Anda di halaman 1dari 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori 1. Leukemia a. Definisi Leukemia adalah suatu keganasan berupa proliferasi patologis sel hemopoetik muda yang ditandai oleh adanya kegagalan sumsum tulang dalam membentuk sel darah normal dan adanya infiltrasi ke jaringan tubuh yang lain (Mansjoer, 2002). Menurut Cecily (2002),
klasifikasi leukemia terdiri atas:

1) Akut Leukemia akut memiliki perjalanan klinis yang cepat, tanpa pengobatan penderita akan meninggal rata-rata dalam 4-6 bulan. a) Leukemia limfoblastik akut (LLA) Leukemia limfoblastik akut merupakan jenis leukemia dengan karakteristik adanya proliferasi dan akumulasi sel-sel patologis dari sistem limfopoetik yang mengakibatkan organomegali (pembesaran alat-alat dalam) dan kegagalan organ. Leukemia limfoblastik akut lebih sering ditemukan pada anak-anak (82%) daripada umur dewasa (18%). Insiden LLA akan mencapai puncaknya pada umur 3-7 tahun.

b) Leukemia mielositik akut (LMA) Leukemia mielositik akut merupakan leukemia yang mengenai sel stem hematopoetik yang akan berdiferensiasi ke semua sel mieloid. Leukemia mielositik akut atau leukemia non limfositik akut (LNLA) lebih sering ditemukan pada orang dewasa (85%) dibandingkan anak-anak (15%). Permulaannya mendadak dan progresif dalam masa 1-3 bulan dengan durasi gejala yang singkat. 2) Kronis Leukemia kronik merupakan suatu penyakit yang ditandai proliferasi neoplastik dari salah satu sel yang berlangsung karena keganasan hematologi. a) Leukemia limfoblastik kronis (LLK) Leukemia limfoblastik kronis adalah suatu keganasan klonal limfosit B (jarang pada limfosit T). Leukemia limfoblastik kronis cenderung dikenal sebagai kelainan ringan yang menyerang individu yang berusia 50 sampai 70 tahun dengan perbandingan 2:1 untuk laki-laki. b) Leukemia miolositik kronis (LMK) Leukemia granulosit kronis atau leukemia miolositik kronis adalah gangguan mieloproliferatif yang ditandai dengan produksi berlebihan sel mieloid yang relatif matang. Leukemia

granulosit kronis mencakup 20% leukemia dan paling sering dijumpai pada orang dewasa usia 40-50 tahun. b. Etiologi Penyebab leukemia masih belum diketahui secara pasti hingga kini. Menurut Cecily (2002), etiologi leukemia meliputi: 1) Umur, jenis kelamin dan ras Insiden leukemia secara keseluruhan bervariasi menurut umur. Leukemia limfoblastik akut merupakan leukemia paling sering ditemukan pada anak-anak, dengan puncak insiden antara usia 2-4 tahun, leukemia mielositik akut terdapat pada umur 1539 tahun, sedangkan leukemia mielositik kronis banyak ditemukan antara umur 30-50 tahun. Leukemia limfoblastik kronis merupakan kelainan pada orang tua dengan umur rata-rata 60 tahun. Insiden leukemia lebih tinggi pada pria dibandingkan pada wanita. Prevalensi kejadian leukemia lebih tinggi pada ras kulit putih dibandingkan kulit hitam. 2) Faktor genetik Insiden leukemia pada anak-anak penderita down syndrome 20 kali lebih banyak daripada normal. Insiden leukemia akut juga meningkat pada penderita dengan kelainan kongenital, misalnya agranulocytosis congenital, ellis van creveld syndrome, celiac disease, bloom syndrome, fanconi anemia, wiskott aldrich syndrome, kleinefelter syndrome dan trisomi D syndrome.

