan yang diperoleh kemudian diterapkan dengan beberapa penyederhanaan.
Karena itu, pemanfaatan praktis terhadap program yang telah tersusun tentu saja belum
begitu memuaskan. Namun, meskipun demikian program dapat dipakai untuk kasus-kasus
penyusunan rencana operasi produksi pada job shop ataupun batch shop yang
memproduksi berbagai variasi produk. yang sifatnya tidak terlalu kompleks.

1. PENDAHULUAN
Industri kecil di Indonesia biasanya bercorak job shop, yaitu shop yang didukung oleh
permesinan/tenaga kerja yang multiguna, tidak spesifik. Ini bisa jadi disebabkan oleh terbatasnya
modal untuk pengadaan peralatan produksinya, padahal di sisi lain permintaan biasanya tidak
menentu dalam jumlah ataupun tipe produk yang diminta. Ketidaktentuan jenis produk yang
diminta oleh konsumen menyebabkan para pengusaha yang bersangkutan hanya akan memilih
peralatan produksi yang sifatnya serbaguna, tidak spesifik, sehingga lebih fleksibel tipe
pengerjaan yang dapat dikenai dengan peralatan tersebut. Memang dibandingkan peralatan
produksi yang sifat kegunaannya spesifik, peralatan yang bersifat serbaguna ini akan
memerlukan biaya investasi yang relatif lebih murah.
Apabila order yang diterima oleh perusahaan tidaklah terlalu banyak ataupun besar, maka
penanganan order tersebut tidaklah terlalu pelik. Namun apabila ternyata order produksi cukup
melimpah, dan jenis produk yang diminta bervariasi, maka niscaya perusahaan akan menemui
kesulitan-kesulitan.
Kesulitan yang biasanya timbul ialah sebagai berikut. Pertama, macam material yang
terlibat biasanya cukup banyak. Ini memerlukan sistem pendataan yang cukup baik agar
penanganan material tersebut tidak kacau, yaitu dalam hal kuantitas ketersediaannya pada saat
dibutuhkan. Kedua, adanya kemungkinan yang cukup besar untuk terjadi banyak waktu non
produktif, yang muncul dari keharusan mesin dilakukan set up ulang setiap kali akan digunakan
untuk memproses tipe pengerjaan atau operasi yang berbeda.

85
Jurnal Teknologi Industri Vol. IV No. 2 April 2000 : 85 - 98

Suatu sistem perencanaan dan pengendalian produksi yang ditujukan untuk mengatasi
kesulitan-kesulitan tersebut sebetulnya sudah dirumuskan, yaitu sistem Manufacturing
Resource Planning (MRP II). Namun, sistem tersebut lebih menekankan kepada suatu
prosedur perencanaan dan pengendalian produksi secara keseluruhan. Sedangkan ditel dari
setiap tahap dan kaitan-kaitannya, terutama pada tahap penyusunan jadwal operasi yang
menggunakan input rencana kebutuhan material yang sudah tersusun pada tahap sebelumnya,
masih cukup sulit untuk dipahami dan cenderung tidak jelas.
Jadwal Produksi Induk yang tersusun dalam perencanaan produksi harus diuraikan lebih
lanjut ke Rencana Kebutuhan Material. Selanjutnya, Rencana Kebutuhan Material ini harus
diimplementasikan dalam kegiatan produksi. Dalam semangat integrasi, kejelasan prosedur
tentang bagaimana mengimplementasikan rencana kebutuhan material kepada kegiatan
operasional produksi tersebut kiranya perlu diperjelas.
Yang terutama dikemukakan di sini ialah tentang penyusunan dan perumusan pengolahan
rencana kebutuhan material tersebut menjadi data informasi pekerjaan yang siap dikerjakan,
disertai pengurutan/penjadwalan mesin-mesinnya.
Implementasi produksi dalam tulisan ini dapat dijelaskan sebagai pelaksanaan produksi,
meskipun dalam kesempatan ini barulah sebatas diperolehnya rencana (yang dianggap terakhir)
yang siap dikerjakan. Sistem MRP ialah sistem perencanaan produksi yang menggunakan
informasi dari bills of material, status inventori, dan jadwal produksi induk. Sedangkan yang
dimaksud dengan industri job shop di sini dapat berupa sistem produksi job shop sendiri
ataupun dapat pula batch shop. Produksi dianggap bersifat make to stock. Secara khusus, yang
dikaji ialah dalam hal manajemen produksinya. Pembahasan yang akan dilakukan dibatasi hanya
dimulai dari pemanfaatan Jadwal Produksi Induk yang sudah diberikan, untuk penyusunan
Rencana Kebutuhan Material. Selanjutnya, rencana tersebut akan digabungkan dengan data
informasi yang lain guna penyiapan suatu rencana operasional produksi yang baik.
Tekanan diberikan pada masalah pencarian kejelasan tentang transformasi informasi
Rencana Kebutuhan Material (dalam waktu satuan minggu) ke suatu Jadwal Operasional Mesin
Produksi untuk sepanjang waktu tertentu (dalam waktu satuan jam). Sehingga, hanya alur utama
saja yang dilihat.
Program dibuat secara sederhana. Banyak penyederhanaan sistem yang diambil untuk
kemudahan pembuatan programnya. Penyederhanaan-penyederhanaan tersebut terutama ialah
sebagai berikut:
(1). Status pekerjaan dinyatakan secara sederhana saja, yaitu hanya sebatas seperti contoh
berikut: pesanan nomor 1002 yang terdiri dari 4 tahap sudah selesai hingga tahap kedua,
jadi tinggal tahap ketiga dan keempat.
(2). Kebijakan tentang ukuran lot adalah lot for lot, tidak ada yang lain.
(3). Data masukan yang dipakai hanyalah sebatas: bills of materials, Status inventori setiap
komponen, permintaan kotor produk akhir, jumlah dan nama stasiun kerja yang ada serta
routing setiap komponen, dan status pesanan.
(4). Kebijakan pengurutan pekerjaan hanya sebatas earliest due periode.
(5). Material dasar dianggap tersedia tak berhingga.
(6). Stasiun kerja dianggap sangat reliabel.
(7). Satu jenis komponen tertentu hanya menyusun satu jenis produk akhir tertentu saja, tidak
lebih.

