Anda di halaman 1dari 14

PENGELOLAAAN KAWASAN HUTAN MANGROVE YANG

BERKELANJUTAN
Oleh : Mangrove Information Centre
1. Ekosistem Mangrove
1.1 Sumber Daya Mangrove dan Pesisir
Formasi mangrove merupakan perpaduan antara daratan dan lautan.
Mangrove tergantung pada ai laut (pasang) dan air tawar sebagai sumber
makanannya serta endapan debu (sedimentasi ) dari erosi daerah hulu sebagai
bahan pendukung substratnya. Air pasang memberi makanan bagi hutan dan air
sungai yang kaya mineral memperkaya sedimen dan rawa tempat mangrove
tumbuh. Dengan demikian bentuk hutan mangrove dan keberadaannya dirawat
oleh kedua pengaruh darat dan laut.
Mangrove sangat penting artinya dalam pengelolaan sumber daya pesisir
di sebagian besar-walaupun tidak semua-wilayah Indonesia. Fungsi mangrove
yang terpenting bagi daerah pantai adalah menjadi penghubung antara daratan dan
lautan. Tumbuhan, hewan benda-benda lainnya, dan nutrisi tumbuhan ditransfer
ke arah daratan atau ke arah laut melalui mangrove. Mangrove berperan sebagai
filter untuk mengurangi efek yang merugikan dari perubahan lingkungan utama,
dan sebagai sumber makanan bagi biota laut (pantai) dan biota darat. Jika
mangrove tidak ada maka produksi laut dan pantai akan berkurang secara nyata.
Habitat mangrove sendiri memiliki keanekaragaman hayati yang rendah
dibandingkan dengan ekosistem lainnya, karena hambatan bio-kimiawi yang ada
di wilayah yang sempit diantara darat laut. Namun hubungan kedua wilayah
tersebut mempunyai arti bahwa keanekaragaman hayati yang berada di sekitar
mangrove juga harus dipertimbangkan, sehingga total keanekaragaman hayati
ekosistem tersebut menjadi lebih tinggi. Dapat diambi suatu aksioma bahwa
pengelolaan mangrove selalu merupakan bagian dari pengelolaan habitat-habitat
di sekitarnya agar mangrove dapat tumbuh dengan baik.
Potensi ekonomi mangrove diperoleh dari tiga sumber utama yaitu hasil
hutan, perikanan estuarin dan pantai (perairan dangkal), serta wisata alam. Selain
itu mangrove memainkan peranan penting dalam melindungi daerah pantai dan
memelihara habitat untuk sejumlah besar jenis satwa, jenis yang terancam punah
dan jenis langka yang kesemuanya sangat berperan dalam memelihara
keanekaragaman hayati di wilayah tertentu.
Karena tekanan pertambahan penduduk terutama didaerah pantai,
mengakibatkan adanya perubahan tata guna lahan dan pemanfaatan sumber daya
alam secara berlebihan, hutan mangrove dengan cepat menjadi semakin menipis
dan rusak di seluruh daerah tropis. Kebutuhan yang seimbang harus dicapai
diantara memenuhi kebutuhan sekarang untuk pembangunan ekonomi di suatu
pihak, dan konservasi sistem pendukung lingkungan di lain pihak. Tumbuhnya
kesadaran akan fungsi perlindungan, produktif dan socio-ekonomi dari ekosisitem
mangrove di daerah tropika, dan akibat semakin berkurangnya sumber daya alam
tersebut, mendorong terangkatnya masalah kebutuhan konservasi dan
kesinambungan pengelolaan terpadu sumber daya-sumber daya bernilai
tersebut.Mengingat potensi multiguna sumber daya alam ini, maka merupakan
keharusan bahwa pengelolaan hutan mangrove didasarkan pada ekosistem
perairan dan darat, dalam hubungan dengan perencanaan pengelolaan wilayah
pesisir terpadu.
Menipisnya hutan mangrove menjadi perhatian serius negara-negara
berkembang, termasuk Indonesia dalam masalah lingkungan dan ekonomi.
Perhatian ini berawal dari kenyataan bahwa antara daerah antara laut dan darat
ini, mangrove memainkan peranan penting dalam menjinakkan banjir pasang
musiman (saat air laut pasang pada musim penghujan) dan sebagai pelindung
wilayah pesisir. Selain itu, produksi primer mangrove berperan mendukung
sejumlah kehidupanseperti satwa yang terancam punah, satwa langka, bangsa
burung (avifauna) dan juga perikanan laut dangkal. Dengen demikian, kerusakan
dan pengurangan sumber daya vita tersebut yang terus berlangsung akan
mengurangi bukan hanya produksi dari darat dan perairan, serta habitat satwa liar,
dan sekaligus mengurang keanekaragaman hayati, tetapi juga merusak stabilitas
lingkungan hutan pantai yang mendukung perlindungan terhadap tanaman
pertanian darat dan pedesaan.
1.2 Cakupan Sumberdaya Mangrove
a. Satu atau lebih jenis tumbuhan mangrove yang hidupnya hanya di habitat
mngrove
b. Satu atau lebih jenis tumbuhan yang hidup di habitat mangrove, tetapi juga
dapat hidup di habitat selain mangrove
c. Berbagai jenis fauna baik fauna terestris maupun fauna laut yang bersosiasi
dengan habitat mangrove, baik secara permanen maupun secara sementara
d. Semua proses alamiah yang berperan dalam memelihara kberadaan ekosistem
mangrove (mis : sedimentasi)
e. Penduduk yang hidupnya bergantung pada sumber daya mangrove.

1.3 Hutan Mangrove di Indonesia


Hutan mangrove ditemukan hampir di seluruh kepulauan di Indonesia di
30 provinsi yang ada. Tetapi sebagian besar terkonsentrasi di Papua, Kalimantan
(Timur dan Selatan) Riau dan Sumatera Selatan.Meskipun wilayah hutan
mangrove yang laus ditemukan di 5 provinsi seperti tersebut di atas, namun
wilayah blok mangrove yang terluas di dunia tidak terdapat di Indonesia,
melainkan di hutan mangrove Sundarbans (660.000 ha) yang terletak di Teluk
Bengal, Bangladesh.
Meskipun secara umum lokasi mangrove diketahui, namun luas total hutan
mangrove yang masih ada di Indonesia belum diketahui secara pasti.Walaupun
mangrove dengan mudah diidentifikasi melalui penginderaan jarak jauh, terdapat
variasi yang nyata diantara data statistik yang dihimpun oleh instansi-instansi di
Indonesia, misalnya yang ada di Departemen Kehutanan, dan yang ada di
organisasi internasional seperti FAO berkisar antara 2,17 dan 4,25 juta hektar
(mangrove dalam kawasan hutan).
Ketidakcocokan ini disebabkan oleh penggunaan data lama yang meluas.
Angka 4,25 juta ha yang dikutip oleh FAO pada 1982 diambil sepenuhnya dari
data tahun 1970-an. Sumber utama lain yang tampk tidak konsisten diantara
sumber-sumber data adalah estimasi untuk Papua, yakni provinsi dengan hutan
mangrove terluas yang berkisar dari 0,97 s/d 2,94 juta ha ( Departemen Kehutanan
dan FAO 1990). Kemungkinan angka tersebut mencakup puluhan ribu hektar
hutan rawa sagu (Metroxylon spp) yang terdapat di rawa air tawar pada tepian
zona pantai di Papua.
Data terkhir yang terdapat di Ditjen RLPS Dep. Kehutanan tahun 2001
menunjukkan bahwa terdapat 8,6 juta ha mangrove di Indonesia, terdiri 3,8 juta ha
di dalam kawasan hutan dan 4,8 juta ha di luar kawasan hutan.
Untuk mengurangi ketidakpastian tentang luas hutan mangrove tersebut
perlu dilakukan Inventarisasi Hutan Mangrove Nasional agar diperoleh kepastian
dan pengelolaan yang lebih baik.
Hutan mangrove di Papua merupakan salah satu wilayah utama mangrove
di Indonesia dan satu dari areal yang terluas di dunia , yang sampai saat ini tidak
mendapat tekanan besar untuk dikonversi menjadi penggunaan lain dan ini
memberi kesempatan khusus bagi Indonesia guna melaksanakan mandat nasional
dan internasional untuk konservasi sumber daya biologi yang bermakna bagi
dunia.
Walaupun angka yang ada tidak akurat, namun yang pasti telah terjadi
adalah penurunan areal luas hutan mangrove secara drastis di Indonesia terutama
di Sumatera Bagian Timur, Sulawesi Selatan dan Jawa selama kurun waktu 20
tahun terakhir, sebagai akibat dari konservasi untuk penggunaan-penggunaan lain
terutama pengembangan tambak akibat booming harga udang pada tahun 80-an
dan 90-an.

1.4 Ancaman Terhadap Hutan Mangrove di Indonesia


Hutan mangrove di Indonesia berada dalam ancaman yang meningkat dari
berbagai pembangunan, diantara yang utama adalah pembangunan yang cepat
yang terdapat di seluruh wilayah pesisir yang secara ekonomi vital. Konsevasi
kemanfaatan lain seperti untuk budidaya perairan, infrastruktur pantai termasuk
pelabuhan, industri, pembangunan tempat perdagangan dan perumahan, serta
pertanian, adalah penyebab berkurangnya sumber daya mangrove dan beban berat
bagi hutan mangrove yang ada. Selain ancaman yang langsung ditujukan pada
mangrove melalui pembangunan tersebut, ternyata sumber daya mangrove rentan
terhadap aktivitas pembangunan yang terdapat jauh dari habitatnya.
Ancaman dari luar tersebut yang sangat serius berasal dari pengelolaan
DAS yang serampangan, dan meningkatnya pencemar hasil industri dan domestik
(rumah tangga) yang masuk ke dalam daur hdrologi. Hasil yang terjadi dari erosi
tanah yang parah dan meningkatnya kuantitas serta kecepatan sedimen yang
diendapkan di lingkungan mangrove adalah kematian masal (dieback) mangrove
yang tidak terhindarkan lagi karena lentisel-nya tersumbat oleh sedimen tersebut.
Polusi dari limbah cair dan limbah padat berpengaruh serius pada perkecambahan
dan pertumbuhan mangrove.
Ancaman langsung yang paling serius terhadap mangrove pada umumnya
diyakini akibat pembukaan liar mangrove untuk pembangunan tambak ikan dan
udang. Meskipun kenyataannya bahwa produksi udang telah jatuh sejak beberapa
tahun yang lalu, yang sebagaian besar diakibatkan oleh hasil yang menurun, para
petambak bermodal kecil masih terus membuka areal mangrove untuk
pembangunan tambak baru. Usaha spekulasi semacam ini pada umumnya
kekurangan modal dasar untuk membuat tambak pada lokasi yang cocok, tidak
dirancang dan dibangun secara tepat, serta dikelola secara tidak profesional. Maka
akibat yang umum dirasakan dalam satu atau dua musim, panennya rendah hingga
sedang , yang kemudian diikuti oleh cepatnya penurunan hasil panen , dan
akhirnya tempat tersebut menjadi terbengkalai.
Di seluruh Indonesia ancaman terhadap mangrove yang diakibatkan oleh
eksploitasi produk kayu sangat beragam, tetapi secar keseluruhan biasanya terjadi
karena penebangan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan HPH atau
industri pembuat arang seperti di Sumatera dan Kalimantan. Kayu-kayu mangrove
sangat jarang yang berkualitas tinggi untuk bahan bangunan. Kayu-kayu
mangrove tersebut biasanya dibuat untuk chip (bahan baku kertas) atau bahan
baku pembuat arang untuk diekspor keluar negeri.
Pada umumnya jenis-jenis magrove dimanfaatkan secara lokal untuk kayu
bakar dan bahan bangunan lokal. Komoditas utama kayu mangrove untuk
diperdagangkan secara internasional adalah arang yang berasal dari Rhizophora
spp., yang mempunyai nilai kalori sangat tinggi.
Barangkali ancaman yang palingserius bagi mangrove adalah persepsi di
kalangan masyarakat umum dan sebagian besar pegawai pemerintah yang
menganggap mangrove merupakan sumber daya yang kurang berguna yang hanya
cocok untuk pembuangan sampah atau dikonversi untuk keperluan lain. Sebagian
besar pendapat untuk mengkonversi mangrove berasal dari pemikiran bahwa
lahan mangrove jauh lebih berguna bagi individu, perusahaan dan pemerintah
daripada sebagai lahan yang berfungsi secara ekologi. Apabila persepsi keliru
tersebut tidak dikoreksi, maka masa depan mangrove Indonesia dan juga
mangrove dunia akan menjadi sangat suram.