10

3) Virus Enzyme reserve transcriptase ditemukan dalam darah penderita leukemia, seperti diketahui enzim ini ditemukan di dalam virus onkogenik seperti retrovirus tipe C yaitu jenis RNA yang menyebabkan leukemia pada binatang. Terdapat bukti kuat pada manusia bahwa virus merupakan etiologi terjadinya leukemia. Human T-cell lymphotropic virus (virus leukemia T manusia) dan retrovirus jenis cRNA, telah ditunjukkan oleh mikroskop elektron dan kultur pada sel pasien dengan jenis khusus leukemia atau limfoma sel T yang umum pada provinsi tertentu di Jepang dan sporadis di tempat lain, khususnya di antara Negro Karibia dan Amerika Serikat. 4) Radioaktif Sinar radioaktif merupakan faktor eksternal yang paling jelas dapat menyebabkan leukemia, ahli radiologi mempunyai risiko 10 kali lebih besar mengalami leukemia. 5) Merokok Merokok merupakan salah satu faktor risiko untuk

berkembangnya leukemia. Rokok mengandung leukemogen yang potensial untuk menderita leukemia terutama leukemia mielositik akut.

11

c. Tanda dan Gejala Gejala klinis dari leukemia pada umumnya adalah anemia, trombositopenia, neutropenia, infeksi, serta kelainan organ yang terkena infeksi, hipermetabolisme, lelah, perdarahan, infeksi dan penurunan berat badan (Suriadi dan Yuliani, 2001). d. Patofisiologi Leukemia adalah penyakit kanker jaringan yang menghasilkan sel yang abnormal dalam jumlah berlebihan dan menyusup ke dalam berbagai organ tubuh. Sel leukemik menyusup ke dalam sumsum tulang, mengganti unsur sel yang normal, akibatnya timbul anemia dan dihasilkan eritrosit dalam jumlah yang rendah serta terjadinya perdarahan akibat menurunnya jumlah trombosit. Penyusupan sel leukemik ke dalam semua organ vital menimbulkan hepatomegali, splenomegali dan limfadenopati. Timbul disfungsi sumsum tulang menyebabkan turunnya jumlah eritrosit, trombosit , leukosit maupun neutrofil. Sel leukemik menyebar memasuki limfonodi, limfa, hati, tulang dan SSP (Cecily, 2002). 2. Kemoterapi a. Definisi Kemoterapi adalah pemberian segolongan obat-obatan

sitostatika yang dapat menghambat pertumbuhan atau bahkan membunuh sel kanker. Obat sitostatik dalam kemoterapi akan berinteraksi dengan reseptor sel kanker. Hal tersebut akan mencegah

12

pembelahan dan menyebabkan kematian sel kanker (Nationale Cancer Institute, 2010). b. Efek samping Efek samping yang sering terjadi akibat kemoterapi yakni oral mucositis, mual, muntah, diare, fatigue, konstipasi, folikel rambut rusak, risiko infeksi dan kerusakan sistem saraf (Gralla, et al, 2010: Bowden, et al, 1998) Oral mucositis merupakan efek samping yang sering terjadi. Pergantian sel mukosa lama dengan sel mukosa baru yang cepat menyebabkan area ini sangat rentan mengalami perubahan akibat agen kemoterapi. Prevalensi terjadinya oral mucositis akibat kemoterapi 30-39% (Ilgenti, 2001). Mual dan muntah merupakan efek samping yang biasanya disebabkan karena penggunaan obatobatan seperti cisplatin, platimol, doxorubicin, adriamycin dan cyclopospamid. Mual dan muntah terjadi dalam waktu 24 jam. (Tipton, et al, 2007; Gralla, et al, 2010). Diare adalah suatu keadaan dimana frekuensi buang air besar terjadi lebih dari 3 kali sehari disertai dengan konsistensi feses yang encer dan dapat terjadi pada 50-80% kemoterapi (Muehlbauer, et al, 2009). Diare dapat disebabkan oleh beberapa agen terapi seperti fluorouracil (5-FU), irinotecan (camptosar), erlotinib (tarceva) dan geftinib (iressa) (Gralla, et al, 2010).