86
Teknik Implementasi Rencana Kebutuhan Bahan
Dalam Sistem Produksi Job Shop (Setya Murdapa, Hadi Santono dan PK.Dewa Soetrisna Putra)

2. TINJAUAN PUSTAKA/TEORI
Jantung dari Sistem MRP II (Manufacturing Resource Planning) ialah proses MRP
(Material Requirement Planning). Filosofi yang melandasi proses MRP ini ialah bahwa perlu
dibedakannya antara permintaan yang jumlahnya bersifat tidak tergantung terhadap permintaan
barang lainnya, dan permintaan yang jumlahnya bersifat tergantung. Jawaban akan pertanyaan
berapakah jumlah suatu komponen penyusun produk akhir yang sebaiknya diajukan untuk
tersedia pada suatu periode itu didapatkan dari suatu kelipatan tertentu (diketahui dari struktur
produk) terhadap jumlah produk akhir yang akan diproduksi.
Empat langkah utama yang harus dilakukan ialah sebagai berikut: penggandaan terhadap
jumlah kebutuhan komponen induknya untuk menghitung jumlah kebutuhan kotor sub
komponennya (bills of material explosion), penghitungan kebutuhan bersih (netting against
available inventory), penghitungan jumlah pesanannya (lotsizing), dan proyeksi ke depan
(sejauh lead time) tentang kapan pesanan tersebut harus diajukan (offsetting).
Untuk dapat menyusun suatu Rencana Kebutuhan Material diperlukan informasi masukan
yang berupa jadwal produksi induk, catatan status inventori semua komponen, struktur produk
(bills of materials ), serta lead time produksi atau lead time pengadaan masing-masing
material/ komponen.

Tabel 1. Suatu Contoh Rencana Kebutuhan Material

1 2 3 4 5 6 7 8 9
A Gross Requirement 80 80 85 90 90 100 110 110 100
Scheduled Receipt 75
LFL Projected Inventory 10 5 20 20 20 20 20 20 20 20
Net Requirement 75 85 90 90 100 110 110 100
SS=20 Planned Order Receipt 95 85 90 90 100 110 110 100
Master Production Sch. 95 85 90 90 100 110 110 100 90
B Gross Requirement 95 85 90 90 100 110 110 100 90
Scheduled Receipt 200
POQ= Projected Inventory 100 5 120 30 100 0 110 0 90 0
2 Mg Net Requirement 160 220 190
Planned Order Receipt 160 220 190
Planned Order Release 160 220 190 165
C Gross Requirement 160 220 190 165
Scheduled Receipt 180 210
POQ= Projected Inventory 0 20 20 10 10 0 0 0 0 0
2 Mg Net Requirement 180 165
Planned Order Receipt 180 165
Planned Order Release 180 165
D Gross Requirement 160 220 190 165
Scheduled Receipt 180
POQ=
2 Mg
87
Jurnal Teknologi Industri Vol. IV No. 2 April 2000 : 85 - 98

Projected Inventory 10 30 30 0 0 0 0 0 0 0
Net Requirement 190 190 165
Planned Order Receipt 190 190 165
Planned Order Release 190 190 165

