Anda di halaman 1dari 12

PENDAHULUAN Pada masa setelah Rasulullah SAW wafat, komunitas muslim yang belum lama lahir itu merasa

sangat perlu menjaga kesinambungan wahyu dan detil fenomena akan sejarah nabi tersebut. Tentunya tugas yang sangat penting ini, terpenuhi atau tidaknya tergantung dari tarap kesungguhan dan ketulusan dalam mengatur informasi tersebut. Sebuah fakta yang menunjukkan ke arah pemikiran itu adalah proses transmisi periwayatan naskah Alquran hingga tahap pembukuannya. Alquran telah diperiksa dan disatukan oleh nabi sendiri, dan Hafsah (isteri beliau) kemudian menyerahkan kepada Abu Bakar, dan seterusnya. ini bukti yang tidak terbantahkan bahwa naskah Alquran telah dikumpulkan dengan hati-hatinya. Wacana yang sama terlihat juga dalam metodologi penulisan hadits. Sejarah penulisan hadits dan pembukuan hadits serta ilmu hadits telah melewati serangkaian proses sejarah yang sangat panjang; semenjak Nabi SAW., sahabat, tabiin dan seterusnya hingga mencapai puncaknya pada kurun abad ke tiga hijriyah. Berbagai macam permasalahan yang muncul tentang hadits setelah masa kenabian di antaranya ialah pemalsuan hadits yang dilakukan oleh beberapa oknum-oknum yang dapat meretakkan kesatuan umat islam. Dalam kesempatan kali ini, akan dicoba dan mengupas perihal munculnya Pemalsuan hadits, dan para tokoh hadits generasi tabiin, serta beberapa pengaruh negatif dan pengaruh positif yang terjadi ketika munculnya pemalsuan hadits. Juga akan dipaparkan beberapa sebab dan latar belakang terjadinya pemalsuan hadits itu sendiri.

PEMBAHASAN Para tabiin memperoleh hadits dari para sahabat. Mereka berbaur dan mengenal segala sesuatu dari para sahabat dan mereka juga membawa sebgaian besah hadis Rasul dan para sahabat. Mereka benar-benar mengetahui kapan para sahabat melarang penulisan hadis dan kapan mereka memperbolehkannya. Mereka benar-benar mengambil teladan dari para sahabat yang merupakan generasi pertama yang membwa Alquran dan hadis. Karena alasan-alasan yang menyebabkan khulafaurrasyidin dan para sahabat lain melarang penulisan hadis sama dengan alasan-alasan yang menjadi pertimbangan para tabiin dalam pelarangannya, sehingga semua mengacu pada titik yang sama. Para tabiin akan melarang penulisan al-Sunnah bila alasan-alasan itu ada dan akan menyepakati kebolehan penulisannya ketika alasan-alasan itu hilang ataupun bahkan meyoritas mereka menganjurkannya. I. MUNCUL PEMALSUAN HADITS Pergolakan politik yang terjadi pada masa sahabat, setelah terjadinya perang jamal dan perang shiffin, yaitu ketika kekuasaan dipegang oleh Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi akibatnya cukup panjang dan berlarut-larut dengan terpecahnya umat islam ke dalam beberapa kelompok yaitu; pertama: golongan Syiah, pendukung Ali bin Abi Thalib. Kedua: golongan khawarij, penentang Ali dan Muawiyah, ketiga: golongan jamaah yang tidak mendukung kedua golongan di atas. Terpecahnya umat Islam menjadi beberapa golongan tersebut didorong akan adanya keperluan dan kepentingan golongan masing-masing. Mereka mendatangkan keterangan dan hujjah untuk mendukungnya dengan beberapa cara, yaitu: a. Mereka mencari ayat-ayat Alquran dan hadits yang dapat dijadikan hujjah. b. Apabila mereka tidak menemukannya, mereka menakwilkan ayat Alquran dan menafsiri hadits-hadits sesuai dengan golongannya.