2. Justifikasi Perlunya Ekosistem Mangrove Dikelola Secara Berkelanjutan


Beberapa justifikasi untuk mengelola ekosistem mangrove secara berkelanjutan adalah
:
2.1 Mangrove merupakan SDA yang dapat dipulihkan (renewable resources atau flow
resources yang mempunyai manfaat ganda (manfaat ekonomis dan ekologis).
Berdasarkan sejarah, sudah sejak dulu hutan mangrove merupakan penyedia
berbagai keperluan hidup bagi berbagai masyarakat lokal. Selain itu sesuai dengan
perkembangan IPTEK, hutan mangrove menyediakan berbagai jenis sumber daya
sebagai bahan baku industri dan berbagai komoditas perdagangan yang bernilai
ekonomis tinggi yang dapat menambah devisa negara. Secara garis besar, manfaat
ekonomis dan ekologis mangrove adalah :
a. Manfaat ekonomis, terdiri atas :
1) Hasil berupa kayu (kayu konstruksi, tiang/pancang, kayu bakar, arang,
serpihan kayu (chips) untuk bubur kayu)
2) Hasil bukan kayu
 Hasil hutan ikutan (tannin, madu, alcohol, makanan, obat-obatan, dll)
 Jasa lingkungan (ekowisata)
b. Manfaat ekologis, yang terdiri atas berbagai fungsi lindung lingkungan, baik
bagi lingkungan ekosistem daratan dan lautan maupun habitat berbagaia jenis
fauna, diantaranya :
 Sebagai proteksi dari abrasi/erosi, gelombang atau angin kencang
 Pengendali intrusi air laut
 Habitat berbagai jenis fauna
 Sebagai tempat mencari makan, memijah dan berkembang biak berbagai
jenis ikan, udang dan biota laut lainnya.
 Pembangunan lahan melalui proses sedimentasi
 Memelihara kualitas air (mereduksi polutan, pencemar air)
 Penyerap CO2 dan penghasil O2 yang relatif tinggi dibandingkan tipe
hutan lain.
2.2. Mangrove mempunyai nilai produksi primer bersih (PPB) yang cukup tinggi,
yakni : biomassa (62,9-398,8 ton/ha), guguran serasah (5,8-25,8 ton/ha/th) dan
riap volume (20 ton/ha/th, 9 m3/ha/th pada hutan tanaman bakau umur 20 tahun).
Besarnya nilai produksi primer ini cukup berarti bagi penggerak rantai pangan
kehidupan berbagai jenis organisme akuatik di pesisir dan ehidupan masyarakat
pesisir itu sendiri.
2.3 Dalam skala internasional, regional dan nasional, hutan mangrove luasnya relatif
kecil bila dibandingkan, aik dengan luas daratan maupun luasan tipe hutan
lainnya, padahal manfaatnya (ekonmis dan ekologis) sangat penting bagi
kelangsungan kehidupan masyarakat (khususnya masyarakat pesisir), sedangkan
dipihak lain ekosistem mangrove bersifat rentan (fragile) terhadap gangguan dan
cukup sulit untuk merehabilitasi kerusakannya.
2.4 Ekosistem mangrove, baik secara sendiri maupun bersama dengan ekosistem
padang lamun dan terumbu karang berperan penting dalam stabilisasi suatu
ekosistem pesisir, baik secara fisik maupun biologis.
2.5 Ekosistem mangrove merupakan sumber plasma nutfah yang cukup tinggi yang
saat ini sebagaian besar manfaatnya belum diketahui.

3. Pengelolaan Ekosistem Mangrove Secara Berkelanjutan


3.1 Landasan Filosofi Pengelolaan Sumberdaya Alam Secara Berkelanjutan
Tindakan pengelolaan SDA mempunyai tujuan utama untuk menciptakan
ekosistem yang produktif dan berkelanjutan untuk menopang berbagai kebutuhan
pengelolaannya. Oleh karena itu pengelolaan SDA harus diarahkan agar :
a. Praktek pengelolaan SDA harus meliputi kegiatan eksploitasi dan pembinaan
yang tujuannya mengusahakan agar penurunan daya produksi alam akibat
tindakan eksploitasi dapat diimbangi dengan tindakan peremajaan dan
pembinaan. Maka diharapkan manfaat maksimal dari SDA dapat diperoleh
secara terus menerus.
b. Dalam pengelolaan SDA yang berkelanjutan, pertimbangan ekologi dan
ekonomi harus seimbang, oleh karena itu pemanfaatan berbagai jenis produk
yang diinginkan oleh pengelola dapat dicapai dengan mempertahankan
kelestarian SDA tersebut dan lingkungannya.
Dengan demikian secara filosofis, pengelolaan SDA berkelanjutan
dipraktekan untuk memenuhi kebutuhan saat ini dari pengelola, dengan tanpa
mengabaikan pemenuhan kebutuhan bagi generasi yang akan datang, baik dari
segi keberlanjutan hasil maupun fungsi.

