Anda di halaman 1dari 5

Jialah

A. Pengertian
Jialah menurut Bahasa adalah nama yang digunakan seseorang pada barang yang dijanjikan untuk
seseorang atas janji sesuatu yang akan dia kerjakan. Sedangkan menurut istilah syara ialah
"Tindakan penetapan orang yang sah pentasarrufannya tentang suatu ganti yang telah diketahui
jelas atas pekerjaan yang ditentukan." Atau Secara istilah, menurut madzab Malikiyah, jualah adalah
akad sewa (ijarah) atas semua manfaat yang belum diketahui keberhasilannya (terdapat probabilitas
atas keberhasilan atau kegagalan dalam menjalankan suatu pekerjaan). Seperti halnya ucapan
seseorang, barang siapa yang mempu menemukan mobil saya yang hilng, atau barang siapa yang
mampu menggali sumur ini hingga mengalir airnya, maka ia berhak mendapatkan hadiah yang saya
janjikan.
Atau dengan perkataan lain mengenai hal ini bahwa Jialah ialah meminta agar mengembalikan
barang yang hilang dengan bayaran yang ditentukan oleh pihak yang kehilangan. Dapat dicontohkan
bilamana ada seseorang yang kehilangan kuda, kemudian dia berkata, "Barangsiapa yang
mendapatkan kudaku yang telah hilang dan dia kembalikan kepadaku, maka aku bayar sekian."
Hal ini sedikit berbeda dengan pemaknaan kata ji'alah yang ada di dalam kitab fatkhul qorib di atas
dengan pemaknaan kata ji'alah di dalam kitab kifayatur akhyar edisi terjemah. Yang umum
digunakan adalah kata ji'alah dengan pemaknaan sayembara, namun di dalam penerjemahan kitab
kifayatul akhar yang digunakan adalah ja'alah dengan pemaknaan upahan. Di bawah ini akan
dikutipkan penerjemahan yang ada di dalam kitab kifayatul akhyar.
Di dalam kitab kifayatul akhyar edisi terjemahan manyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ja'alah
adalah mensyaratkan bila dapat dikembalikan binatangnya yang hilang, akan dibayar upahan yang
tertentu. Maka barang siapa yang mengembalikan, dia berhak menerima upahan yang disyaratkan
itu. Kata ja'alah boleh juga disebut dengan kata ji'alah. Sama halnya dengan pendapat yang berada
di dalam kitab kifayatul akhyar, menurut al-Jazairi yang dikutip oleh Ismail Nawawi mengatakan
bahwa, pengupahan atau ja'alah menurut bahasa adalah apa yang diberikan kepada seseoarng
karena sesuatu yang dikerjakannya. Sedangkan pengupahan atau ji'alah menurut syari'at,
menyebutkan hadiah atau pemberian seseorang dalam jumlah tertentu kepada orang yang
mengerjakan perbuatan khusus, diketahui atau tidak diketahui. Misalnya, seseoarang berkata
"barang siapa membangun tembok ini untukku, ia berhak mendapat uang sekian." Maka orang yang
membangun tembok untuknya berhak atas hadiah yang ia sediakan, banyak atau sedikit.
Berbeda dengan ketiga penggunaan penetapan kata di dalam masing-masing kitab, di dalam kitab
Bidayatul Mujtahid, mengenai pembahasan pada tema ini. Ji'alah ialah pemberian upah (hadiah)
atas suatu manfa'at yang diduka bakal terwujud, seperti mempersyaratkan kesembuhan dari
seorang dokter, atau kepandaian dari seorang guru, atau pencari/penemu hamba yang lari.
Akad Jualah identik dengan sayembara, yakni menawarkan sebuah pekerjaan yang belum pasti
dapat diselesaikan. Jika seseorang mampu menyelesaikannya, maka ia berhak mendapatkan upah
atau hadiah. Secara harfiah, jualah bermakna sesuatu yang dibebankan kepada orang lain untuk
dikerjakan, atau perintah yang dimandatkan kepada seseorang untuk dijalankan. Menurut ahli
hukum (qonun), jualah diartikan dengan hadiah yang dijanjikan ketika seseorang berhasil melakukan
sebuah pekerjaan.
Jialah juga bermakna menetapkan kebebasan bekerja pada orang yang disuruh yang nantinya akan
diberi ganti/upah atas pekerjaannya dan gantinya itu sudah ditentukan. Contohnya: Sayembara.