c. Langkah terakhir, apabila mereka tidak mendapatkannya dari kedua

sumber tersebut, maka mereka memalsukan hadis-hadis, dan yang pertama mereka palsukan adalah hadits yang mengenai orang-orang yang mereka agung-agungkan.
1

Yang mula-mula melakukan pekerjaan sesat ini adalah golongan Syiah, sebagaimana, diakui Ibn Ali al-Hadid, seorang ulama Syiah dengan mengatakan bahwa asal mula timbulnya hadis yang menerangkan keutamaan pribadi-pribadi adalah dari golongan syiah sendiri. Tindakan tersebut ditandingi oleh golongan jamaah memalsukan hadis-hadis yang dibuat oleh golongan syiah.
2

Dengan memperhatikan keterangan tersebut, dapat diketahui bahwa kota yang mula-mula mengembangkan hadis-hadis palsu adalah baghdad, karena kaum syiah berpusat di sana. Bahkan al-Zuhri, seorang tabiin berkata: hadis keluar dari sejangkal, lalu kembali kepada kami sehasta, sehingga tidak aneh jika Imam Malik menamakan Baghdad dengan pabrik hadis palsu. Mulai saat itu, terdapat hadits-hadits yang shahih dan hadis-hadis yang palsu, tetapi di lain pihak terdapat golongan yang menentang orang-orang yang yang suka membuat hadis palsu, dengan membedakan mana hadis yang shahih dari hadis yang palsu. Mereka melakukan penelitian mengenai segala hal yang berkaiatan dengan hadits Nabi SAW, baik secara riwayat maupun dirayat dan menetapkan aturan-aturan yang tetap agar hadis dapat selamat sampai ke tangan penerusnya. Cara-cara ulama dalam menjaga hadis, yaitu dengan adanya keharusan menyebutkan sanad, mengadakan perlawatan mencari hadis dan berhati-hati dalam menerimanya, mengadakan penelitian terhadap orang-orang yang diduga sering membuat hadis palsu dan memerangi mereka, menjelaskan keadaan perawi dan menetapkan kaidah-kaidah untuk dapat mengetahui hadishadis palsu.
1

Zainul Arifin, Studi Kitab Hadits, (Surabaya: Alpha, 2005), 31.

Ibid., 32.

Dari pergolakan politik seperti di atas, cukup memberikan pengaruh terhadap perkembangan hadits berikutnya, yaitu;
1. Pengaruh yang langsung dan bersifat negatif, ialah dengan munculnya

hadis-hadis palsu (maudhu) untuk mendukung kepentingan politiknya masing-masing kelompok dan untuk menjatuhkan posisi lawannya.
3

2. Pengaruh positifnya ialah, lahirnya rencana dan usaha yang mendorong diadakannya kodifikasi hadis, sebagai upaya penyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan, sebagai akibat dari pergolakan politik tersebut. II. KODIFIKASI HADIS Dalam fakta sejarah, di masa sahabat belum ada pembukuan hadis secara resmi yang diprakarsai pemerintah, padahal peluang untuk membukukan hadits terbuka. Umar bin Khattab pernah berfikir membukukan hadits, ia meminta pendapat para sahabat, dan disarankan membukukannya. Setelah Umar bin Khattab istikharah sebulan lamanya ia membatalkan rencana tersebut. Pada masa tabiin wilayah islam bertambah luas. Perluasan daerah tersebut diikuti dengan penyebaran ulama untuk menyampaikan ajaran ilsam di daerahdaerah, termasuk ulama hadis. Penyebaran hadis disesuaikan dengan kekuatan hafalan masing-masing ulama itu sendiri, sehingga tidak merata hadis yang dimiliki ulama hadis. Maka kondisi tersebut sebagai alasan kodifikasi hadis. Kodifikasi ini disinonimkan dengan tadwin al-hadis tentunya berbeda dengan penulisan hadis kitabah al-hadis. Tadwin al-hadis mempunyai makna penulisan hadits Nabi ke dalam suatu buku (himpunan, dan susunan) yang pelaksanaanya dilakukan atas legalitas yang berlaku umum dari lembaga kenegaraan yang diakui masyarakat. Sedangkan Kitabah al-Hadits itu sendiri asal mulanya merupakan hasil kesaksian sahabat Nabi terhadap sabda, perbuatan,
3