3.2 Permasalahan Utama dan Tujuan Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berkelanjutan


Sebagai suatu ekosistem hutan, mangrove sejak lama telah diketahui
memiliki berbagai fungsi ekologis, disamping manfaat ekonomis yang bersifat
nyata, yaitu menghasilkan kayu yang bernilai ekonomi tinggi. Sebagaimana
halnya dalam pengelolaan SDA lain yang bermanfaat ganda, ekonomis dan
ekologis, masalah utama yang dihadapi dalam pengelolaan hutan mangrove
adalah menentukan tingka pengelolaan yang optimal, dipandang dari kedua
bentuk manfaat (ekonomi dan ekologi tersebut).
Dibandingkan dengan ekosistem hutan lain, ekosistem hutan mangrove
memiliki beberapa sifat kekhususan dipandang dari kepentingan keberadaan dan
peranannya dalam ekosistem SDA, yaitu :
a. Letak hutan mangrove terbatas pada tempat-tempat tertentu dan dengan luas
yang terbatas pula.
b. Peranan ekologis dari ekosistem hutan mangrove bersifat khas, berbeda
dengan peran ekosistem hutan lainnya.
c. Hutan mangrove memiliki potensi hasil yang bernilai ekonomis tinggi.
Berlandaskan pada kenyataan tersebut, diperlukan adanya keseimbangan
dalam memandang manfaat bagi lingkungan dari hutan mangrove dalam
keadaannya yang asli dengan manfaat ekonomisnya. Dalam hal ini tujuan utama
pengelolaan ekosistem mangrove adalah sebagai berikut :
a. Mengoptimalkan manfaat produksi dan manfaat ekologis dari ekosistem
mangrove dengan menggunakan pendekatan ekosistem berdasarkan prinsip
kelestarian hasil dan fungsi ekosistem yang bersangkutan.
b. Merehabilitasi hutan mangrove yang rusak.
c. Membangun dan memperkuat kerangka kelembagaan beserta iptek yang
kondusif bagi penyelenggaraan pengelolaan mangrove secara baik.

3.3 Kendala dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove


a. Kendala Aspek Teknis
1) Kondisi habitat yang tidak begitu ramah, yakni tanah yang anaerob dan
labil dengan salinitas yang relatif tinggi apabila dibandingkan dengan tanah
mineral, adanya pengaruh pasang surut dan sedimentasi serta abrasi pada
berbagai lokasi tertentu.
2) Adanya pencampuran komponen ekosistem akuatik (ekosistem laut) dan
ekosistem daratan, yang mengakibatkan pengelolaannya menjadi lebih
kmpleks. Hal ini mengharuskan kecermatan yang tinggi dalam menerapkan
pengelolaan mengingat beragamnya sumber daya hayati yang ada pada
umumnya relatif peka terhadap gangguan, dan adanya keterkaitan antara
ekosistem mangrove dengan tipe ekosistem produktif lainnya di suatu
kawasan pesisir (padang lamun, terumbu karang, estuaria).
3) Kawasan pantai dimana mangrove berada umumnya mendukung populasi
penduduk yang ccukup tinggi, tetapi dengan tingkat kesejahteraan dan
tingkat pendidikan yang rendah.
b. Kendala Aspek Kelembagaan
Dalam pengelolaan wilayah pesisir beberapa kendala aspek kelembagaan
diantaranya adalah :
1) Tata ruang kawasan pesisir di banyak lokasi belum tersusun secara baik,
bahkan ada yang belum sama sekali.
2) Status kepemilikan bahan dan tata batas yang tidak jelas.
3) Banyaknya pihak yang berkepentingan dengan kawasan dan sumber daya
mangrove
4) Belum jelasnya wewenng dan tanggung jawab berbagai stake holder yang
terkait
5) Masih lemahnya law enforcement dari peraturan perundangan yang sudah
ada
6) Masih lemahnya koordinasi di antara berbagai instansi yang berkompeten
dalam pengelolaan mangrove
7) Praktek perencanaan, pelaksanaa dan pengendalian dalam pengelolaan
mangrove belum banyak mengikutsertakan partisipasi aktif masyarakat
yang berkepentingan dengan kawasan tersebut.