13

Menurut

Bowden,

et

al

(1998),

kemoterapi

dapat

menyebabkan fatigue, konstipasi, folikel rambut rusak, risiko infeksi dan kerusakan sistem saraf. Fatigue pada anak merupakan perasaan lelah yang biasanya diakibatkan karena proses perjalanan penyakit, proses pengobatan dan aspek emosional anak. Konstipasi yaitu kesulitan buang air besar, hal ini dapat terjadi karena agen kemoterapi seperti vinorelbine, vincristine dan temozolamide. Folikel rambut rusak mudah sekali membuat kerontokan rambut dan kebotakan. Kerontokan rambut biasanya terjadi pada 7-21 hari setelah fase kemoterapi awal. Risiko infeksi juga dialami anak yang menjalani kemoterapi, anak yang menjalani terapi kemoterapi rentan mengalami infeksi. Hal ini terjadi karena obat sitotoksik dapat menyebabkan depresi sumsum tulang sehingga menyebabkan penurunan dan gangguan produksi sel-sel darah yaitu leukosit, trombosit dan eritrosit. Gangguan produksi leukosit dapat

menyebabkan neutropenia dan selanjutnya dapat meningkatkan risiko infeksi pada anak. Gangguan yang sering terjadi adalah gangguan neuropati perifer seperti kesemutan, baal dan kebas. 3. Oral mucositis akibat kemoterapi a. Definisi Oral mucositis akibat kemoterapi adalah suatu keadaan setelah pemberian kemoterapi yang ditandai adanya eritema, lesi, edema

14

serta nyeri sehingga terjadi kesulitan dalam berbicara, mengunyah serta menelan (Potting et al, 2005). b. Faktor yang mempengaruhi oral mucositis Menurut Eilers (2004), agen kemoterapi dan dosis yang diberikan mempengaruhi terjadinya oral mucositis. Agen yang paling sering menyebabkan oral mucositis yaitu golongan

methotrexate (MTX) dan fluorouracil (5-FU). Anak yang mendapat dosis lebih besar akan lebih rentan mendapat oral mucositis. Kemoterapi yang dilakukan lebih lama juga akan mempengaruhi peningkatan kejadian oral mucositis. Anak yang sedang mendapat kemoterapi pada fase konsolidasi cenderung lebih rentan mengalami oral mucositis, hal ini dikarenakan pada fase tersebut obat dan dosis yang diberikan lebih banyak dibandingkan fase kemoterapi yang lain. Menurut Dodd (2004), pasien anak dan lansia akan lebih sering mengalami oral mucositis dibandingkan dengan pasien dewasa. Hal ini terjadi karena replikasi membran sel anak lebih cepat dibandingkan dengan orang dewasa, sehingga anak lebih berisiko mengalami oral mucositis. Lansia juga berisiko mengalami oral mucositis karena memiliki kemampuan perbaikan jaringan yang lebih sulit. Faktor lain yang mempertinggi risiko oral mucositis yaitu adanya penyakit seperti diabetes, AIDS, penyakit kardiopulmonar dan penyakit ginjal. Hal lain yang mempengaruhi oral mucositis

15

yakni jenis obat-obatan anti depresan, anti histamin, anti hipertensi, opioid dan sedatif. Menurut Peterson dan Carlo (2004), anak dengan status gizi buruk biasanya akan lebih rentan terhadap oral mucositis. c. Patofisiologi oral mucositis Menurut Sonis (2004) dalam Cawley (2005), patofisiologi terjadinya oral mucositis ini terjadi dalam 5 fase, yakni: 1) Fase awal (initial phase) Fase ini ditandai dengan pembentukan reactive oxygen species (ROS) oleh agen kemoterapi. ROS akan menyebabkan kerusakan sel, jaringan dan pembuluh darah secara langsung. Aktivasi ROS akan menstimulasi faktor transkripsi dan memulai serangkaian proses biologis terjadinya oral mucositis. Fase ini biasanya terjadi pada hari pertama setelah kemoterapi dan mukosa terlihat masih normal. 2) Fase regulasi dan pembentukan sinyal (upregulating and generation of messenger signals) Pada fase ini terjadi kematian klonogenik sel pada lapisan epitel karena kerusakan DNA oleh ROS, selanjutnya nuclear factor-Kb (NF-kB) akan teraktivasi dan mengaktivasi sejumlah gen (death clonogic gen) yang menyebabkan toksisitas mukosa dan mengaktivasi sitokin yang merupakan substansi pro inflamasi. Fase ini terjadi pada hari ke-2 sampai dengan ke-3 setelah kemoterapi.