Jadwal produksi induk ialah jadwal produk akhir harus mulai diproduksi. Pada jadwal ini,
jumlah masing-masing item produk yang akan diproduksi pada setiap periode sepanjang horison
masa perencanaan sudah tertulis secara jelas. Jadwal ini biasanya disusun berdasarkan proses
disagregasi rencana produksi agregat.
Catatan status inventori memberikan informasi jumlah komponen atau material yang
tersedia pada saat rencana kebutuhan material akan disusun. Informasi ini akan mempengaruhi
jumlah kebutuhan bersih yang terhitung. Jumlah kebutuhan bersih inilah yang kemudian di-
offsetting ke periode depan karena adanya leadtime yang tidak dapat dihindari, menjadi rencana
pengajuan order atau rencana kebutuhan material.
Struktur produk ialah informasi tentang bagaimana produk akhir tersusun oleh komponen-
komponennya, termasuk bagaimana komponen-komponen tersebut tersusun dari sub komponen -
sub komponennya. Dalam struktur produk tersebut informasi tentang jumlah setiap komponen
penyusun untuk setiap komponen induknya dapat pula dilihat.
Pemenuhan setiap order yang diajukan akan memerlukan tenggang waktu tertentu.
Tenggang waktu tertentu ini biasanya berbeda untuk komponen yang berbeda. Disamping itu
biasanya juga dipengaruhi oleh ukuran lot dari order yang diajukan, semakin besar ukuran lot
semakin lama tenggang waktu yang diperlukan. Dalam istilah manajemen produksi tenggang
waktu ini dikenal dengan istilah populernya lead time.
Agar aktivitas produksi dapat berjalan, komponen-komponen ataupun bahan baku harus
sudah tersedia. Untuk menyediakan komponen-komponen, dapat ditempuh cara pembelian
ataupun cara pabrikasi sendiri. Penyusunan jadwal penyediaan komponen dengan cara pabrikasi
sendiri dilakukan dengan merealisasikan rencana kebutuhan material ke bentuk rencana
operasional produksi.
Penyusunan rencana operasional produksi memerlukan beberapa informasi masukan/input.
Yaitu, rencana kebutuhan material, urutan tahap-tahap pengerjaan setiap komponen atau routing
file, dan status pesanan yang telah dikeluarkan.
Suatu contoh file berisikan informasi suatu urutan tahap-tahap pengerjaan setiap
komponen (routing file) dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2. Suatu contoh routing file

Komponen Lotsize No. Workcenter Setup Run hours


operasi hours per unit
A LFL 1 WC-1 1 0,15
B POQ 1 WC-1 2 0,05
(2 Mg) 2 WC-2 2 0,15
C POQ 1 WC-1 2 0,10
(2 Mg) 2 WC-2 8 0,05
D POQ 1 WC-2 6 0,10
(2 Mg)

88
Teknik Implementasi Rencana Kebutuhan Bahan
Dalam Sistem Produksi Job Shop (Setya Murdapa, Hadi Santono dan PK.Dewa Soetrisna Putra)

Queue time for Workcenter-1 = 20 hours, and for Workcenter-2 = 30 hours

Satu contoh file status pesanan atau open order status file dapat dilihat pada Tabel 3.
Hasil yang ingin diperoleh dengan dilakukannya penyusunan rencana operasional
produksi ialah: Suatu daftar urutan operasi pada setiap saatnya, yang harus dikerjakan pada
setiap workcenter. Suatu contoh daftar yang dimaksud dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 3. Suatu contoh open order status file

No. order Macam item/komponen Jumlah Status


1000 A 75 Selesai
1001 B 200 Operasi ke-1 selesai
1002 C 180 Operasi ke-1 selesai
1003 C 210 Belum dimulai
1004 D 180 Selesai

Tabel 4. Suatu contoh daftar urutan operasi berdasarkan EDD

Item No.pesanan Jml Saat Waktu Saat Tempat


(No.operasi - due mulai Proses selesai tujuan
time)
Workcenter – 1 :
C 1003 (1-31,5) 210 0 23 23 WC-2
A 1005 (1- 40) 95 23 15,25 38,25 END
B 1006 (1- 64) 160 38,25 10 48,25 WC-2
A 1008 (1- 80) 85 48,25 13,75 98,75 END
C 1009 (1- 113) 180 98,75 20 118,75 WC-2
dst
Workcenter – 2 :
C 1002 (2- 0) 180 0 17 17 END
B 1001 (2- 40) 200 17 32 49 END
C 1003 (2- 80) 210 49 18,5 67,5 END
D 1007 (1- 80) 190 67,5 25 92,5 END
B 1006 (2- 120) 160 92,5 26 118,5 END
C 1009 (2- 160) 180 118,5 17 135,5 END
dst

Untuk membuat tabel seperti Tabel 4. di atas, Higgins, Le Roy, dan Tierney, pada
tahun 1996 mengisyaratkan langkah-langkah sebagai berikut (dalam bukunya Manufacturing
Planning and Control: beyond MRP II).
1) Siapkan rencana kebutuhan material yang sudah disusun, file routing, file status pesanan.