B. Rukun Jialah
1. Adanya 2 orang yang berakad yaitu Ja'il dan 'Amil.
a. Ja'il yaitu orang yang mengadakan sayembara. Disyaratkan bagi ja'il itu orang yang mukallaf dalam
arti baligh, berakal, dan cerdas
b. 'Amil adalah orang yang melakukan sayembara. Tidak disyaratkan 'amil itu orang-orang tertentu
(bebas).
2. Shighat. Kalimat itu hendaklah mengandung arti izin kepada yang akan bekerja, juga tidak
ditentukan waktunya.
3. Pekerjaan (sesuatu yang disyaratkan oleh orang memiliki harta dalam sayembara tersebut).
4. Upah. Harta yang wajib diberikan oleh ja'il kepada 'amil.
Jika orang yang kehilangan itu berseru kepada masyarakat umum, "Siapa yang mendapatkan
barangku akan aku beri uang sekain." kemudian dua orang bekerja mencari barang itu, sampai
keduanya mendapatkan barang itu bersama-sama, maka upah yang dijanjikan tadi berserikat antara
keduanya

C. Yang Membatalkan Jialah
Madzab Malikiyah menyatakan, akad jualah boleh dibatalkan ketika pekerjaan belum dilaksanakan
oleh pekerja (amil). Sedangkan menurut Syafiiyah dan Hanabilah, akad jualah boleh dibatalkan
kapanpun, sebagaimana akad-akad lain, seperti syirkah dan wakalah, sebelum pekerjaan
diselesaikan secara sempurna. Jika akad dibatalkan di awal, atau di tengah berlangsungnya kontrak,
maka hal itu tidak masalah, karena tujuan akad belum tercapai. Jika akad dibatalakan setelah
dilaksanakannya pekerjaan, maka amil boleh mendapatkan upah sesuai yang dikerjakan. Atau
dengan kata lain, masing-masing pihak boleh menghentikan (membatalkan) perjanjian sebelum
bekerja. Jika yang membatalkannya orang yang bekerja, maka ia tidak mendapat upah, sekalipun ia
sudah bekerja. Tetapi jika yang membatalkannya adalah pihak yang menjanjikan upah, maka yang
bekerja berhak menuntut upah sebanyak pekerjaan yang sudah dia kerjakan.

D. Landasan Syariah
Menurut madzab Hanafiyah, akad jualah tidak diperbolehkan, karena mengandung unsur gharar di
dalamnya. Yakni, ketidakjelasan atas pekerjaan dan jangka waktu yang ditentukan. Hal ini ketika
dianalogkan dengan akad ijarah yang mensyaratkan adanya kejelasan atas pekerjaan, upah dan
jangka waktu. Namun demikian, ada sebagian ulama Hanafiyah yang meperbolehkannya, dengan
dasar istihsan (karena ada nilai manfaat).
Menurut ulama Malikiyah, Syafiiyah, dan hanabilah, secara syari, akad jualah diperbolehkan.
Dengan landasarn kisah Nabi Yusuf beserta saudaranya.Firman Allah:
eO /ee u&Pt-O /t\e9 u.H|~ /ee !'u u9e0
Artinya: Dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat)
beban unta. (Q.S Yusuf : 72)
Begitu juga dengan sabda Rasulullah dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam al-Jamaah
kecuali Imam NasaI dari Abu Said al-Khudri. Suatu ketika sahabat Rasulullah mendatangkan sebuah
perkampungan Arab. Namun mereka tidak dilayani layaknya seorang tamu. Tiba-tiba pemimpin
merka terserang penyakit, kemudian penduduk desa meminta sahabat untuk menyembuhkannya.
Sahabat Rasul meng-iya-kan dengan catatan mereka diberi upah. Syarat ini disetujui, kemudian
seorang sahabat membaca al-Fatihah, maka akhirnya pemimpin tersebut sembuh. Kemudian, hadiah
pun diberikan. Akan tetapi sahabat tidak mau menerima sebelum lapor dari Rasulullah, maka
Rasulullah tersenyum melihat atas laporan kejadian itu.

E. Kesimpulan
Jialah menurut Bahasa adalah nama yang digunakan seseorang pada barang yang dijanjikan untuk
seseorang atas janji sesuatu yang akan dia kerjakan. Sedangkan menurut istilah syara ialah
"Tindakan penetapan orang yang sah pentasarrufannya tentang suatu ganti yang telah diketahui
jelas atas pekerjaan yang ditentukan."
Rukun jialah ialah;
1. Adanya 2 orang yang berakad yaitu Ja'il dan 'Amil.
2. Shighat.
3. Pekerjaan
4. Upah
Masing-masing pihak boleh menghentikan (membatalkan) perjanjian sebelum bekerja. Jika yang
membatalkannya orang yang bekerja, maka ia tidak mendapat upah, sekalipun ia sudah bekerja.
Tetapi jika yang membatalkannya adalah pihak yang menjanjikan upah, maka yang bekerja berhak
menuntut upah sebanyak pekerjaan yang sudah dia kerjakan.
Landasan diperbolehkannya jialah sebagaimana di dalam al-Quran,
/ee u&Pt-O /t\e9 u.H|~ /ee !'u u9e0eO
Artinya: Dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat)
beban unta. (Q.S Yusuf : 72).