Munzier Suparta, Ilmu Hadits, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1993), 88.

taqrir, dan atau al-ihwal Nabi kemudian apa disaksikan oleh sahabat itu lalu disampaikannya kepada orang lain, dan seterusnya, baik secara lisan maupun tulisan. Jadi belum merupakan kodifikasi, akan tetapi baru merupakan tulisantulisan-tulisan atau catatan-catatan pribadi. Sedangkan perbedaan-perbedaan antara kodifikasi hadis secara resmi dari penulisan hadis adalah sebagai berikut: 1. Kodifikasi hadis secara resmi dilakukan oleh suatu lembaga administratif yang diakui masyarakat, sedang penulisan hadis dilakukan oleh perorangan. 2. Kegiatan kodifikasi hadis tidak hanya menulis, tapi juga mengumpulkan, menghimpun, dan mendokumentaskannya. 3. Tadwin hadis dilakukannya secara umum, yang melibatkan segala perangkat yang dianggap berkompeten terhadapnya, sedang penulisan hadis dilakukan oleh orang-orang tertentu. III. PERAN UMAR BIN ABDUL AZIZ DALAM KODIFIKASI Secara resmi berdasarkan perintah khalifah, dengan melibatkan beberapa personil, yang ahli dalam khalifah, dengan melibatkan beberapa personil yang ahli dalam masalah ini. Bukan dilakukan secara perorangan atau untuk kepentingan pribadi, seperti terjadi pada masa-masa sebelumnya. Khalifah Umar bin Abdul Aziz melalui instruksi kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm (Gubernur Madinah) dan para ulama Madinah agar memperhatikan dan mengumpulkan hadis dari para penghafalnya. Di antara isntruksinya kepada para ulama Madinah:


perhatikan himpunlah ia atau periksalah hadits-hadits Rasulullah, kemudian

Demikian juga surat khalifah yang dikirim kepada Ibnu Hazm (wafat 117H)

Tulislah kepadaku apa yang tetap padamu dari pada hadits Rasulullah, sesungguhnya aku khawatir hilangnya ilmu dan wafatnya para ulama. Khalifah menginstruksikan kepada Abu Bakar ibn Muhammad bin Hazm agar mengumpulkan hadis-hadis yang ada pada Amrah binti Abdurrahman alAnshari (wafat 98H) murid kepercayaan siti Aisyah. Dan alQasim bin Muhammad bin Abi Bakar (wafat 107H). instruksi yang sama ia tunjukkan pula kepada Muhammad bin Syihab Al-Zuhri (wafat 124H), yang dinilainya sebagai orang yang lebih banyak mengetahui hadis dari pada yang lainnya. Peranan para ulama hadis, khususnya al-Zuhri, sangat mendapat penghargaan dari seluruh umat Islam. Mengingat pentingnya pernana al-Zuhri ini, para ulama di masanya memberikan komentar, bahwa jika tanpa dia, di antara hadis-hadis niscaya hadis sudah banyak yang hilang. Beberapa pokok mengapa khalifah Umar bin Abdul Aziz mengambil kebijaksanaan seperti ini. Pertama ia khawatir hilangnya hadis-hadis, dengan menginggalnya para ulama di medan perang. Kedua ia khawatir akan tercampurnya antara hadis-hadis yang shahih dengan hadis-hadis yang palsu. Ketiga bahwa dengan semakin meluasnya daerah kekuasaan Islam, sementara kemampuan para tabiin antara satu dengan yang lainnya tidak sama, jelas sangat memerlukan adanya usaha kodifikasi ini.
IV.

TOKOH-TOKOH HADITS GENERASI TABIIN ABAD PERTAMA

1. Aban bin Utsman bin Affan (20-105H)


4

Abdul Majid Khon, ulumul hadits, (Jakarta: Amzah, 2008), 53.