89
Jurnal Teknologi Industri Vol. IV No. 2 April 2000 : 85 - 98

2) Konversikan satuan periode rencana kebutuhan material (minggu) ke satuan waktu yang
lebih kecil (jam), dengan mengingat jumlah jam kerja per hari dan jumlah hari kerja per
minggunya.
3) Amati file status pesanan.
a) Cek pesanan mana yang telah selesai sepenuhnya, kalau ada singkirkan dari perhatian.
b) Amati (no. pesanan, jumlah, jenis komponen) pesanan-pesanan yang baru setengah
selesai, dan yang hampir selesai, dimulai dari saat t = 0
4) Amati (no. pesanan, jumlah, jenis komponen) pesanan-pesanan berikutnya yang akan segera
diajukan dan seterusnya untuk semua rencana pengajuan order yang tertulis pada rencana
kebutuhan material (planned order release).

5) Identifikasilah pada masing-masing pesanan : waktu setup dan waktu pengerjaan setiap
operasinya, waktu tunggu rata-rata di depan setiap workcenter, dan due time masing-masing
pesanan. Due time masing-masing pesanan tersebut, dihitung dengan cara berikut ini:

due time operasi terakhir (yaitu ke-K) untuk pesanan nomor n, ialah saat ke-t
= awal periode (pada kolom) net requirement

due time operasi ke-(K-1) untuk pesanan nomor n, ialah saat ke-t
= (due time operasi terakhir) - (waktu pengerjaan operasi ke-K) – (waktu setup untuk
operasi ke-K) – (waktu tunggu di depan workcenter untuk operasi ke-K)

due time operasi ke-(K-2) untuk pesanan nomor n, ialah saat ke-t
= (due time operasi terakhir) - (waktu pengerjaan operasi ke-(K-1)) – (waktu setup
untuk operasi ke-(K-1)) – (waktu tunggu di depan workcenter untuk operasi ke-(K-1)),

dan seterusnya untuk operasi berikutnya, dimana:

waktu pengerjaan operasi ke-k


= (jumlah pesanan atau lotsize) x (waktu pengerjaan per unit)

6) Berilah nomor urutan pada pesanan-pesanan hasil langkah 3 sampai dengan 5 di atas
berdasarkan waktu jatuh tempo yang paling awal (berdasarkan aturan EDD, yaitu Earliest
Due Date). Kemudian identifikasilah untuk setiap pesanan tersebut, saat mulai dan saat
selesai, dan jenis dan jumlah material yang dibutuhkan. Kemudian ringkaslah hasil
keseluruhan yang didapat ke dalam bentuk tabel seperti Tabel 4.

Untuk lebih mendapatkan kejelasan dari metode di atas, berikut ini dapat disimak suatu
contoh teknik implementasi rencana kebutuhan material ke dalam rencana operasional produksi
di atas. Contoh disarikan dari Higgins, dkk, 1996.

90
Teknik Implementasi Rencana Kebutuhan Bahan
Dalam Sistem Produksi Job Shop (Setya Murdapa, Hadi Santono dan PK.Dewa Soetrisna Putra)

C D

Gambar 1. Struktur produk A

Misalkan suatu rencana kebutuhan material telah disusun oleh Bagian Perencanaan
Produksi dan Pengendalian Persediaan sebagai berikut. Rencana kebutuhan material terlihat
pada Tabel 1, file routing terlihat pada Tabel 2. dan file status pesanan terlihat pada Tabel 3.
Penyusunan rencana eksekusi produksi dilakukan sesuai dengan langkah-langkah yang telah
dikemukakan sebagai berikut:
1). Tiga file yang diperlukan sudah siap.

2). Satu periode = 1 minggu = (8 jam/hari) x (5 hari/minggu) = 40 jam


3). Pada file status pesanan:
3.1. Pesanan yang telah selesai sepenuhnya ialah:
- Pesanan no. 1000, yaitu pesanan sebanyak 75 unit item A
- Pesanan no. 1004, yaitu pesanan sebanyak 180 unit item D
3.2. Pesanan sudah setengah selesai (operasi ke-1 sudah selesai) ialah:
- Pesanan no.1001, yaitu pesanan sebanyak 200 unit item B.
- Pesanan no. 1002 sejumlah 180 unit item C
3.3. Pesanan belum dimulai ialah pesanan no.1003 sejumlah 210 unit item C.
4). Pesanan berikutnya yang akan diajukan pada t = 0:
- Pesanan sejumlah 95 unit item A, dinamai saja pesanan no. 1005
- Pesanan sejumlah 160 unit item B, dinamai saja pesanan no. 1006
- Pesanan sejumlah 190 unit item D, dinamai saja pesanan no. 1007
Pesanan berikutnya yang akan diajukan pada t = 40:
- Pesanan sejumlah 85 unit item A, dinamai saja pesanan no.1008
- Pesanan sejumlah 180 unit item C, dinamai saja pesanan no.1009
Dan seterusnya untuk planned order release berikutnya.
5). Disusun tabel 5 (waktu dalam jam).