16

3) Fase

amplifikasi

dan

penjalaran

sinyal

(signaling

and

amplification) Sitokin pro inflamasi akan mengaktivasi zat-zat aktivator inflamasi yaitu TNF-, IL-1 dan IL-6. TNF- akan mengaktivasi agen pathways yang menyebabkan cedera

jaringan seperti agen ceramide dan caspase. Sinyal ini selanjutnya akan semakin meningkatkan produksi sitokin. Aktivasi ceramide dapat menjadi mekanisme sekunder

terjadinya kerusakan jaringan. Seluruh agen yang telah aktif akan menyebabkan apoptosis pada sel epitel maupun jaringan sub mukosa. Inflamasi akan terus terjadi dan menyebabkan sel epitel dan sub mukosa menjadi kemerahan, bengkak dan nyeri. Fase ini ditandai dengan kematian atau kerusakan sel epitel dan jaringan mukosa. Jaringan yang rusak ditandai dengan adanya eritema atau edema. Fase ini biasanya berlangsung pada hari ke4 sampai dengan ke-10 setelah kemoterapi. 4) Fase ulserasi dengan inflamasi Fase ini ditandai dengan pembentukan lesi sebagai tempat masuk mikroorganisme baik itu bakteri gram positif maupun gram negatif. Fase ini berlangsung pada hari ke-10 sampai dengan ke-15.

17

5) Fase penyembuhan Fase penyembuhan biasanya terjadi saat kadar leukosit pasien mulai normal yaitu hari ke-14 sampai hari ke-21.

Gambar 2.1 patofisiologi oral mucositis

d. Penatalaksanaan oral mucositis Oral mucositis dapat disembuhkan dengan salah satu tindakan berupa oral care protocol, obat kumur, cryotherapy, pelindung mukosa, agen anti septik, agen anti inflamasi, agen topikal, cytokine like agent and growth factors (Harris, et al, 2008). 4. Dampak oral mucositis pada anak Dampak oral mucositis bervariasi pada setiap anak. Secara umum, beberapa efek negatif akibat oral mucositis adalah nyeri dan gangguan fungsional. Gangguan fungsional akibat oral mucositis antara lain fungsi menelan, perubahan suara dan gangguan nutrisi. Jika hal tersebut dibiarkan maka kualitas hidup akan menurun. Kesulitan menelan dihubungkan dengan berbagai konsekuensi. Pasien yang mengalami disfagia lebih berisiko mengalami aspirasi pneumonia dan

menyebabkan penurunan atau perubahan dalam pemasukan makanan.

18

Jika hal ini dibiarkan, maka pasien akan mengalami gangguan nutrisi sehingga memerlukan penanganan yang lebih lanjut. Penanganan terhadap gangguan nutrisi seperti pemberian suplemen nutrisi, nutrisi parenteral atau nutrisi enteral menyebabkan peningkatan biaya dalam perawatan anak (Cawley, 2005).

19

B. Kerangka Teori Perawatan leukemia: Kemoterapi Radioterapi Pembedahan Transplantasi sumsum tulang Frekuensi pemberian Dosis Protokol kemoterapi

Efek samping kemoterapi: Oral mucositis Mual dan muntah Diare Fatigue Konstipasi Folikel rambut rusak Risiko infeksi

Gambar 2.2 Kerangka Teori Keterangan: hal yang diteliti

Anda mungkin juga menyukai