Beliau termasuk orang yang pertama kali menulis buku. Beliau menulis buku tentang maghazi (kisah peperangan Nabi). Yahya bin Al-Mughirah bin Abd Al-Rahman meriwayatkan dari ayahnya, bahwa ayahnya (al-mughirah) tidak mempunyai kitab tulisan tangan yang berisi hadis-hadits Nabi SAW selain maghazi Nabi yang diambil nya dari Abban bin Utsman. Ayahnya itu sering membacakan kitab tersebut, serta menyuruh Yahya agar mempelajarinya. 2. Ibrahim bin Yazid al-Nakhai al-Awar (47-96H) Mansur meriwayatkan dari Ibrahim, kata Ibrahim: saya tidak pernah datang kepada Ibrahim dan berkata, saya datang kepadamu membawa berbagai masalah, tetapi saya lupa hal itu; sedangkan Ibrahim menjawab, memang, jarang orang mau menulis kecuali tulisannya itu akhirnya dijadikan andalan Barangkali karena alasan inilah beliau enggan menulis hadis. Apabila tidak demikian, tentu beliau sudah menulisnya, seperti yang pernah beliau lakukan kepada Qatadah. 3. Abu Salamah bin Abd. Al-Rahman Abu Ishaq mengatakan, ia melihat Abu Salamah bin Abdul Rahman menyuruh seorang anak untuk mengambil kitab. Kitab itu kemudian dibawanya ke sebuah ruangan rumah dan diimlakkannya kepada anak tersebut, sedang anak tersebut menuliskannya. 4. Abu Qilabah Abdullah bin Zaid al-Basri wafat di kota Dariya, 104 H. Beliau termasuk tokoh yang terpandang. Meriwayatkannya hadis dari Samurah bin Jundub, Tsabit bin al-Dhahhak, Anas bin Malik dan lain-lain. Pernah beliau diminta untuk menjadi qadhi, tetapi beliau menghilang dan merantau ke Syam, dan tinggal di kota Dariya. Beliau juga termasuk tokoh yang disegani, terbukti ketika beliau sakit, Umar bin Abdul Aziz datang menjenguknya. 5. Abu al-Malih bin Usamah bin al-Hudzail (w 89H)

Ayyub menuturkan bahwa Abu Qilabah dan Abu al-Malih sama-sama menulis hadits. 6. Ummu Darda, Juhaimah binti Yahya al-Dimasyqiyyah, (w 81H) 7. Jabir bin Zaid al-Azdi (w 93H) Al-Ribab mengatakan, ia pernah bertanya keepada Ibnu Abbas tentang suatu masalah; jawab Ibnu Abbas: kenapa Anda bertanya kepada saya padahal Jabir bin Zaid ada pada Anda. Dan adalah Hasan Al-Bashri, apabila ia hendak berperang maka yang memberikan fatwa kepada orang-orang adalah Jabir bin Zaid. 8. Harits bin Abdullah al-Awar al-hamdani Beliau mempunyai kitab banyak. Abu Bakar bin Ayysy mengatakan: sebenarnya orang-orang tidak begitu tertarik dengan Harits, mereka lebih tertarik dengan yang lain. Hanya saja Harits ini mempunyai kitab banyak sekali. 9. Hibban bin Jazi al-Sulami (wafat 100H) 10. Hamran Bin Aban, eks hamba Utsman bin Affan (wafat sesudah 75H) 11. Khalid bin Madan bin Abu Kuraib al-Kalai (wafat 103H) 12. Dzakwan Abu Shalih al-Samman (20-101H) 13. Abu al-Aliyah al-Riyahi (wafat 90H) 14. Salim Bin Abu al-Jaad (wafat 100H) 15. Said bin Jubair (46-95H) 16. Said bin Fairuz abu al-Al-Bukhtari (wafat terbunuh 83H) 17. Sulaiman bin Qais al-Yasykuri al-Bashri (wafat sebelum 80H) 18. Syurahil bin Syurahbil (wafat sebelum 60H)