Tabel 5. Hasil Penghitungan Due Time

Operasi
Nama Jumlah Due time,
komponen - pesanan, pada
Nomor Unit Operas Work Waktu Waktu Waktu saat ke-
pesanan 1 i center Setup pengerja tunggu di
ke- an depan
workcenter
B-1001 200 2 WC-2 2 30 30 40
C-1002 180 2 WC-2 8 9 30 0
C-1003 210 1 WC-1 2 2 20 31,5

1
Pesanan yang sudah selesai dikerjakan tidak ditulis pada kolom tersebut.

91
Jurnal Teknologi Industri Vol. IV No. 2 April 2000 : 85 - 98

A-1005 95 1 WC-1 1 14,25 20 40


B-1006 160 1 WC-1 2 8 20 64
D-1007 190 1 WC-2 6 19 30 80
A-1008 85 1 WC-1 1 12,75 20 80
C-1009 180 1 WC-1 2 18 20 113

6). Pesanan-pesanan kemudian disusun (misalnya) berdasarkan earliest due time. Hasilnya
terlihat pada Tabel 4 .

3. PROFIL MODEL
Secara keseluruhan model terbagi atas dua bagian. Bagian pertama adalah model untuk
menyusun rencana kebutuhan material (RKM) atau material requirement plan (MRP).
Sedangkan bagian yang kedua adalah model untuk menyusun rencana operasional aktivitas
produksi didasarkan hasil MRP keluaran model bagian pertama.

3.1. Model Bagian Pertama : Penyusunan Rencana Kebutuhan Material.


Sasaran yang akan dicapai ialah tersusunnya suatu rencana kebutuhan material. Rencana
kebutuhan material ini berisikan rencana pengajuan order ke bagian produksi ataupun rencana
pengajuan order pembelian (bagi material yang harus di beli).
Prosedur penyusunan rencana kebutuhan material yang dianut dalam tulisan ini ialah
prosedur kolom per kolom, bukan prosedur baris per baris. Prosedur kolom per kolom dipikirkan
lebih baik dibandingkan prosedur baris per baris. Alasan utamanya ialah bahwa projected
inventory yang terhitung tidak mungkin bernilai negatif, dan ini hanya bisa dipenuhi dengan
prosedur kolom per kolom.
Apabila dipersyaratkan tingkat persediaan yang tersisa atau projected available
inventory-nya harus tidak kurang dari suatu tingkat tertentu, yaitu safety stock-nya, maka
harus ada adjustment pada proses penyusunan rencana kebutuhan materialnya. Adjustment
yang dimaksud

Tabel 6. Daftar On Hand Inventory, Safety Stock dan Schedule Receipt untuk Kasus

Komponen On hand inventory safety stock schedule receipt


Produk A 6 0 5 pada minggu ke-2
Produk E 0 0 0
Komponen B 4 5 0
Komponen C 6 5 0
Komponen D 3 5 0
Komponen F 10 5 0
Komponen G 4 5 0
Komponen H 6 5 0

adalah net requirement yang diakui dinaikkan nilainya sejumlah kekurangan di bawah safety
stock-nya dan projected available inventory selalu diset sama dengan safety stock ini. Detail
dari realisasi adjustment ini akan diterangkan berikut ini.

92
Teknik Implementasi Rencana Kebutuhan Bahan
Dalam Sistem Produksi Job Shop (Setya Murdapa, Hadi Santono dan PK.Dewa Soetrisna Putra)

Projected inventory = On hand inventory + Scheduled Receipt -


Gross requirement.

jika
Projected inventory ≥ Safety stock,

maka
Net requirement = Gross requirement – Scheduled receipt –
Projected inventory,

jika tidak maka


Net requirement = Gross requirement – Scheduled receipt –
(Projected inventory – On hand inventory)

dan
Projected inventory = Safety stock

3.2. Model Bagian Kedua : Penyusunan Rencana Operasional Produksi


Operasi produksi perlu direncanakan agar pada saat dilakukan eksekusi, efisiensi yang
baik dapat dicapai. Inefisiensi bisa terjadi oleh karena pemanfaatan waktu yang terlalu boros.

Pemborosan yang terlalu ini bermula dari tidak tepatnya penentuan urutan pengerjaan pekerjaan
pada fasilitas yang ada, yang bermuara ke lebih lamanya makespan pelaksanaan produksi.
Tulisan ini memiliki tujuan utama mencari kejelasan (melalui pustaka) tentang
permasalahan yang ditulis di alinea-alinea sebelumnya. Kejelasan konsep tersebut yang telah
diungkap pada bagian sebelumnya dimodifikasi sedikit, yaitu dalam hal kebijaksanaan pengurutan
pekerjaan, sebagai berikut:
(1). Urutkan pesanan berdasarkan earliest due period,
(2). Alokasikan pekerjaan dalam pesanan tersebut (pesanan tersusun atas pekerjaan-
pekerjaan) ke stasiun kerja yang sesuai berdasarkan urutan hasil (1).
(3). Tinjau urutan pekerjaan pada setiap stasiun kerja (urutan ini tidak diubah) dan lakukan
hal berikut:
(a). Pastikan pekerjaan tahap kedua dari suatu pesanan baru mulai dikerjakan
setelah pekerjaan tahap pertama pesanan itu sudah selesai dikerjakan
sepenuhnya.
(b). Ulangi langkah (3.a) di atas untuk pekerjaan tahap berikutnya dari pesanan itu.
(4). Selesai.