DAFTAR PUSTAKA

Abu Amar, Imron, 1983. Terjemah Fathul Qarib, Menara Kudus, Kudus.
AlHusain, Imam Taqiyudin Abu Bakar bin Muhammad, 2003. Terjemah Kifayatul Akhyar, CV Bina
Ilmu, Surabaya.
As-Syarbaji, Ali, 2005. Fiqih Manhaji as-Syafi'I, Darul Qolam, Damsyik.
Nawai, Imam. 2000, Tausyeh, Hidayah, Banten.
Nawawi, Ismail. 2009, Fiqih Muamalah, Wirajaya Multipress, Surabaya.
Rasjid, H. Sulaiman, 1994. Fiqih Islam, Sinar Baru Algensindo, Bandung.
Rusyd, Ibnu, 1989 Bidayatul Mujtahid, Pustaka Amani, Jakarta.
Zuhaili, Wahbah, 1989. al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, jilid IV, Darul Fikr, Damaskus.








DALAM SEPAK BOLA
23 Sep 2010 Tinggalkan sebuah Komentar
by scorpio in Ustadz Menjawab
SOAL :
Ustadz, saya suka main bola, terus suka taruhan juga dengan teman-teman pemain lain.
Yang kalah misalnya mentraktir yang menang. Bolehkah? Sudah termasuk judi? (Hamba
Allah, Bogor)
JAWAB :
Jika uang yang digunakan mentraktir hanya dari pihak yang kalah, sementara pihak yang
menang tidak mengeluarkan uang sama sekali, maka aktivitas di atas secara syari
dibolehkan dan tidak termasuk judi.
Sebab aktivitas di atas termasuk apa yang dalam fiqih disebut jialah, yaitu suatu janji
memberikan kompensasi materi (harta) yang tertentu untuk suatu perbuatan (jasa) tertentu.
(Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, IV/783). Contoh jialah misalkan
seseorang mengumumkan kepada publik,Barangsiapa dapat mengembalikan ijazahku yang
hilang, saya beri uang Rp 5 juta.
Jialah sebagaimana boleh ditujukan kepada publik, juga boleh ditujukan untuk orang atau
pihak tertentu (ibid., IV/785). Misalkan seorang bapak berkata kepada anaknya,Jika kamu
dapat menghapal 1 juz al-Qur`an, kamu saya beri Rp 1 juta.
Nah, aktivitas yang ditanyakan di atas termasuk dalam jialah yang ditujukan kepada pihak
tertentu ini. Jadi dalam aktivitas di atas seakan-akan satu pihak berkata kepada pihak
lainnya,Jika kesebelasan kamu dapat mengalahkan kesebelasanku, kesebelasanku akan
mentraktir kesebelasanmu.
Namun menurut az-Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu IV/787-788, jialah wajib
memenuhi 3 (tiga) syarat. Pertama, pihak-pihak yang berjialah wajib memiliki kecakapan
bermuamalah (ahliyyah al-tasharruf), yaitu berakal, baligh, dan rasyid (tidak sedang dalam
perwalian). Jadi jialah tidak sah dilakukan oleh orang gila atau anak kecil. Kedua,
kompensasi (materi) yang diberikan harus jelas diketahui jenis dan jumlahnya (malum), di
samping tentunya harus halal. Jadi tidak sah jialah yang tidak jelas misalnya,
Barangsiapa dapat mengembalikan ijazahku yang hilang, saya beri imbalan sepantasnya.
Juga tidak sah jialah dengan imbalan yang haram,Barangsiapa dapat mengembalikan
SIM-ku yang hilang, saya beri sepuluh botol minuman keras. Ketiga, aktivitas yang akan
diberi kompensasi wajib aktivitas yang mubah, bukan yang haram. Jadi tidak sah jialah
dengan berkata,Barangsiapa yang dapat menyantet si Fulan, akan saya kasih Rp 5 juta.
Jika syarat-syarat ini kita terapkan pada aktivitas yang ditanyakan, maka ada hal yang
masih perlu diperjelas, yaitu traktirnya traktir apa? Sesuai syarat kedua jialah, bentuk
kompensasinya harus jelas. Maka harus diperjelas, apakah traktir makan bakso, atau nasi
pecel, atau pizza, atau yang lainnya.
Dalam syarat jialah yang kedua di atas, dapat dipahami bahwa kompensasi materi hanya
berasal dari satu pihak, bukan dari dua pihak. Atas dasar itulah itulah, di awal jawaban di
atas, pengasuh menyebutkan syarat bahwa uang yang digunakan untuk mentraktir harus dari
satu pihak (yang kalah), bukan dari dua pihak (yang kalah dan yang menang). Jika uang
yang digunakan mentraktir berasal dari dua pihak, tidak dibolehkan, karena termasuk dalam
judi yang diharamkan. [ ]
Muhammad Shiddiq al-Jawi
Suka
Be the first to like this post.

Anda mungkin juga menyukai