3.4 Bentuk Pengelolaan Ekosistem Mangrove


Pengelolaan ekosistem (hutan) mangrove hendanya mencakup tiga benruk
kegiatan pokok, yakni :
a. Pengusahaan hutan mangrove yang kegiatanna dapat dikendalikan dengan
penerapan sistem silvikultur dan pengaturan kontrak (pemberian konsensi).
b. Perlindungan dan pelestarian hutan mangrove yang dilakukan dengan cara
menunjuk, menetapkan dan mengukuhkan hutan mangrove menjadi hutan
lindung, hutan konservasi (Suaka Alam, Taman Nasional, Taman Hutan Raya,
Hutan Wisata, dll) dan kawasan lindung lainnya (Jalur hijau, sempadan
pantai/sungai, dll)
c. Rehabilitasi kawasan mangrove yang rusak sesuai dengan tujuan
pengelolaannya dengan pendekatan pelaksanaan dan penggunaan iptek yang
tepat guna.
3.5 Kriteria Umum Penetapan Kawasan Hutan Mangrove Berdasarkan Fungsinya
Dalam rangka menetapkan suatu kawasan hutan mangrove ke dalam
ktegori kawasan hutan produksi (kawasan budidaya) dan kawasan hutan yang
dilindungi (kawasan lindung) harus ditetapkan arahan kriterianya secara nasional.
Untuk keperluan tersebut beberapa atribut yang dapat dijadikan kriteria antara lain
adalah :
a. Kondisi fisik areal hutan
 Ukuran relatif pulau dimana mangrove tumbuh
 Luas areal hutan
 Kondisi tanah
b. Keunikan, kelangkaan, keterwakilan dan kekhasan, baik pada level ekosistem
maupun pada level sumber daya (jenis flora/fauna).
c. Kerawanan fungsi lindung terhadap lingkungan
d. Ketergantungan penduduk lokal terhadap hutan
e. Stok tegakan beserta regenerasinya dan hasil hutan bukan kayu, baik yang
sudah ada peluang pasarnya maupun yang belum ada peluang pasarnya.

Berdasarkan tingkat pembobotan dari atribut-atribut tersebut di atas, maka


dapat dilakukan scoring sebagai batas penetapan kawasan hutan mangrove
berdasarkan fungsinya di suatu daerah.
Selain itu, penetapan suatu kawasan hutan mangrove menjadi kawasan
lindung (hutan lindung dan hutan konservasi) dapat dilakukan tanpa sistem
scoring apabila kondisi fisik areal hutan dan potensi sumber daya hayatiya
dipandang perlu untuk dilindungi dan dilestarikan, misal :
a. Mangrove yang tumbuh di tanah berkoral atau tanah pasir podsol atau tanah
gambut
b. Mangrove yang tumbuh pada kawasan pesisir yang arus air lautnya deras
c. Mangrove tempat bertelur penyu atau tempat berkembang biak/mencari
makan/memijah jenis ikan yang langka/hampir punah/endemic
d. Kawasan lainnya yang dipandang perlu untuk dilindungi dan dilestarikan.
Kriteria dan Indikator Pengelolaan Hutan Alam Mangrove Produksi Lestari

Sampai saat ini kriteria dan indikator pengelolaan hutan alam mangrove produksi
secara lestari belum disusun secara formal. Pada tahun 1999 LPP Mangrove (Yayasan
Mangrove) mengadakan Workshop Penyempurnaan Kriteria Indikator Pengelolaan Hutan
Alam Mangrove Produksi Lestari. Beberapa Kriteria dan Indikator hasil workshop
tersebut yang mungkin dapat dijadikan acuan antara lain adalah :