4. EKSPERIMENTASI
4.1. Deskripsi Kasus
Suatu job shop (atau tepatnya batch shop) memiliki fasilitas produksi yang terdiri dari
empat stasiun kerja, yaitu WC-1, WC-2, WC-3, dan WC-4. Bagian perencanaan produksi telah
memutuskan bahwa hanya Produk A dan Produk E saja yang akan diproduksi. Struktur kedua
produk tersebut terlihat pada Gambar 2. Data tentang on hand inventory, safety stock, dan
schedule receipt tercantum dalam Tabel 6.
Gross requirement terhadap Produk A ialah sebesar 10 dan 15 unit di minggu ke-3, ke-4
dan ke-5. Sedangkan Produk E pada minggu ke-3, ke-4 dan ke-5 ada permintaan kotor sebesar
15, 10, dan 10 unit.

93
Jurnal Teknologi Industri Vol. IV No. 2 April 2000 : 85 - 98

Routing setiap komponen terlihat pada Tabel 7.

Produk A Produk E
LT = 1 LT = 1

Kom-B Kom-C Kom-F Kom-G Kom-H


(2) (2) (2) (2) (2)
LT = 1 LT = 1 LT = 1 LT = 1 LT = 1

Kom-B Kom-D
(2) (2)
LT = 1 LT = 1

Gambar 2. Struktur Produk A dan E

Tabel 7. Routing File untuk Kasus

Komponen Tahap Stasiun Kerja Waktu


Operasi Set up (jam) Running
(jam/unit)
Produk A 1 WC-2 1 0,100
Komponen B 1 WC-1 2 0,010
2 WC-2 2 0,050
3 WC-4 2,5 0,050
Komponen C 1 WC-4 3 0,010
2 WC-4 2 0,050
Komponen D 1 WC-4 3 0,005
2 WC-2 4 0,050
3 WC-3 3 0,010
Produk E 1 WC-1 1 0,100
Komponen F 1 WC-1 2 0,100
2 WC-3 2 0,010
3 WC-4 2 0,010
4 WC-2 2 0,050
Komponen G 1 WC-32 2 0,050
2 WC-21 2 0,020
Komponen H 1 WC-2 1 0,010
2 WC-1 2 0,030
3 WC-4 1 0,010

94
Teknik Implementasi Rencana Kebutuhan Bahan
Dalam Sistem Produksi Job Shop (Setya Murdapa, Hadi Santono dan PK.Dewa Soetrisna Putra)

Waktu tunggu di depan WC-1, dan WC-2 masing-masing 5 jam , sedangkan WC-3, dan
WC-4 masing-masing 4 jam.

Status pesanan: Pesanan untuk komponen B dan D sebanyak masing-masing 9 dan 18 sudah
mulai dikerjakan, dan operasi kedua dari kedua komponen tersebut sudah selesai.

4.2. Penyelesaian Kasus


Rencana kebutuhan material dan rencana operasi produksi yang diperoleh dapat dilihat
pada Tabel 8 dan Tabel 9.

Tabel 8. Rencana Kebutuhan Material Kasus

1 2 3 4 5
A Master Production Sch. 10 15 10
Scheduled Receipt 5
LFL Projected Inventory 6 6 11 1 0 0
Net Requirement 9 14 10
Planned Order Receipt 9 14 10
Planned Order Release 9 14 10 0

95
Jurnal Teknologi Industri Vol. IV No. 2 April 2000 : 85 - 98

Tabel 8. Rencana Kebutuhan Material Kasus (lanjutan)

B Gross Requirement 8 32 38 20
Scheduled Receipt
LFL Projected Inventory 4 5 5 5 5 5
Net Requirement 9 32 38 20
Planned Order Receipt 9 32 38 20
Planned Order Release 32 38 20
C Gross Requirement 9 14 10
Scheduled Receipt
LFL Projected Inventory 6 6 5 5 5 5
Net Requirement 8 14 10
Planned Order Receipt 8 14 10
Planned Order Release 8 14 10
D Gross Requirement 16 28 20
Scheduled Receipt
LFL Projected Inventory 3 5 5 5 5 5
Net Requirement 18 28 20
Planned Order Receipt 18 28 20
Planned Order Release 28 20
E Gross Requirement 15 10 10
Scheduled Receipt
LFL Projected Inventory
Net Requirement 15 10 10
Planned Order Receipt 15 10 10
Planned Order Release 15 10 10
F Gross Requirement 30 20 20
Scheduled Receipt
LFL Projected Inventory 8 8 5 5 5 5
Net Requirement 27 20 20
Planned Order Receipt 27 20 20
Planned Order Release 27 20 20
G Gross Requirement 15 10 10
LFL Scheduled Receipt
Projected Inventory 4 4 5 5 5 5
Net Requirement 16 10 10
Planned Order Receipt 16 10 10
Planned Order Release 16 10 10
H Gross Requirement 30 20 20
LFL Scheduled Receipt
Projected Inventory 6 6 5 5 5 5
Net Requirement 29 20 20
Planned Order Receipt 29 20 20
Planned Order Release 29 20 20

96
Teknik Implementasi Rencana Kebutuhan Bahan
Dalam Sistem Produksi Job Shop (Setya Murdapa, Hadi Santono dan PK.Dewa Soetrisna Putra)

5. PEMBAHASAN
Hanya beberapa hal saja yang akan dibahas di sini. Yang pertama ialah tentang
prosedur implementasi rencana kebutuhan material ke dalam bentuk rencana operasi produksi.
Kedua, tentang beberapa penyederhanaan yang telah diambil dan beberapa kemungkinan
peningkatan yang dapat dilakukan. Ketiga, tentang program yang telah disusun.

5.1. Pembahasan Tentang Prosedur Higgins untuk Implementasi Rencana Kebutuhan


Material ke Rencana Operasi Produksi
Higgins, dkk telah menawarkan prosedur umum tentang implementasi itu. Prosedur
umum ini tentu harus dimodifikasi lebih lanjut untuk dapat memberikan suatu hasil rencana
operasi produksi yang terbaik. Untuk ini bisa jadi semua aturan penjadwalan pekerjaan yang
sudah dikenal harus dicobakan, dan kemudian dipilih hasil yang terbaik menurut kriteria yang
telah ditetapkan oleh si perencana.
Terlepas dari kelemahan yang ada kiranya prosedur yang dikemukakan oleh Higgins , dkk
telah memberikan gambaran tentang teknik implementasi rencana kebutuhan material yang telah
tersusun ke dalam rencana operasi produksi secara jelas. Ini dirasakan sangat berarti. Sehingga,
diharapkan segala pembahasan tentang metode pengurutan dan penjadwalan akan semakin lebih
menarik karena keterkaitannya dengan rencana kebutuhan material sudah diperoleh
kejelasannya.
Dari hal yang diuraikan di alinea sebelumnya, akanlah dapat ditelusur apakah suatu
problema pengurutan dan penjadwalan pekerjaan tertentu itu sebaiknya ditinjau secara statis
ataukah dinamis.

5.2. Pembahasan tentang Implementasi Prosedur Higgins dalam Tulisan Ini


Prosedur Higgins dianut dalam tulisan ini untuk dimplementasikan ke dalam
penyususunan rencana operasi produksi. Kejelasan yang diperoleh diterapkan dengan beberapa
penyederhanaan. Penyederhanaan tersebut yang terutama ialah pertama, penetapan lead time
seharusnya didasarkan pada kebutuhan waktu aktual yang sebenarnya diperlukan. Yaitu,
sebenarnya harus diperkirakan berdasarkan informasi waktu set up , waktu running per unit,
dan ukuran lot. Dalam kasus yang dibahas, untuk alasan simplisitas penyusunan contoh kasus,
penetapan lead time memang hanya sekedar ditetapkan. Kedua, dalam penyusunan prioritas
produksi, sesungguhnya dapat dicobakan cara selain earliest due time, seperti shortest
processing time, first in first out, atau pun yang lain lagi. Sedangkan dalam tulisan ini
pengurutan pekerjaan hanya didasarkan pada metode earliest due time saja, namun dengan
sedikit modifikasi sehingga agak lain dengan yang dikemukakan oleh Higgins . Ketiga, status
pesanan dinyatakan dalam bentuk status setiap tahapnya yang dinyatakan secara biner yaitu
apakah suatu tahap tertentu sudah selesai dikerjakan ataukah sama sekali belum dikerjakan.

5.3. Pembahasan tentang Program yang Tersusun


Karena masih banyak penyederhanaan yang dilakukan dan juga penyederhanaan yang
berkaitan dengan keterbatasan kemampuan pemrograman yang dimiliki peneliti, maka
pemanfaatan praktis terhadap program yang telah tersusun tentu saja belum begitu memuaskan.
Namun, meskipun demikian program dapat dipakai untuk kasus-kasus penyusunan rencana
operasi produksi pada job shop ataupun batch shop yang memproduksi berbagai variasi produk.
yang sifatnya tidak terlalu kompleks, yaitu jumlah produk akhir tidak terlalu banyak, dan jenis
komponen penyusun produk yang satu tidak boleh ada yang sama dengan komponen produk

97
Jurnal Teknologi Industri Vol. IV No. 2 April 2000 : 85 - 98

lainnya. Kasus yang dikaji dalam contoh di atas merupakan satu contoh kasus dengan dua
macam produk.