19. Syaqiq bin Salamah al-Asadi (1-82H) 20. Syahr bin Hausyab al-Asyariy (20-100H) 21. Al-Dhahhak bin Muzahim (w 105H) 22. Tawus bin Kaisan al-Yamani, (w 100H) 23. Amir bin Syarahil Amr al-Syabi al-Hamdani (19-103H) 24. Amir bin Abdullah bin Masud al-Hadzali (wafat 81H) 25. Abdul Rahman bin Aidz al-Azdi (w 80H) 26. Abdul Rahman bin Abdullah bin Masud (wafat 79H) 27. Abdul Rahman bin Ghanm al-Asyariy (wafat 78H) 28. Abdul Rahman bin Mull, Abu utsman al-Nahdi (35SH-95H) 29. Abdullah bin Rabah al-Anshari (wafat 90H) 30. Abdullah bin Abu Qatadah (wafat 99H) 31. Abdullah bin Muhammad bin Ali (wafat 99H) 32. Abdullah bin Hurmuz (wafat 100H) 33. Ubaidillah bin Abu Rafi (wafat 80H) 34. Ubaidah bin Amr al-Salmani al-Muradi (wafat 72H) 35. Urwah bin al-Zubair bin al-Awwam (22-93H) 36. Ikrimah, mantan hamba Ibnu Abbas (wafat 105H) 37. Umar bin Abdul Aziz (63-101H) 38. Amrah binti Abdul Rahman (21-98H) 39. Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar al-Shiddiq (35-105H)

40. Katsir bin Murrah al-Hadhrami (wafat 75H) 41. Kurdus Bin Abbas al-Tsalabiy (10SH-60H) 42. Lahiq bin Humaid Abu Mijlaz (wafat 100H) 43. Mujahid bin Jabr al-Makki (21-102H) 44. Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, Ibn al-Hanafiyyah ,(wafat 73H) 45. Muhammad bin Abu Kabsyah al-Ansyari (wafat 100H) 46. Muadzah binti Abdullah al-Adawiyah (wafat 83H) 47. Mughits bin Sumai al-Auzai(wafat 80H) 48. Miqsam bin Bujrah (wafat 101H)

49. Mamtur al-Habsyi, Abu Salam (wafat 100H) 50. Hind binti al-Harits al-Farasiyah (wafat 100H) 51. Yahya bin Jazzar al-Urani (wafat 80H)

PENUTUP Betapa besar nikmat yang telah dirasakan oleh umat manusia saat ini. Dapat mengkaji dan meneliti akan sebuah hadits dengan mudahnya, melalui kitabkitab hadis yang telah terkodifikasi oleh para ulama dahulu. Andaikan dahulu, para sahabat dan tabiin tidak terbersit dalam pikiran mereka untuk mengkodifikasi hadits-hadits Nabi, mungkin sekarang ini manusia sulit dalam menentukan segala macam hukum dan permasalahan yang muncul.

Banyak sekali hikmah-hikmah yang dapat diambil dari pemalsuanpemalsuan hadits beserta kodifikasi haditsnya. Di antaranya dengan pengadaan kodifikasi ini, maka jelaslah mana hadits yang shahih dan hadits yang dipalsukan. Dan juga hadits Nabi Muhammad SAW. Terhimpun dengan rapi dan teratur dalam satu wadah, yang dapat dikaji kapanpun juga.

REFERENSI: Arifin, Zainul. 2005. Studi Kitab Hadits. Surabaya: Alpha. Khon, Abdul Majid. 2008. Ulumul Hadits. Jakarta: Amzah. Suparta, Munzier. 1993. Ilmu Hadits. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Azami, Muhammad Mustafa. 1980. Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya. Ter. Ali Mustafa Yaqub. 2006. Jakarta: Pustaka Firdaus. Mahmud at-Thahhan. (t.t). Ilmu Hadits Studi Kompleksitas Hadits Nabi. Ter. Zainul Muttaqin. 2004. Yogyakarta: Titian Ilahi Press.

Anda mungkin juga menyukai