Kriteria 1 : Kelestarian fungsi produksi


Indikator :
1) Kepastian penggunaan lahan sebagai kawasan hutan
2) Perencanaan dan implementasi penataan hutan menurut fungsi dan tipe hutan
3) Besaran perubahan penutupan lahan hutan akibat perambahan dan alih fungsi
kawasan hutan dan gangguan lainnya
4) Pemilihan dan penerapan sistem silvikultur yang sesuai dengan ekosistem hutan
setempat
5) Macam dan jumlah hasil hutan non kayu terjamin
6) Investasi untuk penataan dan perlindungan hutan
7) Realisasi dana yang dialokasikan untuk pengelolaan kawasan dilindungi dan
keanekaragaman hayati, termasuk spesies endemic, langka dan dilindungi.
8) Pengorganisasian kawasan yang menjamin kegiatan produksi yang kontinyu yang
dituangkan dalam berbagai tingkat rencana dan diimplementasikan
9) Produksi tahunan sesuai dengan kemampuan produktivitas hutan
10) Efisiensi pemanfaatan hutan
11) Tingkat kerusakan pohon induk
12) Keabsahan sistem lacak balak dalam hutan
13) Kelancaran dan keteraturan pendanaan untuk kegiatan perencanaan, produksi dan
pembinaan hutan.
14) Kesehatan perusahaan
15) Peran bagi pembangunan ekonomi wilayah
16) Sytem informasi manajemen
17) Satuan Pemeriksaan Internal (SPI)
18) Tersedianya tenaga profesional untuk perencanaan, perlindungan, produksi,
pembinaan hutan dan manajemen bisnis
19) Investasi dan reinvestasi untuk pengelolaan hutan
20) Peningkatan modal hutan

Kriteria 2 : Kelestarian fungsi ekologis


Indikator :
1) Proporsi luas kawasan dilindungi yang berfungsi baik terhadap total kawasan
yang seharusnya dilindungi serta telah dikukuhkan dan atau keberadaannya diakui
pihak terkait.
2) Propoprsi luas kawasan dilindungi yang tertata baik terhadap total kawasan yang
seharusnya dilindungi dan sudah ditata batas di lapangan
3) Intensitas gangguan terhadap kawasan dilindungi
4) Kondisi kenekaragaman spesies flora dan/atau fauna di dalam kawasan dilindungi
pada berbagai formasi/ tipe hutan yang ditemukan di dalam unit manajemen
5) Intensitas kerusakan struktur hutan dan komposisi spesies tumbuhan
6) Efektifitas penyuluhan mengenai pentingnya pelestarian ekosistem hutan sebagai
sistem penyangga kehidupan , dampak aktivitas lewat panen terhadap ekosistem
hutan dan pentingnya pelestarian spesies dilindungi/endemic/langka
7) Intensitas dampak kegiatan kelola produksi terhadap satwa liar
endemic/langka/dilindungi dan habitatnya
8) Pengamanan satwa liar endemic/langka/dilindungi dan habitatnya

Kriteria 3 : Kelestarian fungsi Sosial


Indikator :
1) Batas antara kawasan konsesnsi dengan kawasan komunitas setempat terdeliniasi
secara jelas dan diperoleh melalui persetujuan antar pihak yang terkait di
dalamnya.
2) Akses dan kontrol penuh masyarakat secara lintas generasi terhadap kawasan
hutan adat terjamin.
3) Akses pemanfaatan hasil hutan oleh komunitas secara lintas generasi di dalam
kawasan konsensi terjamin
4) Digunakannya tata cara atau mekanisme penyelesaian sengketa yang tepat
terhadap pertentangan klaim atas hutan yang sama
5) Sumber-sumber ekonomi komunitas minimal tetap mampu mendukung
kelangsungan hidup komunitas secara lintas generasi
6) Komunitas mampu mengakses kesempatan kerja dan peluang berusaha yang
terbuka
7) Modal domestik berkembang
8) Peninjauan berkala terhadap kesejahteraan karyawan
9) Minimasi dampak unit manajemen pada integrasi sosial dan kultural
10) Kerjasama dengan otoritas kesehatan
11) Keberadaan dan pelaksanaan Kesepakatan Kerja Bersama (KKB)
12) Pelaksanaan Upah Minimum Regional / Provinsi dan Struktur gaji yang adil
13) Terjaminnya Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)

Sumber : Seminar Pengelolaan Hutan Mangrove Denpasar, Bali 8 September 2003

Anda mungkin juga menyukai