Tabel 9. Rencana Operasi Produksi untuk Kasus

No. Kom- Opera Jumlah Saat Waktu Saat Stasiun Stasiun Due
Pesanan ponen si ke- mulai proses selesai asal tujuan jam
WC-1:
1003 F 1 27 00,00 08,70 08,70 WC-1 WC-3 21
1007 B 1 32 08,70 07,32 16,02 WC-1 WC-2 23
1004 G 2 16 16,02 07,32 23,34 WC-1 END 40
1005 H 2 29 23,34 07,87 31,21 WC-1 WC-4 35
WC-2:
1004 G 1 16 00,00 07,80 07,80 WC-2 WC-1 33
1005 H 1 29 07,80 06,29 14,09 WC-2 WC-1 27
1001 A 2 5 14,09 06,50 20,59 WC-2 END 40
1007 B 2 32 20,59 08,60 29,19 WC-2 WC-4 32
1009 D 2 28 29,19 08,40 37,59 WC-2 WC-3 35 *
1003 F 4 27 37,59 08,35 45,94 WC-2 END 40 *
WC-3:
1003 F 2 27 08,70 05,27 13,97 WC-3 WC-4 26
1008 D 3 18 13,97 05,18 19,15 WC-3 END 0*
1009 D 3 28 37,59 05,28 42,87 WC-3 END 40 *
WC-4:
1002 C 1 8 00,00 07,08 07,08 WC-4 WC-4 34
1009 D 1 28 07,08 05,14 12,22 WC-4 WC-2 26
1002 C 1 8 12,22 06,40 18,62 WC-4 END 40
1006 B 3 9 18,62 06,95 25,57 WC-4 END 0*
1003 F 3 27 25,57 05,27 30,84 WC-4 WC-2 32
1005 H 3 29 31,21 05,29 36,50 WC-4 END 40
1007 B 3 32 36,50 08,10 44,60 WC-4 END 40 *
Keterangan: Yang bertanda * berarti terlambat.

6. PENUTUP
Kejelasan prosedur tentang implementasi rencana kebutuhan material ke dalam bentuk
rencana operasi produksi sudah dirumuskan oleh Higgins , dkk. Kejelasan tersebut di uraikan
lebih lanjut dan dimodifikasi sedikit dalam tulisan ini. Modifikasi tersebut ialah dalam
mengurutkan pengerjaan pekerjaan. Meskipun sama-sama earliest due time, dalam tulisan ini
earliest due time diterapkan pada tingkatan jenis order, bukan pada jenis pekerjaannya langsung
(order biasanya dipecah lebih lanjut ke dalam beberapa pekerjaan). Adanya modifikasi tersebut
akan menjamin, suatu pekerjaan tahap lanjut tidak akan dikerjakan sebelum tahap sebelumnya
(biasanya dikerjakan di mesin lain) selesai dikerjakan.

98
Teknik Implementasi Rencana Kebutuhan Bahan
Dalam Sistem Produksi Job Shop (Setya Murdapa, Hadi Santono dan PK.Dewa Soetrisna Putra)

Program sederhana yang telah disusun dapat diterapkan untuk kasus-kasus tertentu yang
tidak terlalu kompleks, yaitu jumlah produk akhir tidak terlalu banyak, dan satu jenis komponen
yang sudah menyusun produk tertentu tidak merupakan suatu komponen penyusun produk lain.

7. UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan terima kasih yang tak berhingga kepada Lembaga Penelitian
Universitas Atma Jaya Yogyakarta yang telah membiayai penelitian yang dilakukan penulis.
Disamping itu juga penulis haturkan banyak terima kasih kepada Bapak Ir Soegiarto yang telah
menyumbangkan banyak ide dan pemikiran dalam penyusunan program komputer pada penelitian
yang dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA
Anderson, E.J., and Lagodimos, A.G., 1989, Service Levels in Single-Stage MRP Systems with
Demand Uncertainty, Engineering Costs and Productions Economics, Vol. 17
Arnold, T., 1996, Introduction to Material Management, Prentice-Hall International Editions,
New Jersey
Baker, K.R., 1974, Introduction to Sequencing and Scheduling, John Wiley & Sons, New
York
Dutta, R.K., 1997, Stochastic Inventory Modelling and Simulation for Materials
Requirement Planning – A Case Study, Industrial Engineering Journal, Vol. XXVI,
No. 5
Fry, T.D., Philipoom, P.R, and Markland, R.E., 1989, Due Date Assignment in A Multistage
Job Shop, IIE Transactions, Vol 21, No 2
Higgins, P., Le Roy, P., and Tierney, L., 1996, Manufacturing Planning and Control: Beyond
MRP II, Chapman & Hall, London
Maimon, O.Z. and Gershwin, S.B., 1988, Dynamic Scheduling and Routing for Flexible
Manufacturing Systems That Have Unreliable Machines, Operations Research, Vol.
36, No. 2
Murdapa, S., Santono, H., dan Dewa, P.K., 1999, Teknik Implementasi Produksi untuk Industri
Job Shop yang Berdasarkan Sistem MRP, Laporan Penelitian kepada Lembaga Penelitian
Universitas Atma Jaya Yogyakarta

99

Anda mungkin juga menyukai