Oleh: Sonin
.
.
:
.
Hadirin Jamaah Jumat Rahimakumullah;
Marilah kita selalu mengulangi ucapan rasa syukur kepada Allah karena
nikmat-nikmat-Nya yang telah tercurahkan kepada kita semua sehingga kesehatan
jasmani dan rohani masih menghiasi kita. Semoga rasa syukur yang kita panjatkan
ini, menjadi kunci lebih terbukanya pintu-pintu karunia-Nya. Allah Subhannahu wa
Ta'ala berfirman:
Ilmu adalah pemimpin amal dan amalan itu berada di belakang setelah adanya
ilmu.
Bukti bahwa ilmu lebih didahulukan daripada amalan
Ulama hadits terkemuka, yakni Al Bukhari berkata, Al Ilmu Qoblal Qouli Wal
Amali (Ilmu Sebelum Berkata dan Berbuat) Perkataan ini merupakan kesimpulan
yang
beliau
ambil
dari
firman
Allah
taala,
Maka ketahuilah! Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah
dan mohonlah ampunan bagi dosamu. (QS. Muhammad [47]: 19)
Dalam ayat ini, Allah memulai dengan ketahuilah lalu mengatakan
mohonlah ampun. Ketahuilah yang dimaksudkan adalah perintah untuk berilmu
terlebih dahulu, sebab untuk mengetahui harus dengan ilmu. Sedangkan mohonlah
ampun adalah amalan. Ini pertanda bahwa ilmu hendaklah lebih dahulu sebelum
amal perbuatan.
Sufyan bin Uyainah rahimahullah berdalil dengan ayat ini untuk menunjukkan
keutamaan ilmu. Hal ini sebagaimana dikeluarkan oleh Abu Nuaim dalam Al Hilyah
ketika menjelaskan biografi Sufyan dari jalur Ar Robi bin Nafi darinya, bahwa
Sufyan membaca ayat ini, lalu mengatakan, Tidakkah engkau mendengar bahwa
Allah memulai ayat ini dengan mengatakan ketahulah maksudnya ilmuilah,
kemudian Allah memerintahkan untuk beramal? (dalam Fathul Bari, Ibnu Hajar,
hal.108)
Al Muhallab rahimahullah dalam Syarh Al Bukhari libni Baththol, hal. 144
mengatakan: Amalan yang bermanfaat adalah amalan yang terlebih dahulu
didahului dengan ilmu. Amalan yang di dalamnya tidak terdapat niat, ingin
mengharap-harap ganjaran, dan merasa telah berbuat ikhlas, maka ini bukanlah
amalan (karena tidak didahului dengan ilmu).
Ibnul Munir rahimahullah dalam Fathul Bari hal 108, berkata: Yang
dimaksudkan oleh Al Bukhari bahwa ilmu adalah syarat benarnya suatu perkataan
dan perbuatan. Suatu perkataan dan perbuatan itu tidak teranggap kecuali dengan
ilmu terlebih dahulu. Oleh sebab itulah, ilmu didahulukan dari ucapan dan perbuatan,
karena ilmu itu pelurus niat. Niat nantinya yang akan memperbaiki amalan.
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang
diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. (QS Al Mujadalah: 11)
kepadanya seorang ahli ibadah. Kemudian dia bertanya kepada si ahli ibadah,
apakah ada taubat untuknya. Ahli ibadah menganggap bahwa dosanya sudah
sangat besar sehingga dia mengatakan bahwa tidak ada pintu taubat bagi si
pembunuh 99 nyawa. Maka dibunuhlah ahli ibadah sehigga genap 100 orang yang
telah dibunuh oleh laki-laki dari Bani Israil tersebut.
Akhirnya dia masih ingin bertaubat lagi, kemudian dia bertanya siapakah
orang yang paling berilmu, lalu ditunjukkan kepada seorang ulama. Dia bertanya
kepada ulama tersebut, Apakah masih ada pintu taubat untukku. Maka ulama
tersebut mengatakan bahwa masih ada pintu taubat untuknya dan tidak ada satupun
yang menghalangi dirinya untuk bertaubat. Kemudian ulama tersebut menunjukkan
kepadanya agar berpindah ke sebuah negeri yang penduduknya merupakan orang
shaleh, karena kampungnya merupakan kampung yang dia tinggal sekarang adalah
kampung yang penuh kerusakan. Oleh karena itu, dia pun keluar meninggalkan
kampung halamannya. Di tengah jalan sebelum sampai ke negeri yang dituju, dia
sudah dijemput kematian. (HR. Bukhari dan Muslim). Kisah ini merupakan kisah
yang sangat masyhur. Lihatlah perbedaan ahli ibadah dan ahli ilmu.
Ketiga, ilmu adalah warisan para Nabi
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanyalah
mewariskan ilmu. Barang siapa yang mengambilnya, maka dia telah memperoleh
keberuntungan yang banyak. (HR. Tirmidzi, Syaikh Al Albani dalam Shohih wa
Dhoif Sunan Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini shohih)
Keempat, orang yang berilmu yang akan mendapatkan seluruh kebaikan
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
Ilmu yang wajib dipelajari bagi manusia adalah ilmu yang menuntut untuk
diamalkan saat itu, adapun ketika amalan tersebut belum tertuntut untuk diamalkan
maka belum wajib untuk dipelajari. Jadi ilmu mengenai tauhid, mengenai 2 kalimat
syahadat, mengenai keimanan adalah ilmu yang wajib dipelajari ketika seseorang
menjadi muslim, karena ilmu ini adalah dasar yang harus diketahui.
Kemudian ilmu mengenai shalat, hal-hal yang berkaitan dengan
shalat, seperti bersuci dan lainnya, merupakan ilmu berikutnya yang harus dipelajari.
Kemudian ilmu tentang hal-hal yang halal dan haram, ilmu tentang mualamalah dan
seterusnya.
Contohnya seseorang yang saat ini belum mampu berhaji, maka ilmu tentang
haji belum wajib untuk ia pelajari saat ini. Akan tetapi ketika ia telah mampu berhaji,
ia wajib mengetahui ilmu tentang haji dan segala sesuatu yang berkaitan dengan
haji. Adapun ilmu tentang tauhid, tentang keimanan, adalah hal pertama yang harus
dipelajari karena setiap amalan yang ia lakukan tentunya berkaitan dengan niat.
Kalau niatnya dalam melakukan ibadah karena Allah maka itulah amalan yang
benar. Adapun kalau niatnya karena selain Allah maka itu adalah amalan syirik. Ini
semua jika dilatarbelakangi dengan aqidah dan tauhid yang benar.
Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka dia akan membuat
banyak kerusakan daripada mendatangkan kebaikan.
Hal ini sebagaimana terjadi pada kaum Quraiys ketika menjawab seruan Nabi
Muhammad SAW untuk menyembah Allah Swt, akan tetapi dengan pengetahuan
mereka membantah seruan Nabi Muhammad SAW. Dengan mengatakan bukankah
Agama yang kami sembah selama ini adalah agama nenek moyang kita
(menyembah Lata dan Uza). Ini merupakan suatu contoh beramal tanpa berilmu
yang benar.
Di samping itu pula, setiap ilmu hendaklah diamalkan agar tidak serupa
dengan orang Yahudi. Sufyan bin Uyainah rahimahullah dalam Majmu Alfatawa
hal. 567 mengatakan: